KERENTANAN NELAYAN DAN PERUBAHAN IKLIM (3)

KERENTANAN NELAYAN DAN PERUBAHAN IKLIM
A. Pendahuluan
Perubahan iklim merupakan isu global yang mulai menjadi topik
perbincangan dunia sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di
Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992. United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC) merupakan salah satu konvensi yang
tercantum dalam Agenda 21 dan telah disahkan pada konferensi
tersebut. Maksud dan tujuan utama dari konvensi tersebut adalah untuk
menjaga kestabilan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer
sehingga terjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan
(Meiviana et al. 2004).
melalui

Undang-undang

Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut
No.

6

tahun


1994.

Pada

perkembangan

selanjutnya, perubahan iklim menjadi isu penting dalam kebijakankebijakan penting internasional setelah tahun 1995 ketika laporan
penilaian kedua dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
menyebutkan bahwa―human activities were having a ‘discernible‘
impact on climate” (IPCC 2001). Menurut Glantz (1990), jauh sebelum
maraknya konsensus umum tentang realitas

bahwa perubahan iklim

adalah disebabkan oleh manusia sesungguhnya tingkat keparahan dari
dampak perubahan tersebut sudah lebih dulu terjadi.
Beberapa ilmuan dan literatur tentang kebijakan pembangunan
(seperti (Kates 2000, Mendelsohn et al. 2007, Smith et al. 2000)
berkeyakinan bahwa masyarakat miskin dan rumah tangga pedesaan

yang bergantung pada sumber daya alamlah yang akan menanggung
dampak beban merugikan yang tidak proporsional dampak perubahan
iklim.
banjir,

Dalam empat dekade lalu, bahaya-bencana terkait iklim seperti
kekeringan,

badai,

longsor

dan

kebakaran

hutan

telah


menyebabkan banyak kehilangan nyawa manusia dan penghidupan,
hancurnya ekonomi dan infrastruktur sosial juga kerusakan lingkungan. Di
banyak tempat

dunia, frekuensi dan intensitas bahaya-bencana ini

cenderung meningkat. Banjir dan angin-badai mengakibatkan 70% dari

1

total bencana dan sisanya 30% diakibatkan oleh kekeringan, longsor,
kebakaran hutan, gelombang panas, dan lain-lain.
Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak
buruk pemanasan global sebagai akumulasi pengaruh daratan dan
lautan. IPCC (2007) menyebutkan bahwa setidaknya terdapat dua faktor
penyebab kerentanan wilayah ini. Pertama, pemanasan global ditengarai
meningkatkan frekuensi badai di wilayah pesisir.

Setiap tahun, sekitar


120 juta penduduk dunia di wilayah pesisir menghadapi bencana alam
tersebut, dan 250 ribu jiwa menjadi korban hanya dalam kurun 20 tahun
terakhir (tahun 1980-2000).

Pada periode 1905-1930 di wilayah pantai

Teluk Atlantik terjadi rata-rata enam badai tropis per tahun. Rata-rata
tahunan itu melonjak hampir dua kali lipat (10 kali badai tropis per tahun)
pada periode tahun 1931-1994 dan hampir tiga kali lipat (15 kali badai
tropis) mulai tahun 1995 hingga 2005.
sebagai

Pada tahun 2006 yang dikenal

“tahun tenang” saja masih terjadi 10 badai tropis di wilayah

pesisir ini.

Juga dilaporkan pola peningkatan kejadian badai tropis ini


tetap akan berlangsung sepanjang pemanasan global masih terjadi (IPCC
2007). Kedua, pemanasan global diperkirakan akan meningkatkan suhu
air laut berkisar antara 1-30C . Dari sisi biologis, kenaikan suhu air laut ini
berakibat pada meningkatnya potensi kematian dan pemutihan terumbu
karang di perairan tropis. Dampak ini diperkirakan mengulang dampak
peristiwa El Nino Southern Oscillation (ENSO) di tahun 1997 - 1998.
Kondisi

perubahan

iklim

yang

mengganggu

ekosistem

laut


tentunya dapat memperburuk kehidupan ekonomi para nelayan yang
menggantungkan kehidupan pada penangkapan ikan laut. Dahuri (2003)
menyebutkan bahwa kebutuhan manusia yang semakin meningkat,
sementara daya dukung alam bersifat terbatas menyebabkan potensi
kerusakan sumberdaya alam menjadi semakin besar. Hal ini menjadi
suatu kekhawatiran tersendiri mengingat Kusnadi (2007) menyebutkan
kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai kawasan
secara umum ditandai oleh kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya,
rendahnya

kualitas

berorganisasi

sumberdaya

manusia

(SDM)


serta

kapasitas

masyarakatnya. Para nelayan ini turut pula merasakan

2

dampak perubahan iklim yang ditandai meningkatnya frekuensi badai
dan gelombang tinggi, rob, dan perubahan antara musim barat dan
musim timur yang tidak menentu (Hidayati dan Aldrian, 2012). Waktu
yang tepat untuk melaut pun sulit diprediksi dan berimbas pada
penghasilan mereka.
Kerentanan nelayan erat kaitannya dengan tingkat kemiskinan dan
rendahnya kemampuan adaptasi.

Hasil penelitian di Afrika menunjukkan

bahwa tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim berbeda
dari satu daerah ke daerah lain meski dalam satu negara (Liverman,

2008).

Tingkat kerentanan tersebut dipengaruhi oleh kondisi dan

keterpaparan iklim (climate exposure), sensitivitas masyarakat dan
kemampuan mereka untuk beradaptasi (Metzge et al, 2006; IPCC, 2007).
Diskusi di atas menginformasikan bahwa perubahan iklim memiliki
beragam dampak yang spontan dan kadangkala berdampak masif. Oleh
sebab itu, kajian komprehensif dampak perubahan iklim pada masyarakat
nelayan sangat menarik dan bijak untuk dilakukan.

Salah satu isu

penting akhir–akhir ini terkait dengan perubahan iklim (Climate Change)
adalah kerentanan dari suatu negara, daerah, masyarakat, individu atau
rumah tangga sebagai dampak dari perubahan iklim. Meskipun demikian,
banyak peneliti yang belum sepakat
sendiri.

tentang konsep kerentanan itu


Artinya, konsep kerentanan belum terdefinisikan secara jelas.

Menurut Adger, et al. (2003) dan Briguglio (1995), kerentanan bukanlah
konsep yang sederhana dan berbeda dengan kemiskinan.

Kerentanan

adalah potensi kerugian atau kerusakan dari guncangan eksogen baik
yang berasal dari internal maupun eksternal.

Dari latar belakang

tersebut, maka tujuan dari makalah ini adalah:
1. Menjelaskan persepsi nelayan mengenai perubahan iklim
2. Mendeskripsikan dampak perubahan iklim yang terjadi di sektor
perikanan Indonesia
3. Menjelaskan kerentanan nelayan terkait dampak perubahan iklim
B. Persepsi Nelayan mengenai Perubahan Iklim


3

Menurut Baron dan Byrne (2004) persepsi adalah suatu proses
memilih, mengorganisir, dan menginterpretasi informasi dikumpulkan
oleh pengertian seseorang dengan maksud untuk memahami dunia
sekitar. Sementara menurut Mulyana (2010) dalam Purnamasari (2012)
persepsi manusia terbagi menjadi dua, yaitu persepsi terhadap objek
(lingkungan fisik) dan persepsi terhadap manusia. Persepsi dilakukan
berdasarkan pengalaman masa lalu yang berkaitan dengan objek dan
orang.
Sebagaimana telah diketahui bahwa masyarakat Indonesia baik
masyarakat pedalaman maupun pesisir memiliki sistem pengetahuan
lokal (local knowledge) yang berkaitan dengan lingkungan termasuk pula
iklim. Sistem pengetahuan masyarakat atau sistem budaya masyarakat
tersebut telah berlangsung secara turun temurun. Demikian pula sistem
pengetahuan lokal berkaitan dengan iklim yang digunakan dalam
pemanfaatan,

pelestarian


dan

pengelolaan

sumberdaya

laut

oleh

masyarakat pesisir di Indonesia. Indrawasih (2012) dalam jurnalnya yang
berjudul “ Gejala perubahan iklim, dampak dan strategi adaptasinya pada
wilayah

dan

komunitas

nelayan

di

kecamatan

Bluto

kabupaten

Sumenep”, mengemukakan bahwa gejala perubahan iklim yang diketahui
oleh masyarakat pesisir adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan

berkaitan

dengan

angin,

pada

musim

barat

(namberek) secara umum mereka alami pada bulan Januari sampai
dengan Agustus, musim timur (nimur) bulan September sampai
dengan Desember. Akan tetapi pada musim

barat terdapat

perbedaan tiupan anginnya, yaitu musim barat dengan tiupan
angin timur terjadi pada bulan
sedangkan

dengan

tiupan

Juni sampai dengan Oktober,

angina

barat

terjadi

pada

bulan

November sampai dengan Agustus.
2. Berkaitan

dengan hujan, yaitu musim hujan biasanya mereka

alami pada bulan Oktober sampai dengan April, sedangkan musim
kemarau bulan Mei sampai dengan September.
3. Berkaitan dengan gelombang, menurut informan karena perairan
sekitar kampung tempat tinggal

serta fishing ground mereka

4

adalah merupakan selat, yaitu Selat Madura
gelombang cenderung relatif stabil, tidak

maka

kondisi

ada perubahan tinggi

gelombang secara significant.
4. Berkaitan dengan arus dan angin

pada musim barat arus lebih

kuat dan angin bertiup lebih kencang dari pada musim timur.
Berkenaan dengan adanya perubahan iklim, yang dipahami dan
dirasakan oleh nelayan Indonesia adalah
hujan dan musim kemarau.

adanya perubahan musim

Biasanya musim hujan

mulai pada bulan

September sampai dengan April, tetapi belakangan mundur menjadi
bulan November sampai dengan Mei, dan pada tahun terakhir ini, bulan
Desember

baru mulai hujan dan sampai dengan bulan juni.

Selain

musim hujan yang tidak kunjung berhenti, juga kondisi angin cenderung
lebih kencang dari biasanya. Dengan kencangnya tiupan angin tersebut,
kondisi laut mengalami perubahan arus, yang menurut pengakuan
informan

sudah dua tahun terakhir ini

kencang

dari

tahun-tahun

juga keadaan arus laut lebih

sebelumnya,

demikian

pula

keadaan

gelombang/ombak.
Penelitian Nurlaili (2012) yang berjudul “Strategi adaptasi nelayan
Bajo menghadapi perubahan iklim: studi nelayan Bajo di kabupaten Sikka,
Flores, Nusa Tenggara Timur”, juga mengemukakan bahwa perubahan
iklim yang sangat dirasakan nelayan Bajo di Wuring yaitu terjadinya
perubahan atau pergeseran pola musim. Pergeseran pola musim ini
berpengaruh pada kesulitan nelayan memprediksi tingginya gelombang
dan angin.

Dalam waktu selang satu tahun menurut mereka terdapat

perbedaan datangnya Musim Barat dan Musim timur. Musim yang ada
digolongkan

berdasarkan

arah

angin.

Gambaran

musim

yang

digambarkan nelayan untuk masa sekarang yaitu gambaran musim yang
terjadi pada tahun 2011, sedangkan kategori dulu yaitu gambaran musim
yang terjadi sebelum tahun 1990 an.
C. Dampak Perubahan Iklim di Sektor Perikanan Indonesia

5

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang
memiliki kekuatan di bidang maritim dan memiliki sumber daya perikanan
laut yang cukup besar (Fahmi, 2011).
Office

for

the

Coordination

of

Hasil laporan United of Nations

Humanitarian

Affairs

(UNOCHA)

menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan
terhadap

bencana

perubahan

iklim

(UNOCHA,

2008).

Kerentanan

penduduk nelayan yang tinggal di daerah pesisir tentunya menjadi hal
yang sangat penting bagi Indonesia.

Perubahan iklim mengakibatkan

perubahan fisik lingkungan di wilayah pesisir berupa instrusi air laut ke
darat, gelombang pasang, banjir, genangan di lahan rendah dan
kekeringan (Diposaptono dkk., 2009). Perubahan kondisi alam yang
drastis

menambah

kepanikan

terhadap

kejutan

alam

yang

siap

melenyapkan hasil tangkapan mereka (Wibowo dan Satria, 2015). Kondisi
perubahan iklim telah memperburuk kehidupan ekonomi para nelayan
karena

menggantungkan

kehidupan

pada

penangkapan

ikan

laut

(Romadhon, 2014). Terganggunya penangkapan ikan laut diakibatkan
karena perubahan distribusi ikan, waktu berlayar, dan tipe perahu.
Perubahan iklim yang terjadi di pesisir laut mempengaruhi kehidupan
organisme sehingga berpotensi mengakibatkan efek negatif terhadap
produksi ikan dan kehidupan nelayan (Desmawan, 2010). Hal tersebut
yang membuat nelayan memiliki ketidakpastian dalam matapencaharian
dan aspek penghidupan nelayan.
Sebagai salah satu negara penghasil ikan tangkapan di dunia,
Indonesia, negeri dengan panjang pantai mencapai 81.000 kilometer dan
memiliki kawasan laut seluas 5,8 juta kilometer persegi, sangat rentan
terhadap perubahan iklim. Sektor perikanan yang memiliki peran penting
secara sosial dan ekonomi, sangat terpengaruh erat dengan berbagai
perubahan kondisi alam yang kini terus menekan hasil tangkapan ikan di
laut. Berbagai faktor seperti ketidakpastian cuaca, kondisi cuaca ekstrem,
kenaikan suhu permukaan laut (sea surface temperature-SST), naik
turunnya harga bahan bakar serta perubahan arah angin, menurunkan
tingkat produktivitas nelayan.

6

Dampak perubahan iklim di Indonesia telah dirasakan, baik secara
langsung (fisik) maupun tak langsung (nonfisik).
Dampak Fisik
Secara fisik, dampak perubahan iklim di Indonesia telah dirasakan
oleh berbagai lapisan masyarakat. Anomali iklim dan musim pada tahun
2010 adalah salah satu contohnya.

Sepanjang tahun tersebut, hujan

terus mengguyur seluruh wilayah Indonesia sekalipun daerah tersebut
mengalami

musim

kemarau.

Dampak

perubahan

iklim

telah

menyebabkan terjadinya anomali dan iklim di Indonesia.


Perubahan siklus air dan Perluasan wilayah tropis
Kondisi permukaan bumi yang semakin panas menyebabkan

terjadinya

perubahan

siklus

air,

baik

di

laut

maupun

atmosfer.

Memanasnya permukaan laut di daerah tropis menyebabkan evaporasi
meningkat. Bersamaan dengan itu, juga terjadi peningkatan volume air
dalam pembentukan awan.

Akibatnya terjadi curah hujan dengan

intensitas yang lebih tinggi.

Di sisi lain, semakin kuat penguapan,

sirkulasi arus laut juga meningkat.

Beberapa dampak dari proses ini

adalah lapisan troposfer di daerah tropis akan meningkat, termasuk
daerah dengan suhu di atas 0 oC naik menjadi lebih tinggi. Peningkatan
penguapan yang tinggi akan menyebabkan daerah tropis menjadi jenuh.
Akibatnya, wilayah tropis semakin meluas dan menciptakan wilayah
tropis baru di daerah subtropics.
Konsekuensi logisnya, terjadi perubahan ketahanan dari berbagai
komoditas pertanian khas tropis. Selain itu, hama dan penyakit tanaman
yang selama ini hanya menyerang di daerah tropis akan menyebar ke
daerah tropis yang baru terbentu tersebut (subtropics). Dampak lain dari
percepatan

dan

peningkatan

intensitas

penguatan sumber fenomena cuaca.

siklus

air

adalah

adanya

Artinya, daerah yang memiliki

potensi basah akan ssemakin lebih basah.

Sebaliknya, wilayah yang

berpotensi kering akan menjadi lebih kering.

Penguatan sumber

fenomena cuaca ini berkaitan dengan meningkatnya besaran energi di
atmosfer.


Anomali iklim dan musim

7

Dalam kondisi normal, Indonesia memiliki dua musim: hujan dan
kemarau.

Namun, sepanjang tahun 2010 hampir seluruh kawasan

Indonesia hanya mengalami musim hujan. Hal ini menyebabkan berbagai
macam dampak, baik pada produksi pertanian, perkebunan, perikanan,
transportasi, maupun gangguan pada beberapa jenis (spesies) hewan dan
tumbuhan tertentu.


Perubahan frekuensi El Nino dan La Nina (ENSO)
El Nino diartikan sebagai fenomena di wilayah Samudera Pasifik

ekuatorial yang ditandai dengan adanya perbedaan positif antara suhu
permukaan laut (sea surface temperature/SST) yang teramati di wilayah
Nino 3,4 dibandingkan periode normal.

El Nino disebabkan oleh

pindahnya kolam hangat (warm pool) dari utara Irian ke Pasifik Tengah
akibat

suhu

Perpindahan

di

lapisan

tersebut

thermocline

merupakan

sudah

konsekuensi

melewati
logis

nilai

dari

kritis.

tingginya

perbedaan suhu di daerah warm pool dengan di Pasifik Tengah.
Pemanasan global dapat memperkuat intensitas El Nino akibat kekuatan
pemanasan dari massa air laut yang menumpuk di daerah kolam hangat.
Menurut penelitian Aldrian dan Susanto (2003), dampak El Nino tidaklah
sama untuk seluruh wilayah Indonesia, tergantung pola curah hujan suatu
daerah tertentu.


Kebakaran hutan
Meningkatnya

kekeringan

memicu

kasus

kebakaran

hutan

meskipun hampir seluruh kasus kebakaran hutan lebih disebabkan oleh
faktor manusia.

Kebakaran hutan meningkat tajam apabila terjadi hari

tanpa hujan di atas seminggu.

Pada tahun-tahun terjadinya El Nino,

kasus kebakaran lahan dan hutan juga meningkat tajam.

Sebaliknya,

pada tahun-tahun La Nina atau kemarau basah, kebakaran hutan
menurun.

Jumlah titik api (hot spot) di Pulau Sumatra dan Kalimantan

berkorelasi kuat dengan tingkat intensitas El Nino di Samudera Pasifik
yang diwakili oleh suhu muka laut di wilayah Nino.

Besaran korelasi

meningkat pada paruh setengah tahun kedua antara bulan Juli dan
Desember.


Meningkatnya kejadian puting beliung

8

Pemanasan global akan meningkatkan temperatur permukaan
sehingga menimbulkan kenaikan perbedaan tekanan udara antara satu
daerah dengan daerah lainnya.

Kondisi ini dapat memicu kenaikan

frekuensi kejadian angina putting beliung.

Seperti diketahui, angina

merupakan salah satu unsur iklim yang dikendalikan oleh radiasi
Matahari, perbedaan topografi, dan perbedaan tekanan udara.


Rob dan gelombang tinggi di laut
Rob merupakan gejala naiknya permukaan air laut di daerah pesisir

akibat pasang laut.

Peristiwa ini lebih disebabkan oleh perubahan

struktur fisik permukaan tanah di wilayah pesisir yang menyebabkan
intrusi air laut ke daerah pesisir.

Peristiwa rob terjadi di banyak kota

besar yang berada di wilayah pesisir seperti Jakarta dan Semarang.
Dengan naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global maka
ancaman kejadian rob akan semakin meningkat. Selain rob, juga terjadi
gelombang tinggi di laut akibat cuaca ekstrem yang meningkat.
Gelombang tinggi

berkorelasi dengan kuatnya tiupan angina kencang

akibat peristiwa pembentukan awan hujan yang kuat. Gelombang tinggi
yang sering terjadi pada musim pancaroba dan puncak musim hujan ini
seringkali menimbulkan kecelakaan pada transportasi laut.

Selain itu,

nelayan juga tidak berani melaut dan menangkap ikan ketika terjadi
gelombang tinggi.
Tabel 1. Kejadian Bencana Hidrometeorologi tahun 2002 – 2010
Jenis
Bencana
Tanah
Longsor
Banjir
dan
Tanah
Longsor
Banjir
Kekeringan
Angin Topan
Gelombang
pasang/abra
si
Kebakaran
hutan
dan

Tahun
200 200
6
7
73 104

200
2
48

200
3
70

200
4
54

200
5
50

200
8
112

200
9
225

201
0
401

201
1
115

17

37

9

13

31

52

39

14

43

69

51

159

285

248

328

339

495

478

119

184
84
14

152
122
30

198
166
34

101
350
36

1.0
16
43
402
12

14
-

66
30
6

327
65
8

222
47
6

4

21

10

11

34

0
137
13

9

lahan
Total

134

389

758

588

714

799

1.0
55
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana

1.2
38

1.9
21

460

Dampak Non-fisik
Dampak perubahan iklim secara non-fisik terjadi akibat hubungan
tidak langsung yang pada akhirnya mengganggu aktivitas kehidupan
manusia. Meskipun dampak ini tidak terlihat pada parameter perubahan
iklim, namun dapat mengakibatkan terjadinya perubahan fisik seperti
pada struktur bangunan dan fasilitas pendukung lainnya.

Dampak

nonfisik yang terjadi pada sektor kelautan dan perikanan adalah sebagai
berikut:
 Pergeseran musim dapat menyebabkan terjadinya perubahan
waktu dan jenis tangkapan ikan
 Perubahan

suhu

permukaan

laut

dapat

menyebabkan

perubahan lokasi tangkapan, perpindahan lokasi ikan, serta
pengurangan jenis dan jumlah ikan.
 Perubahan

pola

angina

dan

gelombang

menyebabkan nelayan gagal melaut.

tinggi

dapat

Selain itu, perubahan

tersebut juga dapat mengakibatkan terjadinya pengadukan di
waduk, tambak dan keramba jaring apung sehingga turbiditas
meningkat.
 Perubahan pola hujan, fenomena banjir, dan kekeringan dapat
mempengaruhi pola budidaya petani tambak.
 Perubahan frekuensi El Nino dapat menyebabkan peningkatan
hasil tangkapan (tuna) dan peningkatan produksi garam.
Sebaliknya, pada saat La Nina dan kemarau basah dapat
menyebabkan produksi garam turun dan hasil penangkapan
tuna jauh berkurang.
 Perubahan kelembaban udara dapat menyebabkan peningkatan
keasinan air tambak dan mempengaruhi pola budidaya.

10

 Peningkatan

tinggi

peningkatan

permukaan

terjadinya

rob,

laut
erosi

dapat
tebing

menyebabkan
pantai,

serta

tenggelamnya pulau dan tambak.
Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Iklim pada Wilayah Pesisir
Berbagai kerusakan ekosistem pesisir terjadi akibat perubahan
iklim

seperti

yang

telah

dipaparkan

terganggunya

aktivitas

masyarakat

kehidupannya

terhadap

berbagai

ekonomi

maupun

secara

sebelumnya

pesisir

yang

sumberdaya

spasial.

menyebabkan

menggantungkan

pesisir,

Dampak

baik

sosial-ekonomi

secara
yang

ditimbulkan oleh perubahan iklim antara lain:
1. Pada

kesehatan

lingkungan

dan

pemukiman

masyarakat,

perubahan iklim menyebabkan:


Terancamnya persediaan air bersih penduduk akibat intrusi
air laut ke daratan dan perubahan curah hujan (IPCC, 2007;
Diposaptono, 2009: Tauli-Corpuz, 2009).



Meningkatnya penyebaran berbagai penyakit yang dibawa
oleh vector dan air seperti kolera, hepatitis, malaria dan
demam berdarah (IPCC, 2007; Diposaptono, 2009).



Terancamnya pemukiman yang berada di wilayah pesisir
akibat banjir (rob), gelombang ekstrim dan badai (IPCC,
2007; Diposaptono, 2009). Dampak yang lebih buruk akan
dialami oleh masyarakat di pulau- pulau kecil.

2. Pada perikanan, perubahan iklim berdampak kepada:
a. Kerugian yang terjadi pada perikanan budidaya sebagai
akibat dari:


Hilang/berkurangnya

ikan-ikan

di

tambak

karena

tersapu banjir ataupun tergenangnya lahan budidaya,
baik karena curah hujan yang tinggi ataupun akibat
gelombang pasang (Diposaptono, 2009).


Terganggunya

kesehatan

berbagai

komoditas

perikanan budidaya akibat meningkatnya salinitas air
di lahan perikanan budidaya (Diposaptono, 2009).

11



Kerusakan infrastruktur budidaya perikanan akibat
kenaikan permukaan air laut, erosi, banjir (rob), dan
gelombang ekstrim (Diposaptono, 2009). Sebagai
gambaran, saat ini Indonesia memiliki sekitar 400 ribu
ha lahan budidaya tambak dan berbagai infrastruktur
perikanan

yang

menjadi

tumpuan

ekonomi

masyarakat pesisir.
b. Menurunnya produksi perikanan tangkap, sebagai akibat
dari:


Sulitnya

menentukan

musim

penangkapan

ikan

karena perubahan pola migrasi ikan akibat perubahan
suhu permukaan laut, stratifikasi kolom air yang
menyebabkan

perubahan

proses

upwelling

(Diposaptono, 2009; Chen, 2008; Satria, 2009).


Sulitnya menentukan wilayah tangkapan ikan sebagai
dampak dari perubahan pola migrasi ikan serta
kerusakan terumbu karang (Diposaptono, 2009; Chen,
2008; Satria, 2009).



Berkurangnya stok ikan-ikan karang akibat kerusakan
terumbu karang yang kemudian akan juga akan
mempengaruhi

kondisi

ekonomi

sekitar

30

juta

nelayan di dunia yang bergantung pada ketersediaan
ikan-ikan karang (Satria, 2009).


Berkurangnya

ketersedian

stok

ikan

akibat

peningkatan suhu dan perubahan sirkulasi laut seperti
yang diungkapkan dalam IPCC report (2007) dimana
tangkapan ikan tuna di Asia Timur dan Asia Tenggara
yang memenuhi hampir seperempat total produksi
tuna di dunia telah mengalami penurunan akibat dua
hal tersebut.


Menurunnya produksi perikanan tangkap non-ikan
akibat
(2007)

kerusakan

terumbu

menyebutkan

karang.

sejumlah

Supriharyono

organisme

yang

12

bernilai ekonomi yang kehidupannya bergantung pada
terumbu karang, yaitu penyu, udang barong, octopus,
conches, kerang, oyster, rumput laut, kima dan
teripang.


Resiko melaut yang semakin tinggi akibat ancaman
meningkatnya badai dan gelombang ekstrim akibat
perubahan iklim (Diposaptono, 2009).

Perubahan iklim juga turut memengaruhi distribusi dan penyebaran
ikan di laut, sementara kenaikan harga bahan bakar akan memengaruhi
kesempatan nelayan untuk menangkap ikan seiring dengan pergeseran
penyebaran ikan yang terus berubah akibat perubahan iklim.

Hasil

analisa tren dengan menggunakan data altimeter, terlihat kenaikan tinggi
muka laut (TML) yang bervariasi dari 0,5 cm/tahun sampai 0,6 cm/tahun
di pantai barat Sumatera.

Proyeksi kenaikan TML pada tahun 2030

diperkirakan mencapai 24cm ± 16cm relatif terhadap TML di tahun 2000.
Selanjutnya TML akan bergerak naik seiring dengan peningkatan suhu
permukaan laut (SPL). TML akan naik sebesar 40 cm ± 20 cm dan 56 cm
± 32 cm, masing-masing pada tahun 2050 dan 2080. Pada akhirnya TML
akan naik sebesar 80 cm ± 40 cm di tahun 2100. Sebagai tambahan,
kenaikan TML ini berkaitan erat dengan kenaikan SPL, dengan asumsi
kenaikan setiap 1°C suhu permukaan laut meningkatkan TML sebesar 20
cm sampai 40 cm, maka kenaikan TML akan mencapai 45 cm sampai 90
cm berdasarkan tingkat kenaikan SPL sebesar 2.2°C pada tahun 2100
(Sofian, 2010). Kenaikan TML ini akan meningkatkan risiko banjir, abrasi
dan erosi yang pada akhirnya dapat mempengaruhi produksi perikanan
budidaya di sepanjang pantai barat Sumatera.
Secara umum, hasil estimasi tinggi gelombang menunjukkan
bahwa tinggi gelombang di Perairan Indonesia dipengaruhi oleh angin
musiman. Pada bulan November sampai Maret, tinggi gelombang di
Pasifik lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi gelombang signifikan di
Samudera Hindia. Selanjutnya tinggi

gelombang di Laut Jawa hanya

berkisar antara 0,5m sampai 1,5m dengan tinggi gelombang signifikan

13

tertinggi terjadi pada bulan Pebruari.

Tinggi gelombang signifikan di

pantai barat Bengkulu bervariasi dari 1.5m sampai 2.5m. Meskipun tinggi
gelombang signifikan maksimum dapat mencapai 4m sampai 6m
(Widiono, 2009).
Setidaknya terdapat empat hal yang dapat terjadi pada perikanan
tangkap terkait dampak-dampak perubahan iklim di wilayah laut,
berdasarkan pendapat (Diposaptono et al., 2009). Pertama, terjadi
perubahan pola migrasi ikan akibat perubahan suhu permukaan laut.
Kedua, terjadi stratifikasi kolom air yang mempengaruhi proses upwelling
yang berkorelasi positif dengan gerombolan ikan (fish schooling), dan
dengan sendirinya mengakibatkan nelayan sulit menangkap ikan. Ketiga,
terjadi perubahan kawasan penangkapan ikan (fishing ground). Keempat,
semakin terpuruknya nasib nelayan akibat dibutuhkannya waktu dan
biaya yang lebih besar untuk melaut karena migrasi maupun rusaknya
habitat perikanan dan fishing ground.
D. Kerentanan Nelayan terkait Dampak Perubahan Iklim
Kerentanan

ialah

kecenderungan

sistem

kompleks

adaptif

mengalami pengaruh buruk dari keterbukaannya terhadap tekanan
eksternal dan kejutan (Kasperson 2001, Turner et al, 2003). Kerentanan
adalah manifestasi dari

struktur sosial, ekonomi dan politik, dan

pengaturan lingkungan. Kerentanan dapat dilihat dari dua unsur yaitu
paparan terhadap risiko dan kemampuan adaptasi. Manusia yang lebih
memiliki kemampuan untuk mengatasi kejadian ekstrem sedikit lebih
rentan terhadap risiko (UNEP, 2009). Semakin rentan sebuah sistem,
maka semakin rendah kemampuan kelembagaan dan masyarakat untuk
beradaptasi dan membentuk perubahan (Adger et al., 2001).
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengkaji
pengaruh perubahan

iklim adalah tingkat kerentanan. Kerentanan

merupakan suatu terminologi yang komplek dan tidak pasti sehingga
masih banyak terdapat pengertian tentang kerentanan tergantung pada
lingkup penelitian (Olmos, 2001; Fussel, 2007). Kerentanan (vulnerability)
adalah suatu kondisi yang dipengaruhi oleh proses fisik, sosial, ekonomi,

14

dan Iingkungan yang dapat meningkatkan resiko terhadap dampak
bahaya (Herawaty & Santoso, 2007).

Secara garis besar kerentanan

merupakan kondisi dimana sistem tidak dapat

menyesuaikan dengan

dampak dari suatu perubahan (Olmos 2001; Fussel 2007).
berbeda

secara temporal

dan

spasial

Kerentanan

(Olmos 2001; IPCC

2007).

Kerentanan dalam konteks sosial merupakan fungsi dari paparan
(exposure), daya adaptasi (adaptive capability) dan sensivitas (Herawaty
& Santoso, 2007). Konsep penilaian kerentanan ini dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Konsep Penelitian Kerentanan (Kasperson, et al. 2001)
Pada Gambar 1 terlihat bahwa suatu sistem baik alam maupun
sosial akan dipaparkan sehingga terjadi perubahan ekosistem dan sosial.
Dalam menghadapi

perubahan tersebut, respon dari suatu sistem

berbeda tergantung pada kepekaan dan kemampuan adaptasi. Kepekaan
sistem merupakan kondisi dimana sistem akan merespon dampak dari
perubahan tersebut. Sedangkan kemampuan adaptasi merupakan kondisi
dimana

suatu

sistem

perubahan tersebut.

akan

mampu

untuk

menyesuaikan

dengan

Apabila kemampuan adaptasi sistem rendah,

sedangkan kepekaanya tinggi maka akan

terjadi kerentanan. Dengan

kata lain, kerentanan merupakan sisa dari dampak perubahan.

15

Kerentanan terkait perubahan iklim sangat ditentukan oleh faktor
ketergantungan

terhadap

(dependency)

berasal

sumberdaya.

dari

perspektif

masyarakat dan interaksi mereka

Konsep
sosiologi

ketergantungan
pedesaan

pada

dengan sumber daya yang berisiko,

terutama pada konteks Amerika Utara, tetapi juga semakin berkembang
dalam konteks masyarakat pesisir (misalnya Peluso et al. 1994, Bailey
dan Pomeroy 1996).

Di bawah konsep dependency, promosi spesialisasi

dalam kegiatan ekonomi memiliki konsekuensi negatif dalam hal risiko
bagi individu dalam masyarakat dan untuk masyarakat sendiri.

Oleh

karena itu resiliensi sosial diamati dengan memeriksa aspek-aspek positif
dan negatif dari pengucilan sosial (social exclusion), marginalisasi
(marginalization) dan modal sosial (social capital).
Kerentanan dilihat pada dua aspek. Pertama, kerentanan sebagai
faktor ekstenal dari sistem sosial ekonomi masyarakat sebagai dampak
langsung dari perubahan iklim. Dalam aspek ini, kerentanan dilihat
sebagai tingkatan dari suatu sistem terhadap kemudahan sistem tersebut
terkena

dampak

atau

ketidak

mampuan

mengatasi

dampak

dari

perubahan iklim termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim. Di sini
kerentanan merupakan fungsi dari karakter, magnitude, laju dari variasi
iklim

karena

terekspose,

sensitivitas

dan

kapasitas

adaptasinya

(McCarthy, 2001). Kedua, kerentanan sebagai bagian dari hasil adaptasi.
Di sini kerentanan dilihat sebagai perkiraan besar dampak buruk timbul
akibat keragaman dan perubahan iklim setelah dilakukan upaya adaptasi
(Jones et al. 2004). Analisis kerentanan dibuat dalam skema penilaian
kerentanan pada gambar 2.

16

Gambar 2. Skema Analisis Kerentanan Perubahan Iklim
Analisis kerentanan pada penelitian ini merujuk pada penilaian
kerentanan berdasarkan IPCC (2007) mengkaji tiga komponen: paparan
(exposure), kepekaan (sensitivity), dan kemampuan adaptasi (adaptive
capacity). Komponen kajian kerentanan dan metode yang digunakan
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komponen dan Metode Analisis Kerentanan Nelayan
No.
1.

Komponen Kajian
Kerentanan
Paparan

2.

Kepekaan

3.

Kemampuan
Adaptasi

Metode yang Digunakan
Kalender
musiman,
sejarah
waktu,
Pengalaman iklim, dampak fisik
Pemetaan bahaya, analisis kecenderungan
bahaya, peringkat jenis/tingkatan bahaya,
peringkat risiko bahaya, model mental,
pengembangan skenario secara partisipatif
untuk potensi risiko
Pemetaan sumberdaya masyarakat, kajian
kerentanan
sumberdaya
terkait
kesejahteraan, matriks kerentanan dan
kemampuan,
matriks
kajian
strategi
mengatasi
dan
beradaptasi
terhadap
perubahan, strategi efektifitas daptasi

Sumber: IPCC, 2007
Kerentanan
menerima

didefinisikan

dampak

dari

sebagai

adanya

suatu

seberapa

jauh

perubahan

masyarakat

(tidak

mampu

mengatasi atau mengurangi dampak). Dengan demikian, kerentanan

17

adalah sisa potensi dampak (dampak terpendam) yang tidak bisa diatasi
oleh kemampuan adaptasi. Dalam aspek ini, kerentanan menunjukkan
besarnya selang toleransi (coping range) sistem terhadap perubahan
iklim. Semakin sempit selang toleransi, maka semakin rentan sistem
tersebut terhadap dampak perubahan iklim. Lebar selang tolerasi
berubah

dengan

waktu

sejalan

dengan

berubahnya

faktor

yang

menentukan selang tolerasi. Kerentanan adalah apabila perubahan iklim
melewati batas kritis (critical threshold), yang berarti kondisi iklim saat itu
melewati batas kemampuan nelayan untuk mengatasinya dan sebagai
dampaknya nelayan akan mengalami kerugian.
Analisis Potensi Risiko
Tahap pertama analisis kerentanan adalah menilai potensi risiko
(potencial impact) dengan melihat tingkat paparan dan kepekaan. Potensi
risiko adalah risiko ancaman dampak perubahan iklim yang merupakan
gabungan

dari

paparan

(exposure)

dan

kepekaan

(sensitivity),

menggambarkan keseluruhan kerugian yang mungkin terjadi bila kondisi
iklim berubah. Risiko adalah dampak terpendam yang merupakan
gabungan dari paparan dan kepekaan. Dampak risiko menggambarkan
keseluruhan kerugian yang mungkin terjadi bila kondisi iklim berubah.
Pengertian

‘potensi

dampak’

menggambarkan

gabungan

luasan,

intensitas dan frekuensi dampak perubahan kondisi iklim pada suatu
wilayah.

IPCC (2007) mendefinisikan paparan adalah sejauh mana

perubahan iklim bersinggungan dengan pola kehidupan dan penghidupan
masyarakat

maupun

ekosistem.

Faktor

penentu

paparan

adalah

kecenderungan iklim saat ini (musim), kejadian yang diakibatkan iklim,
perkiraan iklim, serta data masyarakat dan ilmuwan. Paparan keragaman
iklim pada dasarnya adalah fungsi ruang (wilayah). Masyarakat pesisir
dan dataran tinggi akan mengalami paparan yang berbeda terhadap
perubahan kondisi iklim tertentu. Masyarakat dataran tinggi tidak
terpapar kenaikan muka laut.
Analisis

paparan

ditujukan

untuk

menampilkan

pandangan

masyarakat atas kondisi iklim di desa dalam beberapa tahun terakhir,

18

khususnya yang berhubungan dengan penghidupan (mata pencaharian
utama, sumberdaya alam dan sarana infrastruktur) dan kehidupan sosial
dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu
diuraikan terlebih dahulu komponen perubahan kondisi iklim yang
menjadi permasalahan. Misalkan, paparan kenaikan permukaan laut yang
mungkin akan dialami berbeda oleh anggota masyarakat pada suatu
desa. Sementara pada paparan iklim yang dialami merata oleh tiap
anggota masyarakat sama (atas pola musim atau curah

hujan),

perbedaan terletak pada pengaruhnya atas sumber penghidupan yang
berbeda.
IPCC

(2007)

mendefinisikan

kepekaan

sebagai

dampak

dari

perubahan iklim, meliputi dampak dari perubahan pola musim jangka
panjang, kejadian cuaca buruk jangka pendek/singkat, dan bencana
terkait perubahan iklim. Lapisan masyarakat tertentu memiliki kepekaan
yang

berbeda,

diantaranya

berdasarkan

sumber

penghidupan.

Masyarakat yang bergantung pada lebih dari satu sumberdaya memiliki
kepekaan yang rendah terhadap dampak perubahan iklim dibandingkan
hanya pada satu sumberdaya saja. Petambak ikan di pesisir memiliki
kepekaan

tinggi

terhadap

kenaikan

permukaan

laut

dibandingkan

pembudidaya rumput laut pada lokasi yang sama. Dengan pengertian ini,
kepekaan merupakan sebuah asumsi dampak berdasarkan pengalaman
maupun pengetahuan yang dimiliki.
Analisis kepekaan ditujukan untuk mengetahui dampak dari kondisi
pola iklim (pola musim) yang berubah dan cuaca buruk terhadap
sumberdaya (sumberdaya alam, harta milik, dan infrastruktur) serta
terhadap masyarakat (pada kesehatan, dan kehidupan sosial lainnya).
Analisis Kemampuan Adaptasi
Kemampuan adaptasi adalah karakteristik yang melekat pada
lembaga-lembaga yang memberdayakan aktor sosial untuk menanggapi
langkah-langkah pendek dan jangka panjang baik melalui tindakan yang
direncanakan atau melalui memungkinkan dan mendorong tanggapan
kreatif dari masyarakat baik ex ante dan ex post (Gupta et al. 2008).

19

Karakteristik tersebut meliputi (1) karakteristik institusi (aturan formal
dan informal; norma dan keyakinan) yang memungkinkan masyarakat
(individu, organisasi dan jaringan) untukmengatasi perubahan iklim, dan,
(2) tingkat dimana lembaga-lembaga tersebut memungkinkan dan
mendorong

aktor

mengubah

lembaga-lembaga

untuk

mengatasi

perubahan iklim.
Penilaian kemampuan adalah mengkaji keberadaan sumberdaya
yang dimiliki oleh masyarakat yang menunjukkan kemampuan adaptasi
yang meliputi kondisi pada aspek sosial ekonomi, penghidupan dan
kelembagaan yang memungkinkan masyarakat untuk menghadapi dan
mengatasi

ancaman

perubahan

iklim.

Sedangkan

adaptasi

adalah

kemampuan masyarakat untuk mampu menghadapi dan mengatasi
perubahan iklim pada saat ini dan di masa datang. Penilaian kemampuan
adaptasi ini penting untuk mengurangi risiko akibat perubahan iklim.
Tujuan analisis kemampuan adaptasi ialah untuk menilai tingkatan
kemampuan (kemampuan) masyarakat saat ini dalam menghadapi dan
mengatasi masalah iklim yang berubah atau cuaca buruk.
Penelitian mengenai kajian kerentanan nelayan yng terkait dampak
perubahan iklim belum terlalu banyak dilakukan di Indonesia, padahal
Indonesia diperkirakan akan mengalami dampak yang besar yang
diakibatkan

oleh

perubahan

iklim.

Romadhon

(2014)

dalam

penelitiannya mengemukakan bahwa tingkat kerentanan masyarakat
Pulau Gili Labak terhadap perubahan iklim tergolong tinggi. Penilaian
kerentanan masyarakat Pulau Gili Labak terhadap perubahan iklim dapat
dijelaskan oleh kriteria yang meliputi : a) kondisi ekologis terumbu
karang; b) perubahan hasil tangkapan ikan karang; c) alat tangkap yang
digunakan;

c) ketergantungan masyarakat; d) kualitas masyarakat; e)

keharmonisan masyarakat dan f) alternatif mata pencaharian; serta
indikator meliputi : a) indeks tutupan karang; b) jumlah hasil tangkapan
ikan karang; c)alat tangkap ramah lingkungan; d) persentase masyarakat
yang bekerja menangkap ikan karang; e) Tingkat pendidikan dan f)
perilaku konservasi; g) tingkat konflik; dan h) jumlah mata pencaharian
lain.

20

E. KESIMPULAN
1. Perubahan iklim, yang dipahami dan dirasakan oleh nelayan
Indonesia adalah

adanya perubahan musim hujan dan musim

kemarau.
2. Dampak perubahan iklim pada sektor perikanan tangkap Indonesia
yaitu terjadi perubahan pola migrasi ikan akibat perubahan suhu
permukaan laut, terjadi stratifikasi kolom air yang mempengaruhi
proses upwelling yang berkorelasi positif dengan gerombolan ikan
(fish schooling) sehingga nelayan sulit untuk menangkap ikan,
terjadi perubahan kawasan penangkapan ikan (fishing ground), dan
semakin terpuruknya nasib nelayan akibat dibutuhkannya waktu
dan biaya yang lebih besar untuk melaut karena migrasi maupun
rusaknya habitat perikanan dan fishing ground.
3. Kerentanan terkait perubahan iklim sangat ditentukan oleh faktor
ketergantungan

terhadap

sumberdaya.

Kerentanan

nelayan

Indonesia terkait dampak perubahan iklim tergolong tinggi dan
diperlukan strategi adaptasi untuk mengatasi kerentanan yang
dirasakan oleh nelayan.
DAFTAR PUSTAKA
Adger et al. 2001. Advancing a Political Ecology of Global Enviromental
Discourse. Development and Change Vol. 32. Institute of Social
Studies. Blackwell Publisher.
Adger, W.N, Hug,S., Brown,K.,Conway,D., dan Hume M.
2003.
Adaptation to
Climate Change In Developing World. Progress In
Development Studies, 3 (3), 179- 195.
Bailey C and Pomeroy C. 1996. Resource dependency and development
options in coastal south east Asia. Society and Natural Resources 9:
191-99.
Baron, R. A. & Byrne, D.
Penerbit Erlangga

2004.

Psikologi Sosial

(edisi 10). Jakarta :

Briguglio, L. 1995. Small Island Developing States and Their Economic
Vulnerabilities. World Development, 23 (9), 1615-1632.
21

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chen CTA. 2008. =Effects of Climate Change on Marine Ecosystem‘,
Fisheries for Global Welfare and Environment: 5 th World Fisheries
Congress. Tokyo: TERRAPUB.
Desmawan, B. T. 2010. “Adaptasi Masyarakat Kawasan pesisir terhadap
Banjir dan Rob di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak, Jawa
Tengah”. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Diposaptono, S, Budiman, Firdaus A. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: PT. Sarana Komunikasi
Utama.
Fahmi, Irfan. 2011. Manajemen Resiko, Teori, Kasus dan Solusi. Bandung:
Alfabeta
Fussel HM.
2007.
Vulnerability: a generally applicable conceptual
framework for climate change research. Glob Environ Change.
Glantz MH. 1990. On the interactions between climate and society.
Population and Development Review 16 (supp.): 179-200.
Herawaty H dan Santoso H.
2007. Pengarus-utamaan adaptasi
perubahan iklim ke
dalam agenda pembangunan: tantangan
kebijakan dan pembangunan. Adaptasi terhadap bahaya gerakan
tanah di masa yang akan datang akibat pengaruh perubahan iklim.
Laporan pertemuan dialog pertama gerakan tanah dan perubahan
iklim. Bogor, tanggal 7-8 Desember 2006. Cifor. Bogor, Indonesia.
Hidayati, D dan Aldrian E (ed.).
2012.
Perubahan Iklim: Upaya
Peningkatan Pengetahuan dan Adaptasi Petani dan Nelayan Melalui
Radio. Bogor: PT Sarana Komunikasi Utama bekerja sama dengan
LIPI, BMKG, dan ICCTF.
Indrawasih, Ratna. 2012. Gejala Perubahan Iklim, Dampak dan Strategi
Adaptasinya pada Wilayah dan Komunitas Nelayan di Kecamatan
Bluto, Kabupaten Sumenep. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Volume
14 No 3 Tahun 2012.
International Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001:
Impacts, Adaptation and Vulnerability, Contribution of Working Group
II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change, J.J. McCarthy, O. F. Canziani, N. A. Leary, D. J.
Dokken, K. S. White (eds.). Cambridge University Press: Cambridge.
Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change
2007-The Physical Science Basis: Contribution of Working Group I to

22

the Fourth Assessment Report of the IPCC. Cambridge. Cambridge
University Press.
Jones, R., R. Boer, L. Mearns, and S. Magezi. 2004. “Assessing Current
Climate Risks”. In Bo Lim, Erika Spanger-Siegfried, Ian Burton,
Eizabeth Malone and Saleemul Huq (eds.). Adaptation Policy
Frameworks for Climate Change: Developing Strategies, Policies and
Measures (pp: 91-117). Cambridge University Press. Available on line
at http://www.undp.org/gef/05/kmanagement/pub_practitioner.html
Kasperson RE, Kasperson JX. 2001. Climate Change, Vulnerability, and
Social Justice. Stockholm: Stockholm Environment Institute.
Kates R. 2000. Cautionary tales: Adaptation and the global poor, Climatic
Change 45: 5– 17.
Kusnadi. 2007. Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta: LkiS.
Liverman D. 2008. Assessing impacts, adaptation and vulnerability:
Reflections on the Working Group II Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change. Global Environmental Change 18: 4-7.
McCarthy JJ. 2001. Climate Change 2001: Impacts, adaptation, and
vulnerability: Contribution of working group II to the Third
assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change. Cambridge University Press.
Meiviana A. et al. 2004. Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di
Indonesia. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, JICA dan Pelangi.
Mendelsohn R, Basist A, Kurukulasuriya P dan Dinar A. 2007. Climate and
rural income. Climatic Change 81(1): 101 -18.
Metzger MJ, Rounsevell MDA, Acosta-Michlik L, Leemans L, & Schröter L.
2006. The vulnerability of ecosystem servoces to land use change.
Agriculture, Ecosystems and Environment 114, 69-85.
Nurlaili. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Bajo menghadapi Perubahan
Iklim: Studi Nelayan Bajo di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara
Timur. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Volume 14 No 3 Tahun 2012
Olmos S.
2001. Vulnerability and Adaptation to Climate Change:
Concepts, Issues, Assessment Methods, Climate Change Knowledge
at: http://www.cckn.net.
Peluso NL, Craig RH and Louise PF. 1994. The Rock, The Beach, and The
Tide Pool: People and Poverty in Natural Resource Dependent Areas.
Society and Natural Resources. 7 (1): 23-39.

23

Romadhon, A. 2014. "Analisis Kerentanan dan Adaptasi Masyarakat Pulau
Gili Labak Terhadap Perubahan Iklim Berbasis Ekosistem Terumbu
Karang”. Konferensi dan Seminar Nasional Pusat Studi Lingkungan
Hidup Indonesia XXII, Surabaya, hal 156-166.
Satria A. 2002. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Pustaka Cidesindo.
Smith B, Burton I, Klein RJT dan Wandel J. 2000. An anatomy of adaptation
to climate change and variability. Climatic Change, 45: 223–251.
Stern, Nicholas, 2007. Review on the Economic of Climate Change.
Tauli-Corpuz V, Baldo-Soriano E, Magata H, Golocan C, Bugtong MV, de
Chaves R, Enkiwe-Abayao L, Cariño J. 2008. Panduan Tentang
Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat. Philippines: Tebtebba
Foundation
Turner BL, Roger E, Kasperson, Matsone PA, McCarthy JJ, Corell RW,
Christensen L, Eckley N, Kasperson JX, Luers A, Martello ML, Polsky C,
Pulsipher A dan Schiller A. 2003. A framework for vulnerability
analysis in sustainability science. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 100:
8074–8079.
UNEP.
2009. Climate Change Science Compendium. Catherine P.
McMullen.
Jason
Jabbour,
Eds.
http://www.unep.org/pdf/ccScienceCompendium2009/
cc_ScienceCompendium2009_full_en.pdf.
Wibowo, A. dan Satria A. 2015. "Strategi Adaptasi Nelayan di Pulau-Pulau
Kecil terhadap Dampak Perubahan Iklim (Kasus: Desa Pulau Panjang,
Kecamatan Subi, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau)." Sodality:
Jurnal Sosiologi Pedesaan, 3 (2), hal 107-124.
Widiono, H. 2009. Kajian Dasar Dampak Perubahan Iklim terhadap
Sektor Pertanian di Provinsi Bengkulu: Analisa Perubahan Curah
Hujan dan Sea Level Rise. Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 15
Nomor 2. Desember 2009.

24