HUKUM DAN KEADILAN MASYARAKAT indonesia

REVIEW BUKU HUKUM DAN KEADILAN MASYARAKAT
REYNANTA DWISATYA HANDAYA
8111416282
nantadwisatyahandaya@students.unnes.ac.id
Judul
Penulis
Penerbit
Tahun Terbit
Kota Penerbit
Bahasa Buku
Jumlah Halaman
ISBN Buku

: Hukum dan Keadilan Masyarakat
: Umar Sholehudin
: Setara Press (kelompok In_TRANS Publishing)
: 2011
: Malang
: Bahasa Indonesia
: 198 Halaman
: 978 – 602 – 98111 – 8 – 6


Diskusi/Pembahasan
Berangkat dari pemikiran yang menjadi issue para pencari keadilan
terhadap problema yang paling sering menjadi diskursus adalah mengenai
persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum
atau suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan
diterimanya dengan pandangan yang berbeda, pandangan yang menganggap
hukum itu telah adil dan sebaliknya hukum itu tidak adil.
Problema demikian sering ditemukan dalam kasus konkrit, seperti dalam
suatu proses acara di pengadilan seorang terdakwa terhadap perkara pidana
(criminal of justice) atau seorang tergugat terhadap perkara perdata (private of
justice) maupun tergugat pada perkara tata usaha negara (administration of
justice) atau sebaliknya sebagai penggugat merasa tidak adil terhadap putusan
majelis hakim dan sebaliknya majelis hakim merasa dengan keyakinanya
putusan itu telah adil karena putusan itu telah didasarkan pada pertimbanganpertimbangan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundangundangan. Teori pembuktian berasarkan Undang-Undang Positif (Positif
Wettwlijks theorie).
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang
hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam
hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak
waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang

bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.
Orang dapat menggangap keadilan sebagai suatu hasrat naluri yang
diharapkan bermanfaat bagi dirinya. Realitas keadilan absolut diasumsikan
sebagai suatu masalah universal yang berlaku untuk semua manusia, alam,
dan lingkungan, tidak boleh ada monopoli yang dilakukan oleh segelintir orang
atau sekelompok orang. Atau orang mengganggap keadilan sebagai
pandangan individu yang menjunjung tinggi kemanfaatan yang sebesarbesarnya bagi dirinya.

Jika demikian bagaimana pandangan keadilan menurut kaidah-kaidah
atau aturan-aturan yang berlaku umum yang mengatur hubungan manusia
dalam masyarakat atau hukum positif (Indonesia). Secara konkrit hukum
adalah perangkat asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar
manusia dalam masyarakat, baik yang merupakan kekerabatan, kekeluargaan
dalam suatu wilayah negara. Dan masyarakat hukum itu mengatur
kehidupannya menurut nilai-nilai sama dalam masyarakat itu sendiri (shared
value) atau sama-sama mempunyai tujuan tertentu.
Dalam makalah ini, penulis akan meguraikan persoalan keadilan dalam
perspektif hukum nasional. Dalam pandangan hukum penulis hanya akan
menguraikan teori-teori keadilan Aristoteles, John Rawl dan Hans Kelsen.
Sedangkan dalam persfetif hukum nasional Indonesia, penulis akan

menguraikan teori-teori yang berhubungan dengan cita negara (Staatsidee)
sebagai dasar filosofis bernegara (Filosofiche grondslag), yang termaktub
dalam Pancasila sebagai sumber hukum nasional.
“Keadilan tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi dli ruang sidang;
Keadilan itu datang dari luar ruang sidang pengadilan” kata Clarence Darren
pengacara asal Usa. Keadilan di ruang sidang hanya bersifat formalistik,
proseduralistik, dan berpotensi sarat manipulasi dan kolusi. Saatnya hadirkan
keadilan yang lebih substantif yang didasarkan pada nurani dan moralitas
kemanusiaan, bukan pada pasal-pasal yg kaku (rigid). Jadilah yuris yang
progresif dan responsif terhadap nurani keadilan masyarakat.”
Bagaikan mencari jarum dalam sekam. Mungkin itu pepatah yang sangat
pas untuk menggambarkan bagaimana sulitnya masyarakat miskin
mendapatkan akses keadilan hukum di negeri ini. Masyarakat miskin kerapkali
menjadi korban dari penegakkan hukum yang tidak adil. Kita sering mendengar
anekdot sosial yang berkembang dan menjadi pembicaraan di tengah
kehidupan masyarakat terkait dengan penegakan hukum atas masyarakat
miskin ini; “jika si miskin melaporkan kasus pencurian ayam ke pihak
kepolisian, maka ia akan kehilangan sapi”. Pernyataan ini tentunya menohok
praktik penegakkan hukum di negeri ini.
Dalam realitasnya, masyarakat miskin begitu mudah menjadi korban

ketidakdilan hukum di Indonesia. Proses penegakkan hukum seringkali
melahirkan ketidakdilan hukum. Dan ketidakdilan hukum ini bersumber dari
bekerjanya hukum dalam sebuah sistemnya. Ketika hukum dilepaskan dari
konteks sosialnya, maka hukum akan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Dan
inilah yang sekarang sedang menjadi sorotan masyarakat luas. Aparat penegak
hukum melihat dan memahami kasus hukum hanya pada teks-teks “kaku”
yang ada dalam aturan perundang-undangan semata, tanpa berusaha
memahami kasus hukum tersebut dalam konteks sosialnya.
Sebagai negara hukum (rechtstaat), Indonesia saat ini sedang
dihadapkan pada persoalan hukum dan keadilan masyarakat yang sangat
serius. Hukum dan keadilan masyarakat seolah seperti dua kutub yang saling
terpisah, tidak saling mendekat.
Kondisi ini tentu saja berseberangan dengan dasar filosofis dari hukum
itu sendiri, di mana hukum dilahirkan tidak sekedar untuk membuat tertib

sosial (social order), tapi lebih dari itu, bagaimana hukum dilahirkan dapat
memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Keadilan hukum bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin di negeri
ini adalah sesuatu barang yang mahal. Keadilan hukum hanya dimiliki oleh
orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses politik dan ekonomi saja.

Sementara, masyarakat lemah atau miskin sangat sulit untuk mendapatkan
akses keadilan hukum dan bahkan mereka kerapkali menjadi korban
penegakan hukum yang tidak adil.

Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di
negeri ini. Munculnya pelbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di
pelbagai daerah, menunjukkan sistem dan praktik hukum kita sedang
bermasalah. Menurut Ahmad Ali (2005), supremasi hukum dan keadilan hukum
yang menjadi dambaan masyarakat tak pernah terwujud dalam realitas riilnya,
keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin menjadi-jadi. Kepercayaan
masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk.
Keadilan hukum bagi hak masyarakat harus dijamin dan dilindungi oleh
negara. Hak untuk mendapatkan keadilan hukum sama derajatnya dengan hak
masyarakat untuk mendapatkan keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Namun
dalam praktiknya, masyarakat miskin, masih sulit untuk mendapatkan akses
terhadap keadilan hukum. Akses tersebut adalah jalan yang dilalui oleh
masyarakat untuk menggapai keadilan di luar maupun di dalam pengadilan.
Aturan normatif tersebut tak seindah praktik di lapangan. Proses
penegakan hukum yang seharusnya mampu melahirkan keadilan hukum, justru
melahirkan ketidakadilan hukum. Dan kelompok masyarakat yang paling

rentan dan sering menjadi korban ketidakadilan hukum ini adalah masyarakat
yang masuk kategori lemah dan miskin. Sebaliknya proses penegakan hukum
lebih cenderung berpihak pada kelompok kecil masyarakat yang memiliki akses
dan kekuatan ekonomi dan politik-kekuasaan.
Dari realita-realita yang ditemuhi oleh penulis buku ini dia mengambil
salah satu kasus unyuk memperdalam pemnbahasan dalam bukunya, yakni
kasus Basar-Kholil. Kerangka analisis yang dipakai dimulai dengan penjelasan
mengenaai hukum dan masyarakat, hukum dan Stratifikasi Sosial Masyarakat,
Hukum dan Kekuasaan, Hukum dan Keadilan Masyarakat dan Pemahaman
Hukum; Yuridis-Sosiologi. Yang dimuat pada bagian pertama.
Adapun bagian kedua memuat potret penegakan Hukum pada
Masyarakat Miskin, disini pembahasan dimulai dan didukung pula dengan datadata terkait mengenai pembahasan. Dilanjutkan pada pembahasan ketiga
disini detail pembahasan difokuskan pada pemahaman mengenai kasus BasarKholil secara komprehensif mulai dari setting histori dan sosiologi sebelum
kasus hingga proses pengadilan. Semuanya diungkap dengan prespektif
sosiologi hukum dengan sangat jelas.

Buku ini memberi pesan bahwa dalam pelaksanaan hukum seyogyanya
tidak hanya terpaku pada pemahaman legalistic-positivis, yakni peraturan
hukum uang berbasis pada hukum tertulis semata, tetapi perlu melakukan
terobosan hukum. Dengan pendekatan yuridis-sosiologis diharapkan dapat

menyelamatkan hukum dari keterpurukan dan menghadirkan wajah keadilan
hukum dan masyarakat yang lebih substantif.
Menjadi hal penting kiranya membaca buku ini, setelah diketahui
pentingnya memahami bagaimana penerapan hukum sekarang ini dan langkah
tepat mengatasi permasalahan hukum yang sering kali timbul dapat dipaham
dari sini Dan semoga lekas menjadi sebuah praktek dalam pelaksanaan hukum
di Negeri ini selanjutnya.
Buku ini bertujuan untuk memahami dan menganalisis kasus hukum
yang menimpa masyarakat miskin, dalam perspektif sosiologi hukum. Selain itu
juga untuk menghadirkan penjelasan secara utuh terhadap problematika
hukum yang akhir-akhir ini sedang marak dihadapi masyarakat miskin. Adapun
kasus hukum yang diangkat dalam buku ini adalah kasus pencurian satu buah
semangka yang dilakukan buruh tani miskin, yakni Bashar-Kholil yang terjadi di
Kota Kediri pada akhir tahun 2009.

Tema ini penting diangkat karena, Pertama, karena kasus ketidakdilan
hukum yang menimpa masyarakat miskin –termasuk kasus Basar-Kholil- saat
ini sedang dan terus menjadi fenomena dan sorotan tajam dari masyarakat
dan media massa, baik cetak maupun elektronika. Publikasi yang begitu massif
atas kasus-kasus ketidakdilan hukum yang menimpa masyarakat miskin telah

mendapat aksi solidaritas, simpatik dan empatik dari masyarakat luas.
Berbagai aksi protes lintas sosial terus mewarnai proses hukum terhadap
masyakarakat miskin.
Kedua, selama ini pelbagai kajian dan penelitian terkait dengan kasus
hukum yang terjadi di masyarakat, terutama yang menimpa kelompok
masyarakat miskin, lebih banyak menggunakan pendekatan yuridis-normatif,
yakni pendekatan yang berbasis pada apa yang telah tertulis dalam peraturan
perundang-undangan. Sementara pendekatan sosiologi hukum masih sangat
minim. Dalam pandangan para sosiolog hukum, pendekatan yuridis-normatif
tidak cukup memadai untuk menjelaskan realitas sosio-yuridis yang terjadi di
tengah masyarakat, seperti halnya kasus pencurian yang menimpa dua buruh
petani miskin tersebut. Pendekatan sosiologi hukum berusaha untuk
menghubungkan hukum dengan keadaan masyarakatnya (Rahardjo, 2010:4).
Ketiga, karena adanya pemahaman yang kurang komprehensif dari
aparat penegak hukum kita dalam melihat dan menangani kasus hukum yang
menimpa kelompok masyarakat miskin. Para aparat penegak hukum kita lebih
bersandar pada pemahaman dan penerapan hukum normatif tertulis saja,
tanpa mempertimbangkan hukum sosiologis. Apalagi pemahaman hukum
positivistik-legalistik ini diwarnai intervensi kekuatan politik-kekuasaan dan
ekonomi. Ini yang kemudian melahirkan praktik diskriminasi hukum yang

begitu massif yang terjadi di tengah masyarakat kita. Dan masyarakat miskin

terus menjadi korban hukum yang dirancang oleh kelompok tertentu yang
memiliki akses politik-kekuasaan dan ekonomi. Pemahaman hukum secara
sosiologis atas kasus hukum yang menimpa masyarakat miskin akan lebih
mendekatkan pada lahirnya keadilan substantif, yakni keadilan didasarkan
pada moral dan kemanusiaan publik.
Hukum yang lebih substansial, bukanlah hukum yang beroperasi dalam
pasal-pasal yang sangat kaku, dan eksklusif. Hukum dalam perspektif sosiologis
adalah hukum yang bergerak dan beroperasi dalam dalam dinamikanya yang
aktual dan faktual dalam sebuah jaringan sosial-kemasyarakatan. Hukum
sosiologis lahir, hidup, dan berkembang dalam jariangan sosial masyarakat
yang kompleks. Dan hukum sosiologis memiliki varian mekanisme sosio-yuridis
dalam menyelesaikan pelbagai konflik sosial yang muncul dalam masyarakat.
Di tengah keterpurukan praktik berhukum di negara Indonesia yang
mewujud dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang
menimpa kelompok masyarakat miskin, sudah saatnya kita tidak sekedar
memahami dan menerapkan hukum secara legalistic-positivistic, yakni cara
berhukum yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule
bound), tapi perlu melakukan terobosan hukum, yang dalam istilah Satjipto

Raharjo, disebut sebagai penerapan hukum progresif. Dan salah satu aksi
progresivitas hukum, adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara
hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan pendekatan yuridissosiologis, diharapkan –selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya,
juga yang lebih riil, pendekatan yuridis-sosiologis diyakini mampu
menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif.
Menurut Prof. Dr. Muchammad Zaidun, S.H., M.Si (Dekan Fakultas Hukum
Universitas Airlangga Surabaya). Pemahaman tentang hukum merupakan
syarat utaman bagi penegak hukum, dan hukum dalam konteks demikian
bukanlah sekedar berupa undang-undang tetapi juga hukum yang hidup dalam
masyarakat. Karena itu pemahaman tentang aspek-aspek non hukum seperti
sosiologi hukum, asntropologi hukum, serta hukum dan masyarakat sangatlah
penting sebagai ilmu bantu dalam bidang penegakan hukum.
Menurut M. Syaiful Aris (Direktur Lembaga Bantuan Hukum Surabaya).
Buku ini relevan untuk dibaca bagi mereka yang ingin mempelajari sisi lain dari
hukum. Memotret rasa keadilan dari perspektif mereka yang menjadi korban
atau mereka yang tidak diuntungkan oleh kebijakan. Semangat masyarakat
untuk mencari keadilan secara nyata diuraikan dalam buku ini. Mereka selalu
mencari jalan bagaimana berjuang mempertahankan hak mereka, meski
ditengah kondisi hukum yang belum secara utuh melindungi kepentingan
masyarakat.


HUKUM DAN

KEADILAN
MASYARAKAT