PENERAPAN TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DA

PENERAPAN TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DALAM PENDIDIKAN
MILITER

Oleh: Existensa Pratiwi (15/382237/FI/04092)
Email: existensa.pratiwi@ugm.mail.ac.id
Program Studi Ilmu Filsafat
Universitas Gadjah Mada

Abstak: Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui penerapan teori belajar
behavioristik dalam pendidikan militer. Tulisan ini memakai pendekatan kualitatif yang
bersumber pada studi kepustakaan. Data yang bersumber pada studi kepustakaan kemudian
dipilah dan diolah dengan cara triangulasi dana dan heuristik. Hasil yang ingin dicapai dari
tulisan ini ialah (1) fungsi dan manfaat teori belajar dan pembelajaran ditentukan pada
penerapannya, dan (2) teori behavioristik dapat diterapkan dalam pendidikan militer.
Kata Kunci: behavioristik, militer, stimulus, respon, perintah.

Pendahuluan
Belajar dan pembelajaran merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Belajar
adalah kegiatan alamiah manusia yang berlangsung seumur hidup. Melalui belajar dan
pembelajaran, manusia dapat survive dan melangsungkan kehidupannya. Belajar dapat terjadi
dimanapun dan kapanpun, serta tidak terikat instansi formal seperti sekolah atau universitas.

Dalam dunia pendidikan sekarang ini, instansi-instansi pendidikan lebih menekankan kata
mendidik daripada mengajar. Seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan dari
pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pernyataan tersebut mengindikasikan
bahwa pendidikan tidak hanya sekedar belajar untuk mempertahankan hidup, tetapi
membentuk kehidupan yang lebih baik. Pendidikan tidak hanya menyampaikan informasi

seperti yang terjadi pada proses pengajaran, tetapi lebih pada transfer nilai untuk membentuk
watak peserta didik.
Pembelajaran dan pendidikan membutuhkan teori untuk diterapkan. Teori-teori belajar
yang ada yang saat ini telah diadopsi di Indonesia antara lain teori belajar kognitif,
kecerdasan ganda, konstruktivistik, dan behavioristik. Kurikulum pendidikan di Indonesia
lebih menitikberatkan pada teori behavioristik yang menekankan adanya keseragaman antar
peserta didik. Baru pada tahun 2014, K-13 dirancang dengan mengangkat teori
konstruktivistik yang lebih membebaskan daya pikir peserta didik. Adopsi-adopsi teori dari
luar negeri membuat Indonesia kesulitan untuk mengaplikasikan teori belajar pada segmen
pendidikan tertentu sehingga yang terjadi di dalamnya adalah chaos ketika proses
membelajaran tersebut menuai hasil. Hal itulah yang menyebabkan penulis untuk mencoba
mengarahkan teori belajar pada segmen yang tepat, yaitu dengan menerapkan teori
behavioristik pada pendidikan militer. Pendidikan militer membutuhkan proses keseragaman
yang lebih tinggi dari sekolah atau universitas, serta mmebutuhkan proses pembelajaran yang

tegas untuk membentuk karakter lulusannya.
Teori Belajar Behavioristik
Menurut Yulaelawati (2004: 50), behavioristik menekankan pada pola perilaku baru
yang diulang-ulang sampai menjadi otomatis. Teori behavioristik telah dikenal sejak
Aristoteles mengemukakan bahwa ingatan selalu difokuskan pada keterkaitan yang dibuat
antara berbagai kejadian.
Seseorang dikatakan telah belajar jika ia menunjukkan perubahan perilaku yang bisa
diamati. Perubahan perilaku ini timbul karena adanya interaksi antara stimulus dan respon.
Dalam banyak kasus pendidikan tradisional di Indonesia, teori behavioristik sangat berlaku.
Sebagai contoh ketika seorang peserta didik diajarkan sebuah perkalian, peserta didik
dikatakan sudah belajar jika ia dapat mempraktekkan perkalian yang diajarkan oleh guru.
Apabila peserta didik tidak dapat mempraktekkannya, maka ia dianggap belum belajar,
meskipun pada kenyataannya ia sudah belajar.
Stimulus dan respon pada teori behavioristik dianggap sebagai tonggak utama
pembelajaran. Pada pembelajaran dengan teori behavioristik, peserta didik lebih pasif karena
hanya menerima rangsangan atau stimulus dari guru. Ruang untuk menciptakan kreasi
menjadi terbatas dengan adanya respon yang diharapkan dalam tujuan pembelajaran.

Menurut Asri (2003: 20) selain faktor stimulus dan respon, ada faktor lain yang menentukan
dalam pembelajaran behavioristik, yaitu penguatan (reinforcement) Penguatan adalah apa saja

yang memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan, maka respon akan
semakin kuat. Begitu juga sebaliknya, apabila penguatan dikurangi, maka respon akan
semakin lemah.
Pelopor teori behavioristik antara lain ialah Thorndike, Watson, dan Skinner.
Thorndike menyatakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar dapat berwujud kongkrit yaitu yang
diamati dan yang tidak kongkirt yaitu yang tidak dapat diamati. Watson adalah seorang
behavioris murni sehingga menurutnya belajar adalah perubahan aktivitas yang dapat
diamati, jika tidak dapat diamati, maka hal tersebut tidak perlu dipikirkan. Sementara Skinner
menekankan pada aktivitas yang dapat diamati dan mengabaikan apa yang terjadi pada
pikiran seseorang selama proses pembelajaran.
Pendidikan Militer
Pendidikan di lingkungan militer, khusunya di TNI terkenal dengan kekerasan dan
disiplinnya. Para Taruna (calon TNI) memiliki rutinitas yang berpola. Pendidikan di TNI
memang keras, tetapi itu bukan untuk kekerasan. Mendidik anggota TNI dilakukan dengan
keras dan tegas untuk membentuk sosok prajurit TNI yang tanggap, tanggon, dan trengginas.
Pendidikan di milter mengadopsi soal penegakan disiplin, loyal terhadap negara dan bangsa,
hormat dan patuh kepada atasan,dan cerdas dalam memahami ilmu, tetapi kekerasan tidak.
Pendidikan di militer memang keras, tetapi bukan kekerasan yang tanpa batas. Pendidikan di
Akademi Militer dilandasi falsafah Dwi Warna Purwa Cendikia Wusana yang berarti

mengutamakan pembentukan kepribadian dengan jiwa kejuangan yang tinggi, dilengkapi
kemampuan profesi yang mantap sebagai suatu kebulatan.
Sementara sasaran pendidikan yang akan dituju, dirumuskan dalam sesanti Tri Sakti
Wiratama yang berarti integrasi dari ketiga sifat prajurit yang utama, yaitu tanggap, tanggon,
dan trengginas. Tanggap,artinya berdaya tangkap dan penalaran yang tinggi dengan memiliki
potensi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk dapat mengembangkan diri. Tanggon artinya
dapat diandalkan, ulet, dan tahan uji dengan memiliki mental yang dilandasi jiwa Pancasila
dan UUD 1945, bersemangat juang kebangsaan, berkode etik Sapta Marga, berwatak
keprajuritan dan berkepemimpinan TNI.

Kekerasan yang ada dilaksanakan secara terukur dan senantiasa memperhatikan faktor
keselamatan dan keamanan. Memang, pembinaan dan pendidikan fisik dilakukan seperti itu
karena tanpa perlakuan yang tegas, keras, dan disiplin, para calon tentara akan banyak
berdiskusi, membantah, usul sana-usul sini, yang pada akhirnya latihan tidak akan mencapai
sasaran. Pendidikan TNI memang mempersiapkan postur prajurit yang siap setiap saat
menghadapi tugas berat dan berpotensi menimbulkan stres tinggi sehingga diperlukan latihan
keras.
Penerapan Teori Belajar Behavioristik dalam Pendidikan Militer
Pendidikan terbagi menjadi dua macam, yaitu pendidikan formal dan pendidikan
informal. Pendidikan militer dikategorikan sebagai pendidikan formal karena mempunyai

syarat dan ketentuan negara. Dalam proses pembelajarannya, pendidikan militer dikenal
terkait ketegasan dan kekerasannya. Calon taruna yang melanggar peraturan dalam
pendidikan militer dapat dikenakan sanksi akademik maupun fisik. Sanksi yang diberikan
bersifat keras untuk melatih mental dan fisik calon TNI, namun masih dalam taraf wajar
keselamatan dan keamanan.
Teori behaviorisme sangat cocok diterapkan dalam dunia militer. Mulai dari
kurikulum sampai proses pembelajarannya. Menurut Skinner dalam Yulaelawati (2004: 51),
ada kondisi operasional dalam penerapan teori behaviorisme, yaitu (1) penghargaan atau
penguatan positif, (2) penguatan negatif, (3) pemadaman atau tanpa penghargaan, dan (4)
hukuman. Dalam aspek ini, penghargaan cocok diberikan apabila taruna mematuhi aturan
dalam kurun waktu tertentu, sehingga ia akan diberikan pesiar (libur di hari Sabtu atau
Minggu) untuk jalan-jalan. Hal yang sama juga terjadi apabila taruna melanggar peraturan,
maka ia akan diberikan hukuman.
Pendidikan militer memerlukan teori behavioristik untuk mengontrol dan membentuk
watak para taruna. Stimulus yang diberikan oleh pendidik dalam proses pembelajaran harus
mengandung konrol atas tindakan taruna. Hal ini diperlukan untuk mencetak TNI yang siap
dan sigap atas kondisi apapun yang terjadi di Indonesia. Para taruna tidak mempunyai pilihan
selain patuh atas stimulus yang diberikan oleh pendidik jika tidak ingin mendapat hukuman.
Pembelajaran yang dilakukan berulang-ulang ini akan membentuk respon yang sesuai dengan
yang diharapkan. Apabila teori belajar yang diterapkan tidak kaku seperti teori behavioristik,

maka yang terjadi adalah pembangkangan dan pembatahan sehingga transfer pengetahuan
dan transfer nilai yang didapat tidak pada sasarannya. Jika hal ini dibiarkan maka akan
mempengaruhi watak dan karakter TNI yang notabenya adalah prajurit garis depan untuk

membela Indonesia dari apapun dan siapapun. Watak dan karakter yang tidak tegas, sigap,
dan kuat mental akan membuat Indonesia mudah jatuh dari pengaruh-pengaruh yang ada.
Penutup
Dalam teori behavioristik, pendidik memegang peranan utama dalam proses
pembelajaran, sedangkan peserta didik bersikap pasif dan menerima informasi dan nilai yang
disampaikan oleh pendidik. Minim ruang bagi peserta didik untuk membantah perintah yang
disampaikan oleh pendidik karena dalam teori behaviorisme terdapat penghargaan dan
hukuman bagi peserta didik yang mematuhi atau membantah.
Teori behavioristik diperlukan dalam pendidikan militer untuk membentuk taruna
yang mempunyai karakter kuat, siap, dan tegas untuk melindungi NKRI. Konsep pokok
dalam behavioristik, yaitu stimulus, respon, dan pengulangan dibutuhkan agar TNI dapat
menangkap informasi dan mematuhui perintah pemerintah.

REFERENSI
C. Asri Budiningsih. 2003. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: FIP UNY
C. Asri Budiningsih. 2003. Desain Pesan Pembelajaran. Yogyakarta: FIP UNY

Mudjiman, Haris. 2007. Belajar Mandiri. Surakarta: UNS Press
Yulaelawati, Ella. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Pakar Raya
PuspenTNI. 2007. Pendidikan di Lembaga TNI Keras, tapi Bukan Kekerasan.
http://tni.mil.id/view-5349-pendidikan-di-lembaga-tni-keras-tapi-bukan-kekerasan.html
(diakses tanggal 11 Desember 2017 pukul 22:05 WIB)

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

PENERAPAN METODE SIX SIGMA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS PRODUK PAKAIAN JADI (Study Kasus di UD Hardi, Ternate)

24 208 2

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

HUBUNGAN ANTARA KONDISI EKONOMI WARGA BELAJAR KEJAR PAKET C DENGAN AKTIVITAS BELAJAR DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PELAJARAN 2010/2011

1 100 15

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENERAPAN PUTUSAN REHABILITASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA (STUDI KASUS PUTUSAN NO : 130/Pid.B/2011/PN.LW)

7 91 58

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

EVALUASI ATAS PENERAPAN APLIKASI e-REGISTRASION DALAM RANGKA PEMBUATAN NPWP DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA TANJUNG KARANG TAHUN 2012-2013

9 73 45

PENGARUH PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DAN MINAT BACA TERHADAP HASIL BELAJAR IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 WAY

18 108 89

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62