Tugas Makalah Kelompok TEORI BELAJAR KUL

Tugas Makalah Kelompok

TEORI BELAJAR KULTURAL DAN
PERLUASAN KONSEPSINYA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Teori Pembelajaran IPS
Doses Pengampu: Dr. SALAMAH, M.Pd

Disusun Oleh:
1. SUCIYATI

(NIM 12155140016)

2. MUJIYATI

(NIM 12155140026)

3. ZUKY IRIANI

(NIM 12155140037)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
2012

KATA PENGANTAR
Semoga berkah dan keselamatan tercurah kepada kita semua. Puji syukur
ke hadirat Allah SWT, yang dengan berkat, rahmat, dan karunia-Nya telah
menuntun penulis menyelesaikan makalah berjudul “Teori Belajar Kultural dan
Perluasan Konsepsinya” ini.
Secara garis besar makalah ini berisi mengenai berbagai konsepsi teori
belajar kultural yang dipandang dari pendekatan-pendekatan teori belajar teori
belajar konstruktivisme, teori belajar ko-konstruktivisme, teori belajar sosial, dan
teori belajar sosio kutural atau banyak disebut dengan istilah teori belajar revolusisosio kultural. Lahirnya teori belajar kultural merupakan bentuk kritik atas teoriteori belajar pendahulunya. Para ahli berpandangan bahwa teori-teori belajar yang
telah ada sebelumnya telah mengabaikan aspek bahwa manusia sebagai makhluk
individu dan sosial telah terlepas dari lingkungan sosialnya dalam proses belajar
yang dialami dan dilakukan. Lingkungan, melalui pola interaksinya merupakan
setting sekaligus bahan belajar yang mampu membentuk dan merubah perilaku
pembelajar. Oleh karenanya, belajar adalah proses integrasi antara individu
dengan lingkungan.

Lebih lanjut makalah ini membahas mengenai kelebihan dan kelemahan
teori belajar kultural. Berikutnya dibahwa pula mengenai aplikasi teori belajar
kultural berdasarkan jenis pendidikan dan berdasarkan model pembelajaran di
sekolah. Terakhir, makalah ini membahas mengenai perluasan konsepsi teori
belajar kultural dikaitkan dengan pembelajaran berbasis budaya.
Penulis berharap agar makalah ini dapat memberikan sumbangan bagi
pengetahuan yang berkaitan dengan konsepsi teori belajar kultural. Penulis
menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, sehingga
penulis mengundang saran, kritik, serta masukan dari pembaca sekalian.
Yogyakarta,

Penulis.

November 2012.

DAFTAR ISI

SAMPUL ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I

: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 4
C. Tujuan .................................................................................. 4
D. Manfaat ................................................................................ 4

BAB II

: PEMBAHASAN
A. Devinisi Para Ahli Mengenai Teori Belajar Kultural .............6
B. Kelebihan dan Kelemahan Teori Belajar Kultural ................18
C. Aplikasi Teori Belajar Kultural .............................................20
D. Perluasan Konsepsi Teori Belajar Kultural Dikaitkan dengan
Pembelajaran Berbasis Budaya .............................................23

BAB III

: PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 29
B. Implikasi .............................................................................. 30
C. Saran .................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 31

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
pembangunan bangsa dan negara. Kualitas pendidikan memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap mutu sumber daya manusia. Dalam UU Nomor 2
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan mengenai
pengertian pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Melihat konsepsi pendidikan di atas, pendidikan harus dilakukan
secara berkesinambungan sesuai dengan konsep long life education, yakni
bahwa pendidikan sebagai suatu proses yang terjadi sepanjang hidup.
Penyelenggaraan pendidikan dimaksudkan untuk memberikan perubahan
perilaku peserta didik, dimana perubahan tersebut dapat terlihat, bersifat
permanen, memiliki arahan yang positif bagi individu. Pelaksanaan
pendidikan tidak hanya dimonopoli oleh pendidikan formal. Pelaksanaan
pendidikan juga meliputi pendidikan informal dan non formal. Pendidikan
informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Setiap orang
tentunya merasakan pendidikan informal. Bahkan pendidikan informal ini
merupakan bentuk pelaksanaan pendidikan yang pertama kali dialami oleh

setiap individu. Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar
pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Implementasi


pendidikan

non formal antara

lain;

berbagai kursus

keterampilan, program Kejar Paket A, B, dan C.
Kenyataan bahwa faktor ekonomi mempengaruhi kuantitas warga
negara dalam mengenyam pendidikan formal, seharusnya tidak menjadikan
masyarakat yang kurang mampu tidak dapat menikmati pendidikan.
Keberadaan pendidikan non formal memiliki peranan penting untuk
mengakomodir masyarakat yang tidak bisa mengenyam pendidikan formal,
dengan berbagai latar belakang alasan. Ditinjau dari fungsi, cakupan, dan
jenis pembelajaran antara pelaksanaan pendidikan formal, pendidikan
informal, dan pendidikan non formal memang berbeda. Salah satu
perbedaannya terletak pada budaya belajar dalam kawasan tiga pelaksanaan
pendidikan tersebut. Budaya belajar mempengaruhi proses pembelajaran, di

lain sisi proses pembelajaran pun dapat mempengaruhi budaya belajar di
lingkungan pendidikan.
Budaya belajar sebagai faktor pengaruh dan faktor yang dipengaruhi,
terbentuk dari budaya (kultur) yang berkembang di tengah-tengah lingkungan
masyarakat. Baik kultur makro maupun kultur mikro. Teori belajar kultural
sangat berkaitan erat dengan penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan
formal, informal, maupun non formal. Teori belajar kultural memandang
bahwa aspek-aspek sosial memasyarakatan, aspek kebudayaan, dan aspek
lingkungan, merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran dan
keberhasilan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Patut diakui, bahwa
kebudayaan yang berkembang dalam kelompok masyarakat tertentu akan
menentukan bentuk maupun corak pembelajaran yang dilakukan di lembagalembaga pendidikan.
Namun demikian, di negara-negara berkembang adopsi sistem
pendidikan dari luar sering kali mengalami kesulitan untuk berkembang.
Asumsi-asumsi yang melandasi program-program pendidikan sering kali
tidak sejalan dengan hakekat belajar, hakekat orang yang belajar, dan hakekat

orang yang mengajar. Pendidikan dan pembelajaran selama ini hanya
mengagungkan pada pembentukan perilaku keseragaman, dengan harapan
akan menghasilkan keteraturan, ketertiban, ketaatan, dan kepastian.

Seorang siswa harus dididik untuk realis, mengakui kehidupan yang
multi-dimensional, tidak seragam, dan diajak menghayati kebinekaan yang
saling melengkapi demi persaudaraan yang sehat, menghargai hak dan
kewajiban sosial yang saling solider. Mendidik juga berarti membantu anak
untuk menjadi dirinya dan peka terhadap lingkungannya. Oleh karena itu,
harus berusaha diciptakan lingkungan belajar yang demokratis. Selain itu
diperlukan sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar sebagai modal
dasar untuk memunculkan prakarsa belajar. Ini semua menjadi sangat penting
untuk mengembangkan kemampuan mental yang produktif.
Indonesia merupakan negara yang majemuk, dengan heterogenitas
kebudayaan yang dimiliki masyarakat, menjadikan corak pendidikan di
Indonesia pun menjadi beragam. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia,
dari kepulauan Sematera hingga Papua, tidak boleh meminggirkan peranan
kebudayaan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Secara
umum, pendidikan memang dimaksudkan agar setiap kelompok masyarakat
dapat menerima perbedaan, sehingga tercipta masyarakat yang plural dengan
tingkat toleransi yang tinggi.
Teori belajar kultural merupakan suatu konsepsi yang menempatkan
budaya (kultur) menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pembelajaran.
Pendidikan akan lebih diterima oleh masyarakat bilamana kebudayaan

mengambil bagian dan diberikan tempat dalam proses penyelenggaraan
pendidikan.

Penyelenggaraan

pendidikan

pun

dimaksudkan

untuk

mengukuhkan kebudayaan yang telah ada sebagai kekayaan dan warisan
leluhur suatu bangsa. Penyelenggaraan pendidikan juga dimaksudkan untuk
membangun budaya baru yang positif, dinamis, dan sesuai dengan kebutuhan
dan tuntutan jaman. Pendidikan berkebudayaan dipandang mampu menjadi
filter bagi dampak sosial yang ditimbulkan oleh globalisasi. Teori belajar

kultural selain dapat diaplikasikan dalam berbagai metode pembelajaran, juga

menjadi solusi bagi sebagian permasalahan pendidikan di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana devinisi para ahli mengenai teori belajar kultural?
2. Apa kelebihan dan kelemahan teori belajar kultural?
3. Bagaimana aplikasi teori belajar kultural?
4. Bagaimana perluasan konsepsi teori belajar kultural dikaitkan dengan
pembelajaran berbasis budaya?
C. Tujuan
Melihat rumusan masalah di atas, maka penulisan makalah ini
bertujuan untuk:
1. Mengetahui devinisi para ahli mengenai teori belajar kultural.
2. Mengetahui kelebihan dan kelemahan teori belajar kultural.
3. Mengetahui aplikasi teori belajar kultural.
4. Mengetahui

perluasan

konsepsi


teori

belajar

kultural

dikaitkan

pemebelajaran berbasis budaya.
D. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, diharapkan makalah ini dapat
menambah pengetahuan mengenai teori belajar kultural, sehingga dapat
dijadikan acuan untuk penulisan dengan topik terkait. Manfaat praktisnya,
antara lain:
1. Diharapkan agar penulisan makalah ini dapat menjadi acuan bagi
mahasiswa maupun praktisi pendidikan, agar memiliki gambaran umum
mengenai teori belajar kultural. Gambaran umum tersebut dimaksudkan

agar segenap praktisi pendidikan mampu mengembangkan model-model
pembelajaran sebagai implementasi teori pembelajaran kultural.
2. Bagi

sekolah,

agar

melakukan

langkah-langkah

nyata

untuk

mengidentifikasi kultur yang berkembang di lingkungan sekolah.
Tujuannya untuk mempermudah menemukan permasalahan dalam proses
pembelajaran dan menyusun seperangkat solusi dan kebijakan intern
sekolah dengan berpijak pada teori belajar kultural.
3. Bagi guru, agar mempraktekkan teori belajar kultural dalam pembalajaran
di kelasnya, dengan penyesuaian-penyesuaian tersentu. Penyesuaian yang
dimaksud adalah materi yang akan dipelajari, karakter kelas, dan
berbagai aspek yang mendukung proses pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Devinisi Para Ahli Mengenai Teori Belajar Kultural.
Berbeda dengan teori-teori belajar yang muncul lebih dahulu,
(seperti: teori belajar disiplin mental, teori belajar behavioristik, teori belajar
kognitif, dan teori belajar humanisme), pengertian teori belajar kultural tidak
dijabarkan secara eksplisit. Pendevinisian teori belajar kultural, oleh para ahli
dirumuskan dalam bentuk pendekatan-pendekatan teori belajar yang lain,
yakni: teori belajar konstruktivisme, teori belajar ko-konstruktivisme, teori
belajar sosial, dan teori belajar sosio kutural atau banyak disebut dengan
istilah teori belajar revolusi-sosio kultural.
Lahirnya teori belajar kultural merupakan bentuk kritik atas teoriteori belajar pendahulunya. Para ahli berpandangan bahwa teori-teori belajar
yang telah ada sebelumnya telah mengabaikan aspek bahwa manusia sebagai
makhluk individu dan sosial telah terlepas dari lingkungan sosialnya dalam
proses belajar yang dialami dan dilakukan. Lingkungan, melalui pola
interaksinya merupakan setting sekaligus bahan belajar yang mampu
membentuk dan merubah perilaku pembelajar. Oleh karenanya, belajar adalah
proses integrasi antara individu dengan lingkungan. Devinisi lingkungan

dalam hal ini memiliki cakupan yang luas, meliputi lingkungan sosial dan
lingkungan alam dengan berbagai aspek yang mengitarinya, antara lain:
interaksi antar individu, pola hubungan kelompok, kebudayaan, psikologi
sosial, dan sebagainya. Terdapat tiga aspek penting dalam teori belajar
kultural, antara lain:
1. Pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat erat.
2. Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan hanya dapat
terlaksana dalam suatu komunitas masyarakat.
3. Kebudayaan merupakan suatu proses pemanusiaan di dalam kehidupan
berbudaya, sehingga akan terjadi proses perubahan.
Penekanan pada aspek kebudayaan masyarakat dalam teori belajar
kultural memiliki alasan yang kuat. Kebudayaan sebagai hasil pola hubungan
dan interaksi masyarakat yang telah disepakati, dianut, dijalankan,
dipertahankan, dan berlangsung secara kontinyu, oleh kelompok masyarakat
tertentu, memiliki pengaruh signifikan terhadap corak pendidikan dan
keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan. Berikut ini akan
dideskripsikan devinisi para ahli mengenai teori belajar kultural, yakni:
1. Teori Konstruktivisme Jean Piaget.
Belajar menurut

teori konstruktivisme adalah suatu proses

mengasimilasikan dan mengaitkan pengalaman atau pelajaran yang
dipelajari

dengan

pengetahuannya

pengertian
dapat

yang

sudah

dikembangkan.

dimilikinya,
Teori

sehingga

Konstruktivisme

didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Kontruktivisme lebih
memahami

belajar

sebagai

kegiatan

manusia

membangun

atau

menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya
sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan
merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan setiap
orang, selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi

pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan
menjadi lebih dinamis.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak
hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus
berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya.
Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini,
dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar
dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawa siswa ke
tingkat pemahaman yang lebih tinggi, dengan menggunakan catatan siswa
sendiri, yang ditulis dengan bahasa dan kata-kata mereka sendiri.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut
konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana peserta didik
membina sendiri pengtahuannya, mencari arti dari apa yang mereka
pelajari, dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan ide-ide baru
dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya.
Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik
diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan
mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan,
mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan,
mengekspresikan ide dan gagasan sehingga, diperoleh konstruksi yang
baru.
Piaget berpendapat bahwa belajar ditentukan karena adanya karsa
individu artinya pengetahuan berasal dari individu. Siswa berinteraksi
dengan lingkungan sosial yaitu teman sebayanya dibanding orang-orang
yang lebih dewasa. Penentu utama terjadinya belajar adalah individu yang
bersangkutan (siswa) sedangkan lingkungan sosial menjadi faktor
sekunder. Keaktifan siswa menjadi penentu utama dan jaminan
kesuksesan

belajar,

sedangkan

penataan

kondisi

hanya

sekedar

memudahkan belajar. Menurut Piaget proses belajar untuk membangun
kognisi seseorang, sebenarnya terdiri atas tiga tahapan, antara lain:
a. Asimilasi, yaitu pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif
yang sudah ada.
b. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam
situasi baru.
c. Equilibrasi adalah penyesuaian yang berkesinambungan antara
asimilasi dan akomodasi.
Dari

ketiga

tahapan

tersebut,

dapat

dipahami

bahwa

perkembangan kognitif merupakan proses genetik yang diikuti adaptasi
biologis dengan lingkungan, sehingga terjadi ekuilibrasi. Proses adaptasi
yang dimaksud meliputi tahapan asimilasi dan akomodasi untuk mencapai
equlibrasi. Berikut ini visualisasi tiga tahapan belajar menurut Piaget:
PROSES ADAPTASI

ASIMILASI:

AKOMODASI:

struktur kognitif yang
sudah ada (skemata)

Struktur kognitif
(skemata)

+

+

informasi baru

Situasi baru

E
Q
U
I
L
I
B
R
A
S
I

Gambar 1. Tahapan belajar menurut Piaget.
Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang
ditokohi oleh Piaget yang kemudian berkembang dalam aliran
kontruktivistik tersebut, masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila
dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan
implikasi kotraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih

mencerminkan idiologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang
lazim dikaitkan dengan budaya barat. pendekatan ini kurang sesuai
dengan tuntutan revolusi-sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.
2. Teori Co-Konstruktivisme, dan Revolusi Sosio-Kultural Vygotsky.
Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan
dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang,
kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain
merupakan bagian dari lingkungan pemerolehan pengetahuan siswa
bermula dari lingkup sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup
individu sebagai peristiwa internalisasi. Vygotsky menekankan pada
pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam
pembentukan pengetahuan. Menurut Vygotsky, interaksi sosial dalam hal
ini, interaksi individu dengan orang lain merupakan faktor terpenting
yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang.
Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara
efisien dan efektif apabila anak belajar secara kooperatif dengan anakanak lain dalam suasana dan lingkungan yang mendukung (supportive),
dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu, guru atau orang dewasa.
Oleh Vigotsky, teori pembelajaran kultural didevinisikan dengan
pendekatan teori konstruktivisme. Pendekatan teori kontruktivisme ini
selanjutnya dikembangkan menjadi co-konstruktivisme, kemudian lebih
jauh lagi revolusi sosio-kultural.
Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan
pada pengaruh budaya, tetapi dinilai sangat individualistik karena belum
ada proses internalisasi. Kegiatan belajar hanya terfokus pada siswa
secara individu mengkonstruksikan stuktur kognitif yang dimilikinya
dengan pengalaman yang diperoleh melalui Interaksi sosial dan budaya
yang telah tertanam dalam benak siswa. Ini berarti proses belajar hanya
sebatas pada kegiatan internal (dalam diri individu atau hanya pada
kawasan intra-psikologi) saja.

Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak
antara inter-psikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan
intrapsikologi

(intrapsychological)

dalam

benaknya.

Internalisasi

dipandang sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke internal. Ini
terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan
intra-psikologi (dalam diri individu). Internalisasi individu sebagai proses
pemerolehan pembelajaran mempengaruhi perkembangan intelektual
siswa. Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky
mengemukakan dua ide, antara lain:
a.

Bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam
konteks budaya dan sejarah pengalaman.

b.

Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung
pada sistem tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang.
Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan
untuk

membantu

seseorang

berpikir,

berkomunikasi,

dan

memecahkan masalah, misalnya budaya, bahasa, sistem tulisan, dan
sistem perhitungan.
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sosial budaya merupakan
aspek-aspek yang mempengaruhi internalisasi. Anak-anak memperoleh
berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik
lingkungan sekolah maupun keluarganya secara aktif. Perolehan
pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai dengan teori sosiogenesis
yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi sosial yang
bersifat primer dan dimensi individual bersifat derivatif atau turunan dan
sekunder, sehingga teori belajar Vygotsky disebut dengan pendekatan
Co-Konstruktivisme

artinya

perkembangan

kognitif

seseorang

disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan
oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang anak dapat
terjadi melalui kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga

dengan yang lainnya. Perkembangan anak terjadi dalam budaya dan terus
berkembang sepanjang hidupnya dengan berkolaborasi dengan yang lain.
Dari perspektif ini para penganut aliran sosio-kultural berpendapat bahwa
sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa mempertimbangkan
orang-orang penting di lingkungannya.
Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham dengan
konsep yang diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang
potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan
dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia menekankan bahwa prosesproses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran
melibatkan pembelajaran dengan orang-orang yang ada di lingkungan
sosialnya. Selain itu ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu
berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di
dalam bidang-bidang tersebut.
Terdapat tiga konsep penting dalam teori sosiogenesis Vygotsky
tentang perkembangan kognitif sesuai dengan revolusi sosio-kultural
dalam teori belajar dan pembelajaran. Tiga konsep tersebut antara lain:
a. Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development).
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan
tumbuh dan berkembang melewati dua tataran, yaitu interpsikologis
atau intermental dan intrapsikologis atau intramental. Pandangan
teori ini menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai
faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan
serta

perkembangan

kognitif

seseorang.

Sedangkan

fungsi

intramental dipandang sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh
atau terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap prosesproses sosial tersebut.
b. Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development).
Vygotsky membagi perkembangan proksimal (zone of
proximal development) ke dalam dua tingkat, yakni:

1.) Tingkat perkembangan aktual yang tampak dari kemampuan
seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan
berbagai masalah secara mandiri (intramental).
2.) Tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan
seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan
masalah ketika dibawah bimbingan orang dewasa atau ketika
berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten
(intermental).
Jarak antara tingkat perkembangan aktual dan tingkat
perkembangan potensial ini disebut zona perkembangan proksimal.
Zona perkembangan proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau
kemampuan-kemampuan yang belum matang yang masih berada
dalam proses pematangan. Berikut penjelasan dalam bentuk
visualisasinya:

Tingkat
Perkembanga
n Aktual
(intramental)

ZPD

Tingkat
Perkembanga
n Potensial
(intermental)

Gambar 2. Dua tingkatan perkembangan proksimal.
c. Mediasi
Menurut Vygotsky, semua perbuatan atau proses psikologis
yang khas manusiawi dimediasikan dengan psychologis tools atau
alat-alat psikologis berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika.
Ada dua jenis mediasi, yaitu:
1.) Mediasi metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik yang
bertujuan untuk melakukan self- regulation yang meliputi: self
planning, self monitoring, self checking, dan self evaluating.

Mediasi metakognitif ini berkembang dalam komunikasi antar
pribadi.
2.) Mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk
memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu
atau subject-domain problem. Mediasi kognitif bisa berkaitan
dengan konsep spontan (yang bisa salah) dan konsep ilmiah (yang
lebih terjamin kebenarannya).
3. Teori Sosial Albert Bandura.
Bandura adalah seorang psikolog yang terkenal dengan teori
belajar sosial atau kognitif sosial, serta efikasi diri. Bandura melakukan
berbagai eksperimen teori pembelajaran imitatif yang kemudian
dikembangkan

pada

eksperimen

pembelajaran

observasi.

Dalam

pembelajaran imitatif, ditemukan fakta bahwa pembelajar cenderung
menunujukkan perilaku meniru tindakan model yang dilihatnya. Lain
halnya dengan eksperimennya mengenai teori belajar observasi. Teori
belajar observasi memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari sekedar
imitatif. Teori belajar observasi memposisikan peserta didik sebagai
pengamat terhadap model maupun setting pembelajaran. Peserta didik
sebagai pengamat tidak sekadar meniru apa yang diamatinya. Menurut
teori belajar sosisal yang dikemukakan oleh Bandura (Gredrel, 1994:
370), hal yang sangat penting dalam pembelajaran observasi adalah: (1)
kemampuan individu untuk mengambil sari informasi dari tingkah laku
orang lain; dan (2) memutuskan tingkah laku mana yang akan diambil
untuk melaksanakan tingkah laku tersebut.
Teori belajar sosial Albert Bandura sebenarnya terintegrasi
dalam teori belajar imitatif dan observasi, yang sebenarnya mendasarkan
eksperimen belajar yang dilakukan dari teori belajar behavioristik. Faktorfaktor yang berproses dalam belajar observasi adalah:
1. Perhatian, mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik pengamat.

2. Penyimpanan atau proses mengingat, mencakup kode pengkodean
simbolik.
3. Reproduksi motori, mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru,
dan keakuratan umpan balik.
4. Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri
sendiri.
Selain itu, juga harus diperhatikan bahwa faktor model atau
teladan mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan, diperoleh dnegan cara
mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara
simbolik, kemudian melakukannya.
2. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai
yang dimilikinya.
3. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan
tersebut disukai dan dihargai, dan perilakunya mempunyai nilai yang
bermanfaat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, belajar sosial (juga
dikenal sebagai belajar observasional atau belajar vicarious atau belajar
dari model) adalah proses belajar yang muncul sebagai fungsi dari
pengamatan, penguasaan dan, dalam kasus proses belajar imitasi, peniruan
perilaku orang lain. Jenis belajar ini banyak diasosiasikan dengan
penelitian Albert Bandura, yang membuat teori belajar sosial. Di dalamnya
ada proses belajar meniru atau menjadikan model tindakan orang lain
melalui pengamatan terhadap orang tersebut. Penelitian lebih lanjut
menunjukkan adanya hubungan antara belajar sosial dengan belajar
melalui pengkondisian klasik dan operant.
Banyak yang secara salah menyamakan belajar observasional
dengan belajar melalui imitasi. Kedua istilah ini berbeda dalam arti bahwa
belajar

observasional

mengarah

pada

perubahan

perilaku

akibat

mengamati model. Ini tidak selalu berarti bahwa perilaku yang ditunjukkan
orang lain diduplikasi. Bisa saja si pengamat justru melakukan sesuatu

yang sebaliknya dari yang dilakukan model karena ia telah mempelajari
konsekuensi dari perilaku tersebut pada si model. Dalam hal ini adalah
belajar untuk tidak melakukan sesuatu dan ini berarti terjadi belajar
observasional tanpa adanya imitasi.
Teori belajar sosial menurut bandura erat kaitannya dengan
perilaku peserta didik yang terbentuk dari hubungan antara pembelajar
dengan lingkungannya. Menurut pandangan faham belajar sosial, tingkah
laku dan lingkungan dapat diubah, dan tidak satu pun merupakan penentu
utama dari terjadinya perubahan tingkah laku. Pemerolehan tingkah laku
kompleks tidak dapat diterangkan dengan hubungan dua arah antara
lingkungan dan individu. Bandura mengajukan hubungan segitiga yang
saling berkaitan. Berikut visualisasinya:

Ekspektasi dan nilai
mempengaruhi tingkah
laku
Tingkah laku
sering dinilai
tanpa
memperhatik
an balikan
dari
lingkungan,
dengan begitu
mengubah
kesan pribadi

T
Tingkah laku
mengaktifkan
kontigensi lingkungan

P

Ciri-ciri fsik seperti
tampakan yang
menarik, suku
bangsa, perawakan,
jenis kelamin, dan
atribut sosial
mengaktifkan reaksi
lingkungan yang
Perlakuan
sosial yang
berbeda,
mempengar
uhi
konsepsi

L
Kontigensi yang
diaktifkan dapat
mengubah intensitas
atau arah kegiatan

Gambar 3. Hubungan segitiga (model deterministic resipkoral) oleh
Albert Bandura: antara faktor pribadi (P) – faktor lingkungan (L) – faktor
tingkah laku (Gredler, 1994: 378).
4. Teori Kultural Edward Burnett Tylor.
Antropologi sosial dan antropologi budaya bertumpu dan
berpedoman kepada masyarakat secara menyeluruh. Oleh karena itu
antropologi mencoba menguraikan hubungan antara berbagai aspek
kemasyarakatan dan kemanusiaan sebagai wujud makhluk sosial.
Walaupun dikalangan antropologis terdapat minat yang bermacammacam tetapi semua antropologis mempunyai kecenderungan yang sama,
yaitu keinginan untuk memahami hubungan manusia dalam masyarakat.
Pendidikan sebagai salah satu wujud hubungan manusia dalam
masyarakat memiliki keterjaitan dengan antropologi. Ini artinya
antropologi turut menyumbang tersusunnya teori belajar kultural.
E.B Tylor merupakan seorang antropolog yang berasal dari
Inggris. Tylor tidak mengemukakan devinisi belajar kultural, tetapi
memberikan teori mengenai budaya. Teori budaya sebagai bagian dalam
teori belajar kultural perlu dibahas karena substansi budaya merupakan
salah satu pijakan teori belajar kultural. Tylor telah menulis tentang
berbagai macam masalah, tetapi yang terpenting ialah teori tentang
‘budaya’ yang diartikan oleh Tylor pada tahun 1871. Karena teorinya itu
maka Tylor terus diingat dalam sejarah perkembangan antropologi. Teori
itu berbunyi: "Budaya dalam arti kata etnografis yang luas, ialah gagasan
keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, tata susila,
adat, dan tingkah laku yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota
masyarakat’. Sehingga teori awal yang dibuat oleh Tylor terhadap
‘budaya’ masih dianggap penting oleh kalangan antropologis.
E.B. Tylor menganut cara berpikir evolusionisme. Beliau
berpendapat bahwa asal mula religi adalah adanya kesadaran manusia
akan adanya jiwa yang disebabkan oleh dua hal yaitu perbedaan yang
tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dengan hal-hal yang mati,

dan peristiwa mimpi. Pada saat tidur atau pikiran melayang hubungan
jiwa dan raga akan tetap ada. Tetapi jika manusia mati hubungan jiwa dan
raga akan terputus. Jiwa yang terputus dari raga akan bebas mengisi alam
yang akan menjadi makhluk halus yang akan hidup berdampingan dengan
manusia, ditempatkan pada posisi yang penting yaitu dijadikan obyek
penghormatan dan penyembahan. E.B Tylor juga berpendirian bahwa
bentuk religi paling tua adalah penyembahan kepada roh-roh yang
merupakan

personifikasi

dari

jiwa-jiwa

orang-orang

yang

telah

meninggal, terutama nenek moyangnya. Penyembahan terhadap makhluk
halus menurut E.B Tylor disebut sebagai animisme yang pada akhirnya
merupakan bentuk religi tertua. Makhluk halus penghuni alam sering
disebut sebagai Dewa. Semua Dewa pada hakekatnya merupakan
penjelmaan dari satu dewa yang tertinggi. Dewa memiliki tingkatan dan
tingkat tertinggi para dewa menurut keyakinan terhadap satu Dewa atau
Tuhan dan akan timbul religi yang bersifat monotheisme sebagai tingkat
yang terakhir dalam evolusi religi manusia.
Teori yang lain tentang kebudayaan, E.B Tylor beranggapan
bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang
didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat. Keberadaan sistem religi ternyata
mempengaruhi kebudayaan suatu masyarakat, dan sebaliknya. Akulturasi
dan asimilasi antara sistem religi dan kebudayaan dalam lingkup
masyarakat pun menjadikan corak pendidikan yang beragam. Teori
belajar kultural senantiasa mengambil bentuk aplikasi yang disesuaikan
dengan keduannya.
B. Kelebihan dan Kelemahan Teori Belajar Kultural.
Mendeskripsikan kelebihan dan kelemahan teori belajar kultural
tidak bisa dilakukan dengan mengeralisasikannya begitu saja. Di bagian awal
telah disebutkan bahwa teori belajar kultural hanya mampu didevinisikan dan

dijelaskan dneagn mengunakan berbagai pendekatan teori belajar yang lain,
terutama konstruktivisme dan sosio-kultural. Mengidentivikasi kelebihan dan
kelemahan teori belajar kultural dipandang dari perspektif pendekatan
tertentu. Berdasarkan teori Vygotsky akan diperoleh beberapa keuntungan,
antara lain:
1. Anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona
perkembangan proximalnya atau potensinya melalui belajar dan
berkembang.
2. Pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan
potensialnya daripada tingkat perkembangan aktualnya.
3. Pembelajaran

lebih

diarahkan

pada

penggunaan

strategi

untuk

mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan
intramental.
4. Anak diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan
deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural yang
dapat dilakukan untuk tugas-tugas atau pemecahan masalah.
5. Proses belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih
merupakan kokonstruksi, yaitu proses mengkonstruksi pengetahuan atau
makna baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di
dalamnya.
Keuntungan sebagaimana telah dideskripsikan di atas akan
memberikan implikasi positif bagi peserta didik, antara lain:
1. Mendorong peserta didik untuk berfikir dalam proses membina
pengetahuan baru. Siswa berfikir untuk menyelesaikan masalah,
menemukan ide dan membuat keputusan.
2. Peserta didik akan memiliki pemahaman, kerana terlibat secara langsung
dalam membina pengetahuan baru. Peserta didik akan lebih faham dan
dapat mengapliksikannya dalam semua situasi.
3. Memiliki ingatan yang kuat terhadap proses pembelajaran yang telah
dilakukan dan pengalaman, kerana murid terlibat secara langsung dengan

aktif, mereka akan ingat lebih lama tentang semua konsep. Siswa melalui
pendekatan ini membina sendiri pemahamannya.
4. Memiliki efikasi diri yang tinggi, yakni memiliki keyakinan bahwa
dirinya dan orang lain yang terlibat dalam interaksi belajar akan mampu
mengatasi permasalahan dalam pembelajaran.
5. Memiliki kemahiran sosial yang diperoleh melalui interaksi dengan rekan
dan guru dalam membina pengetahuan baru.
6. Pembelajaran berlangsung menyenangkan, kerana peserta didik terlibat
secara aktif dan berkelanjutan.
Kelemahan dari teori sosio-kultural yaitu terbatas pada perilaku yang
tampak, proses-proses belajar yang kurang tampak seperti pembentukan
konsep, belajar dari berbagai sumber belajar, pemecahan masalah dan
kemampuan berpikir sukar diamati secara langsung.
C. Aplikasi Teori Belajar Kultural.
Aplikasi teori sosio-kultural dalam pendidikan dapat terjadi pada tiga
jenis pendidikan yaitu:
1. Pendidikan informal (keluarga).
Pendidikan anak dimulai dari lingkungan keluarga, dimana anak pertama
kali

melihat,

memahami,

mendapatkan

pengetahuan,

sikap

dari

lingkungan keluarganya. Oleh karena itu perkembangan perilaku masingmasing anak akan berbeda manakala berasal dari keluarga yang berbeda,
karena faktor yang mempengaruhi perkembangan anak dalam keluarga
beragam, misalnya: tingkat pendidikan orang tua, faktor ekonomi
keluarga, keharmonisan dalam keluarga dan sebagainya.
2. Pendidikan nonformal.
Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak bermunculan untuk
memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku pada anak, misalnya
kursus membatik. Pendidikan ini diberikan untuk membekali anak hal-hal
tradisi yang berkembang di lingkungan sosial masyarakatnya.
3. Pendidikan formal.

Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari
beberapa segi antara lain:
a. Kurikulum.
Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan kurikulum
pendidikan sesuai Peraturan Menteri nomor 24 tahun 2006 tentang
pelaksanaan KTSP, Peraturan Menteri nomor 23 tahun 2006 tentang
standar kompetensi, dan Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2006
tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar, jelas bahwa
pendidikan di Indonesia memberikan pengetahuan, ketrampilan, nilai
dan sikap kepada anak untuk mempelajari sosio-kultural masyarakat
Indonesia maupun masyarakat internasional melalui beberapa mata
pelajaran

yang

telah

ditetapkan,

di

antaranya:

pendidikan

kewarganegaraan, pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan
olah raga.
b. Peserta didik.
Dalam pembelajaran KTSP anak mengalami pembelajaran secara
langsung ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu pengetahuan,
ketrampilan, nilai, dan sikap bukan sesuatu yang verbal tetapi anak
mengalami pembelajaran secara langsung. Selain itu pembelajaran
memberikan kebebasan anak untuk berkembang sesuai bakat, minat,
dan lingkungannya. Pencapaiannya sesuai standar kompetensi yang
telah ditetapkan.
c. Guru
Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran
lebih berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator, evaluator,
desainer pembelajaran dan tutor. Masih banyak peran yang lain, oleh
karenanya dalam pembelajaran ini peran aktif siswa sangat
diharapkan, sedangkan guru membantu perilaku siswa yang belum
muncul secara mandiri.
Aplikasi belajar kultural berdasarkan jenis model pembelajaran yang
dipakai, harus memenuhi prinsip-prinsip metodis konstruktivisme, yang

melibatkan perananan aspek lingkungan sosial maupun aspek lingkungan
alam. Menurut Knuth & Cunningham, dikatakan bahwa pembelajaran
yang memenuhi metode konstruktivis hendaknya memenuhi beberapa
prinsip, yaitu:
a. Menyediakan pengalaman belajar yang menjadikan peserta didik dapat
melakukan konstruksi pengetahuan.
b. Pembelajaran dilaksanakan dengan mengkaitkan kepada kehidupan
nyata.
c. Pembelajaran dilakukan dengan mengkaitkan kepada kenyataan yang
sesuai.
d. Memotivasi peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran.
e. Pembelajaran dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada kehidupan
sosial peserta didik.
f. Pembelajaran menggunakan barbagai sarana.
g. Melibatkan peringkat emosional peserta didik dalam mengkonstruksi
pengetahuan peserta didik.
Lebih jauh lagi, dalam proses pembelajaran yang relevan dengan
aplikasi teori belajar kultural, harus diciptakan suasana belajar yang
memungkinkan terjadinya interaksi sosial.

Teori belajar konstruktivisme,

teori belajar ko-konstruktivisme, teori belajar sosial, dan teori belajar sosio
kutural atau teori belajar revolusi-sosio kultural, merupakan jiwa dari
pengembangan pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan. Ini berarti
secara umum aplikasi teori belajar sejalan dengan model belajar PAKEM.
Dalam model PAKEM, guru dituntut untuk dapat melakukan kegiatan
pembelajaran yang dapat melibatkan siswa melalui pembelajaran partisipatif,
aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Tujuannya agar siswa dapat
menciptakan, membuat karya, gagasan, pendapat, ide atas hasil penemuannya
dan usahanya sendiri, bukan dari gurunya (Rusman, 2012: 323).
Pengembangan pembelajaran dalam hal ini adalah aplikasi
pembelajaran di sekolah yang menggunakan berbagai pendekatan atau model
pembelajaran yang memenuhi prinsip teori-teori tersebut. Berikut ini adalah

beberapa model pembelajaran yang bisa dikembangkan oleh guru dalam
pembelajaran yang diampunya:
1. Model belajar inquiri dan discovering.
Dalam kedua model pembelajaran tersebut, siswa mencari,
menemukan, mengelolah, dan mengkonstruksi serta menstransformasikan
informasi yang diperolehnya guna menjadi sebuah pengetahuan yang
bermakna. Model ini mampu mengefektifkan peran siswa sendiri dalam
mengkonstruksi dan mentrasformasikan informasi guna membentuk
pengetahuan

yang

baru.

Siswa

juga

diberi

kesempatan

untuk

merefleksikan pengetahuan yang dikonstruksi dan ditransformasikannya
dan membacanya secara baru sebagai suatu pengetahuan yang berarti.
2. Guidence – to independent learning (Bimbingan menuju pada
kemandirian belajar).
Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah
besar bantuan selama tahap - tahap awal pembelajaran dan kemudian
mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak
tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera
setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru
dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke
dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
3. Cooperative learning.
Ide dasarnya adalah pembelajaran dilakukan dengan kerjasama
antara peserta didik. Kerjasama sebagai wujud interaksi sosial untuk
memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, berdiskusi, mereflerksi
secara bersama-sama. Gagasan tentang kelompok kerja kreatif diperluas
menjadi pengajaran pribadi oleh teman sebaya (peer tutoring), yaitu
seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam pelajaran.
Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD
karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bisa dengan
mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan
menyediakan scaffolding yang sesuai.

Selain model pembelajaran di atas, masih banyak model pembelajaran
lain yang bisa dikembangkan guru, antara lain model simulasi, role play,
eksperiment learning, Web-Based Education atau juga disebut e-learning, dan
sebagainya, dengan syarat memenuhi prinsip-prinsip dalam teori belajar
kultural.
D. Perluasan

Konsepsi

Teori

Belajar

Kultural

Dikaitkan

dengan

Pembelajaran Berbasis Budaya.
Teori belajar kultural menghendaki agar dalam proses pembelajaran
individu dilibatkan secara aktif dalam suatu setting sosial dan interaksi sosial.
Dengan demikian, proses pembelajaran harus memberikan tempat bagi nilainilai budaya. Pendidikan merupakan salah satu saluran untuk mewariskan
budaya pada generasi muda. Penyelenggaraan pendidikan harus berjalan
dinamis mengikuti perkembangan dan kemajuan jaman, tetapi tetap
meneguhkan arti penting kebudayaan sebagai karakteristik bangsa.
Koentjoroningrat menyatakan bahwa budaya adalah ‘daya dari budi’
yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari
cipta, karsa, dan rasa tersebut (Sujarwa, 2010: 28). Budaya bisa diikuti secara
menyeluruh oleh warga masyarakat (universe), atau hanya diikuti oleh suatu
kelompok secara khusus (speciality). Ini sama halnya dengan bahwa budaya
dapat dilihat dari wilayah berlakunya, yakni budaya dalam lingkup makro, dan
budaya dalam lingkup mikro.
Budaya dalam lingkup makro, menunjuk pada budaya yang dimiliki
dan dianut oleh kelompok masyarakat tertentu dalam cakupan wilayah yang
luas. Wilayah disini tidak hanya mengarah pada wilayah dalam artian tempat,
tetapi juga meliputi wilayah dalam artian orang-orang yang menganutnya.
Contoh budaya dalam cakupan makro, yakni: budaya masyarakat Jawa, budaya
Sumatera, budaya masyarakat urban, dan lain sebagainya. Budaya dalam
lingkup mikro, menunjuk pada budaya yang dimiliki dan dianut oleh kelompok
masyarakat tertentu dalam cakupan wilayah yang sempit. Misalnya budaya
sekolah, yang hanya berlaku di sekolah tersebut, dimana kondisi pola

hubungan, kebiasaan-kebiasaan, tata aturan yang dimiliki bisa jadi berbeda
dengan sekolah yang lain. Lebih sempit lagi, yakni budaya individu. Kaitannya
dengan teori belajar kultural adalah prakarsa belajar seseorang sangat
dipengaruhi oleh individual culture yang besangkutan. Individual culture
terbentuk dari pola asuh dan pola didik seseorang dalam lingkungan
keluarganya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor perkembangan individu.
Pada kenyataannya, periode sekolah akan memisahkan seseorang dari
komunitas budayanya, karena sekolah memiliki budaya sendiri. Di lain sisi,
mata pelajaran yang diajarkan di sekolah juga memperkenalkan budaya lain
(atau bahkan bertentangan) dengan tradisi budaya komunitasnya. Tidak heran,
jika pada akhirnya, dampak dari proses pendidikan formal adalah siswa atau
lulusan, tidak dapat menghargai bentuk pengetahuan dan kekayaan tradisional
dalam komunitas budayanya.
Hal ini terutama karena jarang ada sekolah atau guru yang mau atau
mampu mengintegrasikan tradisi budaya siswa, dengan mata pelajaran yang
diajarkannya. Situasi tersebut merupakan gambaran umum yang terjadi karena,
proses pendidikan formal sebagai proses pembelajaran ditempatkan terpisah
dari proses akulturasi, dan terpisah dari konteks suatu komunitas budaya. Di
samping itu, banyak juga orang yang memandang mata pelajaran disekolah
memiliki tempat yang tinggi (social prestige), daripada tradisi budaya lokal
yang dipandang tidak berarti dan rendah (discrimination). Keadaan ini
diperburuk dengan kenyataan bahwa hanya sebagian orang memiliki akses
terhadap pendidikan karena berbagai kendala (sosioekonomik, geografik,
waktu, kemampuan), sehingga pendidikan menjadi bersifat elit, dan disebut
ivory tower. Padahal, proses pendidikan sebagai proses pembudayaan memiliki
nilai hanya jika hasilnya dapat diterapkan untuk memecahkan permasalahan
yang timbul dalam konteks suatu komunitas budaya, dan hanya jika lulusannya
dapat berguna bagi pembangunan suatu komunitas budaya lokal, maupun
nasional.
Proses pendidikan sebagai proses pembudayaan terjadi di mana-mana,
secara formal maupun informal, dan bagi siapa saja sepanjang masa. Ini

karena, pada dasarnya setiap orang memiliki kemampuan belajar. Budaya
memberikan cara untuk mengetahui, sama seperti mata pelajaran lain
memberikan cara untuk mengetahui bidang-bidang tertentu dalam kehidupan
manusia. Budaya menjadi konteks tempat mata pelajaran dipelajari, serta
tempat hasil pendidikan diterapkan dan dikembangkan lebih lanjut. Proses
pendidikan sebagai proses pembudayaan harus mampu menjadikan budaya
sebagai bagian yang terintegrasi dalam mata pelajaran yang ditawarkan, serta
menjadikan mata pelajaran yang diperoleh siswa sebagai bagian dari
budayanya, dan bagi pengembangan komunitas budayanya.
Pembelajaran
lingkungan

belajar

mengintegrasikan

berbasis
dan

budaya

budaya

merupakan

perancangan
sebagai

bagian

strategi

pengalaman
dari

proses

penciptaan

belajar

yang

pembelajaran.

Pembelajaran berbasis budaya dilandaskan pada pengakuan terhadap budaya
sebagai bagian yang fundamental (mendasar dan penting) bagi pendidikan,
ekspresi dan komunikasi suatu gagasan, dan perkembangan pengetahuan.
Budaya merupakan alat yang sangat baik untuk memotivasi siswa dalam
mengaplikasikan pengetahuan, bekerja secara kooperatif, dan mempersepsikan
keterkaitan antara berbagai mata pelajaran. Dalam pembelajaran berbasis
budaya, budaya yang diintegrasikan menjadi alat bagi proses belajar.
Pembelajaran berbasis budaya sebagai strategi pembelajaran mendorong
terjadinya proses imaginatif, metaforik, berpikir kreatif, dan juga sadar budaya.
Partisipasi dengan dan melalui beragam bentuk perwujudan budaya
memberikan kebebasan bagi siswa untuk belajar dan menggali prinsip-prinsip
dalam suatu mata pelajaran, menemukan hal-hal yang bermakna di
sekelilingnya, dan mendorongnya untuk membuka dan menemukan hal-hal
yang baru di dunia baru. Pendidikan merupakan proses untuk menjadi (a
process of becoming ). Proses "menjadi" atau pembentukan karakter dan
identitas

merupakan

proses

yang

sangat fundamental

dalam

proses

pembelajaran. Pembelajaran berbasis budaya memungkinkan siswa dan guru
untuk menggali semua bentuk yang nyata maupun yang tidak nyata yang
bermakna dalam proses "menjadi".

Dengan demikian, proses pembelajaran berbasis budaya bukans
ekadar mentransfer atau menyampaikan budaya atau perwujudan budaya
kepada siswa, tetapi menggunakan budaya untuk menjadikan siswa mampu
menciptakan makna, menembus batas imajinasi dan kreativitas, untuk
mencapai pemahaman yang mendalam tentang mata pelajaran yang
dipelajarinya. Pembelajaran berbasis budaya dapat dibedakan menjadi tiga
macam, antara lain:
1. Belajar tentang Budaya.
Belajar tentang budaya artinya menempatkan budaya sebagai
bidang ilmu. Proses belajar tentang budaya, sudah cukup dikenal selama
ini, misalnya dalam mata pelajaran kesenian dan kerajinan tangan, seni dan
sastra, seni suara, melukis/ menggambar, seni musik, seni drama, tari dan
lain-lain. Budaya dipelajari dalam satu mata pelajaran khusus, tentang
budaya dan untuk budaya. Mata pelajaran tersebut tidak terintegrasi dengan
mata pelajaran lain, dan tidak berhubungan satu sama lain.
2. Belajar dengan Budaya
Terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada siswa sebagai
cara atau metode untuk mempelajari suatu mata pelajaran tertentu. Belajar
dengan budaya meliputi pemanfaatan beragam bentuk perwujudan budaya.
Misalnya: siswa diminta guru

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA KONDISI EKONOMI WARGA BELAJAR KEJAR PAKET C DENGAN AKTIVITAS BELAJAR DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PELAJARAN 2010/2011

1 100 15

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Implementasi Program Dinamika Kelompok Terhada Lanjut Usia Di Panti Sosial Tresna Werdha (Pstw) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur

10 166 162

Makalah inti ganda Geografi

0 0 7

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SINAR MULYA KECAMATAN BANYUMAS KAB. PRINGSEWU

43 182 68

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENGARUH PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DAN MINAT BACA TERHADAP HASIL BELAJAR IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 WAY

18 108 89

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62