Kekuatan Mengikat Klausula Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis.

(1)

ii

KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA ARBITRASE

DALAM SENGKETA BISNIS

I DEWA AYU INTEN SRI DAMAYANTI NIM. 1203005008

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

iii

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I DEWA AYU INTEN SRI DAMAYANTI NIM. 1203005008

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

iv

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 24 Februari 2016

Pembimbing I

Dr. I Ketut Tjukup S.H., M.H NIP. 19521231198003 1020

Pembimbing II

Nyoman A. Martana, S.H., M.H NIP. 1955050101986101001


(4)

v

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan surat Keputusan Dekaan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor: 592/UN14.1.11.1/PP.05.02/2016

Ketua : Dr. I Ketut Tjukup S.H., M.H. ( )

Sekertaris : Nyoman A. Martana S.H., M.H. ( )

Anggota : Dr. Dewa Nyoman Rai Asmara Putra S.H., M.H. ( )


(5)

vi

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik.Adapun judul skripsi ini adalah “KEKUATAN MENGIKAT

KLAUSULA ARBITRASE DALAM SENGKETA BISNIS”. Skripsi ini

diajukan sebagai kewajiban dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa penyusunan dan penyelesaian skripsi ini dapat berhasil dengan baik berkat arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan saran dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(6)

vii

Dananjaya, S.H., M.Kn., Sekretaris Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan semangat dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Dr. I Ketut Tjukup S.H., M.H, Dosen Pembimbing I dalam penyusunan skripsi ini, yang telah memberi arahan, bimbingan, dukungan, saran dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Sutra Putrawan S.H, M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang senantiasa mengarahkan dan membingbing penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

8. Ibu Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati S.H., M.Kn., LLM., Bapak I Pt. Rasmadi Arsha Putra, SH.,M.H. Yang senantiasa meluangkan banyak waktunya untuk memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis baik di bidang akademik ataupun non akademik.

9. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah berjasa dalam memberikan ilmu pengetahuan selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

10.Seluruh Staf Administrasi dan pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas udayana.

11.Orang tua dan keluarga penulis yang senantiasa memberikan doa, cinta dan selalu sabar dan tak pernah berhenti memberikan dukungan selama


(7)

viii

12.Sahabat dan teman-teman yang senantiasa memberikan semangat, doa dan tawa selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana hingga proses penyusunan skripsi ini.

13.Udayana Moot Court Community (UMCC) tempat penulis menempa soft skill dan menimba pengalaman yang tak kalah berguna dan sangat bermanfaat dalam penyusunan dan perampungan tugas akhir ini. Fungsionaris UMCC Tahun 2013/2014 dan keluarga besar Delegasi Kompetensi Peradilan Semu Pidana Nasional Piala Prof. Soedarto IV yang diselenggarakan oleh Universitas Dipenogoro, Semarang.

Menyadari keterbatasan dan ketidaksempurnaan skripsi ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar dapat memberikan manfaat bagi seluruh pembaca dan bagi kemajuan ilmu hukum.

Denpasar, 24 Februari 2016 Penulis


(8)

ix

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/ Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/ Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/ atau sanksi hukum yang berlaku. Demikian Surat Pernyataan ini penulis buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 24 Februari 2016 Yang menyatakan,

I Dewa Ayu Inten Sri Damayanti NIM. 1203005008


(9)

x

SENGKETA BISNIS

Bisnis merupakan hal yang tidak asing ditelinga masyarakat global pada era ini. Dengan akses yang mudah membuat lintas bisnis semakin bebas dan tak mengenal batas. Kendala yang dihadapi oleh para pengusaha memicu terjadinya sengketa di dalam berbisnis baik sengketa yang kecil maupun sengketa yang besar yang tidak dapat diselesaiakan secara internal dan dirasa perlu campur tangan dari pihak luar. Dalam penyelesaian sengketa bisnis dapat diselesaiakn melalui litigasi maupun non litigasi, kedua cara penyelesian ini disesuaikan dengan kesepakatan para pihak. Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa yang biasanya dipilih dikarenakan waktu yang lebih cepat, prosedur yang sederhana dan dirasa mampu mengakomodir rasa keadilan. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada perjanjian atau klausula arbitrase.

Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif melalui pendekatan perundang-undangan dan analisis-konseptual hukum, penulis melalui skripsi ini akan membahas dua permasalahan hukum utama yakni: kekuatan mengikat klausula arbitrase dan akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase.

Melalui penelitian normatif skripsi ini, adapun kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut :1) kekuatan mengikat klausula arbitrase sangatlah kuat khsusnya kepada para pihak dan pengadilan negeri tak luput terikat akan klausula arbitrase yang dibuat oleh para pihak. 2) Adapaun akibat hukum terhadap pengabaian klausula arbitrase oleh Pengadilan Negeri, maka putusan Pengadilan Negeri tersebut seyogyanya akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi.


(10)

xi

Business is a familiar thing that goes global in society nowdays. Easy access makes business traffic increasingly free and knows no limits. Constraints faced by entrepreneurs causing disputes in business area, either small or big

disputes that can’t be solved internally and necessarily needs intervention from outside parties. Business dispute settlement can be solved through litigation and non-litigation, both ways resolution is adjusted by agreement of the parties. Arbitration is a dispute resolution which is usually chosen due to a faster time, a simple procedure and able to accommodate a sense of justice. Arbitration dispute settlement is based on the agreement called the arbitration clause.

By using the method of normative legal research, through the statute approach and analysis and conceptual approach, the author through this paper will discuss two main legal issues namely, the binding force of the arbitration clause and the legal consequences of a waiver of the arbitration clause.

Through normative research of this thesis, as for the conclusions that can be drawn are as follows: 1) the binding force of the arbitration clause is very strong particularly to the parties and the district court did not escape bound by the arbitration clause made by the parties. 2) As for the legal consequences of the waiver of the arbitration clause by the Court, the decision of the District Court should be overturned by the Supreme Court in the appeal level. Keywords: Arbitration, Arbitration Clause, Law Causity, and Supreme Court.


(11)

xii

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PRSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... ix

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 8

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 9

1.5 Tujuan Penelitian ... 12

1.5.1 Tujuan Umum ... 12

1.5.2 Tujuan Khusus ... 12

1.6 Manfaat Penelitian ... 13

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 13

1.6.2 Manfaat Praktis ... 13


(12)

xiii

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 20

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 21

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 23

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 23

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KLAUSULA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Klausula Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis ... 25

2.1.1 Pengertian Arbitrase ... 25

2.1.2 Sejarah Perkembangan Arbitrase ... 29

2.2 Dasar Hukum Arbitrase ... 32

2.3 Jenis-Jenis Arbitrase ... 34

2.4 Klausula Arbitrase ... 40

2.4.1 Macam-macam Klausula Arbitrase ... 47

2.5 Pengertian Perjanjian Secara Umum... 49

2.5.1 Perikatan dan Perjanjian... 49

2.5.2 Sumber-Sumber Hukum Perjanjian ... 51

2.5.3 Mengikatnya Perjanjian ... 53

2.5.4 Asas-Asas Dalam Perjanjian ... 58

BAB III KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA ARBITRASE 3.1 Klausula Arbitrase Mengikat Para Pihak dan Pengadilan ... 61


(13)

xiv SENGKETA BISNIS

4.1 Akibat Hukum Diabaikannya Klausula Arbitrase ... 84 BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 94 5.2 Saran ... 95 DAFTAR PUSTAKA ... 96 RINGKASAN SKRIPSI


(14)

1

1.1Latar Belakang

Bisnis merupakan hal yang tidak asing ditelinga masyarakat global pada era ini. Dengan akses yang mudah membuat lintas bisnis semakin bebas dan tak mengenal batas. Bisnis terkadang tak bisa lepas dengan kata saham yang dimana saham merupakan salah satu instrumen pasar keuangan yang paling popular. Saham merupakan salah satu modal dalam berbisnis, yang dimana saham merupakan suatu investasi modal yang akan memberikan hak atas dividen perusahaan yang bersangkutan.1 Perdagangan yang bebas dalam dunia bisnis terkadang tak berjalan sesuai yang telah direncanakan oleh para pengusaha. Kendala yang dihadapi oleh para pengusaha memicu terjadinya sengketa di dalam berbisnis baik sengketa yang kecil maupun sengketa yang besar yang tidak dapat diselesaiakan secara internal dan dirasa perlu campur tangan dari pihak luar. Adanya sengketa ini dapat berimbas pada pembangunan ekonomi yang tidak efesien, penurunan produktivitas, kemandulan dunia bisnis dan biaya produksi yang meningkat.2 Dalam penyelesaian sengketa bisnis dapat diselesaiakn melalui litigasi maupun non litigasi, kedua cara penyelesian ini disesuaikan dengan kesepakatan para pihak. Melihat pernyataan yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa bisnis haruslah diselesaikan dengan sesegera mungkin

1

Tavinayati dan Yulia Qamariyanti, 2009, Hukum Pasar Modal Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18

2

Suyud Margono, 2004, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm.12.


(15)

dengan waktu yang lebih cepat, prosedur yang sederhana dan dirasa mampu mengakomodir rasa keadilan maka penyelesaian secara non litigasi merupakan hal yang baik untuk ditempuh dalam menyelesaikan sengketa bisnis. Menurut M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono menyebutkan bahwa orang-orang dalam dunia bisnis cenderung memilih arbitrase yang merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa non litigasi dengan alasan sebagai berikut:

1. Pemilihan arbitrase memberikan prediktibilitas serta kepastian dalam proses penyelesaian sengketa.

2. Selama arbitrasenya seseorang yang memang ahli dalam bidang bisnis yang sedang disengketakan, maka para pihak yang bersengketa memiliki kepercayaan terhadap arbiter dalam memahami permasalahan yang disengketakan.

3. Privasi merupakan faktor penting dalam proses arbitrase dan masing-masing pihak memperoleh privasi tersebut sepanjang proses masih merupaka proses yang tertutup bagi umum dan putusan hanya ditujukan kepada para pihak yang bersengketa.

4. Peranan pengadilan dalam proses arbitrase pada umunya terbatas sehingga terjamin penyelesaiannya secara final.

5. Secara ekonomis proses arbitrase dianggap telah cepat dan lebih murah dibandingkan proses berpekara di pengadilan.3

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa selanjutnya disebut UU AAPS arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Berdasarkan rumusan pengertian dari arbitrase maka dapat diketahui bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada perjanjian. Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan

3

M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi Usman, 2013, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cetakan ke III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 142.


(16)

adanya dua perikatan, maka arbitase ini merupakan perikatan yang lahir dari perjanjian. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa perjanjian arbitase harus dibuat secara tertulis. Sebagai salah satu bentuk perjanjian, sah tidaknya perjanjian arbitrase juga digantungkan pada syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPer yang menyatakan:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Mengenai suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Menurut Yahya Harahap perjanjian arbitrase ini dibuat dengan maksud menetukan cara dan pranata hukum dalam menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian pokok. Perjanjian arbitrase sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU AAPS menyatakan bahwa kesepakatan para pihak dalam menyelesaiakn sengketanya melalui lembaga arbitrase dalam bentuk klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Klausula arbitrase dalam suatu kontrak bisnis menurut Huala Adolf, dijelaskannya sebagai berikut:

“penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul


(17)

arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause)”.4

Berdasarkan pendapat Huala Adolf, maka klausul arbitrase dimaksud ialah suatu ketentuan yang tercantum dalam kontrak yang berisikan ketentuan tentang cara bagaimana penyelesaian suatu persengketaan atau perselisihan jika di kemudian hari timbul persengketaan di antara para pihak yang membuat kontrak bisnis tersebut. Bertolak pada rumusan mengenai perjanjian arbitrase tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan berupa: 1. Klausula arbutrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa (pactum de compromittendo)

2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa (akta kompromis).

Kedua bentuk perjanjian arbitrase diatas, baik berbentuk pactum de compromittendo maupun akta kompromis pada dasarnya memiliki tujuan serta konsekuensi hukum yang sama. Artinya, perjanjian arbitrase akan melahirkan kompetensi absolut atau kewenangan mutlak lembaga arbitrase untuk memeriksa sengketa para pihak. Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi satu kesatuan dengan materi pokok perjanjian. Klausula arbitrase merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian pokok, meskipun keberadannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok klausula arbitrase maupun perjanjian arbitrase tidak bersifat accesoir oleh karena itu pelaksanaanya sama sekali tidak mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keabsahan maupun pelaksanaan pemenuhan

4

Huala Adolf, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, cet. I, Rajawali Pers, Jakarta, Hal. 208.


(18)

perjanjian pokok. Hal ini senada dengan pendapat dari Harrifin A Tumpa, mantan ketua Mahkamah Agung yang menyatakan:

”suatu perjanjian yang didalamnya ada kalusula arbitrase tidak bisa dilihat klausula arbitrase itu bersifat accesoir karena di dalam suatu perjanjian yang didalamnya kalusula arbitrase memuat dua substansi perjanjian yaitu perjanjian yang menyangkut hukum materiil dan menyangkut hukum hukum prosedural (acara), keduanya sederajat, sehingga batalnya salah satu perjanjian tersebut tidak dengan sendirinya membatalkan isi perjanjian lainnya”.5

Berhubungan dengan pendapat dari Harrifin A Tumpa maka dalam klausula arbitrase terkandung asas separabilitas, yaitu batalnya perjanjian pokok tidak menyebabkan perjanjian arbitrasenya batal dengan adanya hal ini yang termuat dalam ketentuan Pasal 10 huruf h dan f UU AAPS. Adanya ketentuan Pasal 10 UU AAPS mencegah timbulnya itikad buruk dari salah satu pihak yang bermaksud membatalkan klausula arbitrase dengan membatalkan perjanjian induknya (perjanjian pokok). Adanya pendapat dari Harifin A Tumpa dan adanya ketentuan Pasal 10 UU AAPS mengenai perjanjian arbitrase maka dirasa perlu adanya pembahasan yang signifikan mengenai kekuatan mengikat dari klausula arbitrase yang memuat kewenagan absolut lembaga arbitrase dalam memutus sengketa bisnis yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase.

Dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman pada ketentuan Pasal 25 ayat (1) menyebutkan mengenai pembagian lingkup peradilan di bawah Mahkamah Agung, yang memiliki pembagian bahwa peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum,

5

Andi Julia Cakrawala, 2015, Penerapan Konsep Hukum Arbitrase Online di Indonesia, Rangkang Education, Yogyakarta, Hal.76.


(19)

peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dalam ketentuan Pasal 25 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman badan peradilan tersebut memiliki kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sengketa bisnis merupakan salah satu perkara perdata yang diputus Peradilan Umum khusunya Peradilan Perdata, namun dengan adanya ketentuan Pasal 3 UU AAPS secara yuridis telah mencabut kewenangan absolut dari Pengadilan Negeri dalam memutus sengketa bisnis tersebut. Dalam praktiknya suatu sengketa yang telah terikat akan kalusula arbitrase tidak bisa secara mudah diselesaikan melalui lembaga arbitrase, banyak pihak yang berusaha mencari celah agar klausula arbitrase tidak berlaku dalam sengketa yang sedang dihadapi. Salah satu bentuk pengabaian klausula arbitrase yang kerap terjadi dalam segketa bisnis adalah dengan mengajukan sengketa bisnis ke Pengadilan Negeri secara sepihak yang dimana sengketa tersebut sebenarnya sudah terikat perjanjian atau klausula arbitrase. Salah satu contoh sengketa yang mengabaikan klausula arbitrase oleh para pihak yaitu sengketa antara Hari Tanusoedibjo dengan Siti Hardijanti Rukmana pada sengketa kepemilikan saham PT. Televisi Pendidikan Indonesia (disingkat PT. TPI), dimana bahwa sengketa ini telah terikat dengan perjanjian arbitrase yang dibuat dalam bentuk pactum de compromittendo dalam investment agreement, namun dalam penyelesaian sengketa tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri dan telah diputus dengan Putusan Nomor 10/Pdt.G/2010/PN Jkt.Pst.6 Dalam kasus ini pula terjadi kejanggalan yaitu dengan dikeluarkannya putusan

6


(20)

Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dengan Nomor 238 PK/Pdt/2014 yang dimana putusan Peninjauan Kembali tersebut menyatakan secara tidak langsung bahwa Pengadilan Negeri berhak untuk mengadili sengketa yang telah terikat perjanjian atau klausula arbitrase. Kasus antara Hari Tanusoedibjo dengan Siti Hardijanti Rukmana merupakan cerminan nyata kegagalan pemahaman para pihak akan kekuatan mengikat klalusula arbitrase dalam suatu sengketa bisnis ditambah lagi sikap Pengadilan Negeri yang secara terang membenarkan kewenanagnnya dalam memutus sengketa yang telah terikat akan klausula arbitrase. Maka dari itu perlu dirasa adanya suatu pengaturan yang bisa memberikan suatu akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase oleh Pengadila Negeri sebagai bentuk kepastian hukum yang berfungsi untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dalam mengadili suatu sengketa bisnis. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk hal tersebut dengan mengidentifikasi instrumen hukum mengenai kekuatan mengikat dari klausula arbitrase dan merumuskan akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase dalam sengketa yang telah terikat perjanjian arbitrase.

Dari uaraian latar belakang di atas, maka permasalahan ini menjadi sangat menarik dan relevan jika dianalisa serta dibahas secara komperhensif dalam pembahasan penulis skripsi yang berjudul “KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA ARBITRASE DALAM SENGKETA BISNIS”.


(21)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis mengangkat beberapa permasalahan akan dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kekuatan mengikat dari klausula arbitrase ditinjau dari penyelesaian sengketa bisnis?

2. Bagaimanakah akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase dalam sengketa bisnis?

1.3Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah, perlu ditegaskan mengenaimateri yang diatur didalamnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menyimpangnya pembahasan materi dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan mengenai kekuatan mengikat dari klausula arbitrase yang termuat dalam ketentuan UU AAPS. dalam penyelesaian sengketa bisnis yang diatur dalam UU AAPS dikaitkan pula dengan pengaturan perjanjian dalam KUHPer.

2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan dan perumusan mengenai akibat hukum pengabaian klausula arbitrase oleh Pengadilan Negeri. Dalam hal ini akan lebih


(22)

banyak beriorentasi terhadap akibat hukum terhadap putusan yang dikeluarkan oleh para pihak dan Pengadilan Negeri yang belum diatur dalam UU AAPS.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana maka penelitian dengan judul Kekuatan Mengikat Klausula Arbitrase Dalam Menyelesaikan Sengketa Bisnis, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Namun pada Universitas lain ditemukan penelitian sejenis yang terkait dengan kekuatan mengikat kalusula arbitrase dan akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase, telah dilakukan penelusuran diantaranya sebagai berikut:

1. Menemukan jurnal di Universitas Sam Ratulangi, Sulawesi Utara, pada Tahun 2015, atas nama Daru Tyas Wibawa “Klausul Arbitrase Dan Penerapannya Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis” dengan latar belakang sebagai berikut: “Perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase mempunyai fungsi penting dalam penyelesaian sengketa bisnis yang pada hakikatnya merupakan bagian pengamanan dari kegiatan bisnis itu sendiri. Melalui pencantuman perjanjian arbitrase, ada suatu landasan hukum atau dasar hukum yang memberikan perlindungan hukum dalam kegiatan bisnis serta memberikan rasa aman dari kemungkinan timbulnya pelanggaran terhadap isi perjanjian (kontrak) tersebut. Perjanjian dan perjanjian arbitrase adalah perbuatan hukum mengikatkan diri di antara para pihak


(23)

yang menimbulkan konsekuensi hukum, sehingga dipenuhinya persyaratan yang ditentukan, maka keabsahan dan kekuatan mengikatnya menjadi bagian penting dari keabsahan perbuatan hukum mengikatkan diri tersebut. Pengaturan perjanjian arbitrase pada perjanjian induk atau pokok memberikan keabsahan dan kekuatan mengikat untuk digunakan lebih lanjut perjanjian arbitrase tersebut di kemudian hari. Akan tetapi manakala hubungan bisnis berlangsung lancar dan memuaskan para pihak, tentunya perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak perlu digunakan lebih lanjut. Dari latar belakang tersebut dibuat rumusan masalah sebagai berikut:7

1. Bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase?

2. Bagaimana kekuatan mengikat klausul arbitrase?

3. Sejauhmana akibat hukum pelanggaran klausul arbitrase? 2. Menemukan skripsi di Universitas Sebelas Maret, pada Tahun

2009, atas nama Novi Kusuma Wardhani “Tinjauan Yuridis Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Menyelesaikan Perkara Kepailitan Dengan Adanya Akta Arbitrase (Studi Putusan Kasus PT.Environmental Network Indonesia dan Kelompok Tani Tambak FSSP Maserrocinnae melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan PPF International Corporation)” dengan latar belakang sebagai berikut:“Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dipaparkan bahwa akta arbitrase merupakan akta yang dibuat seseorang atau suatu

7

Daru Tyas Wibawa, 2015, Klausul Arbitrase Dan Penerapannya Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis, Sulawesi Utara: Universitas Sam Ratulangi.


(24)

badan usaha dalam melakukan suatu hubungan dengan mitra usahanya yang mengatur mengenai cara penyelesaiannya bila timbul masalah atau sengketa di kemudian hari berkaitan dengan isi perjanjian tersebut. Akta arbitrase dapat berbentuk akta compromise, yaitu akta perjanjian yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa maupun berbentuk pactum de compromittendo yang dibuat sebelum terjadinya sengketa. Akta arbitrase memiliki kekuatan mengikat apabila akta arbitrase sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 KUH Perdata, selain itu juga memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum. Pengadilan Niaga berwenang memutus perkara kepailitan walaupun para pihak telah membuat akta arbitrase, karena arbitrase merupakan suatu prosedur penyelesaian sengketa utang piutang biasa yang dimintakan ganti rugi, namun apabila sengketa utang piutang tersebut diajukan permohonan pernyataan pailit, maka menjadi kewenangan Pengadilan Niaga sepenuhnya dan arbitrase tidak boleh menyelesaikannya. Hal tersebut juga diperjelas dengan adanya ketentuan dalam Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(25)

Dari latar belakang tersebut ditarik rumusan masalah sebagai berikut:8

1. Bagaimanakah kekuatan mengikat akta arbitrase?

2. Bagaimanakah kewenangan pengadilan niaga dalam menyelesaikan perkara kepailitan dengan adanya akta arbitrase?

Dengan melihat beberapa judul dan pembahasan yang ada dalam dua judul tersebut maka menurut penulis tidak ada kesamaan yang signifikan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam rumusan masalah pertama yang membahasa mengenai kekuatan mengikat klausula arbitrase memiliki kesamaan hanya saja yang membedakan arah dari pembahasaan setiap judul memiliki perbedaan. Dengan hal tersebutmaka judul penelitian ini berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan dari segi isinya.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1.5.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini yaitu :

8

Novi Kusuma Wardhani, 2009, Tinjauan Yuridis Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Menyelesaikan Perkara Kepailitan Dengan Adanya Akta Arbitrase (Studi Putusan Kasus PT.Environmental Network Indonesia dan Kelompok Tani Tambak FSSP Maserrocinnae melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan PPF International Corporation)”, Jawa Tengah: Universitas Sebelas Maret.


(26)

Adapun tujuan umum dari penulisan ini tidak lain untuk lebih memperdalam pemahaman mengenai penyelesesaian sengketa bisnis melalui lembaga Arbitrase.

1.5.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penulisan skripsi ini, yaitu :

1. Untuk mempertegas dan memberikan pemahaman mengenai kekuatan mengikat dari klausula arbitrase dalam perjanjian arbitrase sesuai dengan UU AAPS.

2. Untuk mengetahui dan membentuk suatu rumusan akibat hukum ketika diabakannya klausula arbitrase oleh Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan sengketa bisnis yang dimana akibat hukum tersebut belum diatur dalam UU AAPS.

1.6 Manfaat Penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut : 1.6.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk acuan ataupun pengembangan Ilmu Hukum secara umum, khususnya di Bidang Peradilan mengenai pemecahan permasalahan sengketa bisnis yang telah terikat dengan kaluasula arbitrase.

1.6.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi seluruh pihak dan Badan Peradilan dalam upayanya dalam menindak lanjuti suatu sengketa hukum yang dimana sudah terikat akan klausula Arbitrase. Penelitian ini


(27)

dalam implementasinya dapat berguna dalam pengekan keadilan dengan menghormati dan menaati proses penyelesaian sengketa yang dimana sengketa tersebut sudah terikat dengan perjanjian/klausula arbitrase.

1.7 Landasan Teoritis

Pengkajian mengenai Kekuatan Mengikat Klausula Arbitrase Dalam Menyelesaikan Sengketa Bisnis, ada beberapa konsep atau teori yang nanti digunakan sebagai landasan teoritis dalam mengkaji dan menganalisis masalah ini.

1.7.1 Asas-Asas Umum Perjanjian

Di dalam buku ke III KUHPerdata dikenal lima macam asas hukum, yaiut asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas kepribadian. Dari kelima asas hukum itu, yang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan perancangan kontrak adalah asas kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda.

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Maksud dari asas kebebasan berkontrak adalah bahwa para pihak bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan


(28)

perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaanya, persyaratannya dan menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan. Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.9

b. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda atau perjanjian berlaku sebagai undang-undang, asas ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan, sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja atas kehendak para pihak secara sukarela maka segala sesuatu yang telah disepakati dan disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal perjanjian berlaku sebagai undang-undang, maka perjanjian ini harus dilaksanakan dengan adanya itikad baik.10

9

Huala Adolf, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 15.

10


(29)

1.7.2 Asas Separabilitas

Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah “perjanjian menerbitkan perikatan”, perjanjian adalah salah satu sumber perikatan di samping sumber-sumber lain. Menurut KUHPer dalam Pasal 1313 yang menyatakan: “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”

Dari rumusan yang diberikan tersebut bahwa dari perjanjian dilahirkan perikatan, yaitu kewajiban untuk melakukan sesuatu, menyerahkan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu. Pada praktiknya, sebagaimana juga dapat dilihat dari macam-macam perjanjian bernama yang diatur secara khusus dalam KUHPerdata, suatu perjanjian dapat melahirkan lebih dari satu perikatan. Misalnya dalam jual beli, penjual memiliki kewajiban untuk tidak hanya menyerahkan barang yang dijual, melainkan untuk memberikan penanggungan terhadap barang yang dijual, melainkan untuk memberikan penanggungan terhadap barang yang dijual, yaitu bahwa benda yang dijual adalah benar miliknya dan lepas dari cacat-cacat tersembunyi. Bahkan lebih jauh lagi dimungkinkan terjadinya penggabungan berbagai macam kesepakatan dalam suatu perjanjian utuh. Perjanjian yang demikian dinamakan dengan “severable contract”, “severable contract” yang memuat lebih dari 1 (satu) kesepakatan dalam 1 (satu) perjanjian, praktik juga menunjukkan dikenalnya istilah “severbal clause” menurut Black’s Law Dicitonary, Severbal Clause ini adalah:


(30)

a provision that keeps the remaining provision of a contract is any portion of that contract is judicially declare void”.11 Dimana dalam hal ini berarti di dalam suatu perjanjian dapat terdiri dari dua atau lebih perikatan. Apabila salah satu dari perikatan dalam perjanjian itu batal, maka bukan berarti perikatan yang lain menjadi batal tetapi perikatan yang lain harus tetap dilaksanakan. Dengan melihat pada penjelasan tersebut, maka jelas jika suatu perjanjian pun dapat terdapat severbal clause (asas separabilitas).12

1.7.4 Teori Perjanjian

a. Menurut teori lama yang disebut perjanjian adalah hukum berdasarkan kata sepakat untuk memberikan akibat hukum. dari definisi ini telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (timbul/lenyapnya hak dan kewajiban).13

b. Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori baru :

1. Tahap Pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan 2. Tahap Contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak

antara para pihak

11

Gunawan Widjaja, 2008, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis “Arbitrase vs Pengadilan

Persoalan Kompetensi (Abolut) yang Tidak Pernah Selesai”, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal.27.

12

Ibid.

13


(31)

3. Tahap Post Contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.14

1.7.5 Doktrin Klausula Arbitrase

1. Klausula arbitrase dalam suatu kontrak bisnis menurut Huala Adolf, dijelaskannya sebagai berikut:“Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelu sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause)”.15

Berdasarkan pendapat Huala Adolf, maka klausul arbitrase dimaksud ialah suatu ketentuan yang tercantum dalam kontrak yang berisikan ketentuan tentang cara bagaimana penyelesaian suatu persengketaan atau perselisihan jika di kemudian hari timbul persengketaan di antara para pihak yang membuat kontrak bisnis tersebut.

1.7.6 Doktrin Mengenai Arbitrase

1. Subekti menyebutkan, bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seseorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.16

2. Abdulkadir Muhammad memberi batasan yang lebih perinci bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan

14

Ibid.

15

Huala Adolf, loc.cit

16


(32)

peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas para pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.17

3. Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitratiom Works disebutkan, bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang iingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secar final dan mengikat.18

1.8 Metode Penelitian

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan penelitian secara ilmiah, hal tersebut berarti suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa permasalahan dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam untuk

17

Abdulkadir Muhammad, 1993, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 276.

18


(33)

kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang timbul.19 Untuk dapat dinyatakan sebagai skripsi, maka diperlukan suatu metodologi yang tentunya bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah yang bersahaja. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.20 Penelitian yuridis normatif dipilih penulis karena penulis akan menganalisis mengenai kekuatan mengikat kalusula arbitrase dalam UU AAPS.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, antara lain :

1. Pendekatan kasus (the case approach),

2. Pendekatan perundang-undangan (the statutory approach), 3. Pendekatan Fakta (the fact approach),

4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and conceptual approach),

19.

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. h. 74.

20

Johny Ibrahim, 2007, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h. 295.


(34)

5. Pendekatan Frasa (word and phrase approach), 6. Pendekatan Sejarah (historical approach),

7. Pendekatan Perbandingan (comparative approach). Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :

2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statutory Approach)

Penulis menelaah segala undang-undang maupun dan regulasi terkait isu hukum yang sedang diteliti. Pendekatan ini peneleiti dapat melihat konsistensi anatara regulasi satu dengan yang lainnya. Peraturan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah dari aspek instrumen hukum nasional, yakni Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBG) dan Reglement op de Bergelijke Rechtsvordering (Rv).

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual penulis mengkaji pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, khusunya bidang Hukum Peradilan. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum seorang peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi. Pandangan akan doktrin tersebut dapat


(35)

digunakan sebagai dasar bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam isu hukum yang dihadapi.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam suatu penelitian yang bersifat normatif, haruslah berdasar pada studi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.21 Adapun bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi, yaitu :

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang digunakan sifatnya mengikat terutama berpusat pada peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.22Bahan hukum primer yang digunakan, yaitu :

a. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

b. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

c. Herziene Indonesisch Reglement (HIR)

d. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBG) dan e. Reglement op de Bergelijke Rechtsvordering (Rv).

21

Hadin Muhjad, 2012, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, Genta Publishing, Jogjakarta. h. 51.

22

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h. 144.


(36)

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.23 Bahan hukum sekunder yang digunakan berasal dari buku literatur, majalah, makalah dan internet yang ada hubungannya dengan kekuatan mengikat klausula arbitrase dan akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam kajian ini menggunakan metode bola salju (snow ball), yaitu bahan hukum dilacak berdasarkan sumber pustaka yang digunakan dari pustaka yang satu ke pustaka yang lain, dengan harapan peneliti menemukan sumber pustaka atau pendapat dari pustaka pertama. Metode kepustakaan sistematis, khususnya untuk undang-undang dilacak sumber yang berupa himpunan peraturan perundang-undangan yang ada.24

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu:25 - Teknik Deskripsi, analisa bahan hukum ini dilakukan dengan

menguiraikan suatu kondisi hukum maupun non-hukum, dimana dalam hal ini penulis menguraikan mengenai kondisi hukum yang terjadi di Indonesia. Adapun urain tersebut adalah mengenai

23.

Ibid.

24

Philipus M. Hadjon, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Bahan Penelitian Hukum Normatif, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Lembaga Penelitian UNAIR dan FH UNAIR, Surabaya,h. 14.

25.


(37)

mengenai kondisi hukum terkait penyelesaian sengketa bisnis melalai lembaga Arbitrase. Dimana penulis menguraikan terlebih dahulu mengenai kekuatan mengikat dari klausula arbitrase kemudian menguraikan mengenai akibat hukum diabaikannya kalusula arbitrase oleh para pihak dan Pengadilan Negeri.

- Teknik Evaluasi, berupa penilaian tepat tidak atau tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan. Dimana dalam hal ini penulis memberikan penilaian sah tidak sah suatu perjanjian yang memuat klausula arbitrase dalam penyelesaian sengketa bisnis yang dimana hal ini berpengaruh terhadap terhadap kekuatan mengikat klausula arrbitrase. Dalam hal ini penulis juga memberikan penilaian salah atau benar maupun sah atau tidak sah putusan Pengadilan Negeri mengenai penerimaan sengketa yang telah terikat klausula arbitrase yang nantinya akan berimplikasi terhadap akibat hukum dari putusan tersebut.

- Teknik Konstruksi, berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi, dimana dalam hal ini penulis mencoba melakukan analogi terhadap Pasal yang memberikan arahan mengenai akibat hukum ataupun pertanggung jawaban perdata yang terdapat dalam KUHPerdata ataupun peraturan perundag-undangan terkait diabaikannya klausula arbitrase oleh Pengadilan Negeri.


(38)

25

PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

2.1 Tinjauan Umum Mengenai Klausula Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis

2.1.1 Pengertian Arbitrase

Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (Belanda/Perancis), arbitration (Inggris) dan schiedspruch (Jerman), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian melalu arbiter atau wasit.26 Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1 UU AAPS, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Secara sederhana arbitrase merupakan suatu penyelesaian sengketa yang kewenangan absolutnya ditentukan pada didasarkan atas suatu perjanjian atau klausula arbitrase yang telah disepakati oleh para pihak.

Prasyarat yang utama bagi suatu proses arbitrase yaitu kewajiban pada para pihak membuat suatu kesepakatan tertulis atau perjanjian arbitrase (arbitration clause atau arbitration agreement), dan kemudian menyepakati hukum dan tata cara bagaimana mereka akan mengakhiri penyelesaian sengketanya. Meningkatnya perkembangan perdagangan, keuangan dan industri akhir-akhir ini, apakah nasional maupun internasional, dan ditambah lagi dengan

26


(39)

persiapan-persiapan oleh masyarakat internasional menghadapi era globalisasi pada masa-masa mendatang, telah menimbulkan suasana liberalisasi ekonomi, industri, dan lain-lain. Dirasakan akan kebutuhan tata cara penyelesaian sengketa perdagangan dengan cepat dan murah yang juga dapat menjaga nama baik dan kepentingan perdagangan dari pihak-pihak yang bersengketa menetapkan keputusan yang dilandasi oleh pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang memuaskan para pihak yang mungkin tidak dapat diperoleh dari lembaga-lembaga lainnya.

Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana menyelesaiakan sengketa yang timbul, sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat. Adapun bebrapa pengertian mengenai arbitrase yang diberikan oleh beberapa pakar hukum, antara lain:

a. Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Works disebutkan, bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka ber dasarkan dalil-dali dalam perkara tersebut. Para pihak setu sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.27

b. Gary Goodpaster mengemukakan sebagai berikut: "Arbitration is the private adjudication of disputes parties, anticipating possible disputes or experiencing an actual dispute, agree to submi their dispute to a decision maker they in some fashion select.28 (Arbitrase adalah ajudikasi pribadi pihak sengketa, mengantisipasi kemungkinan perselisihan atau mengalami sengketa yang sebenarnya, setuju untuk menyerahkan sengketa mereka ke pembuat keputusan mereka dalam beberapa mode pilihan).

27

Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Works dikutip dari buku Suleman Batubara dan Orunton Purba, 2013, Arbitrase Internasional, Raih Aksa Sukses (Penebar Swadaya Grup), Jakarta, Hal. 9.

28


(40)

c. Altschul mengatakan bahwa: “Arbitration is an alternative dispute resolution system that is agreed to by all parties to a This system provides for private resolution of disputes in a speedy fashion.29( Arbitrase adalah sistem penyelesaian sengketa alternatif yang disetujui oleh semua pihak yang dimana sistem ini memberikan resolusi pribadi sengketa secara cepat).

d. R. Subekti menyebutkan, bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seseorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.30

e. Priyatna Abdurrasid mengemukakan, bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudi sial seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.31

f. M. N. Purwosutjipto menyatakan, bahwa perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.32

g. Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan sebagai berikut: "Arbitration is the reference of a dispute to an impartial (third per- son chosen by the parties to the dispute who agree in aduance to abide by arbiter's award issued after hearing at which both par- ties have and opportunity to be head. An arrangement for taking and abiding by the judgment of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunal of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and taxation of ordinary ligation.33 ( Arbitrase adalah referensi dari sengketa ke berimbang (orang ketiga yang dipilih oleh para pihak

29

Ibid.

30

Subekti, Op.Cit, hal. 1.

29

H. Priyatna Abdurrasyid, Cetakan kedua 2011, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Penerbit PT. Fikahati Aneska, hal. 56-57.

32

H.M.N. Poerwosutjipto, 1992, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Cetakan III, Djambatan, Jakarta, hlm.1.

33Black’s Law Dictionary

sebagaimana dikutip dari Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan: Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase, PT. Gramedia Pustama Utama, Jakarta, hal. 96-97.


(41)

yang bersengketa yang setuju di muka untuk mematuhi putusan arbiter yang dikeluarkan setelah mendengar, dimana kedua belah pihak memiliki dan kesempatan untuk menjadi kepala. Sebuah pengaturan untuk mengambil dan mematuhi penghakiman orang yang dipilih dalam beberapa masalah yang disengketakan, bukannya membawa itu untuk membangun pengadilan keadilan, dan dimaksudkan untuk menghindari formalitas, penundaan, biaya dan perpajakan ligasi biasa).

h. Abdulkadir Muhammad memberi batasan bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dituangkan kehendak bebas para pihak. Kehendak sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian tertulis mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.

i. Dalam Kamus Hukum ELIPS disebutkan, bahwa arbitrase atau perwasitan adalah metode penyelesaian snegketa di luar pengadilan dengan menggunakan jasa wasit atas persetujuan para pihak yang bersengketa dan keputusan wasit mempunyai kekuatan hukum mengikat. Arbiter atau wasit adalah orang yang bukan hakim yang bertugas memeriksa dan mengadili perkara menurut tata cara perwasitan.34

Berdasarkan pengertian tersebut, bahwa unsur-unsur arbitrase sebagai pengadilan

a. cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar atau pengadilan;

b. atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak;

c. untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi;

d. dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan; dan

34


(42)

e. sifat putusannya final dan mengikat.

2.1.2 Sejarah Perkembangan Arbitrase

Di Indonesia, Arbitrase bukan merupakan sesuatu hal yang baru dalam dalam penyelesaian sengketa, meskipun lembaga arrbitrase ini semulanya di peruntukan bagi penduduk golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan itu. Memang dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk golongan Bumiputra, baik HIR maupun RBg, tidak mengatur tentang arbitrase. Namun lewat pasal 377 HIR dan pasal 705 Rbg yang menyatakan:

“jika orang indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa eropa”.

Jadi pada pasal tersebut jelas memberikan kemungkinan buat pihak pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya diluar pengadilan. Dalam perkembangannya Arbitrase di Eropa mempunyai bentuk yang sederhana yaitu:

1. Bahwa pada masa itu orang baru menggunakan arbitrase setelah sengketa lahir. Jadi sebelumnya para pihak tidak dan belum menjanjikan terlebih dahulu bahwa apabila terjadi sengketa maka arbitraselah yang menjadi penyelesaian sengketanya.

2. Arbitrase tersebut digunakan untuk menyelesaikan sengketa diantara kerabat, tetangga atau mereka yang hidupnya bersama-sama dan yang berkepentingan agar hubungan mereka terjaga baik.


(43)

3. Arbitrator yang dipilihnya pun adalah mereka yang telah dikenal baik oleh para pihak dan tidak terikat pada adanya ikatan-ikatan tertentu.

Dalam Rv. pasal-pasal mengenai arbitrase, diatur dalam buku Ketiga tentang Aneka Acara. Pada Bab Pertama diatur ketentuan mengenai putusan wasit (arbitrase) melalui pasal 615 sampai dengan pasal 651 Pasal-pasal ini meliputi lima bagian pokok, yaitu :

- Bagian Pertama (pasal 615-623) mengatur arbitrase dan pengangkatan arbitrator atau arbiter,

- Bagian Kedua (pasal 624-630) mengatur mengenai pemeriksaan dimuka badan arbitrase,

- Bagian Ketiga (pasal 631-640) mengatur mengenai Putusan Arbitrase, - Bagian Keempat (pasal 641-647) mengatur mengenai upaya-upaya

terhadap putusan arbitrase,

- Bagian Kelima (pasal 647-651) mengatur mengenai berakhirnya acara-acara arbitrase.

Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipakai oleh para pedagang sebagai eksportir maupun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh Pemerinta Belanda, yaitu :

1. Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia; 2. Badan arbitrase tentang kebakaran;

3. Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.

Setelah itu pada masa penjajahan Jepang yang masuk menggantikan kedudukan Belanda, mengenai berlakunya arbitrase Pemerintah Belanda pernah


(44)

mengeluarkan peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan hukum dan undang-undang dari pemerintah dahulu. Pemerintahan Hindia Belanda-tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang. Setelah Indonesia Merdeka untuk mencegah kevakuman hukum, maka pada masa itu dikeluarkan peraturan yang menyatakan:

“segala badan badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undan-Undang Dasar tersebut”.

Maka oleh itu pada masa tersebut, untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase tetap masih berlaku ketentuan yang ada pada HIR, RBg dan Rv. Mengenai badan peradilannya di beberapa bagian Republik Indonesia yang dikuasai oleh Belanda sebagai pengganti peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua orang sebagai peradilan sehari-hari dan appelraad sebagai peradilan dalam perkara perdata tingkat kedua. Namun waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat, landrechter ini menjadi Pengadilan Negeri, sedangkan appelraad, menjadi Pengadilan Tinggi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di daerah-daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda.

Selanjutnya jika kita lihat ketentuan pada UUD sementara 1950, pasal 142-nya menyatakan bahwa:

“peraturan undang undang dan ketentuan ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah


(45)

sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan RI sendiri, selama dan sekedar peraturan peraturan dan ketentuan ketentuan ini tidak dicabut, ditambah atau dirubah oleh undang undang dan ketentuan ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang Dasar ini”.

Dari penjelasan yang tadi diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa semua peraturan-peraturan yang sudah ada pada masa penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum dirubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang arbitrase yang diatur dalam Rv. juga tetap berlaku. Secara Institusional sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia mendapatkan momentumnya pada tahun 1977 dengan terbentuknya Badan Arbitrase Nasional pada tanggal 13 Desember 1977 Keadaan ini terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang merupakan pondasi bagi Penyelesaian Sengketa Alternatif Non Litigasi. Dan dalam perkembangannya pada zaman sekarang sudah banyak digunakan khususnya para pelaku usaha yang lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase ini daripada harus melalui proses Peradilan Umum yang sangat tidak efesian serta memakan waktu dan biaya yang besar.

2.2 Dasar Hukum Arbitrase Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dalam UU AAPS ini disusun untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, sekaligus mengantisipasi perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan nasional dan internasional oleh karena itu, peran dan penggunaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam dunia


(46)

usaha ditinjau dari segi hukum sangat menonjol dan dominan. Dalam setiap kontrak bisnis para pihak yang terlibat, selalu meminta untuk dicantumkannya klausul arbitrase dalam perjanjian pokok mereka. Bahkan tidak jarang ada pihak-pihak yang tidak mau melakukan hubungan bisnis tanpa diikat dengan perjanjian arbitrase. Dengan demikian, adanya pengaturan mengenai lembaga arbitrase di Indonesia ini sangat penting, terlebih dengan keterlibatan Indonesia dalam berbagai organisasi internasional semakin memperkuat alasan diperlukannya pengaturan penyelesaian sengketa di luar peradilan umum melalui lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat internasional.

Dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka kedudukan dan kewenangan arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas dan kuat. Adapun hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, dapat dike- lompokkan dalam 10 bab yang dituangkan dalam 82 pasal dan 7 bagian, yang dilengkapi dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal demi, adapun cakupan materi yang diatur di dalamnya meliputi pasal.

a. Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai Pasal 5) b. Alternatif Penyelesaian sengketa (Pasal 6)

c. Syarat arbitrase, Pengangkatan Arbiter, dan Hak Ingkar (Pasal 7 Pasal 28) d. Hukum Acara Arbitrase Pasal 27 sampai Pasal 51)

e. Pendapat dan Putusan Arbitrase (Pasal 52 sampai Pasal 58) f. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal 59 sampai Pasal 72) g. Berakhirnya Tugas Arbiter (Pasal 73 sampai Pasal 77)


(47)

h. Ketentuan Peralihan (Pasal 78 sampai Pasal 79) i. Ketentuan Penutup (Pasal 80 sampai Pasal 82)

Pilihan yang dapat diselesaikan oleh para pihak melalui pilihan penyelesaian sengketa hanyalah sengketa di bidang perdata. Penyelesaian dalam bentuk perdamaian ini hanya akan mencapai tujuan dan sasarannya bida didasarkan pada itikad baik di anatara pihak yang bersengketa dengan mengesampingkan penyelesaian sengeta secara litigasi di Pengadilan Negeri.

2.3 Jenis-Jenis Arbitrase

Mengacu pada konvensi-konvensi internasional, seperti Convention of the Settlement of Invesment Disputes Between State and National other states atuu Convention on the Recognation and Enforcement of Foreign Arbitral Award ataupun berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCITRALArbitration Rules, maka jenis-jenis arbitrase dapat diklasifikasikan sebagai berikut:35

a. Arbitrase Ad hoc (Volunter)

Arbitrase ad hoc adalah suatu badan arbitrase yang dapat dibentuk, baik setelah maupun sebelum timbulnya sengketa dan akan berakhir pada saat selesainya sengketa tersebut. Pembentukan arbitrase ad hoc ini didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa.

Dalam arbitrase ad hoc ini formalitas-formalitas dan prosedur pelaksanaan arbitrase, diserahkan atau ditentukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa. Formalitas dan prosedur yang diberikan untuk

35


(48)

ditentukan oleh para pihak sebelum dilaksanakannya proses arbitrase tersebut, seperti penentuan tempat di mana arbitrase dilangsungkan, jumlah arbiter, peraturan beracaranya, cara pemilihan arbiter, dan bagaimana pelaksanaan dari putusan arbitrase itu sendiri nantinya. Gunawan Wijaya memberikan definisi arbitrase ad hoc ini sebagai berikut: Suatu arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan sengketa tertentu, arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu, yaitu sampai sengketa tersebut diputuskan.36

Sumargono memberikan definisi arbitrasead hoc sebagai berikut: Arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain arbitrase ad hoc bersifat insidentil.37

Dalam jenis arbitrase ini para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri bagaimana cara pemilihan arbiter dilakukan, kerangka kerja, prosedur arbitrase dan aparatur administratif dari arbitrase. Oleh karena itu, Suyud Sumargono mengatakan bahwa ciri pokok dari arbitrase ad hoc ini adalah penunjukan arbiternya secara perorangan.

36

Gunawan Widjaja dan Yani, 2000, Hukum Arbitrase, Rajawali Press, Jakarta, Hal. 52-53.

37

Suyud Sumargono, 2010, Penyelesaian Sengketa Bisnis: Alternative Dispute Resolutions (ADR), Bogor: Ghalia Indonesia, Hal. 123.


(49)

b. Arbitrase Institusional (Institusional Arbitration)

Dalam pasal 1 ayat 2 Konvensi New York 1958, arbitrase institusional ini disebut dengan istilah permanent arbitral body.Hal ini dikarenakan bentuk dan sifat dari arbitrase ini sendiri, yaitu suatu arbitrase yang dibentuk oleh suatu organisasi tertentu dan bersifat tetap atau permanen. Menurut Gunawan Wijaya, arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat tetap. Lembaga ini sengaja didirikan oleh suatu organisasi tertentu dan bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang timbul dari suatu perjanjian.38

Sifatnya yang permanen dan menetap dari badan arbitrase institusional ini merupakan suatu ciri pembeda yang utama dari arbitrase ad hoc. Badan arbitrase institusional selain bersifat permanen atau tetap pendiriannya juga tidak didasarkan pada ada tidaknya sengketa. Dengan kata lain, badan arbitrase institusional ini sudah berdiri sebelum timbulnya sengketa. Hal ini menjadi suatu pembeda antara badan arbitrase institusional dan arbitrase yang bersifat ad hoc karena arbitrase yang bersifat ad hoc ini biasanya didirikan setimbulnya sengketa.

Dari sifatnya yang sementara serta ketidaktetapan dari arbitrase yang bersifat ad hoc ini, maka dalam praktiknya sering mengalami hambatan, seperti kesulitan dalam melakukan negosiasi, arbiter yang dan penetapan cara pemilihan tersebu disetujui oleh kedua belah pihak.

38


(50)

Kelemahan-kelemahan tersebut secara tidak mutlak merupakan kelebihan dari badan arbitrase institusional.

Untuk mengatasi beberapa kesulitan tersebut di atas para pihak yang bersengketa sering memilih badan arbitrase yang bersifat institusional untuk penyelesaian sengketa yang mereka hadapi. Dengan kata lain, pada praktiknya arbitrase yang bersifat institusional ini lebili diminati karena dirasakan mempunyai keunggulan bila dibandingkan dengan arbitrase yang bersifat ad hoc. Badan arbitrase institusional ini apabila dilihat dari sudut ruang lingkupnya, dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu:

a) Arbitrase Institusional Nasional (National Arbitration)

Menurut Ridwan Widiastoro, arbitrase nasional adalah penyelesaian suatu sengketa melalui badan arbitrase yang dilakukan di dalam satu atau negara di mana unsur-unsur yang terdapat di dalamnya memiliki nasionalitas yang sama. Pengertian nasionalitas yang sama menurut beliau dalam hal ini, seperti adanya persamaan kewarganegaraan di antara para pihak, domisili yang sama, sistem, dan budaya hukum yang sama. Sementara itu, menurut Gunawan Wijaya, arbitrase nasional merupakan arbitrase yang ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan negara yang bersangkutan.ari ian tadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu arbitrase dapat dikatakan bersifat nasional apabila:


(51)

1. Unsur-unsur yang terdapat di dalam perjanjian arbitrasenya hanya bersifat nasional.

2. Arbitrase tersebut hanya berskala nasional bila dilihat dari kawasan atau teritorialnya.

Beberapa contoh arbitrase institusional nasional antara lain:

a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia, merupakan badan arbitrase nasional Negara Indonesia yang didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN)

b. The Netherlands Arbitration Institute, yaitu pusat arbitrase nasional negara Belanda.

c. The Japanese commercial Arbitration Association, sebagai pusat arbitrase nasional Jepang dalam lingkungan KADIN Jepang.39

b) Arbitrase Institusional Internasional (International Arbitration)

Arbitrase internasional ini menurut Riwan Widiastoro adalah kebalikan dari arbitrase nasional, yaitu penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase yang dapat dilakukan di luar ataupun di dalam suatu negara salah satu pihak yang bersengketa di mana unsur-unsur yang terdapat di dalamnya

39


(52)

memiliki nasionalitas yang berbeda satu sama lain foreign element). Menurut Sudargo Gautama yang dimaksud dengan unsur asing foreign element dalam suatu perjanjian arbitrase sebagai berikut: “Pertama, para pihak yang membuat klausula atau perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian itu mempunyai tempat usaha (place of busines) mereka di negara-negara yang berbeda. Kedua, jika tempat arbitrase yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase ini letaknya di luar negara tempat para pihak mempunyai usaha mereka. Ketiga, jika suatu tempat di mana bagian terpenting kewajiban atau hubungan dagang para pihak harus dilaksanakan atau tempat di mana objek sengketa paling erat hubungannya (most closely connected) letaknya di luar negara tempat para pihak. Keempat usaha menyetujui bahwa pabila para pihak secara tegas telah berhubungan objek perjanjian arbitrase mereka ini dengan lebih dari satu negara”.

Dari uraian tersebut terlihat jelas perbedaan antara arbitrase nasional dengan arbitrase internasional. Perbedaan kedua jenis arbitrase ini terletak pada unsur-unsur yang terdapat di dalam perianjian arbitrase itu sendiri. Seperti telah diuraikan, suatu arbitrase dikatakan bersifat nasional apabila unsur-unsur yang terdapat di dalam pejanjian arbitrase tersebut hanya mengandung unsur-unsur yang bersifat nasional, sedangkan


(53)

arbitrase internasional adalah suatu arbitrase yang di dalam perianjian arbitrasenya terdapat unsur-unsur asing.

Adapun contoh-contoh dari lembaga arbitrase ini antara lain: 1. Court of Arbitration of the International Chamber

Commerce pusat arbitrase internasional yang didirikan di Paris pada 1919.

2. The International Center For Settlement of In stment Dispates (CSID). Arbitrase ini adalah badan arbitrase bersifat internasio- nal yang mengatur sengketa investasi berskala internasional.

3. United Nation Commission on International Trade Lato (UNCITRAL).

c) Arbitrase Institusional Regional (Regional Arbitration)

Arbitrase institusional regional adalah suatu lembaga arbitrase yang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya berwawasan regional, seperti Regional Center for Arbitration yang didirikan oleh Asia-Afrika Legal Consultative Committee (AAALC).

2.4 Klausula Arbitrase

Klausula arbitrase adalah suatu klausula dalam perjanjian antara para pihak yang mencantumkan adanya kesepakatan untuk menyelesaiakan sengketa yang timbul antara para pihak melalui proses arbitrase. Klausula arbitrase dalam suatu kontrak bisnis menurut Huala Adolf, dijelaskannya sebagai berikut: “penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat


(54)

dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelu sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause)”.40 Dalam Pasal 7-11 UU AAPS maupun dalam konvensi internasional, dikenal dua bentuk klausula arbitrase, yaitu:

1. Pactum de compromittendo

Pactum de compromittendo adalah suatau klausula arbitrase yang dibuat sebelum timbulonya sengketa. Jadi, sejak awal klausula arbitrase ini telah dibuat oleh para pihak sebagai bentuk kesepakatan mereka untuk menyelesaiakan sengketa tersebut melalui lembaga arbitrase dan bukan melalui lemabaga pengadilan. Pactum de compromittendo dibiuat secara bersamaan dengan perjanjian pokok. Bentuk klausula yang disebut “pactum de compromittendo”, dimana bentuk klausula ini semula diatur dalam Pasal 615 ayat 3 Rv. dan diadopsi/diatur dalam Pasal 7 UU AAPS dan diatur juga dalam Pasal II Konvensi New York 1958. Hal yang penting dalam ketentuan Pasal ini antara lain, membolehkan untuk membuat persetujuan di antara para pihak yang membuat persetujuan, untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari akan diselesaikan dan diputus oleh arbitrase. Kesepakatan inilah yang dimaksud dengan

40


(55)

“klausula arbitrase”.41

Dalam klausula arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo, para pihak mengikat kesepakatan akan menyelesaikan persengketaan yang mungkin timbul melalui forum arbitrase. Pada saat mereka mengikat dan menyetujui klausula arbitrase, sama sekali belum terjadi perselisihan. Seolah-olah klausula arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul di masa yang akan datang. Jadi, sebelum terjadi perselisihan yang nyata, para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi pada arbitrase. Mengenai cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ini tidak tegas diatur dalam Pasal 615 ayat 3 Rv. maupun dalam Pasal II Konvensi New York 1958. Namun dari segi pendekatan penafsiran dan dalam praktik dijumpai dua cara yang dibenarkan, yaitu:

1. Mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok. Ini cara yang paling lazim. Klausula arbitrase langsung digabungkan dan dicantumkan dalam perjanjian pokok. Perjanjian pokok menjadi satu kesatuan dengan klausula arbitrase, yang satu dengan yang lain tidak terpisah dokumennya. Dalam perjanjian pokok, langsung dimuat persetujuan arbitrase yang berisi kesepakatan, bahwa para pihak setuju akan menyelesaikan perselisihan (dispute atau defference) yang timbul di kemudian hari melalui forum arbitrase.

41


(56)

2. Pactum de compromittendo yang dibuat dalam akta tersendiri. Di samping apa yang telah dijelaskan di atas, pactum de compromittendo dapat dibuat tersendiri. Perjanjian arbitrase dalam hal ini tidak langsung digabung menjadi satu dengan perjanjian pokok, tetapi dibuat terpisah dalam akta tersendiri. Akta perjanjian pokok merupakan dokumen tersendiri, begitu juga perjanjian arbitrasenya. Dengan demikian, ada dua dokumen, yakni akta perjanjian pokok dan akta pembuatan rupa akta yang terpisah Apabila pactumde compromittendo berupa akta yang terpisah dari perjanjian pokok, waktu pembuatan perjanjian arbitrase harus tetap berpegang pada ketentuan, yaitu bahwa akta persetujuan arbitrase harus sudah dibuat “sebelum” perselisihan terjadi. Hal itu sesuai dengan syarta formil keabsahan pactumde compromittendo yang harus dibuat sebelum perselisihan timbul. Boleh dibuat beberapa saat setelah pembuatan perjanjian pokok, atau dibuat beberapa lama setelah pembuatan perjanjian pokok, asalkan dibuat sebelum terjadi perselisihan.

2. Acte compromis

Adalah klausula arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa setelah timbulnya sengketa. Jadi apabila Pactum de compromittendo dibuat sebelum timbulnya sengketa, akte kompromis sebaliknya, yaitu dibuat setelah adanya sengketa. Perbedaan yang esensil di anatar kedua klausula tersebut adalah


(57)

terletak pada saat pembuatnnya. Pactum de compromittendo dibuat pada saat belum ada sengketa, sedangkan akte compromis setelah ada sengketa.42

Jadi dari uraian diatas baik Pactum de compromittendo maupun akte kompromis adalah sama klausula arbitrase (perjanjian). Dengan kata lain kedua klausula arbitrase tersebut adalah sama dasar hukum dan filsafah bagi semua pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui lembaga arbitrase. Bentuk perjanjian arbitrase disebut acte compromis(akta kompromis) ini diatur dalam Pasal 9 UU AAPS:

“Ayat (1): Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang di tandatangani oleh para pihak. Ayat (2): Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani

perjanjian tertulis sebagaim dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris”.

Ketentuan tersebut sama dengan yang semula diatur dalam Pasal 618 Rv:

1. Persetujuan arbitrase harus diadakan secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak, jika para pihak tidak mampu menanda tangani, maka persetujuan harus dibuat di muka notaris.

2. Persetujuan harus memuat masalah yang menjadi sengketa, nama dan tempat tinggal para pihak, dan juga nama serta tempat tinggal arbiter atau anggota para arbiter yang selalu harus dalam jumlah diri. ganjil.

42


(1)

kapan kesepakatan itu terjadi sebagai saat lahirnya perjanjian, ada berbagai teori untuk kapan lahirnya perjanjian, yaitu:

1. Teori Kehendak

Menurut teori ini, pada hakekatnya yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah kehendak. Suatu penerapan konsekuan dari teori ini adalah bahwa kalau terjadi perbedaan atau pertentangan antara pernyataan dengan kehendaknya maka tidak terjadi perjanjian. Teori ini akan menghadapi kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan.

2. Teori Keterangan

Menurut teori ini yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah semata-mata keterangan atau pernyataan yang dikemukakan. Jika terjadi pertentangan antara kehendak dengan pernyataan, maka perjanjian dianggap terjadi seperti yang dituangkan dalam keterangan atau pernyataan.

3. Teori Kepercayaan

Menurut teori ini tidak semua keterangan atau pernyataan yang menyebabkan terjadinya perjanjian, tetapi hanyalah keterangan atau pernyataan yang menimbulkan kepercayaan bahwa hal itu memang sungguh-sungguh dikehendaki.53

53


(2)

b. Kecakapan untuk membuat perikatan

Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum karena kecakapan bertindak dapat melahirkan perjanjian yang sah. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum, dalam KUHPerdata Pasal 1330 disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian.

1. Orang yang belum dewasa, yang ditentukan dalam Pasal 330 KUHPerdata adalah mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

2. Mereka yang masih di bawah pengampuan, sesuai ketentuan Pasal 433 KUHPerdata adalah orang yang dungu, sakit otak, mata gelap, dan boros.

3. Orang Perempuan dalam hal tertentu dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang.54 orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya.

54


(3)

Akan tetapi hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu adalah pokok perjanjian karena merupakan objek perjanjian dan prestasi yang harus dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau setidaknya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus jelas, ditentukan jenisnya ataupun jumlahnya. Keharusan mengenai suatu hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.55

d. Suatu sebab/kausa yang halal

Kausa yang halal dalam perjanjian yaitu isi dari perjanjian itu sendiri. Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan defenisi dengan jelas tentang causa yang halal. Dalam KUHPerdata dijelaskan bahwa sebab yang halal adalah :

1. Bukan tanpa sebab 2. Bukan sebab yang palsu 3. Bukan sebab yang terlarang

Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa suatu sebab terlarang apabila dilarang oleh Undang-undang atau apabila

55


(4)

berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Rumusan Pasal 1337 sesungguhnya tidak memberikan batasan yang pasti tentang makna sebab terlarang maka apabila tidak terpenuhinya syarat obyektif maka perjanjian itu batal demi hukum. Hal ini berarti dari semula dianggap tidak pernah ada perjanjian dilakukan dan tujuan para pihak tersebut dalam melahirkan persetujuan adalah gagal. Hal suatu syarat subtyektif, jadi syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian ini dapat dibatalkan. Jadi, perjanjian yang telah dibuat akan tetap berlaku selama tidak ada pembatalan dari para pihak.56

Pada hakikatnya, perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya, dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1340 yo. 1917 KUHPer). Namun demikian, ketentuan Pasal 1341 KUHPerdata memberikan pengecualian, yaitu perjanjian yang dibuat oleh si berutang yang merugikan kepentingan si berpiutang, maka si berpiutang dapat mengajukan pembatalan sejauh kerugiannya saja (actio Pauliana).

2.5.4 Asas-Asas Dalam Perjanjian

Menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, dalam KUHPer memberikan berbagai asas umum yang merupakan pedoman atau patokan serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat, sehingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak yang dapat dipaksakan pelaksanaanya atau pemenuhannya. Berikut

56


(5)

asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata:

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun

3. Menentukan isi perjanjia, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan

4. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan.57

Asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang.

b. Asas Konsensualitas

Asas konsensualitas memperlihatkan kepada kita semua, bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, segara setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan tersebut telah

57


(6)

tercapai secara lisan semata karena perjanjian tidak harus memerlukan formalitas. Ketentuan tentang asas konsensualitas dapat ditemui juga dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu syarat-syarat perjanjian yang salah satunya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.58

c. Asas Personalitas

Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan: “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri”.Dari rumusan tersebut pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh subjek hukum pribadi hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.59

d. Asas Pacta Sunt Servada

Asas Pacta Sunt Servada disebut juga dengan asas kepastian hukum, asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas Pacta

Sunt Servada dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata yang menyatakan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.60

58

Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.48.

59

Kartini Muljadi Dan Gunawan Widjadja, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Perdasa, Jakarta. h.14.

60