Hukuman Mati di Indonesia sebagai Yurisp

TUGAS SISTEM HUKUM INDONESIA
Konsep Hukum sebagai Yurisprudensi (Keputusan
Hakim) dalam Hukuman Mati di Indonesia
Untuk Memenuhi Tugas Sistem Hukum Indonesia

Oleh :
DINDA ASRI
135120500111048
B2 ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
2013/2014

Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui
legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan.
Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan
datang karena dalam Rancangan KUHP (Baru), pidana mati masih merupakan salah satu
sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan.

Hal biasa yang selalu muncul adalah ada pihak yang pro dan kontra. Berbagai sudut
pandang digunakan guna memperkuat argumen mereka tentang sah tidaknya hukuman mati
ini, mulai dari sisi agama, hak asasi manusia, khususnya hukum sosial budaya (konsep
perilaku sosial) yang ada dalam konsep positivism yang dianut oleh Indonesia yang akan saya
bahas dalam makalah ini.
Dibandingkan dengan tiga Presiden terdahulu selepas Orde Baru yakni Habibie,
Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono sudah menyelenggarakan 13 kali eksekusi mati. Contohnya adalah kasus Tibo cs
yang menjadi tersangka kerusuhan di Poso, Amrozi cs yang menjadi pelaku Bom Bali I dan
kasus-kasus criminal lainnya.

Permasalahan
Jika bentuk hukuman ini lebih dikembangkan lagi dan akan dipertegas, mungkin akan
banyak lagi tersangka-tersangka yang akan di hukum mati seperti kasus-kasus korupsi di
instansi pemerintahan.
Dalam hal ini yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.

Bagaimanakah hukuman mati menurut sudut pandang sosiolog hukum terkait
hukum sebagai pola perilaku sosial ?


2.

Apakah efektifitas hukuman mati di Indonesia ?

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan penjelasan yang bersifat teoritis
mengenai peranan sanksi yang dalam hal ini adalah hukuman mati di dalam proses efektivitas
hukum.

Pembahasan
Sebagian besar Negara sudah tidak mengenal lagi hukuman mati. Negeri Belanda
yang merupakan kiblat dari hukum di Negara kita sejak 1870 telah menghapuskan hukuman
mati. Tetapi hal ini tidak diikuti oleh daerah koloninya karena pemerintah kolonial
menganggap hukuman mati harus dipertahankan dalam keinginan untuk melindungi
kepentingan politiknya.
Menurut Dr. E. Utrecht SH, salah satu pertimbangan yang sudah tentu secara sadar
atau tidak sadar ditimbulkan oleh pihak pemerintah kolonial yaitu hal hukum pidana menjadi
alat paling tajam bagi satu “rullling class” untuk mempertahankan kedudukannya.
Sebenarnya pro dan kontra akan hukuman mati bukan merupakan hal yang baru
karena sudah dari dulu dipertentangkan tanpa akhir oleh ahli hukum kita.

Tercatat Ruslan Saleh yang dengan tegas mengatakan ia tidak dapat menerima,bahkan
menolak adanya pidana mati baik sebagai ancaman hukuman maupun pelaksanaannya.
Sebaliknya Jonkers mendukung hukuman mati sebagai suatu “noodrecht” dan hal ini
diikuti oleh pembuat WvS yang hanya menentukan hukuman mati bagi kejahatan-kejahatan
yang paling berat, yaitu ;
a. Kejahatan-kejahatan berat terhadap keamanan Negara yang melanggar pasal
104,105, 111 ayat 3 jo. 129 (pasal 105 KUHP telah dihapuskan)
b. Pembunuhan, melanggar pasal 130 ayat 3, 140 ayant 3, 340 (dalam KUHP pasal
130 telah dihapuskan)
c. Pencurian dan pemerasan dengan factor-faktor yang memberatkan , yaitu pasal
365 ayat 4 dan 468 ayat 2.
d. Pembajakan laut, pantai dan sungai seperti yang diatur oleh pasal 444.
Berbeda dengan dalih pendukung hukuman mati masa kini maka Jonkers mengatakan
bahsa mereka yang mengemukakakn keberatan terhadap hukuman mati menyatakan bahwa

hukuman mati itu bertentangan dengan agama dan etika, dan apalagi dalam hal bilamana
kemudian ternyata bahwa Hakim ketika menjatuhkan hukuman mati itu tersesat
(lijkedwaling) maka hukuman tidak lagi dapat diubah atau dibatalkan karena yang dihukum
telah mati.
Dipertahankannya hukuman mati sejalan dengan pikiran Kant yang dikenal dengan

teori pembalasan yang menyatakan bahwa tujuan hukuman adalah suatu pembalasan, dimana
siapa yang membunuh harus dibunuh pula.
Sedangkan Feurbach menghendaki hukuman itu harus dapat menakutkan seorang
supaya tidak melakukan kejahatan, yang dikenal dengan teori menakut-nakuti.
Nampaknya pendukung hukuman mati di Negara kita cenderung mengikuti pendapat
Kant dan Feurbach, meski ada pula yang berlindung dibalik hukum agama sebagai alasan
untuk mempertahankan hukuman itu. Sebaliknya mereka yang menentang hukuman mati
mengingatkan bahwa tujuan hukuman adalah untuk memperbaiki si pelaku kejahatan agar
dapat menjadi manusia yang baik dan mereka menganggap hukuman bukan merupakan suatu
tindak balas dendam. Selain itu mereka menentang bahwa dengan dijatuhkannya hukuman
mati maka orang akan takut untuk melakukan kejahatan karena menurut pengamatan mereka
tidak ada hubungannya antara angka kejahatan dengan hukuman mati.
Keinginan untuk menghapuskan hukuman mati dimuncullkan oleh sekelompok orang
yang menyebut dirinya kelompok HATI, dimana antara lain mereka berpendapat bahwa
hukuman mati telah meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Pidana mati telah merampas hak
paling dasar manusia yaitu “hak hidup” dan meniadakan kemungkinan untuk bertobat,
padahal hukuman adalah proses untuk mendidik dan memperbaiki kehidupan si terpidana.
Sementara ahli hukum diantaranya Dr. J.E. Sahetapy, Prof. Sudarto,SH, Yap Thiam
Hien,SH serta mantan wapres Adam Malik, Mochtar Lubis dan mantan Menteri Kehakiman
Mudjono,SH ( sekaligus dengan pengecualian untuk kejahatan-kejahatan tertentu )

menyetujui dihapuskannya hukuman mati.
Sedang, yang membela hukuman mati menamakan dirinya Pembela Hukum Mati atau
PAHAMA, yang dengan menggunakan alasan bahwa kitab-kitab suci berbagai agama
mengisyaratkan dengan tegas ijin bagi manusia untuk menerapkan pidana mati sebagai
bentuk hukuman yang terberat. Dan hukuman mati menurut mereka berasal dari Tuhan Yang
Maha Esa.

Karena mengenai hukuman mati telah lama dipertentangkan dalam lingkungan sendiri
maka dengan dibicarakannya secara luas telah memberikan gambaran akan sadar kesadaran
hukum masyarakat yang semakin baik.
Setiap orang membenci pembunuhan dan kita selalu bertanya dalam hati mengapa
seseorang seenaknya menghilangkan nyawa sesamanya, akan tetapi sebaliknya kita pun
selalu cenderung melakukan hal yang sama dengan jalan “mematikan” si pembunuh sehingga
dengan sadar kita melarutkan diri dalam jalan pikiran Kant yang ekstrem itu.
Memang jika mengikuti perasaan hati menghukum mati seseorang yang telah
melakukan kejahatan berat dapat menimbulkan rasa puas, hanya saja apakah kepuasan itu
sesuai dengan hati nurani, dan bukan sekedar kepuasan semu yang merupakan manifestasi
dari pelampiasan diri ?
Barangkali kita mau merenungkan konsepsi Sahardjo yang menyatakan bahwa tujuan
pidana adalah pemasyarakatan, dimana masyarakat tidak saja diayomi terhadap diulanginya

perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah melakukan perbuatan
tersebut diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di
dalam masyarakat.
Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhi pidana bukanlah tindakan balas dendam
dari Negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan.
Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan.
Pidana penjara berat berarti bahwa derita dirasakan berat karena bimbingan dan
didikan memerlukan waktu yang lama.
Selama hukuman mati masih dipertahankan dalam hukum pidana kita maka adalah
kewajiban Hakim untuk mempertimbangkan perlu tidaknya seseorang dijatuhi hukuman mati.
Selain itu, sikap Presiden selaku Kepala Negara dalam melaksanakan hak prerogatief-nya
akan sangat menentukan dilaksanakan tidaknya suatu hukuman mati yang telah dimintakan
grasi kepadanya.
Dalam menyatakan apakah kita akan mempertahankan atau menghapuskan hukuman
mati selayaknya kita menentukan sikap yang tegas tentang apa yang menjadi tujuan dari
hukuman itu, adakah dengan maksud membalas dendam ataukah untuk memperbaiki si
pelaku kejahatan ?

Dan bila untuk membalas dendam, maka laksanakanlah hukuman itu dengan segera,
sehingga tidak memberikan harapan kepada si terhukum akan memperoleh pengampunan,

karena bukanlah ini lebih manusiawi ?
Tetapi bila tujuan hukuman untuk memperbaiki si pelaku kejahatan, maka hukuman
mati harus dihapus dan menetapkan hukuman seumur hidup sebagai hukuman terberat.
Kiranya kita harus mau bertanya kepada diri kita sendiri, mengapa kita membenci
pembunuhan sedang kita sendiri melakukan “pembunuhan” ?
Menurut Aliran Sosiologis Hammaker, Eugen Ehrlich dan Max Weber Hukum
merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Dan hukum merupakan gejala
masyarakat, karena perkembangan hukum itu sesuai dengan perkembangan yang ada dalam
masyarakat.
Menurut hukum positivistik, hukum sama dengan norma-norma positif yaitu norma
yang dibuat oleh badan legislasi yang dianggap sebagai hukum umum seperti undangundang.
Hukum menurut konsep ini adalah apa yang ada menurut undang-undang, bukan apa
yang seharusnya ada dalam hukum. Jadi, hukum dalam konsep positivisme mengabaikan
nilai-nilai kebenaran, moral, kesejahteraan, bahkan terkadang jauh dari kata keadilan.[3]
Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum positivisme berpegang teguh
pada peraturan hukum yang diakui oleh Negara, yaitu seperti undang-undang. Jadi, seseorang
dapat dihukum jika seseorang tersebut melakukan suatu perbuatan yang dianggap melanggar
peraturan hukum atau undang-undang.
Di dalam buku di bidang kriminologi sering kali ditemukan pernyataan bahwa yang
penting pada sanksi adalah kepastian. Dengan kata lain, yang terpenting adalah apakah suatu

sanksi sungguh-sungguh ataukah tidak.
Pentingnya kepastian tersebut antara lain mengakibatkan bahwa pengawasan terhadap
pelaksanaan ketentuan-ketentuan tertentu dilakukan secara ketat. Terkait dengan masalah
kepastian penerapan sanksi dihubungkan dengan masalah pidana mati, berdasarkan data yang
dikumpulkan dari Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI,
menunjukkan bahwa pidana mati yang dijatuhi oleh hakim di Indonesia sampai dengan Maret
2007 berjumlah 95 kasus, dimana sebagian besar jenis perkara tersebut adalah kejahatan
narkotika dan psikotropika, serta kejahatan pembunuhan berencana. Dari mereka ada yang

telah dieksekusi, dalam proses dan juga menunggu eksekusi. Beberapa orang telah menunggu
eksekusi lebih dari lima tahun bahkan ada yang lebih dari 10 tahun.
Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana dampaknya bagi si terpidana sendiri? Jelas,
bahwa dengan tenggang waktu yang lama menunggu waktu pelaksanaan eksekusi ditetapkan,
bagi terpidana sendiri sesungguhnya dia telah menjalani dua bentuk hukuman, yaitu penjara
dan hukuman mati.
Dengan demikian apakah keadilan sudah ditegakkan? jawabannya tentu tidak.
Keadilan ada, jika terdapat keserasian antara nilai kepastian dan kesebandingan. Kepastian,
ditunjukan pada masyarakat yang pelaksanaannya diserahkan pada aparat/penguasa, dalam
hal ini bagi siapa yang melakukan pelanggaran pasti akan memperoleh sanksi/hukuman.
Kepastian jika dilihat dari sudut masyarakat, perlu bahwa masyarakat harus dilindungi

jika mengingat misalkan dalam hal kasus narkoba yang berkilo-kilo dijual oleh pengedar,
berapa korban khsusna generasi muda yang akan jatuh dan meninggal dunia akibat over
dosis, apakah kesebandingan lebih ditunjukan pada kepentingan si terpidana, apakah yang
bersangkutan telah memperoleh hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Untuk
itu, ketidakpastian dalam pelaksanaan eksekusi, merupakan tambahan penderitaan bagi
terpidana. Bagi masyarakat kepastian akan pelaksanaan hukuman, juga dapat berdampak
pada proses pencegahan timbulnya kejahatan. Perlu dicacat, bahwa yang mempunyai
dorongan untuk melakukan pelanggaran atau tidak bukan terletak pada resiko itu sendiri,
namun pada anggapan-anggapan yang berasal dari diri sendiri mengenai resiko tersebut.
Dengan demikian yang menjadi titik sentral adalah apakah suatu sanksi bersifat sungguhsungguh atau tidak.
Hukuman mati yang dijatuhkan kepada terpidana memakan waktu
yang relatif lama untuk sampai pada waktu pelaksanaan eksekusi. Perlu
disampaikan disini pernyataan L.M. Friedman, bahwa hukuman dengan
ancaman hukuman mati dapat bekerja secara efsien di beberapa
masyarakat “yang menggunakan hukuman tersebut secara cepat, tanpa
ampun dan frekuensinya baik. Hukuman mati tidak dapat bekerja dengan
baik di Amerika Serikat dimana pelaksanaannya berlangsung lamban dan
bersifat kontoversi”.
Maka dengan adanya ketidak pastian dan lamanya pelaksanaan eksekusi, tentunya
hukuan mati sebagai sarana untuk menimbulkan efek jera dan usaha pencegahan timbulnya

kejahatan tidak terwujud. Sebab, masyarakat sudah lupa dengan kejahatan yang dilakukan

oleh terpidana itu sendiri. Jikapun masih ingat, mungkin mereka menjadi berfikir belum tentu
hukuman akan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, dapat saja mereka
mencoba-coba melakukan pelanggaran, dengan harapan apabila tertangkap hukuman tidak
dilaksanakan.
Terdapat dua arus pemikiran utama mengenai pidana mati ini, yaitu: pertama, adalah
mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku,
dan kedua adalah mereka yang menginginkan penghapusan secara keseluruhan.
Kecenderungan masa kini adalah penghapusan pidana mati, seperti yang dilakukan
dibeberapa Negara Amerika serikat dan Negara-negara Uni Eropa. Indonesia, termasuk
Negara yang masih mempertahankan pidana mati dalam sistem hukum positifnya. Hal ini
terlihat baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau diluar KUHP
(undang-undang pidana khusus). Pidana mati sebagai mana tercantum dalam KUHP belaku di
Indonesia diatur dalam pasal 10 dalam pasal ini dimuat dua macam bentuk pidana, yaitu
pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana mati adalah bagian dari pidana pokok adapun
ketentuan diluar KUHP adalah antara lain dalam undang-undang (UU) No. 22 tahun 1997
tentang Narkotika dan UU No.5 tahun 1997 tentang psikotropika, UU No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Azasi Manusia.


Kesimpulan
Kontroversi tentang penerapan sistem hukum mati ini sudah lama muncul di
Indonesia dan menimbulkan pertentangan antara kubu yang pro dan kontra terhadap
penerapan system hukuman ini, dan perdebatan panjang antara yang pro dan kontra pidana
mati sampai saat ini terus berlangsung. Mereka yang menganggap perlu, menyakinkan bahwa
pidana mati dapat memberikan efek jera, sehingga satu-satunya cara khusus untuk narkoba
dengan penjatuhan pidana mati bagi pelaku. Mereka yang kontra pidana mati, berargumen
bahwa pidana mati tidak menimbulkan efek jera terlihat dari banyaknya kasus narkoba saat
ini, walaupun sudah ada ancaman pidana mati. Mereka berpendapat bahwa untuk melihat
antara hukuman mati dengan mengurangi kejahatan itu perlu dibuktikan lebih lanjut. Sanksi
dapat bersifat positif dan negatif. Sanksi positif berwujud imbalan dan negative berwujud
hukuman. Hukuman mempunyai arti sosial tertentu oleh karenanya kekuatan sanksi
tergantung pada persepsi manusia terhadap sanksi itu sendiri, kepastian penerapannya dan
juga kecepatan penindakan/penerapannya. Dalam praktek, terdapat kendala dalam substansi
peraturan terkait masalah permohonan peninjauan kembali dan grasi, sehingga tenggang
waktu antara penjatuhan vonis sampai dengan eksekusi memakan waktu relatif lama. Hal ini
akan berpengaruh pada efektivitas pidana mati dalam mengurangi atau memberantas
kejahatan.
Ada baiknya melihat alternatif pemidanaan di masa depan dalam penanggulangan
kejahatan seperti terorisme dan narkoba misalnya pidana ganti rugi. Bahwa kejahatan
merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia. Segala aktivitas manusia
baik politik, sosial dan ekonomi, dapat menjadi kausa kejahatan. Sehingga keberadaan
kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu dicari upaya bagaimana menanganinya.

Berusaha menekan kualitas dan kuantitasnya serendah mungkin, maksimal sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada.
Indonesia, sebagai bagian dari negara-negara di dunia yang tengah mempersiapkan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (baru) untuk menggantikan KUHP yang diambil oper
dari wetboek van strafrecht Belanda, sudah sepantasnya mempertimbangkan keberadaan
sanksi ganti kerugian dalam hukum pidana mendatang. Apalagi jika terbukti bahwa hukuman
mati sudah tidak efektif lagi untuk menekan angka kejahatan

Daftar pustaka

Ekobudi (2011). Efektifitas Hukuman Mati. Diakses pada 2 April 2014
Andika, J (2013). 5 Konsep Hukum. Diakses pada 2 April 2014
Affandi, Wahyu. Berbagai Masalah Hukum di Indonesia. Bandung: Penerbit: Alumni. 1982