TEORI DAN KRITIK SASTRA TEMPATAN

TEORI DAN KRITIK SASTRA TEMPATAN
Puji Santosa
Apakah yang dimaksud dengan teori dan kritik
sastra tempatan? Sebuah pertanyaan mendasar
bilamana

seseorang

mengetahui

pada

hakikat

umumnya

ingin

sebuah

ilmu


dasar

pengetahuan, khususnnya tentang teori dan
kritik sastra tempatan yang dibicarakan dalam
buku ini. Ketika hal itu ditanyakan kepada Prof.
Dr. Henricus Supriyanto, M.Hum., pakar ilmu
sastra

dari

Surabaya

Universitas

(wawancara

PGRI
30


Adi

April

Buana,
2014

di

Padepokan Seni Tan Tular, Malang, Jawa Timur),
beliau menjawab bahwa istilah sastra tempatan
baru

beliau

dengar

sekarang

ini.


Jadi,

beliau

kurang

memahami

maknanya. Istilah ini belum “ngetren” pada teori dan kritik sastra yang
beliau miliki. Istilah yang populer bagi beliau adalah:
(a) sastra daerah, acuan geografis terkait dengan pengarang adalah
putra daerah, karya tulis dalam bahasa daerah, dan pembaca karya
sastra juga orang-orang atau penduduk daerah, misalnya masyarakat
Jawa Timur;
(b) sastra etnik, mengacu ke studi etnologi, dalam ruang lingkup studi
budaya

etnik,


misalnya

bahasa

Using,

masyarakat

Using

di

Banyuwangi, Jawa Timur; dan
(c)

sastra lokal, mengacu ke acuan makna “locus” geografis, budaya
lokal dan bahasa daerah di tingkat lokal.
Sementara itu, menurut Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A., pakar

sastra dari Universitas Negeri Surabaya (wawancara 28 April 2014, di

kampus Universitas Negeri Surabaya, Surabaya, Jawa Timur) teori dan
kritik sastra tempatan adalah “Teori dan kritik sastra yang didasarkan
pada karya sastra lokalitas (bangsa/bahasa serumpun) dihasilkan sebagai
penolakan terhadap teori dan kritik sastra universal yang diimpor dari

Eropa dan Amerika. Estetika yang dikaji didasarkan pada kekuatan
(ekspresi estetik) yang ada pada karya sastra lokal atau serumpun
Indonesia dan Malaysia. Sebagai sebuah teori, teori dan kritik sastra
tempatan

harus

terikat

pada

epistemologi

(cara


kerja

keilmuan

etnosains). Teori harus membangun pola yang berulang, dan memiliki
teknik analisis yang spesifik.”
Sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A.
tersebut, Dr. Sunu Catur Budiono, M.A. (wawancara 29 April 2014 di
kampus

Universitas

PGRI

Adi

Buana,

Surabaya,


Jawa

Timur)

pun

berpendapat bahwa “Teori dan kritik sastra tempatan merupakan teori
dan kritik sastra yang di dasarkan dan dikembangan pada fenomena dan
khasanah sastra tempatan yang tumbuh dan berkembang dalam lingkup
budaya tertentu. Oleh karena itu, teori dan kritik sastra tempatan memiliki
karakteristik dan keterikatan yang kuat dengan fenomena sastra, estetika,
nilai,

filsafat,

dan

budaya

tertentu


dengan

segala

keunikannya.

Pemahaman terhadap teori dan kritik sastra tempatan harus di dasarkan
pada pemahaman terhadap nilai, estetika, fisafat, dan budaya yang
melahirkannya. Dengan kata lain, teori dan kritik sastra tempatan sangat
konstekstual dengan situasi etnik tertentu.”
Oleh karena bersifat sangat konstekstual dengan situasi etnik
tertentu, materi sastra Indonesia dan sastra daerah yang dapat dijadikan
sebagai sarana penggalian teori dan kritik sastra tempatan meliputi:
(a)

Sastra tulis, yang ada dan tersebar di berbagai daerah di
Indonesia baik lama (berupa naskah) maupun modern (cetakan) yang
ditulis, berkembang, dan didukung oleh warga budaya tertentu.
Walaupun jumlah etnik di Indonesia yang memiliki tradisi tulis sangat

terbatas, akan tetapi sebagai dokumen budaya yang berupa karya
sastra akan menjadi sangat penting untuk melihat estetika, nilai,
etika, maupun filsafat (worldview) dalam konteks budaya tertentu.;
dan

(b)

Sastra lisan, yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi tertentu.
Di samping sastra tulis, sastra lisan juga memiliki peranan yang
penting untuk diperhatikan. Sastra lisan sebagai fosil hidup dari suatu

budaya tertentu juga mengadung estetika, filsafat, nilai, etika,
maupun worldview masyarakat pendukungnya. Dalam batas tertentu,
antara sastra lisan dan sastra tulis saling mengisi antara satu dengan
lainnya. Sastra lisan bisa menjadi sumber sastra tulis. Sebaliknya
sastra tulis dapat menjadi sumber sastra lisan. Walaupun harus diakui
bahwa perubahan dari lisan ke tulis maupun sebaliknya, senantiasa
mengalami transformasi, baik bentuk maupun isi. Sebagai contoh
kasus, yakni cerita Roro Mendut dan Serat Damarwulan.
Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A. menekan bahwa pada

hakikatnya sastra Indonesia dan daerah, genre sastra, estetika sastra,
konsep-konsep dalam teori sastra tempatan, teknik analisis sastra dapat
dijadikan sarana penggalian teori dan kritik sastra tempatan. Oleh karena
itu, Prof. Dr. Henricus Supriyanto, M.Hum. menambahkan bahwa materi
riset sastra nasional berupa semua terbitan karya sastra tulis, genre
novel, cerpen, puisi, dan naskah seni drama dapat dijadikan sarana
penggalian teori dan kritik sastra tempatan. Waktu pada kurun tertentu,
misalnya sastra yang terbit tahun 2000—2015 atau dua kurun waktu yang
berbeda,

misalnya

sastra

yang

terbit

tahun


1990—2000

dapat

dibandingkan dengan sastra yang terbit tahun 2001—2010; serta materi
riset susastra daerah dalam batasan pengertian pengarang putra daerah
(misalnya Jawa Timur), pengarang arek Jawa Timur, media pers majalah
berbahasa Jawa (Penyebar Semangat dan Jaya Baya) atau novel,
kumpulan cerita pendek (crita cekak), puisi dan naskah drama berbahasa
daerah. Sumber lain ialah buku novel berbahasa Jawa, puisi-geguritan
berbahasa Jawa, dan naskah drama yang terbit dalam bentuk buku. Itu
semuanya dapat dijadikan bahan penelitian teori dan kritik sastra
tempatan.
Objek kajian teori dan kritik sastra tempatan meliputi semua genre
sastra daerah/lokal, Melayu, nasional/Indonesia dapat dijadikan objkek
bahan kajian atau sarana penggalian teori dan kritik sastra tempatan,
misalnya:
(a) sastra lama: gurindam, syair, pantun;
(b) sastra baru: puisi, prosa, drama, puisi prosais, prosa puitis;

(c) sastra lisan: legenda, mite, fabel, nyanyian rakyat, ungkapan
tradisional, bahasa rakyat, drama rakyat;
(d) sastra kraton, sastra pesisiran; dan
(e) sastra pedalaman.
Selain itu, dapat juga berupa genre karya sastra berbahasa Jawa
yang dapat difungsikan untuk menggali teori dan kritik sastra lokal. Genre
sastra novel, kumpulan cerpen, dan puisi-geguritan berbahasa Jawa.
Aspek waktu dapat dipilah berdasarkan periodisasi susastra Jawa di Jawa
Timur,

misalnya

zaman

Penjajah

Belanda,

Zaman

Jepang,

Zaman

Kemerdekaan, pada Zaman Orde Baru, dan pasca Orde Baru (periode
reformasi).
Dr. Sunu Catur Budiono, M.A. menyarankan objek kajian penelitian
teori dan kritik sastra tempatan meliputi: Tembang macapat dan
kidung. Serat Centini sebagai karya tulis terpanjang di dunia ditulis
dalam bentuk tembang macapat. Contoh karya yang ditulis dalam
tembang macapat:
(a) Serat tambang Raras, Serat Wedhatama, Serat Wulang Reh, Serat
Sana Sunu, dan Serat Damarwulan.
(b) Babad Diponegoro, Babat Mentawis, Babad Sultan Agung, Babad Giri,
dan Babad Pekalongan
(c)

Selain itu juga sastra tulis dalam bentuk gancaran (prosa).

(d) Kidung Sri Tanjung
Sastra Lisan, misalnya, La Galigo yang merupakan karya sastra
lisan terpanjang di dunia (A Teeuw), Bujang Tan Domang, Kentrung,
Ludruk, Kethoprak, Mamanda, Wayang Wong, Janger Banyuwangi, SyairSyair gandrung.
Pantun,

yang

tumbuh

dan

berkembang

di

masyarakat.

Perkembangan pantun baik melalui seni pertunjukan maupun masyarakat
luas. Sampai saat ini pantun masih berkembang dengan subur, juga di
kalangan anak muda. Pantun memiliki kekhasannya sendiri, walaupun
tidak seunik dan serumit wangsalan.
Dalam konteks sastra Melayu, dapat digunakan hikayat, syair,
sastra epos, cerita asal-usul, dan sastra sejarah.

Dalam konteks nasional (Indonesia), sebaiknya dicermati karya
sastra yang ditulis berdasarkan hasil transformasi dari sastra lokal.
Contohnya Roro Mendut, Damar Wulan, Jaya Prana Layung Sari, dan Sang
Kuriang. Karena karya-karya tersebut masih mengandung nilai, filsafat,
etika, maupun estetika dari budaya yang melahirkannya.
Genre sastra Melayu klasik, seperti gurindam, syair, pantun, dan
hikayat, pada hakikatnya dapat dijadikan sarana penggalian teori dan
kritik sastra tempatan. Data penelitian yang berupa apa pun, termasuk
gurindam, syair, dan pantun; dapat dijadikan pijakan kelahiran sastra
Melayu klasik. Ciri-ciri yang melekat pada genre sastra tersebut tidak
ditemukan pada sastra Eropa dan Amerika.
Genre sastra Melayu klasik seperti gurindam, syair, pantun dan
hikayat dapat difungsikan untuk penggalian teori dan kritik sastra lokal
pada zamannya. Teori riset dapat digunakan untuk membangun teori
sastra lokal, atau sastra etnik pada zamannya.Artinya berdasarkan
periodisasi sastra tersebut.Hasil riset ini amat berguna untuk kritik sastra
bandingan.
Genre tersebut dapat dipakai sebagai bahan kajian teori dan kritik
sastra tempatan, tetapi tidak memadai, dalam arti bahwa sastra
tempatan sangat terikat pada tradisi sastra dan budaya tertentu. Selain
itu, setiap gugus budaya dan etnik memiliki tradisi sastranya masingmasing dengan kekhasan, estetika, falsafah, dan nilai yang berbeda-beda.
Baik yang terdapat dalam sastra lisan maupun sastra tulis. Dengan
demikian, fenomena sastra Melayu akan melahirkan gagasan teori
maupun kritik sesuai dengan kekhasan budaya, estetika, dan falsafah
Melayu. Hal ini belum tentu cocok bahkan mungkin bertentangan dengan
kekhasan budaya, estetika, dan falsafah dari etnik yang lain.
Sementara itu, genre sastra lokal/daerah yang sekiranya tepat
untuk dapat dijadikan sarana penggalian teori dan kritik sastra tempatan
adalah:
(a) Sastra Melayu Klasik,
(b) Sastra Jawa Klasik, Sastra Jawa Tengahan, Sastra Jawa Baru, dan
Sastra Jawa Modern;

(c)

Sastra Sunda;

(d) Sastra Minangkabau;
(e) Sastra Bali;
(f)

Sastra Riau;

(g) Sastra Bugis (Lagaligo);
(h) Sastra Lombok.
Genre sastra lokal yang dapat dijadikan sarana penggalian teori dan
kritik sastra tempatan ialah:
(a) langkah awal memahami konsep filosofis yang dianut sastrawan
lokal, pembaca masyarakat lokal, dan genre sastra yang dipilih;
(b) genre sastra tulis novel, cerita bersambung, cerpen dan geguritan
berbahasa Jawa. Susastra tulis dengan mudah dapat dibaca pada
majalah (kalawari bahasa Jawi) Penyebar Semangat dan Jaya Baya;
dan
(c)

sastra

lokal

yang

terlengkap

adalah

susastra

lisan

yang

terekspresikan dalam bahasa sub etnik di Jawa Timur. Bahasa yang
dimaksudkan bahasa Jawa Mataraman, bahasa Jawa Budaya Arek,
bahasa Jawa Tengger, bahasa Using (Banyuwangi), bahasa daerah
Pesisiran (Jawa berdampingan dengan bahasa Madura Pendalungan)
dan ragam bahasa Jawa Ponorogan. Genre sastra yang dominan
bahasa lisan sekunder pada seni pertunjukan Wayang Kulit Jawa
Timuran, Kethoprak, Ludruk, Seni pertunjukan Damar Wulan (JangerBanyuwangi), dan nyanyian rakyat pada seni Gandrung Banyuwangi,
kidung-tembang pada seni Tayub.
Beberapa etnik di Indonesia yang memiliki tradisi tulis sekaligus
lisan dapat digunakan sebagai fokus penggalian teori dan kritik sastra
tempatan. Etnik-etnik tersebut antara lain:
(a) Sastra Jawa,
(b) Sastra Bali,
(c)

Sastra Sunda,

(d) Sastra Bugis,
(e) Sastra Sasak,
(f)

Sastra Aceh,

(g) Sastra Batak,
(h) Sastra Lampung, dan
(i)

Sastra Banjar.
Genre sastra lokal tersebut menjadi penting peranannya untuk

penggalian teori dan kritik sastra tempatan karena etnik/daerah tersebut
memiliki tradisi sastra tulis maupun lisan. Dengan demikian, terdapat
naskah sebagai dokumen budaya tertulis maupun tradisi lisan yang
berkembang. Karena itu kedua jenis (sastra tulis maupun lisan) dapat
saling melengkapi dalam upaya menggali estetika, filsafat, dan nilai yang
dianggap agung dan bermanfaat bagi mareka.
Di kalangan sebagian pemerhati, kritikus, dan peneliti sastra di
Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia muncul kegelisahan tentang
dominasi teori dan kritik sastra yang berasal dari Barat. Terkait dengan
penerapan dan penggunaan teori dan kritik sastra, selama ini terkesan
bahwa Timur hanya menjadi “makmum” dan Barat menjadi “imam”.
Kegelisahan tersebut kemudian mendapat tanggapan serius dalam
Musyawarah MASTERA yang dilaksanakan di Kualalumpur, Malaysia, pada
bulan April 2012. Para negara anggota MASTERA berpendapat tentang
perlunya inventarisasi teori dan kritik sastra lahir di Timur, terutama di
negara-negara yang menjadi anggota MASTERA. Munculnya

pendapat

bahwa karya-karya sastra yang lahir di suatu tempat tertentu lebih utama
ditelaah, dianalisis,

dan didekati melalui teori dan kritik sastra yang

berparadigma tempatan, yakni teori dan kritik sastra yang juga lahir di
tempat tersebut, sehingga penerapannya diharapkan tidak terpisah dari
dunia batin masyarakat yang diusung dalam karya-karya bersangkutan
diterima secara bulat. Penerapan teori dan kritik sastra yang tepat
diharapkan akan menghasilkan laporan hasil penelitian dan penelaahan
sastra yang lebih sahih.
Akan tetapi, kegelisahan seperti itu mungkin tidak disetujui oleh
mereka yang berpendapat bahwa sastra yang merupakan produk yang
mengusung nilai-nilai universal

sejatinya dapat diteliti dan ditelaah

melalui teori dan pendekatan yang tumbuh dan berkembang di belahan
bumi mana pun. Setelah dipertimbangkan dengan matang akhirnya para

peserta

musyawarah

menyetujui

perlunya

inventarisasi

dan

pengembangan teori dan kritik sastra tempatan, yakni teori dan kritik
sastra yang lahir di negara-negara anggota MASTERA.
Tujuan diadakan pengkajian teori dan kritik sastra tempatan adalah
menginventarisasi dan mengembangkan teori dan kritik sastra tempatan
dengan berusaha: .
(a) Mengetahui situasi dan kuantitas teori dan kritik sastra tempatan serta
melihat seberapa jauh teori dan kritik sastra tempatan tersebut telah
berkembang

dan

diterima

oleh

masyarakat

sastra,

terutama

masyarakat sastra di negara-negara anggota MASTERA.
(b)Memberi apresiasi yang layak kepada para penemu teori dan kritik
sastra

tempatan

setelah

dilakukan

pembahasan

dan

diskusi

mendalam terhadap teori dan kritik sastra tempatan tersebut.
(c) Mendiseminasikan teori dan kritik sastra tempatan ke wilayah yang
lebih luas untuk memberi informasi terhadap masyarakat sastra
dunia bahwa teori dan kritik sastra bukan hanya tumbuh dan
berkembang di Barat, melainkan juga di Timur.
Untuk mencapai tujuan seperti yang dikemukakan di atas maka
harus diadakan upaya untuk menginventarisasi munculnya teori dan kritik
baru di negara-negara

anggota MASTERA. Teori dan kritik sastra

tempatan yang diinventarisasi mencakup bukan hanya teori dan kritik
yang terkait dengan sastra tulis, melainkan juga sastra lisan dan sastra
siber (cyber literature); bukan hanya sastra modern,

tetapi juga sastra

klasik dan tradisional. Mereka yang mengklaim telah menemukan teori
dan kritik sastra baru harus diberi ruang untuk mempresentasikan,
mempertanggungjawabkan,

dan

memperkembangkan

penemuannya.

Untuk keperluan itu, secara bergiliran, setiap negara anggota MASTERA
harus

memfasilitasi

pelaksanaan

diskusi

dan

pembahasan

dengan

mengundang para pakar sastra dari luar negara anggota MASTERA.
Apabila

penemuan

tersebut

bisa

dipertanggungjawabkan

secara

akademis, maka masing-masing negara anggota MASTERA memiliki
kewajiban untuk memasyarakatkan dan menyebarkan teori dan kritik
sastra tempatan tersebut.

Inventarisasi dan diseminasi teori dan kritik sastra tempatan
diharapkan bukan hanya akan meramaikan perkembangan teori dan kritik
sastra dunia, melainkan juga akan mengangkat dan memperkenalkan
pakar-pakar sastra tempatan di mata dunia. Dengan demikian, munculnya
citra bahwa selama ini Timur hanya menjadi “makmum” dan Barat
menjadi

“imam”

dapat

diubah.

Di

samping

itu

penerapan

dan

penggunaan teori dan kritrik sastra tempatan juga diharapkan dapat
memberi hasil penelitian dan kritik sastra yang lebih sahih dan bisa
dipertanggungjawabkan. Telaah dan kritik sastra yang tidak terpisah dari
dunia batin masyarakat pemiliknya diharapkan dapat

membuahkan

apresiasi dan pemahaman terhadap karya sastra secara lebih jernih.
Metode atau cara yang baik dan tepat dalam usaha penggalian teori
dan kritik sastra tempatan, menurut Prof, Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A.
adalah:
(a) menginventarisasi semua karya sastra Indonesia dan daerah dari
sastra klasik sampai ke sastra modern;
(b) membuat kategori-kategori tertentu;
(c)

menyeleksi berdasarkan tujuan penelitian (misalnya penyusunan
teori dan kritik sastra tempatan);

(d) memaparkan data sesuai dengan tujuan penelitian;
(e) menyimpulkan.
Sementara itu, menurut Prof. Dr. Henricus Supriyanto, M.Hum.,
metodologi atau cara yang baik meneliti sastra lokal adalah:
(a) buku yang dijadikan data riset dihimpun lengkap,
(b) data nama pengarang susastra daerah/lokal terhimpun lengkap, dan
(c)

acuan teori riset ke Filsafat Timur, Sejarah Nasional Indonesia di
tingkat lokal, ungkapan dan tradisi lokal, misalnya budaya khas Jawa
Timur

dengan

subkulturnya

(Mataraman,

Budaya

Arek,

Using,

Tengger, Madura, Pesisiran, dan Ponorogoan).
Dr. Sunu Catur Budiono, M.A. menyarankan terdapat beberapa
upaya yang bisa dilakukan untuk penggalian terori dan kritik sastra
tempatan, antara lain:

(a) Pendokumentasian atau inventarisasi, transliterasi dan transkripsi
naskah, penerjemahan teks sastra, penyuntingan dan penerbitan
teks sastra tersimpan diberbagai perpustakaan di Indonesia. Hal ini
merupakan jalan pertama yang harus dilakukan agar sastra tempatan
dikenal dan memiliki daya tarik bagi masyarakat maupun secara
akademik.
(b) Penelitian dan pengajian secara mendalam, komprehensif, dan
menyeluruh dalam semua jenis sastra tempatan (lisan maupun tulis).
Kajian-kajian tersebut harus diseminasikan dalam forum ilmiah dan
akademik. HISKI harus ditingkatkan perenannya dalam hal ini.
Penelitian teori sastra tempatan ini menggunakan metode kualitatif.
Metode penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak
mengadakan perhitungan, tetapi lebih memprioritaskan pada mutu,
kualitas, isi, ataupun bobot data dan bukti penelitian. Menurut Bogdan
dan Taylor (1975:5), dalam bukunya Qualitative Research for Education,
metode

penelitian

kualitatif

adalah

prosedur

penelitian

yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku data yang dapat diamati. Pendekatan ini
diarahkan pada latar dan individu secara holistik (utuh). Sementara itu,
Kirk dan Miller (1986:9) dalam bukunya Reliability and Validity in Qualitative Research, menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif adalah
tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial atau humaniora yang
secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam
kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut
dalam bahasa dan peristilahannya.
Selain

metode

kulitatif,

penelitian

teori

sastra

tempatan

juga

menggunakan metode Grounded Research dan wawancara dengan tiga
narasumber, yaitu Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A., Prof. Dr. Henricus
Supriyanto, M.Hum., dan Dr. Sunu Catur Budiono, M.A. Metode penelitian
grounded research adalah suatu metode penelitian yang mendasarkan
pada fakta lapangan dan menggunakan analisis perbandingan dengan
bertujuan untuk mengadakan generalisasi empiris, menetapkan konsepkonsep, membuktikan teori, dan mengembangkan teori yang dilakukan

peneliti secara bersamaan antara pengumpulan data dengan analisis
data.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Lukman. (editor). 1978. Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Budiman, Arief. 1985. “Mencari Sastra yang Berpijak di Bumi: Sastra
Kontekstual” dalam Ariel Heryanto 1985. Perdebatan Sastra
Kontekstual. Jakarta: CV Rajawali.
Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi,
Isi, dan Struktur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
--------- 2000. Priyayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Dananjaya, James. 1984. Folklore Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan
Lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Esten, Mursal. (editor). 1989. Menjelang Teori dan Kritik Susastra
Indonesia yang Relevan. Bandung: Angkasa.
Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta:
Erlangga.
Hasan, Mohammad Mokhtar. 2003. “Asar Belum Berakhir: Aplikasinya
Terhadap Teori Takmilah” dalam Pangsura Bilangan 16 Jilid 9 Edisi
Januari–Juni 2003: 3–18.
Heryanto, Ariel (editor). 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: CV
Rajawali.
Imam S., Suwarno. 2003. “Konsep Mistik Pangestu: Analisis dari Perspektif
Islam”. Disertasi gelar doktor dalam bidang Ilmu Agama Islam,
Bidang Konsentrasi Pengkajian Islam. Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Laginem, et al., 1996. Macapat Tradisional dalam Bahasa Jawa. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mangunwijaya, Y.B. 1982. “Mitologi Sebagai Legitimasi Para Dewa” dan
“Mitologi, Epos, dan Roman” dalam Sastra dan Religiositas. Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan.
Mohamad, Goenawan. 1993. “Kesusastraan, Pasemon” dalam Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Nasir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Cetakan Ke-3. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Nugrogo, Yusro Edy. 2001. Serat Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa
dalam Respons Pembaca. Semarang: Mimbar dan The Ford
Foundation.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. Prinsi-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Rakhmat, Jalaluddin. 1984. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung:
Remaja Karya.
Santosa, Puji. 1993. “Kidung Rumeksa Ing Wengi” dalam Jaya Basa Nomor
20B23 Tahun ke-47, tanggal 17, 24, 31 Januari dan 7 Februari 1993:
18.
Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra.
Bandung: Angkasa.
Santosa, Puji., dkk. 1993. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern
1920--1960. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Santosa, Puji., & Djamari. 1995. Analisis Sajak-Sajak J.E. Tatengkeng. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji., & Djamari. 1996. Soneta Indonesia: Analisis Struktur dan
Tematik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan. EndeFlores: Nusa Indah.
Santosa, Puji., dkk. 1997. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern
1960–1980. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji. 1998. “Analisis Struktur Sajak ‘Pembicaraan’ Karya Subagio
Sastrowardojo” dalam Pangsura Bilangan 6/Jilid 4, Januari–Juni 1998,
hlm. 3–15.
Santosa, Puji., dkk. 1998a. Struktur Sajak-Sajak Abdul Hadi W.M. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji., dkk. 1998b. Unsur Erotisme dalam Cerita Pendek Tahun
1950-an. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji. 1999a. “Perkembangan Soneta di Indonesia dan Jatidiri
Bangsa” dalam Pangsura Bilangan 9/Jilid 5, Julai–Desember 1999,
hlm. 92–106.

Santosa, Puji. 1999b. “Kajian Asmaradana dalam Sastra Bandingan” dalam
Bahasa dan Sastra Nomor 3 Tahun XVII, 1999, hlm. 30–50.
Santosa, Puji. 2000. “Estetika Puisi sebagai Pasemon” dalam Kakilangit
Nomor 39, hal. 15–17, sisipan majalah sastra Horison Nomor 4
Tahun XXXIV, edisi bulan April 2000.
Santosa, Puji. 2003d. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika SajakSajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Santosa, Puji., dkk. 2003. Drama Indonesia Modern dalam Majalah
Indonesia, Siasat, dan Zaman Baru (1945–1965): Analisis Tema dan
Amanat Disertai Ringkasan dan Ulasan. Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Santosa, Puji., dkk. 2004. Sastra Keagamaan dalam Perkembangan Sastra
Indonesia Modern: Puisi 1946—1965. Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Santosa, Puji. 2006. Pandangan Dunia Darmanto Jatman. Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Santosa, Puji., & Agus Sri Danardana. 2008. Pandangan Dunia Motinggo
Busye. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung.
Santosa, Puji. 2009. “Dua Kidung dalam Perbandingan” dalam Pangsura:
Jurnal Pengkajian dan Penelitian Sastera Asia Tenggara. Bilangan 28.
Jilid 15. Januari—Juni 2009: 39—55.
Santosa, Puji., & Suroso. 2009. Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara.
Yogyakarta: Pararaton.
Santosa, Puji., Suroso, & Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra: Teori,
Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji. 2010. Kekuasaan Zaman Edan: Derajat Negara Tampak
Sunya Ruri. Yogyakarta: Pararaton.
Santosa, Puji., & Imam Budi Utono. 2010. Struktur dan Nilai Mitologi
Melayu dalam Puisi Indonesia Modern. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Santosa, Puji., & Maini Trisna Jayawati. 2010. Sastra dan Mitologi: Telaah
Dunia Wayang dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.

Santosa, Puji., & Maini Trisna Jayawati. 2011. Dunia Kesusastraan Nasjah
Djamin dalam Novel Malam Kuala Lumpur. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Santosa, Puji., Djamari, & Sri Sayekti. 2011. Manusia, Puisi, dan Kesadaran
Lingkungan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2012a. Merajut Kearifan Budaya: Analisis
Kepenyairan Darmanto Jatman. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2012b. Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar
Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji.., dkk. 2013. Puisi Promosi Kepariwisataan. Yogyakarta:
Elmatera Publishing,
Santosa, Puji., & Djamari. 2013a. Dunia Kepenyairan Sapardi Djoko
Damono. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2013b. Peran Horison Sebagai Majalah Sastra.
Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji. 2014. Sang Paramartha: Kumpulan Puisi. Yogyakarta:
Azzagrafika.
Santosa, Puji., & Djamari. 2014a. Kriik Sastra Tempatan. Yogyakarta:
Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2014b. Apresiasi Sastra Disertai Ulasan Karya,
Proses Kreatif, dan Riwayat Sastrawan. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Santosa, Puji. 2015. Metodologi Penelitian Sastra: Paradigma, Proposal,
Pelaporan, dan Penerapan. Yogyakarta: Azzagrafika.
Santosa, Puji., & Djamari. 2015a. Mengukur Kesesuaian Sastra Pada Siswa
Sekolah Menengah. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2015b. Strategi Pembelajaran Sastra Pada Era
Globalisasi. Yogyakarta: Azzagrafika.
Saputra, Karsono H., 1992. Pengantar Sekar Macapat. Jakarta: Fakultas
Sastra Universitas Indonesia.
Simuh. 2002. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa.
Yogyakarta: Bentang Budaya.
Siswokartono, W.E. Soetomo. 2006. Sri Mangkunagara
Penguasa dan Pujangga. Semarang: CV Aneka Ilmu.

IV

sebagai

Soehadha, M. 2008. Orang Jawa Memaknai Agama. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Soemanto, Bakdi. 1999. Angan-Angan Budaya Jawa: Analisis Semiotik
Pengakuan Pariyem. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.
Subalidinata, R.S. 1994. Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta: Pustaka
Nusatama.
Sudaryanto, et al., 2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan
Pekerja Kongres Bahasa Jawa dan Yayasan Kantil.
Sudjiman, Panuti. 1995. Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sulaiman, Tasirun. 2009. Wisdom of Gontor. Bandung: Mizania.
Supadjar, Damarjati. 1993. Nawangsari. Yogyakarta: Media Widya
Mandala.
Suryadi A.G., Linus. 1981. Pengakuan Pariyem. Jakarta: Sinar Harapan.
Suwondo, Tirto. 1994. Nilai-Nilai Budaya Susastra
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Jawa.

Jakarta:

Sweeney, Amin et al. 2007. Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra.
Jakarta: Desentara dan HISKI.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. 2001. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
dan Balai Pustaka.
Triyono, Adi. 1989. “Memahami Ajaran Keprajuritan dalam Tripama dan
Wirawiyata”. Dalam Widyaparwa Nomor 32, Oktober 1989.
Utomo, Imam Budi. 1997. "Penafsiran Simbol Konsepsi Mistik Serat
Centini" dalam Pangsura. Bilangan 4 Jilid 3, Januari--Juni 1997.
Utorowati, Sri. 2002. “Sisi Keteladanan Tokoh Wayang dalam Serat
Tripama”. Dalam Sujarwanto dan Jabrohim (editor). Bahasa dan
Sastra Indonesia Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad
XXI. Yogyakarta: Panitia PIBSI XXIII Universitas Ahmad Dahlan dan
Gama Media.
Waluyo, Herman J. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Wibowo, Wahyu. 1995. “Warna Daerah atau Warna Setempat” dalam
Konglomerasi Sastra. Jakarta: Paron Press.

Wiryamartana, I. Kuntara. 1990. Arjunawiwâha. Yogyakarta: Dutawacana
dan ILDEP.
Zaidan, Abdul Rozak dkk. 2007. Kamus Istilah Sastra. Cetakan ketiga.
Cetakan pertama 1994. Jakarta: Balai Pustaka.