BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4.1. Kesiapsiagaan - Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Terhadap Kesiapsiagaan Masyarakat di Kawasan Rawan Banjir di Desa Pengidam Kecamatan Bandar Pusaka Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4.1. Kesiapsiagaan

  4.1.1. Pengertian Kesiapsiagaan Menurut Carter (1991) dalam LIPI-UNESCO/ISDR (2006), kesiapsiagaan adalah tindakan - tindakan yang memungkinkan pemerintah, organisasi, masyarakat, dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan tepat guna. Termasuk kedalam tindakan kesiapsiagaan adalah penyusunan rencana penanggulangan bencana, pemeliharaan sumber daya dan pelatihan personil. Kesiapsiagaan merupakan kegiatan - kegiatan yang difokuskan pada pengembangan rencana - rencana untuk menanggapi bencana secara cepat dan efektif. Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana khususnya gempa bumi, pentingnya kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengendalian pengurangan risiko bencana yang bersifat pro-aktif, sebelum terjadibencana. Konsep kesiapsiagaan yang digunakan lebih ditekankan pada kemampuan untuk melakukan tindakan persiapan menghadapi kondisi darurat bencana secara cepat dan tepat (LIPI-UNESCO/ISDR, 2006).

  Pada fase kesiapsiagaan dilakukan persiapan yang baik dengan memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalisir kerugian timbul akibat bencana, dan menyusun perencanaan agar dapat melakukan kegiatan pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi bencana (Japanese Red Cross Society, 2009).

  4.1.2. Tujuan Kesiapsiagaan Menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006), dalam mengembangkan kesiapsiagaan dari suatu masyarakat, terdapat beberapa aspek yang memerlukan perhatian, yaitu:

  (1) Perencanaan dan organisasi (2) Sumber daya (3) Koordinasi (4) Kesiapan (5) Pelatihan dan kesadaran masyarakat.

  Usaha-usaha peningkatan kesiapsiagaan dapat dilakukan pada berbagai tingkatan, yaitu pada tingkat Nasional, Propinsi/Daerah (Kabupaten/Kota)/ Kecamatan, Organisasi Individual, Desa/Kelurahan, RW/RT, rumah tangga, dan tingkat individu/perseorangan.

  IDEP (2007) menyatakan tujuan kesiapsiagaan yaitu:

  1. Mengurangi Ancaman Untuk mencegah ancaman secara mutlak memang mustahil, seperti gempa bumi dan meletus gunung berapi. Namun ada banyak cara atau tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya ancaman atau mengurangi

  2. Mengurangi Kerentanan Masyarakat Kerentanan masyarakat dapat dikurangi apabila masyarakat sudah mempersiapkan diri, akan lebih mudah untuk melakukan tindakan penyelamatan pada saat bencana terjadi. Persiapan yang baik akan bisa membantu masyarakat untuk melakukan tindakan yang tepat guna dan tepat waktu. Masyarakat yang pernah dilanda bencana dapat mempersiapkan diri dengan melakukan kesiapsiagaan seperti membuat perencanaan evakuasi, penyelamatan serta mendapatkan pelatihan kesiapsiagaan bencana.

  3. Mengurangi Akibat Untuk mengurangi akibat suatu ancaman, masyarakat perlu mempunyai persiapan agar cepat bertindak apabila terjadi bencana. Umumnya pada semua kasus bencana, masalah utama adalah penyediaan air bersih. Akibatnya banyak masyarakat yang terjangkit penyakit menular. Dengan melakukan persiapan terlebih dahulu, kesadaran masyarakat akan pentingnya sumber air bersih dapat mengurangi kejadian penyakit menular.

  4. Menjalin Kerjasama Tergantung dari cakupan bencana dan kemampuan masyarakat, penanganan bencana dapat dilakukan oleh masyarakat itu sendiri atau apabila diperlukan dapat bekerjasama dengan pihak-pihak yang terkait. Untuk menjamin kerjasama yang baik, pada tahap sebelum bencana ini masyarakat perlu menjalin hubungan

  4.1.3. Kesiapsiagaan Rumah Tangga dalam Menghadapi Banjir Menurut LIPI UNESCO/ISDR (2006) kesiapsiagaan individu dan rumah tangga untuk mengantisipasi bencana alam, khususnya banjir yaitu: (a) pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana; (b) kebijakan dan panduan; (c) rencana untuk keadaan darurat bencana; (d) sistem peringatan bencana dan (e) kemampuan untuk memobilisasi sumber daya. Penjelasan di atas adalah sebagai berikut :

  1. Pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan.

  Pengetahuan yang harus dimiliki oleh individu dan rumahtangga tentang kejadian alam dan bencana banjir (tipe, sumber, besaran, lokasi), kerentanan fisik bangunan (bentuk dan fondasi). Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat memengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana terutama bagi merekayang bertempat tinggal di daerah rawan bencana seperti banjir.

  2. Kebijakan keluarga untuk kesiapsiagaan Kebijakan kesiapsiagaan berupa kesepakatan keluarga mengenai tempat evakuasi dalam situasi darurat, kesepakatan keluarga untuk melakukan atau berpartisipasi dalam simulasi evaluasi.

  3. Rencana tanggap darurat a. Rencana keluarga untuk merespon keadaan darurat: adanya rencana penyelamatan keluarga (siapa melakukan apa) bila terjadi kondisi darurat.

  b. Rencana evakuasi meliputit tersedianya peta, tempat jalur evakuasi keluarga, tempat berkumpulkan keluarga saat bencana; adanya kerabat/keluarga/teman yang menyediakan tempat pengungsian sementara dalam keadaan darurat.

  c. Pertolongan pertama, penyelamatan, keselamatan dan keamanan.

  1) Tersedianya kotak P3K atau obat-obatan penting untuk pertolongan pertama keluarga.

  2) Adanya rencana untuk penyelamatan dan keselamatan keluarga 3) Adanya anggota keluarga yang mengikuti pelatihan pertolongan pertama 4) Adanya anggota keluarga yang mengikuti latihan dan keterampilan evakuasi.

  5) Adanya akses untuk merespon keadaan darurat.

  d. Pemenuhan kebutuhan dasar

  e. Peralatan dan perlengkapan

  f. Fasilitas-fasilitas penting yang memiliki akses dengan bencana

  g. Latihan dan simulasi/gladi

  4. Sistem peringatan bencana

  Tersedianya sumber-sumber informasi untuk peringatan bencana baik dari sumber tradisional maupun lokal. Adanya akses untuk mendapatkan informasiperingatan bencana. Peringatan dini meliputi penyampaian informasi yang tepat waktu dan efektif melalui kelembagaan yang jelas sehingga memungkinkan setiap individu dan rumah tangga yang terancam bahaya dapat mengambil langkah untuk menghindari ataumengurangi resiko dan mempersiapkan diri untuk melakukan upaya tanggap darurat yang efektif. Kepala keluarga dapat melakukan tindakan yang tepat untuk mengurangi korban jiwa, harta benda dan kerusakan lingkungan dengan peringatan bencana dini untuk itu diperlukan latihan/simulasi bencana yang harus dilakukan apabila mendengar peringatan, kemana dan bagaimana menyelamatkan diri pada waktu tertentu sesuai dengan lokasi dimana kepala keluarga sedang berada saat terjadinya peringatan.

  5. Mobilisasi sumber daya

  a. Adanya anggota keluarga yang terlibat dalam seminar/ pertemuan/ pelatihan kesiapsiagaan bencana b. Adanya keterampilan anggota keluarga yang berkaitan dengan kesiapsiagaan terhadap bencana c. Adanya tabungan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana d. Kesepakatan keluarga untuk melakukan latihan simulasidan memantau tas siaga bencana secara reguler.

4.2. Masyarakat

  Masyarakat menurut definisi Kamus Dewan (2005) adalah kumpulan manusia yang hidup bersama di sesuatu tempat dengan aturan dan cara tertentu. Individu, keluarga dan kumpulan-kumpulan kecil merupakan anggota sesebuah masyarakat. Jaringan erat wujud dalam kalangan anggota tersebut, khususnya melalui hubungan bersemuka. Daripada pergaulan ini, terbina pola hubungan sosial yang berulang sifatnya seperti kegiatan gotong royong, bersama-sama merayakan sesuatu perayaan melalui rumah terbuka, berkumpul menyambut pembesar yang datang berkunjung, menghadiri kenduri majelis perkawinan, membantu mereka yang ditimpa malapetaka atau menziarahi jiran yang sakit berat atau yang telah meninggal dunia. Kekerapan pergaulan ini membina satu kesepaduan dalam masyarakat tersebut sebagai satu unit sosial (Hussin, 2009).

4.3. Bencana

  4.3.1. Definisi Bencana Menurut Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologi.

  W. Nick Carter dalam bukunya yang berjudul “Disaster Management” memberikan devinisi bencana berdasarkan Concise Oxford Dictionary sebagai “sudden or graet misfortume, calamity”. Sedangkan berdasarkan Webster’s Dictionary, bencana dimaknai sebagai “a sudden acalitous event proucing raet material damage, loss, and distress ” (Nunung, dkk, 2012).

  Definisi lain menurut Internasional Strategi For Disaster Reduction (UN-

  ISDR-2002, 24) adalah:“ Aserios disruption of the fuctioning of a community or a

  

socity causing widespread human, material, economic or environmental losses which

exceed the ability of the affected community/society to cope using its own resources

  (Nunung, dkk, 2012).

4.4. Bencana Banjir

  Menurut Setyawan (2008) banjir adalah salah satu proses alam, banjir terjadi karena debit air sungai yang sangat tinggi hingga melampaui daya tampung saluran sungai lalu meluap ke daerah sekitarnya. Debit air sungai yang tinggi terjadi karena curah hujan yang tinggi, sementara itu, banjir juga dapat terjadi karena kesalahan bagian dari siklus hidrologi. Banjir tidak dapat dihindari dan pasti terjadi. Hal ini dapat kita lihat dari adanya dataran banjir pada sistem aliran sungai. saat banjir terjadi transportasi muatan sedimen dari daerah hulu sungai ke hilir dalam jumlah yang besar, muatan sedimen itu bersal dari erosi yang terjadi di derah pegunungan atau perbukitan.

  Banjir akibat kesalahan manusia setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu pengelolaan daerah hulu sungai yang buruk, dan pengolahan drainase yang buruk.

  Dalam siklus hidrologi, daerah hulu sebenarnya adalah daerah resapan air. Pengolahan daerah hulu yang buruk menyebabkan air banyak mengalir sebagai air permukaan yang dapat menyebabkan banjir (Setyawan, 2008).

  Banjir mengandung pengertian aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air normal sehingga melimpah dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah disisi sungai. Aliran air limpahan tersebut yang semakin meninggi, mengalir dan melimpahi tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air. Bencana banjir merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Mistra, 2007).

  Menurut Dibyosaputro (1998) Banjir merupakan satu bahaya alam yang terjadi di alam ini dimana air mengenang lahan- lahan rendah di sekitar sungai sebagai akibat ketidakmampuan alur sungai menampung dan mengalirkan air, sehingga meluap keluar alur melampaui tanggul dan mengenai daerah sekitarnya.

  Menurut Bakornas PB (2007), berdasarkan sumber airnya, air yang berlebihan tersebut dapat dikategorikan dalam empat kategori:

  1. Banjir yang disebabkan oleh hujan lebat yang melebihi kapasitas penyaluran sistem pengaliran air yang terdiri dari sistem sungai alamiah dan sistem drainase buatan manusia.

  2. Banjir yang disebabkan meningkatnya muka air di sungai sebagai akibat pasang laut maupun meningginya gelombang laut akibat badai.

  3. Banjir yang disebabkan oleh kegagalan bangunan air buatan manusia seperti bendungan, tanggul, dan bangunan pengendalian banjir.

  4. Banjir akibat kegagalan bendungan alam atau penyumbatan aliran sungai akibat runtuhnya/longsornya tebing sungai. Ketika sumbatan/bendungan tidak dapat menahan tekanan air maka bendungan akan hancur, air sungai yang terbendung mengalir deras sebagai banjir bandang.

  4.4.1. Faktor-faktor Penyebab Banjir Pada umumnya banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di atas normal, sehingga sistem pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak sungai alamiah serta sistem saluran drainase dan kanal penampung banjir buatan yang ada tidak mampu menampung akumulasi air hujan tersebut sehingga meluap.

  Kemampuan/daya tampung sistem pengaliran air dimaksud tidak selamanya sama, tetapi berubah akibat sedimentasi, penyempitan sungai akibat phenomena alam dan ulah manusia, tersumbat sampah serta hambatan lainnya.

  Penggundulan hutan di daerah tangkapan air hujan (catchment area) juga menyebabkan peningkatan debit banjir karena debit/pasokan air yang masuk ke dalam sistem aliran menjadi tinggi sehingga melampaui kapasitas pengaliran dan menjadi pemicu terjadinya erosi pada lahan curam yang menyebabkan terjadinya sedimentasi di sistem pengaliran air dan wadah air lainnya. Disamping itu berkurangnya daerah resapan air juga berkontribusi atas meningkatnya debit banjir.

  Pada daerah permukiman yang padat bangunan sehingga menyebabkan tingkat resapan air kedalam tanah berkurang. Pada curah hujan yang tinggi sebagian besar air akan menjadi aliran air permukaan yang langsung masuk kedalam sistem pengaliran air sehingga kapasitasnya terlampaui dan mengakibatkan banjir (Ma’mun, 2007).

  Faktor penyebab banjir menurut Yulaelawati (2008), dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) faktor yaitu:

  1. Pengaruh aktivitas manusia, seperti: a. Pemanfaatan daratan banjir yang digunakan untuk pemukiman dan industri.

  b. Pengundulan hutan dan yang kemudian mengurangi resapan pada tanah dan menyebabkan sedimentasi di terusan-terusan sungai yang kemudian mengganggu jalannya air.

  c. Permukiman di daratan banjir dan pembangunan di daerah daratan banjir dengan mengubah saluran-saluran air yang tidak direncanakan dengan baik. Bahkan tidak jarang alur sungai diurung untuk dijadikan pemukiman. Kondisi demikian banyak terjadi di perkotaan di Indonesia. Akibatnya adalah aliran sungai saat musim hujan menjadi tidak lancar dan menimbulkan banjir.

  d. Membuang sampah sembarangan dapat menyumbat saluran-saluran air, terutama di perumahan-perumahan.

  2. Kondisi alam yang bersifat tetap (statis) seperti:

  a. Kondisigeografi yang berada pada daerahyang seringterkena badai atau siklon, misalnya beberapa kawasan di Bangladesh kondisi topografi yang cekung, yang merupakan daratan banjir, seperti Kota Bandung yang berkembang pada Cekungan Bandung.

  b. Kondisi alur sungai, sepertikemiringan dasarsungai yang datar,berkelok- kelok, timbulnya sumbatan atau berbentuk sepertibotol (bottle neck),dan adanya sedimentasi sungai membentuk sebuah pulau (ambal sungai)

  3. Peristiwa alam yang bersifat dinamis, yaitu:

  a. Curah hujan yang tinggi

  b. Terjadinya pembendungan atau arus balik yang sering terjadi dimuara sungai atau pertemuan sungai besar. c. Penurunan muka tanah atau amblasan, misal di sekitar di sekitar Pantai Utara Jakarta yang mengalami amblasan setiap tahun akibat pengambilan air tanah yang berlebihan sehingga menimbulkan muka tanah menjadi lebih rendah. pendangkalan dasar sungai karena sedimentasi yang cukup tinggi.

  Faktor pertama merupakan dampak langsung dari ulah tangan - tangan manusia yang mencari kenyamanan hidup dengan mengeksploritasi, membahayakan, dan merusak lingkungan baik di darat, lautdan di udara. Sementara faktor kedua dan ketiga; alam yang statis dan faktor peristiwa alam yang dinamis, merupakan tantangan bagi manusia untuk dapat berusaha mencari alternatif-alternatif yang dapat mengurangi terjadinya banjir dan dampaknya.

  4.4.2. Dampak Bencana Banjir Menurut Mistra (2007), dampak banjir akan terjadi pada beberapa aspek dengan tingkat kerusakan berat pada aspek - aspek berikut ini:

  1. Aspek Penduduk, antara lain berupa korban jiwa/meninggal, hanyut, tenggelam, luka-luka, korban hilang, pengungsian, berjangkitnya wabah dan penduduk terisolasi.

  2. Aspek Pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya dokumen, arsip, peralatan dan perlengkapan kantor dan terganggunya jalannya pemerintahan.

  3. Aspek Ekonomi, antara lain berupa hilangnya mata pencaharian, tidak berfungsinya pasar tradisional, kerusakan, hilangnya harta benda, ternak dan terganggunya perekonomian masyarakat.

  4. Aspek Sarana/Prasarana, antara lain berupa kerusakan rumah penduduk, jembatan, jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas sosial dan fasilitas umum, instalasi listrik, air minum dan jaringan komunikasi.

  5. Aspek Lingkungan, antara lain berupa kerusakan eko-sistem, obyek wisata, persawahan/lahan pertanian, sumber air bersih dan kerusakan tanggul/jaringan irigasi.

  4.5. Daerah Rawan Bencana

  Daerah Rawan Bencana adalah daerah yang memiliki kondisi atau karekteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (BNPB, 2008).

  4.6. Pengetahuan

  4.6.1. Pengertian Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu, penginderaan terjadi melalui pasca indera manusia yakni indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

  Pengetahuan mempunyai peranan besar dalam perubahan perilaku. Rogers (1995) menjelaskan lebih terinci berbagai variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi.

  Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup: (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type

  

of innovation decisions ), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4)

  kondisi sistem sosial (nature of social sistem), dan (5) peran agen perubah (change agents ).

  4.6.2. Proses Putusan Inovasi Rogers (1983) menjelaskan dalam penerimaan suatu inovasi, biasanya seseorang melalui beberapa tahapan yang disebut Proses Putusan Inovasi. Proses putusan inovasi merupakan proses mental yang mana seseorang atau lembaga melewati dari pengetahuan awal tentang suatu inovasi sampai membentuk sebuah sikap terhadap inovasi tersebut, membuat keputusan apakah menerima atau menolak inovasi tersebut, mengimplementasikan gagasan baru tersebut, dan mengkonfirmasi keputusan ini. Seseorang akan mencari informasi pada berbagai tahap dalam proses keputusan inovasi untuk mengurangi ketidakyakinan tentang akibat atau hasil dari

  Proses keputusan inovasi ini adalah sebuah model teoritis dari tahapan pembuatan keputusan tentang pengadopsian suatu inovasi teknologi baru. Proses ini merupakan sebuah contoh aksioma yang mendasari pendekatan psikologi sosial yang menjelaskan perubahan sikap dan perilaku yang dinamakan tahapan efek dasar.

  Proses keputusan inovasi dibuat melalui sebuah cost-benefit analysis yang mana rintangan terbesarnya adalah ketidakpastian (uncertainty). Orang akan mengadopsi suatu inovasi jika mereka merasa percaya bahwa inovasi tersebut akan memenuhi kebutuhan . Jadi mereka harus percaya bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan relatif pada hal apa yang digantikannya. Lalu bagaimana mereka merasa yakin bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan dari berbagai segi, seperti :

  1. Dari segi biaya, apakah inovasi tersebut membutuhkan biaya yang besar tetapi dengan tingkat ketidakpastian yang besar?

  2. Apakah inovasi tersebut akan mengganggu segi kehidupan sehari-hari?

  3. Apakah sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ada?

  4. Apakah sulit untuk digunakan? Pada awalnya Rogers dan Shoemaker (1971) menerangkan bahwa dalam upaya perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai tahapan pada seseorang tersebut, yaitu :

  1. Tahap Awareness (Kesadaran), yaitu tahap seseorang tahu dan sadar ada terdapat suatu inovasi sehingga muncul adanya suatu kesadaran terhadap hal tersebut.

  2. Tahap Interest (Keinginan), yaitu tahap seseorang mempertimbangkan atau sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tersebut sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut.

  3. Tahap Evaluation (Evaluasi), yaitu tahap seseorang membuat putusan apakah ia menolak atau menerima inovasi yang ditawarkan sehingga saat itu ia mulai mengevaluasi.

  4. Tahap Trial (Mencoba), yaitu tahap seseorang melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya sehingga ia mulai mencoba suatu perilaku yang baru.

  5. Tahap Adoption (Adopsi), yaitu tahap seseorang memastikan atau mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi perilaku baru tersebut.

  Dari pengalaman di lapangan ternyata proses adopsi tidak berhenti segera setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, Rogers (1983, 1995) merevisi kembali teorinya tentang keputusan tentang inovasi yaitu :

  1. Knowledge (Pengetahuan) Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa?, bagaimana?, dan mengapa? merupakan pertanyaan yang sangat penting pada tahap ini. Tahap ini individu akan menetapkan “ Apa inovasi itu? bagaimana dan mengapa ia bekerja?. a. Awareness Knowledge (Pengetahuan Kesadaran), yaitu pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka maka masyarakat tidak merasa memerlukan akan inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran, atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi.

  b. How-to-Knowledge (Pengetahuan Pemahaman), yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan penggunaan inovasi ini.

  c. Principles-Knowledge (Prinsip Dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip- prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang mendasari penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan kampanye kesehatan.

  Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut NCDDR (National Center for

  the Dissemination of Disability Research , 1996), menyebutkan ada 4 (empat)

  dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu:

  a. Dimensi Sumber Diseminasi, yaitu institusi, organisasi, atau individu yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.

  b. Dimensi Isi Diseminasi, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.

  c. Dimensi Media Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan.

  d. Dimensi Pengguna Diseminasi, yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk dimaksud.

  2. Persuasion (Kepercayaan) Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap ini berlangsung setelah tahap pengetahuan dalam proses keputusan inovasi. Tahap pengetahuan lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan tahap kepercayaan bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan memengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi.

  3. Decision (Keputusan) Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Terdapat dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan

  passive rejection. Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi

  dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak inovasi tersebut. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir untuk mengadopsi inovasi.

  4. Implementation (Penerapan) Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya akan terlibat dalam difusi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Klien dalam hal ini adalah masyarakat, akan ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda.

  5. Confirmation (Penegasan/Pengesahan) Ketika Keputusan inovasi sudah dibuat, maka klien akan mencari dukungan atas keputusannya ini . Menurut Rogers (1983) keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu .

  4.6.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Difusi Inovasi Rogers (1983, 1995), ada beberapa faktor yang memengaruhi proses difusi inovasi, seperti: (1) faktor personal, (2) faktor sosial, dan (3) faktor situasional.

  Faktor personal yang memengaruhi difusi inovasi adalah:

  1. Umur Difusi inovasi yang tertinggi terdapat pada sekelompok orang yang berusia relatif kurang dapat menerima perubahan, tetapi bukan berarti mereka tidak mau menerima perubahan untuk orang lain.

  2. Pendidikan Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan suatu tambahan pemehaman tentang hal-hal baru. Disamping itu pendidikan juga merupakan sesuatu yang dapat menciptakan dorongan kepada seseorang untuk menerima suatu inovasi.

  3. Karakteristik Psikologi Seseorang yang fleksibel secara mental, mampu memandang elemen-elemen yang nyata dalam situasi yang baru apabila melakukan penyesuaian diri terhadap situasi tersebut. Dengan perkataan lain, kemampuan mengakses informasi dengan cepat dapat menciptakan suatu keadaan rasional, dimana hal tersebut akan memengaruhi seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi.

  Faktor sosial yang memengaruhi difusi inovasi terdiri dari:

  1. Keluarga Keluarga sering dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk menerima suatu inovasi. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa penerimaan inovasi akan berpengaruh terhadap keseluruhan sistem keluarga.

  2. Tetangga dan Lingkungan Sosial Tetangga adalah orang-orang yang tinggal pada suatu geografis tertentu yang berasosiasi dengan sesamanya daripada dengan pihak luar. Pada umumnya belajar dengan tetangga biasanya lebih berhasil daripada belajar dengan pihak lain yang tinggal berjauhan sehingga tetangga banyak berperan dalam proses difusi inovasi.

  3. Kelompok Referensi Kelompok referensi adalah sekelompok orang yang dijadikan contoh oleh orang lain atau kelompok lain dalam pembentukan pikiran, penilaian, dan keputusan dalam bertindak. Oleh sebab itu kelompok referensi berperan dalam menyadarkan masyarakat yang relatif lambat dalam mengadopsi sesuatu.

  4. Budaya Suatu unsur budaya seperti tata nilai dan sikap sangat berpengaruh dalam proses difusi inovasi. Tata nilai berhubungan dengan tingkat kepentingan seseorang sehingga menjadi penting dalam memengaruhi perilaku individu sedangkan sikap merupakan suatu proses dalam bertindak yang berdasarkan pada tata nilai yang ada.

  Faktor situasional yang memengaruhi difusi inovasi adalah:

  1. Status Sosial Kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat berhubungan positif dengan proses difusi inovasi. Seseorang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat cenderung lebih mudah menerima berbagai perubahan yang ditawarkan disebabkan ia lebih mudah untuk mendapatkan berbagai informasi tentang perkembangan baru yang sedang dan akan terjadi.

  2. Sumber Informasi Orang-orang yang memanfaatkan berbagai sumber informasi yang didapatkannya berkorelasi positif dengan proses difusi inovasi. Sebaliknya, orang-orang yang enggan untuk mencari dan mendapatkan informasi dan hanya bergantung dengan informasi yang apa adanya akan berkorelasi negatif dengan proses difusi inovasi.

  Namun demikian dari penelitian Rogers ini menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap - tahap tersebut diatas (Notoatmodjo, 2007).

  Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu:

  a. Tahu (Know), tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

  b. Memahami (Comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginsterpretasikan materi tersebut secara benar.

  c. Aplikasi (Aplication), aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).

  d. Analisa (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen – komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesis (Synthesis), menujukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian - bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

  f. Evaluasi(Evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.

  Menurut Transtheoretical Model Of Behaviour Change yang dinyatakan oleh Citizen Corps (2006), pengetahuan yang dimaksud adalah dimana individu memiliki pengetahuan tentang tindakan kesiapsiagaan yang direkomendasikan.

4.7. Sikap

  Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap mencerminkan kesenangan atau ketidaksenangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau dari orang yang dekat dengan kita. Mereka dapat mengakrabkan kita dengan sesuatu, atau menyebabkan kita menolaknya (Wahid, 2007).

  Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Cardno dalam Notoatmodjo (2003) membatasi sikap sebagai hal yang memerlukan predisposisi yang nyata dan variabel disposisi lain untuk memberi respons terhadap objek sosial dalam interaksi dengan situasi dan mengarahkan serta memimpin individu dalam bertingkah laku secara terbuka.

  Newcomb dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan tertentu, akan tetapi sebagai salah satu predisposisi tindakan untuk perilaku. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional.

  Sedangkan Krech et al dalam Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa sikap menggambarkan suatu kumpulan keyakinan yang selalu mencakup aspek evaluatif sehingga selalu dapat diukur dalam bentuk baik dan buruk atau positif dan negative. Selanjutnya Mucchielli dalam Notoatmodjo (2003) menegaskan sikap sebagai suatu kecendrungan jiwa atau perasaan yang relative terhadap kategori tertentu dari objek, orang atau situasi.

  Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok : 1. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.

  2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

  3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

  Adapun ciri-ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut :

  1. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan - pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus.

  2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (personal reference) merupakan faktor penguat sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada pertimbangan - pertimbangan individu.

  3. Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan kebutuhan dari pada individu tersebut.

  4. Sosial budaya (culture), berperan besar dalam memengaruhi pola pikir seseorang untuk bersikap terhadap objek/stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2007).

  5. Praktik atau tindakan (practice) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).

  Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support) (Notoatmodjo, 2007).

4.8. Landasan Teori

  Kesiapsiagaan (preparedness) menghadapi banjir adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengantisipasi bencana banjir sehingga tindakan yang dilakukan pada saat dan setelah terjadi banjir dilakukan secara tepat dan efektif (Rahayu dkk, 2009).

  Menurut Transtheoretical Model of Behaviour Change yang dinyatakan oleh Citizen Corps (2006), faktor-faktor yang memengaruhi kesiapsiagaan terhadap bencana adalah 1)external motivasi meliputi kebijakan, pendidikan dan latihan, dana, 2) pengetahuan, 3) sikap , 4) keahlian.

  Menurut Mc.Kiernan et al,2005, teori perkembangan evolusi dari kesiapsiagaan dan plastisitas Brunswikian menyatakan bahwa perilaku berhubungan antara terbentuknya kebiasaan dan punahnya kebiasaan. Merujuk pada

  Transtheoretical Model Of Behaviour Change dan Teori Perkembangan Evolusi

  serta berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan peneliti, terkait dengan kesiapsiagaan tenaga kesehatan Puskesmas menghadapi bencana banjir, maka faktor yang paling berperan dalam memengaruhi tenaga kesehatan Puskesmas melakukan kesiapsiagaan menghadapi bencana banjir adalah pengetahuan, sikap.

4.9. Kerangka Konsep

  Berdasarkan teori-teori yang telah di bahas dalam tinjauan kepustakaan , maka kerangka teoritis dapat digambarkan sebagai berikut :

  Pengetahuan Kesiapsiagaan M asyarakat di Kawasan Rawan Banjir Sikap

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka diatas, maka dapat dijelaskan bahwa dapat dijelaskan bahwa definisi konsep dalam penelitian ini adalah variable independen (variable bebas) yang terdiri dari pengetahuan dan sikap terhadap kesiapsiagaan masyarakat di kawasan rawan banjir.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Terhadap Kesiapsiagaan Masyarakat di Kawasan Rawan Banjir di Desa Pengidam Kecamatan Bandar Pusaka Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013

6 54 91

Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Pendidikan Kepala Keluarga terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga dalam Menghadapi Resiko Bencana Tsunami di Desa Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh Tahun 2013

0 38 147

Pengaruh Pengetahuan dan Pelatihan Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Gempa Bumi Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan terhadap di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Kota Medan Tahun 2013

6 66 117

Pengaruh Sumber Daya Organisasi terhadap Kesiapsiagaan Petugas Penanggulangan Bencana Menghadapi Bencana Banjir di Kabupaten Aceh Timur

4 44 95

Hubungan Pengetahuan dan Sikap terhadap Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Wabah Rabies di Wilayah Kecamatan Medan Tahun 2012

6 78 105

Pengaruh Pengetahuan dan Sikap terhadap Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan Puskesmas Kampung Baru Menghadapi Bencana Banjir di Kecamatan Medan Maimun

30 175 194

Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Kepala Keluarga terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga dalam Menghadapi Banjir di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya

4 65 98

Pengaruh Faktor Pengetahuan, Sikap Dan Pendidikan Kepala Keluarga Terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga Dalam Menghadapi Banjir Di Desa Pelita Sagoup Jaya Kecamatan Indra Makmu Kabupaten Aceh Timur

4 95 152

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Pengaruh Tataguna Lahan dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Pengendalian Banjir di Kabupaten Aceh Utara

0 2 73

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.2. Kompetensi 2.2.1. Pengertian Kompetensi - Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Perawat dalam Kesiapsiagaan Triase dan Kegawatdaruratan pada Korban Bencana Massal di Puskesmas Langsa Baro Tahun 2013

0 1 86