Jaringan Dunia Islam dan Islam di Nusant

Jaringan Dunia Islam dan Islam di Nusantara

Oleh: Rahmat Hidayat (F02116027)

A. Latar Belakang

Islam yang ada di Nusantara adalah sebuah keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan konteks Islam di kawasan dunia lainnya. Bahkan pula jika keunikan tersebut dibandingkan dengan Islam di kawasan Arab. Keunikan tersebut dapat diurai dalam beberapa hal: jumlah pemeluknya yang terbanyak, adanya pelbagai aliran ideologi, adanya pelbagai macam kultur-budaya, adanya pelbagai macam ajaran, mampu berdampingan dengan budaya asli, dan lain sebagainya.

Keunikan-keunikan tersebut menjadikan Islam di Nusantara sejak dulu sangat menarik untuk dipandang banyak orang. Islam di Nusantara dengan pelbagai macam pernak-perniknya tersebut menarik minat banyak kalangan terdidik untuk mempelajari dan mengkajinya. Mereka mengkajinya dari pelbagai aspek keilmuannya masing-masing.

Para pengkaji tersebut tidak hanya dari internal Islam, pula dari eksternal Islam yang terdiri dari kalangan akademisi perguruan tinggi-perguruan tinggi luar negeri. Mereka bahkan menjadikan bahan kajian tersebut menjadi karya monumental yang mengokohkan dirinya sebagai bagian ilmuwan berkelas dunia. Dalam kalimat yang sederhana, hal itu bermakna bahwa Islam di Nusantara telah memberikan manfaat kepada banyak pihak.

Salah satu pernak-pernik yang sangat menarik tersebut antara lain mengenai sejarah masuknya Islam di Nusantara dan bagaimana perkembangannya. Dalam hal perkembangan Islam, pada titik inilah Islam di Nusantara diibaratkan laksana sebuah intan, yang pantulan cahayanya berpendar ke berbagai arah, bergerak dengan dinamisasi yang luar biasa. Dinamisasi yang wujudnya pemikiran dan pergerakan tersebut terjadi bahkan hingga hari ini. Sayangnya masih banyak muslim di Nusantara yang belum memahami sejarah peradabannya sendiri, dan oleh karena itulah menjadi penting disusunnya makalah ini.

B. Perkembangan Islam di Nusantara

1. Sejarah Islamisasi Nusantara Pada umumnya penyebaran Islam di Nusantara berlangsung melalui dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudian menganutnya. Dan kedua, orang- orang asing Asia, seperti Arab, India dan Cina yang beragama Islam bertempat tinggal secara

permanen di satu wilayah, melakukan perkawinan campuran dan mengikuti gaya hidup lokal. Kedua proses ini dimungkinkan terjadi secara bersamaan. 1 Baik orang pribumi maupun para

1 SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006) hal. 33 1 SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006) hal. 33

Secara lebih spesifik Islamisasi di Nusantara merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah dan juga yang paling tidak jelas faktanya. 2 Ketidakjelasan ini antara lain terletak pada

pertanyaan kapan Islam datang, dari mana Islam berasal, siapa yang menyebarkan Islam di Nusantara pertama kali dan lain sebagainya. 3 Hal tersebut terjadi dengan lumrah disebabkan

perbedaan data dari masing-masing peneliti, perangkat ilmu yang digunakan 4 , serta perbedaan waktu penelitian itu dikerjakan. Juga daerah pijakan awal yang dijadikan obyek penelitian, di mana

Nusantara ini dibagi dalam beberapa pulau besar yang sangat berbeda kultur masyarakatnya, sehingga dapat memunculkan pula perbedaan pandangan dalam diri peneliti.

Lebih jauh Azyumardi Azra menjelaskan bahwa tiga masalah pokok yang menjadi faktor diskusi intens dan perdebatan panjang tersebut antara lain; tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas, tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak (subyektif) dari berbagai teori yang ada. 5

Hasan Mu’arif Ambary mensinyalir bahwa ketidakjelasan tentang Islamisasi di Nusantara dapat ditunjukkan pada bukti-bukti tertua kehadiran orang atau komunitas muslim awal. Di antara beberapa bukti tersebut antara lain di Leran Gresik (1082 M), di Barus, Sumatera Utara (1206 M),

Pasai, Aceh (1297 M), dan Troloyo, Mojokerto (1368 M). 6 Bukti-bukti arkeologis yang berlainan itu membuat perdebatan tentang kapan Islam datang ke Nusantara semakin meruncing.

a. Awal Masuknya Islam di Nusantara Meskipun banyak perdebatan tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara, secara umum terdapat hanya dua perbedaan pendapat tentang kapan pertama kali Islam datang ke Nusantara. Pertama, diasumsikan terjadi pada abad ke 7 H/ 13 M berdasarkan beberapa argumentasi, antara lain:  Tesis yang berpijak dari laporan Marcopolo yang berkunjung ke Nusantara pada abad ke 7

H/ 13 M sebagai utusan kekaisaran Cina dan menegaskan adanya Kesultana Islam Samudra Pasai ketika ia sampai di Aceh melalui pelabuhan kecil di Pantai Utara Sumatera. Marcopolo mendapati jika penduduk disekitar pelabuhan tersebut beragama Islam yang diduga kuat

2 Kalimat Ricklefs ini dikutip oleh Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007) hlm. 31 3 Ibid 4 Secara umum perangkat ilmu yang dipakai dalam penelitian ini adalah sejarah, sosial dan arkeologi 5 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam

Indonesia (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2013) hlm. 2 6 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) hlm. 35 Indonesia (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2013) hlm. 2 6 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) hlm. 35

 Islam masuk ke wilayah Nusantara setelah jatuhnya Baghdad pada 656 H/ 1258 M, dimana ketika itu banyak ulama Arab bermigrasi (hijrah) ke wilayah Timur, untuk mengamankan diri dari ancaman tentara Mongol. Diduga kuat penduduk di Pantai Utara Sumatera menganut Islam adalah berasal dari para “muhajir” dari Baghdad tersebut. Tesis ini sangat didukung kuat oleh C. Snouck Hurgronje.

 Masyarakat Islam sudah ada di wilayah Nusantara setelah kedatangan para sufi pada abad ke

7 H. Oleh orientalis John, tesis ini mendapatkan pembenaran melalui argumentasi bahwa melalui tasawuflah, dalam hal ini tarekat, spirit perjalanan dakwah mereka menguat. Sebagaimana perjalanan yang dilakukan sufi Ibnu Arabi dan al-Jili. 7

Asumsi pertama ini mendapat beberapa sanggahan kuat. Antara lain: berita Marcopolo menunjukkan pula bahwa sebelum ia datang ke Pasai, di daerah tersebut Islam sudah menyebar dan dianut penduduk yang ada di situ; bahkan adanya Kerajaan Islam Samudra Pasai menandakan bahwa sebetulnya Islam sudah kuat di daerah tersebut; hijrahnya sufi Baghdad ke Nusantara di abad 7 H/ 13 M tidak didukung bukti tertulis yang kuat; dan benar memang jika tasawuf merupakan aliran utama para pembawa Islam di Nusantara, namun belum mengerucut menjadi lembaga tarekat. 8

Sanggahan tersebut menjadikan asumsi pertama tersebut menjadi meragukan. Fakta terbantahkan dengan bukti-bukti yang sangat meyakinkan. Akan terlihat berbeda ketika melihat asumsi selanjutnya disebabkan kuatnya argumentasi yang mendukungnya.

Dan kedua, yang mengasumsikan bahwa Islam hadir di Nusantara sejak abad pertama Hijriyah atau tujuh Masehi. 9 Asumsi ini berdasarkan beberapa argumentasi:

 Adanya catatan resmi Kekaisaran Dinasti Tang (618 M) yang secara tersurat memberitahukan tentang sudah masuknya Islam di wilayah Timur Jauh, yakni Cina dan

sekitarnya semenjak abad pertama Hijriyah. Yang dimaksud wilayah Timur Jauh selain Cina adalah gugusan kepulauan Nusantara yang pada masa itu sudah berhubungan dagang dan diplomatik dengan Cina. Dimana penduduk Nusantara yang telah memeluk Islam sudah menguasai ilmu perdagangan yang didapat dari orang Arab yang memang hilir mudik mendatangi Nusantara. Boleh dikata, kepentingan Cina datang ke Nusantara adalah menyerap ilmu dari orang-orang Arab. Selain itu pula, di Nusantara sendiri sudah ada

7 Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia,terjemahan Muhammad Nursamad (Depok: Pustaka IIMaN, 2009) hlm. 6-7 8 Ibid hlm. 7-8 9 7 Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia,terjemahan Muhammad Nursamad (Depok: Pustaka IIMaN, 2009) hlm. 6-7 8 Ibid hlm. 7-8 9

 Adanya laporan Cina lainnya yang memberitahukan jika bangsa Arab telah mengirim utusan kepada sebuah kerajaan di Jawa yang dikenal dengan sebutan Ho Long, sekitar tahun 640, 666 dan 674 Masehi. Dalam catatan itu keduanya, bangsa Arab dan Kerajaan Ho Long, sering saling mengirim utusan untuk mengetahui tentang kemajuan masing-masing. Dari penelitian sejarah diketahui jika yang dimaksud Kerajaan Ho Long yang dimaksud itu adalah Kerajaan Kalingga, sebuah kerajaan yang sudah dikenal adil dan sejahtera, yang terletak di Jawa Timur, seperti yang dijelaskan Hamka yang sudah dikutip Alwi Shihab. Di Kerajaan Kalingga tersebut dipimpin oleh seorang ratu penguasa yang diduga kuat sudah memeluk Islam, namanya Ratu Sima. 10

 Adanya peninggalan sejarah berupa iskripsi makam lama yang terletak di Leran, Gresik, Jawa Timur. Makam tersebut bertulisankan tahun 431 H/ 1039 M di batu nisannya, yang disimpulkan oleh beberapa sejarahwan sebagai bukti bahwa Islam telah hadir di Nusantara sebelum tahun pada batu nisan tersebut, atau semenjak abad-abad awal Hijriah. Seperti yang ditegaskan Morrison dan Drewes. 11

Kelihatannya asumsi yang kedua inilah yang mendapat kata sepakat oleh banyak sejarahwan. Di samping karena disokong argumentasi yang lebih kuat, juga diperkuat pula dengan penjelasan-penjelasan dalam subtema selanjutnya.

b. Pembawa Islam Awal di Nusantara Ada banyak versi tentang siapa yang pertama kali membawa Islam di Nusantara. Jika diuraikan dengan lebih lengkap maka ada empat teori tentang siapa saja yang menjadi pembawa Islam di Nusantara ini, antara lain:

1.) Teori India Teori ini antara lain dikemukakan oleh Pijnappel, Snouck Hurgronje, Moquette dan Fatimi. Dalam teori ini diuraikan bahwa Islam pertama kali datang ke Indonesia berasal dari anak benua India, sekitar abad ke-13.

Pijnappel, seorang ahli dari Universitas Leiden, mengajukan bukti adanya persamaan mazhab Syafi’i antara di Anak Benua India dengan Indonesia. Orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i berimigrasi dan menetap di Gujarat dan Malabar kemudian membawa Islam ke Nusantara. 12 Jadi merekalah, orang-orang Arab yang bermukim di Gujarat dan Malabar disinyalir sebagai pembawa Islam awal ke Nusantara.

10 Pada sumber yang lain disebutkan nama lain dari Kalingga antara lain Sima atau Simo, Kalanggara, Keling atau Holing. Kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura dan Bali. Ahmad Y. Samantho, Atlantis Nusantara: Berbagai Penemuan Spektakuler yang Makin Meyakinkan Keberadaannya (Jakarta: Phoenix, 2015) hlm. 302

11 Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni... hlm. 10-12 12 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 3

Teori tersebut mendapat bantahan dan kemudian direvisi oleh C. Snouck Hurgronje. Menurutnya Islam yang menyebar di Nusantara ini, yang dulu dikenal dengan sebutan Hindia Belanda, berasal dari wilayah Malabar dan Coromandel, kota-kota pelabuhan yang ada di India selatan. Lebih spesifik, penduduk Deccan-lah yang menjadi pelantar awal perdagangan antara negeri-negeri Islam dan penduduk di Nusantara. 13 Mereka kemudian

menetap dan bertempat tinggal, biasanya ada di wilayah pesisir yang kemudian menyebarkan Islam secara akulturasi.

Setelah peristiwa tersebut, barulah berdatangan orang-orang Arab yang menyebut diri mereka sayyid atau syarif yang merupakan para keturunan Nabi Muhammad. Mereka datang untuk meneruskan Islamisasi dengan membawa pula keahlian ilmu organisasi dan keintelektualan, sehingga mereka banyak yang berposisi sebagai ulama, penguasa-penguasa agama dan sultan yang bertindak sebagai penegak pembentukan negeri-negeri baru. 14 Kedatangan para sayyid atau syarif ke Nusantara terjadi pada abad ke-12 yang merupakan periode paling mungkin sebagai permulaan penyebaran Islam di Nusantara. 15 Dari merekalah penduduk Nusantara banyak memperoleh proses transformasi ilmu-ilmu agama.

Sebagaimana Pijnappel dan Hurgronje, J.P Moquette juga berkesimpulan yang sama. Dia berpendapat bahwa tempat asal Islam adalah dari Gujarat, India. Pendapat ini ia dapatkan berdasarkan pengamatannya pada bentuk batu nisan di Pasai, Aceh, yang berangka

17 Dzulhijjah 831 H/ 27 September 1428. Dia juga mengamati bentuk batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/ 1419) di Gresik, Jawa Timur. Dua batu nisan tersebut disinyalir sama bentuknya seperti batu-batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat. 16

Ada dua ciri khas dari dua batu nisan tersebut yang mirip atau sama dengan yang ada di Cambay, Gujarat. Dua ciri khas itu, oleh Hasan Muarif Ambary disebutkan antara lain berbahan marmer dan bertuliskan huruf kufi. 17 Di Jawa, disamping makam Maulana Malik Ibrahim yang menggunakan tulisan gaya kufi, makam Fatimah binti Maimun juga demikian, tapi dengan tahun yang berbeda, 475 H/ 1082. 18 Jadi temuan arkeologis inilah yang menjadi argumentasi pokok dari pendapat Moquette.

13 Nor Huda, Islam Nusantara... hlm. 32 14 Ibid hlm. 33 15 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 3 16 Nor Huda, Islam Nusantara... hlm. 33

17 Kufi adalah salah satu jenis kaligrafi Arab tertua yang berasal dari kota Kufah di Irak. Merupakan kaligrafi yang digunakan di semenanjung Arab sebelum Islam datang. Semua penulisan mushaf al-Qur’an sebelum abad ke-4 H menggunakan huruf ini yang dulu disebut maysaq. Ciri khas huruf ini terletak pada panjangnya huruf dal, shad, tho’, kaf dan ya’. Penjelasan ini didapat dari artikel “Kaligrafi Kufi” di https://kaligrafi-islam.blogspot.co.id/2015/05/kaligrafi- kufi . Dijelaskan dalam buku yang lain, huruf kufi dikembangkan di Kufah, Irak semenjak paroh kedua abad ke-8 Masehi. Jenis huruf tersebut dikembangkan dari huruf-huruf Aramaic dan Syriac. Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid terjemahan Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999) hlm. 96-97

18 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban... hlm. 70

Pandangan Moquette tentang teori batu nisan tersebut coba ditentang oleh Fatimi dalam karyanya “Islam Comes to Malaysia”. Dia berargumen bahwa keliru mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai termasuk batu nisan Malik al-Salih dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Malik al-Salih sangat berbeda dengan yang ada di Gujarat, bahkan tidak sama dengan batu-batu nisan lainnya di Nusantara. Dia berpendapat bahwa justru batu nisan di Pasai tersebut sama dengan yang ada di Bengal, India. Yang artinya dari Bengal itulah Islam awal datang ke Nusantara. Dia pun mengkritik teori batu nisan dari teotirikus sebelumnya, yang ia katakan mengabaikan adanya

makam Fatimah binti Maimun yang ada di Leran, Gresik. 19 Kritikan tersebut menunjukkan jika teori India ini belumlah mapan, sebab masih banyak kelemahan sejarah yang mendapat penentangan dari beberapa sejarawan lainnya.

2.) Teori Arab Teori Arab dimulai dengan kritikan Morrison yang menganggap teori India salah kaprah. Morrison menjelaskan bahwa memang benar batu-batu nisan yang ada di beberapa makam di Nusantara itu sama seperti yang ada di Gujarat, namun tidak bisa disimpulkan jika Islam berasal dari wilayah tersebut. Lebih jauh ia menyatakan bahwa selama Islamisasi di Samudra Pasai, Malik al-Salih yang merupakan raja pertama, wafat pada 698 H/ 1297, padahal saat itu, di sekitar tahun-tahun itu, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu dan wilayah Cambay sendiri pada tahun 699 H/ 1298 dalam kekuasaan Muslim. 20 Ketidaktepatan

teori India terletak pada tidak samanya momentum mapannya Islam di Samudra Pasai sebelum Malik al-Salih wafat dan saat itu Cambay belumlah menganut Islam.

Teori yang dikemukakan Marrison kelihatan mendukung pendapat yang dipegang Arnold. Menulis jauh sebelum Morrison, Arnold berpendapat bahwa Islam dibawa ke Nusantara antara lain dari Coromandel dan Malabar. Ia menyokong teori ini dengan menunjuk kepada persamaan mazhab fikih di antara kedua wilayah tersebut. Mayoritas muslim di Nusantara adalah pengikut mazhab Syafi’i yang juga dominan di Coromandel dan Malabar, seperti disaksikan ‘Ibn Bathuthah ketika ia mengunjungi kawasan ini. 21

Menurut Arnold, para pedagang dari Coromandel dan Malabar mempunyai peran penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Sejumlah besar pedagang ini mendatangi pelabuhan-pelabuhan dagang dunia Melayu-Indonesia di mana mereka ternyata tidak hanya terlibat dalam perdagangan, tetapi juga dalam penyebaran Islam. 22

19 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 4 20 Ibid hlm. 5 21 Ibid hlm. 6 22 Ibid

Mengenai pendapatnya tentang asal Islam Nusantara dari Arab, Arnold berpendapat bahwa pedagang Arab membawa Islam ketika mereka menguasai perdagangan Barat-Timur sejak abad ke-7 M dan ke-8 M. Dapat diduga bahwa mereka juga menyebarkan Islam ke Nusantara. Dia juga menyatakan bahwa sebuah sumber Cina menyebutkan bahwa menjelang seperempat ketiga abad ke-7 M ada seorang Arab yang menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatera. Mereka juga melakukan kawin campur dengan penduduk setempat, sehingga muncullah komunitas muslim. 23

Muhammad Hasan al-Aydrus, seorang sejarawan Universitas Uni Emirat Arab, lebih menspesifikasi, bahwa orang Arab yang menyebarkan Islam di Nusantara adalah para syarif atau sayyid Hadramaut yang merupakan keturunan Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa. Ia merupakan cucu dari Imam Ja’far as-Shadiq yang juga keturunan Sayyidina Ali r.a dan Fatimah r.a, namun paham yang ia anut bukanlah Syiah, melainkan Sunni dan bermazhab Syafi’i. Dialah penyebar paling awal paham Sunni di Hadramaut. 24

Para keturunan Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa menyebarkan Islam di Nusantara dalam rangka hijrah yang kedua pada abad ke-14 Masehi, 25 yang lebih memantapkan lagi dakwah

Islam di wilayah Asia Tenggara. 26 Menurut Alwi Shihab, diantara keturunan Imam al- Muhajir Ahmad bin Isa yang menyebarkan Islam di Nusantara pada periode kedua itu adalah

Wali Sanga. 27 Memang mereka golongan alawiyin, namun dalam budaya Jawa mereka dikenal dengan sebutan Sunan.

Adapun para keturunan Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa lainnya yang sekarang masih hidup dan tinggal di Nusantara ini antara lain, klan al-Qadri, al-Muthahhar, al-Haddad, al- Basyaiban, Khaneman, al-Aydrus, bin Syahab, bin Syeikh Abu Bakar, as-Saqaf, Bafaqih, Jamalullail, al-Habsy, asy-Syatiri, al-Baidh, Aidid? dan al-Jufri. Mereka menyebar ke seantero Nusantara. Salah satunya seperti terlihat pada makam Sayyid Sulaiman di Mojoagung yang bertuliskan Kyai al-Allamah Mansur bin Thaha bin Muhamad Baqir bin Mujahid bin Ali Asghar bin Ali Akbar bin Sulaiman bin Abdurrahman bin Umar bin

23 Ibid 24 Muhammad Hasan al-Aydrus, Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Asyraf Hadramaut dan Peranannya terjemahan

Ali Yahya (Jakarta: Lentera Basritama, 1997) hlm. 24 25 Dijelaskan dalam buku al-Aydrus tersebut bahwa ada dua kali hijrah para syarif Hadramaut ke Asia Tenggara. Pertama, pada masa Bani Umayah, karena para syarif lari dari Irak, setelah penindasan Bani Umayah terhadap Alawiyin yang berhaluan syiah. Tujuan mereka pada hijrah pertama ini adalah pulau-pulau di Filipina. Kedua, hijrahnya para keturunan Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa menuju negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Nusantara.

26 Ibid hlm. 33 27 Wali Sanga terdiri dari: Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat atau Sunan Ampel, Maulana Makhdum Ibrahim atau

Sunan Bonang, Sunan Giri bin Maulana Ishaq, Sunan Drajad atau Maulana Syarifuddin, Sunan Kalijaga atau Maulana Muhammad Syahid, Sunan Kudus atau Maulana Ja’far al-Shadiq, Sunan Muria atau Maulana Raden Umar Said dan Sunan Gunung Djati atau Maulana al-Syarif Hidayatullah. Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia,terjemahan Muhammad Nursamad (Depok: Pustaka IIMaN, 2009) hlm. 38-39

Muhammad bin Ahmad Abi Bakar asy-Syaibani. 28 Pekuburan tersebut terletak di Dusun Betek Desa Mancilan Kecamatan Mojoagung Kabupaten Jombang.

Teori Arab ini juga dipegang oleh Crawfurd, walaupun ia menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu Keijzer memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar pertimbangan kesamaan

kepemelukan penduduk muslim di dua wilayah itu yang bermazhab Syafi’i. 29 Adapun kalangan sejarawan dan budayan nusantara lebih condong dengan teori Arab ini. Tercermin pada tahun 1963 mereka pernah mengadakan Seminar Masuknya Islam di Indonesia yang dihelat dari tanggal 17 sampai 20 Maret di kota Medan. Dalam seminar tersebut diputuskan beberapa poin; 1. Dari sumber-sumber yang kami telaah maka kami mengerti bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali pada abad pertama Hijriyah. 2. Daerah pertama yang dimasuki Islam adalah pantai Sumatera bagian Utara. Setelah terbentuknya masyarakat Islam dan setelah mendapatkan kebebasan dalam bidang politik maka raja Muslim pertama adalah di daerah Aceh. 3. Orang-orang Indonesia setelah itu

mempunyai peran dakwah Islamiyah, dan lain sebagainya. 30 Nampaknya dilihat dari kuatnya argumentasi baik mengenai para pembawa Islam, daerah mana pertama kali sebagai pijakan dan kapan Islamisasi tersebut berlangsung, teori Arab ini lebih dapat diterima.

3). Teori Persia Teori ini dikemukakan oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat yang mengemukakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abd ke-13 M di Sumatera yang berpusat di Samudra Pasai. Dia mendasarkan argumentasinya pada persamaan budaya yang berkembang di kalangan masyarakat Islam Indonesia dengan budaya yang ada di Persia. 31

Diantara bukti-bukti tersebut yaitu: adanya peringatan 10 Muharram atau Asyura yang merupakan tradisi yang berkembang dalam masyarakat syiah untuk memperingati hari kematian Husain di Karbala. Tradisi yang diperingati dengan membuat bubur syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husain, di Sumatera tengah disebyat bulan Tabut, dengan mengarak keranda yang diatasnamakan keranda Husain; adanya persamaan antara al-Hallaj, tokoh sufi Iran dengan ajaran Syeikh Siti Jenar mengenai wahdat al-wujud (panteisme) atau dalam istilah Jawa dikenal dengan manunggaling kawula gusti; persamaan dalam sistem mengeja huruf Arab bagi pengajian al-Qur’an tingkat awal dimana Jabar (Iran) sama dengan Fathah (Arab), Jer (Iran) sama dengan Kasrah (Arab), Pes

28 Ibid hlm. 39 29 Azumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 8 30 Muhammad Hasan al-Aydrus, Penyebaran Islam... hlm. 54 31 SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban... hlm. 40

(Iran) sama dengan Dhammah (Arab); adanya persamaan batu nisan yang ada di makam Malik al-Salih di Pasai dan Malik Ibrahim di Gresik yang dipesan dari Gujarat. Munurut Hoesein Djajadiningrat bahwa Gujarat adalah daerah di India yang dipenuhi dengan paham syiah. 32

Meskipun demikian teori Persia ini juga memandang adanya pengaruh mazhab Syafi’i di Indonesia yang berasal dari Malabar, yang merupakan mazhab dominan yang dianut. Teori ini juga sesuai dengan pendapat Muens. Dia berpendapat bahwa pada abad ke-5 M, pada masa raja-raja Sasanid, banyak orang-orang Persia yang berada di Aceh. Dia juga mengatakan bahwa sebenarnya kata “Pasai” itu berasal dari kata “Persia”. Muens juga mengemukakan alasannya bahwa ketika Ibn Bathuthah datang ke Aceh, terdapat dua ulama

yang berasal dari Persia, yaitu Tadjuddin al-Syirazi dan Sayyid Syarif al-Asybahani. 33

4). Teori Cina Teori ini menyatakan bahwa Islamisasi di Nusantara berasal dari Cina yang terjadi pada abad ke-9 M. Pada abad itu banyak orang muslim Cina terutama wilayah Kanton serta wilayah Cina selatan lainnnya antara lain Zhangzhou dan Quanzhou yang mengungsi ke Jawa, Sumatera dan Kedah. Hal ini terjadi karena pada masa Huan Chou terjadi penumpasan terhadap penduduk Kanton dan wilayah Cina selatan lainnya yang penduduknya beragama Islam. Mereka berusaha mengadakan revolusi politik terhadap kekaisaran Cina pada abad ke-9 M. 34

Di samping adanya pengungsi Cina di Jawa pada abad ke-9 M, pada abad ke-8 sampai

11 M sudah ada pemukiman Arab muslim di Cina dan Campa. Memang sudah terjadi hubungan perdagangan yang cukup lama antara orang-orang Cina dengan orang-orang Jawa. Suatu hal yang wajar jika pada abad ke-11 M telah terdapat komunitas muslim di Jawa seperti makam Islam dan keramik Cina di situs Leran. 35 Hal itu menandakan bahwa Leran

saat itu menjadi daerah pusat perdagangan penting di Jawa Timur. Catatan H.J. de Graf lebih spesifik lagi memberitahukan tentang pentingnya unsur Cina dimasukkan sebagai penyebar Islam awal di Nusantara. De Graf menyunting sebuah catatan pada literatur Jawa klasik (Catatan Tahunan Melayu) yang memperlihatkan betapa pentingnya orang-orang Cina bagi pengembangan Islam di Nusantara. Dalam catatan tersebut termaktub sejumlah tokoh-tokoh besar seperti Sunan Ampel atau Raden Rahmat, yang dalam catatan Cina dikenal sebagai Bong Swi Hoo dan Raja Demak atau Raden Fatah

32 Ibid hlm. 41 33 Ibid 34 Ibid hlm. 42 35 Ibid 32 Ibid hlm. 41 33 Ibid 34 Ibid hlm. 42 35 Ibid

Pendapat tersebut juga disepakati Denys Lombard yang menjelaskan jika pengaruh Cina terlihat pada peninggalan budaya. Beberapa peninggalan budaya atau kebiasaan Cina tersebut antara lain berupa makanan, pakaian, bahasa, seni bangunan dan sebagainya. 37

Sampai sekarang budaya bangsa Cina itu masih bisa ditemui. Seperti adanya ukiran padas masjid kuno di Mantingan Jepara, menara masjid di Pecinan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, konstruksi Masjid Demak terutama soko tatal penyangga masjid dan lambang kura-kura, dan lain sebagainya. Di Jakarta ada beberapa masjid peninggalan Cina muslim antara lain Masjid Kali Angke dan Masjid Kebun Jeruk. 38 Empat teori di atas telah menambah khazanah sejarah bagi Islam di Indonesia. Walau begitu

tentu diharapkan ada beberapa klausul yang bisa dijadikan patokan agar tidak terjadi kebingungan sejarah. Seperti yang disampaikan Azyumardi Azra yang mengusulkan empat tema pokok dari resiko kebingungan dimaksud. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia; Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyair profesional, yakni mereka yang memang khusus bermaksud menyebarkan Islam; Ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa; dan Keempat, kebanyakan para penyebar Islam profesional ini datang ke

Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi. 39 Tema pokok yang digagas Azra tersebut seperti menyimpulkan bahwa memang sejak abad 1 Hijriah, Islam sudah mulai disebarkan di Nusantara. Akan tetapi dalam periode pertama itu, penyebaran Islam belum bisa dikatakan mapan. Baru pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi, proses penyebaran Islam menjadi lebih profesional dibanding periode sebelumnya itu.

2. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara Islam dimulai di Nusantara ini melalui kehadiran individu-individu dari Arab atau penduduk asli sendiri yang memeluk Islam. Dengan ikhtiar dakwah akhirnya Islam bisa

menyebar ke beberapa wilayah Nusantara. Setelah itu terbentuklah fase selanjunya yaitu hadirnya kerajaan-kerajaan Islam.

Diantara kerajaan-kerajaan penting itu antara lain: Kerajaan Malaka (803-917 H/ 1400- 1511 M), Kerajaan Aceh (920-1322 H/ 1514-1904 M), Kerajaan Demak (918-960 H/ 1512- 1552 M), Kerajaan Banten (960-1096 H/ 1552-1684 M), Kerajaan Goa Makasar (1078 H/ 1667

36 Nor Huda, Islam Nusantara... hlm. 38 37Ibid 38 SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban... hlm. 45 39 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 12

M.), Kerajaan Maluku. 40 Kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai andil besar dalam hal proses dakwah Islam di wilayah tersebut. Biasanya diwujudkan dengan cara membuka perdagangan

dengan negeri-negeri lain sehingga, membuka pula pintu masuk arus pendakwah Islam.

C. Genealogi Keilmuan, Keterkaitan Dunia Islam dan Nusantara

Pembahasan tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara, tentu akan terasa hambar ketika tidak ditelisik bagaimana proses transformasi keilmuan Islam. Dalam proses dakwah tentu tidak akan bisa melepaskan diri pada upaya pemahaman keilmuan Islam semacam tauhid, fiqh dan tasawwuf. Oleh sebab itu perlu dikemukakan sebuah hipotesis bahwa tidak akan mungkin para pendakwah Islam yang datang ke Nusantara tidak membawa pula ilmu-ilmu ke-Islaman yang sudah mereka kuasai sejak awal. Dari merekalah keilmuan Islam dipelajari oleh para muslim awal dan merupakan awal sebuah keterkaitan antara dunia Islam dan muslim Nusantara yang berjalan sampai sekarang.

Mengapa ilmu atau intelektualitas yang menjadi ide utama pembahasan tentang peradaban Islam di Nusantara? Bukan pada bidang politik Islam, misalnya? Hamid Fahmy Zarkasy, seorang intelektual Islam kontemporer, putra dari KH. Imam Zarkasy, pendiri dan pioneer majunya Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo, pernah mengutip Ibnu Khaldun. Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Ikhtiar Membangun Kembali Peradaban Islam yang Bermartabat”, Fahmi Zarkasy menyatakan bahwa menurut Ibnu Khaldun substansi dari tanda wujudnya peradaban Islam adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmatika, astronomi, optic, kedokteran, dan lain sebagainya. 41 Sebuah bangsa akan diakui tinggi

peradabannya apabila penguasaan akan ilmu pengetahuan terjaga dengan baik. Hal tersebut sepertinya menjadi kesepakatan umum sampai detik ini.

Adapun yang menjadi faktor berkembangnya aktivitas dan kreativitas keilmuan itu adalah agama, spiritualitas atau kepercayaan. Para sarjana Islam banyak yang menyepakati bahwa agama adalah asas peradaban, sebab tidak mungkin agama melahirkan kebiadaban. Beberapa sarjana dimaksud yang menyepakati pendapat ini adalah Sayyid Quthb, Muhammad Abduh, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan lain sebagainya. 42 Jawaban ini dapat dijadikan locus idea pada tulisan ini bahwa ketika peradaban Islam dielaborasi dari sisi keilmuan, baik ilmu pengetahuan maupun ilmu-ilmu agama, Islam akan mendapat pengakuan yang sangat luas. Apabila dikerucutkan bahwa sejarah peradaban Islam di Indonesia bisa dielaborasi dalam spektrum sejarah intelektual

40 Rahayu Permana, Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia artikel internet 41 Laode M. Kamaludin (ed.), On Islamic Civilization: Peradaban Islam yang Sempat Padam (Semarang: Unissula Press,

2010) hlm. 19 42 Ibidi hlm. 19-21 2010) hlm. 19 42 Ibidi hlm. 19-21

Genealogi yang dimaksud dalam bahasan ini lebih dititikberatkan pada silsilah atau asal muasal transmisi keilmuan Islam yang didapat muslim di Nusantara. Para ulama di Nusantara yang menguasai ilmu tauhid, fiqih, filsafat dan tasawuf tentu memperoleh penguasaan ilmu-ilmu tersebut dari proses belajar yang panjang dari guru-guru tertentu. Mereka berguru bertahun-tahun, merantau sampai menyeberang benua dan berpisah dengan keluarga dalam rentang waktu yang lama. Namun hal tersebut merupakan proses kelanjutan setelah proses dakwah Islam awal yang belum melahirkan muslim par exellence, sebab transmisi ilmu terjadi secara sederhana.

Fenomena sederhananya proses pengajaran itu disebabkan oleh tidak banyaknya waktu guru mengajar muridnya. Waktu terbanyak mereka curahkan pada upaya perjuangan melawan para penjajah yang datang silih berganti. Sebagaimana Nurcholish Madjid mensinyalir setelah Majapahit jatuh pada tahun 1478 dan Malaka jatuh pada kekuasaan Portugis pada tahun 1511, disusul berdatangannya penjajah Eropa lainnya, membuat para pendakwah Islam dan muslim pribumi sendiri – dan bahkan di Asia Tenggara pada umumnya – tidak bisa membagi waktu dalam hal

konsolidasi pemikiran dan budaya. 43 Sehingga saat itu belumlah muncul muslim par excellence yang lahir dari proses pendidikan di Nusantara sendiri. Lebih jelasnya proses transmisi keilmuan itu terdiri dua fase: Pertama, yang terjadi di dalam negeri. Geneologi transmisi keilmuan ini diawali dengan

berdatangannya para syarif atau sayyid dari Hadramaut di Nusantara sekitar abad ke 1 Hijriyah, seperti kesimpulan Azyumardi Azra. Para syarif atau sayyid tersebut disamping mendakwahkan Islam, mengajak agar orang-orang pribumi memeluk Islam, tentu juga banyak sekali ilmu-ilmu keIslaman dasar yang mereka ajarkan. Sehingga muslim nusantara sudah mengenal ilmu tauhid, fiqih dasar dan lain sebagainya. Bisa disebut bahwa muslim awal di Nusantara tersebut hanya menguasai ilmu-ilmu keIslaman untuk amal keseharian saja.

Silsilah model yang pertama ini diawali dengan peristiwa hijrahnya Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa (lahir 273 H) dari Irak menuju Hadramaut disebabkan adanya ancaman pembantaian oleh orang-orang Qaramitha terhadap penduduk Baghdad. Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa adalah cucu dari Imam Ja’far al-Sadiq yang merupakan canggah dari Sayyidina Ali r.a. Namun bukan Syiah sebagai aliran yang dianut oleh Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa, melainkan Ahlu Al-Sunnah Wa Al- Jamaah yang fiqihnya bermazhab Syafi’i. Bahkan dalam catatan sejarah, beliau inilah penyebar awal mazhab Syafi’i kepada penduduk Hadramaut. 44 Setelah dari Hadramaut itulah dimulailah

43 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995) hlm. 24 44 Alwi Shihab, Antara Tasawuf... hlm. 36 43 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995) hlm. 24 44 Alwi Shihab, Antara Tasawuf... hlm. 36

Di antara anak turun Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa yang mendakwahkan Islam di Nusantara adalah Wali Sanga. Data tersebut diketahui dari garis silsilah yang merupakan hasil penelitian Sayyid Zein bin Abdullah al-Kaf dan termaktub dalam buku yang berjudul “Khidmat al-Asyirah”. Dalam garis silsilah tersebut Wali Sanga, seluruhnya, adalah dua atau tiga keturunan ke atas dari Jamaludin Husain Akbar yang merupakan keturunan ketiga (cucu) dari Adzamat Khan (Gujarat). Adapun Adzamat Khan adalah keturunan kedelapan dari Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa. Jika ditulis lengkap, maka nama lengkapnya menjadi Adzamat Khan bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa. 45

Corak dakwah yang disampaikan Wali Sanga adalah tasawuf yang merujuk pada ajaran Imam al-Ghazali dan fiqihnya menganut mazhab Syafi’i. Gambaran besar mengenai karya apa yang sudah dihasilkan Wali Sanga dan bagaimana konsep dakwah kepada penduduk Nusantara saat itu terekam dalam sebuah artikel yang ditulis Prof. Wijayakoesno, lalu dikutip Alwi Shihab, memberitahukan bahwa ada sebuah buku karya Sunan Bonang yang berjudul “Primbon”. 46

Buku tersebut berisi hakikat pemikiran dan mazhab yang dianut Wali Sanga baik akidah, syariat dan tasawuf. Diriwayatkan, seperti dalam artikel tersebut, Sunan Bonang mendiktekan kitab tersebut kepada muridnya yang bernama Syaikh Abd al-Bari. Dalam kitab tersebut diajarkan pandangan atau pemikiran yang mengajak kepada tauhid, menjauihi syirik, dan mengingkari kesesatan-kesesatan yang terdapat dalam kepercayaan-kepercayaan kebatinan dan kepercayaan lainnya yang sesat. 47

Pertama-tama yang diuraikan dalam kitab tersebut tentang makna tauhid yang murni, sifat-sifat Allah swt dan nama-nama-Nya. Kemudian diterangkan bahwa manusia mempunyai kebebasan berikhtiar, persis dengan konsep Asy’ariyah. Pada bagian penutup pengarang menjelaskan bahwa seharusnya manusia selalu berupaya agar perilakunya sesuai lahir dan batin dengan syariat Allah Swt, berbuat berdasarkan cinta kepada Rasulullah Saw dan didorong hasrat untuk mengikuti Sunnahnya. 48 Ajaran-ajaran itulah yang mereka sampaikan kepada penduduk pribumi saat itu, dengan kondisi keterbelakangannya. Adapun sebab Wali Sanga adalah keturunan para syarif Hadramaut, hal ini menandaskan tentang hubungan keterkaitan antara Hadramaut sebagai perwakilan dunia Islam, dengan Islam yang ada di Nusantara.

Dan kedua, penduduk pribumi melakukan proses pencarian ilmu ke luar Nusantara. Pada model inilah Islam di Nusantara mampu melahirkan ulama Islam par exellence. Yang mengawali proses ini

45 Ibid hlm.32 46 Ibid hlm. 29 47 Ibid hlm. 30 48 Ibid 45 Ibid hlm.32 46 Ibid hlm. 29 47 Ibid hlm. 30 48 Ibid

Madinah). Keduanya belajar kepada ulama besar saat itu, Ibrahim al-Kurani. 49 Bahkan keduanya merupakan jaringan ulama yang ada di selingkup Ibrahim al-Kurani. Rata-rata seluruh cabang ilmu keIslaman dipelajari ulama Nusantara yang belajar di Haramayd. Akan diikuti pula ulama-ulama Nusantara lainnya untuk belajar di Haramayn. Ketua PBNU yang sekarang KH. Said Aqil Siraj juga lulusan Arab Saudi, mulai S1 di Universitas King Abdul Aziz, S2 dan S3 di Universitas Ummul

Qura. 50 Bahkan sampai sekarangpun masih banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di universitas- universitas di Arab Saudi. Selain Arab Saudi, banyak pula mahasiswa yang mengenyam pendidikan agama di negara lain di wilayah Asia Selatan. Banyak yang pelajar Indonesia yang belajar agama di Yaman, Pakistan, Iran, Suriah, Turki dan beberapa negara Islam lainnya. Sayang sekali dalam tulisan ini tidak banyak terekam, padahal faktanya sangatlah banyak pula tentang siapa-siapa mereka yang pernah belajar di negara-negara tersebut. Beberapa yang terekam, antara lain Prof. Komaruddin Hidayat pernah belajar di Departmen of Philosophy, Institute of Social Sciences Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki, juga Prof. Amin Abdullah juga belajar di universitas yang sama. Di Iran, yang terekam adalah Ammar Fauzi Heryadi yang pernah menulis sebuah artikel “Logika Tindakan: Membangun Sistem Nilai Religius” dimuat pada Jurnal Al-Huda. Dalam profil singkatnya, Ammar Fauzi Heryadi pernah mengenyam pendidikan di Hawzah Ilmiyah Qum, Iran. 51

Di wilayah Afrika, khususnya Mesir, Sudan, Maroko dan Tunisia, juga banyak para sarjana Islam di Nusantara yang pernah mengenyam pendidikan dalam waktu yang lama. Diantara cendekiawan muslim kesohor Nusantara yang lulusan Afrika antara lain Prof. Quraish Shihab (al- Azhar, Mesir), Prof. Rom Rowi (al-Azhar, Mesir), Prof. Ahmad Zahro (Sudan), dan lain-lainnya. Tentu masih banyak para sarjana Islam di Nusantara tamatan Afrika tersebut.

Adanya fakta tentang transmisi ilmu dimana sarjana di Nusantara belajar ke negara-negara Islam lainnya tersebut menunjukkan pula adanya keterkaitan di bidang lainnya. Misalnya, dalam bidang diplomasi, perdagangan, pendidikan (seperti diterangkan), budaya dan politik. Mengenai politik, Indonesia bersama negara-negara Islam lainnya berkumpul dalam sebuah wadah organisai bernama Organization of the Islamic Cooperation atau dalam istilah Indonesia disebut Organisasi Konferensi Islam (OKI), berdiri pada 25 September 1969. Berdirinya organisasi ini sebagai respon

peristiwa pembakaran Masjid al-Aqsa di Yerusalem pada 21 Agustus 1969. 52 Indonesia juga pernah berposisi sebagai pimpinan OKI.

49 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama... hlm. 103 50 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Said_Aqil_Siroj/ 51 Ammar Fauzi Heryadi, Logika Tindakan: Membangun Sistem Nilai Religius dalam Jurnal Al-Huda volume II, nomor 8

(Jakarta: Islamic Center, 2002) hlm. 89 52 Lihat http://id.im.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Kerjasama_Islam/

D. Capaian Peradaban Islam di Nusantara

Nusantara merupakan salah satu peradaban kuno yang ada di dunia ini. Peradaban ini dibangun sejak sebelum masehi dengan bukti adanya sebuah kerajaan kuno yang bernama Kerajaan Kandis yang berkuasa di wilayah Lubuk Jambi, Riau. Kerajaan ini meninggalkan jejak-jejak arkeologis yang berada di tengah hutan adat Lubuk Jambi. Jejak arkeologis tersebut berwujud batu-batu kuno diduga sebagai pagar batas kerajaan, tiang batu diduga sebagai menara kerajaan dan gua yang diduga sebagai pintu gerbang kerajaan. 53

Kerajaan Kandis adalah kerajaan tertua yang ditemukan oleh para arkeolog dan sejarahwan. Jika ditelusuri lebih lanjut, kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Nusantara, dari berbagai suku dan agama, dimulai Kerajaan Kandis sampai terakhir Kesultanan Langkat di Sumatera Utara yang berdiri pada 1877, maka ada sejumlah 75 kerajaan. Kerajaan-kerajaan tersebut menyebar ke

seantero Nusantara dengan berbagai wujud peradabannya masing-masing. 54 Data lebih lengkap bisa dibaca pada buku yang ditulis Ahmad Y. Samantho berjudul “Atlantis Nusantara” yang diterbitkan Phoenix Jakarta.

Akan halnya tentang peradaban Islam di Nusantara yang juga ada sejak abad 1 Hijriyah atau 7 Masehi, terang sekali ia berdampingan erat dengan peradaban asli Nusantara. Selama ini yang kita ketahui bahwa hadirnya Islam tidak pernah mengeliminir bahkan mengganti peradaban yang sudah ada di daerah dakwah Islam. Islam sebagai budaya dan ajaran selalu berdampingan erat, dan bisa dikatakan pula beberapa ada yang saling bersinkretik. Keduanya saling berakulturasi dengan mesra, sebab memang dakwah Islam di Nusantara bernuansa kedamaian.

Karena berdampingan itulah, pemandangan sampai detik ini menunjukkan bahwa budaya asli daerah masih mengada dan lestari. Begitu pula dengan Islam sebagai peradaban juga menampakkan wajahnya dengan cantas. Lalu apa saja wujud peradaban Islam yang ada di Nusantara yang muncul mulai abad 17 Masehi sampai dengan sekarang ini? Jawabannya diuraikan di bawah ini.

Ulama Kesohor di Nusantara

1. Ulama Nusantara Abad ke 17 dan 18 M  Hamzah Fansuri

Tidak diperoleh data sejarah yang lengkap mengenai kapan Hamzah Fansuri dilahirkan, juga tentang guru-guru yang mengajarnya. Data yang diperoleh memberitahukan bahwa ia berasal dari desa yang bernama Syahru Nawi di Siam, atau Thailand sekarang. Ia hidup dan tinggal di Nusantara di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Kerajaan Aceh antara

tahun 1550 – 1605 M. 55

53 Ahmad Y. Samantho, Atlantis Nusantara... hlm. 329-331 54 Ibid hlm. 313-316 55 Alwi Shihab, Antara Tasawuf...hlm. 141

Dia dikenal sebagai pengusung ajaran tasawuf falsafi tentang wahdah al-wujud yang diperkenalkan oleh Ibn ‘Araby. Dia pernah belajar ke Persia, India, dan Haramayn (Makkah dan Madinah). Dalam karya-karyanya ia banyak menyebut sufi-sufi kesohor lainnya seperti Abu Yazid al-Busthami, al-Junaid al-Baghdadi, al-Hallaj, al-Ghazali, dan lain-lainnya. Ia sangat menguasai ajaran-ajaran para sufi tersebut. 56

Hanya ada 3 karya Hamzah Fansuri yang berhasil dilacak para sejarahwan antara lain, Kitab Asrarul ‘Arifin, Kitab Syarabul ‘Asyiqin dan Kitab al-Muntaha. Seluruh kitab-kitab tersebut membicarakan tentang tauhid, makrifat dan suluk, seperti pemahaman Ibn Araby. Karya-karya tersebut diklaim sebagai karya tasawuf pertama kali dari ulama Nusantara. 57

Mengapa data tentang Hamzah Fansuri yang tidak banyak diketahui? Ternyata memang di zaman kesultanan di Aceh saai itu, pemerintah tidak mempunyai i’tikad untuk menulis riwayat tentang Hamzah Fansuri dalam catatan kesultanan yang berjudul Hikayat Aceh. Salah satu faktor utama tidak diterakannya nama Hamzah Fansuri adalah sikap kritisnya kepada pemerintahan dan para bangsawan saat itu yang suka berfoya-foya dan mengadakan pesta. 58 Kelak, ajaran dan citra Fansuri yang sebetulnya luar biasa, ditentang habis-habisan oleh ar- Raniri.

 Nuruddin ar-Raniri Nama lengkapnya Nur al-Din bin Ali bin Hasanji al-Hamid as-Syafii al-Asyariy al-

Aydrusi. Ia dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan kuno di pantai utara Gujarat, India pada tahun yang tidak diketahui. Meninggal dunianya pada hari Sabtu, 22 Dzulhijjah 1068 H atau 21 September 1658 M.

Ia merupakan seorang muhajir dari Hadramaut, seorang yang diduga seketurunan dengan seorang sahabat Nabi bernama Abdurrahman bin Auf r.a. Mungkin juga nenek moyangnya adalah al-Humayd yang dihubungkan dengan nama Abu Bakar Abd Allah bin

Zubair al-Asadu al-Humaydi yang merupakan murid dari Imam Syafi’i. 59 Pendidikan dasarnya ia selesaikan di tempat kelahirannya, Ranir, Gujarat. Kemudian ia

meneruskan pendidikan agamanya di kota Tarim, Hadramaut yang merupakan kawah candradimuka para ulama Nusantara. Dia pernah belajar ke beberapa guru antara lain, Syaikh Abu Hafs Umar ibn Abdullah Basyaiban al-Alawi yang menganugerahkannya ijazah memasuki tarekat Rifaiyah, ajaran tasawuf banyak ia peroleh dari Sayyid Muhammad al- Idrus al-Alawi. Ia merupakan penganut tasawuf Sunni yang berkiblat kepada al-Ghazali. 60

56 Ibid hlm. 142 57 Ibid hlm. 144 58 Ibid hlm. 147 59 Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya (Depok: Rajagrafindo Persada, 2012) hlm.

234 60 Alwi Shihab, Antara Tasawuf... hlm. 82

Kedatangannya ke Aceh dan juga sebagai awal bertempat tinggal di daerah tersebut pada 1637 M pada masa Sultan Iskandar II. Pendapat yang lain adalah kedatangannya sebelum tahun tersebut, yang tercantum dalam buku karyanya as-Shirat al-Mustaqim, sebuah buku yang berbahasa Indonesia. 61

Diantara karya-karya yang sudah dihasilkannya antara lain, As-Shirat al-Mustaqim, Durrah al-Fara’idh fi Syarh al-‘Aqaid, sebuah kitab penjelas dari kitab Syarh al-‘Aqaid al- Nasafiyah (karya Imam Sa’duddin al-Taftazani), Hidayah al-Habib fi al-Targhib wa al- Tarhib fi al-Hadits dalam bahasa Arab, Bustan al-Salathin fi Dzikr al-Awwalin wa al- Akhirin (sebuah buku sejarah lengkap tentang Aceh yang dibahas juga sejarah nabi, wali, raja-raja, sejarah Melayu, tentang akal, firasat, sifat-sifat perempuan dan cerita-cerita aneh), Nubdzah fi Da’wah al-Dzill (yang membahas tasawuf tentang sesatnya paham panteisme), Lathaif al-Asrar tentang tasawuf, Asrar al-Insan fi Ma’rifah al-Ruh wa al-Bayan (tentang manusia dan Allah swt, ruh dan hakikatnya, ditulis dengan bahasa Indonesia), Al-Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan fi al-Tasawwuf tentang bantahan para pendukung Fansuri yang

menjadikan pula hujjah putusan hukuman mati kepada mereka. 62 Dan masih ada 21 kitab lagi yang dapat dibaca pada buku “Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi” karya Alwi Shihab.

Mengenai pertentangannya dengan Hamzah Fansuri dan pengikutnya yang menyebarkan ajaran panteisme Ibnu Araby, diceritakan bahkan ar-Raniri beserta pengikutnya sampai membakar buku-buku karya Fansuri dan membunuh banyak sekali pengikutnya. Sebagai bentuk penentangan ajaran yang dikatakannya sesat. 63

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24