Pemeriksaan Serum Prokalsitonin untuk Membantu Diagnosis Dini Infeksi Saluran Kemih pada Pasien Stroke Akut

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Stroke masih merupakan masalah kesehatan umum yang berat

yang menyerang sekitar 795.000 orang pertahun. Stroke merupakan
penyebab utama kecacatan jangka panjang pada orang dewasa dan
penyebab kematian ketiga di negara maju. (Poisson et al., 2010). Stroke
mempunyai pengaruh global yang utama terhadap mortalitas dan
morbiditas. Stroke bertanggung jawab terhadap hampir 6 juta kematian
setiap tahun, dan stroke merupakan penyebab kecacatan permanen di
seluruh dunia. (Jhonsen et al., 2012).
Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus
stroke baik dalam hal kematian, kejadian maupun kecacatan. Angka
kematian berdasarkan umur adalah sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun),
26,8 % (umur 55-64 tahun), dan 23.5% (umur ≥65 tahun). Kejadian stroke

sebesar 51,6/100.000 penduduk dan kecacatan didapati 1,6 % tidak
berubah, serta 4,3% semakin memberat. Stroke menyerang usia produktif
dan usia lanjut yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam
pembangunan kesehatan secara nasional di kemudian hari. (Guidelines
Stroke, 2011)
Data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013
menunjukkan prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis

Universitas Sumatera Utara

2

tenaga kesehatan sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga
kesehatan atau gejala sebesar

12,1 per

mil.

Prevalensi stroke


berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan paling tinggi dijumpai di
Sulawesi Utara (10,8

0

/00), sedangkan di Sumatera Utara 6,0

0

/00.

Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala
paling tinggi dijumpai di Sulawesi Selatan (17,9

0

/00), Sementara di

Sumatera Utara 10,3 0/00. (RISKESDAS, 2013)

Komplikasi medis sering terjadi setelah stroke, sehingga dapat
memperpanjang masa rawatan di rumah sakit, dapat memburuk
outcomes, dan meningkatkan biaya perawatan. (Poisson et al., 2010).
Sampai hampir 95% pasien stroke pernah mengalami minimal satu
komplikasi dalam tiga bulan pertama setelah stroke. Komplikasi ini dapat
mengganggu outcome neurologi dan sekitar sepertiga pasien stroke
iskemik meninggal selama masa rawatan di rumah sakit akibat satu atau
lebih komplikasi. (Harms et al., 2010). Pada berbagai penelitian klinis
didapatkan bahwa infeksi yang menjadi komplikasi utama stroke iskemik
akut dapat berperan menyebabkan kematian dan outcome fungsional
yang buruk. Resiko infeksi tertinggi pada fase akut setelah stroke.
(Wartenberg et al., 2011).
Infeksi yang terjadi selama hari-hari pertama setelah stroke iskemik
dapat ditemukan pada 25-65% pasien. Pneumonia dan infeksi saluran
kemih (ISK) merupakan komplikasi yang paling sering terjadi setelah
stroke iskemik. (Fluri et al., 2012). Prevalensi Pneumonia yang terjadi

Universitas Sumatera Utara

3


setelah stroke sekitar 4-22%, sedangkan ISK sekitar 6,3-30,5%. (Bramer
et al., 2014).
Dari penelitian prospektif cohort yang dilakukan Fluri et al di
Switzerland menemukan dari 383 pasien stroke iskemik yang diikutkan
dalam penelitian, sebanyak 66 pasien (17,2%) mengalami infeksi dalam 5
hari setelah onset stroke, dimana 20 pasien (5,2%) mengalami
pneumonia, 25 pasien (6,5%) mengalami infeksi saluran kemih, dan 21
pasien (5,5%) mengalami infeksi lainnya (sepsis 7 pasien, phlebitis 6
pasien, gastroenteritis 4 pasien, erysipelas 1 pasien, panniculitis 1 pasien,
colpitis 2 pasien).(Fluri et al., 2011).
Penelitian prospektif yang dilakukan di Jerman menemukan bahwa
dari 94 pasien yang dimasukkan ke dalam penelitian, terjadi infeksi pada
39 pasien (42%). Pneumonia didiagnosis pada 17 pasien (18%), catheterrelated sepsis pada 2 pasien (2%), infeksi saluran kemih pada 27 pasien
(29%), Infeksi saluran pernafasan bagian atas pada 1 pasien, gastritis
pada 5 pasien, sedangkan 10 pasien mengalami lebih dari satu infeksi
selama masa rawatan di rumah sakit. (Wartenberg et al., 2011).
Beberapa mekanisme dapat dikaitkan dengan peningkatan resiko
infeksi pada pasien stroke. Mekanisme tersebut ada yang secara
langsung berkaitan dengan cedera otak yang diakibatkan oleh stroke, dan

ada yang tidak langsung yang diakibatkan oleh faktor-faktor yang
berkaitan

dengan

stroke.

Terjadinya

infeksi

pada

pasien

stroke

berhubungan dengan gejala penurunan kesadaran, tindakan yang invasif

Universitas Sumatera Utara


4

seperti penggunaan kateter urin, pemasangan infus, dan penggunaan
selang untuk ventilasi mekanik. Hal ini akan memudahkan bakteri patogen
untuk masuk ke dalam tubuh. Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa
gangguan kekebalan sistem imun yang diakibatkan oleh gangguan sistem
saraf pusat dapat memicu terjadinya infeksi sistemik pada pasien dengan
cedera sistem saraf pusat termasuk stroke, tumor otak, epilepsi, dan
cedera otak akibat trauma. Efek imunodepresi dari cedera sistem saraf
pusat terjadi melalui humoral dan neural pathway yang melibatkan
hypothalamic pituitary adrenal axis, nervus vagus dan sistem saraf
simpatis. Defek fungsi sistem imun yang terjadi pada pasien meliputi
penurunan jumlah limfosit perifer, gangguan aktivitas limfosit T dan sel
natural killer, dan penurunan mitogen yang menginduksi produksi dan
proliferasi sitokin. (Johnsen et al., 2012)
Infeksi saluran kemih sering terjadi setelah serangan stroke dan
berkaitan dengan outcome yang lebih buruk meliputi penurunan status
neurologi selama masa rawatan, kematian atau kecacatan dalam 3 bulan,
dan meningkatnya lama masa rawatan. (Poisson et al., 2010)

Pasien dengan infark otak yang luas meningkatkan resiko
terjadinya komplikasi infeksi. Lokasi utama terjadinya infeksi paska stroke
adalah saluran pernafasan dan saluran kemih. Pemberian antibiotik
profilaksis belum terbukti kuat memberikan keuntungan bagi pasien
stroke, dan guidelines sekarang juga tidak merekomendasikan pemberian
antibiotik empiris profilaksis. Namun, pencarian aktif terhadap tanda-tanda

Universitas Sumatera Utara

5

infeksi untuk memulai terapi yang sesuai tanpa ada penundaan tetap
didorong. (Hug et al., 2011)
Diagnosis infeksi saluran kemih ditegakkan dari adanya gejala
saluran kemih disertai dengan hasil kultur urin positif dengan uropatogen
≥105 cfu/ml atau adanya demam dengan hasil kultur urin positif dan tidak
dijumpai sumber infeksi lainnya. Namun karena kultur urin memerlukan
waktu lebih dari 24 jam untuk mengetahui hasilnya, maka penggunaan
metode diagnostik yang cepat dan sederhana cenderung lebih disukai,
seperti penggunaan nitrit dan leukocyte esterase activity (LE) pada tes

carik celup. ( Vagas et al., 2006; Koeijers et al., 2007)
Penggunaan urinalisis carik selup sangat membantu. Leukocyte
esterase memiliki sensitivitas 75% dan spesifisitas 98% untuk mendeteksi
ISK. Nitrit yang positif memiliki spesifisitas 90%, tetapi sensitivitasnya
rendah yaitu 30% untuk deteksi ISK. Kombinasi kedua tes ini memberikan
deteksi ISK yang lebih akurat dengan sensitivitas sampai 88%. Nitrit
merupakan rapid testyang tidak langsung untuk bakteriuria asimptomatik.
E.coli, Klebsiella dan Proteus menghasilkan nitrit dari nitrat, sementara
Pseudomonas, Enterococci, dan S. saprophyticus tidak. 4 jam waktu
inkubasi di kandung kemih dibutuhkan bakteri untuk mengubah nitrat
menjadi nitrit. Sehingga tidak jarang didapatkan hasil tes urin dengan nitrit
negatif, yang kemudian menunjukkan hasil kultur urin yang positif.
Leukocyte esterase mendeteksi leukosit melalui esterase, suatu enzim
yang dilepaskan oleh leukosit setelah 2 jam, mendeteksi setara dengan 6

Universitas Sumatera Utara

6

atau lebih white blood cell per lapangan pandang besar (WBC/LPB).

Sensitivitasnya 94% jika ISK dicurigai secara klinis. Namun, sering terjadi
hasil positif palsu ketika urin terkontaminasi dengan bakteri yang ada pada
cairan vagina. Pada pemeriksaan mikroskopik urin, dijumpainya WBC > 510 dianggap piuria, yang biasanya menandakan ISK. Tetapi WBC dari
infeksi vagina dan serviks serta maetus eksternal pada laki-laki dan wanita
dapat mengkotaminasi urin. (Abraham, 2013)
Pemeriksaan urinalisis dapat dijadikan alternatif untuk menyaring
urin yang tidak perlu dilakukan kultur jika urinalisisnya negatif untuk nitrit
dan Leukocyte esterase (LE), karena spesifisitas dan negative predictive
valuenya yang tinggi. Karena adanya kasus ISK yang terlewatkan dengan
urinalisis, maka penggunaan urinalisis sebagai satu-satunya metode untuk
skrining ISK tidak direkomendasikan. (Semeniuk dan Church, 1999)
Prokalsitonin merupakan prohormon calcitonin yang secara normal
disekresikan oleh sel C dari kelenjar tiroid sebagai respon terhadap
hiperkalsemia. Pada keadaan normal, konsentrasi prokalsitonin dalam
serum terdeteksi dalam jumlah yang sangat sedikit atau hampir tidak ada,
tetapi kadarnya akan meningkat pada infeksi bakteri. Prokalsitonin sangat
spesifik untuk infeksi bakteri dan dapat membantu membedakan infeksi
virus dengan infeksi bakteri. (Leroy dan Gervaix, 2011)
Prokalsitonin telah digunakan selama satu setengah dekade oleh
banyak rumah sakit sebagai parameter klinik rutin untuk diagnosis sepsis.

Namun, tidak hanya untuk diagnosis sepsis, diagnosis infeksi bakteri

Universitas Sumatera Utara

7

spesifik lainnya juga dapat ditingkatkan dengan pengukuran prokalsitonin.
(Leroy dan Gervaix, 2011)
Xu et al. mengemukakan bahwa prokalsitonin dapat menjadi
metode yang mudah dan murah untuk mendiagnosis Acute Pyelonephritis
(APN) pada pasien anak. Kadar prokalsitonin 1 ng/ml memiliki sensitivitas
90,4% dan spesifisitas 88% dalam memprediksi APN. (Xu R et al., 2014)
Penelitian tentang kadar prokalsitonin pada ISK masih terus
dilakukan. Bilir et al.(2013) mengemukakan dari penelitian terhadap ibu
hamil didapatkan kadar prokalsitonin meningkat signifikan pada ibu hamil
dengan asimptomatik bakteriuria dibandingkan dengan grup kontrol pada
cutoff 0,5 ng/ml. Kadar prokalsitonin juga ditemukan lebih tinggi pada ibu
hamil dengan asimptomatik bakteriuria yang berulang.
Penelitian tentang prokalsitonin di Indonesia sudah banyak
dilakukan oleh beberapa sentra pendidikan, tetapi di Sumatera Utara

khususnya di RSUP H Adam Malik Medan masih sedikit data mengenai
pemeriksaan prokalsitonin sebagai tes diagnostik infeksi saluran kemih,
terutama untuk mendiagnosis infeksi saluran kemih pada pasien stroke
akut. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk menelitinya.

1.2.

Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mengetahui apakah
pemeriksaan

prokalsitonin

dapat

dipakaisebagai

penunjang

diagnosis dini infeksi saluran kemih pada pasien stroke akut.

Universitas Sumatera Utara

8

1.3.

Hipotesis Penelitian
Prokalsitonin memiliki nilai diagnostik yang baik dalam membantu
diagnosis dini infeksi saluran kemih pada pasien stroke akut.

1.4.

Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum
Untuk

mengetahui

nilai

diagnostik

pemeriksaan

prokalsitonindibandingkan dengan pemeriksaan kultur urin dalam
membantu diagnosis dini infeksi saluran kemih pada pasien stroke
akut.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran karateristik dari penderita stroke
yang mengalami infeksi saluran kemih
2. Untuk mengetahui profil mikroorganisme penyebab infeksi
saluran kemih pada pasien stroke akut
3. Untuk

mengetahui

sensitivitas

antimikroba

terhadap

mikroorganisme penyebab infeksi saluran kemih pada pasien
stroke akut
4. Untuk mengetahui nilai cut offprokalsitonindalam mendiagnosis
infeksi saluran kemih pada pasien stroke akut
5. Untuk

mengetahui

sensitivitas

pemeriksaan

prokalsitoninterhadap kultur urin

Universitas Sumatera Utara

9

6. Untuk

mengetahui

spesifisitas

pemeriksaan

prokalsitoninterhadap kultur urin
7. Untuk

mengetahui

nilai

duga

pemeriksaan

prokalsitonin

terhadap kultur urin

1.5.

Manfaat Penelitian

1.5.1. Di bidang pengembangan penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi data dasar, sehingga
dapat menjadi salah satu acuan untuk penelitian selanjutnya.
1.5.2. Di bidang akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

informasi

mengenai pemeriksaan prokalsitonin dan kultur urin dalam
menegakkan diagnosis infeksi saluran kemih pada pasien stroke
akut.
1.5.3. Di bidang pelayanan masyarakat
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan diagnosis infeksi saluran
kemih pada pasien stroke dapat lebih cepat ditegakkan sehingga
dapat segera dilakukan penanganan.
.

Universitas Sumatera Utara