Membelajarkan Siswa Membelajarkan Siswa Membelajarkan Siswa

MEMBELAJARKAN SISWA

1.

Pengertian Belajar
Belajar merupakan sebuah proses yang kompleks yang terjadi pada
semua orang dan berlangsung seumur hidup,sejak dia masih bayi (bahkan
dalam kandungan) hingga ke liang lahat nanti. Salah satu pertanda bahwa
seseorang telah belajar sesuatu adalah adanya perubahan tingkah laku dalam
dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut menyangkut baik perubahan yang
bersifat pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor) maupun yang
menyangkut nilai dan sikap (afektif). Kalau sebelumnya Pandu tidak tahu
nama dan letak ibukota provinsi Banten, dan sekarang sebagai siswa SD dia
dapat menyebutkan nama dan menunjukkan letak ibukota provinsi tersebut,
maka kita katakan siswa SD itu telah belajar. Begitu pula halnya kalau dia
sebelumnya tak dapat menulis angka 1 s.d 10 dan sekarang dapat
menuliskannya dengan lancar, baik dan benar. Begitu pula Mirna, sebelum
kursus komputer, dia tak dapat mengoperasikan komputer, sekarang dengan
lancar dan mahir dia dapat menggunakannya. Atau si Koko, dulu dia tidak
tahu siapa R.A.Kartini, sekarang dia tahu dan sangat kagum serta menghargai
perjuangan serta jasa-jasanya. Koko telah belajar karena ada perubahan baik

dalam pengetahuan maupun sikapnya.
Berikut ini beberapa perspektif para ahli tentang pengertian belajar:
1) Dalam The Guidance of Learning Activities W.H. Burton (1984)
Mengemukakan bahwa belajar adalah proses perubahan
tingkah laku pada diri individu karena adanya interaksi antara
individu dengan individu

dan individu dengan lingkungannya

sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya.
2) Sementara Ernest R. Hilgard dalam Introduction to Psychology
Mendefinisikan belajar sebagai suatu proses perubahan
kegiatan, reaksi terhadap lingkungan.
3) H.C. Witherington dalam Educational Psychology
1

Menjelaskan pengertian belajar sebagai suatu perubahan di
dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru
dari reaksi berupa kecakapan, sikap, kebiasaan kepribadian atau
suatu pengertian. Gage Berlinger mendefinisikan belajar sebagai

suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai
akibat dari pengalaman.
4) Harold Spears
Mengemukakan pengertian belajar dalam perspektifnya yang
lebih detail. Menurut Spears learning is to observe, to read, to
imitate, to try something them selves, to listen, to follow direction
(Belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu
pada dirinya sendiri, mendengar dan mengikuti aturan.
5) Sementara Singer (1968)
Mendefinisikan belajar sebagai perubahan perilaku yang
relatif tetap yang disebabkan praktek atau pengalaman yang sampai
dalam situasi tertentu.
6) Gagne (1977)
Pernah mengemukakan perspektifnya tentang belajar. Salah
satu definisi belajar yang cukup simple namun mudah diingat
adalah yang dkemukakan oleh Gagne:

“Learning is relatively

permanent change in behavior that result from past experience or

purposeful instruction”. Belajar adalah suatu perubahan perilaku
yang relatif menetap yang dihasilkan dari pengalaman masa lalu
ataupun

dari

pembelajaran

yang

bertujuan/

direncanakan.

Pengalaman diperoleh individu dalam interaksinya dengan
lingkungan, baik

yang tidak direncanakan maupun yang

direncanakan, sehingga menghasilkan perubahan yang bersifat

relatif menetap.
Belajar adalah sebuah proses yang kompleks yang di dalamnya
terkandung beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut adalah (1) bertambahnya
jumlah pengetahuan, (2) adanya kemampuan mengingat dan mereproduksi,
(3) ada penerapan pengetahuan, (4) menyimpulkan makna, (5) menafsirkan

2

dan mengaitkannya dengan realitas, dan (6) adanya perubahan sebagai
pribadi. Dari berbagai perspektif pengertian belajar sebagaimana dijelaskan di
atas maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental
(psikis)

yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungannya yang

menghasilkan perubahan yang bersifat relatif konstan.
Ada sebagian kalangan mempertanyakan jika belajar ada korelasinya
dengan perubahan, lalu apakah semua jenis perubahan adalah hasil belajar?
Tentu saja tidak semua perubahan tingkah laku dapat kita sebut belajar. Iwan
si pendiam, sejam yang lalu diajak kawan-kawannya masuk ke sebuah rumah

makan. Sekarang dia keluar dengan banyak bicara, tertawa-tawa berceloteh
tak karuan dan gontai jalannya. Perubahan tingkah laku siswa kelas III SMA
tersebut bukan karena proses belajar, tapi akibat minuman keras yang
mengganggu syaraf pengontrol kesadarannya. Atau sebaliknya Tati yang ceria
itu tiba-tiba menjadi pendiam dan pemurung karena penyakit yang
dideritanya. Perubahan tingkah laku ini bukan pula karena proses belajar.
Begitu pula dengan Achmad yang menginjak remaja, tiba-tiba suaranya
menjadi bertambah berat. Perubahan ini bukan pula karena proses belajar
tetapi karena proses pertumbuhan fisik.
Kalau kita simpulkan, seseorang telah belajar kalau terdapat
perubahan tingkah laku dalam dirinya. Perubahan tersebut terjadi sebagai
akibat interaksi dengan lingkungannya, tidak karena pertumbuhan fisik atau
kedewasaan, tidak karena kelelahan, penyakit atau pengaruh obat-obatan.
Kecuali itu perubahan tersebut haruslah bersifat relative permanen, tahan
lama dan menetap, tidak berlangsung sesaat saja.
Dengan memahami kesimpulan di atas setidaknya belajar memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
1) Adanya kemampuan baru atau perubahan . Perubahan tingkah laku
bersifat


pengetahuan

(kognitif),

keterampilan

(psikomotor),

maupun nilai dan sikap (afektif).

3

2) Perubahan itu tidak berlangsung sesaat saja melainkan menetap
atau dapat disimpan.
3) Perubahan itu tidak terjadi begitu saja melainkan harus dengan
usaha. Perubahan terjadi akibat interaksi dengan lingkungan.
4) Perubahan tidak semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan
fisik/kedewasaan, tidak karena kelelahan, penyakit atau pengaruh
obat-obatan.
Jenis Belajar Menurut Gagne

Manusia memiliki beragam potensi, karakter, dan kebutuhan dalam
belajar. Karena itu banyak tipe-tipe belajar yang dilakukan manusia. Gagne
mencatat ada delapan tipe belajar:
1. Belajar isyarat (signal learning). Menurut Gagne, ternyata tidak
semua reaksi spontan manusia terhadap stimulus sebenarnya tidak
menimbulkan respon. Dalam konteks inilah signal learning terjadi.
2. Belajar stimulus respon. Belajar tipe ini memberikan respon yang
tepat terhadap stimulus yang diberikan. Reaksi yang tepat diberikan
penguatan (reinforcement) sehingga terbentuk perilaku tertentu
(shaping).
3. Belajar merantaikan (chaining). Tipe ini merupakan belajar dengan
membuat gerakan-gerakan motorik sehingga akhirnya membentuk
rangkaian gerak dalam urutan tertentu.
4. Belajar asosiasi verbal (verbal association). Tipe ini merupakan
belajar menghubungkan suatu kata dengan suatu obyek yang
berupa benda, orang atau kejadian dan merangkaikan sejumlah
kata dalam urutan yang tepat
5. Belajar membedakan (discrimination). Tipe belajar ini memberikan
reaksi yang berbeda-beda pada stimulus yang mempunyai
kesamaan.

6. Belajar konsep (concept learning).Belajar mengklasifikasikan
stimulus, atau menempatklan obyek-obyek dalam kelompok
tertentu ysng membentuk suatu konsep. (Konsep: satuan arti yang
mewakili sejumlah obyek yang memiliki kesamaan ciri).

4

7. Belajar dalil (rule learning). Tipe ini merupakan tipe belajar untuk
menghasilkan aturan atau kaidah yang terdiri dari penggabungan
beberapa konsep. Hubungan antara konsep biasanya dituangkan
dalam bentuk kalimat.
8. Belajar memecahkan masalah (problem solving). Tipe ini
merupakan tipe belajar yang menggabungkan beberapa kaidah
untuk memecahkan masalah, sehingga terbentuk kaedah yang lebih
tinggi (higher order rule).
Selain delapan jenis belajar, Gagne juga membuat semacam
sistematika jenis belajar. Menurutnya sistematika tersebut mengelompokan
hasil-hasil belajar yang mempunyai ciri-ciri sama dalam satu kategori.
Kelima hal tersebut adalah :
1. Keterampilan intelektual: kemampuan seseorang untuk berinteraksi

dengan lingkungannya dengan mengunakan simbol huruf, angka,
kata atau gambar.
2. Informasi verbal: seseorang bealajar menyatakan atau menceritakan
suatu fakta atau suatu peristiwa secara lisan atau tertulis, termasuk
dengan cara menggambar.
3. Strategi kognitif: kemampuan seseorang untuk mengatur proses
belajarnya sendiri, mengingat dan berfikir.
4. Keterampilan motorik: seseorang belajar melakukan gerakan secara
teratur dalam urutan tertentu (organized motor act). Ciri khasnya
adalah otomatisme, yaitu gerakan berlangsung secara teratur dan
berjalan dengan lancar dan luwes.
5. Sikap: keadaan mental yang mempengaruhi seseorang untuk
melakukan pilihan-pilihan dalam bertindak.

Jenis Belajar Menurut Bloom
Benyamin S Bloom (1956) adalah ahli pendidikan yang terkenal
sebagai pencetus konsep taksonomi belajar. Taksonomi belajar adalah

5


pengelompokan tujuan belajar berdasarkan domain atau kawasan belajar.
Menurut Bloom ada tiga domain belajar, yaitu:
a) Cognitive Domain (kawasan kognitif)
Perilaku yang merupakan proses berfikir atau perilaku yang
termasuk hasil kerja otak. Beberapa contoh berikut bisa termasuk
kawasan kognitif: menyebutkan definisi manajemen, membedakan
fungsi meja dan kursi, menggambarkan kegiatan proyek dengan
PERT, menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus,
menyusun desian instruksional, dll.
Beberapa kemampuan kognitif tersebut dapat disebutkan
antara lain (1) pengetahuan, tentang suatu materi yang telah
dipelajari, (2) pemahaman, memahami makna materi, (3) aplikasi
atau

penerapan penggunaan materi atau aturan teoritis yang

prinsip, (4) analisa, sebuah
menggunakan

kemampuan


proses analisis teoritis dengan
akal,

(5)

sintesa,

kemampuan

memadukan konsep sehingga menemukan konsep baru, (6)
evaluasi, kemampuan melakukan evaluatif atas penguasaan materi
pengetahuan.

Bila digambarkan dalam bentuk matriks, maka taksonomi Bloom yang
direvisi oleh Anderson Dalam Revised Taxonomy.
Anderson dan Krathwohl (2001), melakukan revisi pada kawasan
kognitif, ada 2 kategori yaitu kategori dimensi proses kognitif dan dimensi
pengetahuan.
Pada dimensi proses kognitif, ada enam jenjang tujuan belajar yakni :
1. Mengingat: Meningkatkan ingatan atas materi yang disajikan dalam
bentuk yang sama seperti yang diajarkan
2. Mengerti: mampu membangun arti dari pesan pembelajaran, termasuk
komunikasi lisan, tulsan maupun grafis.
6

3. Memakai: menggunakan prosedur untuk mengerjakan latihan maupun
memecahkan masalah.
4. Menganalisis: memecah bahan2 kedalam unsur2 pokoknya & menentukan
bagaimana bagian2 saling berhubungan satu sama lain & kepada
keseluruhan struktur.
5. Menilai: membuat pertimbangan berdasarkan kriteria dan standar tertentu.
6. Mencipta: membuat suatu produk yang baru dengan mengatur kembali
unsur2 atau bagian2 ke dalam suatu pola atau struktur yang belum pernah
ada sebelumnya.
Pada dimensi pengetahuan ada empat kategori yaitu:
1. Fakta (factual knowledge): berisi unsur2 dasar yang harus dikethui siswa
jika mereka akan diperkenalkan dengan satu mata pelajaran tertentu atau
untuk memecahkan suatu masalah tertentu (low level abstraction)
2. Konsep (conceptual knowledge): meliputi skema, model mental atau teori
dalam berbagai model psikologi kognitif.
3. Prosedur (procedural knowledge): pengetahuan tentang bagaimana
melakukan sesuatu, biasanya berupa seperangkat urutan atau langkah2
yang harus diikuti.
4. Metakognitif

(metacognitive

knowledge):

Pengetahuan

tentang

pemahaman umum, seperti kesadaran tentang sesuatu & pengetahuan
tentang pemahaman pribadi seseorang.
b) Affective Domain (kawasan afektif):
Perilaku yang dimunculkan seseorang sebagai pertanda
kecenderungannya untuk membuat pilihan atau keputusan untuk
beraksi di dalam lingkungan tertentu. Beberapa contoh berikut
termasuk kawasan afektif: mengganggukkan kepala sebagai tanda
setuju,

meloncat

dengan

muka

berseri-seri

sebagai

tanda

7

kegirangan, pergi ke gereja atau masjid sebagai perilaku orang
beriman kepada Tuhan YME.
Kawasan afektif menurut Krathwohl, Bloom dan Masia
(1964), meliputi tujuan belajar yang berkenaan dengan minat, sikap
dan nilai serta pengembangan penghargaan dan penyesuaian diri.
Kawasan ini dibagi dalam lima jenjang tujuan , yaitu:
1) Penerimaan (receiving): meliputi kesadaran akan adanya
suatu sistem nilai, ingin menerima nilai, dan memperhatikan
nilai tersebut, misalnya siswa menerima sikap jujur sebagai
sesuatu yang diperlukan.
2) pemberian respon (responding): meliputi sikap ingin
merespon terhadap sistem, puas dalam memberi respon,
misalnya bersikap jujur dalam setiap tindakannya
3) pemberian nilai atau penghargaan (valuing): penilaian
meliputi penerimaan terhadap suatu system nilai, memilih
system nilai yang disukai dan memberikan komitmen untuk
menggunakan system nilai tertentu, misalnya jika sesorang
telah menerima sikap jujur, ia akan selalu komit dengan
kejujuran, menghargai orang-orang yang bersikap jujur dan
ia juga berperilaku jujur
4) pengorganisasian (organization): meliputi memilah dan
menghimpun system nilai yang akan digunakan, misalnya
berperilaku jujur ternyata berhubungan dengan nilai-nilai
yang lain seperti kedisiplinan, kemandirian, keterbukaan
dan lain-lain
5) karakterisasi

(characterization):

karakteristik

meliputi

perilaku secara terus menerus sesuai dengan sistem nilai
yang telah diorganisasikannya, misalnya karakter dan gaya
hidup seseorang sehingga ia dikenal sebagai pribadi yang
jujur; keteraturan pribadi, sosial dan emosi seseorang
sehingga dikenal sebagai orang yang bijaksana.

8

c) Psychomotor Domain (kawasan psikomotor):
Perilaku yang dimunculkan oleh hasil kerja fungsi tubuh
manusia. Domain ini berbentuk gerakan tubuh, antara lain seperti
berlari, melompat, melempar, berputar, memukul, menendang, dll.
Dave (1970), mengemukakan lima jenjang tujuan belajar pada
ranah psikomotor, kelima jenjang tujuan tersebut adalah:
1) meniru: kemampuan mengamati suatu gerakan agar dapat
merespon,
2) menerapkan: kemampuan mengikuti pengarahan, gerakan
pilihan dan pendukung dengan membayangkan gerakan
orang lain,
3) memantapkan: kemampuan memberikan respon yang
terkoreksi

atau

respon

dengan

kesalahan-kesalahan

terbatas/minimal,
4) merangkai: koordinasi rangkaian gerak dengan membuat
aturan yang tepat,
5) naturalisasi: gerakan yang dilakukan secara rutin dengan
menggunakan energi fisik dan psikis yang minimal.
9.

Belajar dan Penerimaan Informasi
Cara belajar ini merupakan kecenderungan yang sangat individual,
namun dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok besar yaitu : visual,
auditori, dan kinestetik. Dengan mengenal cara belajar ini kita maka dapat
dipilih strategi yang memanfaatkan keunggulan cara belajar tersebut sehingga
dapat diperoleh yang efektif.
Strategi untuk cara belajar visual:
a. Ciptakan memori visual dari bahan-bahan yang ada dengan
menandai

gagasan-gagasan

penting

(termasuk

persamaan

matematika) dengan warna bebeda.
b. Sediakan waktu untuk memvisualkan gambar, grafik dan informasi
tercetak.

9

c. Ciptakan “film dalam pikiran kita” mengenal bahan kita pelajari,
bayangkan kita menggunakn memori visual seperti layar televisi
dengan informasi yang bergerak dilayar.
d. Gunakan alat Bantu belajar visual seperti pemetaan visual, hierarki
dan grafik perbandingan untuk menggambarkan bahan yang kita
pelajari.
e. Perkuat catatan kita atau alat Bantu belajar kita dengan membeli
warna dan gambar.
f. Bila kita termasuk orang yang mudah mengingat tulisan sendiri,
buatlah catatan sendiri. Latihlah untuk memvisualisasikan apa yang
kita tulis.
g. Selalu siap dengan pulpen dan kertas catatan untuk mencatat.
Strategi untuk cara belajar auditori:
a. Bebicaralah dengan keras untuk menerangkan informasi baru,
menyatakan pendapat atau menyatakan kembali suatu pernyataan
pada saat kita belajar.
b. Lakukan pengulangan dengan berbicara keras dengan cukup sering.
Buatlah kalimat lengkap dengan kata-kata sendiri.
c. Bicaralah dengan suara keras.
d. Bentuklah kelompok belajar, sehingga kita dapat bertanya, dan
berlatih menyampaikan pemahaman kita secara lisan.
e. Bila mengikuti kuliah, fokuslah untuk memperhatikan dosen.
f. Terangkan secara lisan apa yang kita pelajari kepada seorang yang
imajiner. Penjelasan lisan ini merupakan umpan balik terhadap
tingkat pemahaman kita.
g. Ciptakan nada-nada lagu untuk mengingat informasi tertentu.
Strategi untuk belajar kinestetik:
a. Bila kita belajar mengenai suatu benda atau mesin, pergilah ke
laboratoriumdan pelajari dengan seksamasambil secara fisik kita
pegang.
b. Gunakan computer untuk mengetikan informasi yang kita pelajari,
karena poda waktu mengetik kita menggunakan keterampilan
motorik halus dan memori otot.

10

c. Bila kita sedang mengulang informasi, katakn dengan bahan belajar
di tangan akan membantu memproses informasi.
d. Gunakan kertas ukuran lebar (bila mungkin poster) untuk
menggambarkan grafik, hierarki dan lain-lain.
10. Mengapa manusia harus belajar
Eksistensi manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial
meniscayakan dirinya untuk berusaha mengetahui sesuatu di luar dirinya. Ini
yang kemudian dikenal dengan istilah belajar. Namun pertanyaannya
mengapa manusia mau belajar? Setidaknya ada delapan kecenderungan
umum mengapa manusia mau belajar.
Pertama, ada semacam dorongan rasa ingin tahu yang kuat.
Dorongan ini berasal dari dalam dirinya untuk mengetahui sesuatu . Biasanya
rasa ingin tahu ini diwujudkan dengan munculnya sejumlah pertanyaanpertanyaan.
Kedua, ada keinginan untuk menguasai Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi sebagai tuntutan zaman dan lingkungan di sekitarnya. Hal ke dua
ini adalah faktor eksternal yang mampu mendorong manusia mau belajar.
Apalagi di era global saat ini yang meniscayakan pentingnya kemampuan
penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketiga, meminjam istilah Abraham Maslow bahwa segala aktivitas
manusia didasari atas kebutuhan yang harus dipenuhi dari kebutuhan biologis
sampai aktualisasi diri. Untuk memenuhi kebutuhan inilah kemudian manusia
mau belajar.
Keempat, untuk melakukan penyempurnaan dari apa yang sudah
diketahuinya. Hal ini biasanya dilakukan untuk menambah wawasan
seseorang.
Kelima, untuk mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan
lingkungannya. Rupanya tidak semua orang begitu mudah untuk melakukan

11

sosialisasi, apalagi beradaptasi dengan lingkungannya. Karena itu ada
sebagian orang yang khusus mau belajar karena adanya kepentingan untuk
bersosialisasi dan beradaptasi.
Keenam, untuk meningkatkan intelektualitas dan mengembangkan
potensi diri. Intelektualitas adalah modal penting untuk berkompetisi di era
zaman yang penuh kompetisi ini, selain itu ada tidak sedikit orang yang
merasakan bahwa potensi dirinya belum tergali. Karena itu ia mau belajar.
Ketujuh,

untuk

mencapai

cita-cita.

Sebagai

manusia

yang

membutuhkan aktualisasi diri maka cita-cita adalah hal lain yang mampu
mendorong seseorang untuk belajar. Hampir bisa dipastikan tidak mungkin
seseorang mau belajar tanpa ada cita-cita terlebih dahulu.
Kedelapan, sebagian orang ada yang mau belajar hanya karena untuk
mengisi waktu luang. Hal ini terjadi karena adanya waktu luang yang belum
bisa dimanfaatkan dengan baik oleh orang tersebut, karena itu untuk mengisi
kegiatan ia mau mengisi waktu luangnya dan digunakan untuk belajar sesuatu
yang dinilainya bermanfaat.

11. Macam-macam pendekatan belajar
Gage (1984) dalam Wilis Dahar (1988:15) mengemukakan, bahwa ada
lima bentuk belajar, yaitu: Belajar Responden, Belajar Kontinguitas, Belajar
Operant, Belajar Observasional, Belajar Kognitif.

a) Belajar Responden
Salah satu bentuk dari belajar disebut belajar responden. Dalam
belajar seperti ini, suatru respon dikeluarkan oleh suatu stimulus yang
telah dikenal. Atau suatu bentuk belajar dengan memberikan stimulus
sehingga muncul suatu respon dari peserta didik. Beberapa contoh belajar

12

responden adalah hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli
psikologi Rusia yang terkenal Ivan P. Pavlov.
Contoh : saat guru bahasa inggris masuk kelas. Maka terlebih
dahulu menanyakan kabar How are you my student? Maka guru menulis
dipapan tulis terlebih dahulu kalau ada pertanyaan How are you my
student maka jawabannya adalah “I am fine, thank you”. Awal pertemuan
masih menggunakan bantuan tulisan di papan tulis agar peserta didik bisa
merespon stimulus yang diberikan. Dan jika stimulus berupa pertanyaan
tersebut dilakukan setiap awal pertemuan maka setelah beberapa kali
dilakukan pendidik tidak perlu lagi menulis dipapan tulis karena peserta
didik sudah bisa merespon stimulus yang diberikan.

b) Belajar Operant
Belajar sebagai akibat reinforcement merupakan bentuk belajar
lain yang banyak diterapkan dalam teknologi modifikasi prilaku. Bentuk
belajar ini disebut terkondisi operant, sebab prilaku yang di inginkan
timbul secara spontan, tanpa dikeluarkan secara instinktif oleh stimulus
apapun, waktu organisma “beroperasi” terhadap lingkungan.
Bentuk belajar ini sebagai akibat reinforsemen. Jadi akan adanya
reaksi spontan yang timbul dari peserta didik. Contoh : saat guru menulis
dipapan tulis sambil berkata “bahasa inggrisnya rumah sama dengan
house” dan ada peserta didik yang sudah mengerti spontan menjawab
house tanpa ada perintah dari guru. Maka itu disebut bentuk belajar
operant.
c) Belajar Observasional
Konsep belajar observasional memperlihatkan, bahwa orang
dapat belajar dengan mengamati orang lain melakukan apa yang akan
dipelajari.

13

Contoh: guru mengajak salah satu peserta didik untuk
melakukan percakapan bahasa inggris berupa “what is your name?”
peserta didik menjawab “ I am budi” dan peserta didik yang di duduk
dibangku disuruh mengamati percakapn antara pendidik dan peserta
didik yang ditunjuk agar paham dan mengerti tujuan dari pertanyaan
tersebut.
Banyak yang secara salah menyamakan belajar observasional
dengan belajar melalui imitasi. Kedua istilah ini berbeda dalam arti
bahwa belajar observasional mengarah pada perubahan perilaku akibat
mengamati model. Ini tidak selalu berarti bahwa perilaku yang
ditunjukkan orang lain diduplikasi. Bisa saja si pengamat justru
melakukan sesuatu yang sebaliknya dari yang dilakukan model karena ia
telah mempelajari konsekuensi dari perilaku tersebut pada si model.
Dalam hal ini adalah belajar untuk tidak melakukan sesuatu dan ini
berarti terjadi belajar observasional tanpa adanya imitasi.
Walau belajar observasional dapat terjadi dalam setiap tahapa
kehidupan, tapi terutama terjadi saat pada anak-anak, karena pada saat
itu otoritas dianggap penting. Penelitian Bandura mengenai boneka Bobo
merupakan demonstrasi dari belajar observasional dan ditunjukkan
bahwa anak cenderung terlibat dalam perlakuan yang bengis terhadap
boneka setelah melihat orang dewasa di televisi melakukan hal tersebut
pada boneka yang sama. Bagimanapun, anak mungkin akan melakukan
peniruan bila perilaku model mendapat penguatan. Permasalahannya,
seperti diteliti oleh Otto Larson (1968), bahwa 56% karakter dalam
acara televisi anak mencapai tujuannya melalui tindakan kekerasan.
d) Belajar Kontiguitas
Asosiasi (contiguous) sederhana antara stimulus dan suatu
respon dapat menghasilkan suatu perubahan dalam prilaku. Kekuatan

14

belajar kontinguitas sederhana dapat dilihat bila seseorang memberikan
respon terhadap pernyataan-pernyataan yang belum lengkap.
Belajar Kontiguitas adalah bentuk belajar yang berupa stimulus
yang dapat menghasilkan suatu perubahan dalam perilaku karena terjadi
pengulangan peristiwa. Contoh peserta didik dapat menjawab “five plus
one equal six” karena sebelumnya peserta didik sudah diberi pengetahuan
tentang angka dan pengoperasiannya.

e) Belajar Kognitif
Dalam belajar kognitif mengatakan bahwa proses-proses
kognitif yang terjadi selama belajar, proses-proses ini menyangkut
“insight”, atau berfikir dan “reasoning”, atau menggunakan logika
deduktif dan induktif.
Belajar Kognitif berarti menggunakan kemampuan kognitif.
Contoh: pendidik memberikan pengetahuan dan pemahaman materi
kepada peserta didik kemudian mengadakan post test dan hasil dari test
tersebut berupa nilai kognitif.

12. Memanfaatkan Peta Konsep
Novak and Gowin (1985) menyatakan bahwa peta konsep adalah alat
atau cara yang dapat digunakan guru untuk mengetahui apa yang telah
diketahui oleh siswa. Gagasan Novak ini didasarkan pada teori belajar
Ausabel. Ausabel sangat menekankan agar guru mengetahui konsep-konsep
yang telah dimiliki oleh siswa supaya belajar bermakna dapat berlangsung.
Dalam belajar bermakna pengetahuan baru harus dikaitkan dengan konsepkonsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif (otak) siswa. Bila
dalam struktur kognitif tidak terdapat konsep-konsep relevan, pengetahuan
baru yang telah dipelajari hanyalah hapalan semata.
Belajar bermakna membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dari
pihak siswa untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan konsep-konsep
15

yang relevan yang telah mereka miliki. Untuk memperlancar proses tersebut,
baik guru maupun siswa perlu mengetahui “ tempat awal konseptual “.
Dengan kata lain guru harus mengetahui konsep-konsep apa yang dimiliki
oleh siswa waktu pelajaran baru dimulai, sedangkan para siswa diharapkan
mampu menunjukkan dimana mereka berada, atau konsep-konsep apa yang
telah mereka miliki dalam menghadapi pelajaran baru tersebut. Dengan
menggunakan peta konsep, guru dapat melaksanakan apa yang telah
dikemukakan diatas, dengan demikian pada siswa diharapkan akan terjadi
belajar bermakna ( Willis Dahar, 1988:156-157 ). Menurut Ausubel dalam
Willis Dahar (1988:161) ada dua dimensi belajar yaitu dimensi belajar
penerimaan/penemuan dan dimensi belajar bermakna/ hapalan. Berlangsung
atau tidaknya belajar bermakna tergantung pada struktur-struktur kognitif
yang ada, serta kesiapan dan niat anak didik untuk belajar bermakna, dan
kebermaknaan materi pelajaran secara potensial.
Peta konsep sebagai instrumen dapat digunakan untuk analisis konsep
,mengenai peta konsep itu sendiri berdasarkan definisinya sebagai berikut :
Menurut Hudojo, et al (2002) peta konsep adalah saling keterkaitan antara
konsep dan prinsip yang direpresentasikan bagai jaringan konsep yang perlu
dikonstruk dan jaringan konsep hasil konstruksi inilah yang disebut peta
konsep. Sedangkan menurut Suparno (dalam Basuki, 2000, h.9) peta konsep
merupakan suatu bagan skematik untuk menggambarkan suatu pengertian
konseptual seseorang dalam suatu rangkaian pernyataan. Peta konsep bukan
hanya menggambarkan konsep-konsep yang penting, melainkan juga
menghubungkan antara konsep-konsep itu. Dalam menghubungkan konsepkonsep tersebut dapat digunakan dua prinsip yaitu prinsip diferensial
progresif dan prinsip penyesuaian integratif.
Dahar (1989) mengemukakan ciri-ciri peta konsep sebagai berikut :

16



Penyajian peta konsep adalah suatu cara untuk memperlihatkan
konsep-konsep dan proposisi-proposisi dalam suatu topik pada



bidang studi.
Peta konsep merupakan gambar yang menunjukkan hubungan



konsep-konsep dari suatu topik pada bidang studi.
Bila dua konsep atau lebih digambarkan dibawah suatu konsep
lainnya, maka terbentuklah suatu hirarki pada peta konsep itu.

Martin (dalam Basuki, 2000) mengungkapkan bahwa peta konsep
merupakan petunjuk bagi guru, untuk menunjukkan hubungan antara
ide-ide yang penting dengan rencana pembelajaran. Sedangkan menurut
Arends (dalam Basuki, 2000) menuliskan bahwa penyajian peta konsep
merupakan suatu cara yang baik bagi siswa untuk memahami dan mengingat
sejumlah informasi baru. Dengan penyajian peta konsep yang baik maka
siswa dapat mengingat suatu materi dengan lebih lama lagi.
Pembelajaran dengan menggunakan peta konsep mempunyai banyak
manfaat diantaranya menurut Ausubel (dalam Hudojo, et al 2002)
menyatakan dengan jaringan konsep yang digambarkan dalam peta konsep,
belajar menjadi bermakna karena pengetahuan/informasi “baru” dengan
pengetahuan terstruktur yang telah dimiliki siswa tersambung sehingga
menjadi lebih mudah terserap siswa. Sedangkan menurut Williams (dalam
Basuki, 2000) menuliskan bahwa peta konsep dapat dijadikan sebagai alat
untuk mengetahui pemahaman konseptual seseorang.
Dengan mengacu pada peta konsep maka guru dapat membuat suatu
program pengajaran yang lebih terarah dan berjenjang, sehingga dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar dapat meningkatkan daya serap siswa
terhadap materi yang diajarkan. Peningkatan daya serap siswa berdasarkan
menyampaikan jenjang materi yang terstruktur dapat membuat siswa akan
lebih kuat lagi memorinya dan akan lebih mudah mengaplikasikan konsepkonsep yang telah dipelajarinya.

17

Peta konsep selain digunakan dalam proses belajar mengajar, dapat
diterapkan untuk berbagai tujuan yaitu :
a.
b.
c.
d.

menyelidiki apa yang telah diketahui siswa
mempelajari cara belajar
mengungkap miskonsepsi, dan
sebagai alat evaluasi.

Peta konsep digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna
antara konsep-konsep dalam bentuk proposisi-proposisi. Proposisi-proposisi
merupakan dua atau lebih konsep-konsep yang dihubungkan oleh kata-kata
dalam suatu unit semantic. Dalam bentuk yang paling sederhana, peta konsep
dapat berupa dua konsep yang dihubungkan oleh kata penghubung untuk
membentuk proposisi. Sebagai contoh : ” langit itu biru” mewakili peta
konsep sederhana yang membentuk proposisi yang sahih tentang konsep
”langit” dan ”biru”. Dengan demikian siswa dapat mengorganisasi konsep
pelajaran yang telah dipelajari berdasarkan arti dan hubungan antara
komponennya. Hubungan satu konsep (informasi) dengan konsep lain disebut
proposisi. Peta konsep menggambarkan jalinan antar konsep yang dibahas
dalam bab yang bersangkutan. Konsep yang dinyatakan dalam bentuk istilah
atau label konsep. Konsep-konsep dijalin secara bermakna dengan kata-kata
penghubung

sehingga

dapat

membentuk

proposisi.

Satu

proposisi

mengandung dua konsep dan kata menghubung. Konsep yang satu
mempunyai cakupan yang lebih luas daripada konsep yang lain. Dengan kata
lain konsep yang satu lebih inklusif daripada konsep yang lain. Keseluruhan
konsep-konsep tersebut disusun menjadi sebuah tingkatan dari konsep yang
paling umum, kurang umum dan akhirnya sampai pada konsep yang paling
khusus. Tingkatan dari konsep-konsep ini disebut dengan hierarki.
Pada peta konsep, konsep yang lebih inklusif diletakkan di atas.
Konsep yang kurang inklusif kemudian dihubungkan dengan kata
penghubung. Konsep yang lebih khusus ditempatkan di bawahnya dan
dihubungkan lagi dengan kata penghubung. Konsep yang inklusif dapat

18

dihubungkan dengan beberapa konsep yang kurang inklusif. Konsep yang
paling inklusif diletakkan pada pohon konsep. Konsep ini disebut kunci
konsep. Konsep pada jalur yang satu dapat dihubungkan dengan konsep pada
jalur yang lain dengan kata penghubung. Hubungan ini disebut dengan kaitan
silang.
Menurut Novak dan Gowin (1985) kriteria penilaian peta konsep
adalah :
1) Proposisi, adalah dua konsep yang dihubungkan oleh kata
penghubung. Proposisi dikatakan sahih jika menggunakan kata
penghubung yang tepat. Untuk setiap proposisi yang sahih diberi
skor 1
2) Hierarki, adalah tingkatan dari konsep yang paling umum sampai
konsep yang paling khusus. Urutan penempatan konsep yang
lebih umum dituliskan di atas dan konsep yang lebih khusus
dituliskan di bawahnya. Hierarki dikatakan sahih jika urutan
penenmpatan konsepnya benar. Untuk setiap hierarki yang sahih
diberi skor 5.
3) Kaitan silang, adalah hubungan yang bermakna antara suatu
konsep pada satu hierarki dengan konsep lain pada hierarki yang
lainnya. Kaitan silang dikatakan sahih jika menggunakan kata
penghubung yang tepat dalam menghubungkan kedua konsep
pada hierarki yang berbeda. Sementara itu, kaitan silang
dikatakan kurang sahih jika tidak menggunakan kata penghubung
yang tepat dalam menghubungkan kedua konsep sehingga antara
kedua konsep tersebut menjadi kurang jelas. Untuk setiap kaitan
silang yang sahih diberi skor 10. Sedangkan untuk setiap kaitan
silang yang kurang sahih diberi skor 2
4) Contoh, adalah kejadian atau objek yang spesifik yang sesuai
dengan atribut konsep. Contoh dikatakan sahih jika contoh
tersebut tidak dituliskan di dalam kotak karena contoh bukanlah
konsep. Untuk setiap contoh yang sahih diberi skor 1.

19

Ciri-ciri Peta Konsep
Berdasarkan uraian di atas, berikut ini dikemukakan beberapa ciri-ciri
peta konsep :
1.

Peta konsep ialah suatu cara untuk memperlihatkan konsepkonsep dan proposisi-proposisi dari suatu bidang studi. Jadi
dengan membuat peta konsep, siswa dapat melihat bidang studi

2.

itu lebih jelas dan mempelajarinya lebih bermakna.
Suatu peta konsep merupakan suatu gambar dua dimensi dari
suatu bidang studi atau suatu bagian dari bidang studi. Ciri inilah
yang memperlihatkan hubungan-hubungan proporsional antar

3.

konsep-konsep.
Cara menyatakan hubungan antar konsep-konsep. Tidak semua
mempunyai bobot yang sama. Ini berarti, bahwa ada beberapa

4.

konsep yang lebih umum dari pada konsep-konsep yang lain.
Hirarki, Bila dua atau lebih konsep yang digambarkan di bawah
suatu konsep yang lebih inklusif, terbentuklah hirarki pada peta
konsep itu.

Langkah-langkah Pengembangan Peta Konsep oleh Guru
a.

Menuliskan di atas kertas seluruh konsep atau nama topik yang

b.

berkaitan dengan bidang umum yang akan diajarkan.
Memperhatikan adanya fakta-fakta (contoh-contoh) khusus yang

c.

penting untuk dipelajari siswa.
Memilih konsep yang paling umum dan tempatkan di bagian atas

d.

kertas.
Menambahkan berikutnya konsep yang lebih khusus di bawah
konsep

umum

tadi.

Hubungkan

keduanya

dengan

garis

penghubung yang diberi label penghubung.

20

e.

Setelah penulisan konsep yang lebih khusus di baris kedua,
melanjutkan penulisan konsep lain yang lebih khusus di baris

f.

ketiga, dan seterusnya.
Melengkapi dengan garis penghubung antar konsep sehingga
seluruh hirarki menyerupai piramida. Jangan lupa menuliskan
label penghubung pada garis tersebut untuk menunjukkan

g.

keteraturan antar konsep.
Setelah seluruh peta konsep terbentuk, menandai konsep khusus
yang terutama menarik bagi siswa atau tingkat kesulitannya tepat
bagi siswa.

Ernest (dalam Basuki, 2000) berpendapat bahwa untuk menyusun
suatu peta konsep bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1.
2.

Tentukan dahulu topiknya
Membuat daftar konsep-konsep yang relevan untuk konsep

3.
4.

tersebut,
Menyusun konsep-konsep menjadi sebuah bagan,
Menghubungkan konsep-konsep itu dengan kata-kata supaya

5.

bisa terbentuk suatu proposisi,
Mengevaluasi keterkaitan konsep-konsep yang telah dibuat.

Pendapat lain untu membuat peta konsep cukup dengan 5 langkah
dengan penjelasan sebagai berikut :
1)

Lakukan Brainstorming selama 10-15 menit per sesi. Ketika
Central disebutkan maka konsep apa saja yang terlintas di
benak dituliskan terlebih dahulu. Jangan lakukan penilaian

2)

apakah relevan atau mau diletakkan di mana.
Kategorisasikan/ kelompokkan sekumpulan ide itu kemudian
tentukan hirarki konsep mana yang menjadi dahan (umum),

3)
4)
5)

mana yang jadi ranting dan mana yang jadi daun (detil).
Mulai layout / gambarkan konsep-konsep tersebut.
Tarik garis antar konsep tersebut.
Pergunakan warna, Ikon dan Asosiasi untuk menambah
cantiknya Peta Konsep yang dihasilkan.

21

Penggunaan warna, ritme (dari gambar ketebalan dahan, ranting ke
daun), layout (spasial), ikon dan asosiasi (menghubungkan Ikon dan Analogi)
untuk menghubungkan satu konsep dengan konsep yang sudah melekat di
otak, membantu otak mengingat lebih baik, karena melibat lebih banyak
panca indra, juga otak melakukan proses Asimilasi pengetahuan baru
terhadap pengetahuan yang sudah mengendap sebelumnya.
Setelah peta konsep itu jadi, maka kemampuan otak kanan secara
visual dan holistik serta Gestalt yang memicu “Kayaknya ada yang kurang
dan saya bisa tambahkan lebih lanjut” akan meneruskan pengembangan peta
tersebut. Kemampuan alami otak kanan yang Random akan tersalurkan ketika
ada sebuah konsep baru muncul, maka otak kiri mulai bekerja menganalisa
sebaiknya diletakkan di mana.
Ketika melihat peta secara keseluruhan dari jauh maka otak kanan
bekerja (seperti seseorang menilai/ mengagumi lukisan) dan ketika tertarik
pada suatu lokasi maka otak kiri mulai bekerja secara logis dan analitik.
Sinergis antara dua belahan otak kanan dan kiri inilah yang membuat
mengapa

Peta

Konsep

itu

sedemikian

powerfulnya.

Harus

sering

menggunakan baru bisa merasakan manfaatnya. Karena sepintas peta konsep
yang digambar secara manual berantakan tidak beraturan.
Cara Mengajar Siswa Menyusun Peta Konsep.
Membelajarkan siswa menyusun peta konsep harus secara bertahap.
Pertama kali meminta siswa menyusun peta konsep perlu dipilih konsepkonsep yang sudah dikenal. Mula-mula guru dapat mengajar siswa
memahami peta konsep sebagai modifikasi dari suatu kerangka isi bahan
pembelajaran dengan istilah-istilah yang saling dihubungkan dalam hirarki
secara vertikal. Cara mengenalkan peta konsep kepada siswa adalah dengan
memodelkan cara penyusunannya dengan memfokuskan pada konsep-konsep
yang jumlahnya terbatas atau lebih sederhana. Agar siswa lebih memahami
peta konsep, dapat diajak untuk menyusun yang lebih luas atau lebih
22

kompleks. Selanjutnya dapat ditugasi oleh guru untuk menyusun peta konsep
di rumah secara berkelompok, kemudian guru meminta salah seorang wakil
dari tiap-tiap kelompok untuk menampilkan peta konsepnya di papan tulis
untuk dikritik secara bersama-sama untuk menghindari miskonsepsi.
Manfaat Peta Konsep
a)

Manfaat peta konsep bagi guru.
1. Membantu guru memahami macam-macam konsep yang
terdapat dalam topik yang akan diajarkan dan memperoleh
2.
3.

wawasan baru.
Membantu dalam menghindari miskonsepsi oleh siswa.
Dengan mengidentifikasi konsep-konsep sebelum
membuat peta konsep, guru dapat menemukan topik-topik
sains secara jelas, sehingga dapat membantu untuk

4.

menentukan topik-topik yang perlu dipelajari.
Membantu untuk melihat keterkaitan logis antar konsep-

5.

konsep khusus.
Membantu untuk mengorganisasi urutan kegiatan belajar

6.
7.

mengajar di kelas.
Membantu untuk penilaian siswa.
Membantu untuk menggali pemahaman siswa sebelum

8.

dilakukan pembelajaran.
Sebagai alat untuk

menggalakkan

pembelajaran

kooperatif.
b)

Manfaat peta konsep bagi siswa
1. Membantu dalam mempelajari konsep-konsep pokok dan
proposisi, serta membantu dalam menghubungkan atau
mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan
2.

yang sedang dipelajarinya.
Membantu mempelajari cara belajar menyusun peta

3.
4.
5.
6.

konsep.
Membantu untuk memperoleh wawasan baru.
Membantu siswa menghindari miskonsepsi.
Membantu untuk mempelajari sains secara bermakna.
Secara tidak langsung mengajak siswa belajar kooperatif.

23

7.

Bagi pengembang dan perencana kurikulum, peta konsep
dapat digunakan untuk memilah-milah konsep-konsep

8.

yang penting dan konsep-konsep yang tidak penting.
Bagi lingkungan, peta konsep membantu siswa memahami
peranannya sebagai pelajar, juga menjelaskan peranan
guru serta menciptakan iklim belajar yang saling
menghargai antara guru dan siswa. Peta konsep dapat juga
membantu guru dan siswa dalam bekerja sama untuk
mengatasi informasi-informasi yang keliru atau tidak
bermakna.

24

Dokumen yang terkait

PERBEDAAN ANATOMI JARINGAN EPIDERMIS DAN STOMATA BERBAGAI DAUN GENUS ALLAMANDA (Dikembangkan menjadi Handout Siswa Biologi Kelas XI SMA)

5 148 23

Konstruksi Media tentang Kontroversi Penerimaan Siswa Baru di Kota Malang (Analisis Framing pada Surat Kabar Radar Malang Periode 30 Juni – 3 Juli 2012)

0 72 56

Pendampingan Pada Siswa Berkesulitan Belajar Di SDI ISKANDAR SAID Surabaya

0 16 2

Hubungan Antara Iklim Sekolah Dengan Disiplin Siswa Di SMP Hutama Pondok Gede Bekasi

1 73 93

Hubungan Kenakalan Remaja dengan Prestasi Belajar Siswa Di MTS YPKP Jakrta Timur

8 97 91

Perancangan Sistem Informasi Akademik Pada SMK Bina Siswa 1 Gununghalu

27 252 1

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF EXAMPLE NON EXAMPLE TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR RASIONAL SISWA PADA MATERI POKOK PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Waway Karya Lampung Timur Tahun Pela

7 98 60

Studi Perbandingan Sikap Sosial Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaraan Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray dan Think Pair Share Pada Mata Pelajaran IPS Terpadu

3 49 84

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 8 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2013/2014)

0 20 44