BIAYA DAN LABA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BIAYA DAN LABA
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ekonomi Mikro Islam
Dosen Pengampu Amirus Shodiq, Lc., MA
Kelas : ESRG-V

Disusun Oleh :
Kelompok 6
1. Septiana Rini

(1420210239)

2. Nor Sa’adah

(1420210248)

3. Nor Chamidah

(1420210256)


4. Yunita Purnama Sari

(1420210264)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI EKONOMI SYARI’AH
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sangat memperhatikan aspek - aspek muamalah seperti perhatiannya
terhadap ibadah, dan mengkombinasikan antara keduanya dalam kerangka yang

seimbang. Syariat Islam juga mengandung hukum -hukum syar’i yang umum yang
mengatur muamalah keuangan dan nonkeuangan. Sebagai contoh, riset -riset dalam
akuntansi islam menerangkan bahwa syariat islam sudah mencakup kaidah - kaidah dan
hukum - hukum yang mengatur operasional pembukuan (akuntansi), muamalah (transaksi
- transaksi sosial) atau perdagangan.
Salah satu tujuan usaha (dagang) adalah meraih laba yang merupakan cerminan

pertumbuhan harta. Laba ini muncul dari proses pemutaran modal dan pengoperasiannya
dalam kegiatan dagang dan moneter. Islam sangat mendorong pendayagunaan
harta/modal dan melarang penyimpanannya sehingga tidak habis dimakan zakat,
sehingga harta itu dapat merealisasikan peranannya dalam aktivitas ekonomi.
Di dalam Islam, laba mempunyai pengertian khusus sebagaimana yang telah di
jelaskan oleh para ulama salaf dan khalaf. Mereka telah menetapkan dasar-dasar
penghitungan laba serta pembagiannya dikalangan mitra usaha. Mereka juga menjelaskan
kapan laba itu digabungkan kepada modal pokok untuk tujuan penghitungan zakat,
bahkan mereka juga menetapkan kriteria -kriteria yang jelas untuk menentukan kadar dan
nisbah zakat yaitu tentang metode-metode akuntansi penghitungan zakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana Analisis Biaya dan Dampak Sistem Bunga vs Bagi Hasil ?
2. Bagaimana Dasar-Dasar Pengukuran dan Sumber Laba dalam Perspektif Islam?

3. Bagaimana Manfaat Berekonomi Tanpa Riba ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Analisis Biaya Dan Dampak Sistem Bunga Vs Bagi Hasil
1. Biaya

1

Biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi, yang diukur dalam satuan uang,
yang telah terjadi atau yang kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu. Biaya
merupakan harga pokok atau bagiannya yang telah dimanfaatkan atau dikonsumsi
untuk memperoleh pendapatan.1
Dalam analisis biaya faktor penggunaan modal sangat menjadi perhatian karena
dalam kenyataan ada beberapa sumber modal yang digunakan oleh produsen,
sedangkan karakter dari biaya modal sangat tergantung dari sumber penggunaan
modal tersebut. Seperti model yang berbasis syirkah atau qardun hasan. Komponen
biaya dapat dibagi menjadi tiga yaitu biaya tetap (fixed cost), biaya variabel (variable
cost), dan biaya keseluruhan (total cost). Sedangkan komponen penerimaan
merupakan penerimaan keseluruhan atau total revenue. Analisis yang paling
fundamental untuk menerangkan analisis biaya adalah fungsi hubungan antara biaya
produksi dan tingkat output yang akan dicapai dalam satu periode. Dengan kata lain,
fungsi biaya akan dipengaruhi oleh berapa besar output yang diproduksi, maka dapat
dikatakan bahwa fungsi biaya tidak lain adalah turunan dari fungsi output produksi.

Fixed cost besarnya tidak dipengaruhi oleh berapa banyak atau produksi yang
dihasilkan oleh karena itu, kurva VC digambarkan sebagai garis horizontal : berapa
pun output yang dihasilkan, biayanya tetap. Salah satu dari biaya tetap ini adalah
biaya bunga yang harus dibayar produsen. Besarnya beban bunga yang harus dibayar
tergantung berapa banyak kredit yang diterima produsen, bukan tergantung pada
berapa banyak output yang dihasilkannya.2 Sedangkan nialai variable cost akan
semakin meningkat setiap kali ada penambahan input, dengan demikian, kurva AC
berlereng positif ke kanan. Sedangkan total cost adalah penambahan antara AC dan
FC. Variabel cost besarnya ditentukan oleh berapa banyak output yang dihasilkan.

1 Rozalina, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2014, hlm. 120
2 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam Ed. 4, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 112

2

Gambar 1.1 Hubungan antara Fungsi Produksi (Q = f (input)) dan Biaya Produksi (Cost = f (output)).

2. Dampak sistem bunga Vs Bagi Hasil
Karakteristik dari sisstem bunga dalam anlisis biaya produksi adalah adanya biaya

bunga yang harus dibayarkan oleh produsen yang bersifat tetap. Sehingga biaya
bunga kan menjadi bagian dari fixed cost, dengankata lain, berapa pun jumlah output

3

yang diproduksi bunga tetap harus dibayar. Konsekuensi lebih lanjut, keberadaan
biaya bunga akan meningkatkan total biaya

TC →TC i
).
¿

Dengan menggunakan sistem bagi hasil halini tidak terjadi.naiknya total cost akan
mendorong break event point dari titik Q ke Qi. Secara grafis efek kenaikan biaya
bunga dalam analisi biaya dapat dilihat padagambar berikut:

Untuk mnegilustrasikan perbedaan dampak dari penggunaan bunga dan sistem
bagi hasil dapat digambarkan pada tabel ini. Seorang petani yang menanama padi
menghadapi kendala pasar beras segagia berikut : harga jual beras yang diminta pasar
adalah Rp. 2.000 per 1 kilo. Bila 2 kilo maka penerimaannya dari penjualan beras

adalah Rp.4.000 dan seterusnya.
Adanya beban bunag yang harus dibayar produsen sma sekali tidak akan
mempengaruhi kurva peneriamaan. Oleh karena itu, kurva total penerimaan (TR)
dalam sistem bunga adalah TRi = TR.
Berbeda denga sistem bunga, padsa sisitem bagi hasil, kurva fixed cost tidak
terpengaruh, tetepi pemberlakuan sistem ini kan berpengaruh terhadap kurva TR
(total revenue). Misalkan pada sat masa tanam si petani membutuhkan sejumlah dana
dari shohibul mal. Diasumsikan antara petani dan shohibulmal membuat kesepakatan
bahwa nisbah hasil adalah 70 : 30 dari peneriamaan (70% untuk petani, 30% untuk
shohinul mal). Contoh, bila terjual 1 kilo maka bagi hasil yang diterima oleh petani
adalah Rp.1.400, sedangkan porsi bagi hasil untuk shohibul mal adalah Rp.600. Bila
2 kilo maka Rp.2.800 untuk petani dan seterusnya.

Jadi bila dalam sisitem bunga yang berubah adalah kurva TC yaitu kurva TC akan
bergeser paralel ke kiri atas, sednagakn dalam sisitem bagi hasil yang berubah adlah
kurva TR akan berpputar ke arah jarum jam dengan titik nol sebagai sumbu
putarannya (lihat gambar dibawah). Semakin besar nisbah bagi hasil yang diberika
4

kepada pemodal (ekstrimnya limit dari nisbah 0:100) maka kurva TR itu semakin

mendekati horizontal sumbu X.
Titik BEP adalah titik impas, yaitu ketika kurva TR berpotongan dengan kurva
TC, atau secara matematis titik BEP terjadi ketika TR= TC. Dengan berputarnya
kurva total penerimaan dari TR menjadi TRrs, titik BEP yang tadinya terjadi pada
jumlah output Q sekarang menjadi pada jumlah output Qrs.
Gambar

Di kedua sistem ini, maka mendaptkan bahwa Qi > Q dan Qrs > Q. Apakah Qi >
Qrs atau Qi < Qrs atau Qi = Qrs ditentukan dari berapa besar bunga dibandingakan
dengan berpa besar nsbah bagi hasil. Perbedaannya adalah pada penyebabnya, bila Qi
dissebabkan naiknya TC, maka Qrs disebabkan berputarnya TR. Yang pasti adalah
bahwa kedua sisitem, baik sisitem bunga maupun revenue sharing akan menggeser Q
menjadi lebih besar. Bila si petani dalam memproduksi padi tanpa menggunakan
sumber modal dar pihak lain maka si petani akan berproduksi dan menjual berasnya
pada jumlah yang rmenyebabkan atau paling sedikit memberikan keuntungan. Contoh
keuntunag baru akan didapat apabila jumalah beras yang diproduksi minimal 100 kg.
Namun, apabila sipetani tersebut menggunakan sumber dana (baik dengan sisitem
bunga maupun bagi hasil) maka tuntutan ini sebagai konsekuensi atas pembayaran
bunga dan bagi hasil yang harus dibagi ke pihak lain. Misalkan, dengan adanya
konsekuensi pembayaran bunga atau bagi hasil, keuntunagn minimal baru akan

didapat apabila jumlah beras yang diproduksi minimal 120 kg. Dengan demikian,
karena adanya konsekuensi pembayaran kepada pihak ketiga, maka produsen akan
terdorong untuk memproduksi barang pada jumlah yang lebih besar.
Revenue Sharing Vs Profit Sharing
Dalam akad muamalat islam, dikenal akad mudharabah yaitu akad antara si
pemodal dengan si pelaksana. Antara si pemodal dan si pelaksana harus disepakati
nisbah bagi hasil yang akan menjadi pedoman pembagian bila usaha tersebut
menghasilkan untung. Namun, bila usaha tersebut menimbulakn kerugian, maka si
5

pemodal yang akan menanggung sesuai penyertaan modalnya, dalam hal ini 100 %.
Akan tetapi, bila kerugian tersebut disebabkan karena kelalaian atau ia melanggar
syarat yang telah disepakati bersama, maka kerugian menjadi tanggung jawab si
pelaksana.
Selain menyepakati nisbah bagi hasil, mereka juga menyepakati siapa yang akan
menanggung biaya. Dapat saja disepakati bahwa biaya ditanggung oleh si pelaksana
atau ditanggung oleh pemodal. Bila yang disepakati adalah biaya ditanggung si
pelaksana, ini berarti yang dilakukan adalah bagi penerimaan (revenue sharing).
Sedangakn bila yang disepakati adalah biaya ditanggung oleh si pemodal, berarti
yang dilakukan adalah bagi untung (profit sharing).

Berputarnya TR ke arah jarum jam dengan titik nol sebagai sumbu putarannya,
adalah keadaan yang menggambarkan akad revenue sharing seperti gambar dibawah :
Gambar 6.9

Bila yang disepakati adalah mudharabah yang biaya-biaya yang ditanggung oleh
si pemodal, atau dengan kata lain, dengan sistem bagi untung (profit sharing), maka
kurva total penerimaan berputar ke arah jarum jam dengan titik BEP sebagai sumbu
putarannya. Tingkat produksi sebelum BEP tercapai ( Q < QPS ) adalah keadaan
dimana total biaya lebih besar dari pada total penerimaan ( TC > TR ) dalam keadaan
6

ini, belum ada keuntungan yang dibagi hasilkan sesuai kesepakatan bahwa biya
ditangung si pemodal, maka kerugian itu menjadi beban si pemodal itu sebabnya
kurva total penerimaan TR berputar arah jarum jam dengan titik BEP sebagai sumber
putarnya.
Perbedaan kedua antara sisten reveneu sharing dengan sisten profit sharing
dengan akad mudhorbah adalah ada seberapajauh kurva TR berputar. Dalam sistem
revenue sharing, kurva TR akan berputar sampai mendekati garis horizontal sumbu X
sedangkan sistem profit sharing, kurva TR hanya akan berputar di dalam “mulut
buaya” TR dan TC, yaitu area yang mengambarkan besarnya keuntungan. Dalam

sitem profit sharing, TR tidak akan berputar melewati TC, karena pada area itu sudah
tidak ada lagi keuntungan yang akan dibagi hasilkan
Jauh Putaran

Objek

yang

di Sumbu Putaran

Revenue sharing

bagihasilkan
TR

Titik 0

TR – TC

Titik BEP


TR – TC

Titik 0

Sampai mendekati sumbu X
Profit sharing
Diantara kurva TR-TC
Profit & Loss Sharing
Diantara kurva TR dan TC
Dintara kurva TC dan TR

Dalam muamalah islam, sebenarnya akad mudhorobah merupakan salah satu dari
bentuk musyarokah. Bila dalam akad mudhorobah ditentukan bahwa penyertaan
7

pelaksana harus nihil, sehinga penyertaan si pemodal harus 100%, maka dalam akd
musyarokah tidak ditentukan seperti itu sehinga yang terjadi adalah penyertaan dari
dua orang pemodal.
Antara dua pemodal ini disepakati hisbah bagi hasi yang akan menjadi pedoman
pembagian bila usaha tersebut menghasilkan untung. Namun, bila usaha tersebut
malah timbul kerugian, maka pemodal yang akan menanggung sesuai penyertaan
modalnya.
Secara grafis keadaan merugi digambarkan dengan “mulut buaya bawah” yaitu
area sebelum tercapainya BEP ( Q > QPS ) ; sedangakan keadaan mengalami
keuntungan digambarkan dengan “ mulut buaya atas” yaitu area setelah tercapainya
BEP bagi untung terjadi pada “ mulut buaya atas” tidak perlu simetris dengan bagi
rugi yang terjadi pada “ mulut buaya bawah” karena bagi untung berdasarkan misbah,
sedangkan bagi rugi berdasarkan modal penyertaan masing-masing.
B. Dasar-Dasar Pengukuran dan Sumber Laba
1. Pengertian Laba ( Khath)
Dalam Islam jual beli secara etimologis berasal dari kata al bay’u ( ‫ ) البيع‬dan
syirā (‫ ) شري‬yang berarti mengambil sesuatu dan memberi sesuatu, sedang secara
terminologis para fuqaha memberikan definisi jual beli dalam banyak pengertian yang
mengacu pada satu kesimpulan bahwa jual beli adalah, “Menukar suatu benda
seimbang dengan harta benda yang lain yang keduanya boleh (ditasharrufkan)
dikendalikan dengan ijab qabul menurut cara yang dihalalkan oleh syara’”. Term ini
memberikan pengertian jual beli dalam arti ekonomi, yaitu adanya pertukaran
komoditas dengan nilai kompensasi tertentu.
Akan tetapi bila melihat kepada Al Quran, jual beli atau perdagangan mencakup
pengertian yang eskatologis. Kata Jual beli bukan hanya digunakan untuk
menunjukkan aktivitas bisnis pertukarang barang atau produk tertentu. Jual beli dapat
berarti “keyakinan, keta’atan, berinfaq dan jihād fī sabīillāh, , ” (QS. ash Shaff [61]:
(10-12), al Baqarah [2]: 254, at Taūbah [5]: 111) . (Jusmaliani, 2008: 26).
Pengertian laba secara bahasa atau menurut Al –Qur’ an, As – Sunnah, dan
pendapat ulama – ulama fiqih dapat kita simpulkan bahwa laba ialah pertambahan
8

pada modal pokok perdagangan atau dapatjuga dikatakan sebagai tambahan nilai
yang timbul karena barter atau ekspedisi dagang.
Tujuan dalam perdagangan dalam arti sederhana adalah memperoleh laba atau
keuntungan, secara ilmu ekonomi murni asumsi yang sederhana menyatakan bahwa
sebuah

industry

dalam

menjalankan

produksinya

adalah

bertujuan

untuk

memaksimalkan keuntungan (laba/profit) dengan cara dan sumber-sumber yang halal.
Demikian pula dengan transaksi bisnis dalam skala mikro, artinya seorang pengusaha
atau industry dapat memilih dan menentukan komposisi tenaga kerja, modal, barangbarang pendukung proses produksi, dan penentuan jumlah output. Yang kesemua itu
akan dipengaruhi oleh harga, tingkat upah, capital, maupun barang baku, dimana
keseluruhan kebutuhan input ini akan diselaraskan oleh besarnya pendapatan dari
perolehan output.
Dalam konsep jual beli dan perolehan laba Islami, memberikan tuntunan pada
manusia dalam perilakunya untuk memenuhi segala kebutuhannya dengan
keterbatasan alat kepuasan dengan jalan yang baik dan alat kepuasan yang tentunya
halal, secara zatnya maupun secara perolehan-nya. Prinsip keridhoan, ta’āwun,
kemudahan, dan transparansi, dalam jual beli Islam mencegah usaha-usaha
eksploitasi kekayaan dan serta mengambil keuntungan dari kerugian pihak lain.
Konsep laba dalam Islam, secara teoritis dan realita tidak hanya berasaskan pada
logika semata-mata, akan tetapi juga berasaskan pada nilai-nilai moral dan etika serta
tetap berpedoman kepada petunjuk-petunjuk dari Allah .
Islam menganggap manusia berperilaku-nya rasional jika konsisten dengan
prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang.
Tauhid nya mendorong untuk yakin, Allah-lah yang berhak membuat rules untuk
mengantarkan kesuksesan hidup.
Sedangkan teori laba dalam konvensional dibangun di atas filosofis materialisme
dan sekulerisme. Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa
tindakan individu adalah rasional. Rasionality yang dimaksud adalah tindakan
individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self
interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas.

9

Menurut konvensional, rasionalitas diartikan sebagai tindakan manusia dalam
memenuhi keperluan hidupnya yaitu memaksimumkan kepuasan atau keuntungan
senantiasa berdasarkan pada keperluan (need) dan keinginan-keinginan (want) yang
digerakkan oleh akal yang sehat dan tidak akan bertindak secara sengaja membuat
keputusan yang bisa merugikan kepuasan atau keuntungan mereka. Teori laba
konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan asumsi mereka
terhadap unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa mengambil hari
akhirat (Nur Kholis, 2011). Berikut ini beberapa aturan tentang laba dalam konsep
Islam :
1) Adanya harta ( uang yang dikhususkan untuk perdagangan.
2) Mengoperasikan modal tersebut secara interaktif dengan dasar unsur-unsur lain
yang terkait untuk produksi, seperti usaha dan sumber –sumber alam.
3) Memposisikan harta sebagai obyek dalam pemutarannya karena adanya
kemungkinan –kemungkinan pertambahan atau pengurangan jumlahnya.
4) Sematnya modal pokok yang berarti modal bisa dikembaikan.
2. Dasar – Dasar Pengukuran Laba dalam Islam
a) Taqlib dan Mukhatarah ( Interaksi dan Resiko )
Laba adalah hasil dari perputaran modal melalui transaksi bisnis , seperti
menjual dan membeli, atau jenis-jenis apa pun yang dibolehkan syar’i. Untuk itu,
pasti ada kemungkinan bahaya atau resiko yang akan menimpa modal yang
nantinya akan menimbulkan pengurangan modal pada suatu putaran dan
pertambahan padaputaran lain. Tidak boleh menjamin pemberian laba dalam
perusahaan –perusahaan mudharabah dan musyarakah.
b) Al – Muqabalah, yaitu perbandingan antara jumlah hak milik pada akhir periode
pembukuan dan hak – hak milik pada awal periode yang sama, atau dengan
membandingkan nilai barang yang ada pada akhir itu dengan nilai barang yang
ada pada awal periode yang sama. Juga bisa dengan membandingkan pendapatan
dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan pendapatan dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan income (pendapatan).

10

c) Keutuhan modal pokok, yaitu laba tidak akan tercapai kecualli setelah utuhnya
modal pokok dari segi kemampuan secara ekonomi sebagai alat penukar barang
yang dimiliki sejak awal aktivitas ekonomi.
d) Laba dari produksi, Hakikatnya dengan Jual Beli dan Pendistribusian, yaitu
Pertambahan yang terjadi pada harta selama setahun dari semua aktivitas
penjualan dan pembelian, atau memproduksi dan menjual yaitu dengan pergantian
barang menjadi uang dan pergantian uang menjadi barang dan seterusnya , maka
barang yang belum terjual pada akhir tahun juga mencakup pertambahan yang
menunjukkan perbedaan antara harga yang pertama dan nilai harga yang sedang
berlaku.
Berdasarkan niali ini, ada dua macam laba yang terdapat pada akhir tahun,
yaitu laba yang berasal dari proses jual beli dalam setahun dan laba suplemen,
baik yang nyata maupun yang abstrak karena barang –barangnya belum terjual.
e) Penghitungan nilai barang di akhir tahun
Tujuan penilaian sisa barang yang belum sempat terjual di akhir tahun
adalah untuk penghitungan zakat atau untuk menyiapkan neraca-neraca keuangan
yang didasarkan pada nilai penjualan yang berlaku di akhir tahun itu, serta
dilengkapi dengan daftar biaya-biaya pembelian dan pendistribusian. Dengan
cara ini, tampaklah perbedaan antara harga yang pertama dan nilai yang berlaku
yang dapat dianggap sebagai laba abstrak.
Proses penilaian yang didasarkan pada nilai pasaran ( penjualan) itu
berlaku untuk barang dagangan, sedangkan penilaian pada modal tetap berlaku
untuk menghitung kerusakan –kerusakan ( yang merupakan salah satu unsure
biaya produksi), maka penilainnya harus berdasarkan harga penukaran .

3. Sumber Laba
Dari perbedaan terminologi, orientasi serta landasan ideologi di antara keduanya,
tentunya berdampak pada kriteria penilaian sumber dari laba itu sendiri. Dengan
prinsip dan tujuan bisnis yang telah ditetapkan dalam kaidah mu’amalah, laba dalam
islam tidak hanya berpatokan pada bagaimana memaksimalkan nilai kwantitas laba
tersebut, akan tetapi juga menyelaraskannya dengan nilai kwalitas yang diharapkan
secara fitrah kemanusiaan dan Islam.
11

Dalam konsep mua’malah, tidak semua kebutuhan yang dipandang memiliki
mashlahat dapat diproduksi, dikonsumsi, atau diperjualbelikan. Mashlahat dalam
islam terbagi kepada tiga, yaitu;

a) Al Mashālihu al mu’tabarah; yaitu segala sesuatu yang telah dijadikan
perhatian oleh syari’ah dan dalam penetapannya mengandung mashalat atau
manfaat bagi manusia. Seperti disyari’atkannya jihad, diharamkannya
membunuh, minuman keras, zina, dan mencuri. Semua itu ditujukan untuk
penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta yang termasuk kepada
tujuan utama dari syariah.

b) Al Mashālihu al mulghāt; yaitu segala sesuatu yang didalamnya dianggap
memiliki mashalat namun tidak nyata atau kecil kemungkinannya. Seperti
adanya anggapan persamaan dalam masalah pembagian warisan antara lakilaki dan perempuan, maka anggapan tersebut tidak dijadikan sandaran oleh
syari’ah walau dianggap memiliki mashlahat. Juga adanya mashlahat
pertambahan keuntungan atau laba dalam bisnis ribawi, semua itu ditolak oleh
syari’ah karena sisi kerusakan dan kemudharatan yang lebih besar di
dalamnya.

c) Al Mashālihu al Mursalāh; yaitu, maslahat yang secara khusus tidak
dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak
adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam
menentukan suatu hukum. Seperti membangun masjid, mencetak al Qur’ān,
kitab-kitab dakwah, dan lain-lain.
Adapun teori konvensional, tidak menyebutkan adanya pemilahan dalam masalah
modal dan barang baik yang bersifat halal maupun haram. Bagi mereka selama modal
dan barang itu bisa dijadikan sebagai alat usaha mereka dalam meraih keuntungan
yang maksimal, maka hal itu sah-sah saja tanpa terkecuali. Suatu barang atau modal
kerja dipandang baik oleh mereka hanya apabila barang itu bisa dipasarkan dan modal
kerja bisa memenuhi kebutuhan produksinya. Terlepas barang tersebut adalah barang
dapat merusak atau diharamkan atau modal kerja yang didapat melalui sistem bunga
dan ribawi.

12

Dalam pembahasan konvesional sumber keuntungan pendapatan yang diperoleh
para pengusaha sebagai pembayaran dari melakukan kegiatan:

a. Menghadapi resiko terhadap ketidakpastian di masa yang akan datang,
b. Melakukan inovasi/pembaharuan di dalam kegiatan ekonomi,
c. Mewujudkan kekuasaan monopoli di dalam pasar
Point pertama dan kedua dapat diterima dalam teori laba mu’amalah islam dengan
catatan, keuntungan yang di dapat dari

konsekuensi menghadapi resiko

ketidakpastian dan inovasi/pembaharuan dalam kegiatan ekonomi konvensional
adalah merupakan salah satu komponen dari empat komponen proses produksi yaitu,
upah (wages), ongkos (cost), modal berbunga, dan keuntungan (laba/profit).
Islam mengakui laba adalah sebagai hasil dari modal yang tak berbunga. Islam
sangat mengakui modal serta peranannya dalam proses produksi. Islam juga
mengakui bagian modal dalam kekayaan hanya sejauh mengenai sumbangannya yang
ditentukan sebagai presentase laba yang berubah-ubah dan diperoleh, bukan
presentase tertentu dari kekayaan itu sendiri.

C. Manfaat Berekonomi Tanpa Dengan Riba
Keharusan berekonomi secara syariah ini lantaran penerapanya memiliki manfaat
yang sangat besar bagi umat Islam. Pertama umat Islam bisa menjalankan agamanya
dalam bidang ekonomi yang pada gilirannya menggiringnya kepada pengamalan Islam
secara utuh. Kedua, menerapkan dan mengamalkan sistem ekonomi sayariah mendapat
dua keuntungan, yaitu duniawi dan ukhiawi. Keuntungan duniawi berupa uang,
keuntungan akhirat berupa pahala ibadah melalui pengamalan syariah Islam dan terhindar
dari dosa riba. Ketiga, memajukan ekonomi Islam lewat lembaga keuangan syariah,
berarti umat Islam berupaya mengentaskan kemiskinan.3

3 http://kaguralagoe.blogspot.co.id/2014/10/laba-dan-riba-dalam-ekonomi-islam.html
(Diakses Pada Tanggal 31/10/2016)

13

14