Adopsi Anak ditinjau dari Segi Hukum Isl

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mengenai Adopsi
1. Pengertian Anak Angkat
Mahmud Syaltut yang dikutip Andi Syamsul Alam bahwa ada dua
pengertian anak angkat. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh
dan di didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status
anak kandung kepadanya sesuai dengan QS. Al-Maidah: 2 “…dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan…”. Kedua, mengambil
anak orang lain sebagai anak sendiri dan dia diberi status sebagai anak
kandung sehingga hak dan kewajibannya sama seperti anak kandung dan
dinasabkan kepada orang tua angkatnya. Adopsi yang seperti ini yang
dilarang oleh hukum islam karena mengubah nasabnya kepada ayah
angkatnya dan itu bertentangan dengan al-QS. Al-Ahzab: “…Dia tidak
menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)….”4.
Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak
mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu…5”.
Persamaan dari dua jenis definisi tersebut adalah dari aspek perlindungan
dan kepentingan anak seperti pemeliharaan, pengasuhan, kasih sayang,

pendidikan, masa depan dan kesejahteraan anak. Titik perbedaannya terletak
pada penentuan nasab dengan segala akibat hukumnya. Anak angkat yang
tidak dinasabkan kepada orang tua angkatnya tidak berhak waris mewarisi,
menjadi wali dan lain sebagainya. Sedang anak angkat yang dinasabkan
dengan orang tua angkatnya berhak saling mewarisi, menjadi wali, dan hakhak lain yang dipersamakan dengan anak kandung.
Definisi dalam UUPA tentang Anak angkat adalah anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau
1

2

orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan (Pasal 1 angka 9).
Prinsipnya adalah bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang
tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah
menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi
anak dan merupakan pertimbangan terakhir. (pasal 14) pengangkatan anak
diatur dalam Pasal 39-41 UUPA.
2. Pengertian Adopsi

Istilah

“pengangkatan

anak”

berkembang

di

Indonesia

sebagai

terjemahan dari bahasa Inggris “adoption”, mengangkat seorang anak1, yang
berarti “mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan
mempunyai hak yang sama dengan anak kandung”.2 Pada saat Islam
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, pengangkatan anak telah menjadi
tradisi di kalangan mayoritas masyarakat Arab yang dikenal dengan istilah
tabanni yang berarti “mengambil anak angkat”.

Secara etimologis kata tabanni berarti “mengambil anak”.3 Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga
dengan istilah “Adopsi” yang berarti “Pengambilan (pengangkatan) anak
orang lain secara sah menjadi anak sendiri”. 4 Istilah “Tabanni” yang berarti
seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, dan berlakulah terhadap
anak tersebut seluruh ketentuan hukum yang berlaku atas anak kandung orang
tua angkat,5 pengertian demikian memiliki pengertian yang identik dengan
istilah “Adopsi”.
1 Jonathan Crowther (Ed). Oxford Advanced Leaner’s Dictionary, (Oxford University: 1996),
hlm. 16
2 Simorangkir, JCT. Kamus Hukum, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm. 4
3 Kamus Munjid; Lihat juga Ibrahim Anis dan Abdul Halim Muntashir (et al). Al-Mu’jam alwasith, Mishr; Majma’ al-Lughah al-Arabiyah. 1392 H/1972 M, Cet. II, Jilid I, hlm. 72
4 Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 7
5 Muhammad Ali Al-Sayis. Tafsir Ayat al-Ahkam. (Mesir: Mathba’ah Muhammad Ali Shabih
wa Auladih, 1372 H/1953 M. Jilid IV, hlm. 7

3

Secara terminologis tabanni menurut Wahbah al-Zuhaili adalah
pengangkatan anak (tabanni) “Pengambilan anak yang dilakukan oleh

seseorang terhadap anak yang jelas nasab-nya, kemudian anak itu di nasabkan kepada dirinya”.6 Dalam pengertian lain, tabanni adalah seseorang baik
laki-laki maupun perempuan yang dengan sengaja me-nasab-kan seorang
anak kepada dirinya padahal anak tersebut sudah punya nasab yang jelas pada
orang tua kandungnya. Pengangkatan anak dalam pengertian demikian jelas
bertentangan dengan Hukum Islam, maka unsur me-nasab-kan seorang anak
kepada orang lain yang bukan nasab-nya harus dibatalkan.
Pengangkatan anak (adopsi, tabanni), yaitu suatu pengangkatan anak
orang lain sebagai anak sendiri. Anak yang di adopsi disebut “anak angkat”,
peristiwa hukumnya disebut “Pengangkatan Anak”. Pengangkatan anak
dapat dijumpai dalam lapangan hukum keperdataan, khususnya dalam
lapangan hukum keluarga.
B. Hukum Adopsi Menurut Islam
Sebelum Islam datang, pengangkatan anak di kalangan bangsa Arab telah
menjadi tradisi turun-temurun yang dikenal dengan istilah “ tabanny ” yang artinya
mengambil anak angkat. Nabi Muhammad SAW. pernah melakukan pengangkatan
anak sebelum masa kenabiannya. Anak angkatnya bernama Zaid bin Haritsah, tetapi
kemudian tidak dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya (Haritsah) melainkan diganti
dengan panggilan Zaid bin Muhammad.
Nabi Muhammad SAW., mengumumkan di hadapan kaum Quraisy dan berkata:
“saksikanlah bahwa Zaid, aku jadikan anak angkatku, ia mewarisiku dan akupun

mewarisinya”. Sikap Nabi Muhammad SAW. tersebut merupakan cerminan tradisi
yang ada pada waktu itu. Oleh karena Nabi menganggap sebagai anaknya, maka para
sahabatpun memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad. Demikian pula pernah
dilakukan sahabat Huzaifah yang telah mengangkat seorang anak bernama Salim dan
hal itu mendapat persetujuan dari Nabi Muhammad SAW.
6 Wahbah al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa al-Adillatuhu, Juz 9 (Beirut: Daral-Fikr alMa’ashir, Cet. IV. 1997). hlm. 271.

4

Zaid bin Haritsah bin Syarahil bin Ka’b bin Abdul Uzza adalah seorang anak
yang berstatus budak berasal dari Syam. Masa kecilnya hidup dan dibesarkan di
Tihamah. Zaid diculik dan dibawa di Mekkah sebagai budak belian. Hakim bin
Hizam bin Khuwailid membeli Zaid untuk bibinya Khadijah binti Khuwailid,
selanjutnya Khadijah menyerahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Umur Zaid pada
saat itu sekitar berumur 8 tahun. Setelah Nabi Muhammad SAW menerima dan
memerdekakannya, Zaid dijadikan anak angkatnya.
Suatu ketika keluarga Zaid yang selama itu mencari Zaid mengetahui peristiwa
tersebut, lalu ayah dan pamannya yang bernama Ka’b bin Syarahil datang ke tempat
Nabi Muhammad SAW untuk menebusnya. Atas kehadiran keluarga Zaid tersebut,
Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa yang demikian itu terjadi pula pada masa

lalu (sebelum Islam). Kemudian Nabi Muhammad SAW memberikan opsi kepada
Zaid untuk pergi bersama keluarganya tanpa membayar tebusan, atau tetap tinggal
bersama Nabi Muhammad SAW dan menyatakan bahwa meskipun dia berstatus
merdeka pergi bersama keluarganya, tetapi dia memilih tetap tinggal bersama Nabi
Muhammad SAW, karena Nabi sebagai pengganti ayah dan pamannya bersikap amat
baik padanya. Setelah Zaid dewasa, Nabi Muhammad SAW menikahkan Zaid
dengan Zainab binti Jahsy.
Setelah Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul, turun surat Al-Ahzab ayat 4,
ayat 5, ayat “…Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya), Kami nikahkan engaku dengan dia (Zainab) agar tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat
mereka….” dan ayat 40 “Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara
kamu, tetapi dia adalah utusan Allah…” yang pada intinya melarang pengangkatan
anak dengan akibat hukum memanggilnya sebagai anak kandung dan saling
mewarisi seperti yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Ulama sepakat bahwa
ayat itu turun berkenaan dengan peristiwa Zaid bin Haritsah. Melalui peristiwa
tersebut dapat dipahami bahwa pengangkatan anak itu boleh dilakukan, karena Nabi
Muhammad SAW telah mempraktekkannya, tetapi pengangkatan anak itu tidak
mengubah status nasab seseorang, karena Allah SWT telah menyatakannya dalam
Al-Qur’an bahwa status nasab Zaid tidak boleh dinisbahkan kepada Nabi

Muhammad SAW.

5

Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengawini Zainab,
sebagaimana firman Allah QS. Al-Ahzab ayat 37. Perkawinan Nabi Muhammad
SAW dengan bekas istri anak angkatnya ini menegaskan bahwa adanya hubungan
pengangkatan

anak

tidak serta-merta menciptakan

hubungan

nasab

yang

mengakibatkan statusnya sama dengan anak kandung, karena menikahi bekas istri

anak angkat itu dibolehkan, sedangkan menikahi bekas istri anak kandung
diharamkan untuk selama-lamanya. Hukum Islam melarang praktik pengangkatan
anak yang mempunyai akibat hukum seperti pengangkatan anak pada masa jahiliyah,
yaitu pengangkatan anak yang mengubah status anak angkat menjadi anak kandung
dan terputus hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya, anak angkat
menjadi ahli waris, dan orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak angkat.
Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya
tanggung jawab untuk memberikan nafkah, mendidik, memelihara, dan lain-lain
dalam konteks beribadah kepada Allah SWT. 7

Untuk pengangkatan anak (tabanny) yang dilarang sebagaimana tabanny
yang dipraktekkan oleh masyarakat jahilliyah dan hukum perdata sekuler, yang
menjadikan anak angkat sebagai anak kandung dengan segala hak-hak sebagai
anak kandung, dan memutuskan hubungan hukum dengan orang tua asalnya,
kemudian menisbahkan ayah kandungnya kepada ayah angkatnya.
a. Pengangkatan anak (tabanny) yang dianjurkan, yaitu pengangkatan anak yang
di dorong oleh motivasi beribadah kepada Allah SWT dengan menanggung
nafkah sehari-hari, biaya pendidikan, pemeliharaan, dan lain-lain tanpa harus
memutuskan hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, tidak
menasabkan dengan orang tua angkatnya, tidak menjadikannya sebagai anak

kandung sendiri dengan segala hak-haknya.
b. Seseorang diharamkan menasabkan anak angkatnya pada dirinya. Islam
menyuruh untuk menasabkannya kepada ayah kandungnya seandainya diketahui.

7http://restukift17.blogspot.com/2013/05/pengangkatan-anak-dalam-perspektif.html di akses
tanggal 11 Oktober 2014.

6

Menasabkan silsilah keturunan bapak angkat kepada anak angkat adalah
sebuah kedustaan, mencampur adukkan nasab, merubah hak-hak pewarisan yang
menyebabkan memberikan warisan kepada yang tidak berhak dan menghilangkan
hak waris bagi yang berhak. Menghalalkan yang haram, yaitu ber-khalwat
(berkumpulnya mahram dengan yang bukan), dan mengharamkan yang halal,
yaitu menikah. Rasullulah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam seseorang
menasabkan keturunan kepada yang bukan sebenarnya, yang artinya: “barang
siapa yang dengan sengaja mengakui (sebagai ayah) seorang yang bukan ayahnya
sedang ia mengetahui, maka surga haram buatnya (HR. Bukhari dan Muslim).8
Berdasarkan QS. Al-Ahzab: 4, 5, 37 dan ayat 40, dan berdasarkan Hadits
Rasullulah SAW, “barang siapa yang mendakwakan dirinya sebagai anak dari

seorang bukan ayahnya, maka kepadanya ditimpa laknat dan para malaikat dan
manusia seluruhnya. Dan kelak pada hari kiamat, akan tidak diterima amalanamalannya, baik yang wajib maupun yang sunnat” (HR. Bukhari). Sedangkan
penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam praktek di Pengadilan
Agama, berdasarkan Pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di
Indonesia, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, menetapkan bahwa
anak angkat adalah yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sendiri, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asli kepada
orang tua angkat berdasarkan keputusan pengadilan.
Menurut hukum Islam anak angkat tidak berhak mewarisi harta orang tua
angkatnya dan tidak putus hubungan antara anak angkat dengan orang tua
kandungnya. Hubungan kehartabendaan antara anak yang diangkat dengan orang
tua yang mengangkat dianjurkan dalam bentuk wasiat atau hibah, yang besarnya
maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta yang ada, wasiat itu wajib (berdasarkan Surat
Al-Baqarah Ayat 180 dan Surat Al-Maa’idah Ayat 106). Pengangkatan anak dan
anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum perlindungan anak yang telah
menjadi bagian dari hukum yang hidup dan berkembang dari masyarakat sesuai
dengan adat istiadat dan motivasi yang berbeda-beda serta perasaan hukum yang
8 Ibid

7


hidup dan berkembang di masing-masing daerah, walaupun di Indonesia masalah
pengangkatan anak tersebut belum diatur secara khusus dalam undang-undang
tersendiri.
Dalam hukum Islam tidak ada batasan mengenai usia, baik dari sisi anak
angkat maupun dari sisi orang tua angkat dan tidak ada aturan mengenai apakah
calon orang tua angkat berstatus belum atau tidak kawin (single parent adoption),
pengangkatan anak oleh calon orang tua angkat berstatus kawin, dan
pengangkatan anak yang dilakukan oleh janda atau duda (posthumus adoption).
Termasuk didalamnya adalah pengangkatan anak yang sudah dewasa (akhir
baliq) dan sudah menikah diperbolehkan untuk diangkat. Karena dalam hal ini
sepanjang tidak ada larangan dalam hukum Islam maka hukumnya adalah mubah/
diperbolehkan. Islam memerintahkan bahwa antara anak angkat dengan orang tua
angkat haruslah seagama yaitu Islam, hal ini berguna untuk mengantisipasi
seseorang menjadi murtad.9
Adapun akibat yang ditimbulkan dari pengangkatan anak (adopsi) yang
dilarang dan harus dihindari, antara lain:
1. Untuk menghindari terganggunya hubungan keluarga berikut hak-haknya.
Dengan pengangkatan anak berarti kedua belah pihak (anak angkat dan orang
tua angkat) telah membentuk keluarga baru yang mungkin akan menganggu
hak dan kewajiban keluarga yang telah ditetapkan Islam.
2. Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antara yang halal dan yang
haram. Dengan masuknya anak angkat ke dalam salah satu keluarga tertentu,
dan dijadikan sebagai anak kandung, maka ia menjadi mahram, dalam arti ia
tidak boleh menikah dengan orang yang sebenarnya boleh dinikahinya.
Bahkan sepertinya ada kebolehan baginya melihat aurat orang lain yang
seharusnya haram dilihatnya.
3. Masuknya anak angkat ke dalam keluarga orang tua angkatnya bisa
menimbulkan permusuhan antara suatu keturunan dalam keluarga itu.
Seharusnya anak angkat tidak memperoleh warisan tetapi menjadi ahli waris,
9 Ibid

8

sehingga menutup bagian yang seharusnya dibagikan kepada ahli waris yang
berhak menerimanya.
4. Islam, kata Wahbah Az-Zuhaili (seorang ahli Hukum Islam dari Suriah)
adalah agama keadilan dan menegakkan kebenaran. Oleh karena itu, salah
satu cara untuk menegakkan keadilan dan kebenaran itu wajib menisbahkan
(menghubungkan) anak kepada ayahnya yang sebenarnya. Rasulullah SAW
bersabda bahwa “anak itu dihubungkan pada laki-laki yang seranjang dengan
ibunya (maksudnya ayahnya), (HR. Jamaah, kecuali at-Tirmidzi). Dengan
demikian anak tidak boleh dinisbahkan kepada seseorang yang sebenarnya
bukan ayahnya.
5. Jika Islam memperbolehkan lembaga pengangkatan anak, maka akan
membuka peluang bagi orang mengangkat anak yang berbeda agama
dengannya, yang mengakibatkan berbaurnya agama dalam suatu keluarga.
Akibat hukum lain pun akan muncul, seperti larangan agama untuk saling
mewarisi jika salah satu pihak beragama Islam dan pihak lain tidak. Bisa juga
terjadi perpindahan agama atau pemaksaan agama tertentu secara tidak
langsung kepada anak angkat. Hal ini sangat dilarang oleh Al-Qur’an 10. Para
ulama sepakat bahwa pengangkatan anak hanya dibolehkan dalam rangka
saling

tolong-menolong

dan

atas

dasar

rasa

kemanusiaan,

bukan

pengangkatan anak yang dilarang oleh Islam.
Berdasarkan uraian di atas dapat kita pahami, bahwa bentuk pengangkatan
anak ada dua macam menurut Syekh Mahmud Syaltut:
1) Pengangkatan anak (tabanni) yang dilarang:
a. sebagaimana tabanni yang dipraktikkan oleh masyarakat jahiliyah dan
hukum perdata sekuler yang menjadikan anak angkat sebagai anak
kandung dengan segala hak-hak sebagai anak kandung.
b. Memutuskan hubungan hukum dengan orang tua asalnya.
c. Menisbahkan ayah kandungnya kepada ayah angkatnya.
10 QS. Al-Baqarah (2), ayat:256

9

2) Pengangkatan anak (tabanni) yang dianjurkan:
a. Pengangkatan anak yang didorong motivasi beribadah kepada Allah SWT
dengan menanggung nafkah sehari-hari, biaya pendidikan, pemeliharaan
dan lain-lain tanpa harus memutuskan hubungan hukum dengan orang tua
kandungnya.
b. Tidak me-nasab-kan dengan orang tua angkatnya.
c. Tidak menjadikannya sebagai anak kandung sendiri dengan segala hakhaknya.
Ahmad Al-Bari, mengatakan bahwa “Mengambil dan merawat anak yang
terlantar tanpa harus memutus nasab orang tua kandungnya adalah wajib
hukumnya yang menjadi tanggung jawab masyarakat secara kolektif, atau
dilaksanakan oleh beberapa orang sebagai kewajiban kifayah. Tetapi hukum
tersebut dapat berubah menjadi fardlu’ain apabila seseorang menemukan anak
terlantar atau anak terbuang di tempat yang sangat membahayakan atas nyawa
anak itu.11
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa memungut, mengasuh,
memelihara, dan mendidik anak-anak yang terlantar demi kepentingan dan
kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan nasab orang tua kandungnya
adalah perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh ajaran Islam, bahkan dalam
kondisi tertentu di mana tidak ada orang lain yang memeliharanya, maka bagi
orang yang mampu secara ekonomi dan psikis yang menemukan anak terlantar
tersebut hukumannya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa harus
memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya.

11 Zakariah Ahmad Al-Bari. Ahkam al-Aulad fi al-Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal.
35

10