Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Komunikasi Lintas Budaya Perawat di Rumah Sakit Tentara TK II Prof. Dr. J.A.Latumeten Kota Ambon T1 462012020 BAB IV

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Setting Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah sakit Tentara Tk II Prof.Dr. J.A LATUMETEN Kota Ambon. Rumah sakit ini sendiri merupakan rumah sakit swasta milik tentara angkatan darat yang berada di kecamatan Nusanive kota Ambon. Letak Geografis Rumah sakit ini strategis yaitu di tengah kota Ambon antara Rumah sakit Umum Daerah dan Rumah sakit GPM Ambon dan merupakan rumah sakit yang sangat dekat untuk dijangkau dengan menggunakan kendaraan umum seperti mobil dan motor. Rumah sakit ini juga merupakan rumah sakit negeri kelas I yang memiliki jumlah tenaga kerja didalamnya adalah 24 orang dokter dan jumlah perawat yang bekerja adalah 101 orang, dimana tidak semuanya perawat dan dokter yang bekerja disitu merupakan mayoritas masyarakat setempat tetapi ada pula dokter maupun perawat yang berasal dari luar daerah Maluku. Penelitian ini dilakukan selama 1 bulan yaitu pada bulan April hingga Mei 2016.

4.1.2 Proses Penelitian

Pada penelitian ini peneliti dibantu oleh staf rumah sakit untuk mencari responden yang merupakan perawat yang bukan berasal dari Maluku. Hasil dari pencarian responden tersebut adalah peneliti


(2)

mendapatkan 7 orang perawat yang merupakan perawat lintas budaya, dan hanya 4 yang sesuai dengan karakteristik responden dalam penelitian ini. Namun salah 1 dari 4 perawat tersebut menolak untuk menjadi responden. Awal penelitian dilakukan pada 18 April 2016, sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan kontrak waktu kepada responden dan membuat informed consent. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam yang bersifat semi-struktur dengan total pertanyaan 19 pertanyaan, adapun lamanya proses wawancara pada masing-masing responden ± 1 jam dalam 1 kali pertemuan. Jumlah wawancara yang dilakukan dengan responden adalah sebanyak 3 kali. Pertemuan pertama adalah peneliti membina hubungan saling percaya terlebih dahulu kemudian dilakukan wawancara awal untuk mengetahui bahwa perawat ini sesuai dengan karakteristik penelitian atau tidak dan untuk memastikan kesediaan perawat menjadi responden, sedangkan pertemuan kedua untuk melakukan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah disediakan, pertemuan yang ketiga adalah untuk melengkapi data yang belum lengkap. Selama wawancara dalam menjawab pertanyaan, semua responden menjawab dengan baik, dan tidak ada kebingungan saat melakukan sesi wawancara tersebut dan jawaban dari para responden adalah menggunakan bahasa Indonesia. Semua pernyataan responden direkam dengan menggunakan telepon genggam.

Setelah data dikumpulkan dalam rekaman, peneliti mendengarkan secara berulang-ulang kemudian membuat transkrip kedalam bentuk data


(3)

tertulis secara verbatim. Selanjutnya hasil transkrip dicari statement yang signifikan dengan memberi warna (bolt) pada kalimat yang bermakna yang berhubungan dengan fenomena yang diteliti untuk mendapatkan makna serta gambaran tentang komunikasi lintas budaya perawat.

4.2. Gambaran Umum Partisipan

Responden dalam penelitian ini merupakan perawat yang bukan berasal dari daerah Maluku yang berjumlah 3 orang yang masuk dalam kriteria yang telah peneliti tentukan.

4.2.1 Informan 1

RP1 merupakan seorang wanita Ny M lahir di Malang pada tanggal 04 Maret 1984. Ny M sendiri merupakan lulusan D III keperawatan dan telah berdomisili di kota Ambon selama 5 tahun karena mengikuti suaminya yang pindah tugas dan tempat tinggalnya di asrama pangdam Skip Ambon. Ny M sendiri telah bekerja selama 4 tahun di Rumah Sakit Tentara. Selama 4 tahun tersebut Ny M bekerja sebagai seorang perawat lintas budaya di rumah sakit namun Ny M sendiri belum mampu menggunakan bahasa setempat yaitu bahasa Ambon untuk berkomunikasi sehingga untuk komunikasi sehari-harinya Ny M menggunakan bahasa Indonesia dan juga sering menggunakan bahasa Jawa.


(4)

RP 2 merupakan seorang wanita Nn V, lahir di Yogyakarta 07 November 1990. Nn V merupakan lulusan D III keperawatan dan telah tinggal di Ambon selama 3 tahun dan berdomisili di desa Tawiri, karena mengikuti orang tuanya yang dipindah tugaskan ke kota Ambon. Nn V telah bekerja di rumah sakit Tentara selama 3 tahun semenjak kedatangannya ke kota Ambon. Selama 3 tahun terakhir telah berdomisili di kota Ambon bukan berarti Nn V telah mampu menggunakan bahasa Ambon, akan tetapi yang terjadi adalah Nn V masih belum mampu dan hanya bisa menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa untuk berkomunikasi.

4.2.3 Informan 3

RP 3 merupakan seorang wanita Ny W, lahir di Majalengka 20 Mei 1980. Ny W juga merupakan seorang perawat lulusan D III Alasan Ny W pindah ke kota ambon adalah memilih mengikuti suaminya yang pindah tugas dan kemudian berdomisili di asrama militer Bentas kurang lebih 5 tahun terakhir. Ny W telah bekerja sebagai perawat di rumah sakit selama 5 tahun terakhir. Ny W selama 5 tahun bekerja menjadi perawat namun masih belum mampu menggunakan bahasa Ambon untuk berkomunikasi namun Ny W pernah mencoba beberapa kali untuk menggunakan bahasa Ambon kepada rekan sejawatnya namun tidak mendapat respon yang baik karena dibilang lucu dan oleh sebab itu Ny W tetap menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi.


(5)

Hasil penelitian berupa hasil analisa tema yang mencakup deskripsi hasil yang peneliti susun berdasarkan tema-tema yang di temukan tentang gambaran komunikasi lintas budaya perawat, dan dari hasil penelitian terlihat bahwa rata-rata para responden pendidikan terakhirnya adalah D III. Pendidikan seseorang menjadi tolak ukur dalam pemahaman akan budaya. Hal ini disebabkan karena pendidikan berkaitan erat dengan kemampuan perawat untuk memahami kebudayaan yang dimiliki oleh orang lain. Seorang perawat bukan hanya skillnya saja yang harus diasah akan tetapi pengetahuan akan budaya juga sangat diperlukan. Oleh sebab itu semakin tinggi pendidikan yang didapatkan oleh seorang perawat sangat diharapkan semakin baik pula dia dalam kemampuan beradaptasinya. Hal ini didukung dalam penelitian (Mareno dan Hart 2014) dengan judul cultural competency among nurses with undergraduate and graduate degrees: implication for nursing education dengan sampel 365 perawat yang berpartisipasi dan hasilnya adalah tidak ada perbedaan yang berarti dari segi kesadaran, keterampilan, kenyamanan saat bertemu dengan pasien, perawat yang lulusan pascasarjana memiliki pengetahuan tentang budaya lebih tinggi dari pada perawat yang lulusan sarjana. Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini dilihat bahwa model pengambilan keputusan untuk pindah tempat tinggal adalah sebagian besar mengikuti suaminya untuk berpindah tugas, dan hanya seorang yang mengikuti orang tuanya untuk pindah. Kemudian dari hasil analisis penelitian terdapat 5 tema besar yaitu, Cultural shock yang dialami perawat lintas budaya, Kurangnya informasi yang dialami


(6)

perawat lintas budaya, Perbedaan dan hambatan komunikasi yang dialami oleh perawat lintas budaya, serta Proses dan strategi adaptasi perawat lintas budaya, Refleksi penelitian tentang komunikasi lintas budaya yang terjadi di Rumah sakit.

4.3 Hasil Penelitian

4.3.1 Cultural Shock yang dialami perawat lintas budaya

Bagi perawat yang baru pertamakali datang ke Kota Ambon dimana perawat tersebut memiliki budaya yang berbeda dengan masyarakat yang di Ambon, maka seorang perawat dapat mengalami culture shock. Hasil wawancara dan proses analisa data yang dilakukan peneliti mendapati bahwa banyak perasaan-perasaan yang dimiliki oleh seorang perawat yang akan menjadi perawat lintas budaya dan terpaksa meninggalkan daerah dia yang sebelumnya kemudian pindah ke daerah yang baru dengan suasana yang berbeda pula, dimana perasaan tersebut adalah perasaan di terima dan ada juga berupa penolakan yang ada dalam diri perawat tersebut perasaan diterima yaitu merasa senang dan nyaman. Para perawat tersebut bukan hanya merasakan culture shock diawal mereka datang dan tinggal, akan tetapi hingga saat peneliti melakukan penelitian mereka juga masih tetap merasakan culture shock tersebut, dan untuk rentang waktu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk beradaptasi, para responden menyatakan mereka masih melakukannya hingga saat ini. Perbedaan yang


(7)

mereka rasakan sangat banyak yaitu mulai dari perbedaan bahasa, dan budaya membuat mereka merasa harus mencoba untuk beradaptasi.

menjadi perawat disini sungguh menyenangkan karena seiring waktu terasa nyaman saja. menyenangkan karena disini sesama perawatnya ramah, terus enak saja karena kalau kita menikmati pekerjaan kita kan pasti merasa enak saja” (RP I 44-49)

“senang. Karena namanya tugas harus dinikmati. senang saja karena saya sudah merasa nyaman bekerja di Rumah Sakit ini dengan rekan sejawat saya dan saya juga mulai menyukai bekerja dirumah sakit ini” (RP II 303-308)

Beberapa perasaan yang di miliki oleh para responden yang berupa penolakan dan disebabkan oleh berbagai alasan seperti tidak menyukai, ketakutan, kaget, khawatir dan cemas karena tidak mengetahui apapun tentang daerah yang akan menjadi tempat domisili yang baru dan tempat bekerja yang baru pula. Alasan-alasan seperti itulah yang merupakan suatu tantangan tersendiri yang ada dalam diri responden karena mereka harus merasakan perasaan-perasaan tersebut. Bukan hanya perasaan menolak, akan tetapi ada juga yang mampu menerima keadaan tersebut juga.

“Bukannya tidak menyukai juga, tapi bagaimana yah, saya bukannya tidak menyukai rumah sakitnya. Tetapi saya awalnya tidak menyukai tempatnya saja. Saya dulu berpikir, kenapa saya harus bekerja jauh dari daerah asal saya. Saya kan masih baru juga jadi masih belajar menyukai daerah ini. saya masih belajar. Jadi saya yakin pasti saya bisa menyukai apa saja yang berhubungan dengan daerah dimana saya bekerja ini. Alasannya karena saya harus belajar menyesuaikan diri lagi, belajar tentang apa yang ada di daerah tersebut. Bagaimana orang-orang di daerah tersebut” (RP II 316-325)

Adapun respon negatif yang dirasakan responden adalah perasaan yang ada saat pertamakali datang dan tinggal di kota Ambon sendiri


(8)

merupakan perasaan-perasaan dan pendapat yang bervariasi timbul dalam diri para responden. Perasaan yang timbul dan dinyatakan oleh responden adalah merupakan perasaan kaget, cemas maupun khawatir karena alasan yang di miliki masing-masing responden. Bahkan ada responden yang merasa ketakutan dengan alasan hal-hal yang telah terjadi sebelumnya yang membuat tercemar nama daerah tersebut, dan juga ada para responden juga yang merasa terganggu. Terganggunya para responden bukan karena daerah yang dia tempati tetapi terganggu dengan kebudayaan yang ada di daerah Maluku seperti cara bicara dan suara orang Maluku yang begitu besar yang dimaksud peneliti suara orang Ambon yang besar yaitu volume suara mereka yang keras seakan-akan hendak berteriak antara satu sama lainnya, dan juga pembicaraan mereka yang begitu cepat, dalam hal ini adalah orang Ambon saat berbicara tidak mempedulikan bahwa adanya tanda titik untuk berhenti maupun tanda koma untuk menahan napas mereka sehingga membuat para pendatang baru seperti para responden merasa terganggu dengan hal-hal tersebut.

“waktu pertamakali sampai di Ambon yah kaget, dengan orang Ambon, wah mereka kok bicaranya bisa sekeras itu dan juga sangat cepat. Hanya seperti itu saja. dibilang terganggu.Setiap pendatang seperti saya pun pasti merasa terganggu yah. Saya sendiri yang tidak pernah berbicara sekeras dan secepat itu merasa wah, ini mereka berbicara atau berusaha membentak satu sama lain. karena saya sudah hamper 5 tahun tinggal disini, dan 5 tahun itu juga saya mulai belajar dan mulai peka dengan suara mereka dan bicaranya mereka yang cepat” (RP III 576-587)


(9)

Informasi merupakan suatu hal yang sangat penting karena tanpa informasi kita tidak akan mengetahui apapun. Oleh sebab itu informasi merupakan satu-satunya kunci supaya kita tidak akan merasa asing maupun seperti orang yang tersesat didalam kebudayaan yang baru. Dua dari responden mengatakan bahwa mereka datang ke kota Ambon tanpa mengetahui tentang kebudayaan yang ada karena tidak ingin mencari tahu dan juga tidak ingin tahu tentang kebudayaan yang ada di kota Ambon.

“saya belum tahu tentang kebudayaan yang ada dan awalnya saya tidak mau tahu. iya. Saya hanya berpasrah karena pada saat itu saya memang tidak mau untuk pindah ke kota ini” (RP II 352-356) “saya tidak tahu apapun awalnya tentang kebudayaan disini. Kami hanya datang saja, karena berhubung suami saya pindah kerja ke kota ini” (RP III 593)

Salah satu responden memiliki pernyataan yang berbeda dari dua responden yang lain adalah sebelum datang dia telah mencoba mencari tahu tentang kebudayaan yang ada di kota Ambon dengan cara menanyakan temannya, dan hal yang dia dapatkan adalah hal yang sama dengan yang disampaikan oleh temannya padanya oleh sebab itu informasi yang didapatkan dari temannya membantunya untuk mengenal sedikit tentang daerah yang akan ditempatinya tersebut.

“yah saya sempat mencari tahu. yah saya cari tahu lewat teman saya yang sudah duluan pindah ke kota Ambon. Saya Tanya, Ambon itu sepertiapa sih? Kotanya bagaimana dan kebudayaannya bagaimana? Kata teman saya disini daerahnya panas, dan suasananya beda karena orangnya berbeda, serta budayanya jelas jauh berbeda dari tempat asal saya. Hanya seperti itu. Kalau pendapat saya sih hampir sama dengan teman saya. Disini panas, terus disini juga mahal kehidupannya dan yang paling penting disini itu beda bangat sama tempat di daerah saya tinggal dulu.


(10)

Kebudayaan yang berbeda dan ciri khas daerah yang berbeda pula. Budaya kami yang halus serta bicara kami yang lembut bertolak belakang dengan yang ada disini” (RP I 77-96)

Setelah ketiga responden datang ke kota Ambon dan mulai mengenal tentang berbagai kebudayaan yang ada di Kota Ambon maka pendapat-pendapat dan respon mereka terhadap kebudayaan bervariasi pula RP I mengatakan bahwa kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Maluku bagus dan unik dengan tradisi mereka seperti makan patita. Adapula yang dikatakan oleh RP II adalah mereka merasa kaget dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada terutama mereka merupakan pendatang baru dan belum mampu menggunakan bahasa yang lain selain bahasa Indonesia dan Jawa. RP III pun menyatakan bahwa dia merasa kaget dengan kebudayaan yang ada karena perbedaan yang berarti seperti budaya yang berbeda, kota yang berbeda dan penggunaan bahasa yang berbeda pula.

“kebudayaannya bagus dan unik. ia uniknya itu seperti ada yang disini namanya makan patita. Saya awalnya bingung apa itu makan patita. Tapi setelah saya lihat teman-teman saya pergi, saya juga ingin. Kemudian saya ikut dan melihat sendiri. Ternyata itu untuk mengumpulkan semua orang dan makan bersama” (RP I 96-102) “iya, saya merasa kaget karena saya kan orang baru, terus saya juga waktu itu hanya bisa berbahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa pun mendoknya setengah mati. iya. Itu juga salah satu alasan besar selain yang tadi saya katakan tentang konflik. Saya setelah datang saya takut karena tidak mengerti apa yang mereka katakan kepada saya. Baik teman sejawat maupun pasien” (RP II 362-368)

Ketika mengetahui tentang kebudayaan yang ada maka respon mereka terhadap setiap perbedaan kebudayaan yang ada di kota Ambon


(11)

dan di daerah asal mereka sangatlah menarik perhatian peneliti karena respon yang diberikan adalah perbedaan yang menurut peneliti merupakan hal yang baru bagi mereka perawat lintas budaya. RP I menyatakan bahwa jelas ada perbedaan kebudayaan yang terjadi seperti orang Ambon yang memiliki watak yang kasar, suara yang keras dan kulit mereka yang gelap serta yang sangat penting adalah bahasa yang digunakan sangatlah berbeda. Kebingungan pun dirasakan oleh responden tersebut karena hal-hal tersebut tidak pernah dia jumpai di daerah asalnya. RP II pun menyatakan hal bahwa jelas ada perbedaan seperti di daerahnya yang di Jogjakarta dia sering melihat banyak andong, namun pada kenyataannya dia tidak menemukan hal tersebut di kota Ambon. Tidak hanya sampai di situ perbedaan yang terjadi tetapi RP II menyatakan juga bahwa di daerahnya dia menggunakan bahasa Jawa tetapi di Ambon dia harus dituntut paling tidak untuk mengetahui bahasa Ambon. RP III memiliki gambaran yang sama dengan RP II yaitu dari segi penilaian pada pembicaraan yaitu di daerah asalnya RP III berbicara dengan suara yang kecil dan halus tetapi yang dia dapatkan di Ambon adalah mereka berbicara dengan suara yang keras dan nada yang kasar dan juga sangat cepat.

“yah jelas ada. ya seperti diketahui, orang Ambon sendiri kan berwatak kasar, suaranya yang keras dan kulit mereka yang coklat, dan yang paling penting itu bahasanya itu sangat berbeda. bingung sudah pasti karena perbedaan yang derastis, dan juga pasti merasa kaget karena hal-hal tersebut tidak pernah saya jumpai didaerah asal saya” (RP I 110-115)


(12)

4.3.3 Perbedaan dan hambatan komunikasi yang dialami oleh perawat lintas budaya

Hasil riset dari ketiga responden ini ditemukan bahwa ada beberapa hambatan komunikasi yaitu penggunaan bahasa yang berbeda. Setiap orang yang datang dan mulai tinggal di tempat baru akan merasakan yang namanya perbedaan kebudayaan. Perbedaan tersebut bisa membuat mereka menerima dan bisa juga membuat mereka terganggu. Seperti yang dipaparkan oleh para responden. RP I mengatakan bahwa ada perbedaan komunikasi yang dialami yaitu kesulitan terutama dengan suara dan bahasa yang digunakan masyarakat dan sering membuatnya tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh pasien maupun rekan sejawatnya dikarenakan mereka yang berbicara dengan sangat cepat. RP II dalam masa penyesuaian diri dikarenakan di daerah asalnya dia tidak pernah mendengar kata-kata yang sangat kasar, akan tetapi hal tesebut dia dapati di kota Ambon dan hal itu membuatnya merasa terganggu. RP III mengatakan bahwa mengalami kesulitan itu pasti karena tidak semua orang akan mampu menerima kebudayaan yang baru.

“jelas ada. Budayanya yang berbeda pasti menuntut kita untuk menyesuaikan diri. Seperti didaerah saya yang tidak ada namanya budaya makan patita, disini ada. Kemudian suara mereka yang keras, di daerah saya kan orang bicaranya halus, tapi disini kan tidak. Maka pastinya saya harus mau tidak mau mencoba untuk menyesuaikan diri. masih merasa sedikit kesulitan terutama dengan suara dan bahasa yang digunakan. Kadang saya juga sering tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh pasien ataupun teman-teman saya karena mereka bicaranya sangat cepat” (RP I 124-130)


(13)

Ketiga responden menyatakan bahwa sangat perlu untuk mempelajari setiap kebudayaan baru yang ada di suatu daerah, kerena setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda dari daerah yang lainnya. Terutama mereka sebagai pendatang hal tersebut sangat diperlukan karena pekerjaan mereka sebagai perawat menuntut mereka untuk berkomunikasi dan hal tersebut mendorong mereka untuk mengetahui hal apapun yang berhubungan dengan pekerjaan mereka terutama tentang bahasa dan kebudayaan yang dimiliki masyarakat. Terutama daerah baru yang mereka tempati sekarang ini karena masing-masing daerah memiliki keunikannya masing-masing dalam penggunaan bahasa maupun cara mereka berbicara.

“sangat perlu. Apalagi bagi kami yang sebagai pendatang. Hal itu sangat diperlukan. karena pekerjaan saya menuntut saya untuk banyak berkomunikasi. Jadi saya harus professional dengan pekerjaan saya. Saya harus mendorong diri saya untuk perlu mengetahui apa saja dengan daerah tempat saya bekerja dan bahasa serta kebudayaan mereka. Sehingga saya bisa menolong dengan tepat tanpa membuat kerugian antara saya dan pihak manapun” (RP II 503-511)

Berbagai hal responden lakukan untuk berupaya beradaptasi dengan kebudayaan yang ada di kota Ambon, karena jika tidak mencoba untuk menyukai kebudayaan yang ada maka akan kesulitan untuk mulai beradaptasi dengan kebudayaan yang ada pula. RP I mengatakan bahwa dia mencoba beradaptasi dengan cara mengikuti kebudayaan yang menurutnya pantas untuk di ikuti. Beda dengan RP II menyatakan bahwa dia mulai mencoba beradaptasi dimulai dari lingkungannya bekerja dengan cara mendengarkan setiap pembicaraan teman-temannya yang berasal dari


(14)

Ambon dan diapun mulai terbiasa dengan hal-hal tersebut. Sama seperti RP III menyatakan bahwa dia harus mulai belajar menyukai dan menerima setiap kebudayaan yang ada supaya dia mampu beradptasi. Semua strategi yang dilakukuan oleh ketiga responden sedikit berbeda tetapi tujuan mereka adalah mereka mencoba beradaptasi dengan kebudayaan yang ada menggunakan cara mereka masing-masing.

“saya mencoba untuk mengikuti kebudayaan yang ada yang memang bisa saya ikuti dan memang kebudayaan yang pantas saya ikuti” (RP I 135)

“yah saya mulai dari lingkungan saya bekerja. Teman-teman saya kan banyak tuh yang orang Ambon, yah saya sering mendengar mereka berbicara dan saya mencoba untuk terbiasa dengan hal-hal tersebut” (RP II 401)

“yang pasti saya harus belajar menyukai dan menerima kebudayaan yang ada supaya saya bisa beradaptasi” (RP III 619)

Bukan hanya perbedaan kebudayaan saja yang sangat mempengaruhi bagi seorang perawat lintas budaya, akan tetapi perbedaan komunikasi pun sangat berpengaruh besar dalam hal ini, karena seorang perawat lintas budaya bukan hanya diharuskan untuk mengetahui kebudayaan yang ada, akan tetapi untuk mengetahui bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk berkomunikasi. Oleh sebab itu responden mengatakan bahwa ada perbedaan komunikasi yang berarti antara daerah asalnya dan daerah baru yang di tempatinya yaitu kota Ambon. RP I mengatakan bahwa ada perbedaan komunikasi yang berarti karena di tempat asalanya dia sering berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa namun ketika di Ambon mereka menggunakan bahasa


(15)

Ambon untuk berkomunikasi hal tersebut membuatnya tidak mengerti pembicaraan yang terjadi. RP II pun mendukung pendapat yang disampaikan oleh RP I dengan statement bahwa ada perbedaan komunikasi yang terjadi karena di daerah asalnya mereka hampir tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi karena mereka sering menggunakan bahasa Jawa setiap harinya dan sama dengan masyarakat di Ambon yang hampir tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia dan hanya berkomunikasi sehari-harinya menggunakan bahasa mereka yaitu bahasa Ambon.

“jelas ada. Karena ditempat asal saya, bicaranya kebanyakan menggunakan bahasa Jawa. Kalau disini kan bicaranya pakai bahasa Ambon. Yah jelas aku ora mudeng toh” (RP I 152)

“jelas ada ya, mulai dari intonasinya yang beda, bahasa yang digunakan beda, dan yang pastinya punya tingkat kesulitan yang berbeda” (RP III 661)

Ketika komunikasi yang berbeda membuat perawat lintas budaya menjadi kesulitan dalam menghadapinya maka menurut para responden bahwa sangat penting untuk mempelajari bahasa daerah yang ada di daerah yang di tempati sekarang karena akan sangat membantu untuk memperlancar tugas dan tanggung jawab sebagai seorang perawat. Seperti yang dikatakan oleh RP I dan RP III bahwa sangat perlu mempelajari bahasa Ambon karena sebagian besar dari pasien dan perawat yang ada di rumah sakit tersebut mayoritasnya menggunakan bahasa Ambon untuk berkomunikasi dan juga banyak pasien yang datang kerumah sakit tersebut dengan latar belakang yang berbeda-beda. Oleh sebab itu mengetahui


(16)

bahasa Ambon beberapa kalimat saja akan sangat membantu mereka. RP II mengatakan bahwa sangat penting mempelajari bahasa yang ada karena masing-masing daerah memiliki bahasa yang berbeda dan belum tentu semua orang mampu untuk berbicara dan mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar.

“menurut saya perlu, karena hampir sebagian besar pasien dan karyawan di rumah sakit ini menggunakan bahasa Ambon. Jadi menurut saya mempelajari bahasa Ambon itu juga merupakan salah satu hal yang menurut saya penting” (RP I 157)

“ya pasti sangat penting, karena masing-masing daerah memiliki bahasanya masing-masing, dan belum tentu semua orang itu bisa mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh sebab itu menurut saya sangat penting untuk mempelajari setiap bahasa yang ada di daerah yang kita tempati” (RP II 451)

4.3.4 Proses dan strategi adaptasi perawat lintas budaya

Proses yang peneliti paparkan disini adalah bagaimana proses komunikasi yang dilakukan oleh perawat lintas budaya saat melakukan komunikasi baik dengan perawat maupun pasien yang ada di rumah sakit tentara Ambon, mulai dari penggunaan bahasa yang digunakan saat berinteraksi. Karena menurut RP III komunikasi yang baik itu komunikasi yang bisa membuat orang yang sedang melakukan komunikasi dan lawan bicaranya itu mengerti apa yang dibicarakan tanpa menyinggung satu sama lainnya. Rata-rata responden menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi baik dengan pasien maupun rekan sejawat karena tidak mengerti bahasa Ambon.


(17)

“saya saat pertama kali bertugas saya menggunakan bahasa Indonesia. Kadang saya suka keceplosan menggunakan bahasa Jawa” (RP I 141)

“saya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa” (RP II 405)

“komunikasi yang baik itu, yang bisa membuat orang yang sedang melakukan komunikasi dan lawan bicaranya itu mengerti apa yang mereka bicarakan. Tanpa menyinggung orang lain. saya menggunakan Bahasa Indonesia. Baik kepada pasien maupun kepada rekan sejawat saya. kalau pertamakali itu saya coba gunakan kepada rekan sejawat saya,itu juga mereka mengatakan, “ ih mbak lucu bangat sih kalau ngomongnya pakai bahasa Ambon”. Saya masih merasa ragu untuk menggunakan bahasa Ambon ke pasien takutnya pasien tidak mengerti apa yang saya maksudkan” (RP III 624-636)

Kesulitan yang dialami oleh seorang perawat lintas budaya yang di paparkan oleh responden termasuk juga kesulitan dalam berkomunikasi hal ini terlihat karena responden mengatakan bahwa mereka sangat kesulitan menanggapi komunikasi yang terjadi karena cara berbicara orang Ambon yang bergitu cepat. RP I mengatakan bahwa dia pernah megalami kesulitan berkomunikasi saat pertamakali datang bertugas dan mendengar pembicaraan orang Ambon dengan bicaranya mereka yang cepat serta kata-kata yang digunakan serba baru didengarkan itu membuatnya bingung. Hal tersebut bukan hanya dialami oleh RP I namun dialami juga oleh RP II dan RP III dengan alasan mereka kesulitan dalam berkomunikasi diakibatkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Ambon.

“kesulitan jelas ada. Karena saya harus mulai belajar untuk mengerti perkataan pasien yang menggunakan bahasa Ambon, dan saya sendiri belum mampu menggunakan bahasa Ambon” (RP II 456) merasa kesulitan, iya. Tetapi saya akan terus mencoba (RP II 467)


(18)

“kesulitan sih iya, tapi lama kelamaan juga enjoy. Saya kesulitan itu jika pasien mengeluh atau berbicara secara cepat dengan menggunakan bahasa Ambon” (RP III 676) merasa kesulitan sih iya, karena kalau kita tidak merasa sulit, pastinya kita tidak mau berusaha untuk tahu” (RP III 687)

Strategi adaptasi adalah cara-cara yang dilakukan oleh responden untuk beradaptasi dengan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi saat mereka tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh keluarga maupun pasien yang berasal dari Ambon yaitu responden akan mulai menanyakan artinya, responden kadang meminta pasien menggunakan bahasa tubuh, dan juga meminta penerjemah. Hal tersebut bukan hanya di lakukan oleh seorang responden saja tetapi ketiga responden menggunakan hal yang sama. RP I, II III mengatakan bahwa jika mereka mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan pasien maupun keluarganya, maka mereka akan meminta bantuan temannya untuk menerjemahkan maksud mereka maupun sebaliknya, dan jika tidak mereka akan menanyakan artinya tersebut kepada keluarga pasien yang sedang menjaga. Jika tidak ada alternatif yang lain maka mereka akan menggunakan bahasa tubuh jika itu sangat diperlukan dan jika itu satu-satunya cara.

“karena itu gunanya rekan sejawat yang bertugas bersama hari itu. Saya akan memintanya menjadi penerjemah bagi saya, karena seperti diketahui orang ambon kan bicaranya cepat, bisa-bisa saya jadi kebingungan dan tidak memahami maksud mereka. Jadi saya akan meminta penerjemah. saya akan meminta keluarga pasien untuk menjelaskan secara perlahan. Jika saya masih belum mengerti, saya akan meminta keluarga untuk menjelaskan di ruangan saya dan pastinya dengan bantuan translate dari teman saya. Nah itulah gunanya bahasa tubuh, saya akan menggunakan atau meminta keluarga menggunakan bahasa tubuh. Karena saya tidak memiliki alternative lainnya” (RP III 624-650)


(19)

Pernyataan para responden tentang mereka adalah seorang perawat lintas budaya dan hal-hal yang termasuk sulit bagi seorang perawat lintas budaya adalah mereka harus kembali beradaptasi dengan lingkungan budaya dan bahasa yang ada di daerah tersebut. Ketiga responden mengatakan bahwa mereka merupakan seorang perawat lintas budaya dikarenakan mereka yang berasal dari luar daerah dan datang bekerja di rumah sakit di Ambon. RP I, II III mengatakan bahwa hal yang sulit bagi seorang perawat lintas budaya adalah dia harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru, budaya yang baru suasana yang baru serta bahasa yang baru pula.

“menurut saya iya, karena saya memang bukan berasal dari daerah sini. Tetapi dari daerah lain, jadi saya memang masuk kategori perawat lintas budaya. Hal yang tersulit adalah, saya harus berpindah daerah, saya harus belajar beradaptasi lagi, saya harus belajar bahasa mereka juga, cara bicara mereka, budaya mereka” (RP II 472-477)

“Menurut saya, iya saya merupakan seorang perawat lintas budaya, karena saya bukan berasal dari Maluku, tetapi saya bekerja di Rumah sakit di Maluku.Saya yang masuk kategori sulit adalah, sulit untuk beradaptasi dengan bahasa masyarakat setempat” (RP III 692-696)

Bukan hanya merasa kebingungan saat berkomunikasi dengan pasien, tetapi para responden juga merasa kebingungan saat melakukan komunikasi dengan rekan sejawatnya, karena menurut mereka rata-rata rekan sejawatnya saat berkomunikasi menggunakan bahasa Ambon dan itu membuat mereka merasa kesulitan. Namun mereka tidak mengalami kesulitan saat berkomunikasi dengan dokter yang bekerja di rumah sakit


(20)

tersebut sebab dokter yang bekerja di rumah sakit tersebut ada pula yang berasal dari Jawa dan rata-rata mereka berkomunikasi dengan dokter menggunakan bahasa Indonesia. RP I II III mengatakan bahwa mereka akan mengalami kebingungan berkomunikasi dengan rekan sejawatnya ketika mereka melakukan operan karena mereka akan menggunakan bahasa Ambon untuk berkomunikasi, akan tetapi responden tersebut tidak memahami pembicaraan tersebut dikarenakan pembicaraan mereka juga yang begitu cepat.

“iya. Pernah beberapa kali merasa kebingungan dan salah pengertian juga dengan apa yang dimaksud oleh pasien. Contohnya pada saat pasien merasa kesakitan dan mengeluh dengan bahasa Ambon, saya akan mulai kebingungan. Oleh sebab itu saya selalu membawa teman saya yang berasal dari Ambon saat menuju ke ruangan pasien dan dia akan menjadi seorang penerjemah bagi saya. Kalau dokter sih jarang yah, karena kebanyakan disini kan dokternya juga berasal dari Jawa. Kalau sama rekan perawat, jelas selalu bingung. Bingungnya itu waktu mereka melakukan operan. Ampun itu sampai saya kadang hanya melihat saja bingung apa yang mereka bicarakan. Karena mereka akan menggunakan bahasa Ambon saat berbicara, dan hampir 100% itu orang Ambon semua” (RP I 219-233)

“awalnya itu sering sekali bingung. Tapi sekarang sudah lumayan. kalau dari yang dulunya 100% bingung, sekarang sudah turun jadi 85%. kalau dengan dokter tidak, karena ada juga dokter yang bisa berbahasa Jawa tetapi rata-rata kan kita bicara sama dokter menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi dengan perawat bingung. Karena mereka juga berasal dari Ambon dan bicaranya mereka juga cepat” (RP II 483-490)

Berbagai macam strategi yang dilakukan oleh para responden saat mereka tidak mengerti apa yang dikatakan oleh rekan sejawat mereka adalah mereka mulai menanyakan maksud pembicaraan dari lawan bicara mereka, meminta berbicara secara perlahan, dan ada juga yang akan


(21)

bertanya kembali apa yang dikatakan oleh perawat yang berasal dari Ambon.

“saya akan menanyakan kalau dalam bahasa Indonesia artinya apa? dan mereka akan menjawabnya dalam bahasa Indonesia(RP I 238) “saya sering meminta mereka berbicara perlahan, atau paling tidak sering menggunakan bahasa indonesia. Adakalanya juga saya sering menanyakan itu artinya apa ? seperti itu” (RP II 496)

“saya akan bertanya kembali apa maksud mereka, dan meminta mereka menjelaskan dalam menggunakan bahasa Indonesia” (RP III 714)

4.3.5 Refleksi Penelitian Tentang Komunikasi Lintas Budaya yang Terjadi Di Rumah Sakit

Hasil riset dari ketiga responden, yang peneliti angkat sebagai penarikan kesimpulan kecil, dimana ditemukan proses adaptasi komunikasi lintas budaya yang terjadi dimulai dari para responden dari kebudayaan yang berbeda yaitu budaya Jawa datang dan tinggal di kota Ambon dengan kebudayaan yang berbeda maka mereka akan mengalami shock culture misalnya terjadinya perasaan penolakan dalam bentuk tidak menyukai, khawatir, ketakutan, kaget, khawatir dan cemas.

Kekurangan informasi pun sangat berpengaruh karena seseorang yang kurang informasi tentang daerah baru akan mengalami shock culture maka akan dibutuhkan informasi tentang budaya dan bahasa yang digunakan di daerah yang baru tersebut. Kekurangan informasi yang dimaksud adalah mereka tidak berusaha untuk mencari tahu bagaimana kebudayaan dan bahasa yang dimiliki oleh masyarakat setempat.


(22)

Perbedaan akan menyebabkan berbagai jenis hambatan. Perbedaan yang terjadi adalah perbedaan kebudayaan dan juga perbedaan bahasa. Kedua hal tersebut menyebabkan berbagai hambatan yang dialami oleh perawat lintas budaya yaitu hambatan dalam hal berkomunikasi yang membuat mereka harus mencoba untuk beradaptasi guna mengurangi culture shock.

Oleh sebab itu strategi-strategi adaptasi yang dilakukan adalah semata-mata menyelamatkan mereka agar tidak melakukan kesalahan dalam berkomunikasi di lingkungan baru tempat bekerja. Strategi yang dilakukan adalah mereka mulai menanyakan maksud pembicaraan dari lawan bicara mereka, meminta berbicara secara perlahan, dan ada juga yang meminta penerjemah.

4.3.6 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan didalamnya, yaitu tempat penelitian yang jauh, karena peneliti harus meneliti di Rumah sakit Tentara yang berada di kota Ambon, kesibukan para responden yang mengakibatkan harus melakukan wawancara sambil melakukan tugasnya pada saat itu karena waktu tugasnya. Bukan tempat dan kondisi saat melakukan wawancara saja yang menjadi hambatan dalam penelitian ini, namun bahan refrensi mengenai Gambaran komunikasi lintas budaya perawat sangat terbatas dan bahkan sangat sulit untuk didapatkan peneliti.


(23)

Komunikasi antara peneliti dengan partisipan saat penelitian dan wawancara berlangsung juga menjadi kendala dalam penelitian ini, terkadang beberapa pertanyaan peneliti memiliki jawaban yang berbeda dari apa yang peneliti targetkan dengan apa yang para responden katakan, sehingga peneliti berusaha untuk mencari bahasa atau cara lain agar partisipan mengerti maksud dari pertanyaan tersebut dan menjawab sesuai dengan jawaban yang ditargetkan peneliti. Dalam penelitian ini juga terdapat keterbatasan lain yaitu peneliti tidak melakukan studi lapangan dan hanya melakukan studi pustaka pada saat menyiapkan penelitian ini.

4.4 Pembahasan

4.4.1 Cultural Shock yang dialami perawat lintas budaya

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap tiga partisipan perawat lintas budaya yang bekerja di RST Ambon tentang perasaan-perasaan yang muncul saat menjadi seorang perawat lintas budaya di Rumah sakit Tentara dalam pembahasan ini berupa perasaan di terima maupun tidak. Perasaan diterima seperti mereka mulai merasa senang dan nyaman karena mulai menikmati tugas dan tanggung jawab mereka di Rumah Sakit, tetapi dibalik perasaan menerima tersebut ada penolakan-penolakan yang dilakukan yaitu adanya perasaan negatif seperti merasa khawatir, tidak menyukai, merasa sunyi, kaget, cemas, khawatir, terganggu serta menakutkan. sehingga mengakibatkan seorang perawat lintas budaya mengalami culture shock. Meskipun masing-masing responden


(24)

berpengalaman bergerak dari satu budaya ke budaya lain sebagai individu, ada kesamaan dalam pengalaman mereka. Misalnya, gagasan maupun perasaan aneh yang datang berulang kali.

Penelitian yang dilakukan oleh Ruddock & Turner (2007) dengan judul Developing cultural sensitivity: nursing students’ experiences of a study abroad programme mengatakan bahwa mengembangkan sensitivitas budaya merupakan interaksi yang rumit antara rasa nyaman yang tumbuh secara pribadi dari pengalaman transisi dengan budaya lain, dan menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya. Inti dari proses ini adalah pengalaman siswa belajar dalam lingkungan yang tidak diketahui, adanya stress dan variasi kejutan budaya, serta mengambil keputusan tentang menerima budaya. Sehingga hal ini diperlukan semua wawasan terbuka dan dinamis yang sensitif terhadap budaya yang berbeda.

Tak hanya itu adanya penelitian yang di lakukan oleh Hoye & Severrinson (2010) dengan judul penelitian Professional and cultural conflicts for intensive care nurses menyatakan bahwa perawat perlu bernegoisasi dengan anggota keluarga yang berbeda budaya mengenai permasalahan cara bicara. Dalam pertemuan antara keluarga dengan perawat, perawat harus mampu menyeimbangkan antara etnosentrisme dan kepekaan budaya, yang implikasinya untuk praktek adalah, guna meningkatkan kompetensi perawat dalam penilaian keanekaragaman budaya.


(25)

Salah satu hal yang bisa membantu kita memahami wilayah planet atau ruang yang kita tempati ialah budaya. Bila seseorang memasuki budaya asing, maka tempat tersebut menjadi asing bagi mereka orang-orang asing, sehingga hampir semua petunjuk yang mereka ketahui itu lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari air. Walaupun orang tersebut memiliki wawasan yang luas dan berperilaku baik, dia akan merasa kehilangan pegangan. Kemudian anda akan mengalami kecemasan dan frustasi. Orang-orang biasanya menghadapi frustasi dengan cara yang hampir sama. mereka petama-tama akan menolak lingkungan yang membuat mereka merasa tidak nyaman (Mulyana&Rahmat,2001;174).

Emosi dari salah satu aspek kebutuhan individu dan muncul dalam theori Maslow tentang hirarki kebutuhan seperti perasaan harga diri. keyakinan, prestasi, kemandirian, pengakuan dan perhatian. dengan tidak semua yang penting yang sama bagi semua karyawan. selain emosi positif, pekerja juga mungkin mengalami perasaan lebih negatif sehubungan pada pekerjaan mereka, seperti stres yang dipercaya merasa bosan atau gelisah. Oleh karena itu berbagai emosi dapat dialami dalam kaitannya untuk bekerja. kebahagiaan adalah perasaan positif mengekspresikan kesenangan, kepuasan serta perasaan bahagia bisa berhubungan dengan harga diri dan kepercayaan diri yang positif sehingga merasa di kontrol atau diberdayakan (oxford Dictionary 1974)


(26)

Manusia berkomunikasi tidak hanya dengan menggunakan kata-kata. Nada suaranya, ekspresi wajahnya, gerak-geriknya semua itu mengundang makna yang diperhitungkan. Oleh sebab itu tidak hanya bahasa yang bisa membingungkan tetapi juga perilaku nonverbal dari isyrat-isyarat kultural. Anggukan seseorang bisa menjadi hal negatif bagi orang lainnya. Disebabkan karena setiap kebudayaan memiliki kekayaannya sendiri dari tanda-tanda bermakna, lambang-lambang, gerak gerik, konotasi emosi, respons tradisional yang juga yang tidak kalah penting adalah diam sekalipun mengandung makna. Hal ini didukung oleh teori Bennett (1998) yang menyatakan bahwa pengamatan ini, mengidentifikasi kepekaan budaya sebagai kesadaran akan pentingnya perbedaan budaya dan menghormati pandangan orang tentang budaya lain. (Hansen 2001) menyatakan seni bertemu orang-orang dari budaya lain terdiri dari kemampuan untuk pindah ke dunia lain tanpa kehilangan diri sendiri, sementara menjaga pikiran terbuka dan merangkul perbedaan dalam masyarakat multikultural.

Chenoweth (2002) menyatakan bahwa, bagi perawat untuk mendapatkan pengetahuan transkultural yang relevan keterampilan dan sikap dalam memberikan perawatan yang sejalan dengan kebutuhan dan pengalaman konsumen kesehatan, mereka harus menghormati sistem budaya masyarakat dan kiat sukses. Dengan demikian, mereka harus menyadari praduga mereka sendiri untuk menghindari stereotip, pelabelan dan kategorisasi. Ini termasuk pertimbangan variasi antar dan dalam


(27)

kelompok, ras, usia dan jenis kelamin, sementara pada saat yang sama menjadi peka terhadap kebutuhan mereka didefinisikan secara kultural.

Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa menelaah dan mengkonfirmasikan nilai-nilai budaya sendiri dan prasangka yang penting untuk meningkatkan kesadaran dan kepekaan budaya terhadap orang lain (Riley 2000). Sementara Sutardy (2007)menyatakan bahwa, untuk meningkatkan kepekaan terhadap budaya dan mendorong hubungan yang baik dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda, perlu untuk memahami praduga sendiri, nilai-nilai seseorang dan kepentingan, serta budaya sendiri.

McMurray (2000) setuju bahwa sensitivitas budaya membutuhkan keterbukaan dan menghormati perbedaan budaya. Meskipun ia juga menekankan bahwa sensitivitas budaya mencakup lebih dari bersikap terbuka dan menghormati perbedaan budaya, hal itu juga memerlukan pemahaman dinamika budaya lain, hanya dengan demikian perawat dapat mulai menilai pola perilaku pada pasien dari latar belakang budaya yang berbeda yang dapat mempengaruhi sikap mereka terhadap pengelolaan masalah kesehatan.

Culley (2008) juga berpendapat bahwa keperawatan transkultural harus mengenali sifat cair budaya. Perawat harus melakukan lebih dari mengubah sikap pribadi mereka dan meningkatkan pengetahuan mereka tentang pandangan dunia yang berbeda. Guna untuk mengatasi


(28)

kesenjangan-kesenjangan dalam akses keperawatan kesehatan, menunjukkan bahwa pertimbangan hubungan kekuasaan, status sosial-ekonomi, jenis kelamin, perbedaan usia, struktur organisasi dan subjektif pengalaman orang-orang dari kelompok budaya lain harus diperhitungkan.

Dengan cara individu melintasi budaya dapat digambarkan sebagai mengalami tingkat kewaspadaan eksistensial. Banyak orang berjuang untuk mengatasi perasaan tidak mampu dan frustrasi dalam mengubah lingkungan mereka, beberapa menolak perubahan dan berjuang untuk cara-cara lama mereka, sedangkan yang lain putus asa mencoba untuk "jadi penduduk asli" dan hidup dengan rasa takut pada gagal dan putus asa. Sejauh mana orang menjalani tantangan lintas-budaya seperti itu bervariasi, tergantung pada situasi mereka melibatkan diri dan motif mereka untuk pindah di dalam budaya lain. Alasan yang berbeda untuk melintasi budaya mendampingi derajat yang berbeda dari komitmen bahwa individu merasa menuju lingkungan baru mereka. Seperti para responden, yang datang ke kota Ambon rata-rata karena mengikuti suaminya dipindah tugaskan dan biasanya mengalami pergerakan tiba-tiba dan tidak disengaja. Karena sifat tiba-tiba keberangkatan mereka dari daerah asal mereka, sebagian besar responden memiliki sedikit kesempatan untuk mempersiapkan diri untuk hidup di daerah baru yang mereka tuju. setidaknya selama fase awal perubahan, mereka cenderung mengalami kecemasan yang parah dan rasa kehilangan (Campinha 1998).


(29)

Bagi para responden, pengembangan kepekaan budaya adalah proses melingkar. Mengalami stres di lingkungan yang asing, mengambil cara-cara budaya tuan rumah, dan membandingkan budaya mereka sendiri. Ada didalam lingkungan yang mendukung memungkinkan responden untuk merefleksikan secara kritis perbedaan yang menantang nilai-nilai pribadi dan profesional mereka dan keyakinan. Hal ini menyebabkan pemahaman yang lebih besar bahwa menjadi sensitif terhadap budaya lain yang terlibat menjadi terbuka dengan konteks baru, termasuk struktur sosial dan politik, serta keyakinan masyarakat tentang kesehatan dan penyakit. Pengamatan ini konsisten dengan Campinha-Bacote (2002), yang mengklaim bahwa menjadi peka budaya adalah proses yang berkelanjutan yang meliputi elemen penting dari kompetensi budaya.

4.4.2 Kurangnya informasi yang dialami perawat lintas budaya

Bukanlah tugas yang mudah untuk menjadi seorang perawat. Tantangan-tantangan yang dialami oleh perawat seperti perubahan-perubahan yang ada, dimana perubahan-perubahan tersebut dimulai dari lingkungannya maupun klien. Dilihat dari segi lingkungan, perawat dipertemukan selalu dengan globalisasi. Globalisasi sangatlah mempengaruhi perubahan dunia terutama dalam bidang kesehatan. Terjadinya perpindahan penduduk memaksa perawat untuk mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya. Oleh sebab itu semakin banyak perpindahan penduduk, maka semakin beragam pula budaya dalam


(30)

suatu negara. Hal tersebut yang menjadikan perawat harus dapat melakukan asuhan keperawatan yang bersifat tidak kaku di lingkungan yang tepat. Pentingnya informasi tentang suatu kebudayaan baru akan mengurangi dampak stress terhadap seorang perawat lintas budaya. Sehingga hasil penelitian ini menunjukan bahwa dua dari responden datang untuk bekerja di Rumah sakit di kota Ambon tanpa mengetahui tentang kebudayaan yang ada karena tidak ingin mencari tahu, sedangkan salah satu responden menyatakan sempat mencari tahu tentang informasi yang ada mengenai kebudayaan yang dimiliki. Akan tetapi salah satu responden yang mencari tahu tentang kebudayaan yang ada menyatakan bahwa walaupun dia telah mencari tahu tentang kebudayaan yang ada hal tersebut hanya tentang gambaran umum dari orang Ambon saja oleh sebab itu tetap saja ada perbedaan yang berarti antara kebudayaan mereka dan kebudayaan yang ada. Hal tersebut mengakibatkan munculnya perasaan kaget, bingung, takut dan bisa mengakibatkan banyak perasaan aneh lain yang muncul.

Padahal ketika seseorang memiliki kesadaran dan keinginan memasuki budaya baru, berarti sudah melakukan persiapan yang matang dan membekali dirinya dengan informasi-informasi yang mungkin akan diperlukan. Akan menjadi hal berbeda ketika seseorang memasuki suatu budaya baru dengan keterpaksaan, maka akan menimbulkan penolakan dan rasa curiga terhadap kebiasaan, pola pikir dari budaya baru tersebut. Sehingga menimbulkan kecemasan komunikasi yang mungkin akan muncul


(31)

diawal-awal proses adaptasi saat memasuki budaya baru adalah hal yang wajar (Kim 1995).

(Turner 2005) Menyatakan bahwa budaya mempunyai pengaruh luas terhadap kehidupan individu. Sebab itu perawat diharuskan untuk mengenal latar belakang pasiennya. Misalnya bahasa dan kebudayaan, kebiasaan hidup sehari-harinya, cara mengekspresikan perasaan, dan praktik kesehatan sehari-hari. Adapun kultur juga terbagi dalam beberapa sub-kultur. Sub-kultur merupakan kelompok dalam suatu kultur yang tidak semuanya memiliki pandangan yang sama seperti sebuah kelompok kultur yang lebih besar atau memiliki makna yang berbeda. Kebiasaan hidup juga memiliki kaitan dengan kebiasaan cultural. Seperti nilai-nilai dari kebudayaan timur, terkhususnya di Ambon yang menyebabkan persepsi yang negatif dikarenakan kebiasaan orang Ambon yang bicaranya dengan suara keras dan kasar serta cepat. Hal itu menyebabkan para pendatang melabelkan orang Ambon sangat kasar dan jahat, tanpa mencoba menggali informasi lebih dalam lagi tentang kebiasaan orang Ambon.

Tradisi atau kebiasaan juga merupakan suatu budaya, seperti yang dikatakan responden bahwa kebudayaan orang Ambon unik. Tentang tradisi orang Ambon yaitu salah satunya makan patita. Hal ini di dukung oleh (Hall 1966) yang menyatakan bahwa tradisi bisa mengekspersikan suatu budaya, memberikan masyarakat didalamnya mempunya rasa memiliki dan keunikan. Oleh sebab itu kita harus menghargai keunikan yang dimiliki


(32)

masyarakat dan berusaha untuk berkomunikasi dengan masyarakat dari kelompok budaya tersebut.

(Manstead dan Hewstone, 1996) dalam menyatakan bahwa stereotip mengenai orang lain sudah ada pada orang yang berprasangka sebelum dia berusaha untuk bergaul sewajarnya dengan orang-orang lain yang dikenai prasangka tersebut. Hal tersebut di karenakan keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subjektif yang menyebabkan terbentuknya sterotip.

Jika kita tidak berusaha menggali informasi tentang suatu kebudayaan yang baru yang hendak kita masuki maka akan timbul prasangka sosial. Prasangka sosial ini bergandengan pula dengan stereotipe. Istilah ini mengacu pada suatu gambaran atau tanggapan tertentu mengenai watak dan sifat pribadi orang golongan lain yang bercorak negatif. Menurut (Manstead dan Hewstone, 1996) stereotipe didefinisikan sebagai keyakinan-keyakinan tentang karakteristik seseorang (perilaku, cirri kepribadian, nilai pribadi) yang diterima sebagai suatu kebenaran kelompok sosial. Sebagai contoh, watak dan sifat semua orang Negro adalah kurang ajar, bodoh, dan tidak sopan. Atau, banyak orang yang menganggap bahwa orang Ambon memiliki temperamen keras dan kasar dalam berinteraksi secara sosial dengan orang lain, cenderung tidak peduli dengan orang lain, dan sebagainya.

Sebagaimana di Denmark perawat menjadi lebih beragam, perawat harus mengembangkan pemahaman tentang budaya dan hubungannya


(33)

dengan penyakit dan kesehatan. Oleh karena itu penting kurikulum yang mengekspos mahasiswa keperawatan dengan masalah budaya, membantu mereka memperoleh pemahaman tentang pengaruh budaya terhadap kesehatan, dan kesadaran tentang bagaimana latar belakang budaya mereka sendiri mempengaruhi budaya lain. Perubahan yang dibuat untuk Perawat Denmark. (Chegini 2010). Prinsip-prinsip yang diakui dan ditetapkan oleh Dunia Organisasi Kesehatan, yang menentukan bahwa orang memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi secara individual dan kolektif merencanakan dan melaksanakan perawatan kesehatan mereka .

Perawat professional sangat membutuhkan pengetahuan khusus tentang beragam budaya individu, keluarga, dan komunitas yang mereka layani, namun tidak terbatas pada spesifik praktek budaya tentang kesehatan, definisi, dan keyakinan tentang, kesehatan dan penyakit, variasi biologis, pandangan dunia lintas budaya, pengalaman akulturasi, dan kehidupan, seperti pengungsi dan status imigrasi, serta sejarah penindasan, kekerasan, dan trauma yang diderita (Bukti Kesehatan Jaringan, 2006; ICN, 2006a; Asosiasi Nasional Pekerja Sosial, 2001).

4.4.3 Perbedaan dan hambatan komunikasi yang dialami oleh perawat lintas budaya


(34)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap tiga partisipan perawat lintas budaya yang bekerja di RST Ambon berbagai pendapat mereka utarakan terutama pada perbedaan kebudayaan yang ada, yang menyebabkan mereka harus berusaha untuk kembali menyesuaikan diri. Bukan hanya perbedaan kebudayaan saja yang menjadi hambatan terbesar mereka, namun perbedaan komunikasi juga sangatlah berpengaruh besar terutama bagi para responden yang berbeda budaya dan bahasa ini, karena setiap kelompok etnik pendatang memiliki kebudayaan, nilai, norma, tata cara bahasa, dan pola tingkah laku tersendiri yang belum tentu sama dengan penduduk lokal. Dimana perbedaan-perbedaan tersebut mengakibatkan hambatan yang timbul dalam proses komunikasi yang dilakukan oleh seorang perawat lintas budaya.

Meskipun berbagai kelompok budaya semakin sering melakukan interaksi, bahkan dengan bahasa yang sama sekalipun, tidak berarti komunikasi akan berjalan mulus atau bahkan dengan sendirinya akan tercipta saling pengertian, karena antara lain, sebagian diantara kita masih punya kecurigaan terhadap kelompok budaya lain dan enggan bergaul dengan mereka.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jirwe, Garish, Amami (2009) mengenai pengalaman komunikasi lintas budaya mahasiswa, dengan sampel 5 orang mahasiswa yang berasal dari Swedia dan 5 lainnya berlatar belakang imigran. Dalam pertemuan perawat lintas budaya ini menemukan


(35)

tema-tema yaitu para mahasiswa keperawatan ini menyadari bahwa komunikasi yang efektif menjadi hal yang sangat penting dalam melakukan pertemuan lintas budaya dalam menangani pasien. Mereka mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan pasien yang komunikasi verbalnya berbeda dari mereka. Sehingga membuat mereka mengembangkan strategi berkomunikasi dengan pasien yang berbeda latar belakang dari mereka. Keterbatasan tersebut memiliki dampak yang beresiko yaitu ketidakpuasan layanan yang diterima oleh pasien yang dirawat oleh mereka.

Berbicara tentang menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya dalam berbagai cara. Perawat bisa memegang keyakinan dan praktik yang sangat berbeda dari pasien (Ferguson, 2006). Data mengenai perspektif perawat terkait dengan kekuatan mereka, tantangan, daerah ketidaknyamanan dan strategi dapat berguna untuk meningkatkan kompetensi budaya. Data yang diterima dari studi bisa memberikan kerangka untuk program keperawatan dalam mengembangkan dan meningkatkan kurikulum. Data juga bisa menantang atau mendorong penyedia layanan untuk meningkatkan kesadaran budaya, pengetahuan, dan keterampilan, atau kompetensi budaya.

Budaya kesehatan profesional berasal dari latar belakang dan pengalaman pelatihan medis mereka yang bervariasi di seluruh kategori profesional. Namun, profesional kesehatan cenderung mengabaikan budaya orang lain (bukan dirinya) yang unik dan mereka melihat seperti


(36)

hanya mereka yang memiliki budaya. Biasanya, sebagian besar dari penyedia layanan kesehatan menganganggap berbeda pada pasien yang "budaya", dan bahasa yang berbeda, berasal dari kelompok sosial yang berbeda, atau berasal dari negara yang berbeda (Hood & Waldman 2003)

Jika seseorang dihadapkan dengan kebudayaan yang berlainan sekali dari kebudayaannya, dia akan cenderung untuk menilai kebudayaan itu menurut pandangan budayanya sendiri. Dalam antropologi budaya sikap demikian dianggap menghalangi seseorang untuk dapat setepatnya memahami suatu kebudayaan yang lain, karena itu penting sekali bagi seorang yang meninggalkan daerah dan budayanya untuk melihat kebiasaan-kebiasaan dalam suatu kebudayaan dalam konteks masyarakatnya sendiri. Sikap demikian dinamakan kenisbian kebudayaan (Ihromi 2006).

Perbedaan budaya dikatakan sebagai perilaku, sikap dan kebijakan yang bersifat saling melengkapi dalam suatu system kehidupan sehingga memungkinkan untuk berinteraksi secara efektif dalam suatu kerangka berhubungan antar budaya didunia. Perbedaan budaya ini juga merupakan suatu kemampuan dan system nilai yang dimiliki individu dalam berespons secara efektif terhadap semua kebudayaan yang dihadapi, kelompok kelas kehidupan, ras , latar belakang, etnik, agama, serta memahami perilaku yang diaktualisasikan, memahami perbedaan dan kesamaan sistem nilai yang dianut individu, keluarga, komunitas serta kemampuan memproteksi


(37)

dan memelihara harga diri siapapun yang dihadapi. Kompetensi budaya diantaranya memahami dan menghormati perbedaan antara klien dan keluarga mengenai sistem nilai yang dianut, pengalaman menerima pelayanan kesehatan dan harapan. Pada kesempatan yang sama perawat perlu mencermati potensi teraktualisasinya praktik keperawatan atau kesehatan berbasis budaya. Asuhan keperawatan yang berbasis kompetensi budaya memungkinkan perawat sebagai petugas pelayanan kesehatan mengelola secara utuh elemen-elemen pelayanan kesehatan di keluarga, termasuk mengelola hambatan atau tantangan di tingkat komunikasi (Effendy 2009).

Pendekatan transkultural merupakan suatu perspektif yang unik karena bersifat kompleks da sistematis secara alamiah yang secara kontekstual melibatkan banyak hal, seperti bahasa yang digunakan, nilai historis yang teraktualisasikan, tradisi, serta ekonomi. Konsekuensinya perawat sebagai tenaga kesehatan perlu memahami perbedaan kebudayaan diantara individu, keluarga, komunitas termasuk organisasi pelayanan kesehatan (Effendy 2009).

Pola pikir umum tentang budaya mempengaruhi cara individu berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain. Namun apa yang umum dalam satu budaya mungkin bermasalah dalam budaya lain. contoh ini menunjukkan betapa penting kedua pemahaman bahwa ada pola yang


(38)

berbeda dan perlu belajar berbagai cara agar dapat mengakomodasi dalam sebuah pertemuan komunikasi antarbudaya (Goode & Jones 2009).

Setiap kali berdiskusi tentang bahasa dalam proses antarbudaya maka tidak luput dengan mengikutsertakan pembahasan tentang isu-isu bahasa yang umum sebelum membahas masalah-masalah khusus tentang bahasa asing, penerjemah bahasa dan dialek serta logat dalam kelompok budaya orang lain. Komunikasi antar budaya terjadi pada saat dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang atau hampir tidak pernah berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antar budaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat di pelajari. Masalah komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik komunikasi verbal maupun komunikasi nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal, sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku non-verbalnya sendiri, dilakukan tanpa berpikir, spontan dan tidak sadar (Samovar & Porter, 1993). Kita biasanya tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku komunikasi verbal maupun perilaku komunikasi nonverbal dalam budaya lain. Kadang-kadang kita merasa terganggu dan tidak nyaman dalam budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya, perilaku komunikasi nonverbal jarang menjadi sesuatu hal penting yang


(39)

disadari, dan membuat kita sangat sulit untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak nyaman.

Sebagaimana masyarakat terus menjadi lebih beragam budaya, perawat harus berusaha untuk unggul melampaui hambatan dan kemajuan ke arah kompetensi budaya untuk terus memberikan layanan berkualitas dan mengurangi kesenjangan kesehatan (Velasquez 1998).

4.4.4 Proses dan strategi adaptasi perawat lintas budaya

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap tiga partisipan perawat lintas budaya yang bekerja di RST Ambon mengenai proses dan strategi adaptasi yang mereka lakukan guna mengurangi perbedaan dan hambatan komunikasi yang terjadi. Para responden menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dan jika mengalami kesulitan akan menggunakan alternative lain yaitu menggunkan bahasa tubuh atau pula menggunakan penerjemah.

Saat sekelompok orang dengan latar belakang budaya yang berbeda melakukan interaksi maka terjadilah komunikasi antar budaya. Hal ini sangat jarang berjalan dengan lancar, karena kebanyakan situasi mereka yang melakukan interaksi antar budaya tidak menggunakan bahasa yang sama, namun bahasa tetap bisa dipelajari. Terjadi masalah komunikasi yang lebih besar dalam area baik nonverbal maupun verbal. Pada komunikasi nonverbal sangatlah rumit, dan kebanyakan merupakan proses yang spontan. Kebanyakan orang sering tidak sadar akan sebagian besar


(40)

perilaku nonverbal mereka, yang dilakukan tanpa berpikir dan spontan serta tidak sadar (Samovar & Porter, 1994). Sebagian besar kita sering tidak menyadari akan sikap dan tindakan kita sendiri, sehingga sulit untuk menguasai perilaku verbal maupun nonverbal dalam budaya lain. Sering kita merasa terganggu dalam budaya orang lain, dikarenakan kita sering merasa bahwa ada yang salah dengan kebudayaan tersebut. Pada perilaku nonverbal jarang untuk menjadi sesuatu yang disadari, sehingga kita sulit untuk mengetahui pasti mengapa kita sering merasa tidak nyaman.

Komunikasi antar budaya menjadi sangat penting dikarenakan interaksi sosial dalam kehidupan keseharian kita adalah sesuatu yang tidak dapat ditolak. Saat melakukan percakapan, antara dua orang biasanya 35% percakapan yaitu komunikasi verbal sedangkan 65% lainnya merupakan komunikasi nonverbal (Birdehistell, 1969).

Namun demikian, studi sistematis tentang komunikasi nonverbal sejak lama telah diabaikan. Studi komunikasi secara tradisional lebih fokus pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup komuniksi dalam bentuk yang lain. Sepertinya telah ada semacam prasangka yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, cukup banyak program-program pengajaran bahasa asing yang biasanya mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal. Namun pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal khusus-nya adalah tersenyum, tertawa, menangis, dan tanda marah. Karena itulah, orang sering salah dan


(41)

menganggap bahwa bila mereka berada di dalam suatu lingkungan dengan kebudayaan yang berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka berpikir bisa aman dengan sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Tetapi karena manusia mempunyai pengalaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan menjelaskannya dengan cara yang berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama (Bennet 1998).

Fokus pada studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi, pola-pola tindakan, bagaimana menjaga makna, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam suatu kelompok sosial, kelompok politik, kelompok budaya, proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi antar manusia (Liliweri, 2004:10).

Akan tetapi studi sistematis tentang komunikasi nonverbal telah lama diabaikan. Hal ini dikarenakan adanya semacam praduga tidak beralasan tentang bidang tersebut. Contohnya kebanyakan program bahasa asing seringkali mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal. Akan tetapi pada kenyataan yang ada hanya sedikit saja komunikasi nonverbal memiliki makna yang universal seperti menangis, tersenyum, tertawa dan tanda marah. Oleh sebab itu orang sering beranggapan sendiri bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari mereka dan mereka juga tidak mengerti bahasa yang digunakan, mereka berpikir bisa tertolong dengan cukup mengetahui gerakan-gerakan manual. Akan tetapi karena


(42)

setiap manusia memiliki perbedaan pengalaman hidup dalam kebudayaan yang berbeda, orang tersebut akan menyatakan secara berbeda pula simbol-simbol dan tanda-tanda yang sama (Bennet 1998).

Studi tentang komunikasi dan kebudayaan juga berfokus pada pola-pola tindakaan, bagaiamana makna dan pola-pola-pola-pola tersebut diartikan kedalam masyarakat, bagaiamana menjaga makna, kelompok politik, proses pendidikan, dan juga lingkungan teknologi yang melibatkan manusia untuk berinteraksi (Liliweri, 2004).

Rahardjo (2005) mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, dikarenakan tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang pihak-pihak yang berkomunikasi karena adanya perbedaan kultural maka komunikasi antar budaya merupakan hal yang penting sehingga hal tersebut menjadi perbedaan dengan kajian ilmu yang lainnya. Selanjutnya pendapat Kim yang dikemukakan dalam Rahardjo ialah asumsi yang mendasari komunikasi antar budaya antaralain dikarenakan setiap individu yang memiliki budaya yang sama biasanya berbagi kesamaan-kesamaan dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda.

Menurut pandangan peneliti tentang strategi adaptasi yang dilakukan oleh para responden semuanya menggunakan bahasa tubuh atau nonverbal saat menghadapi pasien yang hanya mampu menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi sehar-sehari. Hal pertama yang


(43)

diketahui dari pengalaman ketiga responden yaitu betapa terbatasnya komunikasi bila tanpa kata-kata. Akhirnya dapat diketahui bahwa emosilah yang secara penuh dikomunikasikan secara nonverbal.

Dalam kedua studi adaptasi pendek dan jangka panjang, penekanan utama adalah sifat bermasalah pengalaman lintas-budaya. kebanyakan peneliti cenderung melihat pengalaman antarbudaya dari pendatang, terutama sebagai yang tidak diinginkan, membenarkan studi mereka sebagai upaya ilmiah untuk menemukan cara-cara untuk membantu kemudahan dalam keadaan sulit. Pandangan berbasis masalah adaptasi lintas budaya yang paling jelas dalam studi kejutan budaya yang berfokus hampir secara eksklusif pada reaksi frustasi pendatang, individu dengan lingkungan baru mereka (Anderson 1994)

Kita memang berharap dan diharapkan untuk berbeda. Tetapi, kita juga diharapkan untuk mampu menghormati dan menerima orang lain apa adanya. Kitapun bisa tanpa memaksa kepribadian-kepribadian kita belajar berkomunikasi dengan cara mengamati pola-pola dan tradisi mereka yang tidak tertulis. Kesadaran akan adanya kekeliruan dalam hubungan lintas budaya merupakan suatu langkah tepat dan besar, serta menerima fakta bahwa pendirian yang kita miliki tak selamanya benar dibandingkan pendirian orang lain merupakan langkah yang baik untuk beradaptasi. Hal ini di dukung oleh (Bastable 1999) yang menyatakan Terlepas dari keadaan pemindahan, semua pendatang baru dipaksa untuk melakukan


(44)

penyesuaian dengan cara kebiasaan mereka melaksanakan kegiatan hidup mereka. Mereka yang gagal untuk melakukannya mungkin harus kembali ke rumah sebelum waktunya atau menemukan diri mereka mengalami isolasi emosional dan sosial dari lingkungan baru. Kebanyakan orang, bagaimanapun, belajar untuk mendeteksi persamaan dan perbedaan antara lingkungan baru mereka dan budaya rumah mereka, membuat mereka menjadi semakin mahir dalam menangani situasi yang mereka hadapi. Setiap tantangan adaptif, pada gilirannya, menawarkan mereka kesempatan untuk tumbuh melampaui batas-batas budaya asli.

4.4.5 Refleksi Penelitian Tentang Komunikasi Lintas Budaya yang Terjadi Di Rumah Sakit

Porter (1982) dalam bukunya Intercultural Communication mengatakan, melalui pengalaman lintas budaya, kita menjadi lebih toleran dan terbuka untuk menerima dan menghadapi keganjilan-keganjilan budaya. Bila hal ini di dukung dengan study formal tentang konsep budaya, kita tidak hanya memperoleh pandangan-pandangan baru untuk memperibaiki hubungan-hubungan kita dengan orang lain, namun kita pun menjadi sadar dampak budaya asli kita pada diri kita sendiri.

Dampak positif dari memahami budaya baru yang kita temui yaitu untuk mengurangi gegar budaya (culture shock) dan meningkatkan pengalaman-pengalaman antarbudaya. Tentu saja kita harus sadar bahwa budaya dan perilaku itu relatif, dan karena itu kita harus lebih luwes dalam


(45)

interaksi dengan orang lain. Untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya lebih efektif, dalam proses ini adalah meningkatkan kesadaran budaya seseorang secara umum, karena orang hanya memahami konsep budaya dan cirri-cirinya sebelum ia memperoleh manfaat dari studi tentang aspek-aspek budaya dan bahasa asing.


(1)

perilaku nonverbal mereka, yang dilakukan tanpa berpikir dan spontan serta tidak sadar (Samovar & Porter, 1994). Sebagian besar kita sering tidak menyadari akan sikap dan tindakan kita sendiri, sehingga sulit untuk menguasai perilaku verbal maupun nonverbal dalam budaya lain. Sering kita merasa terganggu dalam budaya orang lain, dikarenakan kita sering merasa bahwa ada yang salah dengan kebudayaan tersebut. Pada perilaku nonverbal jarang untuk menjadi sesuatu yang disadari, sehingga kita sulit untuk mengetahui pasti mengapa kita sering merasa tidak nyaman.

Komunikasi antar budaya menjadi sangat penting dikarenakan interaksi sosial dalam kehidupan keseharian kita adalah sesuatu yang tidak dapat ditolak. Saat melakukan percakapan, antara dua orang biasanya 35% percakapan yaitu komunikasi verbal sedangkan 65% lainnya merupakan komunikasi nonverbal (Birdehistell, 1969).

Namun demikian, studi sistematis tentang komunikasi nonverbal sejak lama telah diabaikan. Studi komunikasi secara tradisional lebih fokus pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup komuniksi dalam bentuk yang lain. Sepertinya telah ada semacam prasangka yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, cukup banyak program-program pengajaran bahasa asing yang biasanya mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal. Namun pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal khusus-nya adalah tersenyum, tertawa, menangis, dan tanda marah. Karena itulah, orang sering salah dan


(2)

menganggap bahwa bila mereka berada di dalam suatu lingkungan dengan kebudayaan yang berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka berpikir bisa aman dengan sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Tetapi karena manusia mempunyai pengalaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan menjelaskannya dengan cara yang berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama (Bennet 1998).

Fokus pada studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi, pola-pola tindakan, bagaimana menjaga makna, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam suatu kelompok sosial, kelompok politik, kelompok budaya, proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi antar manusia (Liliweri, 2004:10).

Akan tetapi studi sistematis tentang komunikasi nonverbal telah lama diabaikan. Hal ini dikarenakan adanya semacam praduga tidak beralasan tentang bidang tersebut. Contohnya kebanyakan program bahasa asing seringkali mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal. Akan tetapi pada kenyataan yang ada hanya sedikit saja komunikasi nonverbal memiliki makna yang universal seperti menangis, tersenyum, tertawa dan tanda marah. Oleh sebab itu orang sering beranggapan sendiri bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari mereka dan mereka juga tidak mengerti bahasa yang digunakan, mereka berpikir bisa tertolong dengan cukup mengetahui gerakan-gerakan manual. Akan tetapi karena


(3)

setiap manusia memiliki perbedaan pengalaman hidup dalam kebudayaan yang berbeda, orang tersebut akan menyatakan secara berbeda pula simbol-simbol dan tanda-tanda yang sama (Bennet 1998).

Studi tentang komunikasi dan kebudayaan juga berfokus pada pola-pola tindakaan, bagaiamana makna dan pola-pola-pola-pola tersebut diartikan kedalam masyarakat, bagaiamana menjaga makna, kelompok politik, proses pendidikan, dan juga lingkungan teknologi yang melibatkan manusia untuk berinteraksi (Liliweri, 2004).

Rahardjo (2005) mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, dikarenakan tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang pihak-pihak yang berkomunikasi karena adanya perbedaan kultural maka komunikasi antar budaya merupakan hal yang penting sehingga hal tersebut menjadi perbedaan dengan kajian ilmu yang lainnya. Selanjutnya pendapat Kim yang dikemukakan dalam Rahardjo ialah asumsi yang mendasari komunikasi antar budaya antaralain dikarenakan setiap individu yang memiliki budaya yang sama biasanya berbagi kesamaan-kesamaan dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda.

Menurut pandangan peneliti tentang strategi adaptasi yang dilakukan oleh para responden semuanya menggunakan bahasa tubuh atau nonverbal saat menghadapi pasien yang hanya mampu menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi sehar-sehari. Hal pertama yang


(4)

diketahui dari pengalaman ketiga responden yaitu betapa terbatasnya komunikasi bila tanpa kata-kata. Akhirnya dapat diketahui bahwa emosilah yang secara penuh dikomunikasikan secara nonverbal.

Dalam kedua studi adaptasi pendek dan jangka panjang, penekanan utama adalah sifat bermasalah pengalaman lintas-budaya. kebanyakan peneliti cenderung melihat pengalaman antarbudaya dari pendatang, terutama sebagai yang tidak diinginkan, membenarkan studi mereka sebagai upaya ilmiah untuk menemukan cara-cara untuk membantu kemudahan dalam keadaan sulit. Pandangan berbasis masalah adaptasi lintas budaya yang paling jelas dalam studi kejutan budaya yang berfokus hampir secara eksklusif pada reaksi frustasi pendatang, individu dengan lingkungan baru mereka (Anderson 1994)

Kita memang berharap dan diharapkan untuk berbeda. Tetapi, kita juga diharapkan untuk mampu menghormati dan menerima orang lain apa adanya. Kitapun bisa tanpa memaksa kepribadian-kepribadian kita belajar berkomunikasi dengan cara mengamati pola-pola dan tradisi mereka yang tidak tertulis. Kesadaran akan adanya kekeliruan dalam hubungan lintas budaya merupakan suatu langkah tepat dan besar, serta menerima fakta bahwa pendirian yang kita miliki tak selamanya benar dibandingkan pendirian orang lain merupakan langkah yang baik untuk beradaptasi. Hal ini di dukung oleh (Bastable 1999) yang menyatakan Terlepas dari keadaan pemindahan, semua pendatang baru dipaksa untuk melakukan


(5)

penyesuaian dengan cara kebiasaan mereka melaksanakan kegiatan hidup mereka. Mereka yang gagal untuk melakukannya mungkin harus kembali ke rumah sebelum waktunya atau menemukan diri mereka mengalami isolasi emosional dan sosial dari lingkungan baru. Kebanyakan orang, bagaimanapun, belajar untuk mendeteksi persamaan dan perbedaan antara lingkungan baru mereka dan budaya rumah mereka, membuat mereka menjadi semakin mahir dalam menangani situasi yang mereka hadapi. Setiap tantangan adaptif, pada gilirannya, menawarkan mereka kesempatan untuk tumbuh melampaui batas-batas budaya asli.

4.4.5 Refleksi Penelitian Tentang Komunikasi Lintas Budaya yang Terjadi Di Rumah Sakit

Porter (1982) dalam bukunya Intercultural Communication mengatakan, melalui pengalaman lintas budaya, kita menjadi lebih toleran dan terbuka untuk menerima dan menghadapi keganjilan-keganjilan budaya. Bila hal ini di dukung dengan study formal tentang konsep budaya, kita tidak hanya memperoleh pandangan-pandangan baru untuk memperibaiki hubungan-hubungan kita dengan orang lain, namun kita pun menjadi sadar dampak budaya asli kita pada diri kita sendiri.

Dampak positif dari memahami budaya baru yang kita temui yaitu untuk mengurangi gegar budaya (culture shock) dan meningkatkan pengalaman-pengalaman antarbudaya. Tentu saja kita harus sadar bahwa budaya dan perilaku itu relatif, dan karena itu kita harus lebih luwes dalam


(6)

interaksi dengan orang lain. Untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya lebih efektif, dalam proses ini adalah meningkatkan kesadaran budaya seseorang secara umum, karena orang hanya memahami konsep budaya dan cirri-cirinya sebelum ia memperoleh manfaat dari studi tentang aspek-aspek budaya dan bahasa asing.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Kepuasan Pasien di Rawat Inap Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta T1 462012061 BAB IV

0 10 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Komunikasi Lintas Budaya Perawat di Rumah Sakit Tentara TK II Prof. Dr. J.A.Latumeten Kota Ambon T1 462012020 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Komunikasi Lintas Budaya Perawat di Rumah Sakit Tentara TK II Prof. Dr. J.A.Latumeten Kota Ambon T1 462012020 BAB II

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Komunikasi Lintas Budaya Perawat di Rumah Sakit Tentara TK II Prof. Dr. J.A.Latumeten Kota Ambon T1 462012020 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Komunikasi Lintas Budaya Perawat di Rumah Sakit Tentara TK II Prof. Dr. J.A.Latumeten Kota Ambon

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Komunikasi Lintas Budaya Perawat di Rumah Sakit Tentara TK II Prof. Dr. J.A.Latumeten Kota Ambon

0 0 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Perawat dalam Pelaksanaan Discharge Planning di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta T1 462012017 BAB IV

0 0 68

T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Komunikasi Terapeutik terhadap Kecemasan Pasien Pre Sectio Caesarea di Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto Semarang T1 BAB IV

1 1 15

T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Komunikasi Lintas Budaya Selama “Sawasdee Project 21” di Ratchaburi, Thailand T1 BAB IV

0 2 7

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Komunikasi Lintas Budaya Selama “Sawasdee Project 21” di Ratchaburi, Thailand T1 BAB II

0 0 9