Perbedaan Zona Hambat Ekstrak Kayu Siwak (Salvadora persica) dan Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap pertumbuhan Candida albicans Chapter III VI
23
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Eksperimental Laboratorium
dengan rancangan
penelitian Post Test Control Group Design yaitu melakukan pengukuran atau
observasi sesudah perlakuan diberikan.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Pembuatan ekstrak kayu siwak dan ekstrak temulawak dilakukan di
Laboratorium Obat Tradisional Fakultas Farmasi USU. Pengambilan sampel,
penanaman dan pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK USU.
3.2.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian adalah ± 3 bulan yaitu Maret – Mei 2016.
3.3 Populasi, Sampel dan Besar Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah jamur Candida albicans
3.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan adalah biakan Candida albicans (ATCC® 10231™) yang
diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi FK USU.
3.3.3 Besar Sampel
Dalam menghitung besar sampel penelitian eksperimental digunakan rumus
Federer. Rumus besar sampel Federer yaitu:
(t – 1) (r – 1) ≥ 15
Universitas Sumatera Utara
24
Keterangan
:
t
: Jumlah perlakuan
r
: Jumlah sampel dalam setiap kelompok
Penelitian ini menggunakan 2 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri
atas:
1. Kelompok I: Ekstrak kayu siwak
a. Perlakuan 1
: Ekstrak kayu siwak 50%
b. Perlakuan 2
: Ekstrak kayu siwak 25%
c. Perlakuan 3
: Ekstrak kayu siwak 12,5%
d. Perlakuan 4
: Ekstrak kayu siwak 6,25%
2. Kelompok II: Ekstrak temulawak
a. Perlakuan 1
: Ekstrak temulawak 50%
b. Perlakuan 2
: Ekstrak temulawak 25%
c. Perlakuan 3
: Ekstrak temulawak 12,5%
d. Perlakuan 4
: Ekstrak temulawak 6,25%
Jadi perlakuannya (t) adalah : 8
(8 - 1) . (r - 1) ≥ 15
7 . (r - 1)
≥ 15
7r – 7
≥ 15
7r
≥ 22
r
≥ 22/7
r
≥ 3,14
r
≥ 4
Jumlah perlakuan ulang sampel r minimum yang diperlukan adalah 4, artinya pada
kelompok ekstrak kayu siwak dan kelompok ekstrak temulawak dilakukan masingmasing 4 kali pengulangan setiap perlakuan.
Universitas Sumatera Utara
25
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Kayu siwak yang memiliki kriteria :
a. Kayu siwak yang berwarna cokelat muda
2. Rimpang temulawak yang memiliki kriteria :
a. Rimpang temulawak yang segar
b. Rimpang temulawak berwarna jingga tua
3. Sampel Candida albicans ATCC 10231 yang diperoleh dari Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU Medan
3.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Kayu siwak yang memiliki kriteria :
a. Kayu siwak yang sudah busuk
b. Kayu siwak berwarna cokelat gelap
2. Rimpang temulawak yang memiliki kriteria :
a. Rimpang temulawak yang berwarna gelap
b. Rimpang temulawak yang keriput
Universitas Sumatera Utara
26
3.5 Variabel Penelitian
Variabel tidak terkendali :
Keadaan tanah, curah hujan, dan
lingkungan asal kayu siwak
Keadaan tanah, curah hujan, dan
lingkungan asal temulawak
Variabel bebas :
Variabel tergantung :
Ekstrak kayu siwak
konsentrasi 50%; 25%;
12,5%; 6,25%
Ekstrak temulawak
konsentrasi 50%; 25%;
12,5%; 6,25%
Pengukuran zona hambat
pada uji sensitivitas jamur
Candida albicans
Variabel terkendali :
Media pertumbuhan Candida albicans yaitu
Mueller Hinton Agar (MHA)
Suhu inkubasi (37ºC)
Waktu inkubasi (24 jam-48 jam)
Alat pengukur zona hambat (kaliper geser)
Sterilisasi alat, bahan coba dan media
Waktu pengamatan
Asal kayu siwak dan temulawak (geografis)
Lamanya penyimpanan kayu siwak setelah
diproduksi
Lamanya penyimpanan temulawak setelah
dipetik
Universitas Sumatera Utara
27
3.5.1 Variabel bebas
a. Ekstrak kayu siwak konsentrasi 50%; 25%; 12,5%; 6,25%
b. Ekstrak temulawak konsentrasi 50%; 25%; 12,5%; 6,25%
3.5.2 Variabel tergantung
Pengukuran zona hambat pada uji sensitivitas jamur Candida albicans
3.5.3 Variabel terkendali
Media untuk menumbuhkan Candida albicans yaitu Mueller Hinton Agar
(MHA)
Suhu inkubasi (37ºC)
Waktu inkubasi yaitu 24 - 48 jam
Alat pengukur zona hambat (kaliper geser)
Sterilisasi alat yang digunakan, bahan coba dan media
Waktu pengamatan
Asal kayu siwak dan temulawak (geografis)
Lamanya penyimpanan kayu siwak setelah diproduksi
Lamanya penyimpanan temulawak setelah dipetik
3.5.4 Variabel tidak terkendali
Keadaan tanah, curah hujan, dan lingkungan asal kayu siwak
Keadaan tanah, curah hujan, dan lingkungan asal temulawak
Universitas Sumatera Utara
28
3.6 Definisi Operational
a. Ekstrak kayu siwak adalah sediaan pekat/kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari kayu siwak menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian
hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang diperoleh memenuhi
standar baku yang telah ditetapkan
b. Ekstrak temulawak adalah sediaan pekat/kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari rimpang temulawak menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang diperoleh
memenuhi standar baku yang telah ditetapkan
c. Ekstrak kayu siwak 50% dan ekstrak temulawak 50% adalah hasil pelarutan
ekstrak kayu siwak dan temulawak masing-masing 500 mg dalam aquabidest untuk
ekstrak kayu siwak dan DMSO untuk ekstrak temulawak sebanyak 1 ml
d. Ekstrak kayu siwak 25% dan ekstrak temulawak 25% adalah hasil pelarutan
ekstrak kayu siwak dan temulawak masing-masing 250 mg dalam aquabidest untuk
ekstrak kayu siwak dan DMSO untuk ekstrak temulawak sebanyak 1 ml
e. Ekstrak kayu siwak 12,5% dan ekstrak temulawak 12,5% adalah hasil
pelarutan ekstrak kayu siwak dan temulawak masing-masing 125 mg dalam
aquabidest untuk ekstrak kayu siwak dan DMSO untuk ekstrak temulawak sebanyak
1 ml
f. Ekstrak kayu siwak 6,25% dan ekstrak temulawak 6,25% adalah hasil
pelarutan ekstrak kayu siwak dan temulawak masing-masing 62,5 mg dalam
aquabidest untuk ekstrak kayu siwak dan DMSO untuk ekstrak temulawak sebanyak
1 ml
g. Candida albicans adalah salah satu jenis jamur yang berbentuk bulat atau
lonjong dan biasanya berwarna putih dengan permukaan yang halus dan disebut
sebagai jamur dimorfik
h. Mueller Hinton Agar (MHA) merupakan media yang dipakai untuk melihat
daya hambat suatu bakteri atau jamur terhadap bahan coba
Universitas Sumatera Utara
29
i. Tipe Candida albicans ATCC 10231 adalah produk yang dihasilkan oleh
American Type Culture Collection, dimana produk ini ditujukan hanya untuk
penelitian, bukan untuk tujuan diagnostik ataupun terapeutik
j. Zona hambat adalah daerah bebas koloni (zona bening) yang diukur dengan
menggunakan kaliper dengan menghitung diameter vertikal dan diameter horizontal.
3.7 Alat dan bahan penelitian
3.7.1 Alat penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah :
a. Timbangan
b. Timbangan analitik
c. Kertas perkamen 3 kajang
d. Blender
e. Kapas dan kertas saring
f. Aluminium foil 1 gulungan
g. Perkolator
h. Erlenmeyer
i. Vaccum rotavapor
j. Vortex
k. Inkubator
l. Pipet mikro, ose dan spiritus
m. Piring petri
3.7.2 Bahan penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah :
Batang siwak 500 gram
Rimpang temulawak 500 mg
Etanol 96% dan Etanol 70% 6 liter
Media Mueller Hinton Agar (MHA)
Universitas Sumatera Utara
30
Candida albicans ATCC 10231 (Laboratarium Mikrobiologi FK USU
Medan), NaCl 0,9
3.8 Prosedur Penelitian
3.8.1 Pembuatan Simplisia dan Ekstrak Kayu Siwak
a. Pembuatan Simplisia
Siwak (Salvadora persica) dibuka dari kemasan dan ditimbang sebanyak 500
gram. Batang siwak kemudian dipotong kecil-kecil, kemudian dikeringkan di dalam
lemari pengering dengan suhu 40oC selama 14 hari. Proses pengeringan dilakukan
lebih lama karena kayu siwak mengandung komposisi air yang tinggi. Tanaman
dikatakan sudah kering apabila batang siwak telah mudah dipatahkan. Batang siwak
yang telah dikeringkan tersebut kemudian ditimbang kembali dan diperoleh 250 gram
batang siwak yang telah kering. Selanjutnya siwak dihaluskan dengan blender dan
didapat serat-serat halus batang siwak atau simplisia (Gambar 6).
Gambar 6. Simplisia Kayu Siwak
(Dokumentasi)
b. Pembuatan Ekstrak Kayu Siwak
Sebanyak 250 gram simplisia diletakkan ke dalam bejana tertutup dan dimaserasi
dengan etanol 70% selama 15 menit dengan suhu 25oC. Perkolator disiapkan dengan
cara meletakkan kapas secukupnya yang telah dibasahi dengan etanol pada bagian
dasar wadah perkolator, kemudian di atas kapas tersebut diletakkan kertas saring
Universitas Sumatera Utara
31
sebanyak 2 lembar. Kemudian massa simplisia yang telah direndam tersebut
dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator dimulai dari bagian tengah
hingga ke tepi perkolator dengan hati-hati sambil sesekali ditekan. Kemudian etanol
70% dituangkan ke dalam perkolator dan massa disaring dengan lapisan kertas saring
sampai cairan tersebut mulai menetes dan diatas simplisia masih terdapat selapis
cairan penyaring untuk mengetahui apakah perkolator sudah berfungsi dengan baik.
Kemudian perkolator ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan selama 24 jam
(Gambar 7).
Gambar 7. Proses Perkolasi
(Dokumentasi)
Setelah 24 jam, perkolator dibuka kembali dan cairan dibiarkan menetes dengan
kecepatan 1 ml per menit atu 20 tetes per menit. Tambahkan berulang-ulang etanol
70% secukupnya sehingga selalu terdapat cairan diatas simplisia dan diperoleh
ekstrak cair.
Setelah proses perkolasi selesai, dilakukan proses rotavaporasi yang bertujuan
untuk menguapkan etanol yang terdapat pada larutan. Ambil panci dan masukkan
hasil perkolasi kedalam panci tersebut (Gambar 8A). Kemudian diaduk sampai
mengental. Setelah mengental dan volumenya sudah berkurang, pindahkan larutan ke
Universitas Sumatera Utara
32
cawan yang lebih kecil agar lebih mudah diaduk. Cawan dipanaskan diatas beaker
glass yang berisi air (Gambar 8B). Setelah menjadi ekstrak kental hentikan proses
rotavaporasi dan dimasukkan ke dalam botol plastik, lalu disimpan di tempat sejuk.
B
A
Gambar 8. (A) Proses Rotavaporasi (Dokumentasi)
(B) Ekstrak Kental (Dokumentasi)
3.8.2 Pembuatan Simplisia dan Ekstrak Temulawak
a. Pembuatan Simplisia
Rimpang temulawak sebanyak 500 gr dibersihkan terlebih dahulu. Kemudian
rimpang temulawak diiris tipis-tipis lalu dimasukkan ke dalam lemari pengering
dengan suhu 40oC selama 10 hari. Rimpang temulawak sudah dikatakan kering jika
rimpang tersebut mudah dipatahkan. Rimpang temulawak yang telah dikeringkan
tersebut kemudian ditimbang kembali dan diperoleh 250 gram rimpang temulawak
yang telah kering. Selanjutnya rimpang temulawak dihaluskan dengan blender dan
didapat serat-serat halus dari rimpang temulawak atau simplisia (Gambar 9).
Universitas Sumatera Utara
33
Gambar 9. Simplisia Temulawak
(Dokumentasi)
b. Pembuatan Ekstrak Temulawak
Sebanyak 250 gram simplisia diletakkan ke dalam bejana tertutup dan dimaserasi
dengan etanol 96% selama 15 menit dengan suhu 25oC. Perkolator disiapkan dengan
cara meletakkan kapas secukupnya yang telah dibasahi dengan etanol pada bagian
dasar wadah perkolator, kemudian di atas kapas tersebut diletakkan kertas saring
sebanyak 2 lembar. Kemudian massa simplisia yang telah direndam tersebut
dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator dimulai dari bagian tengah
hingga ke tepi perkolator dengan hati-hati sambil sesekali ditekan. Kemudian etanol
96% dituangkan ke dalam perkolator dan massa disaring dengan lapisan kertas saring
sampai cairan tersebut mulai menetes dan diatas simplisia masih terdapat selapis
cairan penyaring untuk mengetahui apakah perkolator sudah berfungsi dengan baik.
Kemudian perkolator ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan selama 24 jam
(Gambar 7).
Setelah 24 jam, perkolator dibuka kembali dan cairan dibiarkan menetes dengan
kecepatan 1 ml per menit atu 20 tetes per menit. Tambahkan berulang-ulang etanol
96% secukupnya sehingga selalu terdapat cairan diatas simplisia dan diperoleh
ekstrak cair.
Setelah proses perkolasi selesai, dilakukan proses rotavaporasi yang bertujuan
untuk menguapkan etanol yang terdapat pada larutan. Ambil panci dan masukkan
hasil perkolasi kedalam panci tersebut (Gambar 8A). Kemudian diaduk sampai
Universitas Sumatera Utara
34
mengental. Setelah mengental dan volumenya sudah berkurang, pindahkan larutan ke
cawan yang lebih kecil agar lebih mudah diaduk (Gambar 8B). Cawan dipanaskan
diatas beaker glass yang berisi air. Setelah menjadi ekstrak kental hentikan proses
rotavaporasi dan dimasukkan ke dalam botol plastik, lalu disimpan di tempat sejuk.
3.8.3 Pembuatan Suspensi Candida albicans (ATCC® 10231™)
Candida albicans (ATCC® 10231™) (Gambar 10A) diambil menggunakan 1-2
ose lalu diencerkan dengan NaCl 0,9% steril dan disesuaikan kekeruhannya dengan
standar larutan Mc Farland 0,5 (Gambar 10B).
A
B
Gambar 10. (A) Candida Albicans ATCC 10231 (Dokumentasi)
(B) Suspensi Candida albicans dengan standar 0,5
Mc Farland (Dokumentasi)
3.8.4 Pengujian Ekstrak Kayu Siwak dan Ekstrak Temulawak pada
Candida albicans ATCC 10231
1. Untuk mendapatkan konsentrasi masing-masing ekstrak (kayu siwak dan
temulawak) sebanyak 50%, 25%, 12,5% dan 6,25%, masing-masing dilarutkan
dalam aquabides untuk ekstrak kayu siwak dan dimetil sulfoksida (DMSO) untuk
ekstrak temulawak. Ekstrak yang telah dilarutkan sesuai konsentrasi, kemudian
dimasukkan kedalam botol yang telah steril dan masing-masing divortex hingga
homogen (Gambar 11).
Universitas Sumatera Utara
35
A
B
Gambar 11. (A) Ekstrak kayu siwak yang telah diencerkan ke berbagai konsentrasi
(Dokumentasi)
(B) Ekstrak temulawak yang telah diencerkan ke berbagai konsentrasi
(Dokumentasi)
2. Sediakan 32 Disk steril
dan teteskan dengan ekstrak kayu siwak dan
temulawak dengan konsentrasi masing-masing 50%, 25%, 12,5% dan 6,25%.
3. Sediakan 8 Cawan Petri yang berisi MHA, kemudian ambil biakan Candida
albicans dengan menggunakan ose masukkan ke media lalu distreak/gores dan disk
yang telah ditetesi dengan ekstrak kayu siwak dan ekstrak temu lawak dengan
konsentrasi masing-masing 50%, 25%, 12,5% dan 6,25%, diletakkan ke media MHA
di Cawan Petri dengan pinset dengan cara menekankan sedikit ke media MHA.
Inkubasi pada temperature 370 selama 24 jam. Setelah 24 jam dapat diamati hasil
kultur.
Universitas Sumatera Utara
36
A
B
Gambar 12. (A) Uji ekstrak kayu siwak terhadap Candida albicans (Dokumentasi)
(B) Uji ekstrak temulawak terhadap Candida albicans (Dokumentasi)
4. Amati zona hambat yang terjadi disekitar masing-masing disk. Kemudian
dilakukan pengukuran diameter yang bebas koloni (zona bening) dengan
menggunakan kaliper geser.
5. Zona hambat yang terbentuk diukur sebanyak dua kali yaitu pengukuran
secara diameter vertikal dan diameter horizontal. Kemudian hasilnya ditambahkan
dan dibagi dua. Catat hasilnya.
= Diameter vertikal
= Diameter horizontal
6.
= Disk
= Zona hambat
Diameter Zona hambat = Diameter horizontal + Diameter vertikal
2
3.9 Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini diproses dan diolah secara
komputerisasi. Adapun uji statistik yang digunakan dalam penelitian untuk
mendapatkan nilai zona hambat dari pengulangan perlakuan adalah uji Deskriptif
Universitas Sumatera Utara
37
yaitu mean dan standar deviasi. Sedangkan untuk mencari perbedaan yang signifikan
antara zona hambat dari ekstrak kayu siwak dan ekstrak temulawak terhadap jamur
Candida albicans ATCC 10231 digunakan Uji statistik T-Test Independent
Universitas Sumatera Utara
38
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai “Perbedaan Zona Hambat Ekstrak Kayu Siwak
(Salvadora persica) dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Terhadap
Pertumbuhan Candida albicans”. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
biakan Candida albicans (ATCC® 10231™). Adapun jumlah sampel pada penelitian
ini yaitu satu biakan Candida albicans. Sampel Candida albicans (ATCC® 10231™)
diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU Medan.
Setelah proses ekstraksi didapat masing-masing ekstrak kayu siwak dan
ekstrak temulawak dengan konsentrasi 100%, dan dilakukan pengenceran sesuai
kebiasaan di laboratorium yaitu memakai aquabidest untuk ekstrak kayu siwak dan
larutan DMSO (Dimethyl Sufoxide) untuk ekstrak temulawak sehingga pada setiap
botol plastik diperoleh masing-masing ekstrak dengan konsentrasi 50%, 25%, 12,5%
dan 6,25%. Setelah itu dimasukkan 4 disk kosong pada masing-masing tabung dan
dibiarkan selama 15 menit. Kemudian siapkan 4 cawan petri yang berisi media MHA
untuk ekstrak kayu siwak dan 4 cawan petri yang berisi media MHA untuk ekstrak
temulawak. Kemudian ambil suspensi Candida albicans dengan menggunakan kapas
lidi lalu masukkan ke dalam masing-masing media MHA dengan metode streak atau
gores berulang-ulang secara merata.
Selanjutnya disk dari masing-masing konsentrasi dikeluarkan dan diletakkan
dengan cara sedikit menekan pada cawan petri yang sudah diberi tanda konsentrasi
tersebut. Setelah itu dilakukan proses inkubasi dalam inkubator selama 24 jam pada
suhu 37oC, lalu dilakukan pengamatan ada atau tidaknya zona bening pada semua
piring petri yang berisi bahan uji.
Penelitian ini dilakukan pengulangan sebanyak empat kali dan dilakukan
pengukuran diameter zona hambat secara horizontal dan vertikal. Terbentuknya zona
hambat di sekitar koloni jamur menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan
jamur uji. Zona hambat dinyatakan dalam millimeter (mm) yang diukur dari diameter
zona hambat yang terbentuk yaitu diameter horizontal ditambah diameter vertikal
Universitas Sumatera Utara
39
kemudian dibagi dua. Semakin luas zona hambat menunjukkan semakin tinggi
aktivitas antifungal kayu siwak dan temulawak.
Gambar 13. Pengukuran zona hambat dengan
kaliper (Dokumentasi)
4.1 Zona Hambat Ekstrak Kayu Siwak terhadap Pertumbuhan Candida
albicans
Dapat diketahui dari keempat pengulangan yang dilakukan, pada konsentrasi
6,25%, 12,5%, 25% dan 50% masing-masing terlihat adanya zona hambat yang
terbentuk (Gambar 14).
Gambar 14. Hasil percobaan ekstrak kayu
siwak (Dokumentasi)
Universitas Sumatera Utara
40
Pada tabel 1 menunjukkan bahwa ekstrak kayu siwak konsentrasi 6,25% (8,37
± 0,478 mm) menurut David dan Stout dalam menghambat pertumbuhan Candida
albicans dikategorikan sedang, ekstrak kayu siwak konsentrasi 12,5% (10,37 ± 0,250
mm) dikategorikan kuat, ekstrak kayu siwak konsentrasi 25% (12,50 ± 0,707 mm)
dikategorikan kuat dan ekstrak kayu siwak konsentrasi 50% (14,75 ± 0,500 mm)
dikategorikan kuat.
Tabel 1. Perbedaan rerata zona hambat ekstrak kayu siwak 6,25%, 12,5%, 25% dan
50% terhadap pertumbuhan Candida albicans
Konsentrasi
Kategori
N
X ± SD (mm)
6,25
4
8,37 ± 0,478
Sedang
12,5
4
10,37 ± 0,250
Kuat
25
4
12,50 ± 0,707
Kuat
50
4
14,75 ± 0,500
Kuat
(%)
David & Stout
4.2 Zona Hambat Ekstrak Temulawak terhadap Pertumbuhan Candida
albicans
Dapat diketahui dari keempat pengulangan yang dilakukan, pada konsentrasi
6,25% tidak terlihat adanya zona hambat yang terbentuk di sekitar disk. Sedangkan
pada konsentrasi 12,5%, 25% dan 50% masing-masing terlihat adanya zona hambat
yang terbentuk (Gambar 15).
Universitas Sumatera Utara
41
Gambar 15. Hasil percobaan ekstrak
temulawak (Dokumentasi)
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa ekstrak temulawak konsentrasi 6,25% tidak
memiliki zona hambat. Ekstrak temulawak konsentrasi 12,5% (5,00 ± 0,000 mm) )
menurut David dan Stout dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans
dikategorikan sedang, ekstrak temulawak konsentrasi 25% (8,50 ± 0,408 mm)
dikategorikan sedang dan ekstrak temulawak konsentrasi 50% (11,25 ± 0,288 mm)
dikategorikan kuat.
Tabel 2. Perbedaan rerata zona hambat ekstrak temulawak 6,25%, 12,5%, 25% dan
50% terhadap pertumbuhan Candida albicans
Konsentrasi
Kategori
N
X ± SD (mm)
6,25
4
0,00 ± 0,000
12,5
4
5,00 ± 0,000
Sedang
25
4
8,50 ± 0,408
Sedang
50
4
11,25 ± 0,288
Kuat
(%)
David & Stout
Universitas Sumatera Utara
42
4.3 Perbedaan Zona Hambat Ekstrak Kayu Siwak dan Ekstrak
Temulawak terhadap Pertumbuhan Candida albicans
Hasil uji T-independent pada tabel 3 untuk semua konsentrasi 6,25%, 12,5%,
25% dan 50% diperoleh nilai p = 0,000 (p
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Eksperimental Laboratorium
dengan rancangan
penelitian Post Test Control Group Design yaitu melakukan pengukuran atau
observasi sesudah perlakuan diberikan.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Pembuatan ekstrak kayu siwak dan ekstrak temulawak dilakukan di
Laboratorium Obat Tradisional Fakultas Farmasi USU. Pengambilan sampel,
penanaman dan pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK USU.
3.2.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian adalah ± 3 bulan yaitu Maret – Mei 2016.
3.3 Populasi, Sampel dan Besar Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah jamur Candida albicans
3.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan adalah biakan Candida albicans (ATCC® 10231™) yang
diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi FK USU.
3.3.3 Besar Sampel
Dalam menghitung besar sampel penelitian eksperimental digunakan rumus
Federer. Rumus besar sampel Federer yaitu:
(t – 1) (r – 1) ≥ 15
Universitas Sumatera Utara
24
Keterangan
:
t
: Jumlah perlakuan
r
: Jumlah sampel dalam setiap kelompok
Penelitian ini menggunakan 2 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri
atas:
1. Kelompok I: Ekstrak kayu siwak
a. Perlakuan 1
: Ekstrak kayu siwak 50%
b. Perlakuan 2
: Ekstrak kayu siwak 25%
c. Perlakuan 3
: Ekstrak kayu siwak 12,5%
d. Perlakuan 4
: Ekstrak kayu siwak 6,25%
2. Kelompok II: Ekstrak temulawak
a. Perlakuan 1
: Ekstrak temulawak 50%
b. Perlakuan 2
: Ekstrak temulawak 25%
c. Perlakuan 3
: Ekstrak temulawak 12,5%
d. Perlakuan 4
: Ekstrak temulawak 6,25%
Jadi perlakuannya (t) adalah : 8
(8 - 1) . (r - 1) ≥ 15
7 . (r - 1)
≥ 15
7r – 7
≥ 15
7r
≥ 22
r
≥ 22/7
r
≥ 3,14
r
≥ 4
Jumlah perlakuan ulang sampel r minimum yang diperlukan adalah 4, artinya pada
kelompok ekstrak kayu siwak dan kelompok ekstrak temulawak dilakukan masingmasing 4 kali pengulangan setiap perlakuan.
Universitas Sumatera Utara
25
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Kayu siwak yang memiliki kriteria :
a. Kayu siwak yang berwarna cokelat muda
2. Rimpang temulawak yang memiliki kriteria :
a. Rimpang temulawak yang segar
b. Rimpang temulawak berwarna jingga tua
3. Sampel Candida albicans ATCC 10231 yang diperoleh dari Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU Medan
3.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Kayu siwak yang memiliki kriteria :
a. Kayu siwak yang sudah busuk
b. Kayu siwak berwarna cokelat gelap
2. Rimpang temulawak yang memiliki kriteria :
a. Rimpang temulawak yang berwarna gelap
b. Rimpang temulawak yang keriput
Universitas Sumatera Utara
26
3.5 Variabel Penelitian
Variabel tidak terkendali :
Keadaan tanah, curah hujan, dan
lingkungan asal kayu siwak
Keadaan tanah, curah hujan, dan
lingkungan asal temulawak
Variabel bebas :
Variabel tergantung :
Ekstrak kayu siwak
konsentrasi 50%; 25%;
12,5%; 6,25%
Ekstrak temulawak
konsentrasi 50%; 25%;
12,5%; 6,25%
Pengukuran zona hambat
pada uji sensitivitas jamur
Candida albicans
Variabel terkendali :
Media pertumbuhan Candida albicans yaitu
Mueller Hinton Agar (MHA)
Suhu inkubasi (37ºC)
Waktu inkubasi (24 jam-48 jam)
Alat pengukur zona hambat (kaliper geser)
Sterilisasi alat, bahan coba dan media
Waktu pengamatan
Asal kayu siwak dan temulawak (geografis)
Lamanya penyimpanan kayu siwak setelah
diproduksi
Lamanya penyimpanan temulawak setelah
dipetik
Universitas Sumatera Utara
27
3.5.1 Variabel bebas
a. Ekstrak kayu siwak konsentrasi 50%; 25%; 12,5%; 6,25%
b. Ekstrak temulawak konsentrasi 50%; 25%; 12,5%; 6,25%
3.5.2 Variabel tergantung
Pengukuran zona hambat pada uji sensitivitas jamur Candida albicans
3.5.3 Variabel terkendali
Media untuk menumbuhkan Candida albicans yaitu Mueller Hinton Agar
(MHA)
Suhu inkubasi (37ºC)
Waktu inkubasi yaitu 24 - 48 jam
Alat pengukur zona hambat (kaliper geser)
Sterilisasi alat yang digunakan, bahan coba dan media
Waktu pengamatan
Asal kayu siwak dan temulawak (geografis)
Lamanya penyimpanan kayu siwak setelah diproduksi
Lamanya penyimpanan temulawak setelah dipetik
3.5.4 Variabel tidak terkendali
Keadaan tanah, curah hujan, dan lingkungan asal kayu siwak
Keadaan tanah, curah hujan, dan lingkungan asal temulawak
Universitas Sumatera Utara
28
3.6 Definisi Operational
a. Ekstrak kayu siwak adalah sediaan pekat/kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari kayu siwak menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian
hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang diperoleh memenuhi
standar baku yang telah ditetapkan
b. Ekstrak temulawak adalah sediaan pekat/kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari rimpang temulawak menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang diperoleh
memenuhi standar baku yang telah ditetapkan
c. Ekstrak kayu siwak 50% dan ekstrak temulawak 50% adalah hasil pelarutan
ekstrak kayu siwak dan temulawak masing-masing 500 mg dalam aquabidest untuk
ekstrak kayu siwak dan DMSO untuk ekstrak temulawak sebanyak 1 ml
d. Ekstrak kayu siwak 25% dan ekstrak temulawak 25% adalah hasil pelarutan
ekstrak kayu siwak dan temulawak masing-masing 250 mg dalam aquabidest untuk
ekstrak kayu siwak dan DMSO untuk ekstrak temulawak sebanyak 1 ml
e. Ekstrak kayu siwak 12,5% dan ekstrak temulawak 12,5% adalah hasil
pelarutan ekstrak kayu siwak dan temulawak masing-masing 125 mg dalam
aquabidest untuk ekstrak kayu siwak dan DMSO untuk ekstrak temulawak sebanyak
1 ml
f. Ekstrak kayu siwak 6,25% dan ekstrak temulawak 6,25% adalah hasil
pelarutan ekstrak kayu siwak dan temulawak masing-masing 62,5 mg dalam
aquabidest untuk ekstrak kayu siwak dan DMSO untuk ekstrak temulawak sebanyak
1 ml
g. Candida albicans adalah salah satu jenis jamur yang berbentuk bulat atau
lonjong dan biasanya berwarna putih dengan permukaan yang halus dan disebut
sebagai jamur dimorfik
h. Mueller Hinton Agar (MHA) merupakan media yang dipakai untuk melihat
daya hambat suatu bakteri atau jamur terhadap bahan coba
Universitas Sumatera Utara
29
i. Tipe Candida albicans ATCC 10231 adalah produk yang dihasilkan oleh
American Type Culture Collection, dimana produk ini ditujukan hanya untuk
penelitian, bukan untuk tujuan diagnostik ataupun terapeutik
j. Zona hambat adalah daerah bebas koloni (zona bening) yang diukur dengan
menggunakan kaliper dengan menghitung diameter vertikal dan diameter horizontal.
3.7 Alat dan bahan penelitian
3.7.1 Alat penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah :
a. Timbangan
b. Timbangan analitik
c. Kertas perkamen 3 kajang
d. Blender
e. Kapas dan kertas saring
f. Aluminium foil 1 gulungan
g. Perkolator
h. Erlenmeyer
i. Vaccum rotavapor
j. Vortex
k. Inkubator
l. Pipet mikro, ose dan spiritus
m. Piring petri
3.7.2 Bahan penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah :
Batang siwak 500 gram
Rimpang temulawak 500 mg
Etanol 96% dan Etanol 70% 6 liter
Media Mueller Hinton Agar (MHA)
Universitas Sumatera Utara
30
Candida albicans ATCC 10231 (Laboratarium Mikrobiologi FK USU
Medan), NaCl 0,9
3.8 Prosedur Penelitian
3.8.1 Pembuatan Simplisia dan Ekstrak Kayu Siwak
a. Pembuatan Simplisia
Siwak (Salvadora persica) dibuka dari kemasan dan ditimbang sebanyak 500
gram. Batang siwak kemudian dipotong kecil-kecil, kemudian dikeringkan di dalam
lemari pengering dengan suhu 40oC selama 14 hari. Proses pengeringan dilakukan
lebih lama karena kayu siwak mengandung komposisi air yang tinggi. Tanaman
dikatakan sudah kering apabila batang siwak telah mudah dipatahkan. Batang siwak
yang telah dikeringkan tersebut kemudian ditimbang kembali dan diperoleh 250 gram
batang siwak yang telah kering. Selanjutnya siwak dihaluskan dengan blender dan
didapat serat-serat halus batang siwak atau simplisia (Gambar 6).
Gambar 6. Simplisia Kayu Siwak
(Dokumentasi)
b. Pembuatan Ekstrak Kayu Siwak
Sebanyak 250 gram simplisia diletakkan ke dalam bejana tertutup dan dimaserasi
dengan etanol 70% selama 15 menit dengan suhu 25oC. Perkolator disiapkan dengan
cara meletakkan kapas secukupnya yang telah dibasahi dengan etanol pada bagian
dasar wadah perkolator, kemudian di atas kapas tersebut diletakkan kertas saring
Universitas Sumatera Utara
31
sebanyak 2 lembar. Kemudian massa simplisia yang telah direndam tersebut
dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator dimulai dari bagian tengah
hingga ke tepi perkolator dengan hati-hati sambil sesekali ditekan. Kemudian etanol
70% dituangkan ke dalam perkolator dan massa disaring dengan lapisan kertas saring
sampai cairan tersebut mulai menetes dan diatas simplisia masih terdapat selapis
cairan penyaring untuk mengetahui apakah perkolator sudah berfungsi dengan baik.
Kemudian perkolator ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan selama 24 jam
(Gambar 7).
Gambar 7. Proses Perkolasi
(Dokumentasi)
Setelah 24 jam, perkolator dibuka kembali dan cairan dibiarkan menetes dengan
kecepatan 1 ml per menit atu 20 tetes per menit. Tambahkan berulang-ulang etanol
70% secukupnya sehingga selalu terdapat cairan diatas simplisia dan diperoleh
ekstrak cair.
Setelah proses perkolasi selesai, dilakukan proses rotavaporasi yang bertujuan
untuk menguapkan etanol yang terdapat pada larutan. Ambil panci dan masukkan
hasil perkolasi kedalam panci tersebut (Gambar 8A). Kemudian diaduk sampai
mengental. Setelah mengental dan volumenya sudah berkurang, pindahkan larutan ke
Universitas Sumatera Utara
32
cawan yang lebih kecil agar lebih mudah diaduk. Cawan dipanaskan diatas beaker
glass yang berisi air (Gambar 8B). Setelah menjadi ekstrak kental hentikan proses
rotavaporasi dan dimasukkan ke dalam botol plastik, lalu disimpan di tempat sejuk.
B
A
Gambar 8. (A) Proses Rotavaporasi (Dokumentasi)
(B) Ekstrak Kental (Dokumentasi)
3.8.2 Pembuatan Simplisia dan Ekstrak Temulawak
a. Pembuatan Simplisia
Rimpang temulawak sebanyak 500 gr dibersihkan terlebih dahulu. Kemudian
rimpang temulawak diiris tipis-tipis lalu dimasukkan ke dalam lemari pengering
dengan suhu 40oC selama 10 hari. Rimpang temulawak sudah dikatakan kering jika
rimpang tersebut mudah dipatahkan. Rimpang temulawak yang telah dikeringkan
tersebut kemudian ditimbang kembali dan diperoleh 250 gram rimpang temulawak
yang telah kering. Selanjutnya rimpang temulawak dihaluskan dengan blender dan
didapat serat-serat halus dari rimpang temulawak atau simplisia (Gambar 9).
Universitas Sumatera Utara
33
Gambar 9. Simplisia Temulawak
(Dokumentasi)
b. Pembuatan Ekstrak Temulawak
Sebanyak 250 gram simplisia diletakkan ke dalam bejana tertutup dan dimaserasi
dengan etanol 96% selama 15 menit dengan suhu 25oC. Perkolator disiapkan dengan
cara meletakkan kapas secukupnya yang telah dibasahi dengan etanol pada bagian
dasar wadah perkolator, kemudian di atas kapas tersebut diletakkan kertas saring
sebanyak 2 lembar. Kemudian massa simplisia yang telah direndam tersebut
dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator dimulai dari bagian tengah
hingga ke tepi perkolator dengan hati-hati sambil sesekali ditekan. Kemudian etanol
96% dituangkan ke dalam perkolator dan massa disaring dengan lapisan kertas saring
sampai cairan tersebut mulai menetes dan diatas simplisia masih terdapat selapis
cairan penyaring untuk mengetahui apakah perkolator sudah berfungsi dengan baik.
Kemudian perkolator ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan selama 24 jam
(Gambar 7).
Setelah 24 jam, perkolator dibuka kembali dan cairan dibiarkan menetes dengan
kecepatan 1 ml per menit atu 20 tetes per menit. Tambahkan berulang-ulang etanol
96% secukupnya sehingga selalu terdapat cairan diatas simplisia dan diperoleh
ekstrak cair.
Setelah proses perkolasi selesai, dilakukan proses rotavaporasi yang bertujuan
untuk menguapkan etanol yang terdapat pada larutan. Ambil panci dan masukkan
hasil perkolasi kedalam panci tersebut (Gambar 8A). Kemudian diaduk sampai
Universitas Sumatera Utara
34
mengental. Setelah mengental dan volumenya sudah berkurang, pindahkan larutan ke
cawan yang lebih kecil agar lebih mudah diaduk (Gambar 8B). Cawan dipanaskan
diatas beaker glass yang berisi air. Setelah menjadi ekstrak kental hentikan proses
rotavaporasi dan dimasukkan ke dalam botol plastik, lalu disimpan di tempat sejuk.
3.8.3 Pembuatan Suspensi Candida albicans (ATCC® 10231™)
Candida albicans (ATCC® 10231™) (Gambar 10A) diambil menggunakan 1-2
ose lalu diencerkan dengan NaCl 0,9% steril dan disesuaikan kekeruhannya dengan
standar larutan Mc Farland 0,5 (Gambar 10B).
A
B
Gambar 10. (A) Candida Albicans ATCC 10231 (Dokumentasi)
(B) Suspensi Candida albicans dengan standar 0,5
Mc Farland (Dokumentasi)
3.8.4 Pengujian Ekstrak Kayu Siwak dan Ekstrak Temulawak pada
Candida albicans ATCC 10231
1. Untuk mendapatkan konsentrasi masing-masing ekstrak (kayu siwak dan
temulawak) sebanyak 50%, 25%, 12,5% dan 6,25%, masing-masing dilarutkan
dalam aquabides untuk ekstrak kayu siwak dan dimetil sulfoksida (DMSO) untuk
ekstrak temulawak. Ekstrak yang telah dilarutkan sesuai konsentrasi, kemudian
dimasukkan kedalam botol yang telah steril dan masing-masing divortex hingga
homogen (Gambar 11).
Universitas Sumatera Utara
35
A
B
Gambar 11. (A) Ekstrak kayu siwak yang telah diencerkan ke berbagai konsentrasi
(Dokumentasi)
(B) Ekstrak temulawak yang telah diencerkan ke berbagai konsentrasi
(Dokumentasi)
2. Sediakan 32 Disk steril
dan teteskan dengan ekstrak kayu siwak dan
temulawak dengan konsentrasi masing-masing 50%, 25%, 12,5% dan 6,25%.
3. Sediakan 8 Cawan Petri yang berisi MHA, kemudian ambil biakan Candida
albicans dengan menggunakan ose masukkan ke media lalu distreak/gores dan disk
yang telah ditetesi dengan ekstrak kayu siwak dan ekstrak temu lawak dengan
konsentrasi masing-masing 50%, 25%, 12,5% dan 6,25%, diletakkan ke media MHA
di Cawan Petri dengan pinset dengan cara menekankan sedikit ke media MHA.
Inkubasi pada temperature 370 selama 24 jam. Setelah 24 jam dapat diamati hasil
kultur.
Universitas Sumatera Utara
36
A
B
Gambar 12. (A) Uji ekstrak kayu siwak terhadap Candida albicans (Dokumentasi)
(B) Uji ekstrak temulawak terhadap Candida albicans (Dokumentasi)
4. Amati zona hambat yang terjadi disekitar masing-masing disk. Kemudian
dilakukan pengukuran diameter yang bebas koloni (zona bening) dengan
menggunakan kaliper geser.
5. Zona hambat yang terbentuk diukur sebanyak dua kali yaitu pengukuran
secara diameter vertikal dan diameter horizontal. Kemudian hasilnya ditambahkan
dan dibagi dua. Catat hasilnya.
= Diameter vertikal
= Diameter horizontal
6.
= Disk
= Zona hambat
Diameter Zona hambat = Diameter horizontal + Diameter vertikal
2
3.9 Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini diproses dan diolah secara
komputerisasi. Adapun uji statistik yang digunakan dalam penelitian untuk
mendapatkan nilai zona hambat dari pengulangan perlakuan adalah uji Deskriptif
Universitas Sumatera Utara
37
yaitu mean dan standar deviasi. Sedangkan untuk mencari perbedaan yang signifikan
antara zona hambat dari ekstrak kayu siwak dan ekstrak temulawak terhadap jamur
Candida albicans ATCC 10231 digunakan Uji statistik T-Test Independent
Universitas Sumatera Utara
38
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai “Perbedaan Zona Hambat Ekstrak Kayu Siwak
(Salvadora persica) dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Terhadap
Pertumbuhan Candida albicans”. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
biakan Candida albicans (ATCC® 10231™). Adapun jumlah sampel pada penelitian
ini yaitu satu biakan Candida albicans. Sampel Candida albicans (ATCC® 10231™)
diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU Medan.
Setelah proses ekstraksi didapat masing-masing ekstrak kayu siwak dan
ekstrak temulawak dengan konsentrasi 100%, dan dilakukan pengenceran sesuai
kebiasaan di laboratorium yaitu memakai aquabidest untuk ekstrak kayu siwak dan
larutan DMSO (Dimethyl Sufoxide) untuk ekstrak temulawak sehingga pada setiap
botol plastik diperoleh masing-masing ekstrak dengan konsentrasi 50%, 25%, 12,5%
dan 6,25%. Setelah itu dimasukkan 4 disk kosong pada masing-masing tabung dan
dibiarkan selama 15 menit. Kemudian siapkan 4 cawan petri yang berisi media MHA
untuk ekstrak kayu siwak dan 4 cawan petri yang berisi media MHA untuk ekstrak
temulawak. Kemudian ambil suspensi Candida albicans dengan menggunakan kapas
lidi lalu masukkan ke dalam masing-masing media MHA dengan metode streak atau
gores berulang-ulang secara merata.
Selanjutnya disk dari masing-masing konsentrasi dikeluarkan dan diletakkan
dengan cara sedikit menekan pada cawan petri yang sudah diberi tanda konsentrasi
tersebut. Setelah itu dilakukan proses inkubasi dalam inkubator selama 24 jam pada
suhu 37oC, lalu dilakukan pengamatan ada atau tidaknya zona bening pada semua
piring petri yang berisi bahan uji.
Penelitian ini dilakukan pengulangan sebanyak empat kali dan dilakukan
pengukuran diameter zona hambat secara horizontal dan vertikal. Terbentuknya zona
hambat di sekitar koloni jamur menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan
jamur uji. Zona hambat dinyatakan dalam millimeter (mm) yang diukur dari diameter
zona hambat yang terbentuk yaitu diameter horizontal ditambah diameter vertikal
Universitas Sumatera Utara
39
kemudian dibagi dua. Semakin luas zona hambat menunjukkan semakin tinggi
aktivitas antifungal kayu siwak dan temulawak.
Gambar 13. Pengukuran zona hambat dengan
kaliper (Dokumentasi)
4.1 Zona Hambat Ekstrak Kayu Siwak terhadap Pertumbuhan Candida
albicans
Dapat diketahui dari keempat pengulangan yang dilakukan, pada konsentrasi
6,25%, 12,5%, 25% dan 50% masing-masing terlihat adanya zona hambat yang
terbentuk (Gambar 14).
Gambar 14. Hasil percobaan ekstrak kayu
siwak (Dokumentasi)
Universitas Sumatera Utara
40
Pada tabel 1 menunjukkan bahwa ekstrak kayu siwak konsentrasi 6,25% (8,37
± 0,478 mm) menurut David dan Stout dalam menghambat pertumbuhan Candida
albicans dikategorikan sedang, ekstrak kayu siwak konsentrasi 12,5% (10,37 ± 0,250
mm) dikategorikan kuat, ekstrak kayu siwak konsentrasi 25% (12,50 ± 0,707 mm)
dikategorikan kuat dan ekstrak kayu siwak konsentrasi 50% (14,75 ± 0,500 mm)
dikategorikan kuat.
Tabel 1. Perbedaan rerata zona hambat ekstrak kayu siwak 6,25%, 12,5%, 25% dan
50% terhadap pertumbuhan Candida albicans
Konsentrasi
Kategori
N
X ± SD (mm)
6,25
4
8,37 ± 0,478
Sedang
12,5
4
10,37 ± 0,250
Kuat
25
4
12,50 ± 0,707
Kuat
50
4
14,75 ± 0,500
Kuat
(%)
David & Stout
4.2 Zona Hambat Ekstrak Temulawak terhadap Pertumbuhan Candida
albicans
Dapat diketahui dari keempat pengulangan yang dilakukan, pada konsentrasi
6,25% tidak terlihat adanya zona hambat yang terbentuk di sekitar disk. Sedangkan
pada konsentrasi 12,5%, 25% dan 50% masing-masing terlihat adanya zona hambat
yang terbentuk (Gambar 15).
Universitas Sumatera Utara
41
Gambar 15. Hasil percobaan ekstrak
temulawak (Dokumentasi)
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa ekstrak temulawak konsentrasi 6,25% tidak
memiliki zona hambat. Ekstrak temulawak konsentrasi 12,5% (5,00 ± 0,000 mm) )
menurut David dan Stout dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans
dikategorikan sedang, ekstrak temulawak konsentrasi 25% (8,50 ± 0,408 mm)
dikategorikan sedang dan ekstrak temulawak konsentrasi 50% (11,25 ± 0,288 mm)
dikategorikan kuat.
Tabel 2. Perbedaan rerata zona hambat ekstrak temulawak 6,25%, 12,5%, 25% dan
50% terhadap pertumbuhan Candida albicans
Konsentrasi
Kategori
N
X ± SD (mm)
6,25
4
0,00 ± 0,000
12,5
4
5,00 ± 0,000
Sedang
25
4
8,50 ± 0,408
Sedang
50
4
11,25 ± 0,288
Kuat
(%)
David & Stout
Universitas Sumatera Utara
42
4.3 Perbedaan Zona Hambat Ekstrak Kayu Siwak dan Ekstrak
Temulawak terhadap Pertumbuhan Candida albicans
Hasil uji T-independent pada tabel 3 untuk semua konsentrasi 6,25%, 12,5%,
25% dan 50% diperoleh nilai p = 0,000 (p