Pengaruh Konflik Peran Dan Motivasi Sebagai Variabel Intervening Terhadap Kinerja Pada Kantor Kesehatan Pelabuhan (Kkp) Kelas I Medan Belawan Dan Kualanamu

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teoritis
2.1.1. Kinerja
Michael (2014) menyatakan bahwa kinerja merupakan suatu yang dibentuk
melalui 2 (dua) dimensi yaitu dedikasi pada pekerjaan (job dedication) dan fasilitasi
pada diri sendiri (interpersonal facilitation). Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil
atas pelaksanaan tugas tertentu. Kinerja perusahaan adalah tingkat pencapaian hasil
dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan. Manajemen kinerja adalah
keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau
organisasi, termasuk kinerja masing-masing individu dan kelompok kerja
diperusahaan tersebut. Kinerja individu, kinerja kelompok dan kinerja perusahaan
dipengaruhi oleh banyak faktor internal dan eksternal organisasi.
2.1.1.1. Kinerja Perusahaan
Amyx (2014) menyatakan bahwa seorang karyawan bisa dinilai sukses
menjalankan peranannya

apabila konsisten dengan misi organisasi secara

keseluruhan. Misi dan tugas pokok dari setiap perusahaan atau organisasi diurai dan

dibagi menjadi tugas pokok unit-unit organisasi secara berjenjang dari unit yang
lebih besar ke unit yang lebih kecil dalam bentuk kelompok kerja. Keselarasan tujuan
(goal congruence) diukur dari progress yang dicapai oleh tim secara menyeluruh.
Tanpa kejelasan tujuan dan sasaran maka seorang pegawai akan menghasilkan

14

problem masalah yang besar dan tidak berdampak terhadap kualitas hasil keputusan
dan akan menghasilkan conflict.
2.1.1.2. Kinerja Individu
Hanna (2013) menyatakan kinerja setiap orang dipengaruhi oleh banyak
faktor yang dapat digolongkan pada 3 (tiga) kelompok yaitu kompotensi individu
orang yang bersangkutan, dukungan organisasi dan dukungan manajemen.
a. Kompotensi Individu
Kompetensi individu adalah kemampuan dan keterampilan melakukan kerja.
Kompetensi setiap orang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat
dikelompokkan dalam dua golongan, yaitu :
• Kemampuan dan ketrampilan kerja
• Motivasi dan etos kerja


b. Dukungan Organisasi
Kinerja setiap orang juga tergantung pada dukungan organisasi dalam bentuk
pengorganisasian, penyediaan sarana dan prasarana kerja, pemilihan teknologi,
kenyamanan lingkungan kerja, serta kondisi dan syarat kerja. Pengorganisasian
dimaksudkan untuk memberi kejelasan bagi setiap unit kerja dan setiap orang
tentang sasaran yang harus dicapai dan harus dilakukan untuk mencapai sasaran
tersebut.

c) Dukungan Manajemen
Kinerja perusahaan dan kinerja setiap orang juga sangat tergantung pada
kemampuan manajerial para manajemen atau pimpinan, baik dengan membangun
sistem kerja dan hubungan industrial yang aman dan harmonis,maupun dengan
mengembangkan kompetensi pekerja. Demikian juga dengan menumbuhkan
motivasi dan memobilisasi seluruh pegawai untuk bekerja secara optimal.
2.1.1.3. Evaluasi Kinerja
Rageb, et al (2013) menyatakan bahwa evaluasi kinerja adalah suatu metode
dan proses penilaian dan pelaksanaan tugas seseorang atau sekelompok orang atau
unit-unit kerja dalam satu perusahaan atau organisasi sesuai dengan standar kinerja
atau tujuan yang ditetapkan lebih dahulu. Evaluasi kinerja merupakan cara yang
paling adil dalam memberikan imbalan atau penghargaan kepada pekerja.Tujuan

evaluasi kinerja adalah untuk menjamin pencapaian sasaran dan tujuan perusahaan
dan juga untuk mengetahui posisi perusahaan dan tingkat pencapaian sasaran
perusahaan, terutama untuk mengetahui bila terjadi keterlambatan atau penyimpangan
supaya segera diperbaiki, sehingga sasaran atau tujuan tercapai. Hasil evaluasi kinerja
individu dapat dimanfaatkan untuk banyak penggunaan,yaitu untuk:
a. Peningkatan kinerja
b. Pengembangan SDM
c. Pemberian kompensasi
d. Program peningkatan produktivitas

e. Program kepegawaian
f. Menghindari perlakuan diskriminasi
2.1.1.4. Penilaian Prestasi Kerja
Nugroho (2013)menyatakan penilaian prestasi kerja dapat dilakukan sebagai
sebagai berikut:
1.

Tujuan Pengembangan
Informasi yang dihasilkan oleh sistem penilaian prestasi kerja dapat
digunakan untuk mengembangkan pribadi anggota-anggota organisasi,

yang meliputi:
a.

Mengukuhkan dan Menopang Prestasi Kerja. Umpan balik prestasi
kerja(performance feedback) merupakan kebutuhan pengembangan
yang utama karena hampir semua karyawan ingin mengetahui hasil
penilaian yang dilakukan.

b.

Meningkatkan Prestasi Kerja. Tujuan penilaian prestasi kerja juga
untuk memberikan pedoman kepada karyawan bagi peningkatan
prestasi kerja di masa yang akan datang.

c.

Menentukan Tujuan-Tujuan Progresi Karir. Penilaian prestasi kerja
juga akan memberikan informasi kepada karyawan yang dapat
digunakan sebagai dasar pembahasan tujuan dan rencana karir jangka
panjang.


d.

Menentukan Kebutuhan-Kebutuhan Pelatihan. Penilaian prestasi kerja
individu dapat memaparkan kumpulan data untuk digunakan sebagai
sumber analisis dan identifikasi kebutuhan pelatihan.

2.1.1.5. Faktor-Faktor Penilaian Prestasi Kerja
Harijanto (2013) mengemukakan tiga dimensi kinerja yang perlu dimasukkan
dalam penilaian prestasi kerja yaitu kedisiplinan karyawan sebagai suatu bentuk
pemenuhan kebutuhan organisasi untuk menahan orang-orang di dalam organisasi,
yang dijabarkan dalam penilaian terhadap ketidakhadiran, keterlambatan, dan lama
waktu kerja. Tingkat kemampuan karyawan sebagai suatu bentuk pemenuhan
kebutuhan organisasi untuk memperoleh hasil penyelesaian tugas yang diinginkan,
baik dari sisi kuantitas maupun kualitas kinerja yang harus dicapai oleh seorang
karyawan. Perilaku-perilaku inovatif dan spontan diluar persyaratan-persyaratan
tugas formal untuk meningkatkan efektivitas organisasi, antara lain dalam bentuk
kerja sama, tindakan protektif, gagasan-gagasan yang konstruktif dan kreatif,
pelatihan diri, serta sikap-sikap lain yang menguntungkan organisasi.
Timple (1999) dalam Mangkunegara (2005) menyatakan bahwa kinerja

seseorang dipengaruhi faktor internal dan eksternal, dimana faktor internal
menyangkut sifat-sifat seseorang seperti kemampuan dan keterampilan. Kemampuan
ini memuat tentang pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki seseorang. Selain itu
motivasi dan persepsi tentang pekerjaan juga mempengaruhi kinerja. Faktor eksternal
menyangkut segala sesuatu yang berasal dari lingkungan, seperti perilaku, sikap dan

tindakan-tindakan rekan kerja, fasilitas kerja, iklim organisasi, kepemimpinan,
budaya kerja, undang-undang dan sistem imbalan.

2.1.2. Motivasi
Michael (2014) menyatakan motivasi merupakan suatu dorongan dari atasan
dan pengawas dan mengkomunikasikannya secara positif yang berhubungan dengan
luaran yang dihasilkan dari proses sesuatu yang dikerjakan yang dapat menghasilkan
kinerja yang terbaik. Motivasi dalam bekerja selalu mempunyai hubungan linier
dengan kinerja yang dihasilkan begitu juga dengan tingkat kepuasan yang diperoleh
dalam bekerja.
2.1.2.1. Teori Motivasi Kerja
Teori Maslow menyatakan motivasi berhubungan dengan lima macam
kebutuhan penting yang secara bersama-sama membentuk sebuah hierarki. Hierarki
tersebut adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan sosial,

kebutuhan akan penghargaan. Motivasi adalah suatu ketrampilan dalam memadukan
kepentingan karyawan dan kepentingan organisasi sehingga keinginan karyawan
dipuaskan bersamaan dengan tercapainya sasaran organisasi. Menurut Robbins
(2001) menyatakan motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya
yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu
dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual. Kebutuhan adalah suatu keadaan
internal yang menyebabkan hasil tertentu tampak menarik.

Pemberian rangsangan motivasi kepada bawahan dapat dikelompokkan
sebagai berikut (Setyaningsih, 2009):
a. Motivasi tidak langsung; Merupakan kegiatan manajemen yang secara implisit
mengarahkan kepada upaya memenuhi motivasi internal serta kepuasan
kebutuhan individu dalam organisasi.
b. Motivasi langsung ; Merupakan pengaruh kemauan karyawan yang secara
langsung atau sengaja diarahkan kepada internal motif karyawan dengan jelas
memberikan rangsangan yang lebih terarah.
c. Motivasi negatif ; Merupakan macam kegiatan yang disertai ancaman dan
hukuman terhadap karyawan yang tidak mau atau tidak mampu melaksanakan
perintah yang diberikan.
d. Motivasi positif ; Merupakan kegiatan dalam mempengaruhi orang lain dengan

cara memberikan penambahan kepuasan tertentu misalnya memberikan promosi,
memberikan insentif dan kondisi kerja yang lebih baik dan sebagainya.
Alternatif metode guna memotivasi seseorang menurut Safaria (2011) adalah
sebagai berikut :
a. Ancaman. Ancaman bersikap baik merupakan metode pemberian motivasi
sebagai usaha untuk meningkatkan semangat karyawan dengan memberikan
kondisi kerja yang baik, berbagai tunjangan, upah yang tinggi, dan pengawasan
yang baik.

b. Tawar menawar. Tawar menawar secara implisif diaman manajemen mendorong
karyawan menghasilkan sejumlah keluaran yang pantas, dengan membuat suatu
persetujuan untuk memberikan sebagai imbalannya dan pengawasan yang pantas.
c. Persaingan. Persaingan untuk mendapatkan kenaikan upah, promosi yang
diberikan kepada orang yang bekerja sangat baik, persaingan untuk memenuhi
kepuasan beberapa bentuk kebutuhan.
d. Internalisasi motivasi ; adalah pemberian rangsangan motivasi dengan cara
memberikan peluang pemuasan kebutuhan melalui pekerjaan itu sendiri, sehingga
karyawan akan senang melakukan pekerjaan dengan baik.
2.1.2.2. Hierarki Kebutuhan dari Maslow
Inti dari teori Maslow adalah bahwa kebutuhan itu tersusun dalam suatu

hierarki. Tingkat kebutuhan yang paling rendah ialah kebutuhan fisiologis
(physiological needs) dan tertinggi ialah kebutuhan akan perwujudan diri (self
actualization needs), kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
(Tharmalingam, 2014)
1. Kebutuhan fisiologis (phsylogical needs), merupakan kebutuhan pokok yang
harus dimiliki seperti makan, minum, tempat tinggal dan istirahat.
2. Kebutuhan akan keselamatan dan keamanan (Safety and security), kebutuhan ini
mencakup kebebasan atau keamanan dari ancaman kejadian atau lingkungan.
3. Kebutuhan rasa memiliki, sosial dan cinta (social needs), kebutuhan ini seperti
memberi dan menerima kasih sayang dan persahabatan.

4. Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), yaitu kebutuhan yang berkaitan
dengan kehormatan diri seseorang (kemandirian, keberhasilan keyakinan diri
sendiri dan pengetahuan) dan reputasi seseorang (status, penghargaan, dan
penghormatan dari orang lain).
5. Kebutuhan perwujudan diri (self actualization needs), yaitu tingkat kebutuhan
yang mendominasi bila kebutuhan yang lain telah terpenuhi.
2.1.2.3. Teori Dua Faktor Herzberg ( Herzberg’s Two Factor Theory)
Teori dua faktor adalah teori yang memuat faktor-faktor membuat orang
puas dan tidak puas (dissatisfiers-satisfiers), atau faktor ekstrinsik dan instrinsik.

Teori ini diuji dengn melibatkan sekolompok orang akuntan dan ahli mesin. Dari
hasil penelitian ini Herzberg mengambil dua kesimpulan yakni : (Amyx, et al, 2014)
1. Serangkaian kondisi ekstrinsik, keadaan pekerjaan (job contex) yang membuat
rasa tidak puas (dissatisfaction) diantara karyawan apabila kondisi ini tidak ada
maka tidak perlu memotivasi karyawan. Kondisi tersebut adalah faktor yang
membuat orang tidak puas (dissastifier) yang mencakup : upah , keamanan kerja,
kondisi kerja, status, prosedur perusahaan, mutu dari suvervisi tehnis dan
hubungan interpersonal diantara atasan, bawahan dan rekan sejawat.
2. Serangkaian kondisi instrinsik , kepuasan kerja , yang akan menggerakkan tingkat
motivasi yang kuat sehingga menghasilkan prestasi kerja yang baik. Serangkaian
faktor ini juga disebut satisfiers factor yang meliputi prestasi (achievement),
pengakuan

(recognition),

tanggung

jawab

(responsibilities),


kemajuan

(advancement), pekerjaan itu sendiri (the work it self) dan kemungkinan
berkembang (the possibility of growth).
2.1.2.4. Teori Prestasi dari Mc Cleland (Mc Cleland Achievment Motivation).
Mc Cleland dalam teorinya menyatakan bahwa banyak kebutuhan diperoleh
dari kebudayaan (Volle, 2014). Ada tiga kebutuhan dari teori ini yakni :
1. Kebutuhan akan prestasi (need for achievement)
2. Kebutuhan akan afiliasi (need for afiliation)
3. Kebutuhan akan kekuasaan (need for power).
Kebutuhan seseorang yang sangat mendesak akan memotivasi seseorang
untuk berusaha keras memenuhinya.
2.1.2.5. Teori Harapan (expectansy theory)
Teori harapan menganggap motivasi sebagai satu fungsi yang menimbulkan
harapan-harapan individu dimana pemenuhannya tergantung pada upaya-upaya dan
efektivitas individu atau kelompok dengan imbalan yang akan diterima (Robbin,
2001).
Teori ini dirumuskan sebagai berikut :
M = [ (E-P) ] [ (P-O) V ]
Dimana :
M = Motivasi
E = Pengharapan
P = Prestasi
O = Hasil (outcome)

V = Penilaian (Value)
Teori ini merupakan interaksi antara harapan setelah dikurangi prestasi,
dengan kontribusi penilaian yang dikaitkan dengan prestasi dikurangi hasil.
Kenyataannya kebutuhan orang tidaklah pernah sama.
2.1.2.6. Alderfer’s Existance, Relatedness and Growth (ERG) Theory
Teori ini dikemukan oleh Clayton Alderfer (1972) yang merupakan
penyempurnaan kebutuhan dari Maslow. Para ahli menganggap teori ini lebih
mendekati keadaan sebenarnya berdasarkan fakta empiris. Alderfer mengemukakan
ada tiga kelompok pemenuhan kebutuhan , yaitu :
1. Existence Needs, berhubungan dengan kebutuhan dasar termasuk didalamnya
Physiological Need dan Safety needs dari Maslow.
2. Relatednees Needs, menekankan akan pentingnya hubungan antara individu
(interpersonal relationship) dan juga bermasyarakat (social relationship).
Kebutuhan ini berkaitan juga dengan love needs dan esteem needs dari Maslow.
3. Growth Needs, adalah keinginan instrinsik dalam diri seseorang untuk maju atau
meningkatkan kemampuan dirinya.
2.1.2.7. Teori Motivasi Berprestasi
Menurut Robbins (2001), motivasi merupakan suatu proses yang menjelaskan
intensitas, arah dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya.
Sementara motivasi umum berkaitan dengan usaha untuk mencapai tujuan apapun.
Tiga elemen utama dalam definisi ini yaitu intensitas, arah dan ketekunan
berhubungan dengan seberapa giat seseorang berusaha. Intensitas yang tinggi untuk

menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan harus dikaitkan dengan arah yang
menguntungkan. Ketekunan merupakan suatu ukuran mengenai berapa lama
seseorang bisa mempertahankan usahanya.
Setyaningsih (2008) menyatakan motivasi sebagai proses mempengaruhi atau
mendorong dari luar terhadap seseorang atau kelompok kerja supaya mau
melaksanakan sesuatu yang telah ditetapkan. Motivasi merupakan kondisi atau energi
yang menggerakkan diri karyawan agar terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan
organisasi. Menurut Volle (2014) motivasi merupakan kunci untuk memulai,
mengendalikan, mempertahankan dan mengarahkan perilaku. Motivasi juga dapat
dikatakan sebagai suatu penggerak dari dalam hati seseorang dalam dirinya yang
mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dan pencapaian tujuan.
2.1.2.8. Teori Penetapan Tujuan
Teori penetapan tujuan merupakan bagian dari teori motivasi yang
dikemukakan oleh Edwin Locke (2002). Teori ini menegaskan bahwa niat individu
untuk mencapai sebuah tujuan merupakan sumber motivasi kerja yang utama.
Seorang individu dengan tujuan yang sulit, lebih spesifik dan menantang akan
menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan tujuan yang tidak jelas
seperti tujuan mudah yang spesifikatau tidak ada tujuan sama sekali. Locke (2002)
mengungkapkan bahwa terdapat dua kategori tindakan yang diarahkan oleh tujuan
yaitu: (a) tindakan yang tidak diarahkan (no-conciously goal directed), (b) tindakan
yang diarahkan (consciously goal directed) atau tujuan khusus (purposefil actions).
Premis yang mendasari teori ini adalah kategori yang kedua yaitu yang diarahkan

(consciously goal), dimana dalam conscious goal, ide-ide berguna untuk mendorong
individu untuk bertindak (Latham, 1983). Teori penetapan tujuan mengasumsikan
bahwa ada suatu hubungan langsung antara definisi dari tujuan yang spesifik dan
terukur dengan kinerja: jika seseorang (manajer/pejabat) tahu sebenarnya tujuan yang
ingin dicapainya, maka manajer/pejabat tersebut akan lebih termotivasi untuk
mengerahkan usaha yang dapat meningkatkan kinerjanya (Locke dan Latham, 1983).
Tujuan yang memiliki tantangan biasanya diimplementasikan dalam output dengan
level yang spesifik yang harus dicapai. (Locke dan Latham, 1983).
2.1.3. Konflik Peran (role of conflict)
Konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa
juga kelompok) yang salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya (Karimi, et al, 2014).Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.
Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan adanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami
konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya
akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Teori peran adalah sebuah sudut pandang dalam sosiologi dan psikologi
sosial yang menganggap sebagian besar aktivitas harian diperankan oleh kategorikategori yang ditetapkan secara sosial (misalnya ibu, manajer, guru). Setiap peran

sosial adalah serangkaian hak, kewajiban, harapan, norma, dan perilaku seseorang
yang harus dihadapi dan dipenuhi. Model ini didasarkan pada pengamatan bahwa
orang-orang bertindak dengan cara yang dapat diprediksikan, dan bahwa kelakuan
seseorang bergantung pada konteksnya, berdasarkan posisi sosial dan faktor-faktor
lain.
Teori Peran menempatkan persoalan-persoalan berikut mengenai perilaku
sosial: (Tang, 2010)
1. Pembagian

buruh

dalam

masyarakat

membentuk

interaksi

di

antara posisi khusus heterogen yang disebut peran;
2. Peran sosial mencakup bentuk perilaku "wajar" dan "diizinkan", dibantu
oleh norma sosial, yang umum diketahui dan karena itu mampu menentukan
harapan;
3. Peran ditempati oleh individu yang disebut "aktor";
4. Ketika individu menyetujui sebuah peran sosial (yaitu ketika mereka
menganggap peran tersebut "sah" dan "konstruktif"), mereka akan memikul
beban untuk menghukum siapapun yang melanggar norma-norma peran;
5. Kondisi yang berubah dapat mengakibatkan suatu peran sosial dianggap
kedaluwarsa atau

tidak

sah,

yang dalam

hal

ini

tekanan

sosial

berkemungkinan untuk memimpin perubahan peran;
6. Antisipasi hadiah dan hukuman, serta kepuasan bertindak dengan cara
prososial, menjadi sebab para agen patuh terhadap persyaratan peran.

Teori Peran menurut Tang (2010) dinyatakan bahwa sesuatu bisa menjadi
konflik apabila ada dua atau lebih sesuatu yang diinginkan yang berhubungan dengan
suatu isu atau fenomena.

Jenis teori peran ini menyatakan bagaimana dampak

tindakan individu yang saling terkait terhadap masyarakat, serta bagaimana suatu
sudut pandang teori peran dapat diuji secara empiris. Kunci pemahaman teori ini
adalah bahwa konflik peran terjadi ketika seseorang diharapkan melakukan beberapa
peran sekaligus yang membawa pertentangan dan harapan.
Peran oleh Luthans (2001) didefinisikan sebagai suatu posisi yang memiliki
harapan yang berkembang dari norma yang dibangun. Seorang individu seringkali
memiliki peran ganda (multiple roles), karena selain sebagai karyawan perusahaan
misalnya seseorang juga memiliki peran di keluarganya, di lingkungannya dan lainlain. Peran-peran ini seringkali memunculkan konflik-konflik tuntutan dan konflikkonflik harapan. Lebih jauh Luthans mengatakan bahwa konflik peran terdiri dari 3
tipe utama:
1. Konflik antara individu dengan perannya
Konflik ini terjadi antara kepribadian individu dan harapan akan perannya.
2. Konflik Intrarole
Konflik ini dihasilkan oleh harapan yang kontradiktif terhadap bagaimana
peran tertentu harus dijalankan.
3. Konflik Interrole
Konflik ini dihasilkan dari persyaratan yang berbeda dari dua atau lebih peran
yang harus dijalankan pada saat bersamaan.

MenurutTataw (2009), mengemukakan lima tipe dari role conflict, yaitu:
1.

Intrasender Conflict, merupakan konflik yang terjadi dalam individu
pemegang peran karena peran yang diterima oleh individu bertentangan
atau tidak konsisten dengan harapan pemegang peran.

2.

Intersender Conflict, konflik yang terjadi ketika individu-individu
pemegang peran dengan harapan yang berbeda saling berinterkasi.

3.

Interrole Conflict, merupakan konflik yang terjadi ketika harapan
berhubungan dengan peran yang berbeda akan menimbulkan konflik.

4.

Person-role conflict, merupakan konflik yang terjadi ketika aktivitas yang
diharapkan dari pemegang peran melanggar moral dan nilai yang dimiliki
individu tersebut.

5.

Role Overload, merupakan tipe konflik peran yang lebih kompleks, terjadi
ketika harapan yang dikirimkan pada pemegang peran dapat digabungkan
akan tetapi kinerja mereka melampaui jumlah waktu yang tersedia bagi
orang yang melaksanakan aktivitas yang diharapkan.

Menurut Robbins (2001), peran didefinisikan sebagai seperangkat pola
perilaku yang diharapkan sebagai atribut seseorang yang menduduki suatu posisi
yang diberikan pada suatu unit sosial. Konflik peran didefinisikan sebagai sebuah
situasi dimana individu dihadapkan pada harapan peran (role expectation) yang
berbeda. Role expectation sendiri adalah bagaimana orang lain yakin seseorang harus
berbuat pada situasi tertentu. Konflik peran memunculkan harapan yang mungkin
sulit untuk dicapai atau dipuaskan.

Konflik peran sebagai sesuatu yang diharapkan berasosiasi dengan aturan
yang ada (the incongruity of expectation associated with a role), yaitu ketidak
cocokan antara harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Konflik peran
merupakan hasil dari tidak konsistennya harapan-harapan berbagai pihak atau
persepsi seseorang dengan adanya perbedaan antara tuntutan peran dan kebutuhan,
serta nilai-nilai individu dan sebagainya. Sebagai akibatnya seseorang yang
mengalami konflik peran akan berada dalam suasana terombang ambing, terjepit, dan
serba salah. Konflik peran dapat membuat individu tidak dapat mengambil keputusan
mana yang lebih baik diantara peran-peran yang dilakukan. Smith (2011) menyatakan
“Role conflict is the result of an employee facing the inconsistent expectations of
various parties or personal needs, values, etc.”. artinya, konflik peran itu merupakan
hasil dari ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya
ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu dan
sebagainya.
Menurut Safaria (2011) menyatakan bahwa diantara ciri-ciri dari seseorang
yang berada dalam konflik peran adalah sebagai berikut:
a. Mengerjakan hal-hal yang tidak perlu
b. Terjepit diantara dua atau lebih kepentingan yang berbeda (atasan dan
bawahan/sejawat)
c. Mengerjakan sesuatu yang diterima oleh pihak yang satu tidak oleh pihak yang
lain
b. Menerima perintah atau permintaan yang bertentangan

c. Mengerjakan sesuatu atau berhadapan dengan keadaan di mana saluran komando
dalam organisasi tidak dipatuhi.
Puspa dan Riyanto (1999) dalam Listyani (2003) mendefenisikan bahwa
konflik peran merupakan suatu gejala psychologis yang dialami oleh anggota
organisasi yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan secara
potensial bisa menurunkan motivasi kerja.
2.1.3.1. Pengaruh Konflik Peran dan Motivasi sebagai Variabel Intervening
Konflik peran adalah dampak dari kurangnya pemahaman atas hak-hak, hakhak istimewa dan kewajiban yang dimiliki seseorang untuk melakukan pekerjaan.
Semakin sering seseorang terlibat dan loyal dalam pekerjaannya, maka orang tersebut
akan semakin tahu yang harus dikerjakan di dalam tugas-tugasnya dan mengetahui
yang menjadi haknya. Andraeni (2003) menyatakan bahwa ketidakjelasan peran
berhubungan negatif dengan kesehatan fisik. Konflik peran merupakan gejala
psikologis yang dialami oleh anggota organisasi yang bisa menimbulkan rasa tidak
nyaman dalam bekerja dan secara potensial bisa menurunkan motivasi kerja. Konflik
peran mempunyai dampak negatif terhadap perilaku karyawan, seperti timbulnya
ketegangan kerja sehingga terjadi penurunan kinerja secara keseluruhan.
Manullang (2004) menyatakan bahwa motivasi adalah memberikan daya
perangsang kepada karyawan yang bersangkutan agar karyawan tersebut bekerja
dengan segala daya dan upayanya. Menurut McCormick dalam Mangkunegara
(2000), motivasi kerja adalah kondisi

yang berpengaruh membangkitkan,

mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja.

Menurut Tuckman (dalam Sugiyono, 2007), variabel intervening adalah
variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen menjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak dapat
diamati dan diukur. Variabel ini merupakan variabel penyela/antara variabel
independen dengan variabel dependen sehingga variabel independen tidak langsung
mempengaruhi berubahnya atau timbulnya variabel dependen. Variabel intervening
dengan kata lain akan memberikan pengaruh diantara variabel independen dengan
variabel dependen.
2.1.4. Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP)
Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) mempunyai tugas melaksanakan
pencegahan masuk dan keluarnya penyakit, penyakit potensial wabah, surveilans
epidemiologi, kekarantinaan, pengendalian dampak kesehatan lingkungan, pelayanan
kesehatan, pengawasan obat, makanan dan zat berbahaya, serta pengamanan terhadap
penyakit baru, penyakit yang muncul kembali, bioterorisme, unsur biologi, kimia dan
pengamanan radiasi dibandara, pelabuhan, dan lintas batas darat Negara, (Pasal2
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 356/Menkes/Per/Iv/2008
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan).
Pada pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, KKP
menyelenggarakan 16 (enam belas) fungsi (Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 356/Menkes/Per/IV/2008 yang berkaitan dengan
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan, yang terdiri dari:
1.

Pelaksanaan kekarantinaan;

2.

Pelaksanaan pelayanan kesehatan;

3.

Pelaksanaan pengendalian risiko lingkungan di Bandara, pelabuhan, dan lintas
batas darat negara;

4.

Pelaksanaan pengamatan penyakit, penyakit potensial wabah, penyakit baru, dan
penyakit yang muncul kembali;

5.

Pelaksanaan pengamanan radiasi pengion dan non pengion, Biologi, dan kimia;

6.

Pelaksanaan sentra/simpul jejaring surveilans epidemiologi sesuai penyakit yang
berkaitan dengan lalu lintas nasional, regional, dan internasional;

7.

Pelaksanaan, fasilitasi dan advokasi kesiapsiagaan dan penanggulangan Kejadian
Luar Biasa (KLB) dan bencana bidang kesehatan, serta kesehatan matra termasuk
penyelenggaraan kesehatan haji dan perpindahan penduduk;

8.

Pelaksanaan, fasilitasi, dan advokasi kesehatan kerja di lingkungan bandara,
pelabuhan, dan lintas batas darat negara;

9.

Pelaksanaan pemberian sertifikat kesehatan obat, makanan, kosmetika dan alat
kesehatan serta bahan adiktif (OMKABA) ekspor dan mengawasi persyaratan
dokumenkesehatan omkaba impor;

10. Pelaksanaan pengawasan kesehatan alat angkut dan muatannya;
11. Pelaksanaan pemberian pelayanan kesehatan diwilayah kerja bandara, pelabuhan,
dan lintas batas darat negara;
12. Pelaksanaan jejaring informasi dan teknologi bidang kesehatan bandara,
pelabuhan dan lintas batas darat negara;

13. Pelaksanaan jejaring kerja dan kemitraan bidang kesehatan dibandara, pelabuhan,
dan lintas batas darat negara;
14. Pelaksanaan kajian kekarantinaan, pengendalian risiko lingkungan, dan
surveilans kesehatan pelabuhan;
15. Pelaksanaan pelatihan teknis bidang kesehatan bandara, pelabuhan dan lintas
batas darat negara;
16. Pelaksanaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan KKP.
2.2. Review Penelitian Sebelumnya
Matrik hasil penelitian sebelumnya yang hampir berhubungan dengan
penelitian ini dapat diketahui pada Tabel 2.1. berikut ini:
Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu
No.

Tahun

1

2014

Nama
Judul
Peneliti
Michael, Dampak
Daniel F Kepemimpinan,
Komunikasi
Supervisor,
Komitmen,
Ambiguitas Peran
terhadap
Perputaran Kerja
dan Kinerja
Pekerja Bank

Variabel yang
digunakan
Sikap dalam
Bekerja (Employee
job attitudes),
Perputaran Bekerja
(turnover
intentions), and
Kinerja
(performance).

Hasil Penelitian
Ambiguitas peran (role
ambiguity)
and
SSC
berfungsi sebagai mediasi
kepadakinerja.Hubungan
Komitmen berhubungan
positif antara LMX dan
fungsi kinerja dan 2
dimensi dari indikator
kinerja.
Dedikasi
pekerjaan
berfunsi sebagai mediasi
atas hubungan antara SSC
dan fungsi kinerja dan
secara parsial memediasi
hubungan antara SSC dan
fasilitasi interpersonal.
Hasil penelitian didasarkan
pada
237
sampel
supervisor dari perusahaan
industry.

Tabel 2.1 (Lanjutan)
2.

2008

Cuhadar,
M. Turan

Analisis Sektoral
atas Konflik
Peran dan
Ambiguitas Peran
dengan Kepuasan
Kerja dan
Komitmen
Organisasi ; Studi
Pada Area

3.

2014

Volle,
Katharine
M

Motivasi
Pelayanan Publik,
Ambiguitas Peran
dan
Kepuasan
Kerja
pada
Pengambil
Keputusan
Sektoral.

4

2005

Bhakti,
Septa
Jangkung
Waskita

Pengaruh
Kepuasan Kerja,
Komitmen
Organisasi,
Konflik Peran dan
Ambiguitas Peran
terhadap Turnover
Intention (Studi
Empiris Pada
Kantor Akuntan
Publik Di
Semarang)

Konflik Peran (Role
Conflict) and
Ambiguitas Peran
(Role
Ambiguity),Kepuas
an Kerja(Job
Satisfaction) and
Komitmen
Organisasi
(Organizational
Commitment)
Motivasi
(Motivation),
Ambiguitas Peran
(Role Ambiguity),
and
Kepuasan
Kerja
Kepuasan
Kerja
(Job
Satisfaction).

Kepuasan Kerja,
Komitmen
Organisasi, Konflik
Peran, Ambiguitas
Peran,dan Turnover
Intention

Konflik
peran
dan
Ambiguitas
peran
berpengaruh
terhadap
Kepuasan
Kerja
dan
komitmen organisasi.

Ambiguitas peran tidak
berhubungan
langsung
terhadap kinerja penjualan.
Implikasi
manajer
penjualan akan memahami
fungsi dan peranannya
sebagai fungsi penjualan.
Secara khusus manajer
bekerja atas peranan dan
bantuan agen yang secara
khusus
melaksanakan
fungsi utama manajer
penjualan.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
budaya
organisasi
memiliki
pengaruh
langsung maupun tidak
langsung
terhadap
kepuasan kerja karyawan
KAP. Namun demikian
pengaruh
langsungnya
terbukti
lebih
besar
dibanding pengaruh tidak
langsungnya.
Konflik
peran
juga
memiliki
pengaruh negatif terhadap
kinerja manajerial secara
langsung maupun secara
tidak langsung. Namun
pengaruh konflik peran
secara tidak langsung
melalui komiten organiasi
lebih besar dibanding
pengaruh langsung.

Tabel 2.1 (Lanjutan)
5.

2007

Churiyah,
Madziatul

Pengaruh Konflik
Peran
(Role
Conflict) terhadap
Kepuasan Kerja
Perawat
serta
Komitmen pada
Organisasi

Konflik Peran (Role
Conflict), Kepuasan
Kerja,
serta
Komitmen

6.

2012

Abdullah,Z
ainuddin,
Darwanis
dan Basri
Zein

Pengaruh
Stres
Kerja
terhadap Kinerja
Auditor Melalui
Motivasi
Kerja
SebagaiVariabel
Intervening Studi
Pada
Auditor
Interndi
Pemerintah
Provinsi Aceh

Stres
kerja,
Motivasi kerja dan
Kinerja Auditor

Hasil penelitian ini adalah
konflik peran terhadap
kepuasan kerja perawat
berpengaruh
signifikan
sebesar 0,430;
konflik peran berpengaruh
signifikan secara langsung
terhadap komitmen pada
organisasi sebesar 0,164 ;
konflik peran berpengaruh
signifikan secara tidak
langsung
terhadap
komitmen pada organisasi
sebesar 0,353; kepuasan
kerja perawat berpengaruh
signifikan
langsung
terhadap komitmen pada
organisasi
dengan
koefisien path sebesar
0,821.
Dari hasil pengolahan data
secara simultan stres kerja
dan
motivasi
kerja
berpengaruh
signifikan
terhadap kinerja auditor
yang ada
di Pemerintah Aceh.

2.3. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual dalam penelitian ini, dapat digambarkan sebagai beikut:
Konflik Peran
(X)

Motivasi
(Z)

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Kinerja Organisasi
(Y)

2.4. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konseptual tersebut maka hipotesis penelitian ini
adalah “Konflik Peran berpengaruh terhadap Kinerja pada Kantor Kesehatan
Pelabuhan Kelas I Medan Belawan dan Kuala Namu dengan Motivasi sebagai
Variabel Intervening.”

Dokumen yang terkait

Analisis pengaruh orientasi profesional terhadap kinerja auditor, konflik peran sebagai variabel intervening

0 7 98

ANALISIS PENGARUH MOTIVASI BERPRESTASI, MOTIVASI BERAFILIASI, MOTIVASI KEKUASAAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA SLEMAN

0 7 193

PENGARUH KONFLIK PERAN DAN AMBIGUITAS PERAN TERHADAP TURNOVER INTENTION MELALUI STRES KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (Studi empiris pada karyawan BPJS Kesehatan D.I. Yogyakarta )

12 74 149

Pengaruh Konflik Peran Dan Motivasi Sebagai Variabel Intervening Terhadap Kinerja Pada Kantor Kesehatan Pelabuhan (Kkp) Kelas I Medan Belawan Dan Kualanamu

0 0 19

Pengaruh Konflik Peran Dan Motivasi Sebagai Variabel Intervening Terhadap Kinerja Pada Kantor Kesehatan Pelabuhan (Kkp) Kelas I Medan Belawan Dan Kualanamu

0 0 2

Pengaruh Konflik Peran Dan Motivasi Sebagai Variabel Intervening Terhadap Kinerja Pada Kantor Kesehatan Pelabuhan (Kkp) Kelas I Medan Belawan Dan Kualanamu

0 0 14

Pengaruh Konflik Peran Dan Motivasi Sebagai Variabel Intervening Terhadap Kinerja Pada Kantor Kesehatan Pelabuhan (Kkp) Kelas I Medan Belawan Dan Kualanamu

0 1 6

Pengaruh Konflik Peran Dan Motivasi Sebagai Variabel Intervening Terhadap Kinerja Pada Kantor Kesehatan Pelabuhan (Kkp) Kelas I Medan Belawan Dan Kualanamu

0 0 6

Pengaruh Pelaksanaan Mentoring terhadap Kinerja auditor melalui Konflik peran dan Ambiguitas Peran sebagai Variabel Intervening - Unika Repository

0 0 15

Pengaruh Pelaksanaan Mentoring terhadap Kinerja auditor melalui Konflik peran dan Ambiguitas Peran sebagai Variabel Intervening - Unika Repository

0 0 46