PAPER MANAJERIAL PERILAKU KONSUMEN DAN

PERILAKU KONSUMEN

Diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah Ekonomi Manajerial. Yang dibina oleh
Bapak PROF. DR. MUHAMMAD ZILAL HAMZAH, MM
KELOMPOK 2
YUDHISTIRA PERMANA
(021120003)
RIVELY RIANTA MURTI
(021120002)

.
FAKULTAS EKONOMI
EKONOMI PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS TRISAKTI

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena bimbingan dan penyertaan-Nya, sehingga
kelompok ini dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas yang diberikan Dosen pengajar.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna disebabkan karena terbatasnya
kemampuan pengetahuan baik teori maupun praktek. Dengan demikian kelompok ini mengahrapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan
panulisan makalah ini.
Kiranya yang Maha Kuasa tetap menyertai kita sekalian, dengan harapan pula agar karya ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Jakarta, 07 September 2014
Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Pembahasan
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pemahaman akan perilaku konsumen adalah tugas penting bagi para pemasar. Para pemasar mencoba
memahami perilaku pembelian konsumen agar mereka dapat menawarkan kepuasan yang lebih besar
kepada konsumen. Tapi bagaimanapun juga ketidakpuasan konsumen sampai tingkat tertentu masih
akan ada. Beberapa pemasar masih belum menerapkan konsep pemasaran sehingga mereka tidak
berorientasi pada konsumen dan tidak memandang kepuasan konsumen sebagai tujuan utama. Lebih
jauh lagi karena alat menganalisis perilaku konsumen tidak pasti, para pemasar kemungkinan tidak
mampu menetapkan secara akurat apa sebenarnya yang dapat memuaskan para pembeli. Sekalipun
para pemasar mengetahui faktor yang meningkatkan kepuasan konsumen, mereka belum tentu dapat
memenuhi faktor tersebut.
Tak diragukan lagi, konsumen tergolong aset paling berharga bagi semua bisnis. Tanpa dukungan
mereka, suatu bisnis tidak bisa eksis. Sebaliknya jika bisnis kita sukses memberikan pelayanan
terbaik, konsumen tidak hanya membantu bisnis kita tumbuh. Lebih dari itu, mereka biasanya akan
membuat rekomendasi untuk teman dan relasinya.

1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan mengenai definisi perilaku konsumen

2. Jelaskan hukum permintaan
3. Jelaskan tentang pendekatan perilaku konsumen
4. Jelaskan konsep elastisitas dan macam-macam besaran elastisitas
6. Jelaskan mengenai eksternalitas

1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
Tujuan dari pembahasan perilaku konsumen adalah untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh
dosen.

BAB II
PEMBAHASAN
PERILAKU KONSUMEN
Teori perilaku konsumen yaitu teori yang menerangkan perilaku pembeli-pembeli didalam
menggunakan dan membelanjakan pendapatan yang diperolehnya. Seorang konsumen yang rasional
akan berusaha memaksimumkan kepuasan dalam menggunakan pendapatannya untuk membeli
barang dan jasa. Untuk tujuan ini ia harus membuat pilihan-pilihan, yaitu menentukan jenis-jenis
barang yang dibelinya dan jumlah yang akan dibelinya.
Analisis ekonomi yang menerangkan tingkah laku konsumen dalam membuat pilihan tersebut
dibedakan kepada dua bentuk analisis :
a. Teori nilai guna atau utility

Kalau kepuasan itu semakin tinggi maka makin tinggi lah nilai guna nya atau utility nya.
b. Analisis kepuasan sama
Suatu kurva yang menggambarkan gabungan barang-barang yang akan memberikan kepuasan yang
sama besarnya.
Para ahli berpendapat mengenai definisi Perilaku Konsumen, sebagai berikut ;
Gerald Zaldman dan Melanie Wallendorf (1979:6) menjelaskan bahwa :
“Consumer behavior are acts, process and social relationship exhibited by individuals,
groups and organizations in the obtainment, use of, and consequent
experience with products, services and other resources”
Perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan, proses, dan hubungan social yang
dilakukan individu, kelompok, dan organisasi dalam mendapatkan, menggunakan
suatu produk atau lainnya sebagai suatu akibat dari pengalamannya dengan
produk, pelayanan, dan sumber-sumber lainya.
Pengertian perilaku konsumen menurut Shiffman dan Kanuk (2000) adalah “Consumer behavior can
be defined as the behavior that customer display in searching for, purchasing, using, evaluating, and
disposing of products, services, and ideas they expect will satisfy they needs”. Pengertian tersebut
berarti perilaku yang diperhatikan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi
dan mengabaikan produk, jasa, atau ide yang diharapkan dapat memuaskan konsumen untuk dapat
memuaskan kebutuhannya dengan mengkonsumsi produk atau jasa yang ditawarkan.
Selain itu perilku konsumen menurut Loudon dan Della Bitta (1993) adalah: “Consumer behavior

may be defined as the decision process and physical activity individuals engage in when evaluating,
acquiring, using, or disposing of goods and services”. Dapat dijelaskan perilaku konsumen adalah
proses pengambilan keputusan dan kegiatan fisik individu-individu yang semuanya ini melibatkan
individu dalam menilai, mendapatkan, menggunakan, atau mengabaikan barang-barang dan jasa-jasa.
Menurut Solomon (2007) , It is study of the processes involved when individuals or group select,
purchase, use, or dispose of products, services, ideas, or experiences to satisfy needs and desires.
Studi Perilaku Konsumen merupakan proses ketika individu atau kelompok menyeleksi, membeli,
menggunakan atau membuang produk, pelayanan, ide dan pengalaman untuk memuaskan
kebutuhannya.

CONSUMER’S
PERSPECTIVE

PREPURCHASE
ISSUES

PURCHASE
ISSUES

POSTPURCHAS

E ISSUES

MARKETER’S
PERSPECTIVE

How does a consumer decide that
he/she needs a product? What
are the best sources of
information to learn more about
alternative choices?

How are consumer attitudes
toward products formed and/or
changed? What cues do
consumers use to infer which
products are superior to others?

Is acquiring a product a stressful
or pleasant experience? What
does the purchase say about the

consumer?

How do situational factors, such
as time pressure or store
displays, afect the consumer’s
purchase decision?

Does the product provide
pleasure or perform its intended
function? How is the product
eventually disposed of, and what
are the environmental
consequences of this act?

What determines whether a
consumer will be satisfed with a
product and whether he/she will
buy it again? Does this person
tell others about his/her
experiences with the product

and infuence their purchase
decisions?

Bagan 1. Beberapa masalah pada saat terjadinya proses pengkonsumsian (Solomon, 2007)

Menurut Hawkins, Best, dan Coney (2001) Consumer behavior is the study of individuals, groups, or
organizations and the processes they use to select, secure, use, and dispose of products, services,
experiences, or ideas to satisfy needs and the impacts that these processes have on the consumer and
society.
Perilaku konsumen adalah studi mengenai individu, kelompok atau organisasi dan proses dimana
mereka menyeleksi, menggunakan dan membuang produk, layanan, pengalaman atau ide untuk
memuaskan kebutuhan dan dampak dari proses tersebut pada konsumen dan masyarakat
Menurut Ebert dan Griffin (1995) consumer behavior dijelaskan sebagai: “the various facets of the
decision of the decision process by which customers come to purchase and consume a product”.
Dapat dijelaskan sebagai upaya konsumen untuk membuat keputusan tentang suatu produk yang
dibeli dan dikonsumsi. jd, Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan. Bagaimana konsumen mendapatkan kepuasan maksimal?
Bagaimana mengetahui perilaku konsumen secara keseluruhan?


PENDEKATAN PERILAKU KONSUMEN
Teori tingkah laku konsumen dapat dibedakan dalam dua macam pendekatan :
1. Pendekatan Marginal Utiliti (Cardinal)
Manfaat atau kenikmatan yang diperoleh seorang konsumen dapat dinyatakan secara kuantitatif
dengan anggapan bahwa konsumen akan memaksimumkan kepuasan yang dapat dicapainya,
diterangkan bagaimana seseorang akan menentukan konsumsinya ke atas berbagai jenis barang yang
terdapat dipasar. Dalam pendekatan ini digunakan anggapan sebagai berikut:
Utility bisa diukur dengan uang.
Hukum Gossen (The Law of Diminishing Returns) berlaku yang menyatakan bahwa “Semakin
banyak sesuatu barang dikonsumsi, maka tambahan kepuasan yang diperoleh dari setiap satuan
tambahan yang dikonsumsi akan menurun”.
Konsumen berusaha memaksimumkan kepuasan.
2. Pendekatan Indifference Curve (Ordinal)
Maanfaat atau kenikmatan yang diperoleh masyarakat dari mengkonsumsi barang-barang tidak
dikuantifiser. Tingkah laku seorang konsumen untuk memilih barang-barang yang akan
memaksimumkan kepuasannya ditunjukan dengan bantuan kurva kepuasan sama, yaitu kurva yang
menggambarkan gabungan barang yang akan memberikan nilai guna (kepuasan) yang sama.
Kepuasan Konsumen
Seorang konsumen akan mencapai kepuasan yang maximum apabila ia mencapai titik dimana garis
anggaran pengeluaran menyinggung kurva kepuasan sama.

Anggapan dalam pendekatan ordinal sebagai berikut:
1. Konsumen mempunyai pola preferensi akan barang-barang tertentu.
2. Konsumen mempunyai sejumlah uang tertentu.
3. Konsumen berusaha memaksimumkan kepuasan.
Ciri-ciri Indifference Curve sebagai berikut:
Turun dari kiri atas ke kanan bawah. Cembung ke arah origin. Indifference Curve yang satu dengan
lainnya tidak pernah saling memotong. Indifference Curve yang terletak di sebelah kanan atas
menunjukan tingkat keupasan yang lebih tinggi dan sebaliknya.
Sebuah grafik dari kurva indiference untuk seorang konsumen dihubungkan dengan tingkat
utilitas/kepuasan berbeda disebut dengan peta indiference. Titik kembalinya tingkat kepuasan yang
berbeda setiap unitnya dihubungkan dengan kurva indiference yang berbeda satu sama lain. Sebuah
kurva indiference menjabarkan sebuah himpunan preferensi pribadi dan bisa berbeda pada orang satu
dan lainnya.
Kurva indiference biasanya dijelaskan menjadi :
1. Dijabarkan hanya pada kuadran positif (+, +) diagram Cartesius dari komoditas berdasarkan
kuantitas.

2. Melengkung secara negatif. Sebagai Kuantitas yang dikonsumsi dari satu barang (x) meningkat,
kepuasan total akan naik jika tidak di kompensasikan oleh sebuah penurunan dalam kuantitas yang
dikonsumsi pada barang lain (y). Sama dengan kekenyangan, dimana lebih dari barang (atau

keduanya) sama derajatnya di prefrensikan untuk tidak ditingkatkan, tidak diikutsertakan. (jika
utilitas U=f(x, y), U, dalam dimensi ke tiga, tidak memiliki sebuah maksimum lokal untuk
semua x dan y.)
3. lengkap, seperti semua titik dalam kurva indiferen dirangking sama besar dalam hal selera dan
dirangking baik lebih atau kurang di sukai dibandingkan titik lainnya yang tidak ada dalam kurva.
Jadi, dengan (2), tidak ada dua kurva yang akan bersilangan (selain non-satiasi akan dilanggar).
4. Transitif dengan hubungan ke titik dalam kurva indiference yang berbeda. Itu terjadi, jika tiap titik
dalam I2 adalah selera (yang terbatas) pada tiap titik dalam I1, dan tiap titik dalam I3 dihubungkan ke
tiap titik dalam I2, tiap titik dalam I3 dihubungkan ke tiap titik dalam I1. Sebuah lengkungan negatif
dan transitifitas tidak dimasukan persilangan kurva indiference, karena garis lurus dari kedua sisi
tersebut bersilangan akan memberi rangking prefrensi yang tidak satu sisi dan intransitif.
5. (secara terbatas) convex (dijatuhkan dari bawah). Dengan (2), preferensi convex menyebabkan
sebuah pemunculan dari asal kurva indiference. Sebagai konsumen menurunkan konsumsi dari satu
barang dalam unit suksesif, jumlah besar dari barang lainnya akan dibutuhkan untuk mempertahankan
kepuasan tidak berubah, efek substitusi.
ASUMSI
Ambil a, b dan c menjadi kumpulan (vektor) dari barang, seperti kombinasi (x, y) diatas, dimana
kemungkinan adanya perbedaan jumlah dari tiap barang dalam kumpulan yang berbeda. Asumsi
pertama adalah kebutuhan untuk sebuah representasi yang dibuat dnegan baik dari selera stabil untuk
para konsumen sebagai agen ekonomi, asumsi kedua disesuaikan.
Rasionalitas (dalam hubungannya dalam konteks matematik yang umum): Keterselesaian +
transtifitas. Untuk rangking pemberian prefrensi, konsumen bisa memilih kumpulan yang terbaik
antara a,b dan c dari terbawah ke tertinggi.
Kontinuitas: Ini berarti kamu bisa memilih untuk mengkonsumsi berapapun jumlah barang.
Contohnya, saya bisa minum 11 mL soda, atau 12mL, atau 132 mL. Saya tidak dipaksa untuk
meminum dua liter atau tidak sama sekali. Lihat juga fungsi kontinuitas dalam matematik.
Dari ciri yang tersisa diatas, seharusnya, ciri (5) (kofeksitas) telah dilanggar oleh munculnya kurva
indiferen keluar dari asal konsumen tertentu dengan memberikan dorongan ke anggaran. Teori
konsumen kemudian menyebabkan konsumsi kosong untuk satu dari dua barang, katakanlah barang
Y, dalam ekuilibirium ke anggaran konsumen. Ini akan mencontohkan sebuah solusi pojok. Lebih
jauh, penurunan dalam harga barang Y diatas jarak tertentu mungkin akan meninggalkan
jumlah/kuantitas yang diminta tidak akan berubah dari kosong (0) dan sesudahnya dimana penurunan
harga selanjutnya mengganti semua pendapatan dan konsumsi jauh-jauh dari X dan Y. Rasio dari
implikasi tersebut mensugestikan kenapa konfeksitas biasanya diasumsikan juga.
Selera konsumen. Perubahan selera konsumen bisa ditunjukan oleh perubahan bentuk atau posisi dari
indifference map. Tanpa ada perubahan harga barang-barang maupun income, permintaan akan
sesuatu barang bisa berubah karena perubahan selera.

Permintaan (demand function) adalah : Jumlah suatu barang yang mau dan dapat dibeli oleh
konsumen pada pelbagai kemungkinan harga, dalam jangka waktu tertentu dengan anggapan hal-hal
lain akan tetap sama ( Cateris Paribus)
Penawaran adalah : Jumlah dari suatu barang tertentu yang mau dijual pada berbagai kemungkinan
harga, dalam jangka waktu (cateris paribus)

Kurva Garis Anggaran ( Budget Line Curve )
Garis Anggaran (budget line) adalah kurva yang menunjukkan kombinasi konsumsi dua macam
barang yang membutuhkan biaya (anggaran) yang sama besar. Misalnya garis anggaran dinotasikan
sebagai BL, sedangkan harga sebagai P ( Px untuk X dan Py untuk Y ) dan jumlah barang yang
dikonsumsi adalah Q ( Qx untuk X dan Qy untuk Y ), maka:
BL = Px.Qx + Py.Qy
Perubahan Harga Barang dan Pendapatan
Perubahan harga dan pendapatan akan mempengaruhi daya beli, diukur dari besar luas bidang segi

tiga yang dibatasi kurva garis anggaran. Bila luas bidang segitiga makin luas,maka daya beli
meningkat,begitu juga sebaliknya.

HUKUM PERMINTAAN
Kurve permintaan untuk pelbagai macam barang dan jasa tidak semuanya tepat sama. Bahkan kurve
permintaan akan barang yang sama pun dapat berbeda menurut tempat dan waktu yang berbeda.
Tetapi semua kurve permintaan menunjukkan satu ciri yang sama, yaitu arahnya yang turun dan kiriatas ke kanan-bawah (downward sloping to the right). Bentuk kurve mi menunjukkan bahwa antara
HARGA (P) dan JUMLAH YANG MAU DIBELI (Qd) terdapat suatu hubungan yang berbalikan:
-Kalau harga naik, jumlah yang mau dibeli berkurang
-Kalau harga turun, jumlah yang mau dibeli bertambah
Gejala mi dikenal dengan nama Hukum Permintaan, yang dapat dirumuskan sbb.: Orang cenderung
membeli lebih banyakpada harga rendah daripadapada harga tinggi. Disehut “hukum” karena
merupakan gejala umum yang sulit dicari perkecualiannya.
Hal ini terjadi karenaHukum permintaan menunjuk pada fakta bahwa, kalau harga suatu barang/jasa
naik, jumlah yang akan dibeli cenderung menjadi Iebih sedikit, sedang kalau harganya turun, jumlah
yang mau dibeli oleh masyarakat akan lebih banyak. Sekarang kita her- tanya: mengapa terjadi
demikian? Apa sebabnyajumlah yang mau dibeli berkurang bila harga barang itu naik, dan bertambah
bila harganya turun? Pada dasarnya ada tiga alasan yang dapat menjelaskan gejala tsb.:
Pengaruh penghasilan (Income effect)
Kalau harga suatu barang naik, maka denganjumlah penghasilan uang yang sama orang terpaksa
hanya dapat membeli barang lebih sedikit. Sebaliknyajika harga barang tu turun, dengan penghasilan
yang sama orang dapat membeli lebih banyak dan barang ybs., (dan mungkinjuga dan barang-barang
lain pula), sebab penghasilan realnya naik.
Misalnya datam contoh di atas: pada harga beras Rp 400-/kg, keluarga ybs. dapat membeli 50kg beras
perbulan. Tetapi kalau harga beras naik menjadi Rp 500, 1kg, denganjumlah uang yang sama rncrcka
hanya dapat membeli 40 kg beras per bulan.
Hal yang sama berlaku tidak hanya untuk permintaan individual tetapi juga untuk permintaan pasar.
Kalau harga suatu barang naik (ceteris paribus), Iebih sedikit warga masyarakat yang mampu
membelinya dengan penghasilan mereka. Sebaliknya jika harga barang tertentu turun (ceteris
paribus), semakin banyak orang yang dulu tidak mampu membelinya sekarang akan dapat
menjangkaunya, sehingga jumlah pembeli bertambah banyak. Hal mi disebut “income effect’:
Pengarub substitusi (Substitution effect)
Jika harga suatu barang naik, orang akan mencari barang lain yang fungsinya sama tetapi harganya
lebih murah. Penggantian mi dengan istilah teknis disebut substitusi. Maka gejala mi disebut
“substitution effect”.

KONSEP ELASTISITAS
Elastisitas adalah ukuran derajad kepekaan jumlah permintaan terhadap peubahan salah satu faktor
yang mempengaruhi. Jika elastisitas lebih besar dari satu maka disebut elastis, sedangkan elastisitas
kurang dari satu maka disebut inelastis, dan jika elastisitas lebih sama dengan satu maka disebut
elastisitas tunggal.
A. Harga
Atau bisa disebut juga dengan price elasricity (elastisitas harga) adalah persentase (%) perubahan
kuantitas barang yang diminta sebagai akibat dari perubahan harga barang tersebut. Elastisitas harga
ini penting bagi penjual, sebab ada hubungan antar perubahan harga dengan tingkat penjualan. Dalam
menghitung koefisien elastisitas harga ada dua cara, yaitu: arc elasticity (elastisitas busur) dan point
elasticity (elastisitas titik).
B. Silang
Atau bisa disebut sebagai cross elasticity (elastsitas silang) adalah persentase (%) perubahan jumlah
yang diminta terhadap sesuatau barang sebagai akibat dari perubahan harga barang lain.
C. Pendapatan
Atau bisa disebut juga dengan income elasricity (elastisitas pendapatan) adalah persentase (%)
perubahan kuantitas barang yang diminta sebagai akibat dari perubahan pendapatan riil.
Macam-macam besaran elastisitas:
1. elastisitas permintaan.
2. elastisitas permintaan dan total penerimaan.
3. elastisitas penerimaan.
4. elastisitas silang.
5. elastisitas penawaran.
6. elastisitas fisika dasar
7. elastisitas harga dari permintaan

KESEIMBANGAN PASAR (Market Equilibrium)
Pasar (secara ekonomi)
Pertemuan antara potensial pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak (melalui
komunikasi) untuk mengeatasi conflict of interest antara konsumen dan produsen atau suatu lembaga
yang memungkinkan terjadinya proses pertukaran dengan jalan menyediakan saluran komunikasi
antara potensial pembeli dan penjual.
Kebutuhan yang tak terbatas
Persediaan yang terbatas

Scarcity (kelangkaan)

Competition
(produsen >< produsen, konsumen >< konsumen, produsen >< konsumen)

Conflict of interest (produsen >< konsumen) => Market
Cooperation via exchange
Harga Pasar
Pada harga pasar terjadi pertemuan antara keinginan pembeli dan penjual di mana telah ada
kesesuaian antara harga yang diinginkan pembeli dan penjual. Harga pasar merupakan harga yang
terjadi pada saat tercapai keseimbangan pasar.
Keseimbangan Pasar
Keseimbangan pasar terjadi jika tidak ada excess demand dan excess supply di mana konsumen
bersedia membeli pada saat produsen mau menjual pada jumlah dan harga yang sama (∑Qd = ∑Qs).
Syarat-syarat Titik Keseimbangan Pasar
Titik keseimbangan pasar bagi barang dan jasa tertentu harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Hanya berlaku untuk nilai-nilai (p dan q) yang positif.
Hanya berlaku untuk titik yang memenuhi syarat bagi (sesuai dengan ciri-ciri dari) Kurva Permintaan
maupun Kurva Penawaran.

Jadi keseimbangan pasar hanya ada satu. Walaupun mungkin ada 2 titik potong antara Fungsi
Permintaan dan Fungsi Penawaran (secara matematis) tetapi hanya ada satu titik potong antara Kurva
Permintaan dan Kurva Penawaran, dengan kata lain hanya satu yang berlaku sebagai titik
keseimbangan pasar.

EKSTERNALITAS
Dalam suatu perekonomian moderen, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas
lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan
melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut
tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui
mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan
kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan
eksternalitas.Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu
tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun
yang merugikan.Dalam literatur asing, efek samping mempunyai istilah seperti : external effects,
externalities, neighboorhood effects, side effects, spillover effects (Sudgen and williams, 1990,
Mishan 1990, Zilberman and marra, 1993). Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi
bisa positif (positive external effects, external economic) maupun negatif (negative external effects,
external diseconomic). Dalam kenyataannya, baik dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi
secara bersamaan dan simultan. Dampak yang menguntungkan misalnya seseorang yang membangun
sesuatu pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi
orang sekitar yang melewati lokasi tersebut. Sedangkan dampak negatif misalnya polusi udara, air dan
suara. Ada juga eksternalitas yang dikenal sebagai eksternalitas yang berkaitan dengan uang
(pecuniary externalities) yang muncul ketika dampak eksternalitas itu disebabkan oleh meningkatnya
harga. Misalnya, suatu perusahaan didirikan pada lokasi tertentu atau kompleks perumahan baru
dibangun, maka harga tanah tersebut akan melonjak tinggi. Meningkatnya harga tanah tersebut
menimbulkan dampak external yang negatif terhadap konsumen lain yang ingin membeli tanah
disekitar daerah tersebut.Dalam contoh diatas efek tersebut dalam perubahan harga tanah, dimana
kesejahteraan masyarakat berubah tetapi perubahan itu akan kembali ke keadaan keseimbangan
karena setiap barang akan menyamakan rasio harga-harga barang dengan Marginal Rate of
Substitution (MRS) jadi, suatu fakta bahwa tindakan seseorang dapat mempengaruhi orang lain
tidaklah berarti adanya kegagalan pasar selama pengaruh tersebut tercermin dalam harga-harga
sehingga tidak terjadi ketidak efisienan dalam perekonomian.
Jadi yang dimaksud dengan eksternalitas hanyalah apabila tindakan seseorang mempunyai dampak
terhadap orang lain (atau segolongan orang lain) tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga
timbul inefisiensi dalam alokasi faktor produksi.

JENIS DAN FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS
A. JENIS-JENIS EKSTERNALITAS
Efisiensi alokasi sumber daya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas
dan sempurna bisa terganggu, jika aktivitas dan tindakan individu pelaku ekonomi baik produsen
maupun konsumen mempunyai dampak (externality) baik terhadap mereka sendiri maupun terhadap
pihak lain. Eksternalitas itu dapat terjadi dari empat interaksi ekonomi berikut ini (Pearee dan Nash,
1991; Bohm, 1991) :
1. Efek atau dampak satu produsen terhadap produsen lain (effects of producers on other
producers)
2. Efek atau dampak samping kegiatan produksi terhadap konsumen (effects of producers on
consumers)
3. Efek atau dampak dari suatu konsumen terhadap konsumen lain (effects of consumers on
consumers)
4. Efek akan dampak dari suatu konsumen terhadap produsen (effects of consumers on
producers)
1. Dampak Suatu Produsen Terhadap Produsen Lain
Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap produsen lain jika
kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau penggeseran fungsi produksi dari produsen
lain. Dampak atau efek yang termasuk dalam kategori ini meliputi biaya pemurnian atau pembersihan
air yang dipakai (eater intake clen-up costs) oleh produsen hilir (downstream producers) yang
menghadapi pencemaran air (water polution) yang diakibatkan oleh produsen hulu (upstream
producers). Hal ini terjadi ketika produsen hilir membutuhkan air bersih untuk proses produksinya.
Dampak kategori ini bisa dipahami lebih jauh dengan contoh lain berikut ini. Suatu proses produksi
(misalnya perusahaan pulp) menghasilkan limbah-residu-produk sisa yang beracun dan masuk ke
aliran sungai, danau, atau semacamnya, sehingga produksi ikan terganggu dan akhirnya merugikan
produsen lain yakni para penangkap ikan (nelayan). Dalam hal ini, kegiatan produksi pulp tersebut
mempunyai dampak negatif terhadap produksi lain (ikan) atau nelayan, dan inilah yang dimaksud
dengan efek suatu kegiatan produksi terhadap produksi komoditi lain.
2. Dampak Produsen Terhadap Konsumen
Suatu produsen dikatakan mempunyai ekternal efek terhadap konsumen, jika aktivitasnya merubah
atau menggeser fungsi utilitas rumahtangga (konsumen). Dampak atau efek samping yang sangat
populer dari kategori kedua yang populer adalah pencemaran atau polusi. Kategori ini meliputi polusi
suara (noise), berkurangnya fasilitas daya tarik alam (amenity) karena pertambangan, bahaya radiasi
dari stasiun pembangkit (polusi udara) serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyamanan

konsumen atau masyarakat luas. Dalam hal ini, suatu agen ekonomi (perusahaan-produsen) yang
menghasilkan limbah (wasteproducts) ke udara atau ke aliran sungai mempengaruhi pihak dan agen
lain yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, kepuasan
konsumen terhadap pemanfaatan daerah-daerah rekreasi akan berkurang dengan adanya polusi udara.

3. Dampak Konsumen Terhadap Konsumen Lain
Dampak konsumen terhadap konsumen yang lain terjadi jika aktivitas seseorang atau kelompok
tertentu mempengaruhi atau menggangu fungsi utilitas konsumen yang lain. Konsumen seorang
individu bisa dipengaruhi tidak hanya oleh efek samping dari kegiatan produksi tetapi juga oleh
konsumsi oleh individu yang lain. Dampak atau efek dari kegiatan suatu seorang konsumen yang lain
dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, bisingnya suara alat pemotong rumput tetangga,
kebisingan bunyi radio atau musik dari tetangga, asap rokok seseorang terhadap orang sekitarnya dan
sebagainya.
4. Dampak Konsumen Terhadap Produsen
Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen mengganggu fungsi produksi
suatu produsen atau kelompok produsen tertentu. Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah
rumahtangga terbuang ke aliran sungai dan mencemarinya sehingga menganggu perusahaan tertentu
yang memanfaatkan air baik oleh ikan (nelayan) atau perusahaan yang memanfaatkan
air bersih.Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan tentang konsep eksternalitas dalam dua
pengertian yang berbeda :
1. Eksternalitas yang bisa habis (a deplatable externality) yaitu suatu dampak eksternal yang
mempunyai ciri barang individu (private good or bad) yang mana jika barang itu dikonsumsi
oleh seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain.
2. Eksternalitas yang tidak habis (an udeplatable externality) adalah suatu efek eksternal yang
mempunyai ciri barang publik (public goods) yang mana barang tersebut bisa dikonsumsi
oleh seseorang, dan juga bagi orang lain. Dengan kata lain, besarnya konsumsi seseorang
akan barang tersebut tidak akan mengurangi konsumsi bagi yang lainnya.
Dari dua konsep eksternalitas ini, eksternalitas jenis kedua merupakan masalah pelik dalam ekonomi
lingkungan. Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan
suara merupakan contoh eksternalitas jenis yang tidak habis, yang memerlukan instrumen ekonomi
untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi.
B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS
Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip
ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan
ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang
efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumber daya publik, ketidaksempurnaan pasar,
kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemilikan atau pengusahaan
sumber daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik,
maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan

memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang.
Bagaimana mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari alokasi sumber daya sebagai
akibat dari adanya faktor diatas diuraikan satu per satu berikut ini.

1. Keberadaan Barang Publik
Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan
mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Selanjutnya, barang publik sempurna (pure
public good) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang
sama terhadap seluruh anggota masyarakat.
Kajian ekonomi sumber daya dan lingkungan salah satunya menitikberatkan pada persoalan barang
publik atau barang umum ini (common consumption, public goods, common property resources). Ada
dua ciri utama dari barang publik ini. Pertama, barang ini merupakan konsumsi umum yang dicirikan
oleh penawaran gabungan (joint supply) dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in
consumption). Ciri kedua adalah tidak ekslusif (non-exclusion) dalam pengertian bahwa penawaran
tidak hanya diperuntukkan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya. Barang publik yang
berkaitan dengan lingkungan meliputi udara segar, pemandangan yang indah, rekreasi, air bersih,
hidup yang nyaman dan sejenisnya.
Satu-satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai moneter)
terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi bidang privat (dagang) sehingga benefit yang
diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mengendalikan atau memperbaiki kualitas lingkungan itu
sendiri. Tapi dalam menetapkan harga ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi
lingkungan. Karena ciri-cirinya diatas, barang publik tidak diperjualbelikan sehingga tidak memiliki
harga, barang publik dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk melestarikannya.
Masyarakat atau konsumen cenderung acuh tak acuh untuk menentukan harga sesungguhnya dari
barang publik ini. Dalam hal ini, mendorong sebagain masyarakat sebagai “free rider”. Sebagai
contoh, jika si A mengetahui bahwa barang tersebut akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau
membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh
si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang
itu akan disediakan oleh si B. Jika akhirnya si B berkeputusan untuk menyediakan barang tersebut,
maka si A bisa ikut menikmatinya karena tidak seorangpun yang bisa menghalanginya untuk
mengkonsumsi barang tersebut, karena sifat barang publik yang tidak ekslusif dan merupakan
konsumsi umum. Keadaan seperti ini akhirnya cenderung mengakibatkan berkurangnya insentif atau
rangsangan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang publik.
Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup besar untuk membiayai penyediaan
barang publik yang efisien, karena masyarakat cenderung memberikan nilai yang lebih rendah dari
yang seharusnya (undervalued).
2. Sumber Daya Bersama
Keberadaan sumber daya bersama–SDB (common resources) atau akses terbuka terhadap sumber
daya tertentu ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan barang publik diatas.Sumber-sumber daya

milik bersama, sama halnya dengan barang-barang publik, tidak ekskludabel. Sumber-sumber daya ini
terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan Cuma-Cuma. Namun tidak seperti barang
publik, sumber daya milik bersama memiliki sifat bersaingan. Pemanfaatannya oleh seseorang, akan
mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan sumber daya
milik bersama ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang
efisien. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus SDB ini adalah seperti yang
diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang dikenal dengan istilah Tragedi Barang Umum (the Tragedy of
the Commons).
TRAGEDI BARANG UMUM
Andaikanlah anda hidup di sebuah kota kecil di abad pertengahan. Dari sekian banyak kegiatan
ekonomi yang berlangsung di kota itu, yang paling menonjol adalah pemeliharaan domba. Banyak
keluarga di kota itu yang mengandalkan asap dapurnya, dari pemeliharaan domba yang mereka ambil
bulunya ( wol ) untuk dijual sebagai bahan pakaian.
Domba-domba itu dilepas begitu saja di lahan rumput penggembalaan yang mengelilingi Kota Umum.
Tidak ada yang memiliki lahan tersebut, bahkan lahan itu sudah dianggap milik bersama, sehingga
setiap orang bisa melepas kawanan dombanya ke sana untuk memakan rumputnya. Selama ini
kepemilikan bersama itu tidak menimbulkan masalah. Selama setiap orang bisa memperoleh sebidang
lahan untuk menggembalakan dombanya, Kota Umum itu tidak bersifat bersaingan. Siapa saja bisa
memanfaatkannya tanpa biaya. Pokoknya tidak ada masalah.
Lambat laun, seiring dengan waktu, jumlah penduduk dan jumlah domba di Kota Umum terus
bertambah, sedangkan lahan penggembalaan tidak bertambah luas. Karena jumlah domba yang
memakan rumputnya sedemikian banyak, pada akhirnya padang rumput itu kehilangan kemampuan
dan kesempatan untuk memulihkan diri. Belum sempat rumput baru tumbuh, sudah ada banyak
domba yang menunggunya, sehingga pada akhirnya padang rumput itu pun menjadi padang gersang.
Tanpa rumput, tidak mungkin pemeliharaan domba secara masal berlangsung terus. Jumlah domba
pun segera menyusut, dan pada gilirannya Industri wol di kota Umum juga ditutup. Banyak keluarga
di kota itu yang kehilangan mata pencaharian.
Apa sesungguhnya yang menimbulkan tragedi itu ? Mengapa penduduk membiarkan populasi domba
bertambah begitu cepat sehingga justru menghancurkan lahan penggembalaan Kota Umum ?
Jawabannya bersumber pada perbedaan antara insentif pribadi dan insentif sosial. Pencegahan padang
rumput di Kota Umum berubah menjadi padang pasir hanya dapat terjadi jika semua pemilik domba
bekerja sama mengupayakan hal itu secara kolektif. Hanya dengan kerja sama, para pemilik domba
itu dapat mengatur keseluruhan populasi hewan ternaknya agar tidak melebih daya dukung padang.
Rumput itu. Namun secara individual, masing-masing keluarga pemilik domba tidak memiliki insentif
untuk memulai usaha mulia tersebut, karena mereka, secara individual hanya merupakan bagian dari
seluruh penduduk pemilik domba. Disamping itu jika tidak diikuti oleh yang lain, kesadaran suatu
keluarga untuk membatasi jumlah dombanya juga tidak akan ada gunanya.
Pada intinya, Tragedi Barang Umum terjadi akibat adanya masalah eksternalitas. Pada saat sebuah
keluarga mengiring domba-dombanya ke padang rumput itu, maka kesempatan keluarga lain untuk
melakukan hal yang sama menjadi berkurang. Mengingat masing-masing keluarga mengabaikan
dampak eksternal dalam memutuskan jumlah domba yang hendak dipelihara, maka pada akhirnya
jumlah domba secara keseluruhan menjadi terlalu banyak.

Jika mau berpikir lebih panjang, penduduk Kota Umum sebenarnya bisa mencegah terjadinya tragedi
itu. Mereka bisa berembug bersama untuk menentukan jumlah maksimal domba yang yang dapat
dipelihara oleh setiap keluarga. Atau, mereka bisa menginternalisasikan eksternalitas itu, dengan cara
mengenakan pajak kepemilikkan domba, atau menerbitkan dan melelang izin penggembalaan
terbatas. Artinya, penduduk kota di abad pertengahan itu bisa mngatasi masalah pemanfaatan padang
rumput secara berlebihan, dengan cara seperti yang ditempuh masyarakat modern untuk memecahkan
persoalan polusi.
Bahkan sebenarnya ada solusi yang lebih sederhana untuk Kota Umum. Mereka dapat membagi-bagi
lahan penggembalaan itu kepada masing-masing keluarga. Setia keluarga mendapat sebidang
lahannya sendiri. Dengan cara ini, status padang rumput akan berubah dari sumber daya milik
bersama menjadi barang pribadi, sehingga masing-masing keluarga akan berusaha agar lahannya terus
ditumbuhi rumput secara berkesinambungan. Para pendatang juga tidak akan ikut memelihara dombadomba baru, karena lahan penggembalaannya sudah habis terbagi. Dalam kenyataannya, hal inilah
yang terjadi di Inggris pada abad ketujuhbelas.
Ada satu pelajaran penting yang terkandung dalam kisah Tragedi Barang Umum ini, yakni pada saat
seseorang memanfaatkan suatu sumber daya milik bersama, pada saat itu pula ia mengurangi
kesempatan bagi orang lain untuk melakukan tindakan serupa. Akibat adanya eksternalitas negatif,
pemanfaatan setiap sumber daya milik bersama selalu cenderung berlebihan. Untuk mengatasi
masalah ini, pemerintah dapat menerapkan regulasi atau memberlakukan pajak. Atau, pemerintah bisa
mengubah sumber daya milik bersama itu menjadi barang swasta.
Pelajaran dasar ini ternyata sudah diketahui sejak ribuan tahun yang lampau. Filsuf Yunani kuno,
Aristoteles, pernah mengutarakan masalah yang terkandung dalam sumber daya milik bersama : “Apa
yang diperuntukkan bagi orang banyak, tidak akan dipelihara secara memadai, karena semua orang
mengutamakan kepentingannya sendiri dibanding kepentingan orang lain”.
3. Ketidaksempurnaan Pasar
Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu partisipan didalam suatu tukar manukar hakhak kepemilikan (property rights) mampu mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa
terjadi pada pasar yang tidak sempuna (Inperfect Market) seperti pada kasus monopoli (penjual
tunggal).
Ketidaksempurnaan pasar ini misalnya terjadi pada praktek monopoli dan kartel. Contoh konkrit dari
praktek kartel ini adalah Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dengan memproduksi
dalam jumlah yang lebih sedikit sehingga mengakibatkan meningkatknya harga yang lebih tinggi dari
normal. Pada kondisi yang demikian akan hanya berakibat terjadinya penignkatan surplus produsen
yang nilainya jauh lebih kecil dari kehilangan surplus konsumen, sehingga secara keseluruhan,
praktek monopoli ini merugikan masyarakat (worse-off).
4. Kegagalan Pemerintah
Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga
karena kegagalan pemerintah (government failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan
kepentinan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups) yang tidak mendorong
efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking)

melalui proses politik, melalui kebijaksanaan dan sebagainya. Aksi pencarian keuntungan (rent
seeking) bisa dalam berbagai bentuk :
1. Kelompok yang punya kepentingan tertentu (interest groups) melakukan loby dan usahausaha lain yang memungkinkan diberlakukannya aturan yang melindungi serta
menguntungkan mereka
2. Praktek mencari keuntungan bisa juga berasal dari pemerintah sendiri secara sah misalnya
memberlakukan proteksi berlebihan untuk barang-barang tertentu seperti menegnakan pajak
impor yang tinggi dengan alasan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam negeri.
3. Praktek mencari keuntungan ini bisa juga dilakukan oleh aparat atau oknum tertentu yang
emmpunyai otoritas tertentu, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan bisa memberikan
uang jasa atau uang pelicin untuk keperluan tertentu, untuk menghindari resiko yang lebih
besar kalau ketentuan atau aturan diberlakukan dengan sebenarnya. Praktek mencari
keuntungan ini membuat alokasi sumber daya menjadi tidak efisien dan pelaksanaan atuanaturan yang mendorong efisiensi tidak berjalan dengan semestinya. Praktek jenis ini bisa
mendorong terjadinya eksternalitas. Sebagi contoh, Perusahaaan A yang mengeluarkan
limbah yang merusak lingkungan. Berdasarkan perhitungan atau estimasi perusahaan A harus
mengeluarkan biaya (denda) yang besar (misalnya Rp. 1 milyar) untuk menanggulangi efek
dari limbah yang dihasilkan itu. Pencari keuntungan (rent seeker) bisa dari perusahaan itu
sendiri atau dari pemerintah atau oknum memungkinkan membayar kurang dari 1 milyar agar
peraturan sesungguhnya tidak diberlakukan, dan denda informal ini belum tentu menjadi
revenue pemerintah. Sehingga akhirnya dampak lingkungan yang seharusnya diselidiki dan
ditangani tidak dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya menjadi bertambah
serius dari waktu ke waktu.

EKSTERNALITAS DAN INEFISIENSI PASAR
Pada bagian ini kita akan memakai perangkat-perangkat analisis yang menelaah bagaimana
eksternalitas mempengaruhi kesejahteraan ekonomi. Analisis yang kita lakukan di sini akan
menunjukkan secara jelas, mengapa eksternalitas menyebabkan pasar mengalokasikan sumber-sumber
secara tidak efisien.

Untuk memperjelas gambarannya, kita perlu mengambil sebuah pasar tertentu, sebagai contoh kasus.
Kita ambil saja pasar aluminium. Gambar 1-1 memperlihatkan kurva-kurva penawran dipasar
aluminium tersebut.Kita mengingat kembali, bahwa kurva penawaran dan kurva permintaan
mengandung informasi-informasi penting tentang biaya dan keuntungan (cost and benefit). Kurva
permintaan aluminium mencerminkan nilai aluminium bagi para pembelinya, dan nilai itu dihitung
berdasarkan harga yang mau mereka bayarkan. Pada setiap kuantitas, ketinggian kurva permintaan
menunjukkan kesediaan membayar para konsumen marginal. Dengan kata lain, kurva-kurva tersebut
menunjukkan biaya yang dipikul produsen marginal. Dengan kata lain, kurva tersebut menunjukkan
nilai atas unit terakhir aluminium yang dijual.Jika sama sekali tidak ada intervensi pemerintah, maka
harga aluminium akan bergerak secara bebas menyesuaikan diri dalam rangka menyeimbangkan
permintaan dan penawarannya. Kuantitas yang diproduksi dan dikonsumsi pada ekuilibrium pasar
(diperlihatkan sebagai QPASAR Pada Gambar 1-1) dapat dikatakan efisien, karena kuantitas tersebut
memaksimalkan surplus produsen dan surplus konsumen. Dalam kondisi tersebut, pasar mampu
mengalokasikan segenap sumber daya sedemikian rupa, sehingga memaksimalkan nilai total
konsumen yang membeli dan memakai aluminium minus biaya total produsen yang membuat dan
menjual aluminium tersebut.

A. EKSTERNALITAS DALAM PRODUKSI
Perhatikanlah, bahwa dalam melangsungkan kegiatan produksinya, pabrik-pabrik aluminium itu
menimbulkan polusi. Untuk setiap aluminium yang mereka produksi, sejumlah asap kotor yang
mengotori atmosfer tersembur dari tanur pabrik-pabrik tersebut. Karena asap itu membahayakan
kesehatan siapa saja yang menghirupnya, maka asap itu merupakan eksternalitas negatif dalam
produksi aluminium. Bagaimana pengaruh eksternalitas negatif ini terhadap efisiensi hasil kerja
pasar ?
Akibat adanya eksternalitas tersebut, biaya yang harus dipikul masyrakat yang bersangkutan secara
keseluruhan dalam memproduksi aluminium lebih tinggi dari pada biaya yang dipikul oleh
produsennya. Biaya sosial (social sost) untuk setiap unit aluminium yang diproduksikan, mencakup
biaya produksi yang dipikul produsen – biasa disebut “biaya pribadi” (private cost) – plus biaya yang
harus ditanggung oleh pihak lain yang ikut mengalami kerugian akibat polusi. Gambar 1-2
menunjukkan besarnya biaya sosial produksi aluminium. Kurva biaya sosial itu berada diatas kurva
penawaran, karena di dalamnya tercakup pula biaya-biaya eksternal yang ditimpakan ke pundak
masyarakat oleh para produsen aluminium. Nilai atas selisih atau jarak antara kedua kurva itulah yang
mencerminkan biaya atau jumlah kerugian akibat polusi dari proses produksi aluminium.
Berapa banyak aluminium yang harus diproduksi (agar mencukupi kebutuhan aluminium, sekaligus
tidak terlalu banyak menimbulkan polusi) ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, sekali lagi kita perlu membayangkan apa yang akan dilakukan oleh
si pejabat pemerintah yang serba kuasa. Si pejabat ini ingin memaksimalkan surplus total yang
dimunculkan pasar- yakni nilai bagi konsumen aluminium dikurangi biaya produksi aluminium.
Namun ia juga mengetahui bahwa biaya produksi aluminium juga mencakup biaya-biaya eksternal
seperti halnya polusi.
Perencana itu ingin mencapai tingkat produksi aluminium yang yang dilambangkan oleh titik
perpotongan antara kurva permintaan dan kurva biaya sosial. Titik perpotongan inilah yang
melambangkan jumlah produksi aluminium yang optimum bagi masyarakat secara keseluruhan. Si

pejabat memang harus mencapai tingkat produksi itu, karena jika produksi ternyata dibawah tingkat
itu, maka nilai aluminium bagi konsumennya (diukur oleh ketinggian kurva permintaan) akan
melampaui biaya sosial produksinya (diukur oleh ketinggian kurva biaya sosial). Seandainya saja hal
ini benar-benar terjadi, maka toleransi terhadap kelebihan produksi seperti polusi itu akan lebih besar
sehingga polusi akan cenderung meningkat atau bahkan tidak terkendali. Sebaliknya, jika produksi
melebihi tingkat optimum tersebut, maka biaya sosial produksi aluminium akan melebihi nilainya
bagi konsumen. Andaikan hal ini yang terjadi, maka permintaan akan melemah, dan harga akan turun
sehingga biaya produksi aluminium menjadi terlalu berat bagi produsen.
Perhatikanlah bahwa kuantitas produksi aluminium pada kondisi ekuilibrium, yakni QPASAR lebih
besar dari pada kuantitas produksi yang secara sosial optimum atau QOPTIMUM Ini merupakan
inefisiensi, dan penyebabnya adalah kuantitas produksi dalam kondisi ekuilibrium pasar itu hanya
mencerminkan biaya produksi pribadi (yang hanya ditanggung produsen). Dalam ekuilibrium pasar
tersebut, nilai aluminium bagi konsumen marginal lebih rendah dari pada biaya sosial produksinya.
Artinya, pada QPASAR kurva permintaan terletak dibawah biaya kurva sosial. Pada situasi ini,
penurunan konsumsi dan produksi aluminium hingga dibawah tingkat ekuilibriumnya, justru akan
menikkan kesejahteraan ekonomi total (baik bagi konsumen maupun produsen).
Lalu bagaimana tingkat produksi optimum itu bisa dicapai ? Salah satu caranya adalah dengan
mengenakan pajak kepada para produsen, atas setiap ton aluminium yang mereka jual. Pajak ini akan
menggeser kurva penawaran aluminium ke atas, sebanyak besaran pajaknya. Jika pajak itu sesuai
dengan nilai kerugian akibat asap, maka posisi kurva penawaran itu akan bersesuaian dengan kurva
biaya sosial. Maka akan tercipta ekuilibrium baru di pasar, di mana tingkat produksi yang dilakukan
para produsen akan optimum secara sosial.
Pengenaan pajak yang tepat itu dikatakan mampu menciptakan internalisasi eksternalitas
(internalizing an externality), karena pajak tersebut memberi para konsumen dan produsen suatu
insentif untuk memperhitungkan dampak-dampak eksternal dari tindakan-tindakan mereka. Produsen
akan terdorong untuk menghitung biaya penanggulangan polusi sebagai bagian dari biaya produksi,
sebelum mereka memutuskan kuantitas aluminium yang akan mereka produksikan (artinya mereka
juga berusaha membatasi polusi yang ditimbulkan oleh proses produksinya, karena mereka harus
membayar pajak atas setiap polusi yang tidak dikendalikan.
Meskipun banyak pasar dimana biaya sosial produksinya melebihi biaya pribadi, ada pula pasar-pasar
yang justru sebaliknya, yakni biaya pribadi para produsen malahan lebih besar dari pada biaya
sosialnya. Di pasar inilah, eksternalitasnya bersifat positif, dalam arti menguntungkan pihak lain
(selain produsen dan konsumen). Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah pasar robot industri
(robot yang khusus dirancang untuk melakukan kegiatan atau fungsi tertentu di pabrik-pabrik).
Robot adalah ujung tombak kemajuan teknologi yang mutakhir. Sebuah perusahaan yang mampu
membuat robot, akan berkesempatan besar menemukan rancangan-rancangan rekayasa baru yang
serba lebih baik. Rancangan ini tidak hanya akan menguntungkan perusahaan yang bersangkutan,
namun juga masyarakat secara keseluruhan karena pada akhirnya rancangan itu akan menjadi
pengetahuan umum yang bermanfaat. Eksternalitas positif seperti ini biasa disebut “imbasan
teknologi” (technology spillover).

Analisis atas eksternalitas positif tidak banyak berbeda dari analisis tentang eksternalitas negatif.
Gambar 1-3 memperlihatkan pasar robot. Berkat adanya imbasan teknologi, biaya sosial untuk
memproduksi sebuah robot lebih kecil dari pda biaya pribadinya. Oleh karena itu, pemerintah tentu
saja ingin lebih banyak memproduksi robot dibanding produsernya sendiri.Dalam kasus ini,
pemerintah dapat membantu dengan melakukan internalisasi eksternalitas positif tersebut. Caranya
misalnya dengan memberikan subsidi untuk setiap unit robot yang dibuat. Melalui subsidi ini, kurva
penawaran akan terdorong ke bawah sebesar subsidi, dan pergeseran ini akan menaikkan ekuilibrium
kuantitas produksi robot.Agar ekuilibrium pasar yang baru itu sama dengan titik optimum sosial,
maka subsidinya harus diusahakan sama dengan nilai imbasan teknologi.

EKSTERNALITAS DALAM KOMSUMSI
Sejauh ini, eksternalitas yang telah kita bahas hanya eksternalitas yang berkaitan dengan kegiatan
produksi. Selain itu masih ada eksternalitas yang terkandung dalam kegiatan konsumsi. Konsumsi
minuman beralkohol, misalnya, mengandung eksternalitas negatif jika si peminum lantas
mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk atau setengah mabuk, sehingga membahayakan pemakai
jalan lainnya. Eksternalitas dalam konsumsi ini juga ada yang bersifat positif. Contohnya adalah
konsumsi pendidikan. Semakin banyak orang yang terdidik, masyarakat atau pemerintahnya akan
diuntungkan. Pemerintah akan lebih mudah merekrut tenaga-tenaga cakap, sehingga pemerintah lebih
mampu menjalankan fung