MODEL DAN METODE BELAJAR SISWA AKTIF

1

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN DAN METODE BELAJAR SISWA
AKTIF
(Learning Experiential, Cooperative Learning, Problem Based Learning,
Colleborative Learning )

MAKALAH

Tugas disusun untuk memenuhi matakuliah Landasan Pembelajaran
Yang dibina oleh Dr. Sulthon, M. Pd
dan Dr. Sulthoni, M. Pd

Oleh
Gisella Rahmadhani
Ichwan Mahara
Meike Verawati

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PASCASARJANA
JURUSAN TEKNOLOGI PEMBELAJARAN

November 2014

2

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN DAN METODE BELAJAR SISWA
AKTIF
(Learning Experiential, Cooperative Learning, Problem Based Learning,
Colleborative Learning )
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aktivitas yang dilakukan siswa bukan hanya terbatas dengan fasilitas
pembelajaran tetapi harus mampu menjadikan siswa berperan aktif sehingga untuk
memenuhi harapan dibutuhkan model pembelajaran aktif (active learning) untuk
menunjang keberhasilan belajar. Maksud dari pembelajaran aktif yaitu untuk
mengoptimalkan penggunaan semua potensi yang dimiliki oleh anak didik,
sehingga semua siswa dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai
dengan karakteristik pribadi yang mereka miliki. Di samping itu pembelajaran
aktif (active learning) juga dimaksudkan untuk menjaga perhatian siswa atau
siswa agar tetap tertuju pada proses pembelajaran berlangsung. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa perhatian siswa berkurang bersamaan dengan

berlalunya waktu. Penelitian Pollio (1984) menunjukkan bahwa: siswa dalam
ruang kelas hanya memperhatikan pelajaran sekitar 40% dari waktu pembelajaran
yang tersedia. Sementara penelitian Keachie (1986) menyebutkan bahwa: Dalam
sepuluh menit pertama perhatian siswadapat mencapai 70%, dan berkurang
sampai menjadi 20% pada waktu 20 menit terakhir. Kondisi tersebut merupakan
kondisi umum yang terjadi di lingkungan sekolah dimana siswa diruang
kelas lebih banyak menggunakan indera pendengarannya dibandingkan visual,
sehingga apa yang dipelajari di kelas tersebut cenderung untuk dilupakan.
Ungkapan tersebut didukung dengan penelitian Pollio (1984, hlm. 232) yang
menyatakan bahwa:
Adanya perbedaan antara kecepatan bicara guru
dengan tingkat kemampuan siswa mendengarkan
apa yang disampaikan guru. Kebanyakan guru
berbicara sekitar 100-200 kata permenit,
sementara siswa hanya mampu mendengarkan 50100 kata per menitnya (setengah dari apa yang
dikemukakan guru), karena siswa mendengarkan
pembicaraan guru sambil berpikir.

3


Efektifitas pembelajaran bukan hanya sebatas kemampuan guru
mengendalikan siswa untuk memenuhi apa yang menjadi tujuan dalam
pembelajaran tetapi lebih mengendepankan keberhasilan dalam
penyampaian tujuan pembelajaran sesuai dengan waktu yang disediakan.
Pembelajaran yang berhasil juga bergantung pada metode dan model belajar
yang diterapkan didalam kelas.
B. Tujuan
1. Memahami dasar teori konstruktivisme sebagai landasan belajar,
dengan memaksimalkan pemahaman pebelajar.

2. Memahami Model Pembelajaran Experiential Learning
3. Memahami model pembelajaran cooperative learning

4. Memahami model pembelajaran problem based learning
5. Memahami model pembelajaran collaborative learning

4

PEMBAHASAN
A. Dasar Teori Konstruktivisme Sebagai Landasan Belajar, Dengan

Memaksimalkan Pemahaman Pebelajar
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai
kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih
memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan
pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang
baru, yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan
pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang
mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Kontruktivisme di definisikan sebagai pengajaran yang menekankan
aturan pebelajar dalam membangun dan memahami pengetahuan (Woolfolk,
2003). Pebelajar membangun pengetahuan yang mereka buat untuk membuat
pengertian pengetahuan di lingkungannya (McGow, Drisscoll, Roop, 1995)
dan belajar terjadi ketika pebelajar secara aktif dalam situasi yang ditujukan
permasalahannya secara kompleks atau menyelesaikan masalah. (Gagnon &
Collay, 2001)
Konstruktivisme dalam prinsip pembelajaran terlibat seperti yang diteliti
oleh laboratorium utara pendidikan pusat dan daerah (NCRL, 1999) meliputi

banyak komponen konstruktivisme dalam pembelajaran sebagai alat untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Deskripsi pembelajaran terlibat meliputi;
siswa mengekplorasi, prosedur pengetahuan, direksi dan manajer dari
pembelajaran mereka sendiri. Guru adalah fasilitator, mereka mencari
Kurikulum desain pertumbuhan profesional, dan melakukan penelitian. Tugas
belajar otentik, menantang, dan multidisiplin. penilaian otentik, berdasarkan
kinerja, dan berkelanjutan dan jenderal baru belajar. Keterlibatan
pembelajaran yang dikembangkan oleh guru melalui penggunaan teknologi,
berharga ketika membantu siswa mencapai kabupaten penting, negara atau
standar nasional. Banyak guru telah belajar melalui pendidikan mereka awal,

5

pengembangan staf, dan pendidikan penataran untuk merencanakan kegiatan
mahasiswa yang mewakili belajar terlibat otentik, berharga dan melibatkan
prinsip-prinsip konstruktivis sementara menggunakan teknologi pendidikan
sebagai alat untuk belajar.
Karakteristik Pembelajaran Konstruktivist
1. Active Learning (ketika murid ditujukan mencari sesuatu untuk diri
mereka sendiri) berbeda dengan passice learning (ketika murid sebagai

penerima onformasi yang ditujukan)
2. Kegiatan pembelajaran harus menarik dan menantang
3. Pebelajar harus merelasikan informasi yang lama dengan informasi baru
(saling berkaitan dan menjebatani)
4. Pebelajar harus merefleksikan atau memikirkan tentang apa yang
dipelajari
5. Belajar yang terbaik dilakukan pada tempat community of learners baik
secara regu atau situasi sosial
6. Guru harus memfasilitasi belajar atau scaffolding yang mungkin
diperlukan dalam proses belajar.

characteristic

active learning
aunhentic and situated learning
bridging
scafolding
comunities of learners
reflection


6

Perbedaan Pembelajaran Yang Terpusat Pada Guru Dan Murid
Berpusat Pada Teacher
Centered
Pengetahuan dipindahkan
dari pengajar ke peserta
didik
Pesera didik menerima
informasi secara pasif
Belajar dan penilaian
adalah hal yang terpisah
Penekanan pada
pengetahuan di luar
konteks aplikasinya
Pengajar perannya
sebagai pemberi informasi
dan penilaian
Fokus pada satu bidang
disiplin


Berpusat Pada Learner Centered
Peserta didik membangun pengetahuan

Peserta didik terlibat secara aktif
Belajar dan penilaian adalah hal sangat terkait,
Budaya belajar adalah kooperatif, kolaboratif dan saling mendukung
Penekanan pada penguasaan dan penggunaan pengetahuan yang
merefleksikan isu baru dan lama serta menyelesaikan masalah konteks
kehidupan nyata
Pengajar sebagai pendorong dan pemberi fasilitas pembelajran

Pengajar dan peserta didik mengevaluasi pebelajaran bersama-sama
Pendekatan pada integrasi antardisiplin

B. Model Pembelajaran Yang Terpusat Pada Siswa
1. Model Pembelajaran Experiental Learning
Experiential learning adalah model belajar melalui pengalaman yang
konkrit, dengan cara bermain, bermain peran, simulasi, dan diskusi kelompok.
Dimana terjadi kombinasi antara “mendengar, melihat dan mengalami”. Model

pembelajaran ini sangat sesuai digunakan pada usia anak-anak dan remaja pada
masa “the concrete learner” karena berada pada taraf pemahaman konkritoperasional. Mereka cenderung belajar sesuatu yang berasal dari pengalaman
nyata. Mereka masih sulit memahami hal-hal yang disampaikan secara abstrak.
Eksperiential learning mempengaruhi pembelajar dengan tiga cara, yakni;
pengubahan struktur kognitif, sikap dimodifikasi dan perangkat
keterampilan diperluas. Strategi ini dipilih dengan berdasar dari pendapat para
ahli antara lain;
1) Jacob Bronowski (1973) bahwa untuk memahami suatu konsep peserta didik
harus melakukan, pemahaman yang sebenarnya adalah hasil dari
melakukan.
2) Pakar teori kognitif Rusia Lev. S.Vygostsky bahwa belajar dari pengalaman
adalah proses yang menyebabkan terjadinya perkembangan manusia.
Perkembangan seseorang dan peningkatan ketrampilan yang berkelanjutan
bergantung pada partisipasi orang itu dalam latihan- latihan membangun

7

ketrampilan tersebut.
Didasarkan pada sejumlah prinsip dalam teori Kurt Lewin (Lewin,1935,
Lewin dan Grabbe, 1945) sebagai berikut ; Belajar melalui pengalaman

(experiential learning) yang efektif akan mempengaruhi teori tindakan (struktur
kognitif), sikap dan pembentukan nilai (value building), persepsi, dan polapola tingkah laku (behavioral). Manusia akan lebih percaya pada pengetahuan
yang dialaminya sendiri ketimbang pengetahuan yang disajikan orang lain.
Pendekatan inkuiri dan penemuan (discovery) meningkatkan motivasi siswa
untuk belajar dan mendorong siswa komit untuk melaksanakan hasil
kesimpulan yang dari inkuiri dan discovery di waktu depan; Belajar akan lebih
efektif dalam keadaan aktif dibanding dalam keadaan pasif. Penerimaan akan
teori tindakan, sikap- sikap dan pola-pola behavioral yang baru tidak dapat
dilakukan dengan pendekatan sepotong- sepotong, tapi secara keseluruhan
behavioral-afeksi-kognitif orang tersebut harus berubah Belajar melalui
pengalaman secara efektif akan lebih banyak informasi untuk merubah
tindakan, sikap dan pola tingkah laku. Belajar melalui pengalaman lebih
banyak mendapatkan pengalaman untuk menyatukan pengetahuan yang valid
(benar dan dapat dipertanggung jawabkan).
Proses Experiential Learning
Menurut Meetu, proses “experiential learning” itu dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu
Mengalami (“experiencing”).
Mengalami itu sendiri merupakan suatu proses. Dalam contoh murid
“pemalu dan penakut” (yang “diajari”) untuk melakukan kegiatan menyeberang

jalan untuk mencapai toko kelontong, bicara kepada penjaga toko menanyakan
barang dan harganya, dan menghitung berapa uang kembalian yang harus
diterima, semua kegiatan yang dilakukannya itu merupakan bagian dari
pengalaman.
Menganalisis dan merespon (“analyzing & responding”).
Dengan contoh diatas, murid tersebut di atas harus menganalisis
(mengkaji, memikirkan) apa yang harus dilakukannya, apa yang harus ia katakan
ketika penjaga toko menyebut barang dagangan tertentu atau bertanyakan sesuatu,

8

apa yang harus dilakukannya jika uang yang dibawanya tidak cukup untuk
membayar barang yang harus dibeli, itu semua merupakan bagian dari yang
disebut menganalisis. Jangan lupa pula bahwa merespon (menanggapi),
yaitu menanggapi pertanyaan-pertanyaan atau tawaran dari penjaga toko,
misalnya, juga merupakan bagian penting dari “berpengalaman” itu.
Mengaplikasikan (“applying”).
Menerapkan apayang sudah dialami (diketahui dari pengamalammnya
sendiri) ke dalam situasi atau keadaaan yang baru merupakan tahap berikut yang
dilakukan murid. Setiap pengalaman yang pernah dialami murid (yang “sukses”)
akan membuat anak punya rasa percaya diri dan keberanian untuk bertindak atau
melakukan hal yang sama (jika sudah berhasil menyebrang jalan dengan selamat,
akan tak takut lagi menyeberang jalan. Jika sudah bisa berbicara lancar dengan
penjaga toko, akan tak takut lagi untuk datang ke toko dan berbelanja.

2. Model Pembelajaran Problem Based Learning
Smith et.al (2004) berpendapat bahwa model pembelajaran merupakan
suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum
(rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran
dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.
Problem based learning merupakan pembelajaran berdasarkan masalah,
telah dikenal sejak zaman Jonh Dewey. Dewey mendeskripsikan pandangan
tentang pendidikan dengan sekolah sebagai cermin masyarakat yang lebih
besar dan kelas akan menjadi laboratorium untuk penyelidikan dan penuntasan
masalah kehidupan nyata (Smith et.al, 2004).
Howard Barrows dan Kelson mengungkapkan bahwa problem based
learning (PBL) adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam
kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan
pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan
masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan
berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan
yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang
nanti diperlukan dalam karier dan kehidupan sehari-hari. Pembelajaran

9

berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran dimana
siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun
pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan
berpikir tingkat lebih tinggi,
Karakteristik Model Problem Based Learning
Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, Min Liu (2005) menjelaskan
karakteristik dari PBM, yaitu :
1. Learning is student-centered
Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitikberatkan kepada siswa
sebagai orang belajar. Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh teori
konstruktivisme dimana siswa didorong untuk dapat mengembangkan
pengetahuannya sendiri.
2. Authentic problems form the organizing focus for learning
Masalah yang disajikan kepada siswa adalah masalah yang otentik
sehingga siswa mampu dengan mudah memahami masalah tersebut serta
dapat menerapkannya dalam kehidupan profesionalnya nanti.
3. New information is acquired through self-directed learning
Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja siswa belum mengetahui
dan memahami semua pengetahuan prasyaratnya, sehingga siswa berusaha
untuk mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari buku atau informasi
lainnya.
4. Learning occurs in small groups
Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha membangun
pengetahuan secara kolaborative, maka PBM dilaksakan dalam kelompok
kecil. elompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang jelas dan
penetapan tujuan yang jelas.
5. Teachers act as facilitators.
Pada pelaksanaan PBM, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Namun,
walaupun begitu guru harus selalu memantau perkembangan aktivitas
siswa dan mendorong siswa agar mencapai target yang hendak dicapai.
Langkah-Langkah Pelaksanaan Problem Based Learning

10

Pelaksanaan PBM memiliki ciri tersendiri berkaitan dengan langkah
pembelajarannya. Barret (2005) menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan PBM
sebagai berikut :
1. Siswa diberi permasalahan oleh guru (atau permasalahan diungkap dari
pengalaman siswa)
2. Siswa melakukan diskusi dalam kelompok kecil dan melakukan hal-hal
berikut
a. Mengklarifikasi permasalahan yang diberikan
b. Mendefinisisikan masalah
c. Melakukan tukar pikiran berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki
d. Menetapkan hal-hal yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah
e. Menetapkan ha;-hal yang harus dilakukan untuk menyelesaikan
masalah
3. Siswa melakukan kajian secara independen berkaitan dengan masalah
yang harus diselesaikan. Mereka dapat melakukannya dengan cara mencari
sumber di perpustakaan, database, internet, sumber personal atau
melakukan observasi.
4. Siswa kembali kepada kelompok PBM semula untuk melakukan tukar
informasi, pembelajaran teman sejawat, dan bekerjasama dalam
menyelesaikan masalah.
5. Siswa menyajikan solusi yang mereka temukan
6. Siswa dibantu oleh guru melakukan evaluasi berkaitan dengan seluruh
kegiatan pembelajaran. Hal ini meliputi sejauh mana pengetahuan yang
sudah diperoleh oleh siswa serta bagaimana peran masing-masing siswa
dalam kelompok.
3. Model Pembelajaran Cooperative Learning
Paradigma lama tentang proses pembelajaran yang bersumber pada teori
tabula rasa John Lock dimana pikiran seorang anak seperti kertas kosong dan siap
menunggu coretan-coretan dari gurunya sepertinya kurang tepat lagi digunakan
oleh para pendidik saat ini. Tuntutan pendidikan sudah banyak berubah. Pendidik
perlu menyusun dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar dimana anak dapat
aktif membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pandangan

11

kontruktivisme yaitu keberhasilan belajar tidak hanya bergantung pada
lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Belajar
melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa dari apa yang mereka lakukan,
lihat, dan dengar. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran
yang dikembangkan dari teori kontruktivisme karena mengembangkan struktur
kognitif untuk membangun pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional
(Rustaman et al., 2003: 206)
Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Cooperative Learning mengandung pengertian bekerja bersama dalam
mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif (cooperative learning)
merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari dua
sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.
Keberhasilan belajar dan kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas
anggota kelompok, baik secara individual maupun secara kelompok. (Rusman,
2011: 202). Kemudian Sharon (1990) mengemukakan, siswa yang belajar
menggunakan metode pembelajaran kooperatif akan memiliki motivasi yang
tinggi karena didorong dan didukung dari rekan sebaya.
Sistem pembelajaran bekerjasama atau cooperative learning merupakan
sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja
sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Hubungan kerja
seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat
dilakukan siswa untuk mencapai keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan
dirinya secara individu dan andil dari anggota kelompok lain selama belajar
bersama dalam kelompok. Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka harus
diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong, yaitu: a. Saling
ketergantungan positif. b. Tanggung jawab perseorangan. c. Tatap muka. d.
Komunikasi antar anggota. e. Evaluasi proses kelompok

Penekanan dan Karakteristik Metode Cooperative Learning

12

heterogrnrous (mixed)
groups

Cooperative Learning

penekanan: kerjasama murid
dalam satu tim untuk sesama
individu dan tujuan bersama

group task, ussually either
mastery or project work

role of behavior is all for
one, one for all. member
help each other
group reward is equally by
individual members

Selain itu, terdapat empat tahapan keterampilan kooperatif yang harus ada
dalam model pembelajaran kooperatif yaitu:
1. Forming (pembentukan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk
membentuk kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma.
2. Functioniong (pengaturan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk
mengatur aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina
hubungan kerja sama diantara anggota kelompok.
3. Formating (perumusan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk
pembentukan pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang
dipelajari, merangsang penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan
menekankan penguasaan serta pemahaman dari materi yang diberikan.
4. Fermenting (penyerapan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk
merangsang pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif,
mencari lebih banyak
informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh
kesimpulan.
Langkah-langkah pembelajaran cooperative learning
Untuk mewujudkan proses pembelajaran yang sesuai dengan prinsip
cooperative learning, maka dibutuhkan suatu langkah untuk mewujudkan
hasil pembelajaran yang efektif. Adapun langkah-langkah cooperative

13

learning yang dijelaskan oleh Stahl, 1994 dan Slavin, 1983 (dalam Etin
solihatin dan Raharjo) sebagai berikut:
“1) Langkah pertama, yang dilakukan oleh guru adalah
merancang program pembelajaran; 2) langkah kedua,
dalam aplikasi pembelajaran di kelas guru merancang
lembar observasi yang akan digunakan untuk mengobservasi
kegiatan siswa dalam belajar secara bersama dalam
kelompok-kelompok kecil; 3) langkah ketiga, dalam
melakukan observasi terhadap kegiataan siswa guru
mengarahkan dan membimbing siswa, baik secara
individual maupun kelompok, baik dalam memahami
materi maupun mengenai sikap dan perilaku siswa selama
kegiatan belajar berlangsung; 4) langkah keempat, guru
memberikan kesempatan kepada siswa dari masingmasing kelompok untuk mempresentasikan hasil kerjanya”.
Dari keempat langkah yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan
untuk mewujudkan proses pembelajaran cooperative learning secara
maksimal, peran guru sangat menentukan terutama dalam menetapkan
sebuah target. Menyusun langkah-langkah dalam sebuah sistem pembelajaran
disampaikan guru. Setelah itu guru melakukan pengamatan terhadap hasil
kerja dari para siswa. Kemudian melakukan pengarahan dan bimbingan
baik secara individual maupun kelompok.

Untuk melihat hasil kinerja

para siswa, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menyampaikan hasil diskusi kelompok yang telah mereka lakukan.
Langkah-langkah tersebut harus dijalankan dengan baik, guna mencapai
motivasi belajar yang efektif dan memuaskan sesuai dengan yang diharapkan.
Ada beberapa variasi jenis model dalam pembelajaran kooperatif,
walaupun prinsip dasar dari pembelajaran kooperatif ini tidak berubah.

1. STAD (Student Teams Achievement Division)
Pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini siswa
dikelompokkan ke dalam kelompok kecil yang disebut tim. Kemudian seluruh
kelas diberikan presentasi materi pelajaran. Siswa kemudian diberikan tes.
Nilai-nilai individu digabungkan menjadi nilai tim. Pada model pembelajaran
kooperatif tipe ini walaupun siswa dites secara individual, siswa tetap dipacu
untuk bekerja sama untuk meningkatkan kinerja dan prestasi timnya. Bila

14

pertama kali digunakan di kelas anda, maka ada baiknya guru terlebih dahulu
memperkenalkan model pembelajaran kooperatif STAD ini kepada siswa.
2. TAI (Team Assisted Individualization atau Team Accelerated

Instruction)
Tipe model pembelajaran kooperatif yang satu ini sebenarnya
adalah penggabungan dari pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran
individual. Pada model pembelajaran kooperatif tipe TAI, siswa mengikuti
tingkatan yang bersifat individual berdasarkan tes penempatan, dan
kemudian dapat maju ke tahapan selanjutnya berdasarkan tingkat
kecepatannya belajar. Jadi, setiap anggota kelompok sebenarnya belajar
unit-unit materi pelajaran yang berbeda. Rekan sekelompok akan
memeriksa hasil pekerjaan rekan sekelompok lainnya dan memberikan
bantuan jika diperlukan. Tes kemudian diberikan diakhir unit tanpa
bantuan teman sekelompoknya dan diberikan skor. Lalu setiap minggu
guru akan menjumlahkan total unit materi yang diselesaikan suatu
kelompok dan memberikan sertifikat atau penghargaan bila mereka
berhasil melampaui kriteria yang telah ditetapkan, dan beberapa poin
tambahan untuk kelompok yang anggotanya mendapat nilai sempurna.
Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe TAI ini adalah karena siswa
bertanggungjawab untuk memeriksa pekerjaan rekannya yang lain, maka
guru mempunyai waktu yang lebih banyak untuk membantu kelompokkelompok kecil yang menemuai banyak hambatan dalam belajar yang
merupakan kumpulan dari anggota-anggota kelompok yang berada pada
tingkatan unit materi pelajaran yang sama. Banyak penelitian melaporkan
bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TAI ini sangat efektif untuk
digunakan dalam pembelajaran.

3. TGT (Team Game Tournament)
Model pembelajaran kooperatif tipe TGT mirip dengan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD, tetapi bedanya hanya pada kuis yang
digantikan dengan turnamen mingguan (Slavin, 1994). Pada model
pembelajaran kooperatif ini, siswa-siswa saling berkompetisi dengan siswa
dari kelompok lain agar dapat memberikan kontribusi poin bagi

15

kelompoknya. Suatu prosedur tertentu digunakan untuk membuat
permainan atau turnamen berjalan secara adil.
TGT (Teams Games Tournament) Penerapan model ini dengan
cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama
bisa berbeda. Setelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama
dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamika kelompok
kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana
diskusi nyaman dan menyenangkan sepeti dalam kondisi permainan
(games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah, lembut, santun,
dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil
kelompok sehingga terjadi diskusi kelas.

4. Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot
Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi
oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).
Tujuan diciptakannya tipe model pembelajaran kooperatif Jigsaw ini
adalah untuk meningkatkan rasa tanggungjawab siswa terhadap belajarnya
sendiri dan juga belajar anggota kelompoknya yang lain. Mereka diminta
mempelajari materi yang akan menjadi tanggungjawabnya, karena selain
untuk dirinya, ia juga harus mengajarkan materi itu kepada anggota
kelompoknya yang lain. Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
ini ketergantungan antara siswa sangat tinggi. Setiap siswa dalam model
pembelajaran kooperatif ini adalah anggota dari dua kelompok, yaitu (1)
kelompok asal (home group) dan (2) kelompok ahli (expert group).
Kelompok asal dibentuk dengan anggota yang heterogen. Di kelompok
asal ini mereka akan membagi tugas untuk mempelajari suatu topik.
Setelah semua anggota kelompok asal memperoleh tugas masing-masing,
mereka akan meninggalkan kelompok asal untuk membentuk kelompok
ahli. Kelompok ahli adalah kelompok yang terbentuk dari anggota-anggota
kelompok yang mempunyai tugas mempelajari sebuah topik yang sama
(berdasarkan kesepakatan mereka di kelompok asal). Setelah mempelajari
topik tersebut di kelompok ahli, mereka akan kembali ke kelompok asal

16

mereka masing-masing dan saling mengajarkan topik yang menjadi
tanggungjawab mereka ke anggota kelompok lainnya secara bergantian.

5. CIRC (Cooperative Integrated Reading Composition)
Model pembelajaran kooperatif tipe CIRC (cooperative integrated reading
composition) adalah sebuah model pembelajaran yang sengaja dirancang
untuk mengembangkan kemampuan membaca, menulis, dan keterampilanketerampilan berbahasa lainnya baik pada jenjang pendidikan tinggi
maupun jenjang dasar. CIRC dikembangkan untuk menyokong pendekatan
pembelajaran tradisional pada mata pelajaran bahasa yang disebut
“kelompok membaca berbasis keterampilan”. Pada model pembelajaran
CIRC ini siswa berpasang-pasangan di dalam kelompoknya. Ketika guru
sedang membantu sebuah kelompok-membaca (reading group), pasanganpasangan saling mengajari satu sama lain bagaimana “membaca-bermakna”
dan keterampilan menulis melalui teknik reciprocal (timbal balik). Mereka
diminta untuk saling bantu untuk menunjukkan aktivitas pengembangan
keterampilan dasar berbahasa (misalnya membaca bersuara (oral reading),
menebak konteks bacaan, mengemukakan pertanyaan terkait bacaan,
menyimpulkan, meringkas, menulis sebuah komposisi berdasarkan sebuah
cerita, hingga merevisi sebuah komposisi). Setelah itu, buku kumpulan
komposisi hasil kelompok dipublikasikan pada akhir proses pembelajaran.
Semua kelompok (tim) kemudian diberikan penghargaan atas upaya
mereka dalam belajar dan menyelesaikan tugas membaca dan menulis.

Student team
achievement
divisions (STAD)

Team Games
Tournament
(TGT)

penyajian
informasi

Kuis individu
dalam team
Penilaian

Tim vs kompetisi
tim
Penilaian

Team Assisted
Individualization
and Team
Accelerated (TAI)

Jigsaw

Cooperative
Integrated
Reading And
Composition
(CIRC)

uji profisiensi tugas
Tim siswa
Studi individu
tetapi dibantu timpekerjaan, ahli

merencanakan dan
memberikan
presentasi

pasang kerja dan
kerja sama

Kuis individu
dalam team
Penilaian

Kuis individu
dalam team
Penilaian

Kuis individu
dalam team
Penilaian

17

Rekognisi

Rekognisi

Rekognisi

Rekognisi

Rekognisi

Langkah-Langkah pembelajaran metode Cooperative learning
Langkah
Langkah 1
Langkah 2
Langkah 3
Langkah 4
Langkah 5
Langkah 6
Langkah 7

Indikator
Menyampaikan tujuan (set the team goals)
Menyiapkan siswa untuk kerja tim (prepare students for
teamwork)
Menyajikan aturan dalam permainan (give the terms the
assignment)
Memonitor tim (monitor the teams)
Memberika kuis (quiz the students)
Evaluasi (score quizez)
Memberikan penghargaan (recognize teams
accomplishment)

4. Memahami Model Pembelajaran Collaborative Learning
Prinsip kedua Driscoll (2005), negosiasi sosial diwakili dalam
pembelajaran kolaboratif, yang didirikan di sebagian besar strategi pembelajaran
konstruktivis dibahas sebelumnya. Penggunaan komputer yang didukung
pembelajaran kolaboratif adalah format yang paling menonjol saat ini. Roschelle
dan Pea (2002) berspekulasi bahwa perangkat genggam nirkabel akan
memungkinkan CSCL berkembang arah baru dari orang-orang yang mungkin di
laboratorium komputer tradisional.
Pembelajaran kolaboratif tidak tercapai hanya melalui CSCL, tentu saja
Pendidik dan guru di semua tingkatan telah menggunakan dan terus menggunakan
kolaborasi sebagai strategi untuk peserta didik. guru kelas khususnya telah
didesak untuk menggunakan kegiatan belajar terlibat, berdasarkan prinsip-prinsip
konstruktivis, dalam kelompok kecil pertanyaan berbasis otentik, dalam rangka
meningkatkan kemampuan komunikasi, pemecahan masalah dan keterampilan
berpikir kreatif dan kerjasama dan tim belajar kemampuan siswa.
Metode collaborative learning atau disebut dengan pembelajaran kolaborasi
dengan keadaan dimana dua atau lebih peserta didik belajar sesuaru bersamasama.Metode collaborative learning adalah proses belajar kelompok yang setiap
anggota menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap, pendapat,
kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya, untuk secara bersama-sama

18

saling meningkarkan pemahaman seluruh anggota. Tujuan mereka adalah untuk
menemukan solusi, pemahaman, dan menyelesaikan tugas bersama-sama.
Pembelajaran kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada
kesuksesan praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran
(technology for instruction), pembelajaran kolaboratif melibatkan partisipasi aktif
para siswa dan meminimisasi perbedaan-perbedaan antar individu. Pembelajaran
kolaboratif telah menambah momentum pendidikan formal dan informal dari dua
kekuatan yang bertemu, yaitu:
1. Realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas
kolaboratif dalam kehidupan di dunia nyata;
2. Menumbuhkan kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya mewujudkan
pembelajaran bermakna.
Ide pembelajaran kolaboratif bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep
belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan. Pada tahun
1916, John Dewey, menulis sebuah buku “Democracy and Education” yang
isinya bahwa kelas merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai
laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang
utama tentang pendidikan (Jacob et al., 1996), adalah:
1. Siswa hendaknya aktif, learning by doing
2. Belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik
3. Pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap
4. Kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa
5. Pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling
memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur
demokratis sangat penting.
6. Kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata dan
bertujuan mengembangkan dunia tersebut.
Metode kolaboratif didasarkan pada asumsi-asumsi mengenai siswa proses belajar
sebagai berikut (Smith & MacGregor, 1992):
1.

Belajar itu aktif dan konstruktif

Untuk mempelajari bahan pelajaran, siswa harus terlibat secara aktif dengan
bahan itu. Siswa perlu mengintegrasikan bahan baru ini dengan pengetahuan yang

19

telah dimiliki sebelumnya. Siswa membangun makna atau mencipta sesuatu yang
baru yang terkait dengan bahan pelajaran.
2.

Belajar itu bergantung konteks

Kegiatan pembelajaran menghadapkan siswa pada tugas atau masalah menantang
yang terkait dengan konteks yang sudah dikenal siswa. Siswa terlibat langsung
dalam penyelesaian tugas atau pemecahan masalah itu.
3.

Siswa itu beraneka latar belakang

Para siswa mempunyai perbedaan dalam banyak hal, seperti latarbelakang, gaya
belajar, pengalaman, dan aspirasi. Perbedaan-perbedaan itu diakui dan diterima
dalam kegiatan kerjasama, dan bahkan diperlukan untuk meningkatkan mutu
pencapaian hasil bersama dalam proses belajar.
4.

Belajar itu bersifat sosial

Proses belajar merupakan proses interaksi sosial yang di dalamnya siswa
membangun makna yang diterima bersama.
Karakteristik dan penekanan model pembelajaran Collaborative Learning

to get learners think for
themselves

penekanan

to help learners discover
how knowledgeis
formulated
to promote higher-order
thinking skills

20

KESIMPULAN
Konstruktivisme dalam prinsip pembelajaran terlibat seperti yang diteliti
oleh laboratorium utara pendidikan pusat dan daerah (NCRL, 1999) meliputi
banyak komponen konstruktivisme dalam pembelajaran sebagai alat untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Deskripsi pembelajaran terlibat meliputi; siswa
mengekplorasi, prosedur pengetahuan, direksi dan manajer dari pembelajaran
mereka sendiri. Guru adalah fasilitator, mereka mencari Kurikulum desain
pertumbuhan profesional, dan melakukan penelitian. Tugas belajar otentik,
menantang, dan multidisiplin. penilaian otentik, berdasarkan kinerja, dan
berkelanjutan.
Terdapat model-model pembelajaran yang didasari oleh teori
konstruktivistik dimana menekankan kepada model pembelajaran siswa aktif.
Model-model tersebut diantaranya adalah, experiental learning, problem based
learning, cooperative learning, dan collaborative learning.
Experiential learning adalah model belajar melalui pengalaman yang
konkrit, dengan cara bermain, bermain peran, simulasi, dan diskusi kelompok.
Dimana terjadi kombinasi antara “mendengar, melihat dan mengalami”. Smith
et.al (2004) berpendapat bahwa model pembelajaran merupakan suatu rencana
atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana
pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran dan
membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Pembelajaran kooperatif
(cooperative learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar
dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang
anggotanya terdiri dari dua sampai enam orang dengan struktur kelompok
yang bersifat heterogen. Metode collaborative learning atau disebut dengan
pembelajaran kolaborasi dengan keadaan dimana dua atau lebih peserta didik
belajar sesuaru bersama-sama.Metode collaborative learning adalah proses belajar
kelompok yang setiap anggota menyumbangkan informasi, pengalaman, ide,
sikap, pendapat, kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya, untuk secara
bersama-sama saling meningkarkan pemahaman seluruh anggota.

21

Daftar Rujukan
Bartlett, F. C. (1932). Remembering: A study in experimental psychology.
Cambridge: Cambridge University Press.
Cruickshanks, Jenkins, and Metcalf. 1999. The Act Of Teaching Fourth Edition.
Mc Graw Hill.
Dale, Edgar. (1969). Audio-Visual Methods in Teaching, 3rd ed., Holt, Rinehart
& Winston, New York: p. 108
Deshler, J.D. & Kiely, E. (1995). Facilitating Adult Learning Sourcebook.
Cornell.
Dewey, J. (1916). Democracy and Education. MacMillan. Available on-line at
http://www.gutenberg.org/files/852/852-h/852-h.htm
Lie, A. 2002. Cooperative Learning Mempraktikan Cooperative Learning di
Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.
Parwoto. 2007. Strategi Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta :
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Direktorat Ketenagaan.
Pew Research Center (2012). Global Digital Communication: Texting, Social
Networking Popular
Pinto, J.K. & Parente, D.H. (2003). Introduction to Information Systems Project
management. 2nd edition. McGraw-Hill.
Sugandi, A.I. 2002. Pembelajaran Pemecahan Masala Matmatika Melalui Model
Belajar Kooperatif Tope Jigsaw. (Studi Eksperimen terhadap Siswa Kelas
Satu SMU Negeri di Tasikmalaya). Tesis PPS UPI: Tidak diterbitkan.
Soefijanto, Totok. 2008. Learning Project Management in A Simulation: A Case
Study of the SIMproject. Jurnal Universitas Paramadina Vol. 5 No. 3,
Desember 2008: p. 253-266.
Smith, MacGregor, Mattehwsm, and Galbenick. 2004. Learning Communities:
Reforming Undergraduate Education. Springer
Wang, J., Yu, W.C.W., and Wu, E. (2013). Empowering Mobile Assisted
expectations and perceptions. World Journal of Education, Vol. 3, No. 2,
2013: p. 59-70.
Weiss and Dillenbourg, P. (1998). Collaborative learning: Cognitive and
computational approaches. NY: Elsevier Science Permagon