Korelasi Antara Self-Comopassion dengan Resilience pada Perawat Rawat Inap di Rumah Sakit "X" Bandung.
v
Universitas Kristen Maranatha Abstrak
Penelitian ini dilakukan berdasarkan teori Self-compassion (Neff, 2011) dan Resilience (Reivich & Shatte, 2002). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara self-compassion dan komponen-komponennya dengan resilience pada perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” di Bandung. Responden penelitian ini berjumlah 98 orang perawat rawat inap yang dipilih berdasarkan teknik purposive sampling dan memenuhi kriteria sampel penelitian.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Self-compassion Scale dan Resilience Quotient. Alat ukur Self-compassion dikembangkan oleh Neff (2003) yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Missiliana R., M.Si., Psikolog (2012). Pada penelitian ini didapatkan 25 item valid dengan koefisien validitas berkisar antaran 0.389-0.656, dan dinyatakan reliable dengan koefisien reliabilitas 0,791. Alat ukur resilience dikembangkan oleh Reivich & Shatte (2002) yang diterjemahkan oleh peneliti. Pada penelitian ini didapatkan 48 item valid dengan koefisien validitas berkisar antara 0.304-0.702, dan dinyatakan reliabel dengan koefisien reliabilitas 0.875.
Berdasarkan pengolahan data menggunakan rank spearman didapatkan hasil r = 0.569 artinya terdapat hubungan yang signifikan pada taraf moderat antara Self-compassion dengan Resilience. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan untuk meneliti lebih lanjut mengenai kontribusi Self-compassion dengan Resilience untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dan lebih lengkap.
(2)
vi
Universitas Kristen Maranatha Abstract
This research was conducted based on the theories of Self-compassion (Neff, 2011) and Resilience (Reivich & Shatte, 2002). The objective of the research was to figure out the
relationship between self-compassion as well as its components and resilience in the inpatient nurses in “X” Hospital in Bandung. The respondents of this research consisted of 98 inpatient nurses who met the criteria of research sample selected using purposive sampling technique.
The measuring instruments used in this research were Self-compassion Scale and Resilience Quotient. The measuring instrument Self-compassion was developed by Neff (2003) and translated into Indonesian by Missiliana R., M.Si., Psychologist (2012). In this research, 25 valid items with validity coefficient ranged between 0.389 and 0.656 and declared reliable with reliability coefficient of 0.791 were obtained. The measuring instrument Resilience Quotient was developed by Reivich & Shatte (2002) and translated into Indonesian by the researcher. In this research, 48 valid items with validity coefficient ranged between 0.304 and 0.702 and declared reliable with reliability coefficient of 0.875 were obtained.
Based on the data processing using Spearman’s rank, r = 0.569 was obtained. This means that there is a significant correlation at a moderate level between Self-compassion and Resilience. Based on the results of the research, the researcher suggested that future researchers conduct further research on the contribution of Self-compassion and Resilience to obtain a thorough and more complete picture.
(3)
ix
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
COVER ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
PERNYATAAN PUBLIKASI ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR BAGAN ... xiv
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 10
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10
1.3.1 Maksud Penelitian ... 10
1.3.2 Tujuan Penelitian ... 11
(4)
x
Universitas Kristen Maranatha
1.4.1 Kegunaan Teoretis ... 11
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 11
1.5 Kerangka Pemikiran ... 12
1.6 Asumsi ... 20
1.7 Hipotesis ... 20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 21
2.1 Self-Compassion ... 21
2.1.1 Definisi Self-Compassion ... 21
2.1.2 Komponen Self-Compassion ... 22
2.1.2.1 Self-Kindness ... 22
2.1.2.2 Common Humanity ... 22
2.1.2.3 Mindfulness ... 23
2.1.4 Manfaat Self-Compassion ... 24
2.2 Resilience ... 25
2.2.1 Definisi Resilience ... 25
2.2.2 Fungsi Resilience ... 25
2.2.3 Faktor yang Membentuk Resilience ... 27
2.3 Perawat ... 32
2.3.1 Definisi Perawat ... 32
(5)
xi
Universitas Kristen Maranatha
2.3.3 Fungsi Perawat ... 34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 36
3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 36
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 37
3.2.1 Variabel Penelitian ... 37
3.2.2 Definisi Operasional ... 37
3.2.2.1 Definisi Operasional Self-Compassion ... 37
3.2.2.2 Definisi Operasional Resilience ... 38
3.3 Alat Ukur ... 39
3.3.1 Alat Ukur Self-Compassion ... 39
3.3.1.1 Kisi-kisi alat ukur ... 40
3.3.1.2 Sistem Penilaian ... 41
3.3.2 Alat Ukur Resilience ... 42
3.3.2.1 Sistem Penilaian ... 44
3.3.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 45
3.3.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 45
3.3.4.1 Validitas Alat Ukur ... 45
3.3.4.2 Reliabilitas Alat Ukur... 46
3.4 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 47
(6)
xii
Universitas Kristen Maranatha
3.4.2 Karakteristik Sampel ... 47
3.4.3 Teknik Penarikan Sampel ... 47
3.5 Teknik Analisis Data ... 48
3.6 Hipotesis Statistik ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50
4.1 Gambaran Sampel Penelitian ... 50
4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 50
4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Bekerja ... 51
4.2 Hasil Penelitian ... 51
4.2.1 Hasil Korelasi Self-compassion dan Resilience ... 51
4.2.2 Hasil Korelasi Komponen Self-kindness dan Resilience ... 52
4.2.3 Hasil Korelasi Komponen Common Humanity dan Resilience ... 53
4.2.4 Hasil Korelasi Komponen Mindfulness dan Resilience ... 53
4.3 Pembahasan ... 54
4.4 Diskusi ... 58
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 60
5.1 Simpulan ... 60
5.2 Saran ... 60
5.2.1 Saran Teoretis ... 60
(7)
xiii
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA ... 62 DAFTAR RUJUKAN ... 64 LAMPIRAN
(8)
xiv
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran... 19 Bagan 3.1 Rancangan Penelitian ... 36
(9)
xv
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Alat Ukur Self-Compassion... 40
Table 3.2 Penilaian Kuesioner Self-Compassion ... 41
Tabel 3.3 Alat Ukur Resilience ... 43
Table 3.4 Penilaian Kuesioner Resilience ... 44
Table 3.5 Kategori Resilience ... 45
Table 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 50
Table 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Bekerja ... 51
Table 4.3 Korelasi Self-Compassion Dan Resilience ... 52
Table 4.4 Korelasi Komponen Self-Kindness Dan Resilience ... 52
Table 4.5 Korelasi Komponen Common Humanity Dan Resilience ... 53
(10)
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Kuesioner Self-Compassion ... L-1 Lampiran 2: Kuesioner Resilience ... L-8 Lampiran 3: Validitas Dan Reliabilitas Self-Compassion ... L-16 3.1: Validitas Self-Compassion ... L-16 3.2: Reliabilitas Self-Compassion ... L-16 Lampiran 4: Validitas Dan Reliabilitas Resilience ... L-17 4.1: Validitas Resilience ... L-17 4.2: Reliabilitas Resilience ... L-18 Lampiran 5: Hasil Korelasi ... L-19 5.1: Korelasi Self-Compassion Dengan Resilience ... L-19 5.2: Korelasi Self-Kindness Dengan Resilience ... L-19 5.3: Korelasi Common Humanity Dengan Resilience ... L-19 5.4: Korelasi Mindfulness Dengan Resilience ... L-20 Lampiran 6: Data Mentah Komponen Self-Compassion... L-20 6.1: Komponen Self-Kindness ... L-20 5.3: Komponen Common Humanity ... L-22 5.4: Komponen Mindfulness ... L-24 Lampiran 7: Data Mentah Resilience ... L-26 Lampiran 8: Hasil Skor Data Mentah ... L-31
(11)
1
Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan hal yang penting bagi setiap manusia, dengan sehat seseorang dapat melakukan aktivitasnya dengan baik. Tetapi manusia tidak dapat memprediksi kapan seseorang akan sakit. Saat terkena penyakit, individu perlu pelayanan kesehatan yang didapatkan salah satunya dari rumah sakit. Menurut Undang-Undang no. 44 tahun 2009, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (menyeluruh) yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Ketika individu dirawat di rumah sakit, mereka membutuhkan tenaga kesehatan untuk membantu mereka selama di rumah sakit (Departemen kesehatan, 2009). Menurut undang-undang nomor 36 tahun 2014, tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Kemenko PMK, 2014).
Tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit terdiri dari tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi; tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan; tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analisis farmasi dan asisten apoteker; tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan, dan sanitarian; tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien; tenaga terapi fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara; tenaga keteknisian
(12)
2 meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknik transfusi dan perekam medis (Dermawan, 2013).
Perawat adalah mereka yang memiliki kewenangan dan kemampuan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan (Dermawan, 2013). Lebih lanjut Suwignyo (2007) mengungkapkan “Perawat adalah suatu profesi yang mempunyai fungsi autonomi yang didefinisikan sebagai fungsi profesional keperawatan. Fungsi profesional yaitu membantu mengenali dan menemukan kebutuhan pasien yang bersifat segera”. Tugas perawat disepakati dalam lokakarya tahun 1983 yang berdasarkan fungsi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan adalah sebagai berikut: mengkaji kebutuhan pasien, merencanakan tindakan keperawatan, melaksanakan rencana keperawatan, mengevaluasi hasil asuhan keperawatan, dan membuat dokumentasi proses keperawatan (Hidayat, 2004). Lumenta (1989), menegaskan bahwa perawat harus memperhatikan kebutuhan pasien, merawat pasien dengan penuh tanggung jawab, dan memberikan pelayanan asuhan kepada individu atau kelompok orang yang mengalami tekanan karena menderita sakit.
Rumah Sakit “X” merupakan salah satu jaringan pelayanan kesehatan di kawasan Asia Pasifik Selatan, dan memiliki kantor pusat di Cavite, Filipina. Rumah Sakit “X” ini berdiri sejak 2 Oktober 1950 hingga saat ini, dan menjadi salah satu Rumah Sakit yang berada di Bandung dengan akreditasi paripurna yaitu tingkat kelulusan tertinggi yang dapat diraih oleh rumah sakit. Rumah sakit dengan tingkat paripurna menunjukkan telah lulus terhadap 15 penilaian program kerja, diantaranya : akses dan kontinuitas pelayanan, manajemen pemberian obat, pendidikan pasien dan keluarga , dan keselamatan pasien. RS “X” memiliki visi menjadi Rumah Sakit terbaik dalam pelayanan kesehatan di Bandung tahun 2020. Misinya yaitu memberikan pelayanan kesehatan berkualitas dan aman, menyediakan sumber daya manusia (SDM) profesional dan berkualitas, menggunakan teknologi kesehatan modern,
(13)
3
Universitas Kristen Maranatha melaksanakan dan mempromosikan reformasi kesehatan. Motonya yaitu menuju sehat seutuhnya (Web Rumah Sakit “X”). Visi dari perawat yaitu menjadikan Rumah sakit “X” sebagai pilihan untuk menjadi pilihan utama dalam perawatan rawat inap di Bandung. Misinya yaitu menjadikan rumah sakit “X” sebagai rumah sakit pilihan utama dalam memberikan pelayanan keperawatan. Melalui visi dan misi ini para perawat berusaha untuk berpegang teguh terhadap visi, misinya dalam memberikan pelayanan kesehatan (Kepala perawat, komunikasi personal, 26 Juni 2016).
Perawat di rumah sakit “X” terdiri dari perawat rawat inap, perawat khusus rawat jalan, dan perawat di instalasi gawat darurat (IGD). Jumlah Perawat yang ada yaitu sekitar 342 orang, terdiri dari bidan 13 orang, asisten perawat 75 orang, perawat rawat inap 210 orang termasuk asisten perawat, perawat khusus rawat jalan 36 orang, dan perawat di IGD 26 orang. Saat pertama kali bekerja perawat ditempatkan di bagian tertentu, tetapi selanjutnya perawat harus bersedia untuk ditempatkan dimana saja dan dalam satu tahun rutin dilakukan rotasi. Rotasi yang dilakukan ada yang bersifat permanen, dan ada yang bersifat sementara. Rotasi ini dilakukan dengan tujuan untuk menambah pengetahuan perawat, penyegaran bagi para perawat agar tidak merasa jenuh, kemudian juga dilakukan karena ada bagian yang kekurangan perawat atau karena masalah internal yang terjadi antara perawat dalam bagian yang sama. Menurut kepala perawat di RS “X”, perawat yang lebih diutamakan dirotasi biasanya perawat bagian rawat inap. Hal ini dilakukan agar perawat tidak merasa jenuh karena beban kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian yang lain, dan dengan diadakan rotasi ini perawat dituntut untuk dapat bekerja secara fleksibel walaupun berada di situasi kerja yang berbeda dengan bagian sebelumnya. Tujuan diadakan rotasi agar perawat tidak merasa jenuh dengan pekerjaannya, tetapi ada juga perawat yang menghayati rotasi sebagai situasi yang menyebabkan stres karena saat perawat dipindahkan, perawat harus mampu beradaptasi dengan situasi yang berbeda dari bagian sebelumnya.
(14)
4 Di rumah sakit “X” perawat rawat inap lebih sibuk dibandingkan dengan bagian lainnya, karena walaupun memiliki jumlah perawat paling banyak dibandingkan dengan bagian yang lain, tetapi seringkali bagian rawat inap kekurangan orang karena jumlah pasien yang lebih banyak. Setiap perawat rawat inap bertanggung jawab terhadap 4-6 pasien sehingga perawat rawat inap lebih banyak bertemu dengan pasien yang berada di bawah tanggung jawabnya setiap hari. Bekerja sebagai seorang perawat biasanya akan dihadapkan pada sistem shift, yang berarti perubahan waktu kerja sewaktu-waktu dapat terjadi. Dalam sebuah studi di Inggris, pekerja dengan sistem shift mengalami tingkat stres yang lebih tinggi, kontrol yang rendah, tingkat konflik yang tinggi dan cenderung mendapatkan dukungan sosial yang rendah dari atasannya, dibandingkan pekerja dengan waktu kerja biasa atau tetap (Schultz & Schultz, 2006).
Jam kerja perawat inap terbagi kedalam 3 shift, yaitu shift pagi dimulai pukul 07.00-14.00 WIB, shift siang dimulai dari pukul 07.00-14.00-21.00 WIB dan shift malam dimulai pukul 21.00-07.00 WIB. Semua perawat rawat inap mendapatkan giliran yang terbagi secara merata dengan jadwal shift yaitu pagi hari selama dua hari, kemudian sore selama dua hari, malam selama dua hari, lalu mendapatkan libur selama dua hari. Perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” memiliki tugas memberikan asuhan keperawatan meliputi tindakan keperawatan yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan dan kaedah-kaedah keperawatan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan untuk merawat pasien baik secara fisik, mental dan spiritual, mengikuti kunjungan dokter untuk pasien yang berada dibawah tanggung jawabnya, memberikan perawatan secara menyeluruh seperti memandikan pasien, menyiapkan makanan, memberikan obat. Berdasarkan tugas-tugas tersebut, perawat rawat inap dituntut untuk dapat memberikan kepedulian serta perhatian penuh kepada pasiennya dan melakukan asuhan keperawatan secara baik dan benar kepada pasien yang berada dibawah tanggung jawabnya.
(15)
5
Universitas Kristen Maranatha Pekerjaan sebagai perawat dimana perawat rawat inap setiap hari berhadapan dengan pasien yang berbeda latar belakang pendidikan, status sosial maupun jenis penyakit membuat perawat rawat inap harus mampu menyesuaikan diri dan perawat rawat inap dituntut untuk mendahulukan kepentingan pasien diatas dirinya sendiri. Ketika menjalankan pekerjaannya juga, seorang perawat tidak hanya berhadapan dengan pasien, tetapi juga dengan dokter, keluarga pasien, sesama perawat, dan bagian-bagian lain dalam rumah sakit (seperti bagian laboratorium, radiologi, dan sebagainya). Selama bekerja perawat berhadapan dengan kondisi pasien yang berbeda-beda, ada yang optimis dan bersemangat untuk sembuh (kooperatif dengan perawatan yang diberikan) dan ada yang tidak. Adakalanya pasien merasa putus asa dengan kondisinya sehingga perawat lebih sering memberikan dukungan kepada pasien dan juga perawat mendengarkan cerita dari pasien. Ada juga pasien yang tidak mau mengikuti aturan-aturan di Rumah Sakit seperti aturan minum obat dan pantangan makanan yang tidak dianjurkan, ada pasien yang merasa sudah sehat sehingga meminta keluarganya untuk membawakan makanan tersebut.
Adakalanya ada juga keluarga pasien yang menanyakan keadaan pasien dan bagaimana perkembangan pasien secara terus-menerus kepada perawat tanpa mempedulikan keadaan perawat yang sedang bekerja atau mengurusi hal lainnya. Hal ini membuat perawat merasa terganggu karena pekerjaannya tertunda dan apabila perawat memberikan penjelasan yang kurang memuaskan, ada keluarga pasien yang menjadi marah. Seharusnya informasi mengenai keadaan pasien dijelaskan oleh dokter yang merawat, tetapi karena keluarga pasien lebih sering menjumpai perawat daripada dokter yang merawat, maka mereka melampiaskannya kepada perawat. Selain dengan pasien dan keluarganya, perawat juga berhubungan dengan sesama perawat, dokter dan juga atasannya. Ada juga perawat yang sudah berkeluarga terkadang merasa kesulitan saat ada anggota keluarga yang sakit dan ia tidak dapat pulang karena tidak dapat mencari perawat lain yang menggantikannya untuk
(16)
6 bekerja, hal ini membuat perawat rawat inap membutuhkan relasi yang baik agar mendapat pertoolongan saat keadaan tidak terduga terjadi. Dari 15 orang perawat, terdapat empat (26,7%) orang perawat yang merasa bekerja dibawah atasan atau dokter yang sering membuat mereka merasa tertekan karena dituntut untuk bekerja secara profesional dan sebaik mungkin walaupun perawat sedang dalam kondisi emosi ataupun fisik yang kurang baik, perawat dituntut untuk tidak menunjukkannya pada pasien, perawat harus tetap ramah dan melakukan tugasnya.
Menurut hasil survei dari PPNI pada tahun 2006 terdapat 50,9% perawat yang bekerja di 4 provinsi di Indonesia mengalami stres kerja yang ditandai dengan sering pusing, lelah, tidak dapat istirahat karena beban kerja yang terlalu tinggi dan menyita waktu, serta gaji rendah tanpa insentif yang memadai (Rachmawati, 2007). Hal ini dapat dipengaruhi karena tingkat interaksi dengan orang lain (pasien, dokter, rekan kerja, dan sebagainya) yang tinggi, beban kerja (workload) yang berat, jam kerja yang panjang dan tidak teratur, ditambah dengan adanya program BPJS kesehatan dimana terdapat peningkatan tanggung jawab tetapi tidak ada peningkatan remunerasi dan kenaikan gaji menjadi tekanan tersendiri bagi perawat rumah sakit. Selain itu, perawat rawat inap juga berhadapan dengan tugas yang monoton dan rutin, serta berhadapan dengan usaha penyelamatan nyawa seseorang dan tanggung jawab yang besar terhadap kelangsungan hidup pasien. Kemudian tuntutan masyarakat secara umum terhadap kualitas pelayanan kesehatan saat ini terus meningkat diiringi fakta meningkatnya pengeluaran masyarakat dalam mengonsumsi jasa layanan kesehatan, selain itu, kepuasan pasien terhadap pelayanan perawat menjadi faktor tertinggi kedua (setelah pelayanan dokter) yang memengaruhi kekecewaan konsumen ketika mengunjungi institusi jasa layanan kesehatan. Dengan demikian, perawat rawat inap dituntut memberikan pelayanan pada pasien sebaik mungkin, karena akan sangat memengaruhi kepuasan pasien dan kemungkinan pasien mengunjungi kembali rumah sakit tersebut di kemudian hari (Kristiani, 2015).
(17)
7
Universitas Kristen Maranatha Melihat tugas-tugas yang diemban oleh seorang perawat rawat inap yang berpusat pada pelayanan sosial maka besar kemungkinan untuk terjerumus ke dalam suatu situasi yang berpeluang melelahkan baik secara fisik maupun emosional. Hambatan-hambatan, tantangan maupun kesulitan yang dialami oleh perawat rawat inap jika tidak diatasi dapat menimbulkan stress yang berdapampak pada pekerjaan perawat, sehingga perawat rawat inap perlu memiliki resilience untuk dapat bangkit dan beradaptasi saat menghadapi situasi stres yang muncul. Resilience adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari (Reivich & Shatte, 2002). Menurut Reivich & Shatte (2002), resilience terbentuk dari tujuh faktor yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimism, causal analysis, empati, self-efficacy dan reaching out (Reivich & Shatte, 2002).
Regulasi emosi yaitu kemampuan perawat rawat untuk mengendalikan emosinya ketika mendapat tekanan dari pasien, keluarga pasien, sesama perawat ataupun dari atasan/dokter agar tidak mempengaruhinya dalam melakukan tindakan keperawatan. Pengendalian impuls yaitu kemampuan perawat rawat inap untuk mengontrol tingkah laku yang sering muncul seperti saat menangani pasien yang susah diatur perawat tidak menyerah untuk terus memberi penjelasan kepada pasien ataupun keluarganya. Optimism yaitu keyakinan perawat rawat inap bahwa setiap permasalahan yang muncul dalam pekerjaannya dapat berubah menjadi lebih baik, dan ia percaya dapat menangani masalah-masalah yang muncul dimasa depan. Causal analysis yaitu kemampuan perawat rawat inap untuk mengidentifikasi secara akurat penyebab dari permasalahannya. Empati yaitu kemampuan perawat rawat inap untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis pasien dan orang disekitarnya. Self efficacy yaitu keyakinan perawat rawat inap bahwa ia dapat memecahkan masalah yang dialaminya dalam pekerjaan dan yakin akan kemampuannya
(18)
8 untuk mencapai kesuksesan. Reaching out yaitu kemampuan perawat rawat inap untuk berani mengatasi setiap masalah yang muncul dalam pekerjaan.
Resilience penting bagi perawat rawat inap agar mampu untuk beradaptasi terhadap lingkungan kerjanya, dan saat mengalami tekanan ataupun hambatan perawat dapat bangkit kembali dan tidak terlarut dalam masalahnya sehingga perawat rawat inap dapat bekerja secara optimal, memecahkan masalahnya dan mengubah keadaan yang tidak menyenangkan menjadi lebih baik. Dengan meningkatkan resilience maka perawat inap akan lebih mampu mengatasi kesulitan yang muncul dalam kehidupan, mampu menghadapi masalah dengan baik, mampu mengontrol diri, dan mampu mengelola stres dengan baik dengan cara mengubah cara berfikir ketika menghadapi masalah (Reivich & Shatte, 2002). Perawat rawat inap yang memiliki resilience yang tinggi dapat bertahan dari tekanan pekerjaannya, mereka juga mampu untuk berkembang secara positif sehingga saat mengalami masalah mereka tidak menghayati perasaan gagal, depresi, merasa dikucilkan, dan sebagainya. Sedangkan perawat rawat inap yang memiliki resilience yang rendah ketika menghadapi tantangan atau masalah mereka cenderung merasa terpuruk dan melarikan diri dari masalahnya, dan diikuti oleh emosi negatif seperti perasaan kecewa, marah, pesimis dan sebagainya.
Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan pada 15 orang perawat rawat inap, terdapat 10 dari 15 orang (66,7%) perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” merasa bahwa mereka mampu menghadapi tekanan yang ada di pekerjaannya dan mereka merasa walaupun tugas sebagai seorang perawat rawat inap menimbulkan stres, tetapi bila mereka bekerja dan tetap mengandalkan Tuhan, apapun dapat mereka lalui dan saat mereka merasa bahwa masalah yang mereka hadapi terlalu berat mereka memutuskan untuk berdoa terlebih dahulu agar menenangkan diri, setelah itu mereka menceritakan masalahnya dengan teman dan ketika sampai di rumah mereka merenungkan masalahnya untuk mencari tahu penyebabnya dan bagaimana mengatasi masalahanya agar tidak terulang dikemudian hari. Kemudian terdapat 5
(19)
9
Universitas Kristen Maranatha dari 15 orang (33,3%) perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” menghayati bahwa pekerjaan sebagai perawat rawat inap merupakan hal yang tidak mudah dan menguras emosi, merasa bahwa setiap kali mengalami masalah mereka lebih sering merasa pesimis dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga mereka merasa lebih rendah dibandingkan dengan rekan perawat yang lainnya, ada diantaranya yang berpikir untuk tidak melanjutkan pekerjaan sebagai perawat karena alasannya bekerja sebagai perawat adalah keinginan dari orangtua sehingga apabila ia memutuskan berhenti bekerja maka hal tersebut tidak terlalu berpengaruh bagi dirinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Olson, et all (2015) pada pediatrik menunjukkan adanya hubungan positif antara self-compassion dengan resilience. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh MR Hayter & DS Dorstyn (2013) yang menunjukkan adanya korelasi antara antara self-esteem, dan self-compassion terhadap resilience. Self-compassion merupakan keterbukaan dan kesadaran terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindari penderitaan itu, memberikan pengertian kepada diri sendiri tanpa menghakimi kekurangan dan kegagalan yang dialami, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (Neff, 2003). Self-compassion dapat diartikan sebagai peduli pada diri sendiri ketika mengalami kesulitan maupun stres, dan merupakan coping yang adaptif terhadap peristiwa negatif. Self-compassion penting bagi kehidupan karena memberikan kekuatan emosional dan ketahanan agar individu pulih lebih cepat dari rasa kecewa ataupun frustasi, sehingga bisa mengakui kekurangan yang dimiliki, memaafkan diri, serta berusaha untuk meraih potensi yang dimiliki (Neff & Gremer, 2013).
Perawat yang memiliki self-compassion yang tinggi lebih dapat memaknai, menghadapi dan menyingkapi setiap peristiwa dalam kehidupannya secara adaptif, terutama saat menghadapi kegagalan, dan perawat rawat inap juga dapat memperlakukan dirinya sama baiknya sebagaimana mereka memperlakukan orang lain (Neff, 2011). Sedangkan perawat
(20)
10 yang memiliki self-compassion yang rendah saat menghadapi tantangan atau masalah akan terus-menerus mengkritik diri secara berlebihan, mereka hanya memperhatikan apa yang menjadi kekurangannya tanpa memperhatikan kelebihan yang dimiliki, sehingga mereka memiliki pandangan yang sempit bahwa hanya dirinya yang menghadapi kegagalan. Mereka juga dapat melebih-lebihkan kegagalan yang dihadapi dengan fokus pada kegagalan di masa lalu, tanpa memperhatikan kegagalan yang dihadapi saat ini.
Berdasarkan pemaparan penelitian sebelumnya bahwa terdapat hubungan antara self-compassion dan resilience, hal ini membuat peneliti ingin melihat bagaimana hubungan antara dua variabel tersebut pada perawat rawat inap di Indonesia, karena pengaruh budaya dan lainnya dapat mempengaruhi hasil penelitian sehingga terkadang berbeda dengan penelitian di luar negeri. Kemudian berdasarkan fenomena dan survei awal yang menunjukkan derajat resilience yang berbeda-beda dari perawat rawat inap, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai korelasi antara self-compassion dengan resilience pada perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dalam penelitian ini ingin diketahui bagaimana hubungan antara self-compassion dan komponen-komponennya dengan resilience pada perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” di Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud penelitian adalah untuk memperoleh data dan gambaran mengenai derajat self-compassion dan derajat resilience pada perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” di Bandung.
(21)
11
Universitas Kristen Maranatha 1.3.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara self-compassion dan komponen-komponennya dengan resilience pada perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” di Bandung.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dalam ilmu psikologi positif dalam pemahaman mengenai korelasi antara self-compassion dengan resilience.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi peneliti lain untuk mengembangkan dan meneliti lebih lanjut mengenai kontribusi antara self-compassion dengan resilience.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Memberi informasi kepada pihak Rumah Sakit mengenai korelasi antara self-compassion dengan resilience pada perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” Bandung dengan harapan, informasi ini dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan untuk mengadakan program seminar bagi perawat mengenai self-compassion agar dapat meningkatkan resilience sehingga perawat lebih optimal dalam memberikan perawatan pada pasien.
Memberi informasi kepada perawat mengenai self-compassion dan resilience. Informasi ini dapat digunakan untuk melatih, mengembangkan dan meningkatkan self-compassion dalam dirinya.
(22)
12 1.5 Kerangka Pikir
Perawat adalah individu yang memiliki kewenangan dan kemampuan melakukan tindakan keperawat rawat inapan berdasarkan ilmu yang dimilikinya, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan (Dermawan, 2013). Tugas-tugas perawat yang disepakati dalam lokakarya tahun 1983 yaitu mengkaji kebutuhan pasien, merencanakan tindakan keperawat rawat inapan, melaksanakan rencana keperawatan,mengevaluasi hasil asuhan keperawatan, dan membuat dokumentasi proses keperawatan (Hidayat, 2004).
Kondisi pekerjaan sebagai perawat rawat inap yang mengharuskan bertemu dan melayani pasien yang berbeda setiap harinya dimana setiap pasien memiliki kondisi kesehatan, pendidikan dan status sosial yang berbeda, sehingga tuntutan dari setiap pasien maupun keluarga pasienpun berbeda. Keadaan ini dapat dihayati sebagai situasi yang menekan dan stressful. Untuk tetap bertahan dalam memenuhi tugas dan tanggung jawabnya dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat rawat inap perlu memiliki kemampuan untuk mengasihi dirinya sendiri yang disebut dengan self-compassion. Menurut Neff (2003) Self-compassion merupakan keterbukaan dan kesadaran terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindari penderitaan itu, memberikan pengertian pada diri sendiri tanpa menhakimi kekurangan dan kegagalan yang dialami, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia.
Self-compassion terdiri dari tiga komponen utama yaitu kindness versus self-judgement, common humanity versus isolation, dan mindfulness versus over-identification. Menurut Barnard & Curry (2011), ketiga komponen ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Jika perawat rawat inap rawat inap Rumah Sakit “X” memiliki derajat yang tinggi pada ketiga komponen, maka ia akan memiliki self-compassion yang tinggi (Neff, 2011). Sebaliknya, jika perawat rawat inap rawat inap di Rumah Sakit “X”
(23)
13
Universitas Kristen Maranatha memiliki derajat yang rendah pada salah satu atau lebih dari komponen self-kindness, common humanity, dan mindfulness maka dikatakan memiliki self-compassion yang rendah.
Self-kindness yaitu kemampuan perawat rawat inap untuk memberikan kehangatan, mendukung, dan menerima diri apa adanya. Perawat rawat inap yang memiliki self-kindness yang tinggi akan terlihat dari perilakunya yang tidak terlalu mengkritik dan menyalahkan dirinya saat mengalami suatu kegagalan atau kesalahan seperti saat perawat rawat inap lalai dan hampir salah memberikan obat kepada pasien, ia akan menerima dan memahami kekurangannya, serta tidak terlarut dalam perasaan marah, sedih dan kecewa. Perawat rawat inap yang memiliki self-kindness yang rendah lebih sering mengkritik diri sendiri saat melakukan kegagalan atau kesalahan (self-judgement), seperti mengatakan bahwa dirinya memalukan dan melakukan hal yang mengecewakan karena hampir melakukan kesalahan yang fatal dan menganggap dirinya terlalu ceroboh.
Common humanity yaitu kemampuan perawat rawat inap untuk menyadari bahwa bukan hanya dirinya saja yang mengalami kegagalan, tetapi orang lain juga pernah mengalami kegagalan. Perawat rawat inap yang memiliki common humanity yang tinggi akan terlihat dari perilakunya saat melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melakukan tindakan keperawatan, perawat rawat inap memandang bahwa hal tersebut dapat terjadi pada semua orang dan perawat rawat inap yang lainnya juga. Perawat rawat inap yang memiliki common humanity yang rendah terisolasi dengan dirinya sendiri sehingga kurang menyadari bahwa orang lain juga dapat melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukannya (isolation). Ia akan cenderung menganggap bahwa dirinya yang paling bersalah walaupun ada rekan perawat rawat inap yang melakukan kesalahan, ia akan menganggap bahwa kesalahannya adalah yang paling fatal dan merasa bahwa dirinya yang paling banyak kekurangan daripada yang lain.
(24)
14 Mindfulness yaitu kemampuan perawat rawat inap untuk menerima kegagalan atau kesalahan yang telah dilakukannya dalam kehidupan tanpa menyangkal atau melebih-lebihkan kegagalan tersebut. Perawat rawat inap yang memiliki mindfulness yang tinggi akan terlihat dari perilakunya saat mengalami kegagalan dalam melakukan tindakan keperawat rawat inapan, perawat rawat inap mengakuinya dan tidak membesar-besarkannya. Ada saatnya perawat rawat inap merasa kecewa pada dirinya, tetapi perasaan tersebut tidak berlarut-larut dan menjadikan kegagalannya sebagai pelajaran dan pengalaman agar tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Sedangkan perawat rawat inap yang memiliki mindfulness yang rendah akan terlihat dari perilakunya yang bereaksi secara berlebihan terhadap kegagalan atau kesalahannya (over-identification). Ia akan terpaku pada kegagalan dan ketidakmampuannya sehingga menyebabkan rasa cemas bahwa kejadian itu akan terulang kembali atau ia akan melupakan kegagalannya seolah-olah tidak pernah terjadi agar mengurangi rasa kecewa pada dirinya.
Perawat rawat inap yang memiliki self-compassion yang tinggi lebih dapat memaknai, menghadapi dan menyingkapi setiap peristiwa dalam kehidupannya secara adaptif, terutama saat menghadapi kegagalan, dan perawat rawat inap juga dapat memperlakukan dirinya sama baiknya sebagaimana mereka memperlakukan orang lain (Neff, 2011). Saat perawat rawat inap memiliki Self-compassion yang tinggi, maka perawat rawat inap tersebut memiliki self-kindness, common humanity dan mindfulness (2003).
Saat perawat rawat inap tidak terhanyut dalam perasaan bersalah ketika mengalami kegagalan dalam memberikan tindakan keperawatan (self-kindness), memahami bahwa kegagalan yang dialami adalah hal yang manusiawi dan lumrah dialami oleh orang lain (common humanity), sehingga perawat mampu untuk mencari solusi yang tepat untuk mengatasi kegagalan yang dialami saat melakukan tindakan keperawatan (mindfulness). Hal tersebut akan membuat perawat mengubah cara pandangnya menjadi lebih positif sehingga
(25)
15
Universitas Kristen Maranatha saat mengalami berbagai tekanan, perawat mampu untuk beradaptasi dan bangkit kembali atau resilience. Resilience adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari (Reivich & Shatte, 2002). Resilience terbentuk dari tujuh faktor yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimism, causal analysis, empati, self-efficacy dan reaching out.
Regulasi emosi adalah kemampuan perawat rawat inap untuk tetap tenang dibawah kondisi yang menekan. Hal ini meliputi kemampuan perawat rawat inap untuk tetap tenang dan fokus saat mengalami masalah di lingkungan kerja sehingga tidak mempengaruhi hasil kerjanya, lalu kemampuan perawat rawat inap dalam mengendalikan atensi dan perilaku, misalnya saat mengalami masalah, perawat rawat inap tetap menunjukkan profesionalitasnya dalam bekerja seperti tetap tersenyum pada pasien, dan tetap bekerja sesuai dengan SOP yang ada. Pengendalian impuls adalah kemampuan perawat rawat inap untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam dirinya. Kemampuan ini didasari oleh kemampuan perawat rawat inap untuk dapat mengenali dirinya sendiri, sehingga perawat rawat inap terhindar dari keterpakuan pola pikir dan mencegah terjadinya keyakinan dan tingkah laku impulsif, saat perawat rawat inap jarang merasa lelah untuk bertemu dengan pasien, walaupun saat itu mereka merasa jenuh dalam bekerja tetapi hal itu tidak berpengaruh saat menghadapi pasien.
Optimism adalah kepercayaan perawat rawat inap untuk terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan diiringi oleh segala usaha untuk mewujudkannya. Kemampuan ini mendorong perawat rawat inap untuk menemukan solusi setiap permasalahan yang dialaminya dan tetap bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Misalnya saat bekerja, perawat rawat inap tetap belajar baik dari senior, atasan ataupun membaca buku untuk menambah pengetahuan dan saat mengalami suatu keadaan yang tidak menyenangkan
(26)
16 atau mengalami masalah, perawat rawat inap menjadikannya suatu pengalaman dan pembelajaran untuk mencapai kesuksesannya. Causal analysis adalah kemampuan perawat rawat inap untuk mengidentifikasi secara akurat penyebab dari permasalahan yang dihadapi. Kemampuan ini dimaksudkan agar perawat rawat inap dapat menjelaskan hal buruk dan baik yang menimpanya sehingga perawat rawat inap tidak terjebak pada pikiran buruk dan tidak terus-menerus membuat kesalahan yang sama. Misalnya saat membuat kesalahan seperti keliru dalam memberikan tindakan keperawatan, perawat rawat inap menyadari kurangnya pengetahuan yang dimiliki dan tidak fokus karena lelah sehingga terjadi kesalahan.
Empati adalah kemampuan perawat rawat inap untuk memahami pikiran dan perasaan pasien dan orang lain dengan cara menempatkan diri ke dalam kerangka psikologis orang lain. Seperti perawat rawat inap cukup mahir menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukan orang lain terutama pasien, sehingga perawat rawat inap mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi pasien, merasakan apa yang dirasakan oleh pasien dan memperkirakan maksud dari pasien. Self-efficacy adalah kepercayaan perawat rawat inap bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya atau hasil dari pemecahan permasalahan yang berhasil. Kemampuan ini membuat perawat rawat inap yakin bahwa dirinya mampu menghadapi dan mengatasi kesulitan yang muncul baik dalam dunia kerja ataupun lingkungan keluarga sehingga akan berpengaruh terhadap prestasi yang diraih perawat rawat inap rawat inap, kesehatan fisik maupun kesehatan mentalnya. Misalkan ketika perawat rawat inap pada saat-saat tertentu melayani banyak pasien karena kekurangan jumlah tenaga perawat rawat inap, ia mengganggap ini sebagai kesempatan untuk belajar agar bisa menangani pasien dengan lebih efektif dan merupakan suatu pengalaman agar menemukan strategi yang tepat saat menangani pasien dalam jumlah yang banyak tetapi dengan waktu yang cepat dan efektif.
(27)
17
Universitas Kristen Maranatha Reaching out adalah dalah kemampuan perawat rawat inap meraih aspek positif atau mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. Kemampuan ini membuat perawat rawat inap meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang mencakup pula keberanian untuk mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya. Misalkan perawat rawat inap melayani pasien dengan jumlah yang banyak sehingga menimbulkan tuntutan-tuntutan yang berbeda dari setiap pasien dan karena hal tersebut perawat rawat inap melakukan kesalahan seperti hampir salah memberikan obat pada pasien. Perawat rawat inap menghayati bahwa kesalahan yang dilakukannya terjadi karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan. Tetapi karena kesalahan yang dilakukannya, perawat rawat inap dapat menjadikannya sebagai bahan evaluasi dan membuat perawat rawat inap semakin giat belajar agar tidak terjadi kesalahan yang sama.
Penelitian yang dilakukan oleh Olson, et all (2015) pada pediatrik menunjukkan adanya hubungan positif antara self-compassion dengan resilience. Artinya semakin tinggi derajat self-compassion yang dimiliki perawat rawat inap yang ditunjukkan dengan memberikan pengertian pada kekurangan diri saat mengalami kesulitan, menyadari bahwa kesulitan saat menjalani pekerjaan yang dialami perawat rawat inap juga dialami oleh rekan perawat rawat inap yang lainnya, dan tidak melebih-lebihkan saat mengalami kegagalan. Maka semakin mampu juga perawat rawat inap beradaptasi saat mengalami tekanan atau hambatan sehingga Perawat rawat inap dapat bangkit kembali dan mampu mengatasi kesulitan apapun yang muncul dalam kehidupan, mampu menghadapi masalah, mampu mengontrol diri, dan mampu mengelola stres dengan cara mengubah cara berfikir ketika menghadapi masalah.
keterkaitan antara komponen self-compassion dengan resilience dapat dilihat ketika terjadi permasalahan atau perawat melakukan kesalahan, perawat yang memiliki self-kindness
(28)
18 yang tinggi saat melakukan kesalahan dalam proses dokumentasi akan memberikan toleransi pada dirinya, tidak mengkritik diri secara berlebihan sehingga dapat tetap tenang dan memikirkan solusi yang tepat untuk mengatasi masalahnya. Perawat yang memiliki common humanity yang tinggi saat melakukan kesalahan dalam asuhan keperawatan seperti hampir salah memberikan obat kepada pasien akan memandang bahwa masalah yang dihadapi merupakan hal yang wajar dialami semua orang, sehingga perawat dapat lebih cepat untuk mengatasi masalah dengan percaya akan kemampuannya untuk mengatasi masalah karena ia menganggap saat orang lain menghadapi masalah dan dapat mengatasinya, maka ia juga dapat mengatasinya. Hal ini akan mempengaruhi perawat untuk lebih termotivasi mengatasi permasalahannya. Kemudian perawat yang memiliki mindfulness yang tinggi akan lebih mudah untuk melihat masalah dengan seimbang dan tidak membesar-besarkan masalah. Hal ini dapat membuat perawat lebih mampu untuk mengidentifikasi penyebab dari masalahannya sehingga perawat dapat lebih cepat dalam mengatasi masalahnya. Seperti saat hampir salah memberikan obat kepada pasien, perawat mengetahui hal itu terjadi karena dirinya tidak fokus dan kurang konsentrasi sehingga perawat melihat kembali catatan dari pasien dan memberikan obat yang seharusnya.
Perawat rawat inap yang memiliki self-compassion yang tinggi akan mampu untuk mengontrol tingkah lakunya dengan cara mengevaluasi kebermanfaatan dari setiap tindakannya, perawat rawat inap juga menunjukkan usahanya untuk tetap tenang dan fokus saat menghadapi tekanan ataupun masalah sehingga perawat dapat mengidentifikasi penyebab dari masalahnya dan menemukan solusi yang tepat, maupun mampu untuk mengambil hikmah dari permasalahan tersebut. Hal ini dapat menumbuhkan rasa percaya diri perawat rawat inap bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi permasalahan, selain itu apabila ada pasien atau orang terdekatnya megalami masalah, perawat mampu untuk menempatkan dirinya kedalam kerangka psikologis pasien.
(29)
19 Dari uraian diatas, dapat digambarkan skema kerangka pikir sebagai berikut:
1. bagan kerangka pemikiran
Resilience
1. Regulasi emosi 2. Pengendalian
impuls 3. Optimism 4. Causal analysis 5. Empati
Perawat rawat inap
Self-compassion
Self-kindness
Common humanity
(30)
20
1.6 Asumsi
1. Perawat rawat inap di rumah sakit “X” Bandung memiliki derajat self-compassion dan resilience yang bervariasi.
2. Terdapat 3 komponen self-compassion pada perawat rawat inap di rumah sakit “X” Bandung, yaitu self-kindness, common humanity dan mindfulness.
3. Resilience pada perawat rawat inap di rumah sakit “X” Bandung terbentuk dari tujuh faktor yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimism, causal analysis, empati, self-efficacy dan reaching out.
4. Perawat dikatakan memiliki self-compassion yang tinggi apabila memiliki ketiga komponen self-compassion yang tinggi.
1.7 Hipotesis
a. Terdapat hubungan positif antara self-compassion dan resilience pada perawat rawat inap di rumah sakit “X” Bandung.
b. Terdapat hubungan positif antara Komponen Self-kindness dan resilience pada perawat rawat inap di rumah sakit “X” Bandung
c. Terdapat hubungan positif antara Komponen Common Humanity dan resilience pada perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” Bandung.
d. Terdapat hubungan positif antara Komponen Mindfulness dan resilience pada perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” Bandung.
(31)
60
Universitas Kristen Maranatha BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara Self-compassion dengan Resilience pada perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” Bandung, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Self-compassion berkorelasi positif pada taraf moderat dengan resilience. Artinya semakin tinggi self-compassion pada perawat rawat inap, maka semakin tinggi juga resilience yang dimiliki. Sebaliknya semakin rendah self-compassion yang dimiliki perawat rawat inap, maka semakin rendah juga resilience yang dimilikinya.
b. Komponen self-kindness dan mindfulness berkorelasi positif pada taraf moderat dengan resilience. Sedangkan komponen common humanity berkorelasi positif pada taraf rendah dengan resilience.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoretis
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, beberapa saran yang dapat diberikan bagi peneliti selanjutnya adalah:
a. Bagi Peneliti selanjutnya, disarankan untuk meneliti lebih lanjut mengenai kontribusi self-compassion dengan resilience sehingga dapat menghasilkan gambaran yang lebih lengkap mengenai pengaruh setiap komponen self-compassion terhadap tinggi rendahnya resilience.
(32)
61 b. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk menyertakan faktor yang mempengaruhi
resilience. 5.2.2 Saran Praktis
Bagi pihak Rumah Sakit dan perawat yang ada di Rumah Sakit “X” Bandung, berikut beberapa saran yang dapat disampaikan peneliti terkait penelitian mengenai Self-compassion dan Resilience pada perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” Bandung:
a. Bagi perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” Bandung yang memiliki self-compassion yang rendah atau yang ingin meningkatkan self-compassion yang dimilikinya disarankan untuk dapat lebih terbuka dan berbagi cerita/masalah yang dihadapi dengan teman atau orang-orang terdekatnya agar dapat memiliki sudut pandang yang lebih luas terhadap permasalahannya, sehingga ia dapat melihat bahwa umumnya setiap orang pernah mengalami kegagalan. Hal ini dapat membuat perawat rawat inap dapat lebih menerima kegagalan atau masalahnya, dapat mengendalikan emosinya dan lebih menyayangi dirinya.
b. Bagi pihak Rumah Sakit, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk untuk menyediakan sarana bagi perawat rawat inap untuk berdiskusi, berkonsultasi dan membicarakan permasalahan yang mereka hadapi, baik permasalahan dalam pekerjaan maupun permasalahan pribadi. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan dan mempertahankan self-compassion yang dimilikinya.
(33)
KORELASI ANTARA SELF-COMPASSION DENGAN RESILIENCE
PADA PERAWAT RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT
“X”
BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung
Oleh :
FINE CAROLINE KEZIA NRP: 1130148
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG
(34)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Tujuan pembuatan skripsi ini ada-lah dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Skripsi yang berjudul “Korelasi antara Self-compassion dengan Resilience pada perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” Bandung”
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak yang berupa dukungan, saran, serta kritik. Untuk itu peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. DR. Irene P. Edwina, M.SI., Psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas kristen Maranatha
2. Vida Handayani, M.Psi., Psikolog selaku pembimbing utama yang dengan sabar telah membimbing dan memberi masukan serta dukungan selama proses pembuatan skripsi ini.
3. Dra. Sumiarti S., Psikolog selaku pembimbing pendamping yang dengan sabar telah membimbing dan telah memberi masukan serta dukungan selama proses pembuatan skripsi ini.
4. Perawat rawat inap Rumah Sakit “X” Bandung yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner dari survei awal hingga pengambilan data.
5. Pengurus bagian Diklat Rumah Sakit “X” Bandung yang bersedia membantu dari awal. 6. Kepala perawat Rumah Sakit “X” Bandung yang bersedia di wawancara untuk survei
(35)
v
7. Kepala ruangan WW3, SW3, WW4, SW4, Paviliun, Pediatrik, NW5, NW6, Critical care, dan kepala Kebidanan & Kandungan yang membantu untuk mengkoordinir perawat rawat inap.
8. Kedua orang tua, dan saudara terkasih, Ko Natan, Ko Alfin, Ce Eflin yang selalu mendukung dan selalu mendoakan untuk kelancaran skripsi ini dari awal sampai akhir. 9. Agnes, Erdita, Jaini, Rosy, Sharleen, Vensca, Vicanada, Wulan dan teman-teman
lainnya yang selalu mendukung dan mengingatkan untuk mengerjakan serta memberikan banyak bantuan dalam penyusunan skripsi ini.
10.Pihak-pihak yang telah banyak membantu peneliti yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu
Peneliti menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan dalam tugas ini, oleh karena itu penelti mengharapkan saran, pendapat, ataupun kritik dari pembaca. Akhir kata peneliti ucapkan terimakasih atas perhatiannya, semoga apa yang terdapat dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Bandung, Mei 2017 Peneliti
Fine Caroline Kezia NRP: 1130148
(36)
62
DAFTAR PUSTAKA
Adams, R.E., Boscarino, J.A., & Figley, C.R. (2006). Compassion fatigue and psychological distress among social workers: A validation study. American Journal of Orthopsychiatry,76(1), 103-108.
Allen, A., & Leary, M. R. (2010). Self-compassion, stress, and coping. Social and Personality Psychology Compass, 4(2), 107-118.
Brown, K. W., & Ryan, R. M. (2003). The benefits of being present: Mindfulness and its role in psychological well-being. Journal of Personality & Social Psychology, 84, 822–848.
Dermawan, Deden. 2013. Pengantar Keperawatan Profesional. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Fraenkel, J. P. & Wallen N. E. (2008). How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill Companies, Inc
Friedenberg, Lisa. (1995). Pshychological testing: design, analysis, and use. United States: Alyn & Bacon.
Hayter, M. R., & Dorstyn, D. S. (2013). Resilience, self-esteem and self-compassion in adults with spina bifida. Spinal cord.
Hidayat, A. Aziz Alimul, 2004. Pengantar Konsep keperawatan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Kemper, K. J., Mo, X., & Khayat, R. (2015). Are mindfulness and self-compassion associated with sleep and resilience in health professionals?. The Journal of Alternative and
Complementary Medicine.
Leary, M. R., Tate, E. B., Adams, C. E., Allen, A. B., & Hancock, J. (2007). Self-compassion and reactions to unpleasant self-relevant events: The implications of treating oneself
kindly. Journal of Personality and Social Psychology, 92, 887–904.
Lumenta, Benyamin, 1989. Pasien, Citra, Peran dan Perilaku, Tinjauan Fenomena Sosial. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
(37)
63
Universitas Kristen Maranatha Manurung, Santa. 2011. Keperawatan Profesional. Jakarta : CV. Trans Info Media.
Neff, K. D. (2003a). Development and validation of a scale to measure self-compassion. Self and Identity, 2, 223-250.
————. (2003b). Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself. Self and Identity, 2, 85-102.
————. 2011. Self Compassion. New York : HaperCollins Publishers.
Neff, K. D. & McGeehee, P. (2010). Self-compassion and psychological resilience among adolescents and young adults. Self and Identity, 9, 225-240.
Olson, K., Kemper, K. J., Mahan J. D. (2015). What factors promote resilience and protect against burnout in first-year pediatric and medicine-pediatric resident?. Journal of Envidence-Based Complementary & Alternative Medicine, 1-7.
Reivich, K., & Shatte, A. 2002. The Resilience Factor. New York : Broadway Books.
Rifiani, N., & Sulihandari H. 2013. Prinsip-Prinsip Dasar Keperawatan. Jakarta : Dunia Cerdas.
Smith, J. L. (2015). Self-compassion and resilience in senior living residents. Seniors Housing & Care Journal, 23(1), 16-31.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta
————. 2013. Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta.
(38)
64
DAFTAR RUJUKAN
Departemen kesehatan. (2009). (Online), Peraturan Undang-undang U No.44 Tahun 2009 (http://www.depkes.go.id/resources/download/peraturan/UU%20No.%2044%20Th%20 2009%20ttg%20Rumah%20Sakit.PDF, diakses 10 Oktober 2015).
Hidayat, Sianiwati S, dkk. 2015. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Kemenko PMK. (2014). (Online), Undang-undang nomor 36 tahun 2014 (https://www.kemenkopmk.go.id/content/uu-nomor-36-tahun-2014, diakses 10 Oktober 2015).
Kristiani, Inge. 2015. pengaruh resiliensi terhadap burnout pada perawat rumah sakit A dan rumah sakit P di Surabaya. Surabaya : Widya Mandala Catholic University.
Lailani, Fereshti. (2015). Efikasi diri sebagai internal buffer terhadap burnout. Talenta Psikologi, IV(1), 35-58. (Online),
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=380264&val=5790&title=EFIK ASI%20DIRI%20SEBAGAI%20INTERNAL%20BUFFER%20TERHADAP%20BU RNOUT)
Missiliana. 2014. Self –Compassion dan Compassion For Others pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UK. Maranatha. Bandung : Universitas Kristen Maranatha.
Rachmawati, Evi. 12 Mei 2007. 50,9 Persen Perawat Alami Stres Kerja. (Online), (http://www2.kompas.com/Ver1/kesehatan/0705/12/14 3801.htm, diakses 10 Oktober 2015)
Rumah Sakit Advent. (tanpa tahun). (Online), Visi, Misi, Motto dan Budaya (http://www.rsadvent-bandung.com/about2-c1520, diakses 29 Juli 2016).
(1)
KORELASI ANTARA SELF-COMPASSION DENGAN RESILIENCE
PADA PERAWAT RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT
“X”
BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung
Oleh :
FINE CAROLINE KEZIA NRP: 1130148
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG
(2)
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Tujuan pembuatan skripsi ini ada-lah dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Skripsi yang berjudul “Korelasi antara
Self-compassion dengan Resilience pada perawat rawat inap di Rumah Sakit “X” Bandung” Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak yang berupa dukungan, saran, serta kritik. Untuk itu peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. DR. Irene P. Edwina, M.SI., Psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas kristen Maranatha
2. Vida Handayani, M.Psi., Psikolog selaku pembimbing utama yang dengan sabar telah membimbing dan memberi masukan serta dukungan selama proses pembuatan skripsi ini.
3. Dra. Sumiarti S., Psikolog selaku pembimbing pendamping yang dengan sabar telah membimbing dan telah memberi masukan serta dukungan selama proses pembuatan skripsi ini.
4. Perawat rawat inap Rumah Sakit “X” Bandung yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner dari survei awal hingga pengambilan data.
5. Pengurus bagian Diklat Rumah Sakit “X” Bandung yang bersedia membantu dari awal. 6. Kepala perawat Rumah Sakit “X” Bandung yang bersedia di wawancara untuk survei
(3)
v
7. Kepala ruangan WW3, SW3, WW4, SW4, Paviliun, Pediatrik, NW5, NW6, Critical
care, dan kepala Kebidanan & Kandungan yang membantu untuk mengkoordinir
perawat rawat inap.
8. Kedua orang tua, dan saudara terkasih, Ko Natan, Ko Alfin, Ce Eflin yang selalu mendukung dan selalu mendoakan untuk kelancaran skripsi ini dari awal sampai akhir. 9. Agnes, Erdita, Jaini, Rosy, Sharleen, Vensca, Vicanada, Wulan dan teman-teman
lainnya yang selalu mendukung dan mengingatkan untuk mengerjakan serta memberikan banyak bantuan dalam penyusunan skripsi ini.
10.Pihak-pihak yang telah banyak membantu peneliti yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu
Peneliti menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan dalam tugas ini, oleh karena itu penelti mengharapkan saran, pendapat, ataupun kritik dari pembaca. Akhir kata peneliti ucapkan terimakasih atas perhatiannya, semoga apa yang terdapat dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Bandung, Mei 2017 Peneliti
Fine Caroline Kezia NRP: 1130148
(4)
62
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Adams, R.E., Boscarino, J.A., & Figley, C.R. (2006). Compassion fatigue and psychological distress among social workers: A validation study. American Journal of
Orthopsychiatry,76(1), 103-108.
Allen, A., & Leary, M. R. (2010). Self-compassion, stress, and coping. Social and Personality
Psychology Compass, 4(2), 107-118.
Brown, K. W., & Ryan, R. M. (2003). The benefits of being present: Mindfulness and its role in psychological well-being. Journal of Personality & Social Psychology, 84, 822–848.
Dermawan, Deden. 2013. Pengantar Keperawatan Profesional. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Fraenkel, J. P. & Wallen N. E. (2008). How to Design and Evaluate Research in
Education. New York: McGraw-Hill Companies, Inc
Friedenberg, Lisa. (1995). Pshychological testing: design, analysis, and use. United States: Alyn & Bacon.
Hayter, M. R., & Dorstyn, D. S. (2013). Resilience, self-esteem and self-compassion in adults with spina bifida. Spinal cord.
Hidayat, A. Aziz Alimul, 2004. Pengantar Konsep keperawatan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Kemper, K. J., Mo, X., & Khayat, R. (2015). Are mindfulness and self-compassion associated with sleep and resilience in health professionals?. The Journal of Alternative and Complementary Medicine.
Leary, M. R., Tate, E. B., Adams, C. E., Allen, A. B., & Hancock, J. (2007). Self-compassion and reactions to unpleasant self-relevant events: The implications of treating oneself kindly. Journal of Personality and Social Psychology, 92, 887–904.
Lumenta, Benyamin, 1989. Pasien, Citra, Peran dan Perilaku, Tinjauan Fenomena Sosial. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
(5)
63
Universitas Kristen Maranatha
Manurung, Santa. 2011. Keperawatan Profesional. Jakarta : CV. Trans Info Media.
Neff, K. D. (2003a). Development and validation of a scale to measure self-compassion. Self
and Identity, 2, 223-250.
————. (2003b). Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself. Self and Identity, 2, 85-102.
————. 2011. Self Compassion. New York : HaperCollins Publishers.
Neff, K. D. & McGeehee, P. (2010). Self-compassion and psychological resilience among adolescents and young adults. Self and Identity, 9, 225-240.
Olson, K., Kemper, K. J., Mahan J. D. (2015). What factors promote resilience and protect against burnout in first-year pediatric and medicine-pediatric resident?. Journal of
Envidence-Based Complementary & Alternative Medicine, 1-7.
Reivich, K., & Shatte, A. 2002. The Resilience Factor. New York : Broadway Books.
Rifiani, N., & Sulihandari H. 2013. Prinsip-Prinsip Dasar Keperawatan. Jakarta : Dunia Cerdas.
Smith, J. L. (2015). Self-compassion and resilience in senior living residents. Seniors Housing
& Care Journal, 23(1), 16-31.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta
————. 2013. Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta.
(6)
64
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Departemen kesehatan. (2009). (Online), Peraturan Undang-undang U No.44 Tahun 2009 (http://www.depkes.go.id/resources/download/peraturan/UU%20No.%2044%20Th%20 2009%20ttg%20Rumah%20Sakit.PDF, diakses 10 Oktober 2015).
Hidayat, Sianiwati S, dkk. 2015. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Kemenko PMK. (2014). (Online), Undang-undang nomor 36 tahun 2014 (https://www.kemenkopmk.go.id/content/uu-nomor-36-tahun-2014, diakses 10 Oktober 2015).
Kristiani, Inge. 2015. pengaruh resiliensi terhadap burnout pada perawat rumah sakit A dan
rumah sakit P di Surabaya. Surabaya : Widya Mandala Catholic University.
Lailani, Fereshti. (2015). Efikasi diri sebagai internal buffer terhadap burnout. Talenta
Psikologi, IV(1), 35-58. (Online),
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=380264&val=5790&title=EFIK ASI%20DIRI%20SEBAGAI%20INTERNAL%20BUFFER%20TERHADAP%20BU RNOUT)
Missiliana. 2014. Self –Compassion dan Compassion For Others pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UK. Maranatha. Bandung : Universitas Kristen Maranatha.
Rachmawati, Evi. 12 Mei 2007. 50,9 Persen Perawat Alami Stres Kerja. (Online), (http://www2.kompas.com/Ver1/kesehatan/0705/12/14 3801.htm, diakses 10 Oktober 2015)
Rumah Sakit Advent. (tanpa tahun). (Online), Visi, Misi, Motto dan Budaya (http://www.rsadvent-bandung.com/about2-c1520, diakses 29 Juli 2016).