BAB II GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT SEBAGAI GERAKAN SOSIAL DALAM RANAH KEKUASAAN KEBIJAKAN PUBLIK - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten

BAB II GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT SEBAGAI GERAKAN SOSIAL DALAM RANAH KEKUASAAN KEBIJAKAN PUBLIK Gerakan demonstrasi massa yang dimunculkan di tengah-tengah

  masyarakat merupakan sebuah gerakan sosial. Setiap gerekan sosial dalam bentuk demonstrasi massa, pawai, dan mimbar bebas, pasti digerakan oleh manusia dan memiliki tujuan tertentu.

  Setiap gerakan sosial memiliki dasar serta tujuan yang berbeda- beda. Dasar serta tujuan dari suatu gerakan sosial tentu memiliki faktor-faktor penyebab yang sangat beragam. Hal ini menyebabkan setiap gerakan sosial yang terjadi pada tiap-tiap wilayah akan sangat berbeda-beda, akan tetapi setiap gerakan sosial selalu menginginkan perubahan entah perubahan yang diinginkan mengarah pada hal-hal yang positif atau negatif, hal itu tidak bisa dipastikan. Namun dari fakta riil, sebuah gerakan dapat diberi nilai positif atau negatif, hal itu sangat tergantung pada suatu keadaan. Misalnya dalam konteks bernegara, Indonesia merupakan negera hukum, karena itu jika ada gerakan sosial yang menentang hukum yang berlaku, maka kita dapat memberi nilai negtif terhadap tujuan gerekan tersebut. Atau sebaliknya, jika dalam praktek pemerintahan terjadi pelanggaran atas hukum, dan muncul gerakan sosial menentang sikap pemerintahan, maka tujuan sebuah gerakan sosial dapat dipastikan positif.

  Muncul pertanyaan pada bagian ini adalah; apakah sebuah gerakan sosial dapat disamakan dengan gerakan perlawanan? Pertanyaan ini penting untuk dijawab sebelum penulis menguraikan bagian-bagian yang lain dari bab ini. Gerakan sosial tentu mencakup semua gerakan yang dilakukan oleh manusia yang berhubungan dengan situasi sosial. Karena hubungan gerekan sosial selalu gerakan tersebut merupakan gerakan perlawanan, atau bukan gerakan perlawanan, hal itu sangat tergantung pada substansi gerakan tersebut. Jika terjadi gerakan sosial atas dasar menentang ketidakadilan, maka gerakan tersebut termasuk gerakan perlawanan karena menentang ketidakadilan untuk tujuan keadilan. Hal ini berbeda dengan gerakan sosial untuk tujuan kemanusiaan. Gerakan sosial untuk kemanusiaan secara langsung diarahkan pada masalah sosial yang dihadapi oleh sekelompok orang yang membutuhkan pelayanan kemanusiaan.

  Reaksi gerakan perlawanan simbolik adat terhadap kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Kaimana, merupakan dua sisi yang berada dalam satu arena realitas masyarakat lokal. Antara kebijakan publik dan gerakan perlawanan simbol keduanya saling bersinggungan secara negatif. Pada konteks realitas obyektif, gerakan perlawanan simbol adat menginginkan adanya keadilan dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan. Tuntutan obyektif masyarakat lokal, didasarkan pada fakta kebijakan pembangunan yang dirasakan mengalami kepincangan disaat kebijakan pembangunan diimplementasikan.

  Sesungguhnya, substansi kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Kaimana, merupakan bagian dari sikap pemerintah yang bertujuan untuk menjawab persoalan sosial yang dialami masyarakat.

  Hal ini memiliki hubungan erat dengan mandat rakyat dipegang oleh seorang kepala daerah yang berasal dari rakyat. Mandat yang diberikan tidak hanya dilihat dari sisi manusia sebagai makhluk politik yang menyalurkan hak politiknya, pada sisi yang lain, mandat rakyat dititipkan kepada seorang kepala daerah merupakan titipan dari rakyat sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia butuh pihak lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Maka dalam hal ini pemerintah sebagai penerima mandat rakyat dianggap mampu menjawab kebutuhan manusia yang tidak bisa dipenuhinya sendiri. Dalam konteks tersebut, ternyata melahirkan fakta berbeda dan menimbulkan ketegangan masyarakat versus pemerintah.

  Terlepas dari sisi manusia sebagai makhluk politik, dan makhluk berkomunikasi dan berprilaku, manusia selalu menggunakan simbol- simbol untuk menyampaikan pesan-pesan yang dirasakannya kepada pihak lain. Interaksi manusia dengan sesama dalam menggunakan simbol telah terjadi sejak manusia hadir di dunia, karena itu ukuran usia manusia dengan usia simbol adalah sama, tidak ada yang lebih duluan satu dengan yang lain. Dalam konteks inilah, manusia disebut juga sebagai makhluk pengguna simbol. Untuk menyampaikan pesan- pesan dalam bentuk simbol, pesan yang disampaikan bisa bermaksud positif tetapi juga negatif, hal tersebut sangat tergantung pada masalah yang dirasakan manusia untuk disampaikan kepada pihak lain.

  Simbol selalu dipahami dan dimaknai sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, maka setiap penggunaan simbol pasti dilakukan berdasarkan pada tujuan yang ingin disampaikan. Hal ini dimaksudkan agar menjadi jelas pada pihak lain sebagai sasaran atau tujuan penerima simbol. Untuk itu, setiap simbol yang digunakan harus diperjelas tujuan penggunaan simbol, mulai dari pengirim maupun kepada penerima simbol agar tidak menimbulkan prasangka serta penilaian buruk. Pada sisi lain dalam situasi tertentu simbol terkadang dapat dimodifikasi dan dipolitisir untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.

  Pada bagian ini penulis akan mendudukan kajian literatur gerakan sosial, simbol dan kebijakan publik yang memiliki kaitan dengan implementasi kebijakan pemerintah daerah yang dijuluki ―Negeri 1001 Senja‖.

  Gerakan Perlawanan Simbol

  Pengertian ―pergerakan‖ menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dari kata dasar ―gerak‖ dengan pengertian ―peralihan tempat atau kedudukan, baik hanya sekali maupun berkali- kali‖. Selanjutnya kata per-gerak-an dijelaskan; 1) hal atau keadaan bergerak; 2) kebangkitan (untuk perjuangan atau perbaikan): contoh: ―pada waktu itu pergerakan nasional muncul di mana- mana‖. Untuk kata ―simbol‖

  1

  diartikan ―lambang‖, dari kedua kata jika digabung maka narasinya akan menjadi begini ―pergerakan simbol‖ dan memberi arti sebagai berikut: dalam suatu keadaan tertentu simbol/lambang mengalami pergerakan, atau digerakan oleh ―sesuatu‖.

  Sangat tidak mungkin simbol mengalami pergerakan tanpa ada yang menggerakan. Yang dimaksud penulis tentang ―sesuatu‖ dalam konteks ini adalah manusia sebagai penggerak simbol, sebab manusia adalah makhluk simbol dan makhluk pengguna simbol. Setiap gerakan tentu memiliki tujuan, artinya tidak ada gerakan/pergerakan yang dilakukan manusia tanpa memiliki dasar serta tujuan. Berdasarkan tujuan tersebut maka sebuah gerakan/pergerakan dilakukan untuk mencapai maksud dan tujuan yang dijadikan sebagai target pencapaian tujuan.

  Dalam catatan sejarah pergerakan sosial, munculnya berbagai gerakan di mana-mana selalu didasarkan atas nama kebebasan demokrasi. Tidak ketinggalan pula di Indonesia, bahkan sampai ke pelosok daerah terpencil sekalipun. Misalnya, pergerakan sosial yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1950-an dan 1960-an yang dikenal dengan nama ―komunitas gerakan hak-hak sipil di kalangan

Kulit Hitam‖. Gerakan mahasiswa tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan gerakan solidaritas maupun

  gerakan perempuan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Kesemuanya itu membawa akibat lahirnya bermacam-macam pendekatan dan teori tentang gerakan sosial (Fakih, 1966:35).

  Gerakan sosial dalam beberapa catatan dunia, misalnya perjuangan etnis atau nasionalis di negara-negara bagian (bekas) Uni Soviet, dan gerakan anti apartheid di Afrika Selatan. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach), yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa oleh negara, melalui apa yang disebut sebagai pembangunan 1 (development).

  

Kamus Besar Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan an pengembangan bahsa

  Kebijakan pembangunan oleh pemerintah, merupakan bagian yang menampakan eksistensi/keberadaan pemerintah, sebagai institusi penerima kuasa/mendat rakyat dalam konteks berdemokrasi. Dalam pandangan masyarakat, pembangunan tidak selamanya menghadirkan pemerataan, karena dalam benak masyarakat, penyebab kemacetan, krisis ekonomi, ekologis yang mencekik kehidupan masyarakat, dipandang oleh masyarakat sebagai kekeliruan kebijakan pemerintah dalam mengelola dan menjalankan mandat rakyat. Menyikapi konteks tersebut, pergerakan perlawanan simbol masyarakat adat, dinilai sebagai bagian dari kritik terhadap skenario modernisasi yang memiliki asumsi merancang kemajuan dan kemakmuran masyarakat di suatu negara. Menurut pendapat Bonner, dalam konteks gerakan sosial dan transformasi sosial tidak dapat dipisahkan dari masalah 2 ―pembangunan‖ .

Gerakan Sosial

  Sejarah gerakan sosial yang terjadi di pelosok dunia, bahkan di Indonesia merupakan bagian dari masalah sosial yang dihadapi oleh umat manusia. Tentu setiap gerakan sosial memiliki dasar dan tujuan tersendiri, misalnya rangkaian revolusi yang melanda jazirah Eropa Barat pada akhir abad tujuh belas sampai abad sembilan belas. Kondisi tersebut pada sisi substansi, tentu memiliki perbedaan dengan yang terjadi di belahan dunia yang lain, namun indikator pergerakan yang memainkan peran dalam suatu gerakan sosial tentu memiliki kesamaan. Dalam kesamaan tersebut muncul berbagai teori dan analisa yang bertujuan untuk mengidentifikasi setiap gerakan sosial. Tujuan dilakukannya identifikasi setiap gerakan sosial dan penyebab munculnya gerakan sosial, telah dikelompokan oleh para ahli dan para akademisi yang memiliki kompetensi dalam memahami sebuah gerakan sosial, serta mampu menghasilkan pendapat dan teori-teori gerakan sosial. Dari sekian banyak teori gerakan sosial yang telah dibuat, pada bagian ini penulis mengedepankan beberapa pendapat para ahli dan akademisi tentang bagaimana mereka memandang berbagai gerakan sosial tersebut. Teori Perilaku Kolektif

  Sidney Tarrow (1998) berpendapat, bahwa ahli-ahli sosiologi terdahulu seringkali mengaitkan dampak negatif Revolusi Prancis dan kemarahan massa pada periode abad pencerahan sebagai akar perkembangan teori gerakan sosial. Salah satu teorinya adalah teori ―prilaku kolektif‖, kemudian menjadi salah satu teori klasik dalam mempelajari fenomena gerakan sosial di Eropa Barat dan Amerika Utara. Gustave Le Bon (1895) perintis utama teori prilaku kolektif menginterpretasikan kerumunan massa Revolusi Prancis merupakan bentuk perilaku kolektif yang menyerupai emosi binatang. Yang dilihat oleh Gustave Le Bon dari Revolusi Prancis adalah, dalam sebuah kerumunan massa, setiap individu yang terbentuk dalam komunitas pergerakan massa, tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengontrol diri, dan kemampuan untuk bertindak secara positif. Yang ada dalam diri setiap individu adalah mengikuti keinginan massa. Dengan kata lain, individu-individu di dalam kerumunan massa tidak lagi menjadi individu yang rasional dan taat terhadap tatanan norma-norma standar yang ada di masyarakat.

  David Popenoe (1977:259) melihat prilaku kolektif seringkali muncul sebagai sebuah respon atau stimulus terhadap sebuah situasi yang tidak stabil secara spontan dan tidak terstruktur. Dengan kata lain, prilaku kolektif merupakan tindakan yang tidak mencerminkan struktur sosial yang ada. Yang dimaksudkan dengan struktur sosial oleh David Popenoe berkaitan dengan peraturan, undang-undang, kebijakan pemerintah dan lembaga formal dan non formal, seperti yang diuraikan oleh Herbert Blumer:

  

―….masyarakat terdiri dari individu-individu yang memiliki

kedirian mereka sendiri (yakni membuat indikasi untuk diri

mereka sendiri), tindakan individu itu merupakan suatu

konstruksi dan bukan sesuatu yang lepas begitu saja, yakni

keberadaannya dibangun oleh individu melalui catatan dan

penafsiran situasi dimana dia bertindak, sehingga kelompok atau

  

individu yang disebabkan oleh penafsiran individu/pertimbangan

individu terhadap setiap tindakan yang lainnya‖.(Irving Zetlin,

1995:332).

  Neil Smelser (1962) prilaku kolektif dalam bentuk gerakan sosial merupakan efek samping dari transformasi sosial yang berjalan begitu cepat. Bagi Smelser seperti yang diinterpertasi ulang oleh Donatella Della Porta dan Mario Diani (1999: 4) kemunculan perilaku-perilaku kolektif seperti gerakan sosial dan berbagai bentuk protes masyarakat memiliki makna ganda dalam periode transformasi sosial yang berlaku begitu cepat dan dalam skala besar. Pada satu sisi mencerminkan ketidakmampuan lembaga-lembaga dan mekanisme kontrol sosial mereproduksi keretakan sosial, dan di sisi lain merefleksikan berbagai upaya masyarakat untuk bereaksi atas krisis sosial melalui berbagai keprihatinan kepada kelompok yang lebih luas, kemudian menjadi dasar baru terbentuknya solidaritas sosial.

  Ralph H. Tuner dan Lewis M. Killian (1972) menegaskan bahwa

  

―prilaku kolektif hanya terjadi meskipun tidak harus selalu,

ketika organisasi negara dan mahasiswa berhenti memberikan

arahan dan menyediakan saluran bagi masyarakat‖ (Popenoe

1977:404).

  Teori pilihan rasional Teori ini bertolak belakang dengan teori prilaku massa, teori pilihan rasional memandang berbagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara, korporasi atau organisasi keagamaan dan sosial merupakan manifestasi sebuah tindakan individu-individu yang rasional dan dilakukan secara sadar untuk

  The mengejar kepentingan individunya. Mancur Olson dalam bukunya Logic Of Collective Action: Public Goods And The Theory Of Groups mengatakan bahwa aksi-aksi kolektif yang melibatkan berbagai bentuk kekerasan, menimbulkan kepanikan di tengah-tengah masyarakat, melanggar hukum negara dan norma-norma kepantasan di masyarakat, individu-individu tersebut melakukannya secara sadar sebagai bentuk kerasionalannya. Para pelaku tidak mempersoalkan bila aksi yang mereka lakukan membahayakan, bahkan mereka belajar dari pengalaman-pengalaman yang tersedia dan observasi mereka sendiri, bahwa hanya dengan cara kekerasan tujuan individu-individu dalam aksi-aksi kolektif seringkali cukup efektif dalam mencapai tujuan.

  Olson berpendapat:

  

―jika anggota-anggota dalam beberapa organisasi memiliki

kepentingan dan tujuan bersama, jika mereka akan menjadi lebih

baik jika tujuan bersama tersebut dapat dicapai, mereka akan

bertindak untuk mencapai tujuannya, sebagai bentuk

rasionalitasnya dan kepe ntingan pribadinya‖.

  vanguard dan hegemoni budaya Teori perjuangan kelas

  Jauh sebelum Olson mencetuskan gagasan teori aksi kolektifnya yang dikenal dengan teori rasional, Karl Marx telah merintis terlebih dahulu pada abad delapan belas, dengan konsep perjuangan kelas. Di

  The Manifesto of the Communist Party, Karl Marx dan dalam Frederick Engels mengutarakan bila sejarah setiap perkembangan peradaban masyarakat yang ada sampai dengan saat ini, tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan kelas (Fargains, 2000: 31). Menurut Marx, masyarakat selalu terdiri dari dua kelompok besar, satu kelompok menjadi penindas dan satu kelompok masyarakat lainnya menjadi yang ditindas. Kita mengenal kategori-kategori di dalam masyarakat sebagai berikut: ―orang bebas versus budak‖, ―bangsawan versus masyarakat desa‖, raja versus hamba sahaya‖, pemilik alat produksi versus buruh‖. Karena sejarah perkembangan masyarakat selalu bergerak maju, dan secara konstan mengarah pada perbaikan dan kebebasan lebih besar, maka revolusi sosial seperti antara para penggarap tanah dengan para tuan tanah yang umumnya para bangsawan atau para buru dengan para pemilik alat produksi tidak bisa dielakan. Masing-masing revolusi sosial memberikan jalan bagi masyarakat yang tertindas untuk menjadi kelas yang berkuasa sebelum kemudian dihancurkan oleh revolusi sosial lainnya seperti revolusi para penggarap tanah dan para budak menghancurkan kelompok feodal yang kemudian memberikan jalan bagi kelas borjuis untuk berkuasa, begitupun sebaliknya kelas buruh akan menghancurkan kelas borjuis dengan menggantikannya menjadi masyarakat sosialis dalam bergerak menuju ke masyarakat komunis (Giddens, 2000:12).

  Konsep perjuangan kelas Karl Marx ini menempatkan aksi-aksi kolektif dalam bentuk revolusi, gerakan sosial dan bentuk perlawanan merupakan rangkaian tindakan dari sebuah kelompok masyarakat yang rasional untuk keluar dari situasi buruk penindasan. Menurut Karl Marx, hanya dengan cara perjuangan kelas kelompok yang tertindas bisa keluar dari jebakan penindasan. Kelompok yang tertindas tidak bisa berharap dari lembaga-lembaga negara atau kerajaan, peradilan dan lembaga-lembaga sosial seperti organisasi keagamaan untuk mengeluarkan mereka dari situasi penindasan karena lembaga- lembaga tersebut telah menjadi alat yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Perjuangan kelas akan tumbuh dengan sendirinya secara spontanitas, ketika penderitaan berkepanjangan dari sebuah kelompok yang ditindas dan tidak bisa dikompromikan antara kedua kelas yang sedang bertentangan. Situasi penindasan ini menumbuhkan kesadaran kelas baru, dan kesadaran ini menjadi faktor pemicu sebuah revolusi sosial untuk menumbangkan kelas yang sedang berkuasa. Teori gerakan sosial modern

  Teori gerakan sosial modern memiliki beberapa ciri utama: pertama, memandang dan menempatkan aktivitas gerakan sosial sebagai sebuah aksi kolektif yang rasional dan memiliki nilai positif. Kedua, memperbaiki dan mengkontekstualisasikan teori-teori gerakan sosial sebelumnya ke dalam era kekinian seperti menjeneralisasi teori eksploitasi kelas Karl Marx menjadi teori keluhan yang lebih cocok dipergunakan dalam konteks saat ini, aksi-aksi kolektif berkembang tidak hanya didorong oleh eksploitasi kelas pemilik alat produksi terhadap buruh di masyarakat kapitalis. Ketiga, semakin banyaknya riset dan studi gerakan sosial di negara-negara di luar Amerika Utara dan Eropa Barat yang membuat kajian gerakan sosial semakin kaya. Dan ke empat, teori gerakan sosial modern berhasil mengidentifikasi faktor-faktor yang memfasilitasi tumbuhnya gerakan sosial, kuat Teori keluhan Mempergunakan analisa Karl Marx berkenan dengan penyebab utama perjuangan kelas, Sidney Tarrow dan sejumlah akademisi gerakan sosial memodifikasi konsep eksploitasi kelas menjadi teori keluhan dan kemudian dipergunakan sebagai pisau analisa dalam mempelajari gerakan sosial dan berbagai bentuk politik perlawanan lainnya (Tarrow 1998:11). Teori keluhan ini juga digunakan untuk menjembatani perdebatan para ahli gerakan sosial dalam menganalisa pemicu utama gerakan sosial dari bingkai produk eksploitasi, ketidakadilan dan ketimpangan yaitu keluhan.

  Donatella Della Porta dan Mario Diani mengutarakan ―kebangkitan berbagai bentuk gerakan pada tahun 1960-an dan 1970- an adalah sebuah kritik terhadap model interpertasi Marxis atas konflik kelas. Model tersebut telah menemui sejumlah masalah dalam menjelaskan perkembangan gerakan sosial. Transformasi sosial yang terjadi setelah perang dunia kedua meletakan pusat konflik antara buruh dengan pemilik modal dalam pertanyaan besar.

  Meluasnya akses terhadap pendidikan tinggi atau masuknya perempuan dalam dunia kerja telah menciptakan kemungkinan- kemungkinan struktur baru atas konflik dan meningkatnya relevansi stratifikasi sosial yang tidak hanya berbasis sumber daya ekonomi‖ (Porta dan Diani, 1999: 11). Pandangan Alberto Melucci, gerakan sosial baru sebagai sebuah bentuk reaksi dan keluhan baru justru ingin melakukan perlawanan atas intervensi negara dan pasar yang terlalu besar dalam ruang privat individu-individu dan berupaya merebut kembali ekonomi sebagai individu yang telah dihancurkan oleh sebuah sistem yang sangat manipulatif. Karena itu, gerakan sosial baru tidak akan berhenti hanya mendapatkan porsi pembagian keuntungan dari pendapatan usaha produksi yang lebih berimbang dengan para kelompok borjuis tetapi yang lebih penting adalah gerakan ini melawan semua upaya lembaga-lembaga negara melakukan intervensi melalui aparatur birokasi dalam kehidupan sehari-hari (Melucci, 1995: 41-63).

  Joe Fowerker mengutip Mouffe, juga sependapat dengan beberapa ahli gerakan sosial, keluhan baru mendorong gerakan sosial baru dalam konteks negara-negara di Eropa Barat. Keluhan itu berupa bentuk baru subordinasi kapitalisme, komersialisasi kehidupan sosial, ekspansi kapitalisme yang mengkooptasi budaya, kebahagiaan dan seksualitas, birokratisasi masyarakat, hegemonisasi kehidupan masyarakat melalui intervensi media massa. Gagalnya pembangunan, tindakan represif militer, penolakan kebijakan populis atau dukungan terhadap kebijakan populis seperti pendidikan gratis bagi masyarakat miskin adalah bentuk-bentuk keluhan baru yang dipergunakan oleh para aktor dalam membangun gerakan sosial (Fowareker, 1995: 41-42).

  Dari pandangan teori para ahli dan akademisi tentang gerakan sosial menunjukan bahwa, terjadinya gerakan sosial diakibatkan pada tingkatan strata dalam kehidupan manusia. Atau, dalam kehidupan manusia telah tercipta tingkatan strata yang didasarkan pada tingkatan kedudukan sosial (jabatan, kekayaan dan kepemilikan harta) yang mengakibatkan munculnya tekanan pada kaum jelata yang menjadi pekerja rendahan. Akibat dari kedudukan dan tekanan kaum borjuis dan birokrasi pemerintah atau organisasi terhadap kelompok masyarakat jelata memungkinkan munculnya gerakan-gerakan pelawanan yang mengakibatkan konflik sosial.

Simbol Dan Tanda Dalam Tindakan Manusia

  Simbol dan tanda dalam sejarah manusia sangat memainkan peran penting. Peran simbol dan tanda diibaratkan sebagai alur yang memungkinkan seseorang dapat memulai dari mana dia datang dan kemana dia pergi. Karena itu, memahami simbol dan tanda merupakan keharusan bagi manusia, baik secara individu, marga/klan, bahkan dalam suatu komunitas masyarakat.

  Meremehkan simbol dan tanda, akan mewajibkan seseorang untuk menanggung akibat dari sikap yang dilakukan. Kenyataan itu bisa terlihat dalam konteks keseharian manusia dalam beraktifitas di Rambu-rambu lalulintas yang terpasang misalnya, jika tidak diakui dan ditaati oleh manusia, tentu akan menimbulkan kekacauan, bahkan dapat mengakibatkan manusia kehilangan nyawa disaat seseorang mengabaikan rambu-rambu lalulintas. Minimal akibat dari ketidaktaatan mematuhi rambu-rambu lalulintas, seseorang akan dikenai sanksi hukum sebagai rujukan untuk diproses berdasarkan jenis pelanggaran yang dilakukan. Contoh ini merupakan bagian kecil dari kekuatan simbol dan tanda yang diciptakan dan disepakati manusia dengan tujuan mengatur manusia saat beraktifitas di jalan raya.

  Dalam komunitas manusia yang berada di wilayah-wilayah terpencil sekalipun, simbol dan tanda dibuat untuk disepakati dan ditaati bersama. Tidak berbeda jauh dengan simbol dan tanda di wilayah perkotaan, di wilayah pedalaman atau wilayah-wilayah terpencil, simbol dan tanda memainkan peran penting untuk mengatur manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam, hal ini dilakukan dengan tujuan agar tercipta keseimbangan antar manusia dengan sesama dan manusia dengan alam yang bertujuan pada keselamatan manusia itu sendiri.

  Salah satu tujuan mulia dibuatnya simbol dan tanda oleh manusia, tidak hanya untuk ditaati dan dilaksanakan, tetapi ada hal penting dan menjadi keinginan bersama yang kuat, yaitu untuk menciptakan keteraturan hidup setiap individu. Keteraturan hidup yang diinginkan dalam konteks ini adalah, kedamaian hidup antar individu, antar sesama komunitas, dan antara komunitas dengan alam.

  Pada bagian ini, akan diuraikan peran simbol dan tanda, makna dan tindakan simbolik manusia dalam kehidupan (individu dan komunitas) bersama. Simbol dan tanda

  Terkadang manusia mengalami kesulitan dalam membedakan dua kata yang berkaitan dengan simbol dan tanda. Mengawali penjelasan terkait simbol dan tanda, kajian ini diawali dengan pertanyaan apakah simbol dan apakah tanda itu?

  Secara etimologi simbol berasal dari bahasa Yunani ―sym-ballein‖ yang berarti melemparkan bersama suatu (benda atau perbuatan) yang dikaitkan dengan ide (Hartoko dan Rakhmanto, 1998 : 133). Ada pula yang menyebutkan ―syimbolos‖, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000:10).

  (metonimy), yakni nama Biasanya simbol terjadi berdasarkan metanoia untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya (misalnya si kaca mata untuk seseorang yang berkaca mata) dan metafora (metaphor), yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk obyek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (misalnya kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia) (Kridalaksana, 2001:136-138).

  Semua simbol melibatkan tiga unsur: simbol itu sendiri, suatu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini merupakan dasar bagi semua makna simbol. Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Karena itu, Peirce mengemukakan bahwa:

  

―A symbol is a sign which refers to the object that it denotes

by virtue of a law, usually an association of general ideas,

which operates to cause the symbol to be interpreted as

. referring to that object‖ (Peirce 1931-58, 2.249)

  Dalam konsep Peirce, simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandai (petanda) sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya, ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya.

  

―bahasa‖ komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai

lambang. Simbol atau lambang adalah suatu yang digunakan

untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan

kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal),

prilaku non verbal dan obyek yang maknanya disepakati

bersama. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal

memungkinkan perkembangan bahasa dan mengenai

  

hubungan antara manusia dan obyek (baik nyata maupun

3 abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut ‖.

  Berger (2000a:85) mengklasifikasikan simbol-simbol menjadi tiga bagian: (1) konvensional. Konvensional adalah kata-kata yang kita pelajari yang berdiri/ada untuk (menyebut/menggantikan) sesuatu; (2)

  (accidental), adalah bentuk kontras dari konvensional, dia aksidental lebih individu, tertutup dan berhubungan dengan sejarah kehidupan seseorang; dan (3) universal adalah sesuatu yang berakar dari 4 pengalaman semua orang .

  Sebagai bagian yang tidak terpisah dari kehidupan manusia (simbol), maka simbol itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan manusia. Kata budaya, menurut perbendaharaan bahasa Jawa, berasal dari kata budi dan daya. Penyatuan dua kata menjadi satu kata membentuk satu pengertian baru yang dalam bahasa Jawa adalah:

  akal, dalam arti ―batin‖ untuk menimbang baik dan buruk, benar

dan tidak; dalam bahasa Jawa : ditimbang-timbangin batin;

  2. tabiat, watak, akhlak, perangai; dalam bahasa Jawa: berbudi bawa laksana;

  3. kebaikan, perbuatan baik; dalam bahasa Jawa; budi luhur; 4. daya upaya, ikhtiar; dalam bahsa Jawa: mangulir budi; 5. kecerdikan untuk mencari pemecahan masalah; dalam bahasa Jawa: hambudi daya; b. Kata daya mengandung arti: 1. kekuatan, tenaga; dalam bahasa Jawa : Dayaning batin;

  2. pengaruh; dalam bahasa Jawa : Daya pangaribawa; 3. akal, jalan/cara, ikhtiar; dalam bahasa Jawa : Daya upaya; 4. muslihat, tipu; dalam bahasa Jawa : Hambudi daya.

  Kedua kata tersebut kalau diperhatikan memiliki beberapa persamaan dalam arti yang dikandungnya. Setelah dijarwodosokan 3 menjadi ―budaya‖ memperoleh pengertian yang baru yaitu: ―kekuatan 4 Semiotika Komunikasi. Alex Sobur P.T. Remaja Rosdakarya-Bandung, 2009,hlm.156.

  

Tanda-tanda dalam kebudayaan Kontemporer. Arthur Berger Asa. Penerjemah M. Dewi batin dalam daya upayanya menuju ke baikan‖ atau ―kesadaran batin menuju kebaikan‖. Ada pula yang mengartikan ―daya upaya manusia 5 untuk menciptakan sesuatu keindahan .

  Konsep humanistik mengenai budaya menyebutkan dengan kata 6 ―cultura animi‖ (kebudayaan dari budi) , menurut Koentjaraningrat kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhaya, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Jadi kebudayaan itu dapat diartikan: ―hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal‖.

  Zoetmulder dalam bukunya ―Cultuur, Oost en West‖ berpendapat bahwa asal kata budaya itu merupakan perkembangan dari majemuk 7

  ―budi-daya‖, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal.) Ki Sarino Mangunpranoto berpendapat, bahwa budaya manusia itu terwujud karena adanya perkembangan norma hidupnya atau lingkungannya. Norma hidup itu terwujud dalam bentuk: alam pikir, alam budi, alam karya, alam tatasusila, alam seni yang meliputi: (seni rupa: pahat, sungging, lukis dan sebagainya; seni sastra; seni suara; seni tari; seni musik, seni drama, olah raga dan sebagainya).

  Keseluruhan sifat-sifat hidup ini melahirkan adanya rasa budaya manusia. Kalau rasa budaya ini dilaksanakan maka terjadilah 8 kebudayaan atau budaya manusia. Begitu eratnya hubungan manusia dengan kebudayaannya, disebabkan oleh karena kebudayaan merupakan lingkup di mana manusia harus hidup. Aktifitas mulai dari rohani, jasmani, merupakan bagian dari kehidupan manusia yang menggunakan akal budi logika manusia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan.

  Pernyataan bahwa manusia merupakan makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam 5 hidup dan tingkah laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal 6 Pakem Pengetahuan tentang Keris, Koesni, penerbit C.V. Aneka Semarang, 1979, hlm. 33

Suatu Konsepsi Kearah Penerbitan Bidang Filsafat, The Liang Gie Penerbit Karya Kencana,

7 Yogyakarta, 1979,hlm.128.

  

Kebudayaan, mentalitet dan Pembangunan, Koencaraningrat,Penerbit P.T. Gramedia, Jakarta

8 hlm.19.

  

Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta, bagaimana manusia memberi tanggapan terhadap dunianya, lingkungan serta masyarakatnya, seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya, bahkan untuk mendasari setiap langkah yang hendak dan harus dilakukannya, sehubungan dengan pola hidup dan tata cara kemasyarakatannya. Konteks ini sejalan dengan pikiran Michael Landman dalam bukunya

  ―Filosofische Antropologie‖ menyatakan bahwa setiap karya dari manusia dilaksanakan dengan sesuatu tujuan, yaitu bahwa setiap benda alam di sekitarnya yang disentuh dan dikerjakan oleh manusia mengandung dalam dirinya suatu nilai. Nilai yang diperoleh manusia dapat bermacam-macam, misalnya nilai sosial, ekonomis keindahan, kegunaan dan sebagainya. Dengan demikian, berkarya berarti menciptakan nilai, atau dalam setiap karya terwujud sesuatu idea dari manusia. Dengan demikian, manusia disebut ―homo creator‖, karena dalam setiap karyanya, setiap manusia memberi bentuk dan isi yang manusiawi secara pribadi pada setiap benda budaya yang menandakan nilai tertentu, menunjukan maksud serta 9 gagasan-gagasan penciptanya.

  Dalam konteks manusia sebagai makhluk yang berbudaya/memiliki budaya, lahirlah konsep-konsep manusia yang diwujudkan dengan simbol (abstrak dan non abstrak). Simbol lahir sebagai bukti bahwa manusia adalah makhluk yang mampu berkreasi tanpa dinding pembatas dalam budayanya, sehingga budaya itu sendiri terdiri dari gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan prilaku manusia. Karena itu, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa: ―begitu eratnya kebudayaan manusia itu dengan simbol-simbol sehingga manusia dapat pula disebut sebagai makhluk bersimbol‖. Dengan perkataan lain dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol, manusia menciptakan dan menggunakan simbol. Ungkapan-ungkapan simbolis ini merupakan ciri khas dari mansia, yang dengan jelas membedakannya dari hewan. Maka Ernst Cassirer 9 cenderung menyebut manusia:

  

Menuju Kepada Manusia Seutuhnya, Soerjanto Poespowerdojo, dalam buku Sekitar Manusia

  ―The great thinkers who have defined man as an animal rationale,‖ writes Ernst Cassirer,―were not empiricists, nor did they ever intend to give an empirical account of human nature. By this definition they were expressing rather a fundamental moral imperative. Reason is a very inadequate term with which to comprehend the forms of man‘s cultural life in all their richness and variety. But all these forms are symbolic forms. Hence, instead of defining man as an animal rationale, we should define him as animal symbolicum‖ (Cassirer 1974, 25-26) Digunakan untuk menyebutkan manusia sebagai: ―animal symbolicum‖ atau hewan yang 10 bersimbol . ‖

  Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan WJS Poewadarminta disebutkan, simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan suatu hal, atau mengandung suatu maksud tertentu. Misalnya, warna putih melambangkan kesucian, padi lambang kemakmuran, dan kopiah merupakan salah satu tanda mengenal warga Negara Republik Indonesia.

  Simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantara pemahaman terhadap obyek. Untuk mempertegas pengertian simbol atau lambang dibedakan antara pengertian-pengertian isyarat, tanda dan simbol atau lambang. Isyarat ialah sesuatu hal atau keadaan yang diberitahukan oleh si subyek kepada obyek, artinya subyek selalu berbuat sesuatu untuk memberitahukan keadaan si obyek yang diberi isyarat agar si obyek mengetahuinya pada saat itu juga. Isyarat tidak dapat ditangguhkan pemakaiannya, ia hanya berlaku pada saat dikeluarkan atau dilakukan oleh subyek. Isyarat yang dapat ditangguhkan atau disimpan penggunaannya akan berubah bentuk menjadi tanda. Sedangkan tanda ialah sesuatu hal atau keadaan yang menerangkan atau memberitahukan sesuatu kepada si obyek, sedangkan simbol atau lambang ialah sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman si 10 subyek kepada obyek. Tanda selalu menunjukan kepada sesuatu yang

  

An Essay on Man. An Introduction to a Philosophy of Human Culture, Ernst Cassire, New riil atau benda, kejadian atau tindakan, misalnya guntur selalu ditandai dengan adanya kilat yang mendahuluinya. Tanda-tanda alamiah ini merupakan suatu bagian dari hubungan alamiah tertentu, dan menunjukan pada bagian yang lain yaitu hubungan sebab akibat (asap menandakan ada api). Tanda-tanda yang dibuat oleh manusiapun menunjukan sesuatu yang terbatas artinya dan menunjukan hal-hal yang tertentu, misalnya rambu-rambu lalulintas, tugu-tugu jarak 11 jalanan seperti kilometer, tanda baca, tanda pangkat atau jabatan dll.

  C.A. van Peursen dalam bukunya ―Strategi Kebudayaan‖ yang diterjemahkan oleh Dick Hartono, menguraikan tentang pengertian dan proses terwujudnya simbol atau lambang dalam kebudayaan 12 manusia antara lain sebagai berikut:

  1. Sejumlah pengarang membedakan antara tanda dan simbol atau lambang. Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa yang ditandai: ―di mana ada asap, di sana ada api‖, asap merupakan tanda adanya api. Seekor hewan dapat diajari menghafalkan tanda- tanda, maka bukan hanya tanda-tanda yang diikutsertakannya. Ia sendiri dapat menciptakan tanda-tanda, dan tanda-tanda ciptaannya kita namakan simbol-simbol. Antara tanda dan apa yang ditandai tak ada lagi suatu pertalian alamiah. Huruf a —p—i itu merupakan sebuah simbol. Dengan cepat kita memahami tanda-tanda tersebut: suatu perjanjian lisan dan sederhana sudah cukup untuk itu. Terdapat juga simbol-simbol yang semata-mata berdasarkan perjanjian serupa itu, seperti misalnya tanda-tanda dalam ilmu aljabar atau petunjuk- petunjuk disebuah stasiun.

  2. Terdapat juga simbol-simbol yang terbina selama berabad-abad. Lambang-lambang purba seperti ―api‖, ―air‖, ―matahari‖, ―ikan‖ dan sebagainya mempunyai fungsi yang kadang-kadang relijius, kadang- kadang seni dan kadang-kadang teknis semata-mata sebagai alat 11 komunikasi. Sebetulnya aspek-aspek tersebut tak dapat dipisahkan dan

  

Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta,

12 1984.hlm.11.

  

Strategi kebudayaan, C.A. van Peursen, Yayasan Kanisius Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia dalam lingkungan kebudayaan kuno memang berjalan bersama-sama. Contoh yang bagus kita jumpai dalam huruf-huruf hiroglif di Mesir kuno. Huruf-huruf tersebut menggambarkan sesuatu, jadi mengandung berita, tetapi tidak lewat huruf-huruf biasa, satu huruf satu bunyi misalnya, melainkan lewat lambang-lambang keagamaan kuno yang sekaligus merupakan ekspresi seni yang indah sekali.

  3. Lambang-lambang mengejawantahkan proses belajar, sehingga kita seolah-olah dapat naik menara dan memandang daerah-daerah yang luas yang dulu tidak pernah kita kenal, kita lalu tahu arah mana kita harus berkiblat. Manusia lalu tidak lagi seperti hewan terkurung dalam lingkungan alam, alam itu diangkat ke dalam daya-daya cetusan simbol-simbolnya sendiri. Ini berarti bahwa manusia tidak hanya mendirikan menara-menara yang memperluas pandangan sendiri diubahnya. Lambang-lambang merupakan penunjuk jalan di tengah- tengah kesimpangsiuran perbuatan manusiawi. Lambang itu melontarkan pertanyaan kepada kita: bagaimana kita menanggapi situasi sekeliling kita? Simbol-simbol merupakan tugu-tugu yang menandai proses belajar umat manusia, penunjuk jalan ke arah pembaharuan dan penyusunan kembali. Bahkan lambang-lambang purba yang sepenjang segala abad kita jumpai dalam dunia mitos kesenian, khayalan, impian dan dunia bawah sadar, bukanlah batu- batu yang berdiri tegak tanpa perubahan, melainkan selalu harus ditafsirkan kembali. Baru lewat penafsiran kembali itu lambang- lambang tadi tetap berlaku, seperti misalnya, dalam psikoterapi seperti kesenian. Daya simboliknya tetap sama, asal disusun kembali dijadikan kaidah-kaidah baru.

  4. Lambang-lambang memperlihatkan sesuatu dari kaidah yang berlaku dalam perbuatan manusiawi, pengertian dan ekspresi. Kaidah- kaidah tersebut tidak hanya bertalian dengan akal budi dan pengertian manusia, tetapi dengan seluruh pola kehidupannya, seluruh perbuatan dan harapan manusia. Kaidah-kaidah tersebut selalu mengalami perubahan, dan ini memerlukan suatu proses belajar yang bertalian dengan situasi-situasi yang disusun kembali lewat perubahan dalam simbol-simbol. Lambang-lambang bukan hasil pemerasan otak, bukan semacam teka-teki silang. Lambang-lambang harus dipraktekkan, merupakan penunjuk jalan yang memberi arah kepada perjalanan kita, alat-alat terinformasi, untuk merubah sesuatu. Semua aktivitas manusia berlangsung lewat kaidah-kaidah tertentu, entah dalam suatu mekanisme teknis, kebijaksanaan politik, perwujudan artistik, atau argumentasi ilmiah. Kaidah-kaidah tadi mengakomodir lambang- lambang.

  5. Lambang-lambang terdapat di luar badan manusia dan tidak terikat oleh naluri jasmaniah. Manusia dapat menangani simbol- simbol. Simbol dimana manusia sedang belajar, atau bila proses belajar sedang berlangsung. Belajar berarti memperoleh suatu kepandaian baru, pengertian baru, atau kaidah kelakuan yang baru. Seluruh kebudayaan manusia merupakan proses belajar yang besar. Untuk menampung hasil pelajarannya, manusia memiliki dan menggunakan media yaitu bahasa. Dengan bahasa itu manusia meneruskan hasil pelajarannya, bahkan mewariskannya kepada ingatan penerusnya. Dengan demikian apa yang dipelajari setiap angkatan terus menambah khasana pelajaran dari angkatan-angkatan sebelumnya, sehingga pengetahuan manusia terus bertambah. Tradisi belajar dengan lisan diikuti dengan tradisi belajar secara tertulis. Dan kemudian pengetahuan manusia meneruskan dan dialihkan dengan menggunakan lambang-lambang atau simbol-simbol abstrak yang disandikan/bahasa sandi, maka pengertian bahasa menjadi meluas, tidak hanya meliputi bahasa dalam arti kata yang sempit, melainkan meliputi segala macam bentuk lambang atau simbol berupa: kata, tarian, gambar-gambar isyarat.

  I. Kuntara Wiryamartana seorang ahli filsafat berpendapat bahwa bentuk lambang dapat berupa: bahasa, (cerita, perumpamaan, pantun, syair, peribahasa), gerak tubuh (tari), suara atau bunyi (lagu 13 13 musik), warna dan rupa (lukisan, hiasan, ukiran, bangunan).

  

Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta,

1984.hlm.14.

  Memaknai sesuatu itu (simbol), tersirat sikap individu dan kelompok tertentu untuk melakukan apa yang ada pada simbol tersebut. Memaknai menunjukan sikap yang relevan antara makna dan pemakna. Terjadinya perlawanan antara makna (maksud simbol) dan pemakna (pengguna simbol), akan muncul sikap perlawanan yang mengakibatkan hilangnya tujuan pada sesuatu itu (simbol). Karena itu, memaknai simbol dibutuhkan rasa kolektiv, cara padang kolektiv, cara bertindak kolektiv pada tujuan yang akan dicapai. Jika pada komunitas tertentu, tujuan atau hasil dari simbol yang dilakukan tidak tercapai, maka hal tersebut akan berdampak pada kekacauan individu, dan berakibat pada kesuraman simbol di masa depan. Pada uraian berikut, akan diuraikan makna dan tindakan simbolik manusia.

  Makna dan tindakan simbolik manusia Manusia dan simbol yang digunakan merupakan dua sisi yang memiliki kaitan, dan sangat sulit untuk dipisahkan. Bahkan, keduanya saling memberi pemaknaan. Untuk mengetahui manusia bersama seluruh aspek hidupnya, simbol menjadi pintu masuk. Dari simbol yang dimunculkan melalui perilaku manusia, pada saat yang sama pula, manusia sementara menyampaikan pesan kepada pihak lain tentang apa yang sementara dipikirkan dan dikerjakan. Dalam konteks tersebut, menurut sosiolog R.M. Maclver bahwa:

  

―Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya,

pasti diungkapkan dengan maksud simbol... Simbol sekaligus

merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah

sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama... Setiap

komunikasi dengan bahasa atau sarana yang lain,

menggunakan simbol-simbol. Masyarakat hampir tidak

14 mungkin ada tanpa simbol- simbol‖ .

  Culture and Communication, Edmund Dalam bukunya berjudul,

  Leach (1950:340), memasukan tanda dan isyarat (sinyal) sebagai operator dalam proses komunikasi; ketiganya merupakan ―tindakan- tindakan ekspresif‖ yang ―entah hanya mengatakan sesuatu tentang tatanan dunia sebagaimana adanya, entah bermaksud untuk mengubah tatanan itu secara metaforis‖. Operator-operator seperti isyarat, tanda, 15 dan simbol, menurut Leach, bersifat deskriptif atau transformatif.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: The High School Students’ Attitude towards Learning English

0 0 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Factors Leadingto Speaking Anxiety and Strategies to Overcome The Anxiety

0 0 47

Bab 1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecamatan Ngo

0 0 8

Bab 2 Kajian Literatur - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecamatan N

0 0 16

Bab 3 Metodologi Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecama

0 1 6

Bab 4 Analisis Data dan Pembahasan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit

0 0 38

Bab 5 Penutup - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecamatan Ngombol Ka

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pariwisata Nusa Tenggara Timur: Potensi dan Dinamika

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaimana

0 0 22