MENJADI GEREJA YANG PEDULI PADA PENDIDIK

MENJADI GEREJA YANG PEDULI PADA PENDIDIKAN KARAKTER
Uraian Reflektif-Ekklesiologi atas Narasi Hidup Pater Beek
dalam Buku ‘Pater Beek, SJ: Larut tetapi Tidak Hanyut’ karya J.B. Soedarmanta

Disusun sebagai Tugas Kuliah
Mata Kuliah Studi Kasus Sejarah Gereja Indonesia
Dosen Pengampu: Dr. M. Purwatma, Pr
Dr. Fl. Hasto Rosariyanto, SJ

Oleh:

Oleh:
Alb. Irawan Dwiatmaja
NIM: 176312001

PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
T.A 2017-2018
1. PENGANTAR


“Pendidikan menjadi kunci untuk mengubah nasib. Ilmu adalah jendela dunia. Negara
maju, karena orangnya juga berilmu,” ujar ketua MPR Republik Indonesia, Zulkifli Hasan,
dalam kunjungan kerjanya ke Provinsi Lampung pada tanggal 11-12 November 2017.
Sebelumnya, ada seorang tokoh dalam Gerja Katolik yaitu Pater Beek yang sangat
memerhatikan bahwa pendidikan merupakan hal yang penting dalam hidup. Dalam
penjelasannya, ia mengambil motto “Mendidik kaum muda adalah mereformasi dunia”
(Educatio puerorum reformatio mundi). Kalimat tersebut merupakan semboyan Kolose
Ignatius di Amsterdam tempat awal Pater Beek mengenyam pendidikan. Semboyan tersebut
melekat di dalam diri Pater Beek bahkan menjadi semangatnya dalam menjalani hidup
sebagai seorang Pastor Jesuit.
Kita dapat menilai bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental dalam
hidup manusia. Pendidikan menjadi pondasi dalam kehidupan manusia. Sebisa mungkin,
setiap pihak, mengusahakan atau menjadikan pendidikan sebagai cita-cita bersama dalam
memajukan bangsa terutama memanusiakan manusia. Dalam peziarahan hidupnya, Pater
Beek memeberikan diri seutuhnya untuk dunia pendidikan. Secara khusus, Pater Beek
mencurahkan diri dalam pendidikan karakter. Dari peran Pater Beek, kita dapat
menyimpulkan bahwa Gereja Katolik ikut andil dalam memajukan bangsa. Dalam paper ini
penulis akan menyajikan siapa itu Pater Beek, bagaimana peziarahan hidupnya, dan
bagaiamana semangat ekklesiologisnya.
2. PEZIARAHAN HIDUP PATER BEEK

Pater Beek merupakan seorang pastor Jesuit. Ia berasal dari negeri Belanda dan selalu
berusaha bersikap tegas dan terus terang serta memegang teguh prinsip, tetapi senang berada
di antara orang muda dan berusaha mendidik mereka agar memiliki karakter dan
masyarakatnya. Kiprah Pater Beek sangat banyak, bukan hanya untuk kepentingan internal
Gereja tetapi untuk kepentingan umum. Hal itu dapat kita lihat dari kesan para anak didiknya.
Para anak didiknya mengatakan bahwa mereka bisa seperti sekarang berkat didikan dari Pater
Beek. Tentu timbul pertanyaan dalam diri kita, siapa itu Pater Beek? Maka, dalam bagian
berikut kita akan melihat perjalanan hidup Pater Beek dari awal hingga menghadap Sang Allh
Bapa.
2.1 Dari Amsterdam ke Tanah Misi Indonesia
Pater Beek lahir di Amsterdam pada tanggal 12 Maret 1917. Sebagai orang
Amsterdam, Pater Beek juga mewarisi kebiasaan-kebiasaan yang ada. Orang Amsterdam
memiliki ciri khas atau stereotipe yaitu sikap terus terang dan blak-blakan (to the point) tanpa
tedeng aling-aling. Ekspresi orang Amsterdam yang langsung dan terus terang sering
memberi kesan arogan. Orang Amsterdam bangga akan negri atau kota kelahirannya. Sejarah
negeri itu menjelaskan mengapa orang Belanda merasa bangga, seperti dilukikan oleh penyair
Rene de Clercq, ‘Hanya ada satu negeri yang disebut tanah airku, ia tumbuh lewat jerih dan
jerih payah itu adalah jerih payahku’.1
Pater Beek menjalani awal pendidikannya di Kolose Ignatius di Amsterdam.
Semboyan kolose pada tahun itu adalah ‘mendidik kaum muda adalah mereformasi dunia’

(Educatio puerorum reformatio mundi). Kolose mendidik siswanya dengan mengembangkan
humanisme-religius yaitu suatu humanisme yang di satu sisi mengakui otonomi dan potensi
manusia dan di sisi lain mengakui bahwa martabat, otonomi, dan potensinya itu berakar pada
hakekat manusia sebagai anak-anak Allah yang dicintai-Nya. Pendidikan kolose begitu
berhasil sehingga alumni-alumni tidak hanya menghayati humanisme, melainkan menjadi
tokoh-tokoh pembela humanisme-religius. Kemanusian sejati adalah humanisme yang
memuat kepedulian sosial. Dengan model pendidikan kolose, diharapkan para alumni dapat
1

J.B. Soedarmanto, Pater Beek, SJ: Larut tetapi Tidak Hanyut, Jakarta: Obor, 2008,
1

menghayati humanisme yang memuat kepedulian sosial dan sekaligus berjuang untuk
memecahkan masalah sosial yang besar yang melanda tanah air atau bangsa.
Pada waktu di Kolose Ignatius, Pater Beek mengikuti kegiatan sekolah yang khas
Jesuit yaitu menjadi anggota Kongregasi Maria. Kongregasi Maria merupakan paguyuban
yang dibuat agar orang Katolik tergerak dengan penuh semangat untuk berbuat sesuatu bagi
sesama di lingkungannya. Menurut cerita Pater Beek, keikutsertaan dalam Kongregasi Maria
telah menguatkan iman banyak siswa, mahasiswa, dan tokoh-tokoh awam dalam bidang tugas
mereka masing-masing. Inti kongregasi ini adalah spiritualitas Latihan Rohani Santo Ignatius

Loyola, yaitu kesadaran diri sebagai orang yang berdosa tetapi dipanggil Tuhan untuk terlibat
dalam karya kasih dan penebusan umat manusia. Keikutsertaan dalam Kongregasi Maria
membawa perkenalan lebih dekat dengan Spiritualitas Ignatian yang diperkaya dengan
pergaulan dengan para Jesuit yang menjadi guru di kolose sehingga menghantar Pater Beek
untuk bergabung menjadi anggota Jesuit.
Pada tanggal 7 September 1935, Pater Beek masuk Novisiat SJ. Pilihannya menjadi
imam berasal dari hatinya yang mendalam karena merasa dipanggil dan ditambah dengan
kedua kakaknya yang sudah lebih dulu masuk seminari. Pater Beek tertarik masuk Serikat
Jesuit karena Jesuit dipandang sebagai serikat orang-orang pandai dan memiliki pengetahuan
luas, baik dalam intern Gereja maupun dalam masyarakat luas dalam aksi sosial maupun
karya dalam dunia akademis. Selama di novisiat, Pater Beek menempa diri sesuai konstitusi
SJ yaitu untuk mengabdi kepada Allah di bawah panji salib dan melulu melayani Tuhan dan
Gereja-Nya dengan membela dan menyebarluaskan iman serta memajukan umat dalam hal
ajaran dan hidup Kristiani. Pater Beek juga menempa diri dengan aneka bentuk doa seperti
meditasi dan kontemplasi. Pater Beek menyadari diri sebagai seorang yang berdosa, tetapi
‘dipilih’ atau dipanggil Tuhan untuk mengikuti Yesus yang tersalib untuk menyelamatkan
umat manusia.
Setelah menjalani pendidikan novisiat tahun pertama, Pater Beek ditawari untuk
dikirim ke Hindia Belanda: Indonesia. Pada tahun 1936, Pater Beek berangkat ke Indonesia
bersama teman-temannya untuk menjalani masa pendidikan novisiat ke dua di Girisonta,

Ungaran, Jawa Tengah. Pater Beek tertarik dikirim ke Indonesia karena di tanah misi masih
terbuka banyak kemungkinan baru untuk berbuat sesuatu. Selama menjalani masa pendidikan
novisiat, para frater novis diberi instruksi (kuliah) pada pagi hari tentang Konstitusi SJ, cara
bertindak seorang Jesuit (Our Way of Proceeding), modestia (sifat pengendalian diri,
keugaharian, tahu batas dalam hidup dan pergaulan, seperti cara berjalan atau berbicara atau
menyapa dengan santun), dan mempraktekkan hidup rohani dengan doa dan matiraga serta
bertobat dengan melakukan confessio agar menjadi seorang religius yang memiliki semangat
indefferentia (lepas bebas) dari kelekatan akan barang, orang, atau kedudukan serta nama
baik.
Setelah genap dua tahun menjalani masa novisiat, Pater Beek mengucapkan kaul
pertama sebagai skolastik SJ bersama teman-temannya untuk menjalani masa yuniorat di
Girisonta. Selama dua tahun, Pater Beek dan teman-teman menjalani masa yuniorat yang diisi
dengan studi bahasa dan kebudayaan. Pater Beek dan teman-temannya juga mengajar di desadesa sekitar tempat menjalani masa yuniorat. Mereka harus pergi ke desa untuk mengenal
atau belajar bahasa Jawa.
Pada tahun 1939, Pater Beek menjalani studi filsafat di Kolose Ignatius Yogyakarta.
Studi filsafat merupakan bagian dari masa pendidikan dan pembentukan seorang Jesuit.
Filsafat menyelidiki bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu atau sesuatu dapat
menjadi sasaran pengetahuannya, menyelidiki terbentuknya buah pikiran, hukum yang
berlaku umum, hukum berpikir dengan tepat dan bentuk bentuk kesadaran. Studi filsafat
diperlukan karena ada keyakinan dalam Gereja bahwa ‘fides quarens intellectum’ yang

berarti keyakinan iman selalu diikuti oleh pemahaman nalar. Selama Pater Beek menjalani
2

studi filsafat ia berpendapat bahwa suasana belajar di kolose terlalu enak atau terlalu
memanjakan para mahasiswa sehingga kepribadian para mahasiswa calon imam itu dinilai
sebagai kurang ‘taft’, kurang tangguh dan terlalu empuk atau tidak ‘atos’ (keras).
Usai menyelesaikan pendidikan filsafat, Pater Beek menjalani Tahun Orientasi
Kerasulan (Collegejaren) di Kolose Xaverius Muntilan untuk mengajar. Pengalaman Tahun
Kolose Xaverius memberi pengaruh kuat bagi kerasulan Pater Beek. Melihat jumlah tenaga
imam dan jumlah umat Katolik maka lebih efektif dan menjanjikan hasil yang lebih baik bagi
masyarakat bila dapat mendidik kader atau pemimpin. Pendidikan baginya bukanlah kelasikal
maupun massal, tetapi menyangkut pribadi-pribadi yang harus diarahkan dan dididik secara
personal dalam kebersamaan dengan rekan mereka yang juga nanti akan terjun sebagai
pemimpin.
Ketika belum genap setahun menjalani kerasulan di Kolose Xaverius, terjadi perang
di Asia Pasifik yang dimulai dengan penyerbuan Jepang di Teluk Pearl Harbour. Para tentara
Jepang datang ke Jawa dengan tujuan awal untuk membebaskan penduduk pribumi dari
penjajahan Belanda. Namun, dalam perjalanan waktu, Jepang bukan membebaskan penduduk
pribumi dari penjajahan Belanda, mereka malah melakukan invansi yang sama seperti yang
dilakukan Belanda terhadap Indonesia. Para pastor dan suster yang orang Belanda secara

kejam disiksa oleh tentara Jepang. Mereka dituduh orang Jepang melakukan propaganda
untuk kemenangan kerajaan Belanda dan dituduh sebagai mata-mata tentara Sekutu. Selama
masa pendudukan Jepang, Pater Beek dan teman-temannya ditahan di Magelang dan di kamp
di Kesilir, daerah Banyuwangi. Kesulitan dan penderitaan orang-orang yang diinternir
membuat Pater Beek mengatakan bahwa peristiwa ini dipandang sebagai ‘salib’ yang harus
dipikul untuk menuju keadaan keadaan yang lebih baik dan lebih membahagiakan.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Pater Beek dibebaskan dan
kemudian menjalani studi Teologi di Kota Maastricht. Selama menjalani studi, suasana
pendidikan calon imam adalah pembinaan yang bernafaskan semangat Roma-sentris dan praKonsili Vatikan II. Relasi antara sesama frater dapat terjalin akrab dan suasana pembinaan
sangat menekankan separasi dengan dunia dan tindakan yang asketis telah menghasilkan
buahnya dengan kehadiran imam SJ yang berkarakter, seorang pekerja keras, berjiwa
pemimpin, dan menjadi seorang utusan yang taat setia memiliki charitas pastoralis (kasih
pastoral). Setelah menempuh studi selama dua tahun, Pater Beek ditahbiskan menjadi imam.
Pater Beek menyakini bahwa statusnya sebagai imam adalah untuk mengorbankan diri
bersama Kristus. Keseluruhan hidup adalah proses pengorbanan, tidak hanya waktu
merayakan Misa, tetapi dalam keseharian hidup. Pater Beek dengan bebas telah menerima
dan berjanji setia dalam panggilan itu. Baginya, mundur dari jabatan sebagai imam ibarat
menjadikan dirinya ‘sampah’ sehingga tidak mengherankan Pater Beek tidak mudah
mengeluh dan tetap teguh dalam panggilan imamatnya.
2.2 Menjadi Bapak Asrama

Pater Beek tidak langsung mendapat tugas setelah ditahbiskan menjadi imam. Ia harus
menyelesaikan studi akhir teologi mencapai jenjang licentiat dan mengikuti masa Tersiat di
Inggris pada tahun 1950. Usai menjalani masa itu, Pater Beek mendapat tugas menjadi
pembimbing di Seminari Menengah Kanisius di Jalan Code 2 Yogykarta. Tugas pertamanya
sebagai imam itu membuat Pater Beek bersemangat karena baginya pendidikan imam
sangatlah penting. Bersama Pater Ruding sebagai rektor seminari, dalam mendidik seminaris,
mereka menjalankan pandangan tentang adaptasi dan inkulturasi dalam hal pewartaan iman.
Mereka menyadari bahwa dalam pembinaan calon imam adalah membangun Gereja yang
berwajah ‘pribumi’.
Ketika sedang asyik bertugas di seminari, Pater Beek diminta untuk pindah tugas
guna membuka dan mengelola asrama mahasiswa Realino oleh Superior Misi SJ. Pada
3

awalnya Pater Beek kecewa dengan penugasan ini tetapi sebagai anggota serikat, Pater Beek
harus taat kepada pemimpin, seperti ungkapan Pater Dijkstra “It`s such a life in the society”.
Penugasan membina mahasiswa ternyata kemudian menjadi karyanya yang utama sepanjang
hidup. Di balik sikap yang bisa blak-blakan dan pemalunya itu terdapat semangat hidup untuk
taat pada perintah pembesarnya. Karya di asrama Realino menampung para calon pemimpin
masyarakat mahasiswa Katolik dan yang bukan Katolik karena mereka berbakat atau karena
kualitas posisi atau kepandaian dalam hal organisasi. Dengan karya pembinaan mahasiswa itu

dapat diharapkan peranan pentingnya dalam masyarakat.
Pater Beek adalah bapak asrama pertama di Realino yang pertama kali men-design
bagaimana kehidupan asrama dikelola untuk mendidik calon cendekiawan dan pemimpin
masyarakat. Hidup keseharian yang biasa di asrama dijadikan pendidikan mahasiswa calon
intelektual atau profesional yang memiliki leadership tinggi. Bagi Pater Beek, kebiasaan baik,
hidup dengan teratur dan disiplin dapat menolong banyak hal, seperti menghilangkan rasa
malas, ogah-ogahan, dan tidak tahu tujuan. Penghuni asrama bukan saja orang Katolik tetapi
dari berbagai agama dan berbagai daerah wilayah Indonesia. Kehidupan selama di asrama
sangat rukun dan damai. Sama seklai tidak ada perselisihan yang berbau SARA yang
mempertentangkan suku bangsa dan agama.
Hubungan Pater Beek dengan anak dididiknya pada umumnya akrab. Ia mengenal
semua penghuni asrama dengan baik. Tentu saja, warna pribadi Pater Beek amat menentukan.
Dia lebih dekat dengan anak yang entah nakal sekali atau pintar sekali. Lebih-lebih dia
merasa dekat dengan anak yang pintar atau anak yang ‘atos’ atau keras karena perjuangan
hidup atau latar belakang keluarganya yang penuh masalah. Sebagai bapak asrama, Pater
Beek juga memberi kritik dan evaluasi yang seturut gaya orang kelahiran Amsterdam terasa
pedas dan kasar tetapi ‘fair’ dan memberi saran perbaikan yang baik. Evaluasi semacam itu
tidak hanya memperbaiki cara mereka berorganisassi dan melakukan pekerjaan tim, tetapi
juga pendidikan mental untuk tidak cengeng atau tidak aleman, namun kuat dan tahan
menghadapi kritik dan kecaman.

Sleain mengelola asrama, Pater Beek juga memberi retret di Girisonta. Salah satu
peserta retret adalah Harry Chan Silalahi yang pada tahun itu duduk di kelas II SMA de
Britto. Harry Chan mengungkapkan kesannya saat diberi retret oleh Pater Beek bahwa
mereka menangkap betul pesan romo dalam retret agar anak-anak muda tidak bersikap
manget-manget (tidak panas, tidak dingin; setengah-setengah). Dalam relasi dengan pemuda
di luar asrama, Pater Beek berusaha untuk menyemangati dan mencari beasiswa karena
baginya seorang sarjana mungkin ia tidak kaya tetapi memiliki wawasan yang luas sehingga
dapat bekerja lebih untuk masyarakat. Pater Beek juga ambil andil besar dalam pembentukan
PMKRI. Baginya, PMKRI merupakan organisasi pembinaan dan perjuangan. Pembinaan
anggota-anggotanya dan perjuangan untuk masyarakat, Gereja, bangsa, dan negara. Setiap
mahasiswa hendaknya mengikuti PMKRI karena banyak hal yang akan diperoleh dan
dipelajari dalam organisasi yang tidak ada di bangku kuliah.
Pada masa penugasaanya sebagai bapak asrama Realino, Pater Beek menemukan
‘tempat’ karya kerasulan yang cocok baginya atau yang diyakini sebagai panggilan hidupnya,
yaitu pendidikan orang muda. Menurut Pater Beek, sisi pendidikan mental atau karakter itu
sering dilupakan atau minimal tidak digarap dengan terencana dan konsisten, khususnya bagi
kalangan mahasiswa sehingga Pater Beek bertekad untuk menekuninya.
2.3 Berkarya di Tengah Dunia
Pater Beek sangat berjasa dalam mendampingi mahasiswa dan menjadi bapak asrama
yang pengertian untuk anak seminari dan Realino. Namun, karyanya itu harus ditinggalkan

Pater Beek karena mendapat tugas baru. Tugas yang baru lebih menantang lagi karena Pater
Beek akan menghadapi dunia nyata yang penuh dengan kontroversi dan menuntut pemberian
seutuhnya bukan saja sebagai pastor tetapi sebagai ‘negarawan’ sejati. Pater Beek
4

mencurahkan hidupnya dalam perutusan dengan senang hati dan tetap pada tujuan hidupnya
yaitu mendidik mental. Dalam perutusannya, Pater Beek selalu mendidik mental orang-orang
yang ada didekatnya baik secara langsung maupun tidak langsung.
2.3.1 Moderator Kongregasi Maria
Sehabis masa tugasnya sebagai bapak asrama Realino, Pater Beek mendapat tugas
untuk berkarya sebagai moderator Kongregasi Maria di Jakarta pada tahun 1960. Selain
menjadi moderator Kongregasi Maria, Pater Beek juga menjadi moderator Ikatan Buruh
Pancasila dengan teman-temannya. Namun, karena ada perbedaan strategi dengan Pater
Djikstra yang menghendaki pendampingan massal, sementara Pater Beek lebih memilih
selektif maka akhirnya pendampingan buruh dan tani diserahkan kepada Pater Djikstra. Pater
Beek mengonsentrasikan diri pada kegiatan Kongregasi Maria dan nantinya mengelola Biro
Dokumentasi.
Inti Kongregasi Maria adalah spiritualitas Latihan Rohani Santo Ignatius Loyola,
yaitu kesadaran diri sebagai orang yang berdosa tetapi dipanggil Tuhan untuk terlibat dalam
karya kasih dan penebusan umat manusia, melalui doa meditasi yang dikaitkan dengan
kerangka ‘aksi’ atau perbuatan nyata sehingga doa itu menjadi lebih bersemangat atau lebih
hidup. Konregasi Maria diadakan untuk para mahasiswa dan para sarjana yang sudah bekerja
dalam aneka profesi yang dikumpulkan lewat jalur paroki. Pater Beek memiliki kemampuan
‘talent scouting’ atau pemandu bakat. Pendampingan baginya tidak hanya terhadap pemuda
yang ‘saleh’, tetapi juga pemuda-pemuda yang nakal, bahkan pemuda yang melakukan tindak
kriminal. Ketika diingatkan bahwa pemuda yang menjadi anak asuhnya berbuat kejahatan,
Pater Beek selalu berkilah bahwa Yesus juga tidak mendatangi orang-orang saleh dan sehat
saja, tetapi mengunjungi orang sakit dan mendatangi orang yang tidak baik. Pater Beek
berhasil menyalakan api semangat untuk berbuat sesuatu. Kongregasi Maria di paroki-paroki
dapat menjadi semacam ‘benteng’ atau sarana pembinaan mental anggota dan orang-orang di
sekitarnya yang dapat membendung ‘atheisme’.
Pembinaan mental dan pribadi dalam kegiatan Kongregasi Maria dijadikan wahana
oleh Pater Beek untuk membangun pribadi-pribadi yang mampu menghayati ‘humanisme
transendental’ dalam kehidupan konkret. Humanisme transendental merupakan cara hidup
atau cara keberadaan manusia yang melampaui lingkup seluruh kenyataan dunia ini sehingga
manusia harus mengerti diri dan memahami dunianya dalam terang apriori transendental
sebagai orang beriman yang diwahyukan dalam Kitab Suci. Untuk mencapai itu maka
dibiasakan doa dan refleksi. Doa dan refleksi menggugah hati nurani manusia yang terdalam
untuk menangkap ‘gerakan Roh’ lewat suasana hati yang mantap-gembira-semangat
(konsolasi) atau ragu-ragu-rasa bersalah-sedih (konsolasi). Humanisme transendental tidak
dihayati sendirian, tetapi secara bersama dan dalam kelommpok formal seperti dalam
keluarga, gereja paroki, dan kelompok khusus. Dengan doa yang mewarnai kegiatan
kelompok dan refleksi dan evaluasi kegiatan, diharapkan orang menjadi mampu menangkap
kehendak dan bimbingan Tuhan dalam karya Tuhan dengan lebih bersemangat.
Dalam Kongregasi Maria, lewat renungan dan arahan setiap kali pertemuan, Pater
Beek menekankan bahwa Yesus dilihat sebagai raja yang dikasihi dan amat mengasihi
manusia sebagai Hati Kudus yang terbuka untuk semua orang. Dalam kelompok, setiap
anggota diberi kesempatan untuk sharing mengenai pengalamannya. Setiap pengalaman yang
dibagikan merupakan pengalaman pembelajaran. Para anggota belajar melakukan discerning
(memilah-milah mana yang baik dan yang lebih baik lagi), sending (membagikan kepada
orang lain), supporting (memberi dukungan), evaluating (mengevaluasi mana yang sudah
baik dan yang kurang untuk diteruskan atau diperbaiki). Pembelajaran lewat mengolah
pengalaman dimaksudkan untuk membantu para anggota bertumbuh. Lewat pengalaman
yang dapat disebut sebagai pendidikan integral para anggota akan memiliki kompetensi, suara
5

hati, berbela rasa (competence, conscience, compassion) sehingga melahirkan komitmen pada
pelayanan bagi orang lain.
2.3.2 Biro Dokumentasi
Dalam menentukan suatu karya, Pater Beek sebagaimana para Jesuit pada umumnya
selalu mempertimbangkan akan kemungkinan hasil yang lebih besar dan akibat bagi
kepentingan umum yang lebih. Ide membangun Biro Dokumentasi merupakan ide dari
Provinsial SJ agar ibukota negara sebagai pusat pemerintahan dan politik yang amat
berpengaruh pada kepentingan umum ada suatu pusat pemikiran tentang begitu banyak
persoalan yang dialami oleh orang-orang Katolik. Pertimbangan akan kepentingan umum dan
hasil yang lebih besar itu membuat Pater Beek bersemangat menerima tugas baru untuk
memulai Biro Dokumentasi sebagai pusat informasi dan komunikasi untuk memahami
proses-proses sosial politik yang sedang terjadi di tanah air. Biro Dokumentasi diharapkan
dapat membantu problematika umat Katolik untuk menghadapi perkembangan sosial dan
politik masyarakat. Biro Dokumentasi adalah suatu lembaga yang menyediakan bahan-bahan
studi dan analisis keadaan berdasarkan tolok ukur ajaran dan moralitas Katolik agar dapat
dipergunakan bagi para aktivis yang terlibat dalam organisasi kemasyarakatan.
Biro Dokumentasi telah menyiarkan beberapa dokumen mengenai kebijakan
pemerintah dan beberapa evaluasi mengenai kejadian-kejadian penting di Indonesia. Situasi
politik Indonesia mulai memanad, baik di tingkat lembaga-lembaga perwakilan, pers,
maupun kehidupan keseharian yang ditandai dengan pawai, unjuk rasa untuk mendukung
atau mengganyang orang tertentu atau ide tertentu. Keadaan itu bagi kebanyakan umat
membingungkan, tetapi arus besar dari kalangan umat Katolik tetaplah bersikap positif dan
inklusif. Tokoh-tokoh Katolik yang terlibat dalam bidang politik tetap mempertahankan
semangat nasionalisme dan sekaligus dekat dengan tokoh-tokoh demokrat Muslim. Meskipun
mendukung pemerintahan Bung Karno, Kasimo, Ketua Umum Partai Katolik didukung oleh
Mgr. Adrianus Djajaseputra SJ, Prefek Apostolik Jakarta, berani menolak ‘konsepsi presiden’
(tahun 1957) yang membuka pintuk kaum komunis.
Pada waktu itu, perkembangan situasi sosial dan politik amat membingungkan dan
terancam bahaya, menjadi tugas Gereja untuk memberikan dan mewawarkan pemikiranpemikiran baru bagi umat. Maksud keterlibatan itu adalah untuk memberikan pengharapan,
memberi pencerahan yang mengajar kebijaksanaan. Bukan berkaitan dengan pemisahan dan
pengisolasian diri dengan pihak yang tidak sepaham, atau memisahkan diri dari yang jahat
tetapi membuka dialog untuk penyadaran yang mungkin saja memakan watu lama.
Pemisahan-pemisahan smacam itu bersifat sektarian. Gereja tidak setuju dengan pemisahan,
juga bila pihak yang bersangkutan itu bertentangan dengan diametrial, tetapi selalu terbuka
untuk dialog dan bekerja sama dengan pihak lain dalam membangun dunia dengan segala
kesulitan dan tantangannya.
Pada saat gejolak terjadi, pada tahun 1962 terbit karya Neil J. Smelser, Theory of
Collective Behavior di London yang sangat mewarnai pemikiran untuk menyikapi dan
menangani gejolak sosial. Menurut Smelser, gejolak sosial dinamakan ‘collective behavior’
adalah mobilisasi atas dasar suatu ‘belief’, keyakinan yang mendefinisikan kembali aksi
sosial. Gejolak sosial itu berwujud perilaku yang tidak terlembaga, seperti keranjingankeranjingan, gila mode, revivalisme agama, pergerakan utopis dan masianistis, atau
pemberontakan dan revolusi. Belief yang menjadi dasar pergerakan orang-orang untuk
berpartisipasi dalam episode gejala sosial dinamakan generealized belief yang anatominya
sebagai berikut: 1) bersifat histeris melahirkan panik, 2) bersifat pencapaian keinginan
melahirkan keranjingan atau tipe tertentu revivalisme 3) bersifat permusuhan melahirkan
upaya pengkambinghitaman orang lain atau tindak kekerasan dan semacamnya 4) yang
6

berorientasi nilai melahirkan revolusi politik, pergerakan nasional, pemberontakan
menentang undang-undang dasar negara dan semacamnya.
Menurut Smelser, komponen pokok aksi sosial adalah nilai-nilai, norma-norma,
mobilisasi motivasi per orangan untuk aksi yang teratur dalam peran-peran kolektif, dan
fasilitas situasional atau informasi, keterampilan, alat-alat, dan rintangan dalam mencapai
tujuan yang konkret. Dalam pandangan Smelser, gejolak sosial dapat terjadi apabila terdapat
sejumlah determinan atau necessary conditions yang berturut-turut terdiri atas hal-hal sebagai
berikut: 1) keadaan struktural yang memungkinkan (structural conduciveness), yaitu
mungkin atau tidaknya struktur sosial budaya masyarakat terhadap gejolak sosial, 2)
ketegangan struktural (structural strain) ekonomi, 3) penyebaran keyakinan yang dianut (the
spread of generalized belief), dalam hal ini situasi dibuat bermakna bagi para pelakuyang
potensial, sumber ketegangan dan cara-cara menghadapinya harus diidentifikasi, 4) faktor
pencetus (the participating factor) berupa sesuatu yang dramatik. Krisis keuangan misalnya
dapat diartikan sebagai depriviasi ekonomi yang melahirkan ketegangan struktural dan dapat
pula menjadi faktor pencetus terjadinya suatu gejolak sosial, 5) mobilisasi untuk mengadakan
aksi (mobilization into action). Dalam kondisi itu, peran seorang pemimpin sangat
menentukan. Situasi dapat dimlai dengan agitasi untuk reform atau revolusi, 6) counter
determinant yang mencegah, menganggu, membelokkan, dan merintangi gejolak-gejolak itu.
Pemikiran Smelser ikut mewarnai pembentukan Biro Dokumentasu dalam
menemukan momentumnya untuk mengantisipasi suatu gejolak sosial yang dapat muncul
dalam masyarakat Indonesia. Pemikiran Smelser juga semakin meyakinkan Pater Beek
tentang perlunya kader atau pemimpin umat yang dapat memberikan arah dan pengaruh
positif di kalangan umat. Pembentukan biro itu juga dilatarbelakangi suatu keyakinan bahwa
ajaran Gereja Katolik tidak hanya merupakan salah satu sumbangan bagi pembangunan
masyarakat dan negara, melainkan juga keyakinan bahwa Gereja merupakan instansi yang
mempunyai prinsip-prinsip yang tepat untuk menghadapi masalah-masalah dan kesulitankesulitan yang dialami. Tujuannya adalah mengikuti, menyelidiki, mempelajari, dan
membahasakan keadaan dan problematik Gereja (agama) dan negara untuk mencapai
pemecahan secara Katolik dan untuk berusaha agar pemecahan Katolik itu dapat diterima
serta dilaksanakan.
Biro Dokumentasi yang dipimpin oleh Pater Beek memberi dukungan dengan
penyediaan bahan-bahan berupa analisis yagn diedarkan dalam bentuk newsletter kepada para
aktivis yang terlibat di Front Pancasila dan di Sekber Golkar. Front Pancasila dibangun untuk
melindungi Front Nasional yang merupakan lembaga yang menghimpun semua partai politik,
organisasi massa, dan kekuatan kekaryaan, angkatan bersenjata, dan dipimpin oleh seorang
menteri. Lewat tim yang bekerja keras dan kompak, dapat dihasilkan semcam newsletter
yang berisi pemikiran dan analisis yang membantu tidak hanya bagi umat Katolik tetapi juga
mereka yang aktif dalam dunia sosial. Sejumlah klipping kejadian dari surat kabar terkemuka
dikumpulkan dan dianalisis sehingga dapat ditangkap suatu gambaran tentang realitas yang
tengah terjad. Untuk pemahaman ide atau gagasan tertentu, masyarakat pembacanya juga
disuguhi analisis yang tajam atau pemikiran alternatif dari buku atau para ahli di bidangnya.
Pater Beek bertugas memformulasikan spiritualisme dan aspek moral di balik rencana dan
tindakan yang akan diambil. Pater Beek melaksanakan tugasnya sebagai seorang pastor SJ
yang melaksanakan bimbingan rohani.
2.3.3 Menggembleng Kaum Muda dengan Khasebul
Perkembangan situasi seseudah tahun 1965 menimbulkan sejumlah persoalan moral
politik dalam masyarakat. Biro Dokumentasi terus berjalan melakukan pendampingan dalam
analisis sosial dan prinsip-prinsip moral serta ajaran sosial Gereja kepada para aktivis dan
umat Katolik dengan informasi dan analisis perkembangan situasi. Perkembangan politik
7

yang menjadi epilog Gerakan 30 September 1965 tetap diikuti oleh Pater Beek dengan Biro
Dokumentasinya. Namun, Pater Beek lebih tertarik dengan pendidikan orang-orang muda
khususnya mahasiswa.
Pada akhir tahun 1966, Pater Beek memulai program Khasebul (Khalwat Sebulan)
yang diperuntukkan bagi mahasiswa. Pendidikan selama satu bulan ini pada dasarnya adalah
pendidikan kerohanian dengan menitikberatkan pada doa dan meditasi, ditambah dengan
pengenalan situasi konkret dalam masyarakat di mana para mahasiswa itu nanti akan terjun
terlibat, dan diperkaya dengan ajaran sosial Gereja. Khalwat Sebulan ini dimaksudkan untuk
mendidik para ‘kader’ atau calon pemimpin masyarakat. Menurut Pater Beek, kader adalah
orang yang bisa menggetarkan dunia, merombak keadaan masyarakat dengan kelompok
kecil, menjadi tulang punggung masyarakat atau menjadi inti dalam suatu lingkungan
masyarakat. Menjadi kader berarti menjadi sesuatu yang lain dari yang lain, keranjingan
dalam menjalankan apa yang dipikirkan dalam batas-batas yang ditentukan oleh moral dan
etika. Menjadi kader berarti menjalankan apa yang sudah direncanakan dengan matang.
Menjadi kader dimaksudkan agar seseorang pemuda sadar dan mau berbuat seperti Kristus
sendiri yang mau turun ke dunia menebus umat-Nya. Kader terlibat dalam tindakan nyata
dalam memperbaiki kebobrokan yang ada dalam masyarakat. Ia tidak hanya melihat, tetapi
mau berbuat seseuatu dan menjalankannya dengan tidak berpuas diri dengan apa yang telah
dicapai. Namun, selalu mau lebih (bersikap magis) dalam menghadapi persoalan ataupun
tindakan.
Dalam proses penggemblengan, Pater Beek mengatakkan bahwa manusia buak jiwa
dan raga, rohani dan jasmani, melainkan ia adalah penuh jiwa-raga atau rohjasmani atau jiwa
yang membadan/badan yang menjiwa. Bagi Pater Beek, merumuskan bahwa manusia bukan
hanya ‘sum’ tetapi ‘sursum’ atau yang dapat mengatasi manusia itu sendiri yang secara
umum disebut dengan daya-daya rohani yang mengatasi kejasmanian. Dalam ilmu psikologi,
Pater Beek dekat denga Teori Indentitas (Identity Theory) yang dirumuskan oleh JCC Smart
yang menyatakan bahwa ketangguhan badan itu juga ketahanan jiwa. Orang yang tidak tahan
sakit pasti juga akan mudah menyerah bila disakiti. Dengan demikian, pembinaan mental atau
karakter juga mengandaikan pembinaan fisik yang kuat, dengan disiplin, olahraga yang
teratur, dan belajar menahan rasa sakit.
Situasi dan suasana khalwat memang dibuat menyerupai situasi yang mencekam atau
memungkian suasana Radical Behaviorism. Dalam khalwat, para mahasiswa pasti takut untuk
dipulangkan atau takut gagal sehingga menimbulkan rasa malu bagi orang yang
merekomendasikannya untuk ikut dan tidak tahu bagaimana perjalanan khalwat itu karena
materi dan latihan dirahasiakan. Tidak semua peserta Khasebul dapat lulus menjalani masa
penggemblengan selama sebulan penuh. Bila menurut penilaian Pater Beek seorang peserta
tidak layak, entah karena tidak jujur atau tidak memenuhi syarat, maka peserta tersebut
dipulngkan meskipun baru satu hari atau dua minggu mengikuti khalwat.
Dalam pembentukan karakter, Pater Beek sangat menekankan agar seseroang
mengenal dirinya sendiri. Dalam usaha pengenalan diri itu diperlukan usaha keras yang tidak
suam-suam kuku untuk menganli dan mengatasi kelemahan yang ada agar dapat
mengejawantahkan potensi dirinya seoptimal mungkin. Orang tidak cukup menjadi baik (bisa
mengasihi diri sendiri dan sesama), tetapi juga kompeten (memiliki keahlian/keterampilan
tertentu) sehingga hidupnya berarti. Usaha itu dilakukan dengan cara mengubah diri dengan
suatu semangat dan cara hidup tertentu atau hidup dengan ‘spiritualitas’.
Program Khasebul mau mengajak orang-orang muda untuk memiliki dengan terlebih
dahulu mengalami spiritualitas Kristiani dengan hidup askestis dan doa terus-menerus.
Dengan sikap asketis dan hidup doa yang merupakan usaha melatih diri terus menerus dapat
diharapkan akan lahir sesuatu kemampuan dengan hasil kerja yang konkret. Kemampuan atau
keahlian itu tidak hanya sekadar teknis, tetapi menjadi semacam karisma karena memiliki
8

motivasi yang lebih mendalam daripada hanya sekedar hidup (berkecukupan, berguna). Pater
Beek memandang kemampuan karismatis dapat dikembangkan bila memang sudah ada beinh
di dalamnya, tetapi akan tetap tinggal tertidur bila tidak dibina dengan tindakan dan sarana
asketis. Untuk itu, usaha Khsebul, ‘kaderisasi’, atau pembinaan diri merupakan langkah awal
bagi setiap peserta untuk terus-menerus dilakukan agar potensi-potensi yang ada dalam diri
orang muda dapat tumbuh berkembang. Peserta perlu dididik dengan keras atau spartan, tidak
hanya mental tetapi juga fisik. Pater Beek memegang prinsip Belanda yaitu cara pengobatan
yang lemah lembut membuat borok semakin menyengat baunya.
Dalam pembentukan menjadi pribadi yang pemberani, rasa takut tidak pernah menjadi
pemimpin yang baik, karena seorang pemimpin harus mengambil inisiatif, harus berbuat,
sedangkan rasa takut justru melemahkan, bahkan melumpuhkan. Rasa takut harus dipahami
dan dirasionalkan sebab muncul terutama oleh manusia sendiri yang membayangkan sesuatu
sebagai andaikata begini atau begitu lalu bagaimana. Bayangan itu hanyalah khayalan belaka
karena bukan realitas.
Pater Beek sangat kuat dipengaruhi latar belakang pendidikan dan alam pikirnya.
Pater Beek dididik dan dibesarkan dalam suasana Katolik Pra-Konsili Vatikan II yang
memandang dunia sebagai entitas yang peyoratif. Bagi Pater Beek, seorang kader harus
memfokuskan kehidupan rohani untuk menyangkal dunia lewat tindakan asketis dengan
puasa, matiraga, dan pantang. Menurut pengakuan Pater Beek, proses pendidikannya menjadi
intensif ketika ia hidup dalam interniran tentara Jepang. Pengalaman menempuh pendidikan
yang sering dinilai spartan dan keras itulah yang sering ditularkan kepada para anak
dididiknya. Pater Beek juga mnegajarkan kepada anak-anak muda itu bagaimana
berorganisasi dengan baik, membuat dokumentasi yang benar, bagaimana berbicara di depan
umum dan bagaimana berjuang dengan berani karena memegang teguh prinsip kristiani.
Dalam mendidik kaum muda menurutnya tidak bisa massal tetapi cura personalis yaitu
pendampingan priibadi demi pribadi. Tidak mengherankan bila Pater Beek memberi nama
khusus kepada semua anak muda yang diasuhnya. Seorang kader bagi Pater Beek adalah
seorang pribadi keras dan tidak manget-manget, tetapi panas atau dingin sekali dan tahan
banting yang bisa memimpin dan mewarnai lingkungan sekitarnya.
Dalam mendidik kaum muda, Pater Beek mengatakan bahwa kaum muda harus dapat
menembus batas. Pandangannya terhadap Gereja juga dikatakan bahwa kekatolikan bukan
terbatas sebagai agama atau konstitusi Gereja, tetapi lebih-lebih jiwa dan penghayatan iman
akan Kristus yang nyata dalam diri orang per orang. Batas antara orang per orang atau
golongan sebenarnya adalah suatu ‘topos’, suatu tempat dan ruang yang bisa disinggahi oleh
kedua belah pihak. Batas adalah suatu zona tak bertuan, suatu grey area yang dapat dimasuki
oleh berbagai macam orang dan golongan.
Pater Beek memiliki pandangan yang unik tentang masyarakat atau bangsa. Bagi
Pater Beek semua masyarakat harus terlibat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam
keterlibatan itu, masyarakat harus berperan sebagai rasul yang diibaratkannya sebagai
bertindak laksana garam di tengah masyarakat. Garam memiliki rasa asin sehingga ia
berpendapat bagaimana mempertahankan rasa asin tanpa menjadi tawar karena tekanan dan
pasang surut kehidupan? Pater Beek memunculkan kunci yaitu komitmen untuk mengikuti
jejak Yesus sebagai motivasi dasar yang selalu digagas dan dipikirkan kembali. Berdoa
sebenarnya adalah menyatakan apa yang yang kita harapkan, apa yang kita inginkan, apa
yang kita mohonkan, dan lebih penting lagi menjadi apa yang selalu kita usahakan dalam
tindakan kita. Pater Beek selalu menekankan agar orang jujur kepada Tuhan (Honest to God)
dengan jujur terhadap suara hati atau nuraninya sendiri. Menurut Pater Beek, seorang kader
harus melatih discerment. Discerment (diskersi) dalam semangat Ignatian bukan untuk
memilih antara baik dan buruk, tetapi memilih mana yang lebih baik, paling baik.
9

Untuk Pater Beek, seorang kader harus memiliki mental untuk tidak pandang. Pater
Beek mengibaratkan seperti garam yang berasa tetapi tidak teraba dan tidak terlihat. Sebagai
kader tidak bisa mengklaim jasa atau prestasi yang dihasilkan. Bagi Pater Beek, sebagai
garam para kader diharapkan untuk memiliki ketahanan fisik, mental, dan spiritual. Pater
Beek sering merumuskan ketahanan itu harus seperti ketahanan pohon palma di padang
gurun. Di tengah situasi yang sulit seperti di padang gurun dengan cuaca yang sangat panas
pada siang hari dan dingin di malam hari pohon palma tetap bertahan kokoh sehingga pohon
palma menjadi simbol kemenangan. Seorang kader harus harus seteguh pohon palma dalam
menghadapi situasi.
2.3.4 Pendamping Aktivis
Pater Beek memiliki keprihatinan terhadap kehidupan sosial. Ia memberikan dirinya
untuk mendampingi kaum muda yang berjuang demi negara yang pada waktu itu situasinya
sangat gawat dengan peristiwa gestapu. Alasannya adalah politik merupakan pilihan riil dan
bukan semacam ‘wishfull thinking’ yang bisa dipikir-pikir lalu bisa (diandaikan) ada. Pater
Beek juga mengatakan bahwa sikap menjauh atau berdiam diri dengan mempertahankan
kesalehan pribadi saja ata menjauhi urusan dengan kekuasaan atau mereka yang berkuasa
yang dapat diartikan sebagai melarikan diri dari kenyataan itu tidak bisa dihindari. Politik
merupakan pilihan riil yang harus dia,bil dan didayagunakan seoptimal mungkin untuk
kepentingan masyarakat yang lebih luas daripada sekadar golongan aatau agama tertentu.
2.4 Akhir Perjalanan
Pada pertengahan 1980, kesehatan Pater Beek mulai menurun. Pater Beek tidak bisa
melakukan banyak hal terutama bekerja. Hal ini membuat Pater Beek menderita karena tidak
berharga. Dalam keadaannya yang sakit, Pater Beek masih merasa khawatir kepada generasi
muda yang tidak dapat menolak godaan materialisme dan hedonisme masyarakat yang maju
ekonominya dan belum menemukan keseimbangan dalam nilai-nilai kehidupan dan
kemasyarakatan seperti dialami masyarakat kota-kota besar di Indonesia. Sebenarnya Pater
Beek masih mempunyai rencana besar dalam hidupnya yaitu mengadakan kaderisasi
berdasarkan kelompok profesi yang tidak melulu mereka yang berkecimpung dalam
kehidupan politik. Namun, Tuhan memiliki kehendak lain. Pater Beek menghadap Allah
Bapa untuk selamanya di RS St. Carolus Jakarta, 17 September 1983 dan dimakamkan di
Girisonta.
3. SEMANGAT EKKLESIOLOGI PATER BEEK: GEREJA PEDULI PADA
PENDIDIKAN KARAKTER
Pater Beek dalam hidup dan karyanya telah menyumbang sebuah model untuk karya
mis Gereja. Model atau semangat yang ingin ditunjukkan Pater Beek kepada dunia ialah
pendidikan karakter atau watak orang-orang muda. Pater Beek ingin memerlihatkan bahwa
Gereja peduli pada dunia lewat karyanya dalam bidang pendidikan yang berkarakter. Gereja
bukan saja institusi rohani yang hanya melayani intern Gereja tetapi Gereja sangat peduli
pada situasi konkrit masyarakat. Pater Beek pada masa itu melihat bahwa salah satu usaha
untuk meningkatkan martabat manusia ialah dengan membangun orang-orang secara khusus
orang muda yang berkarakter humanis-transendental. Artinya, cara hidup yang melampaui
lingkup seluruh kenytaan dunia ini sehingga manusia harus mengerti hidupnya dalam terang
apriori transendental sebagai orang beriman yang dipanggil Tuhan untuk berkarya secara
khusus bagi masyarakat dan sesamanya.
Pendidikan yang berkarakter humanis-transendental tidak dijalankan optimal di
lembaga-lembaga formal seperti sekolah dan universitas. Pater Beek ingin memberi nilai
tambah pada bidang pendidikan karakter atau pendidikan nilai. Unutk melaksanakan itu,
10

Pater Beek bekerja total, baik dalam khalwat yang diselenggarakannya maupun dalam
penyegaran (uprading) yang diadakan bagi mereka yang pernah mengikuti khalwat, dalam
keseharian hidup bersama-sama dengan para mahasiswa yang tinggal satu rumah dan yang
pernah satu tim kerja dengannya. Kesaksian hidup Pater Beek memberi inspirasi dan
keteladanan dalam pendidikan karakter orang muda.
3.1 Transfer Nilai dan Pengetahuan
Pater Beek merasa bahwa dalam dunia pendidikan hal sering kurang mendapat
perhatian ialah pendidikan nilai. Di sekolah dan universitas, pada umumnya orang diasah
secara kognitif yaitu bagaimana berpikir lurus menggunakan logika, bagaimana berargumen,
bagaimana menganalisa seseuatu, bagaimana berpikir sistematis dan masih banyak lagi. Pater
Beek melihat bahwa ada satu ruang kosong yang harus diisi dalam pendidikan supaya
pendidikan itu menjadi seimbang dan berdaya guna. Apabila seseorang pandai secara kognitif
belum tentu dia dapat membagikannya kepada orang lain dan bermanfaat untuk kepentingan
umum. Proses transfer pengetahuan juga dapat dikatakan mudah karena sebelumnya orang
tidak tahu, setelah dijelaskan ia menjadi tahu. Sedangkan proses transfer nilai tidak
sederhana. Nilai-nilai yang hendak ditularkan ialah niali kedisiplinan, kerja keras, ketekunan,
kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati (tidak sombong), dan konsistensi dalam
memperjuangkan sesuatu. Nilai-nilai itu menjadi karakter dalam diri seorang pribadi
manusia. Pendidikan karakter tidak cukup hanya kognitif tetapi mau melakukan dan akhirnya
mampu melaksanakan.
Pendidikan kakrakterk memang mengandaikan seorang peserta didik mengenal nilai
secara kognitif, tetapi dalam perjalanan waktu harus berkembang menjadi penghayatan nilai
secara afektif dan pada akhirnya pengamalan secara nyata. Untuk sampai ke praksis, ada satu
peristiwa batin amat penting yang harus terjadi dalam diri seseorang yaitu munculnya
keinginan yang sangat kuat atau tekad untuk mengamalkan nilai-nilai. Peristiwa ini disebut
konatif. Langkah untuk membimbing peserta didik agar membulatkan tekad disebut langkah
konatif. Dalam pendidikan karakter, urutan langkah yang harus terjadi ialah pengenalan nilai
secara kognitif, pengenalan dan penghayatan secara afektif, dan pembentukan tekad secara
konatif.
3.2 Menjadi Garam di Masyarakat
Bagi Pater Beek, terlibat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan atau politika adalah
berepran sebagai garam masyarakat sehingga mewarnai masyarakat dengan rasa asinnya.
Fungsi garam atau transfer nilai dalam undang-undang yang menjadi dasar seluruh kebijakan
yang selalu dianjurkan oleh Pater Beek agar anak didiknya ikut serta terlibat aktif. Peran
mereka itu bisa dirasakan tetapi tidak untuk dilihat dan tidak dapat diklaim sebagai hasil dan
usaha yang mengaku sebagai garam. Menjadi garam untuk melakukan transfer nilai berupa
penghargaan, tanggung jawab, dan kasih selalu mengandaikan sikap tanpa pamrih. Tidak
hanya bersedia tidak diberi balas jasa berupa penghargaan materi, jabatan atau status sosial,
tetapi juga harus sampai untuk tidak diakui dan tidak dianggap bahwa seseorang telah
berperan sebagai garam.
Orang yang benar-benar menjadi garam adalah orang yang betul-betul tanpa pamrih.
Tidak haya berhenti sa,pai tanpa pamrih dan tidak terlihat, tetapi justru harus menanggung
yang acap kali tidak mengenakkan atau dipandang sebagai ‘salib’ yang harus dipikul karena
benar maka bisa disalahkan, bahkan sampai dihukum dan karena diam dan tidak
mementingkan diri sendiri maka disalahpahami dandifitnah. Menjadi garam bagi Pater Beek
berarti menjadi seperti Kristus yang tersalib. Untuk itu, orang harus melakukan ‘latihan
rohani’ atau menggembleng dirinya terus-menerus agar menyerupai Kristus. Seperti garam
yang rasanya sangat jelas tetapi tidak terlihat oleh mata orang kebanyakan maka
11

kehadirannya yang penuh misteri menjadi misterius. Peran dan kehadiran mereka menjadi
teka-teki yang karena tidak bisa diklarifikasi dan karena ketidaktahuan menjadi
kesalahpahaman dengan memberikan stigma tertentu.
Dalam peziarahan hidupnya, Pater Beek terus-menerus menggembleng orang-orang
muda. Pater Beek kurang lebih sudah menggembleng kaum muda sebanyak seribuan orang
lebih. Bagi Pater Beek, “Kebahagiaan dan pencapaian tertinggi akan datang kerika memilih
untuk hidup konsisten sesuai dengan nilai-nilai tertinggi dan keyakinan pribadi yang
terdalam” (Hapiness and high performance come to you when you choose to live your life
consisten with your highest values and your deepest convictions). Konsistensi untuk
menghayati nilai hidup dan iman yang terdalam diyakini akan membauahkan ketentraman
dan kebahagiaan serta prestasi. Sebagai orang beriman, kita harus melatih diri untuk
konsisten pada kebaikan.
Menurut Pater Beek, seorang kader Katolik adalah seorang kstaria yang mengabdi
Yesus sebagai panglima, di akhir perjalanan hidupnya, dalam kematian, seorang ksatria tidak
berpikir berapa banyak harta atau tinggi pangkat atau status sosialnya, melainkan berpikir
bahwa hidup dengan segala problematikanya telah dihadapi dengan gagah berani, dijalani
dengan tulus hati, dengan hati yang mengasihi kepada sesamanya dengan perbuatan dan
kompetensi nyata. Pekerjaan atau karya memang belum selesai, tetapi dengan rela harus
menyerahkan pada generasi muda sebagai generasi penerus yang akan menghidupi nilai-nilai
perjuangan dan kerohaniannya. Menjadi tantangan bagi anak didiknya untuk
mengaktualisasikan nilai perjuangan dan kerohaniannya pada masyarakat sekarang dalam
medan tugas masing-masing.
Orang yang menjadi garam harus menjadi garam yang berkarakter dengan cara
mengenali diri sendiri. Dalam khalwatnya, Pater Beek mengatakan rumuskanlah sebuah
daftar tujuan pekerjaan dan tujuan hidup pribadimu sesuai prioritasnya sehingga kamu
mengetahui persis, mana yang paling penting untuk dirinya. Tujuan-tujuan yang telah
dirumuskan itu harus disesuaikan dengan panggilan pribadimu sebagai orang beriman di
tengah masyarakat. Seorang kader yang berperan menjadi garam di masyarakat adalah orang
yang menghayati kebebasannya untuk berbuat sesuatu di tengah masyarakatnya. Lewat
pengalaman khalwat sebulan atau upgrading selama seminggu, Pater Beek menggembleng
diri peserta agar dapat dipercaya (trustworthiness), hormat, bertanggung jawab, berperilaku
adil (fairness), sikap peduli (care), menjadi warga negara yang baik, pemberani, mandiri dan
tekun, dapat diandalkan (realibility), dan memiliki integritas. Bagi Pater Beek, karakter itu
bukan hadiah yang turun dari langit tetapi hasil penggemblengan pribadi dengan jerih payah,
dan pengorbanan sehingga dapat tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan dewasa. Pater
Beek mengutp Matius 10:16 dengan mengatakan hendaklah kamu cerdik seperti ular dan
tulus seperti merpati. Orang yang memiliki kehendak baik dan ketulusan hati harus pandaipandai dalam bertindak sehingga kebaikan dan ketulusannya benar-benar terealisasi dalam
tindakan.
3.3 Melengkapi Tradisi Lama
Lewat doa dan keheningan saat khalwatm Pater Beek ingin mengajak para peserta
untuk menghayati agama sebagai hubungan pribadi dengan Tuhan. Agama tidak dilihat
dalam bentuknya sebagai ajaran baku, lembaga, ataupun rumusan-rumusan upacara ritual,
tetapi menjadi Gereja yang hidup di masa sekarang. Pater Beek menentang arus ketika
mengajak para mahasiswanya keluar dari benteng kiprah primordial agama (Katolik) untuk
pergi ke daerah dan wilayah baru. Pater Beek menganjurkan anak didiknya untuk keluar dari
tradisi. Lahan baru yang dimaksudkan oleh Pater Beek tidak dimaksudkan untuk menentang
atau meniadakan tetapi menggenapi seperti yang dikatakan oleh Paus Paulus VI dalam
Evangelii Nuntiandi bahwa mewartakan kabar gembira adalah suatu proses yang kompleks
12

yang terdiri dari macam-macam unsur: pembaruan, kesaksian, pewartaan eksplisit, kegiatan
rohani, berinisiatif dalam merasul. Unsur-unsur ini mungkin kelihatan bertentangan bahkan
saling meniadakan, tetapi sesungguhnya saling melengkapi dan saling memperkaya. Masingmasing unsur harus dilihat dalam hubungannya dengan yang lain.
Pater Beek mengatakan bahwa lahan baru itu adalah kerasulan dalam dunia politik
yang membawa dampak ke masyarakat secara luas, dalam organisasi profesi dengan
keunggulan profesionalisme anggotanya yang tidak tanggung-tanggung dan kerasulan dalam
dunia usaha yang menampung banyak tenaga kerja dan membuka lapangan usaha dengan
tetap memerlihatkan hidup sederhana. Keuntungan usaha bukan untuk berfoya-foya atau
hidup dalam kemewahan, tetapi dipergunakan untuk membbuka lahan usaha baru sehingga
banyak tenaga kerja dapat ditampung dan keluarga karyawan dapat dihidupi. Menjadi tugas
bagi orang-orang muda untuk mencari lahan-lahan baru yang menentukan wajah Gereja
Katolik yang sekaligus modern dan merdeka.

13

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24