BAB IV KESALAHAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MEMENGARUHI ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaimana

BAB IV KESALAHAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MEMENGARUHI ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN Muatan pada bab empat tesis ini merupakan data penelitian yang

  berhubungan dengan implementasi kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana, serta tanggapan masyarakat terhadap implementasi kebijakan yang dibuat.

  Upaya mewujudkan pembangunan daerah, sesungguhnya harus dimulai dari kecermatan menganalisis masalah lapangan. Hal ini bertujuan agar kebijakan yang terimplementasi dapat menjadi jawaban atas masalah sosial. Bukan sebaliknya, implementasi kebijakan mengeruh situasi sosial dan melahirkan ketegangan antara masyarakat dan pemerintah, sebab dampak ketegangan dapat menjadi indikator penyulut konflik sosial.

  Indikator penyulut konflik tentu memiliki sejumlah aktor. yang turut memainkan peran dengan beragam cara dan tujuan yang berbeda-beda. Ada aktor yang menginginkan suasana pembangunan berjalan sesuai prosedur kebijakan, tetapi ada pula aktor yang menyalahi ketentuan kebijakan yang berlaku. Kita dapat menemukan sejumlah aktor tersebut disetiap “arena”, baik dalam dunia birokrasi pemerintah, adat maupun kehidupan sosial masyarakat.

  Berangkat dari konteks pelaksanaan PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) Kabuapaten Kaimana, masyarakat telah terbentuk menjadi beberapa kelompok, akibat dari hasil akhir pelaksanaan PILKDA. Dalam situasi seperti ini, aktor memainkan peran pada “arena” masing-masing. Maasing-masing aktor bisa ditemukan dalam “arena birokrasi”, “arena tokoh masyarakat”, dan “arena tokoh adat”, serta “arena media masa”. Dari masing-masing “arena” setiap aktor mulai membentuk komunitas menjadi dua kelompok, yang oleh penulis menyebutnya dengan istilah “arena oposisi” dan “arena kualisi”.

Tujuannya sama, “membela rakyat dan menyuarakan aspirasi rakyat”, tetapi terkadang cenderung mempolitisir situasi untuk tujuan yang

  ingin dicapai.

  Kedewasaan perpolitikan di daerah saat ini terasa sangat jauh dari apa yang diharapkan dan yang hendak dicapai. Konteks ini bisa diukur dari fenomena politik yang terjadi di “Negeri 1001 Senja”. Cara bertindak para elit politik yang tidak sejalan, terkadang membingungkan rakyat. Pada konteks ini, rakyat ikut terseret dalam beragam kepentingan para elit, padahal seharusnya kebutuhan rakyat diberi perhatian serius dan tidak perlu untuk dipolitisasi. Gaya dan cara bertindak elit politik belum bisa membedakan mana kepentingan pribadi, kelompok, suku dan agama. Keadaan ini tentu memiliki konsekwensi tersendiri pada pelaksanaan pembangunan yang gencar dilakukan pemerintah (pusat, provinsi dan daerah).

  Pemerintah pada setiap jenjang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan. Akan tetapi kebijakan yang dibuat tidak selalu didasarkan pada otoritas, karena kebijakan tidak identik dengan otoritas, tetapi selalu menjadi bagian dari mandat rakyat yang diterima, dan bertujuan menjawab permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Jika kebijakan secara penuh dipahami sebagai otoritas, maka kebijakan tidak akan pernah menjawab konteks riil masyarakat dan hal itu akan berdampak buruk.

  Kewenangan dan kedaulatan pemerintah bukan sebuah anugerah yang jatuh dari langit dan menimpah birokrasi. Kewenangan dan kedaulatan pemerintah dalam sejarahnya, bersumber dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya, rakyatlah yang menyerahkan kewenangan dan kedaulatan itu kepada pemerintah. Fenomena penyerahan kedaulatan tersebut selalu muncul dalam sistem PEMILU (Pemilihan Umum) yang diselenggarakan lima tahun sekali. Penyerahan kewenangan dan kedaulatan rakyat tersebut sesungguhnya memiliki makna positif, bahwa pada pihak rakyat, ada sejumlah masalah yang tidak bisa mereka atasi sendiri, misalnya: masalah kesehatan, pendidikan, ekonomi, keamana dll. Berangkat dari realitas rakyat inilah, maka rakyat memberi kepercayaan kepada pemerintah dengan harapan, kebijakan pemerintah akan selalu dimulai dari realitas. Dalam berbagai istilah, penerima mandat rakyat lebih tepat disebut “abdi dalem” (pelayan rakyat) atau orang yang sehari-harinya mengabdikan dirinya bagi kepentingan dan kebutuhan rakyat, hal ini sangat bertentangan dengan sikap menjadi tuan atas rakyatnya.

  Karena kondisi rakyat menjadi indikator utama lahirnya kebijakan, maka sudah selayaknya tujuan kebijakan diarahkan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Berangkat dari tujuan kebijakan tersebut, maka sikap kebijakan pemerintah harus berada pada rel demokrasi, bahwa rakyat yang dilayani. Lain hal, jika kebijakan tersebut diimplementasikan dan menemui sejumlah kendala, hal tersebut bisa saja terjadi karena berbagai faktor, namun yang pasti jika kebijakan dipolitisir oleh para eksekutor, maka di situlah letak kesalahan fatal dari sebuah kebijakan yang diimplementasi.

  Lanjutan uraian bab empat ini akan menjelaskan temuan peneliti terkait dengan implementasi kebijakan atas realitas sosial masyarakat di “Negeri 1001 Senja”.

Gambaran Masalah Sosial dan Kebijakan Pemerintah

  Pada bagian ini, peneliti akan memberi gambaran terkait degan beberapa masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat adat di Kabupaten Kaimana, dan sejumlah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Beberapa permasalahan tersebut antara lain: pertama, masalah pendidikan; kedua, penerimaan dan mutasi ASN (Aparatur Sipil Negera) dan pegawai kontrak; ketiga, CJH (Calon Jemah Haji) asal Kabupaten Kaimana; keempat, kebijakan Pemerintah Pusat tentang

  UTAROM MIGAS (Minyak dan Gas) dan Pelebaran Bandara Udara Kaimana; kelima, Akses Jalan Darat.

  Dari sejumlah kebijakan yang dibuat pemerintah, penulis menemukan lima kebijakan tersebut mendapat tantangan dari masyarakat. Yang menarik dari kelima kebijakan yang dibuat pemerintah Kabupaten Kaimana adalah, pada saat implementasi kebijakan, barulah muncul bentuk sikap demonstrasi massa menggunakan simbol-simbol adat. Dari temuan data yang lain, penulis tidak melihat kalau pergerakan demonstrasi masyarakat adat dilakukan pada proses terjadinya kebijakan, melainkan demonstrasi massa dilakukan ketika kebijakan itu diimplementasikan.

  Berangkat dari konteks tersebut, yang harus dilihat adalah bagaimana masyarakat memainkan perannya sebagai pihak yang mengharapkan sebuah keadilan dalam implementasi kebijakan. Untuk kejelasannya, penulis akan menguraikan kelima tersebut pada bagian bab empat, dan pada bab lima, penulis akan menjelaskan sikap masyarakat menggunakan simbol-simbol adat sebagai bentuk perlawanan terhadap implementasi kebijakan.

  Kebijakan Pemerintah Pada Bidang Pendidikan

  Undang Undang Republik Indonesia Tahun 2003 Tentang: Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar perserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Pada Bab XIX Pasal 66 ayat 1 dijelaskan “Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dewan Pendidikan, dan Komite Sekolah/ Madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan 1 masing-masing” .

  Pada bagian penjelasan dikatakan “manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha sadar 1 agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses

  

Lihat PP RI Nomor 47 dan 48 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Ronal Siahaan Jakarta Navindo Pustaka Mandiri, 2008.hlm.84. pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 ayat (1) menyebutkan, “bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat (3) menegaskan “bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu 2 tujuan Negara Indoensia” .

  Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada proses dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu pendidikan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan ketentuan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat; menyusun standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas secara profesional; penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip- prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi daerah perguruan tinggi; serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna. Pembaruan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan keagamaan 3 dan pendidikan umum.

  Karena pendidikan sebagai suatu upaya yang dilakukan secara sadar, terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar perserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, maka sangatlah tepat jika proses pendidikan harus melalui suatu mekanisme kebijakan dalam ruang kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah.

  Namun secara prinsip sebuah kebijakan yang dilakukan haruslah memenuhi kriteria yang berujung pada tujuan dari pendidikan itu sendiri.

  Pada bagian ini, akan diuraikan kebijakan Pemerintah Daerah terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di Kabuaten Kaimana, menyangkut permasalahan pendidikan dasar dan kebijakan mengirim delapan putra asli Kaimana ke Jerman oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana. Guru jangan tinggalkan kami

  Untuk mendapatkan data pendidikan dasar, maka peneliti menemui salah satu pimpinan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Kabupaten Kaimana yang berinisial ARP, di ruang kerjanya yang beralamat di Jalan Casuarina Krooy. Saat bertemu dengan ARP di ruang kerjanya, beliau menjelaskan banyak hal berkaitan dengan kebijakan pembangunan pemerintah Kabupaten Kaimana, secara khusus kebijakan pendidikan dijelaskan sebagai berikut:

  

“pendidikan yang berlangsung di negeri ini, tidak bisa kita

samaratakan, sebab ada wilayah-wilayah tertentu yang boleh

dikatakan pendidikannya sudah agak membaik, tetapi ada pula di

3

wilayah-wilayah tertentu yang masih perlu diberi perhatian

Lihat PP RI Nomor 47 dan 48 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Ronal Siahaan

Jakarta Navindo Pustaka Mandiri, 2008.hlm.121.

  

ekstra oleh pemerintah. Mengapa saya katakan demikian, karena

dari sejumlah usul saran yang kami terima saat MUSDIS

(Musyawarah Distrik) di setiap distrik, setiap usul saran berbeda

satu dengan yang lain. Misalnya, pada wilayah tertentu, kalau

tidak ada guru, mereka langsung temui instansi terkait dan

melaporkan situasi terkini, bahwa guru-guru tidak ada di

kampung. Melalui laporan masyarakat, pemerintah langsung

mengambil langkah-langkah, itu konteks pertama. Yang kedua,

walaupun pemerintah telah hadirkan guru, tetapi orang tuanya

datang dan mengambil anak-anak mereka disekolah untuk

dibawa masuk hutan berminggu-minggu bahkan bisa berbulan-

bulan. Konteks ini yang saya katakan tadi bahwa tidak bisa kita

ukur standar rata-rata pendidikan di Kabupaten Kaimana, sebab

masalah pendidikan yang dialami sangat berbeda-beda, jadi,

kalau kita memberi perhatian pada satu wilayah untuk

mendongkrak pendidikan dasar diwilayah tersebut untuk bisa

sama dengan wilayah yang satu, nanti ada masyarakat di wilayah

lain cemburu dan mengatakan bahwa pemerintah tidak adil”.

  Dari penjelasan tersebut ditemukan dua permasalahan pokok terkait dengan penyelenggaraan pendidikan dasar di wilayah terpencil antara lain: pertama, memiliki kaitan dengan tingkat kesadaran orang tua tentang tujuan pendidikan; dan kedua, memiliki kaitan dengan kesadaran tenaga pendidik/guru yang tidak betah menjalan tugas di tempat tugas.

  Menghadapi permasalahan pendidikan yang tidak merata dialami oleh pemerintah, maka dalam penentuan kebijakan untuk menyelesaikan sejumlah masalah tersebut, dibutuhkan kejelian dan pertimbangan yang matang, sebab pendidikan dasar menurut PP (Peraturan Pemerintah) Nomor: 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar

  Bab I Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan bahwa “Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat” Ayat 3 “Sekolah Dasar yang selanjutnya disebut SD adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar”. UU (Undang-Undang) Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ayat 11 menjelaskan bahwa “Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi”.

  Dari PP Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar dan UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional tercermin hakikat mulia dari jenjang pendidikan dasar. Itu berarti, masalah yang melilit dunia pendidikan, khususnya pendidikan dasar di “Negeri 1001

Senja” sudah seharusnya ditangani secara cepat dan tepat pada sasaran masalah

  Berhadapan dengan kondisi pendidikan seperti ini, sejumlah kebijakan diambil pemerintah dengan cara membangun infrastruktur pendidikan (sekolah, rumah guru dan asrama dll), khusus di wilayah- wilayah terpencil yang masih sangat rentan dengan masalah pendidikan. Fenomena orang tua menjemput anak di sekolah, untuk dibawa meramu hasil hutan menjadi pergumulan berat pemerintah daerah Kabupaten Kaimana. Menjawb konteks ini, pemerintah membangun sarana pendidikan dengan sistem SATAP (Satu Atap), keseriusan pemerintah tersebut sesungguhnya memberi gambaran bahwa pemerintah daerah bertujuan untuk menjawab dua persoalan utama yang diuraikan oleh ARP pada poin “A” alinea kedua.

  Dari sikap yang dimunculkan masyarakat tersirat pesan yang ingin disampaikan kepada pemerintah, bahwa pendidikan masih belum dilihat sebagai sesuatu yang penting untuk masa depan anak-anak mereka. Sebab dalam konsep masyarakat adat, anak masih dilihat sebagai tulang punggung dan tenaga kerja dalam keluarga, yang bisa didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Karena itu, pendidikan hanyalah sebuah kegiatan yang menyita waktu anak- anak untuk membantu orang tua. Di sinilah letak perbedaan pandangan antara pemerintah dengan masyarakat.

  Berdasarkan data penelitian yang ditemukan di beberapa sekolah yang berada di wilayah pemerintahan Distrik Teluk Arguni dan Teluk Arguni Bawah, ternyata masalah pendidikan yang ditemui peneliti sangat berhubungan dengan kinerja kepala sekolah. Penyebab munculnya persoalan pada lingkup kepemimpinan SD (Sekolah Dasar) berkaitan dengan kebiasaan kepala sekolah seringkali meninggalkan tempat tugas, hal tersebut berdampak pada proses penyelenggaraan pendidikan (belajar mengajar). Menghadapi konteks seperti ini, masyarakat mengambil sikap menurut cara pandang mereka. Sikap yang dilakukan masyarakat setempat adalah dengan melakukan pemalangan pada rumah kepala sekolah, dan menyampaikan kondisi yang mereka alami kepada pihak instansi terkait. Menjawab hasil laporan masyarakat tersebut, pemerintah melalui instansi terkait mengambil lengkah-langkah dengan melakukan mutasi alih tempat tugas terhadap para kepala sekolah yang tidak taat melaksanakan tugas.

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Bab IV, Pasal 28, Ayat 1 dijelaskan bahwa “Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antar- kecamatan maupun antarsatuan pendidikan karena alasan kebutuhan satuan pendidikan dan/atau promosi”; Ayat 2 “Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang- undangan”.

  Kebijakan pemerintah untuk memutasikan beberapa kepala sekolah di Distrik Teluk Arguni dan Teluk Arguni Bawah telah sesuai dengan prosedur, namun jika dihubungkan dengan substansi mutasi UU Nomor 15 Tahun 2005 ayat 1, yang memberi penekanan pada “kebutuhan dan/atau promosi” maka hal tersebut masih sangat jauh dari harapan.

  Pada prinsipnya, pemindahan/mutasi tenaga guru dari satu tempat ke tempat yang lain merupakan kewenangan Pemerintah Daerah melalui instansi teknis. Namun yang harus diperhatikan juga adalah, bahwa pemindahan/mutasi guru bertujuan untuk menjawab “kebutuhan dan/atau promosi”. Hal ini jika dibiarkan maka kualitas guru dan hasil pendidikan tidak akan bisa dicapai, karena pemindahan/mutasi tenaga guru kepala sekolah yang terjadi pada SD YPK Jawera, SD YPK Barari dan SD Inpres (Instruksi Presiden) Bofuwer selalu berawal dari masalah ketidakbetahan seorang guru di tempat tugas.

  Menjawab masalah pendidikan dasar di Kabupaten Kaimana, yang berada pada wilayah-wilayah terpencil, pemerintah memiliki sikap yang sangat jelas dalam mengatasi masalah pendidikan. Sikap pemerintah tersebut dilansir oleh surat kabar Online Radar Sorong Jumat, 05 Januari 2018 | 10:46 sebagai berikut:

  

KAIMANA- Guru tidak melaksanakan tugas mengajar, terlebih

yang terjadi di kampung-kampung, maka Kepala Dinas

Pendidikannya akan dicopot. Karena menjadi kepala dinas harus

mampu mengatur dan memimpin bawahannya. Hal itu

ditegaskan Bupati Kaimana, Drs. Matias Mairuma dalam closing

statementnya pada acara penutupan kegiatan siraman rohani bagi

Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berlangsung di Aula Gereja

Katolik St. Monika Kampung Baru, belum lama ini.

  

“Nanti besok ketika saya melantik Kepala Dinas Pendidikan, saya

akan turun ke lapangan dan cek sendiri. Kalau pertama saya

turun ke Kampung Ure dan tidak ada satu pun guru yang

mengajar di sana, maka Kepala Dinasnya akan saya beri

peringatan pertama. Berikutnya, ketika saya ke Egarwara juga

tidak ada guru, maka surat peringatan kedua. Kalau sampai

ketiga, di Wasukono juga tidak ada guru yang mengajar, maka

saya pulang dan bersama Wakil Bupati mengeluarkan SK

pencopotan dari Kepala Dinas Pendidikan,” tegas Bupati

Mairuma. Orang Nomor Satu di Kaimana ini menegaskan, lebih

baik secepatnya menyelamatkan Negeri ini, dari pada Negeri ini

akan hancur. Karena menurut Bupati, ketika persoalan

pendidikan ini tidak segera diatasi dengan baik, maka ke

depannya yang akan bertanggungjawab adalah Bupati dan Wakil

Bupati. “Yang akan bertanggungjawab kepada masyarakat adalah saya dan Wakil Bupati. Bukan hanya bertanggungjawab kepada

  

masyarakat saja, tetapi juga bertanggungjawab kepada Tuhan.

Olehnya, sebagai Kepala Dinas harus bisa melaksanakan tugas

dengan baik, memiliki rasa tanggungjawab yang besar untuk

memajukan Kaimana ke depan. Membangun Kaimana ini, bukan

hanya tugas dan tanggungjawab saya dan Wakil Bupati saja,

  

tetapi kita semua memiliki tugas dan tanggungjawab yang sama,”

4 kata Bupati Mairuma...(nic)

  Dari informasi yang dilansir media semakin memperjelas komitmen pemerintah dalam membangun pendidikan sebagai jembatan emas menuju masa depan Kaimana yang jauh lebih baik.

Karena itu, setiap unsur yang memiliki kaitan langsung dengan penyelenggaraan pendidikan di “Negeri 1001 Senja” wajib diberi

  teguran secara bertahap hingga pada tahapan pencopotan jabatan.

  Pada bebera kasus yang berkaitan dengan kebiasaan guru meninggalkan tempat tugas hingga berbulan-bulan, hal itu diketahui oleh pemerintah melalui instansi teknis, jika ada masyarakat yang mengambil inisiatif untuk melaporkan kondisi tersebut. Dalam konteks seperti ini muncul pertanyaan, apakah instansi yang berwenang tidak memiliki biaya operasional untuk melakukan pemantauan terhadap para guru yang bertugas di daerah-daerah terpencil? Adalah benar bahwa masyarakat memiliki tanggungjawab bersama mengawasi dan mengawal penyelenggaraan pendidikan di setiap kampung, namun dalam konteks seperti ini, hubungan guru dengan masyarakat pada akhirnya mengalami kerenggangan karena terkadang masyarakat dicap sebagai pihak yang suka melapor para guru kepada pemerintah. sikap yang diambil pemerintah melalui instansi teknis adalah melakukan mutasi pindah.

  Dari temuan data di lapangan penelitian berkaitan dengan pergantian pimpinan sekolah dasar di wilayah Distrik Teluk Arguni dan Teluk Arguni Bawah, menurut hemat peneliti, pergantian kepala sekolah dasar tidak didahului dengan sebuah kajian riset yang baik. Sebab dari sejumlah responden yang ditemui peneliti, informasi yang diberikan kepada peneliti rata-rata sama. Komentar masyarakat yang diwakili oleh Sekretaris Kampung Jawera MR beliau katakan begini: “kita di Kampung Jawera ini mungkin dapat musibah apa, sampai- sampai setiap pergantian kepala sekolah, yang satu datang ganti yang 4 lama, hasilnya tetap sama saja. Mereka (kepala sekolah) selalu tidak

  Sumbediunduh pada tanggal 10 Januari 2018 betah di kampung, sampai-sampai kami sudah bosan pergi lapor terus di Dinas Pendidikan”. Hal ini menunjukan bahwa hasil kajian yang berhubungan dengan penempatan figur pimpinan sekolah dasar di wilayah-wilayah terpencil belum dikaji secara maksimal. Paling tidak, ketika seorang guru yang akan ditugaskan pada satuan unit kerja yang baru, sudah seharusnya instansi teknis melakukan kajian lebih mendalam. Kegunaan hasil kajian dengan pertimbangan konteks sosial masyarakat setempat, jika dilakukan dengan baik maka persoalan penolakan masyarakat terhadap guru bisa diminimalisir, karena yang diinginkan masyarakat adalah kesetiaan seorang guru berada di tempat tugas bersama masyarakat. Jika hal ini tidak diberi perhatian serius, maka akan berakibat pada sikap masyarakat setempat yang terkadang melakukan perbandingan antara pimpinan sekolah masa lalu dengan 5 masa sekarang . Sikap perbandingan yang dibuat oleh masyarakat merupakan hal yang normal, sebab yang diinginkan masyarakat adalah bagaimana seorang guru dapat menyesuaikan diri dengan mereka. Karena itu, ketika tenaga guru pengganti tidak memiliki kemampuan menyesuaikan diri, dengan masyarakat setempat maka reaksi 6 masyarakat akan berubah .

  Dari beberapa responden yang ditemui, peneliti mendapat 7 informasi bahwa pergantian kepala sekolah di SD YPK Barari - Urisa, 8 9 5 SD YPK Manggera - Jawera, dan SD Inpres Bofuwer. Kebijakan

  

Masyarakat selalu melakukan perbandingan bahwa kepala SD masa lalu jauh lebih

6 layak karena selalu betah berada di tempat tugas.

  

Dalam penjelasan kepala dinas saat diwawancara menjelaskan bahwa: terkadang

masyarakat ketika melakukan perbandingan antara pimpinan sekolah SD masa lampau

dan masa sekarang. Di saat masyarakat merasa tidak cocok karena kepala SD mungkin

seringkali meninggalkan tempat tugas maka datang menghadap di kantor dinas dan

melapor untuk dilakukan pergantian. Jika kami tidak cepat-cepat menanggapi apa

yang mereka sampaikan, maka bisa saja mereka mengusir petugas guru yang mengajar

7 di kampung mereka.

  

Salah satu kampung yang berada di wilayah pemerintahan Distrik Teluk Arguni

8 Bawah. Di kampung Urisa terdapat satu SD YPK (Yayasan Pendidikan Kristen).

  

Salah satu kampung yang berada di wilayah pemerintahan Distrik Teluk Arguni

9 Bawah. Di kampung Jawera terdapat satu SD YPK (Yayasan Pendidikan Kristen).

  

Salah satu kampung yang berada di wilayah pemerintahan Distrik Teluk Arguni dan

merupakan pusat pemerintahan Distrik Teluk Arguni. di Kampung Bofuwer terdapat satu SD Inpres. pergantian kepala sekolah di ketiga SD tersebut mengalami permasalahan yang hampir sama, artinya pimpinan sekolah tidak berada di tempat tugas berbulan-bulan, dengan demikian pada titik akhir kesabaran masyarakat terjadi penolakan terhadap pimpinan sekolah dasar masing-masing.

  Menurut cerita orang tua dari salah satu kampung di bawah Genova berinisial AN saat dilakukan wawancara menjelaskan gunung sebagai berikut:

  

“masyarakat dorang (mereka) palang sekolah, karena guru-guru

selalu tidak berada di tempat tugas. Kalau kita bandingkan guru-

guru masa sekarang ini, paling berbeda dengan guru-guru pada

waktu dulu. Waktu kami sekolah, hanya ada satu dua tenaga

guru yang ajar kami, tetapi mereka bisa mengajar enam kelas,

bahkan (mereka) bisa lakukan les pelajaran pagi dan

dorang 10

malam hari di rumah pastori . Sekarang ini, guru-guru yang

Dinas Pendidikan kasih untuk kitorang (kita) di kampung-

kampung, ada guru pemerintah PNS, guru kontrak, tapi tidak

11 sama dengan pace-pace (bapa-bapa) guru dulu.

  Pace-pace

(bapa-bapa) guru itu mengajar di depan kelas, mereka ajar

masyarakat berkebun, mereka bisa jadi mantri, mereka ajar

masyarakat kerja rumah (tukang kayu). Tetapi tenaga guru yang

sekarang ini, su tra (sudah tidak) mengajar baik-baik, su tra

(sudah tidak) betah di tempat tugas. Coba kalau dinas mau ganti

tenaga guru itu dorang (mereka) lihat yang pas di kampung baru

kasih tugas, kalau begini-begini sama saja, (kita

kitorang pung

punya) anak-anak tidak bisa pintar. Kalau tidak percaya bapa

lihat ada beberapa keluarga yang sudah bawa turun mereka

punya anak di kota untuk sekolah di sana, karena guru-guru

tidak ada, mungkin ada satu tenaga guru yang dapat honor dari

12 kampung, dia itu yang mengajar sendiri”.

  Apa yang disampaikan merupakan sebuah realitas yang dirasakan oleh masyarakat. Kebijakan penempatan tenaga guru, baik menyangkut 10 pimpinan SD maupun para guru bantu, terkadang tidak melewati

  

Pada waktu dulu, rumah pastori (rumah yang ditempati guru jemaat) selalu

digunakan sebagai tempat mengajar anak-anak saat menjelang sore dan subuh. Tradisi

11 ini sudah tidak ada di sekolah-sekolah berbasis Kristen. 12 Istilah ini digunakan untuk menyapa kaum pria dewasa artinya bapa.

  Wawancara tanggal 27 Desember 2016 tahapan seleksi oleh pihak yang memiliki kewenangan. Ada kemungkinan, yang menjadi tolok ukur dalam menempatkan tenaga guru hanya untuk memenuhi tuntutan kuantitas tanpa dilihat kualitasnya serta keseriusan untuk mengabdi.

  Kualitas yang diharapkan tidak sebatas pada kemampuan intelektualitas seorang guru, sebab yang menjadi tolok ukur adalah keseriusan mengabdi dan memahami panggilan untuk melayani dan menjadi guru bagi anak didik di perkampungan. Berangkat dari konteks tersebut, salah satu tokoh adat dengan inisial SA memberi mejelaskan bahwa:

  

“guru-guru kontrak yang pemerintah bawa dari Toraja awal-

awalnya mereka masuk kampung itu paling betah sekali, jarang

turun kota, bahkan sampai satu tahun baru mereka turun, tetapi

lama-lama juga mereka mulai tidak betah di kampung, saya

sebagai kepala suku, saya juga seringkali jalan di kampung-

kampung dan lihat keadaan seperti itu saya menangis. Ada apa

sebenarnya, mungkin kami punya orang tua terlalu biking

13

kampung jauh dari kota kha? Tetapi di kampung ini sudah,

kami punya kehidupan ada di sini, jadi mau buat bagaimana lagi,

14

kami tetap akan ada di kampung

  .”

  Untuk mengatasi permasalahan pendidikan di Kabupaten Kaimana yang dijuluki “Negeri 1001 Senja” itu, pemerintah membuat kebijakan mendatangkan tenaga guru kontrakan dari Tanah Toraja. 13 Solusi ini awalnya dianggap merupakan terobosan yang baik, namun

  

Pada saat menjelaskan beliau sempat menangis dan mengatakan kepada peneliti;

“mohon maaf anak, bapak menangis ini karena bapak ingat orang tua-tua penginjil,

dorang (mereka) datang sampai masuk ke pedalaman yang sangat jauh, hanya untuk

kami orang Papua ini, mereka punya gaji tidak ada, apa yang orang kampung makan,

itu juga yang mereka makan, tetapi mereka setia tinggal di kampung-kampung yang

jauh. Sekarang ini, pemerintah kasih uang banyak untuk pegawai guru-guru ini, tapi

toh tidak betah. Kami kira guru-guru kontrak ini bisa sama dengan orang tua-tua

penginjil, pada hal sama saja”. Bapa sudah buat keputusan, bapa akan menghadap

bupati Matias Mairuma untuk mau bilang kepada bapak Bupati “ko tutup distrik Teluk

Etna dan Yamor sudah, lalu kasih pindah akang (dia) ke pantai sebab mungkin terlalu

jauh kah, jadi petugas tidak tidak. sambil menyapa penulis “anak bapa punya anak-

anak ini dorang, bapa sudah tidak kasih sekolah di Kampung, percuma saja, mereka

14 tambah bodoh, bapa mau kasih sekolah di Kaimana ini saja”.

  Wawancara tanggal 6 Januari 2017 dalam perjalanan maju, dunia pendidikan di wilayah-wilayah terpencil, kembali pada persoalan yang sama.

  Kembali pada permasalahan penempatan kepala sekolah yang ditolak oleh masyarakat, sebenarnya akar permasalahan berada pada fasilitas infrastruktur (perumahan guru) yang ada. Karena itu, menurut Kepala Dinas Pendidikan di “Negeri 1001 Senja”, menjelaskan bahwa “kebanyakan penolakan masyarakat terhadap guru yang bertugas di kampung-kampung disebabkan juga pada ketersediaan fasilitas seperti perumahan guru serta kebutuhan-kebutuhan lain yang dibutuhkan di daerah pedalaman terkadang tidak terpenuhi”. Lebih jauh dijelaskan bahwa, hal inilah yang mengakibatkan para guru tidak betah berada di tempat tugas. Menyangkut akomodasi, beliau menjelaskan juga bahwa, kita sama-sama tahu, kalau perumahan guru yang dibangun oleh kontraktor terkadang tidak memenuhi standar, pada akhirnya banyak rumah guru mengalami kerusakan sehingga banyak guru terkadang tidak betah dengan kondisi ini dan terpaksa mereka berlama-lama di kota sehingga lupa kembali melaksanakan tugas sebagai seorang guru. Saya sebagai kepala dinas sangat memahami konteks ini. Kita boleh memberi tekanan tetapi kita juga harus menyiapkan fasilitas yang mereka butuhkan di tempat tugas. Inilah yang menjadi pertimbangan 15 saya sebagai kepala dinas pendidikan.

  Memahami penjelasan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kaimana, penulis menggaris bawahi penekanan yang disampaikan, bahwa sebenarnya para guru bisa saja betah di tempat tugas, jika permasalahan menyangkut akomodasi seperti fasilitas perumahan disiapkan secara baik oleh pemerintah. Jika hal itu diberi perhatian maka, kewajiban seorang guru pasti akan terealisasi.

  Berbeda dengan penjelasan ARP, beliau lebih melihat pada sisi perhatian pemerintah soal pemberian insentif berupa uang zona, uang makan dan tunjangan-tunjangan lain yang diberikan permerintah. Menurutnya, dengan adanya perhatian pemerintah yang serius 15 diberikan kepada pegawai yang bertugas di pedalaman sudah

  Wawancara tanggal 12 Februari 2017 selayaknya para pegawai tidak harus selalu mengeluh dan membedakan para petugas yang ada di kota dengan pegawai yang berada di pedalaman. Dalam penjelasannya secara datail dikatakan bahwa:

  

“untuk hak-hak pegawai sudah kami berikan dengan

memperhatikan lokasi atau wilayah kerja pegawai di daerah.

Untuk mereka-mereka yang bertugas di daerah terpencil atau

terisolir, selain gaji kami berikan insentif zona yang lumayan

besar, tidak saja itu, ada uang lauk pauk dan masih ada

tambahan-tambahan pengasilan yang lain. Tujuan dari semuanya

itu, kita berharap tidak ada alasan yang dibuat-buat untuk tidak

16 melaksanakan tugas di kampung-kampung” .

  Sejumlah penjelasan tersebut menunjukan bahwa keberpihakan pemerintah daerah Kabupaten Kaimana melalui kebijakan yang dibuat cukup baik. Artinya, perhatian pemerintah daerah terhadap aparatur pemerintahan, baik yang berada di kota hingga wilayah pedalaman boleh dianggap sangat mendapat perhatian. Karena itu, ketika muncul permasalahan, maka hal tersebut berada pada tingkatan implementasi kebijakan. 17 der Panser

  Polemik pendidikan delapan anak suku asli di Negara (Jerman)

  Salah satu kebijakan yang cukup strategis dibuat pemerintah Kabupaten Kaimana di dunia pendidikan adalah mengirim delapan orang anak untuk mengikuti kuliah di Jerman. Terobosan itu akhirnya direalisasikan pada tanggal 19 Sepetember 2012, Bupati Kaimana secara resmi melepaskan delapan anak mengikuti program perkuliahan di 16 AACHEN UNIVERSITY OF APLLIED SCIENCE GERMANI dan 17 Wawancara tanggal 8 Maret 2017

Istilah der Panzer merupakan simbol yang dilebelkan pada kesebelasan Jerman

  

pada piala dunia tahun 1954 di mana pada pertama kalinya kesebelasan Jerman Timur

mengalahkan Hongaria 3-2. Julukan der Panzer memberi penjelasan singkat yang

mengarah pada teknologi Jerman yang sangat mutahir yaitu panzer/tank yang

bermesin diesel yang semakin lama semakin pana atau tidak cepat panas. Dengan latar

belakang teknologi tersebut, Jerman dikenal sebagai salah satu negara di dunia yang

memiliki teknologi tinggi dan menjadi pilihan pemerintahan daerah untuk mengirim

delapan anak suku dari Negeri 1001 Senja untuk belajar di sana. (sumber:

diunduh pada tanggal 07 Oktober 2017.

  WOLSFBURG UNIVERSITY. Jika kita mengikuti penjelasan Bupati Kaimana secara detail yang dikemas dalam bentuk video dan diunggah oleh MARKAS (Masyarakat Kaimana Sejahtera), maka menurut Bupati Kaimana dijelaskan sebagai berikut:

  

“Kami telah mengirim beberapa anak kita, untuk bersekolah di

AACHEN UNIVERSITY OF APLLIED SCIENCE GERMANI dan

  Semuanya ini agar supaya ada WOLSFBURG UNIVERSITY.

tempat ada ruang bagi anak-anak asli Kaimana untuk bersekolah.

Kenapa kami pilih luar negeri, karena selain bersekolah

mendapatkan mutuh pendidikan yang berkualitas, mereka juga

bisa membangun network mendunia di antara teman-teman

mereka di sana. Yang nantinya ada manfaat juga untuk

pembangunan di Kabupaten Kaimana”.

  Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Kaimana yang dijelaskan di atas, tergambar jelas keinginan pemerintah untuk bisa mensejajarkan antara pembangunan fisik dan pembangunan non fisik. Artinya, selain pembangunan fisik yang gencar dilaksanakan, pada sisi lain, dibutuhkan kebijakan pengembangan sumber daya manusia yang nantinya akan menjadi modal pembangunan. Sebab pembangunan merupakan kegiatan dan aktifitas manusia yang berkelanjutan (sustainable). Dan untuk melanjutkan roda pembangunan di “Negeri 1001 Senja”, Kabupaten Kaimana harus menyiapkan sumber daya manusia, khususnya putra putri asli Kaimana.

  Menjawab konteks sosial masyarakat, pemerintah membuat kebijakan mengalokasikan anggaran yang tidak sedikit jumlahnya, untuk kepentingan pendidikan delapan anak asli Kaimana di Jerman. Namun, dalam konteks perpolitikan di di Kabupaten Kaimana, kebijakan pemerintah selalu dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai kebijakan politik yang mengarah pada upaya pencitraan diri. Hal ini dapat dimaklumi, karena kebijakan pemerintah dalam menjawab masalah sosial masyarakat, pemerintah berada dalam jabatan politik. Dalam jabatan politik tersebut, maka kebijakannya adalah kebijakan politik, tetapi karena berkaitan dengan masalah sosial, maka kebijakannya adalah kebijakan yang bernuansa sosial politik, sebab berhubungan dengan konteks masyarakat. Dalam melaksanakan penelitian, peneliti melakukan wawancara pada beberapa responden terkait dengan kebijakan pemerintah mengirim delapan anak Kaimana untuk mengikuti pendidikan di Jerman. Dari wawancara yang dilakukan terhadap responden sebagai salah satu tokoh masyarakat berinisial DR, beliau menjelaskan sebagai berikut:

  

“sebenarnya kita semua menginginkan kalau anak-anak negeri

ini disekolahkan ke luar daerah bahkan sampai ke luar negeri,

tetapi jangan sampai semua yang dibuat oleh pemerintah itu

hanya untuk kepentingan politik. Kalau ternyata pemerintah

memiliki sikap yang tulus terhadap anak-anak negeri ini untuk

disekolahkan di luar negeri, hal itu merupakan kemajuan bagi

pemerintah dan terlebih khusus bagi masa depan negeri ini.

Kalau sampai saat ini ada sebagain masyarakat yang merasa tidak

puas dengan kebijakan bapak Bupati Kaimana, hal itu wajar,

sebab uang yang digunakan untuk biaya anak-anak delapan orang

ke Jerman, itu uang masyarakat Kaimana. Hal ini sangat wajar

kalau masyarakat minta Bupati Kaimana memberi penjelasan.

Ada hal yang tidak beres dalam program pengiriman anak-anak

ke Jerman, sebab ada yang mengatakan bahwa mereka delapan

orang yang dikirim di Jerman bukan mereka ada sekolah tetapi

mereka sudah menjadi pekerja di kebun di Jerman, apakah ini

benar atau tidak, pemerintah diminta untuk menjelaskan hal

18 . ini”

  Berbeda dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti tehadap salah satu tokoh adat delapan suku berinisial SA beliau menjelaskan sebagai berikut:

  

“mereka yang melakukan protes terhadap kebijakan Bupati

Kaimana untuk kasih sekolah anak-anak di Jerman itu, hanya

orang-orang yang dulu sebagai lawan politik, mereka berusaha

untuk mau menjatuhkan dia dengan cara-cara yang tidak sopan.

Mereka demonstrasi sana sini, (bersuara) kiri kanan

bataria

bilang Matias Mairuma makan uang bantuan sosial dari dana

Otsus (otonomi khusus), mereka lapor ke sana ke mari, tapi apa

yang terjadi, Matias Mairuma tetap Bupati Kaimana, itu berarti

  

dorang (mereka) yang demonstrasi itu hanya omong kosong

19 saja” .

  Dari kedua responden yang diwawancarai, peneliti menemukan dua hal yang cukup berbeda. Pertama, bahwa pada sebagian kelompok masyarakat, mereka berpendapat kalau kedelapan anak yang dikirm ke Jerman ternyata mereka tidak bersekolah, dan mereka sudah menjadi pekerja kebun di Jerman, dari hasil wawancara ini diduga ada aktor yang memainkan peran dan membentuk opini sebagian masyarakat lokal di Kabupaten Kaimana. Aktor yang memainkan peran bisa saja manusia, bisa juga melalui media sosial yang telah mendunia hingga pelosok daerah. Kedua, dari penjelasan responden, peneliti menggaris bawahi bahwa munculnya kelompok atau aktor yang memainkan peran, diduga adalah bagian dari dampak PEMILUKADA (Pemelihan Kepala Daerah), atau kelompok yang berseberangan dalam konteks penyelenggaraan demokrasi pada tingkat pemilihan kepala daerah.

  Dalam penelusuran yang dilakukan peneliti melalui “arena” MEDSOS (Media Sosial), peneliti menemukan beberapa informasi yang sudah dikemas dalam bentuk video, serta telah diunggah di MEDSOS Yutube. Untuk itu, pada bagian ini peneliti membeda hasil unggahan beberapa kemasan video tersebut dalam beberapa bagian sebagai berikut: Lansiran berita dari CV. Sinar Pagi Nabire

  Berita yang dilansir oleh CV. Sinar Pagi Nabire dalam liputannya menjelaskan beberapa hal penting terkait dengan kebijakan Bupati Kaimana terkait dengan pengiriman delapan anak Kaimana ke Jerman sebagai berikut:

  

“Sedikitnya 8 anak yang berasal dari beberapa wilayah

perkampungan di Kaimana itu, akhirnya bisa menggapai ilmu di

Mereka FHA Achen University of Applied Science Jerman.

akhirnya terpilih untuk bisa melanjutkan sekolah di Jerman,

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Factors Leadingto Speaking Anxiety and Strategies to Overcome The Anxiety

0 0 47

Bab 1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecamatan Ngo

0 0 8

Bab 2 Kajian Literatur - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecamatan N

0 0 16

Bab 3 Metodologi Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecama

0 1 6

Bab 4 Analisis Data dan Pembahasan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit

0 0 38

Bab 5 Penutup - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecamatan Ngombol Ka

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pariwisata Nusa Tenggara Timur: Potensi dan Dinamika

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaimana

0 0 22

BAB II GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT SEBAGAI GERAKAN SOSIAL DALAM RANAH KEKUASAAN KEBIJAKAN PUBLIK - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten

0 1 63

BAB III MENGUMPUL POTONGAN CERITA SIMBOLIK DI NEGERI 1001 SENJA1 PENGGUNAAN METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaima

0 1 23