EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA AUDIO DALAM

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Kemampuan

penglihatan

sangat

berpengaruh

terhadap

aktivitas

kehidupan manusia sehari-hari.
Orang yang memiliki kemampuan penglihatan jelas dapat memperoleh
informasi lebih banyak dibanding mereka yang mengalami hambatan dalam
penglihatan. Pada anak yang sedang belajar banyak informasi yang sangat
diperlukan diperoleh melalui penglihatan misalnya dalam mempelajari warna,

mengamati benda-benda sekitar, mengamati ekspresi wajah orang lain,
menulis dan membaca, memahami persepsi jarak dan sebagainya. Oleh karena
itu, informasi-informasi tersebut akan sangat sulit dikuasai oleh anak-anak
yang mengalami hambatan penglihatan atau tuna netra.
Kita semua tidak akan pernah tau batas kemampuan manusia, karena
setiap insan memiliki kelebihan yang berbeda.
Sebagaimana firman Allah SWT.

    
Artinya :
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui
batas”. (Q.S.Al-Alaq : 6)

Tidak hanya proses pembelajaran yang terpengaruh, namun terdapat
beberapa aspek lain yang juga terpengaruh oleh hambatan penglihatan. Aspekaspek yang tekena pengaruh/dampak hambatan penglihatan tersebut meliputi

1

aspek ergonomis, kompetensi sosial,keterampilan sosial bahasa, serta orientasi
dan mobilitas.

Karya tulis ini akan mengetengahkan kajian teoritis sebagai rujukan
dalam bahasan tentang studi kasus dalam orientasi dan mobilitas anak tuna
netra serta pembahasan analisis kritis tentang kasus anak tuna netra yang
mengalami masalah serius dengan postur tubuh, gaya jalan, sikap dan kondisi
sosial psikologis. Juga keterkaitan masalah psikologis terhadap proses kognitif
yang terjadi pada diri tuna netra. Bagaimana permasalahan psikologis dan
proses kognitif tersebut menjadikan seseorang kehilangan orientasi dan
kehilangan teknik-teknik orientasi dan mobilitas yang sebenarnya telah
dikuasainya.
Meskipun banyak kendala yang akan dihadapai anak-anak tuna netra,
tetapi pemerintah tidak berhenti begitu saja, dalam mempelajarai Al-Qur`an
misalnya, pemerintah khususnya Kementrian Agama membuat Al-Qur`an
khusus untuk kalangan tuna netra dengan huruf braileu, karena Allah SWT
telah berfirman:



     
       


Artinya:
“ Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah
menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (Q.S.Al-Israa’ :
82)
Dari ayat diatas, kita sebagai manusia jangan pernah meninggalkan Alqur`an dan melupakannya. Karena Allah juga berfirman :

2

          
   
Artinya :

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk”.(Q.S.Al-Qashas : 86)
Pendidikan Luar Biasa merupakan bagian integral dari Sistem
Pendidikan Nasional. Sebagaimana diungkapkan dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah menyusun
standar isi yang disahkan oleh Peraturan Mentri Nomor 22 tahun 2006.
Standar Kompetensi Lulusan yang disahkan oeleh Peraturan Mentri Nomor 23
tahun 2006. Selanjutnya Mentri Pendidikan Nasional mengeluarkan Peraturan
Mentri No 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Mentri nomor 22 dan
23.
Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk
meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan,
keterampilan, mempertinggi budu pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusiamanusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersamasama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa (Drs. Muhammad, 1981 :
68) .
Karena ungkapan-ungkapan tersebut maka Penulis merasa sangat
termotivasi untuk mengangkat problema yang terjadi pada siswa tuna netra ini,
karena siswa tuna netra memiliki keterbelakangan atau bisa disebut juga cacat

3

secara fisik yaitu dalam hal penglihatan. Yang mengakibatkan para siswa harus
mampu melihat dunia ini bukan secara tampak, melainkan secara ruhaniyah
atau dengan belajar secara formal mengenai pendidikan moral dan lain

sebagainya. Itu semua menjadi tantangan bagi penulis untuk mencari tahu
bagaimana cara siswa tuna netra belajar, dan apakah benar media audio itu
sangat berpengaruh dalam pembelajaran siswa tuna netra.
Keadaan para siswa tuna netra terkadang menjadikan mereka malu untuk
tampil dihadapan publik. Karena keterbatasan dalam penglihatan akan
membuat mereka semakin terpuruk jika tidak mampu menghilangkan rasa
minder dan paradigma negatif dalam diri mereka. Harus ada hal-hal yang
membuat mereka termotivasi, termobilisasi akan pentingnya dunia pendidikan.
Yang sebenarnya mereka mampu membuat kelebihan yang tidak dimiliki
manusia yang sempurna untuk menutupi kekurangannya, itu semua perlu kerja
keras yang tidak mudah tentunya. Maka kita selaku orang atau manusia yang
sudah diciptakan sempurna harusnya kita bersyukur, tanpa kesempurnaan ini
kita tidak akan mampu melakukan hal yang tidak bisa dilakukan orang yang
kurang atau cacat. Karena keterbatasan itu, pemerintah merasa tegugah untuk
mengadakan pendidikan dan pembelajaran untuk anak-anak yang meiliki
kekurangan secara lahiriyah dalam panca indera dan daya fikir, seperti Tuna
rungu (tidak bisa menendengar), tuna wicara (tidak bisa berbicara), tuna
grahita (Idiot/keterbelakangan mental), dan lain sebagainya.
Dengan adanya pendidikan, maka banyak sekarang anak-anak bangsa
yang mampu bersaing dengan orang yang normal, baik itu tingkat nasional

maupun internasional. Tidak sedikit orang-orang yang kurang sempurna, tapi
mampu menciptakan hal-hal baru dalam kehidupan, dalam artian kekreatifan

4

mereka tidak terhalangi dengan kekurangannya. Yang menjadikan mereka
terangkat derajat dan martabatnya, dan sudah seharusnya kita tidak boleh
memandang mereka rendah.
Dalam rangka menunjang pembangunan, agar tidak mudah terjadi
kekacauwan dimana-mana seperti yang terlihat dewasa ini, diperlukan
manusia-manusia yang berkualitas dan berbudi pekerti yang baik. Menusia
yang berbudi dan berkualitas yang baik, tidak mungkin muncul dengan tibatiba tanpa usaha pendidikan. Salah satu bentuk pendidikan yang diharapkan
akan menghasilkan manusia seperti tersebut terdahulu, adalah pendidikan
yang bertujuan mendidik siswa menjadi khalifah fil ardh. (Neviyarni, 2009:3).
1.2. Perumusan Masalah
Untuk

memudahkan

dan


mengarahkan

penelitian

yang

akan

dilaksanakan, penulis mencoba mengidentifikasi masalah-masalah yang akan
dibahas dan sekaligus merumuskannya. Adapun masalah yang akan dibahas
adalah sebagai berikut :
1. Apa itu Sekolah Luar Biasa?
2. Bagaimana proses pembelajaran di Sekolah Luar Biasa?
3. Apa saja yang terjadi dalam proses pembelajaran pada Siswa Tuna
Netra?
4. Untuk apa media audio tersebut digunakan?
5. Apa sajakah alat bantu yang digunakan siswa Tuna Netra?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun penyusunan karya tulis ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu

sebagai berikut :

5

1. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang Sekolah Luar
Biasa dan cara belajar di Sekolah Luar Biasa. Dan pengetahuan
penting kepada pembaca bagaimana Pemerintah menaggapinya.
2. Untuk memberi gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana situasi
pembelajaran di Sekolah Luar Biasa. Hal ini harus menjadi pelajaran.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dan problema yang dihadapi
Siswa Tuna Netra ketika Kegiatan Belajar Mengajar. Sehingga kita
menyadari bahwa perjuangan tersebut tidak mudah.
4. Kita dapat mengambil hikmah dan mencontoh keberanian dan
kelihaian para siswa tuna netra pada saat kegiatan belajar mengajar,
karena banyak yang mampu berprestasi dengan kekurangannya.
Sehingga pemerintah menaruh simpati terhadap perjuangan siswa
tuna netra dan membantu untuk lebih meningkatkan kemampuan
khususnya dalam pendengaran.
5. Kita mengetahui tentang bagaimana media audio digunakan untuk
pembelajaran siswa tuna netra dan juga alat bantu lainnya.

1.4. Manfaat Penelitian
Dalam penulisan karya tulis ini, Penulis mengharapkan adanya manfaatmanfaat yang dapat diambil dan dipetik. Karena, disamping Penulis memiliki
tujuan, Penulis juga berharap adanya manfaat yang jelas bagi para pembaca
nantinya. Manfaat-manfaat tersebut yaitu :
1. Semoga setelah selasai membaca karya tulis ini, pembaca menjadi
tahu akan pentingnya dunia pendidikan bagi seluruh manusia.
Karena, tanpa ilmu kita semua akan menjadi buta/tidak melihat

6

untuk menatap jauh kedepan. apa yang akan kita hadapi nanti akan
berbda dengan yang dihadapi sekarang.
2. Pembaca menjadi tahu apa itu tuna netra, bagaimana cara
menghadapi orang yang tidak mampu melihat. Apa saja alat-alat
yang digunakan siswa tuna netra untuk belajar.
3. Membuat orang-orang yang sudah sempurana, menjadi lebih
semangat dalam menjalani hidup, karena masih ada yang kurang
daripada yang normal, masih ada yang terbelakang karena cacat.
4. Menjadikan sumber inspirasi bagi pembaca dan khususnya bagi
Penulis. Dengan melihat orang-orang yang kurang atau cacat, baik

itu secara lahiriyah maupun ruhaniyah kita mampu hidup lebih tegar,
lebih bersyukur kepada Sang Kholiq.
1.5. Asumsi dan Keterbatasan
Sebagai landasan teoritis untuk menganalisis dan memecahkan topik
pembahasan, Penulis mengemukakan beberapa asumsi dan keterbatasan dalam
penulisan ini :
1. Hipotesa Tindakan
a) Penggunaan media audio merupakan salah satu cara untuk
memudahkan siswa tuna netra dalam kegiatan belajar mengajar
agar siswa lebih paham terhadap pelajaran-pelajaran yang di
berikan.
b) Dengan menggunakan media audio siswa lebih mengerti dan
menjadi cepat tanggap dalam hal-hal tertentu.

7

c) Dengan mengusai materi, melaksanakan langkah pembelajaran
yang tepat, diduga pemahaman mengenai materi yang diberikan
akan lebih mengerti.
2. Keterbatasan

a) Keterbataan Penulis dalam penulisan ini yaitu kurangnya
pengetahuan ketika melaksanakan observasi di lapangan.
b) Bahwa dalam kenyataannya penggunaan media audio itu kurang
efektif, karena para siswa bnyak menggunakan metode-metode
lain selain media audio.
1.6. Kerangka Teori
Yang menjadi landasan substansial dalam penelitian adalah dapak yang
akan timbul setelah selesai proses pembelajaran diharapkan siswa akan
mengalami perubahan dalam hal pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam
kehidupannya, sehingga apabila berhadapan dengan dinia luar tidak akan
terbawa arus tidak baik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
deskriptif yaitu metode penelitian yang bertujuan memecahkan permasalahan
pada masa sekarang. Dengan metode ini diharapkan peneliti dapat
mengumpulkan data otentik dari hasil belajar.
Dengan menggunakan media audio akan sangat membantu para siswa
untuk lebih mengerti tentang pelajaran-pelajaran yang diberikan dan
merupakan konsep belajar yang nantinya akan membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan ralitas yang ada.
Hasil belajar merupakan kegiatan yang dilakukan siswa untuk
mengaitkan kemampuan semua aspek setelah siswa melaksanakan proses
pembelajaran.

8

1.7. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan karya tulis ini maka Penulis membuat
Daftar Isi yang akan memudahkan pembaca untuk memahami isi Karya Tulis
ini.

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
1.2. Perumusan Masalah
1.3. Tujuan Penelitian
1.4. Manfaat Penelitian
1.5. Asumsi dan Keterbatasan
1.6. Kerangka Teori
1.7. Sistematika Penulisan
BAB II KAJIAN TEORI
2.1. Pembahasan Teori
2.2. Efektifitas
2.3. Media
2.4. Audio
2.4.1. Pengertian Audio
2.4.2. Lingkup Kerja Audio
2.5. Pembelajaran
2.5.1. Pengertian Belajar

9

2.5.2. Teori Belajar Bahasa Komunikatif 1
2.6. Tuna Netra
2.6.1. Pengertian Tuna Netra
2.6.2. Penyebab Ketunanetraan
2.6.3. Karakteristik Tuna Netra
2.6.4. Dampak Ketunanetraan terhadap Perkembangan Bahasa
2.6.5. Dampak Ketunanetraan terhadap Perkembangan Kognitif
2.6.6. Dampak Ketunanetraan terhadap Perkembangan Motorik,
Orientasi dan Mobilitas
2.6.7. Hubungan Kognisi
2.6.8. Determinan Perilaku
BAB III METODOLOGI
3.1. Setting dan Karakteristik
3.2. Prosedur Penelitian
BAB IV DATA HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Data Hasil Penelitian
4.2. Cara Pengambilan Data
4.3. Indikator Kinerja
4.4. Pembahasan Penelitian
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
5.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN

10

BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Pembahasan Teori
Dalam pembelajaran, media merupakan hal yang sangat penting. Dan
pembelajaran adalah satu sistem yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lainnya, karena pembelajaran tanpa media akan membuat peserta didik kurang
mengerti.
Salah satu bidang pengetahuan terapan yang diharapkan memberi
sumbangan bagi perkembangan pendidikan di tanah air ialah bidang Teknologi
Pendidikan. Kemampuan untuk memanfaatkan teknologi moderen dalam
upaya pengembangan pendidikan tentu saja sangat banyak tergantung pada
jumlah dan kemampuan para ahli dalam bidang Teknologi Pendidikan (Harsja
W. Bachtiar, 1984:vii).
2.2. Efektifitas
Efektivitas merupakan pencapaian tujuan secara tepat atau memilih
tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan
menentukan pilihan dari berbagai pilihan lainnya. Efektivitas bisa juga
diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan
yang telah ditentukan. Sebagai contoh jika sebuah tugas dapat selesai dengan
pemilihan cara-cara yang sudah ditentukan, maka cara tersebut adalah benarbenar efektif.
Efektivitas adalah melakukan tugas yang benar sedangkan efisiensi
adalah melakukan tugas dengan benar. Penyelesaian yang efektif belum tentu
efisien begitu juga sebaliknya. Yang efektif bisa saja membutuhkan sumber
daya yang sangat besar, sedangkan efisiensi barangkali membutuhkan waktu

11

yang lama. Sehingga sebisa mungkin efektivitas dan efisiensibisa mencapai
tingkat

optimum

untuk

kedua-duanya.

(http://definisi-

pengertian.blogspot.com/2010/08/pengertian-efektifitas-dan-efisiensi.html)
Sondang P. Siagian (2001 : 24) memberikan definisi sebagai berikut :
“Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam
jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan
sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas
menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah
ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin
tinggi efektivitasnya.
Sementara itu Abdurahmat (2003:92) “Efektivitas adalah pemanfaatan
sumber daya, sarana dan prasaranadalam jumlah tertentu yang secara sadar
ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada
waktunya.
Pengertian efektifitas secara umum menunjukan sampai seberapa jauh
tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut sesuai
dengan pengertian efektifitas menurut Hidayat (1986) yang menjelaskan
bahwa :
“Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target
(kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar presentase
target yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya”.

Sedangkan pengertian efektifitas menurut Schemerhon John R. Jr.
(1986:35) adalah sebagai berikut :

12

“Efektifitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara
membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output
realisasi atau sesungguhnya (OS), jika (OA) > (OS) disebut efektif ”.
Adapun pengertian efektifitas menurut Prasetyo Budi Saksono (1984)
adalah :
“ Efektifitas adalah seberapa besar tingkat kelekatan output yang dicapai
dengan output yang diharapkan dari sejumlah input “.
Dari pengertian-pengertian efektifitas tersebut dapat disimpulkan bahwa
efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target
(kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana
target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Berdasarkan hal tersebut
maka untuk mencari tingkat efektifitas dapat digunakan rumus sebagai
berikut:
Efektifitas = Ouput Aktual/Output Target >=1
Ø Jika output aktual berbanding output yang ditargetkan lebih besar atau
sama dengan 1 (satu), maka akan tercapai efektifitas.
Ø Jika output aktual berbanding output yang ditargetkan kurang daripada
1 (satu), maka efektifitas tidak tercapai.
2.3. Media
Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari
kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Medóë
adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan.
Banyak batasan yang diberikan orang tentang media. Asosiasi Teknologi
dan komunikasi Pendidikan (Association of Education and Communication

13

Technology/AECT) di Amerika, membatasi media sebagai segala bentuk dan
saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi.
Gagne (1970) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen
dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar. Sementara itu,
Briggs (1970) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat
menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar.
Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association/NEA)
memiliki pengertian yang berbeda. Media adalah bentuk-bentuk komunikasi
baik tercetak maupun audio visual serta pernyataannya. Media hendaknya
dapat dimanipulasi dapat dilihat, didengar, dan dibaca. Adapun batasan yang
diberikan, ada persamaan diantara batasan tersebut yaitu bahwa media adalah
segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim
ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan
minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.
Media pendidikan sebagai salah satu sumber belajar yang dapat
menyalurkan pesan sehingga membantu mengatasi masalah tersebut.
Perbedaan gaya belajar, minat, intelegensi, keterbatasan daya indera, cacat
tubuh atau hambatan jarak geografis, jarak, waktu, dan lain-lain dapat dibantu
diatasi dengan pemanfaatan media pendidikan.
Maka, perwujudan diri dari yang tampak pada kemandirian merupakan
suatu proses perkembangan diri sesuai dengan eksistensi manusia.
Kemandirian yang sehat adalah yang sesuai dengan hakekat manusia. Tafsiran
teologis, lebih melihat hakekat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan
dijadikan menurut aturan Tuhan. Manusia akan menemukan dirinya bila dia
mampu mentransendensikan (memahami di luar pemahaman manusia biasa)

14

kehidupan yang alami kepada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu Tuhan
(Kartadinata, 1988:18, 53)
Secara umum media pendidikan mempunyai kegunaan-kegunaan sebagai
berikut :
1.

Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis
(dalam bentuk kata-kata atau lisan belaka).

2.

Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, seperti
misalnya :
a.Objek yang terlalu besar bisa digantikan dengan realita, gambar,
film bingkai, film atau gambar;
b. Objek yang kecil dibantu dengan proyektor mikro, film bingkai,
film atau gambar;
c.Gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat, dapat dibantu dengan
time laps atau high-speed photography;
d. Kejadian atau peristiwa yang terjadi dimasa lalu bisa ditampilkan
lagi lewat rekaman video, film bingkai, foto, maupun secara
verbal;
e.Objek yang terlalu kompleks (misalnya mesin-mesin) dapat
disajikan dengan model, diagram, dan lain-lain.

3.

Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat
mengatasi sikap positif anak didik. Dalam hal ini media pendidikan
berguna untuk :
a.Menimbulkan kegairahan belajar.
b. Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik
dengan lingkungan dan kenyataan.

15

c.Memungkinkan

anak didik

belajar

sendiri-sendiri menurut

kemampuan dan minatnya.
4.

Dengan sifat yang unik pada tiap siswa, ditambah lagi dengan
lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan
materi pendidikan ditentukan sama untuk setiap siswa, maka guru
banyak mengalami kesulitan bilamana semuanya itu harus diatasi
sendiri. Hal ini akan lebih sulit bila latar belakang lingkungan guru
dengan siswa juga berbeda. Masalah ini dapat diatasai dengan media
pendidikan, yaitu dengan kemampuannya dalam :
a.Memberikan perangsangan yang sama.
b. Mempersamakan pengalaman.
c.Menimbulkan persepsi yang sama.

2.4. Audio
2.4.1. Pengertian Audio
Audio berarti “suara” atau “reproduksi suara”. Dalam ilmu fisika, suara
adalah bentuk energi yang dikenal sebagai energi akustik. Secara khusus,
mengacu pada rentang frekuensi yang dapat dideteksi oleh telinga manusia –
sekitar 20Hz to 20kHz. Frekuensi 20Hz merupakan nada suara terendah
(bassiest) yang kita bisa dengar, dan 20kHz merupakan nada tertinggi yang
kita bisa dengar.
Lingkup kerja audio meliputi produksi, perekaman, manipulasi dan
reproduksi gelombang suara. Untuk memahami audio Kita harus memiliki
pemahaman tentang dua hal:

16

Sound Waves: Apa arti sound waves, bagaimana terjadinya dan
bagaimana kita dapat mendengarnya.
Sound Equipment: Mengenai komponen-komponennya, cara kerjanya,
bagaimana memilih peralatan yang benar dan cara penggunaannya.
2.4.2. Lingkup Kerja Audio
Lingkup kerja audio sangatlah luas, dengan berbagai bidang spesialisasi.
Mulai dari hanya sekedar hobby hingga profesional. Secara umum lingkup
kerja audio meliputi:


Studio Sound Engineer



Teknisi Radio



Live Sound Engineer



Film/Television Sound Recordist



Musician



Field Sound Engineer



Music Producer



Audio Editor



DJ



Post-Production Audio

Gelombang suara terjadi sebagai variasi tekanan dalam sebuah media,
seperti udara. Ia tercipta dari bergetarnya sebuah benda, yang menyebabkan
udara sekitarnya ikut bergetar. Udara yang bergetar kemudian diterima oleh
telinga, menyebabkan gendang telinga manusia bergetar, kemudian otak
menafsirkannya sebagai suara.
Gelombang suara berjalan melalui udara, sama seperti gelombang yang
terjadi di air. Bahkan, gelombang air lebih mudah untuk dilihat dan

17

dimengerti, hal ini sering digunakan sebagai analogi untuk menggambarkan
bagaimana gelombang suara berperilaku.
Gelombang suara juga dapat ditampilkan dalam stkitar grafik XY. Hal ini
memungkinkan kita untuk membayangkan dan bekerja dengan gelombang dari
sudut pkitang matematika.
Pada sinyal elektronik, nilai tinggi menunjukkan tegangan positif yang
tinggi. Ketika sinyal ini dikonversi menjadi gelombang suara, Kita dapat
membayangkan nilai-nilai tinggi tersebut sebagai daerah yang mewakili
peningkatan tekanan udara. Ketika gelombang menyentuh titik tertinggi, hal
ini berhubungan dengan molekul udara yang menyebar bersama-sama secara
padat. Ketika gelombang menyentuh titik rendah, molekul udara menyebar
lebih tipis (renggang). (http://pusdiklattvri.wordpress.com/2010/0602/teoridasar-audio/)
2.5. Pembelajran
2.5.1. Pengertian Belajar
Pendekatan konstektual mendasarkan diri pada kecendrungan pemikiran
tentang belajar sebagai berikut :
1. Proses Belajar
a. Belajar

tidak

hanya

sekedar

menghafal.

Siswa

harus

mengkonstuksikan sendiri pengetahuan di benak mereka sendiri.
b. Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri poloa-pola
bermakna dan pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja.
2. Transfer Belajar

18

a. Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan pemberian dari orang
lain.
b. Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang
terbatas, sedikit demi sedikit.
3. Siswa sebagai Pembelajar
a. Manusia mempunyai kecendrungan untuk belajar dalam bidang
tertentu dan seorang anak memiliki kecendrungan untuk belajar
lebih cepat memahami hal-hal yang baru.
b. Tugas guru memfasilitasi
4. Lingkungan Belajar
a. Belajar efektif dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada
siswa. Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton” ke siswa
akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan.
b. Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu
sangat penting.
Dalam pembelajaran kontekstual (Contextual Taching and Learning)
melibatkan 7 (tujuh) komponen utama yakni :
1. Konstuktivisme (Constuctivism)
2. Bertanya (Question)
3. Menemukan (Inquiry)
4. Masyarakat belajar (Learning Community)
5. Pemodelan (Modeling)
6. Refleksi (Reflection)
7. Penilaian sebenarnya (Authentic Assessment)

19

Dari istilah tersebut kita melihat adanya dua proses atau kegiatan, yaitu :
Kegiatan Belajar Mengajar (Teaching Learning Processes). Kedua proses
tersebut seolah-olah tak terpisahkan satu sama lain. Orang menganggap bahwa
ada proses belajar tentu ada proses mengajar.
Belajar adalah sesuatu yang kompleks yang terjadi pada semua orang
dan berlangsung seumur hidup, semenjak lahir sampai masuk ke liang lahat
nanti.
Belajar dari dampak respons berakar pada pengalaman langsung
sebagaimana diungkapkan Bandura (1977:17) sebagai berikut.
The more rudimentary mode of learning, rooted in direct experience,
results from the positive and negative effects that action product. When people
dealwith evryday events, some of their responses prove succesful, while others
have no effect or result in punishing outcomes. Through this process of
differential reinforcement, successful form of behavior are eventually selected
and ineffectual ones are discarded.
Belajar dari dampak respons menyebabkan individu melakukan seleksi
apakah respons yang diberikan pada lingkungan itu berdampak positif atau
negatif baik untuk dirinya sendiri maupun lingkungannya. Individu akhirnya
belajar bahwa respon yang diberikannya kepada lingkungan, ada yang berhasil
dan menyenangkan baginya dan ada pula yang gagal atau menyebabkan
dirinya mendapat hukuman.
Ada tiga fungsi belajar dari dampak respons ini, yaitu ; fungsi informasi,
fungsi motvasi, dan fungsi penguatan. Sebagaimana dikemukakan oleh
Bandura (1977:17).

20

Response consequences have several functions. First, they impart
information, second, they serve as motivators through their incentive value.
The third, and most controversial, function concerns their capacity to
strengthen responses automatically.
Belajar melalui peniruan adalah suatu cara belajar berdasarkan hasil
observasi tentang perilaku orang lain yang kemudian dijadikan pedoman untuk
ditiru dan ditampilkan oleh dirinya. Bandura (1977:22) mengungkapkan
sebagai berikut.
Fortunately, most human behavior is learned observationally through
modeling: from observing others one forms an idea of how new behaviors are
performed, and on later occasions this coded information serves as a guide of
action.
Dalam proses belajar melalui peniruan menurut Bandura (1977:23)
diarahkan oleh empat komponen proses: (1) proses menaruh perhatian
(atentional proces); (2) proses mengingat; (retebtion processes); (3) proses
reproduksi gerakan (motor reproduction processes); (4) proses motivasional
(motivational processes).
2.5.2. Teori Belajar Bahasa Komunikatif
A. Teori Belajar Bahasa
1. Behaviorisme
Aliran Behaviorisme dalam bahasa disarikan dari pandangan kaum
behavioris tentang conditiong. Mereka beranggapan bahawa kita bisa melatih
hewan untuk melakukan apapun. Untuk melakukan ini, kita harus mengikuti
prosedur dari tiga tahap: stimlus, response, dan reinforcment. Suatu

21

perilakuakan muncul bila didahului oleh stimulus. Perilaku itu dapat
diperkuat, dibiasakan, dengan memberi penguatan (reinforcement).
Behaviorisme, yang sebenarnya merupakan teori psikolog, selama
beberapa waktu diadopsi oleh para metodolog pengajar bahasa, terutama di
Amerika, yang hasilnya adalah pendekatan metode audiolingual. Metode ini
ditandai dengan pemberian pelatihan terus-menerus kepada siswa yang diikuti
dengan pemantapan, baik positif maupun negatif, sebagai fokus pokok
aktivitas kelas.
Dalam

pelaksanaan

dikelas,

metode

yang

juga

dipengaruhi

strukturalisme ini, menurut Moulton (1963), memiliki lima karakteristik kunci
yang perlu dipertimbangkan jika hendak merancang program bahasa.
a. Bahasa itu ujaran, bukan tulisan.
b. Bahasa itu seperangkat kebiasaan.
c. Ajarkanlah bahasa, bukan tentang bahasa.
d. Bahasa adalah, sebagaimana dikatakan oleh penutur asli, bukan
seperti yang pikirkan orang bagaimana mereka seharusnya berbicara.
e. Bahasa itu berbeda-beda.
Tugas guru adalah memberikan penghargaan kepada siswa ujarannya
mendekati model yang diberikan oleh guru atau tape recorder. Pengajaran
yang khas dalam pendekatan ini mungkin akan tampak sebagai berikut.
a. Menyajikan butir bahasa yang harus dipelajari, dengan memnerikan
demonstrasi unruk maknanya, melalui sarana non-verbal;
b. Memberikan model polo-pola bahasa target dengan sejumlah contoh;
c. Melibatkan seluruh kelas dalam memorisasi-mimikri dengan
mengikuti model dari guru;

22

d. Pelatihan bentuk substitusi progresif dilakukan siswa seluruh kelas,
diikuti dengan siswa kelas yang dibagi dua, kemudian perseorangan;
e. Melakukan pengulangan empat langkah pertama menggunakan versi
negatif bahasa sasaran;
f. Melakukan pengulangan empat langkah pertama menggunakan versi
interogatif struktur bahasa sasaran;
g. Memeriksa atau mencermati pengalihan bahasa dengan dengan
menggunkan petunjuk (cues) yang tidak dicontohkan dalam latihan,
kemudian mencermatinya secara klasikal dan individual;
Tehap terpenting dalam metode ini adalah secara eksklusif dalam bahasa
sasaran, penyajian penting sekali dengan sejelas mungkin.
2. Kognitivisme
Kognitivisme bisa disebut mentalisme yang di pelopori Lingusi Noam
Chomsky. Dia menyerang pandangan kaum behavioris, dengan mengajukan
pertanyaan berikut. Bila bahasa merupakan perilaku yang dipelajari,
bagaimana anak bisa mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan
sebelumnya? Bagaimana mungkin sebuah kalimat baru diucapkan seorang
anak berusia empat tahun merupakan hasil conditioning? Menurutnya bahasa
bukanlah salah satu bentuk perilaku. Sebaliknya, bahasa merupakan sistem
yang didasarkan pada aturan dan pemerolehan bahasa pada dasarnya
merupakan pembelajaran sistem tersebut. Dalam kaitan ini Chomsky
memperkenalkan konsep kompetensi dan performansi. Kompetensi merujuk
kepada penguasaan siswa tentang aturan –aturan gramatikal. Kemampuan
menggunakan aturan-aturan ini disebut performansi.

23

Pembelajaran bahasa menurut Chomsky tidak pernah menggunakan
metodologi. Akan tetapi, gagasannya yang menyatakan bahwa bahasa
bukanlah seperangat kebiasaan-yang penting adalah bahwa pembelajaran
menginternalisasikan aturan sehingga akan memungkinkan terjadinya
performansi kreatif-telah banyak memberi gagasan bagi berbagai teknik dan
berbagai metode pengajaran. Secara singkat, pandangan ini dapat disimpulkan:
tunjukan kepada mereka aturan atau struktur yang mendasari dan kemudian
biarkan mereka melakukannya sendiri. Menciptakan sendiri kalimat-kalimat
baru adalah tujuan pengajaran bahasa.
3. Pemerolehan dan Pembelajaran
Krashen membuat perbedaan antara pemerolehan bahasa yang dilakukan
secara tidak sadar. Pemerolehan bahasa yang dilakukan secara tidak sadar,
seperti halnya yang terjadi pada pemerolehan bahasa pertama pada anak kecil
(acquisition). Pemerolehan bahasa yang dilakukan secara sadar, seperti halnya
yang dilakukan orang dewasa mempelajari bahasa kedua pada latar formal
(learning).
4. Tugas Pokok Pembelajaran (Task-based Learning)
Pada tahun 1970-an, seorang linguis inggris, Allwrigrht, melakukan uji
coba yang menentang nosi tradisional tetang pengajaran bahasa.
…bila aktivitas manajemen `guru bahasa` diarahkan secara ekslusif
terhadap pelibatan pembelajaran dalam memecahkan masalah komunikasi
dalam bahasa sasaran, maka pembelajaran bahasa akan datang dengan
sendirinya… (1977:5).
Dengan kata lain, tidak perlu ada pengajaran formal, seperti pengajaran
butir-butir gramatikal. Alih-alih, siswa hanya perlu diminta aktivitas

24

komunikatif yang mengharuskan siswa menggunakan bahasa sasaran.
Semakin sering dia melakukan aktivitas tersebut, semakin baik dia
menggunakan bahasa yang bersangkutan (Farqanul dan Chaedar.1996:23).
5. Pendekatan Humanistik
Pendekatan humanistik menganggap siswa sebagai a whole person
`orang sebagai suatu kesatuan`. Dengan kata lain, pengajaran bahsa tidak
hanya mengajarkan bahasa, tetapi juga membantu siswa mengembangkan diri
mereka sebagai manusia (Farqanul dan Chaedar.1996:23).
Keyakinan tersebut telah mengarahkan munculnya sejumlah teknik dan
metodologi pengajaran yang menekankan aspek ”humanistik” pengajaran.
Dalam metodologi semacam itu, pengalaman siswa adalah yang terpenting dan
perkembangan kepribadian mereka serta penumbuhan perasaan positif
dianggap penting dalam pembelajaran bahasa meraka. Yang termasuk dalam
pendekatan ini adalah community language learning, yaitu para siswa duduk
melingkari seseorang knower yang akan membantu mereka dengan bahasa
yang ingin mereka ucapkan. Setelah menentukan kalimat apa yang ingin
diucapkan,

mereka

mengucapkannya

dalam

bahsannya,

kemudian

diterjemahkan oleh knower. Dengan demikian, siswa mengetahui bagaimana
mengemukakan maksud mereka dalam bahsa sasaran (Farqanul dan
Chaedar.1996:23).
Kemudian

Lazanov

dari

Bulgaria

mengembangkan

metode

suggestopedia. Metode ini memanfaatkan dialog, situasi, dan penerjemahan
untuk menyajikan dan melatih bahasa, dengan menggunakan musik, image
visual, dan latihan relaksi untuk membuat proses belajar lebih menyenangkan
dan lebih efektif.

25

Metode the silent way juga termasuk humanistik. Metode yang
dikembangkan oleh Celeb Gattegno ini bercirikan sedikit masukan yang
disampaikan guru. Guru hanya memberikan contoh atau model berbahasa
kemudianmemberi petunjuk apa yang harus dilakukan siswa. Petunjuk
diberikan dengan telunjuk atau cara lain sampai siswa benar-benar menguasai.
Terakhir, metode total physical response dikembangkan oleh James
Asher. Dalam metode ini guru memberi instruksi kepada siswa. Siswa tidak
harus berbicara. Mereka hanya harus mengikuti perintah-perintah guru. Bila
benar-benar menguasai, mereka bisa memerintah kepada teman lain. Jadi,
siswa belajar bahasa melalui tindakan, melalui tindakan fisik daripada
pelatihan.
2.6. Tuna Netra
2.6.1. Pengertian Tuna Netra
Pada umumnya tuna netra diartikan gangguan pada mata yang
menyebabkan terganggunya penglihatan. Dalam jarak tertentu orang normal
dapat melihat dengan jelas, sedangkan tuna netra akan mengalami kesulitan
atau tidak jelas, bahan tidak nampak sama sekali. Poerdaminta (2006)
mengidentifikasi tunanetra/buta dengan tidak dapat melihat. Menurut
Hoetomo (2005) tuna deiartikan sebagai luka, rusak, kurang, tidak memiliki.
Dipandang dari segi bahasa kata tunanetra terdiri dari dua kata yaitu
tuna dan netra :
a.

Tuna (tuno:Jawa) yang berarti rugi yang kemudian diartikan

dengan rusak, hilang, terhambat, terganggu, tidak memiliki.
b.

Netra (netro:Jawa) yang berarti mata.

26

Tuna netra artinya rusak mata atau tidak memiliki mata yang berarti buta
atau kurang dalam penglihatan (Purwaka, 2005).
Djaja (2006) mengemukakan bahwa yang dimkaksud dengan tuna netra
adalah mereka yang mempunyai kombinasi ketajaman penglihatan hampir
kurang dari 0,3 (60/200) atau mereka yang mempunyai tingkat kelainan fungsi
penglihatan yang lainnya lebih tinggi, yaitu mereka yang tidak mungkin atau
kesulitan secara signifikan untik membaca tulisan atau ilustrasi awas
meskipun dengan menggunakan alat bantu kaca pembesar.
Sutjihati (2006) pengertian tuna netra tidak saja mereka yang buta, tetapi
mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari. Secara umum tuna
nertra dapat diartikan sebagai gangguan pada mata yang menyebabkan
terganggunya fungsi penglihatan sehingga kurang dapat dimanfaatkan untik
kepentingan hidup sehari-hari.
2.6.2. Penyebab Ketunanetraan
Penyebab ketunanetraan dapat ditinjau dari sudut waktu terjadinya
(ketika anak/bayi sebelum dilahirkan atau masa prenatal, saat anak dilahirkan
atau masa nata, ketika anak telah telah lahir atau masa post natal).
Ketunanetraan juga dapat ditinjau dari sudut intern (penyebab yang datang
dari dalam diri), dan ekstern (penyebab yang datang dari luar).
1.

Faktor Intern
1). Perkawinan keluarga

Pada umumnya faktor keturunan terdapat pada inti sel (nukleus) dalam
bentuk akromosom yang berpasangan yang berjumlah 23 kromosom.
Kromosom ini terdiri dari DNA yang membentuk gen-gen pembawa sifat bagi

27

setiap karakteristik di dalam tubuh manusia, bila terjadi kelainan genetik orang
tua atau salah satunya maka inilah yang diturunkan ke generasi berikutnya.
2). Perkawinan antar tunanetra.
Faktor DNA membentuk gen-gen yang merupakan pembawa sifat bagi
setiap karakteristik (manusia). Gen-gen inilah nantinya yang akan diturunkan
pada generasi berikutnya, akan sangat terasa apabila terjadsi perkawinan antar
tuuna netra.
2. Faktor Ekstern
1). Penyakit sifilis/raja singa/rubella
Penyakit sifilis merupakan penyakit kotor yang menyerang alat kelamin,
apabila penyakit ini menyerang seorang ibu yang sedang mengandung maka
akibatnya mata dan indera lainnya akan terganggu bahkan menyebabkan anak
menjadi buta.
2). Malnutrisi berat
Malnutrisi berat ini menyangkut kekurangan kalori, protein, kalsium,
yodium, serta vitamin A,C,D,E. kekurangan gizi yang sangat berat pada
embrional akan menimbulkan kelainan-kelainan yang sangat kompleks dan
mempengaruhi susunan saraf pusat dan mata.
3). Kekurangan vitamin A
Pada anak-anak kekurangan vitamin A akan menyebabkan kerusakan
pada matanya. Kerusakan itu akan mengikuti kerusakan pada sensitifitas retina
terhadap cahaya serta merusak epitel pada kornea. Bila dalam keadaan parah,
maka akan mengakibatkan hancurnya retina maka anak menjadi buta.
4). Diabetes militus

28

Diabetes merupakan gangguan metabolisme tubuh akibatnya kondisi
gula darah maningkat dari normal. Gangguan metabolisme ini akan merusak
mata, ginjal, susunan saraf, dan pembuluh darah.
5). Tekanan darah tinggi
Tekanan darah terlalu tinggi dapat menimbulkan gangguan mata, tekanan
darah tinggi atau hipertensi dapat mengakibatkan retinopati hipertensi.
Retinopati hipertensi adalah kelainan retina dan pembuluh darah retina akibat
tekanan darah tinggi.

Pada penderita hipertensi

yang berat dapat

mengakibatkan pendarahan pada daerah pupil dan sejajar dengan permukaan
retina.
6). Stroke
Stroke disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak atau
pendarahan. Akibatnya kerusakan saraf mata yang akan mengganggu
penglihatan.
7). Radang kantung air mata
Radang ini ditemukan pada anak-anak, biasanya dimulainya dengan
tertutupnya saluran air mata oleh kotoran dan apabila dibiarkan maka akan
tampak nanah yang akan memancar dari lubang saluran air mata dan sangat
berbahaya bagi kesehatan mata.
Beberapa penyebab ketunanetraan menurut Purwaka Hadi (2005)
diantaranya :
a.Faktor genetik atau herediter
Beberapa kealinan penglihatan bisa didapati akibat diturunkan dari
orang tua misalnya, buta warna, albinism, retinitis pigmentosa.
b. Perkawinan sedarah

29

banyak ditemukan pada hasil perkawinan dekat, misalnya keluarga dekat
(incest).
c. Proses kelahiran
Dialami karena trauma pada saat proses kelahiran, lahir premature, berat
lahir kurang dari 1300 gr, kekurangan oksigen akibat lamanya proses kelahiran
dan menggunakan alat bantu.
d. Penyakit
Anak-anak yang akut sehingga berkomlikasi pada organ mata, infeksi
virus menyerang saraf dan anatomi mata.
e. Kecelakaan
Tabrakan yang mengenai organ mata, benturan, terjatuh, dan trauma lain
yang secara langsung atau tidak langsung mengenai organ mata.
f. Perlakuan kontiniu dengan obat-obatan
Penggunaan obat yang overdosis sangat berbahaya terhadap organ-organ
lunak seperti mata.
g. Infeksi
Binatang juga dapat merusak organ-organ selaput mata yang tipis.
h. Cuaca
Beberapa kondisi kota dengan suhu yang panas membawa bibit penyakit
kering yang masuk ke mata, pada daerah kering bisa ditemukan penyakit mata
jenis trakoma.
Secara umum tunanetra dapat diartikan gangguan pada mata yang
menyebabkan tergangunya fungsi penglihatan sehingga kurang dapat
dimamfaatkan

untuk

kepentingan

hidup

sehari-hari.

Djaja

(2006)

mengemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan tunanetra adalah mereka

30

yang mempunyai kombinasi ketajaman penglihatan hampir kurang dari 0,3
(60/200)
Tunanetra adalah

individu

yang memiliki hambatan dalam

penglihatan. tunanetra dapat klasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta
total (Blind) dan low vision.

Definisi Tunanetra menurut Kaufman &

Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi
penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki
penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan
maka proses

pembelajaran menekankan pada

yaitu indra

peraba

dan indra

alat

pendengaran. Oleh

indra yang

lain

karena itu prinsip

yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu
tunanetra adalah

media yang

bersuara, contohnya

adalah

digunakan

penggunaan tulisan braille, gambar timbul,

benda model dan benda nyata. Sedangkan
tape

recorder dan peranti

harus bersifat taktual dan

media yang bersuara adalah

lunak JAWS. Untuk membantu tuna netra

beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan
Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana
tunanetra mengetahui
tongkat putih

tempat

dan

arah serta bagaimana menggunakan

(tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium).

(http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus#Tunanetra/23/11/20
10/11:04)
Ketunanetraan atau hambatan penglihatan (visual impairment) dapat
diklasifikasikan menjadi dua kategori besar, yaitu buta total (totally blind) dan
kurang lihat (Low Vision). (Friend, 2005:412).

31

Seseorang dikatakan low vision jika mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan menggunakan strategi visual
pengganti, alat-alat bantu low vision, dan modifikasi lingkungan (Corn dan
Koenig dalam Friend, 2005:412). Orang yang termasuk low vision adalah
mereka yang mengalami hambatan visual ringan sampai berat. Seseorang
dikatakan menyandang low vision atau kurang lihat apabila ketunanetraannya
masih cenderung memfungsikan indera penglihatannya dalam melakukan
kegiatan sehari-hari. Saluran utama yang dipergunakan dalam belajar adalah
penglihatan dengan mempergunakan alat bantu, baik yang direkomendasikan
oleh dokter maupun tidak. Jenis huruf yang dipergunakan sangat bervariasi
tergantung pada sisa penglihatan dan alat bantu yang dipergunakan. Latuhan
orientasi mobilitas diperlukan oleh siswa low vision untuk mempergunakan
sisa penglihatannya.
Blindness (kebutaan) menunjuk pada sesorang yang tidak mampu
melihat atau hanya memilikipersepsi cahaya (huebner dalam Friend,
2005:412).
Seseorang dikatakan buta (blind) jika mengalami hambatan visual yang
sangat berat atau bahkan tidak dapat melihat sama sekali. Kadang-kadang di
lingkungan

sekolah

juga

digunakan

istilah

functionally

blind

atau

educationally blind untuk kategori kebutaan ini. Penyandang buta total
menggunakan kamampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran utama
dalam belajar. Orang seperti ini biasanya menggunakan huruf braille sebagai
media membaca dan memerlukan latihan orientasi dan mobilitas.
2.6.3. Karakteristik Tuna Netra
1. Karakteristik Kognitif

32

Lowenfeld (Friend, 2005: 417) menggambarkan dampak kebutaan
(totally blind) atau kurang lihat (low vision) terhadap perkembangan kognitif,
dengan mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak, dalam tiga
area berikut ini :
a. Tingkat dan Keragaman Pengalaman
Bila seorang anak mengalami hambatan penglihatan, maka pengalaman
harus diperoleh dengan mempergunakan indera-indera yang masih berfungsi,
khususnya perabaan dan pendengaran. Tetapi, indera-indera tersebut tidak
dapat sepenuhnya menggantikan penglihatan dalam memperoleh informasi
secara cepat dan menyeluruh, misalnya ukuran, warna, dan hubungan ruang,
yang diperoleh melalui penglihatan. Tidak seperti halnya penglihatan,
mengeksplorasi benda dengan perabaan merupakan proses memahami dari
bagian-bagian keseluruhan, dan orang tersebut harus melakukan eksplorasi
tersebut. Beberapa benda terlalu jauh (misalnya bintang, horizon), terlalu besar
(misalnya gunung, awan), terlalu lembut dan kecil (misalnya serpihan salju,
serangga kecil), atau membahayakan (misalnya api, kendaraan yang bergerak)
untuk dipahami melalui perabaan.
b. Kemampuan untuk Berpindah Tempat (Mobilitas)
Penglihatan memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa dalam
suatu lingkungan, namun kebutaan atau hambatan penglihatan yang parah
akan menghambat gerakan tersebut. Keterbatasan tersebut membatasi
seseorang dalam memperoleh pengalaman dan mempengaruhi hubungan
sosial. Tidak seperti anak-anak lainnya, anak tunanetra harus belajar cara
berjalan dengan aman dan efesien dalam satu lingkungan dengan
menggunakan berbagai keterampilan dan teknik orientasi dan mobilitas.

33

c. Interaksi dengan Lingkungan
Penglihatan sangat memungkinkan untuk memperoleh informasi pada
jarak jauh, orang dengan penglihatan normal akan dapat dengan segera dan
langsung mengendalikan lingkungan. Sebagai contoh, saat anda berada di
suatu pesta yang ramai, anda dengan segera bisa melihat ruangan di mana
anda berada, menemukan seseorang atau tempat yang akan anda hampiri, dan
kemudian anda bisa dengan bebas bergerak ke arah tersebut. Orang tunanetra
atau yang mengalami hambatan penglihatan parah tidak memiliki kemampuan
kontrol seperti itu. Bahkan dengan keterampilan mobilitas yang efektif, ia
masih belum dapat memperoleh gambaran utuh tentang lingkungannya.
2. Karakteristik Akademik
Selain mempengaruhi perkembangan kognitif, ketunanetraan juga
berpegaruh terhadap perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam
bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, saat membaca atau menulis
anda tidak perlu memperhatikan secara rinci bentuk huruf atau kata, tetapi
bagi sebagian besar anak dengan hambatan penglihatan, hal tersebut tidak bisa
dilakukan karena ada gangguan pada ketajaman penglihatannya. Anak-anak
tersebut menggunakan berbagai media dan alat alternatif untuk membaca dan
menulis, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin
mempergunakan brailleu atau huruf cetak dengan berbagai alternatif ukuran.
Dengan asesmen dan pembelajaran yang sesuai, anak tuna netra tanpa
kecacatan tambahan dapat menge,bangkan keterampilan membaca dan
menulisseperti

taman-temannya

yang

dapat

(sumber.http://djrahardja.blogspot.com/2010/11/ketunanetraan.htm)
3. Karakteristik Sosial dan Emosional

34

melihat.

Perilaku sosial secara khusus dikembangkan melalui observasi terhadap
kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya (Sacks & Silberman, dalam
Friend, 2005:417). Perbaikan terjadi melalui penggunaan perilaku sosial
secara berulang-ulang, dan secara tidak langsung melalui feedback dari orang
yang kompeten secara sosial. Karena tuna netra mempunyai keterbatasan
dalam belajar melalui pengamatan dan peniruan, siswa tuna netra seringkali
mengalami kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang sesuai.
Karena ketunanetraan berdampak pada keterampilan sosial, maka siswa
tuna netra harus mendapatkan pembelajaran langsung dan sistematis, misalnya
dalam bidang pengembangan persahabatan, pengambilan resiko dan
pembuatan keputusan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah, menunjukan
postur tubuh yang meyakinkan, menggunakan gestur dan ekspresi wajah yang
sesuai, mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat saat
berkomunikasi, dan menunjukan kesertifan yang tepat (Sacks & Silberman,
dalam Friend, 2005: 417).
4. Karakteristik Perilaku
Sebenarnya ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan masalah atau
penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun secara umum berpengaruh
terhadap perilakunya. Sebagai contoh, siswa tuna netra bisa jadi tidak matang
secara sosial, lebih terisolasi, dan mungkin kurang asertif dibandingkan
dengan anak lain (Tuttle & Tuttle, dalam Friend, 2005:417), dan hal ini terjadi
sepanjang masa kanak-kanak sampai remaja. Anak tuna netra kadang-kadang
dianggap kuarang mampu bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari sehingga orang lain cenderung menolongnya. Hal ini justru
menjadikan mereka lebih pasif.

35

Beberapa siswa tuna netra menunjukan perilaku stereotipik, perlikaunya
berulang-ulang yang tidak bermanfat. Sebagai contoh mereka sering menekan
matanya, membuat suara dengan jarinya, menggoyang-goyangkan kepala dan
badan, atau berputar-putar (silberman, dalam Friend, 2005). Menurut beberapa
teori, perilaku stereotipik tersebut terjadi mungkin sebagai akibat dari tidak
adanya rngsangan sensoris, terbatasnya aktivitas dan gerak di dalam
lingkungan, serta keterbatasan sosial (Scholl, dalam Friend, 2005). Biasanya
para ahli mencoba mengurangi atau menghilangkan perilaku tersebut dengan
membantu mereka memperbanyak aktivitas, atau sengan mempergunakan
strategi perilaku tertentu, misalnya memberikan reward atau alternatif
pengajaran, perilaku yang lebih positif, dan sebagainya.
2.6.4. Dampak Ketunnetraan terhadap Perkembangan Bahasa
Hambatan penglihatan berdampak pada peroleh konsep dan makna.
Elstner (Kingsley, 1999) menyatakan bahwa bayi dengan hambatan
penglihatan cenderung menggunakan bahasa dalam cara yang berbeda dari
bayi awas. Bayi awas akan menggunakan bahsa tidak hanya untuk tujuan
komunikasi, tetapi juga untuk pemerolehan konsep. Sedangkan bayi dengan
hambatan penglihatan yang sudah dapat berbahsa emnggunakan bahsa sematamata untuk tujuan komunikasi, dan bukan pemerolehan konsep. Hal ini sejalan
dengan penemuan Mills (kingsley, 1999) bahwa anak tuna netra tetap berada
pada fase ekol