SUBSIDI EKSPOR DAN AGRICULTURAL TRADE

2015
MAKALAH
“SUBSIDI EKSPOR DAN
AGRICULTURAL TRADE”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ekonomi Internasional
Dosen Pengampu: Abdul Qoyum, SE.I, M.Sc.Fin

Disusun oleh:
1. Nur Fajri Khumairoh (12810018)
2. Durorus Sa’adah
(12810019)

PRODI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

BAB I

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Sejak diterbitkannya sebuah buku fenomenal The Wealth of Nations pada
tahun 1776 yang lalu, ekonomi dunia mengalami perubahan drastis, terutama
paham yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Paham sebelumnya
(Merkantilisme) mengajarkan bahwa, satu-satunya cara bagi sebuah negara untuk
menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan
sedikit mungkin impor. Ide ini terus berkembang dan diterapkan oleh negara
kebangsaan modern seperti Inggris, Spanyol, Perancis, Portugal dan Nederland.
Namun, setelah diterbitkannya buku Adam Smith, paham ekonomi dunia
menjadi berbalik arah. Dalam bukunya Smith berpandangan bahwa pandangan
Merkantilis tidak dapat dijadikan dasar dalam perdagangan internasional, karena
menurut Smith paham merkantilis yang menitikberatkan pengendalian pemerintah
yang ketat terhadap semua aktifitas ekonomi akan menimbulkan keguncangan
dalam perekonomian. Bukunya The Wealth of Nations berisi pandanganpandangan yang menentang pengendalian pemerintah yang ketat terhadap aktifitas
ekonomi. Pandangan ini melahirkan Teori Perdagangan Internasional yang baru
dan dikenal dengan nama Teori Keungulan Absolut. Teori ini mengatakan bahwa,
jika sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolute
terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien
dibanding (atau memiliki kerugian absolute terhadap) negara lain dalam

memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh
keuntungan

dengan

cara

masing-masing

melakukan

spesialisasi

dalam

memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut. Melalui proses ini,
sumber daya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien.
Output kedua komoditi yang diproduksi pun akan meningkat. Peningkatan dalam
output ini akan mengukur keuntungan dari spesialisasi produksi untuk kedua


1

negara yang melakukan perdagangan. Hal ini pasti akan dapat terjadi dan
dilakukan mengingat tidak mungkin suatu negara ingin memproduksi semua
komoditi yang diperlukannya. kejadian ini hampir sama dengan prilaku individu,
karena individu pun biasanya hanya mampu memperoduksi komoditi yang dapat
ia produksi dengan lebih efisien, kemudian menukarkan outputnya tersebut
dengan komoditi lain yang ia inginkan atau ia butuhkan. Melalui cara ini, total
output semua individu dapat dimaksimalkan.
Berdasarkan hal ini, negara-negara di dunia mulai menyusun suatu konsep
perekonomian yang melandaskan setiap kegiatannya dengan paham perdagangan
bebas. Pada bulan September 1986 setelah ditanda-tanganinya deklarasi Punta Del
Este yang sering dikenal dengan nama Putaran Uruguay, perundingan mengenai
liberalisasi perdagangan dunia dan melibatkan banyak negara dimulai. Indonesia
sebagai salah satu bagian dalam perekonomian dunia ikut ambil bagian dalam
setiap perjanjian internasional, salah satunya yaitu liberaliasi perdagangan di
sektor pertanian pada tahun 1993. Dalam liberalisasi perdagangan di Sektor
Pertanian, Putaran Uruguay telah menghasilkan dokumen kompromi pada bulan
Desember 1993. Ada dua hal yang disepakati, yaitu:
1. Melaksanakan liberalisasi perdagangan, dengan menerapkan aturan permainan

GATT di bidang pertanian; dan
2. Setiap negara menyusun besaran tarif yang akan diterapkan, serta melakukan
konversi terhadap hambatan non-tarif ke dalam ekivalen tariff.
Atas dasar ini, pemerintah Indonesia berharap dengan diikutkannya
Indonesia dalam perjanjian perdagangan internasional terutama komoditas
pertanian akan dapat meningkatkan produksi pertanian dalam negeri, seterusnya
akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun apakah
keikutsertaan Indoneisa dalam WTO akan benar-benar bisa menaikkan taraf hidup
masyarakatnya atau justru sebaliknya.

2

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diperoleh rumusan masalah
sebagai berikut:
1.

Apa efek ekonomi subsidi ekspor ?

2.


Mengapa

penggunaannya

dalam

perdagangan

internasional

merupakan masalah penting bagi Indonesia ?
3.

Apa masalah-masalah yang timbul dalam perdagangan internasional
sektor pertanian ?

4.

Apa relevansi perdagangan Pertanian dengan kesejahteraan ekonomi

di Indonesia ?

C. TUJUAN PENULISAN
1.

Untuk mengetahui efek ekonomi dari subsidi ekspor.

2.

Untuk mengetahui efek dari penggunaan subsidi ekspor dalam
perdagangan internasional terhadap Indonesia.

3.

Untuk mengetahui masalah-masalah yang timbul dalam perdagangan
internasional pada sektor pertanian.

4.

Untuk mengetahui relevansi perdagangan Internasional sektor

Pertanian dengan kesejahteraan ekonomi di Indonesia.

3

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Subsidi Ekspor
Subsidi ekspor (export

subsidy) adalah pembayaran oleh

pemerintah dalam jumlah tertentu kepada suatu perusahaan atau
perseorangan yang giat menjual barang ke luar negeri. 1 Sepeti halnya
tarif, sbusidi ekspor dapat berbentuk spesifik (nilai tertebtu per unit
barang) atau dalam bentuk ad valorem (angka peersentase dari nilai
produk yang diekspor). Jika pemerintah memberikan subsidi ekspor,
pengirim akan mengekspor barang sampai batas di mana selisih harga
domestic dan harga luar negeri sama dengan nilai subsidi.
Pada dasarnya, subsidi ekspor adalah pembayaran langsung atas

pemberian keringanan pajak dan bantuan subsidi kepada para eksportir
atau calon eksportir nasional, dan atau pemberian pinjaman berbunga
rendah kepada para pengimpor asing dalam rangka memacu ekspor suatu
negara. 2 Berdasarkan karakternya yang melenceng dari asas persaingan
bebas itu, subsidi ekspor juga bisa dikatagorikan sebagai salah satu bentuk
dumping. Meskipun subsidi ekspor itu merupakan suatu hal yang illegal
menurut perjanjian internasional, sampai kini banyak negara yang masih
melakukanya, baik secara terang- terangan maupun secara terselubung.
Sebagai buktinya, semua negara maju menyediakan pinjaman berbunga
rendah kepada para pengimpor dari negara-negara lain dalam rangka
membiayai pembelian produk-produk industry yang mereka lakukan.
Praktek ini lebih banyak dilakukan oleh negara negara maju karena
memerlukan sejumlah besar dana yang sulit disediakan oleh negara negara
berkembang

1

Paul R. Krugman. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan. Edisi 5 (Jakarta: Indeks).
Hlm.247
2


Dominick Salvatore, 1995,International Economics , 5th ed, Prentice Hall ,Inc. New Jersey (DS).

4

B. Dampak Pemberian subsidi ekspor
Subsidi ekspor merupakan pembayaran langsung (atau bantuan
keringanan pajak dan pinjaman bersunsidi) bagi eksportir negara tersebut
atau eksportir berpotensi dan/atau pinjaman berbunga rendah bagi pembeli
asing untuk menggerakkan ekspor negara. Sebagai contoh, seluruh negara
besar memberi pinjaman ekspor negara berbunga rendah kepada pembeli
asing untuk mendanai pembelian melalui agen, misalnya Bank Ekspor
Impor Amerika Serikat. Pembeayaan kredit berbunga rendah ini sekitar 2
persen ekspor amerika serikat tetapi lebih besar persentasenya dari ekspor
jepang, perancis, dan jerman. Tentunya, hal inimerupakan keluhan
perdagangan yang paling serius bahwa amerika serikat telah menyerang
negara industri lainnya saat ini. Jumlah subsidi yang disediakan dapat
diukur melalui perbedaan antara bunga yang harus dibayarkan pada
pinjaman perniagaannya dan tingkat subsidi yang dibayarkan pada
kenyataannya.3

Dampak dari subsidi ekspor adalah meningkatkan harga dinegara
pengekspor sedangkan di negara pengimpor harganya turun. Tujuan dari
subsidi ekspor adalah untuk mendorong jumlah ekspor, karena eksportir
dapat menawarkan harga yang lebih rendah. Harga jual dapat diturunkan
sebesar subsidi tadi. Namun tindakan ini dianggap sebagai persaingan
yang tidak jujur dan dapat menjurus kea rah perang subsidi. Hal ini karena
semua negara ingin mendorong ekspornya dengan cara memberikan
subsidi.
Subsidi ekspor dapat dianalisis dengan gambar b.1 berikut. Dx dan
Sx sebagai kurva penawaran dan permintaan komoditas X di negara A.
Jika harga dunia perdagangan bebas komoditas X sebesar $3,50, Negara A
akan memproduksi 35X (A’C’), mengkonsumsi 20X (A’B’), dan
mengekspor sisanya sebanyak 15X (B’C’). Jadi, pada harga di atas $3

3

Dominick Salvatore, (2014). Ekonomi Internasional. (Jakarta : Salemba Empat) hlm. 274

5


(titik E dalam gambar), Negara A menjadi eksportir daripada menjadi
importir komoditas A.
Jika

pemerintah

Negara

A

(diasumsikan

negara

kecil)

menyediakan subsidi sebesar $0.50 untuk setiap komoditas X yang
diekspor, Px meningkat menjadi $4,00 bagi produsen dalam negeri dan
konsumen bagi komoditas X. Pada Px = $4, Negara A memproduksi 40X
(G’J’), mengonsumsi 10X (G’H’), dan mengekspor 30X (H’J’). Semakin
tinggi harga komoditas X, semakin menguntungkan produsen tetapi
merugikan konsumen di Negara A. Negara A juga menanggung biaya
subsidi.
Secara rinci, konsumen dalam negeri kehilangan $7,50 (area a’ +
b’), produsen dalam negeri memperoleh $18,75 (area a’ + b’ + c’), dan
subsidi pemerintah sebesar $15 (b’+c’+d’). Area d’ bukanlah bagian dari
tambahan surplus produsen karena menunjukkan kenaikan biaya produksi
komoditas X yang lebih banyak di dalam negeri. Negara A menanggung
biaya produksi atau kerugian masyarakat sebesar $3,75.
Karena produsen dalam negeri mendapatkan lebih sedikit
dibanding jumlah kerugian konsumen dalam negeri dan biaya subsidi bagi
pembayar pajak di Negara A (yaitu katena negara A mengalami kerugian
bersih yang sama dengan biaya proteksi atau biaya bahan baku sebesar
$3,75), Negara A melakukan subsidi ekspor Sx
karena produsen dalam negeri
Px
akan dengan sukses melobi pemerintah demi subsidi atau pemerintah
negara A mungkin ingin mendorong industri X jika indusrti X merupakan
industri yang berteknologi tinggi. Perhatikan bahwa konsumen luar negeri
mendapat keuntungan katena mereka menerima 30X dari pada 15X pada
Px = $3,50 melalui subsidi. Jika negara A bukan negara kecil, mereka juga
akan menghadapi penurunan neraca perdagangannya karena kebutuhan
akan penurunan Px agar mampu mengekspor lebih banyak komoditas X.

6

H’

G’

J’

4,0
3,5





a’

A’

N’

M’

B’
E

Dx

10

20

35

40

Gambar b.1 subsidi ekspor negara A

Penggunaan subsidi ekspor dalam perdagangan internasional
penting untuk Indonesia karena karena produk ekspor yang mendapatkan
subsidi menyebabkan biaya ekspor akan lebih murah. Jika biaya ekspor
murah, permintaan akan meningkat dan secara otomatis pendapatan ekspor
untuk pendapatan negara juga meningkat.

C. Perdagangan Internasional sektor Pertanian
Masalah perdagangan sektor pertanian muncul seiring dengan
dibuatnya perjanjian Pertanian. Perjanjian pertanian (Agreement of
Agriculture/AOA) mulai berlaku sejak 1 Januari 1995. AOA adalah
sebuah perjanjian baru dalam WTO sebagai hasil dari Uruguay round,
yang merupakan bagian dari ekspansi

WTO atas isu-isu di luar

perdagangan tradisional.
Dengan adanya AOA ini, maka WTO mewajibkan anggotaanggotanya untuk:
1. Membuka pasar domestiknya bagi masuknya komoditas pertanian dari
luar, dan sebaliknya.
2. Mengurangi dukungan dan subsidi terhadap petani
3. Mengurangi dukungan dan subsidi bagi petani untuk mengekspor.

7

Ketiga soal ini adalah hanya sebagian dari hal-hal yang diurus oleh
AOA, yang kesemuanya bersifat cukup rumit dan bersifat “tricky” atau
memperdayakan, sehingga negara maju masih lebih banyak diuntungkan,
sementara negara-negara dunia ketiga terperdaya dan menjadi pihak yang
dirugikan. Implikasi dan dampak AOA terhadap sector pertanian di suatu
negara adalah sangat besar.
Dengan adanya AOA ini, maka mastermind pertama adalah
memperlakukannya sebagai produk industri yang diperdagangkannya
secara bebas. Intinya adalah menghapus

semua hambatan bagi ekspor

produk pertanian dan menerapkan perdagangan bebas dan pasar bebas.
Perjanjian ini masuk menjadi disiplin dalam WTO karena kepentingan dua
pelaku utama eksportir pangan yaitu AS dan uni eropa Di lain pihak AOA
juga mencerminkan persaingan keras antara AS dan eropa. Misalnya AS
yang sudah siap dengan pangan hasil rekayasa genetic telah memaksakan
agar pangan hasil rekayasa genetic tidak memerlukan labeling. Di lain
pihak, Uni Eropa yang ketinggalan dalam hal rekayasa genetik menolak
keinginan AS dan menuntut tetap adanya subsidi dometik bagi
keberlanjutan sistem pertanian mereka.
Pada

akhirnya

berbagai

kesepakatan

dalam

AOA

hanyalah

mencerminkan kepentingan dua kelompok negara tersebut dan di lain
pihak telah mengabaikan kepentingan negara-negara tradisional pertanian
dunia ketiga. Di lain pihak ada pihak ketiga yang juga menuntut adanya
liberalisasi pertanian, yaitu kumpulan negara-negara eksportir pangan,
yang disebut Cairns Grup yang dimotori oleh Australia. Ini adalah
representasi negara-negara NACs (New Agricultural Countries), yaitu
negara-negara pengekspor produk-produk pertanian baru, seperti Brazil,
Argentina, Chili, Thailand, dan China. Indonesia masuk dalam Chairns
group tanpa sebetulnya benar-benar menjadi negara pengekspor pertanian.

8

Dan bahwa itu berarti setuju pada liberalisasi pertanian, adalah keanehan
tersendiri.4
Perjanjian dalam WTO yang terkait dengan AOA adalah TRIPs
(HAKI yang terkait dengan perdagangan) yang mengharuskan setiap
negara untuk memberikan paten terhadap produk dan proses atas
penemuan-penemuan di bidang bioteknologi, termasuk dalam lingkup
pangan dan pertanian. Hal tersebut berarti mengakui paten-paten atas
tanaman dan bibitnya yang sudah dikembangkan oleh perusahaanperusahaan bioteknologi yang menggunakan aneka ragam tanaman yang
kebanyakan berada di dunia ketiga, dan sebaliknya tidak mengakui hakhak komuntias setempat atas sumberdaya mereka sendiri. Ini adalah
kepentingan utama dari negara-negara maju, terutama perusahaanperusahaan multinasionalnya, yang kini telah mengusai 97% paten di
seluruh dunia. .
Perjanjian lain yang memancing permasalahan perdagangan adalah
SPS (sanitasi dan Fitosanitasi), yaitu perjanjian mengenai aturan karantina
barang-barang impor pertanian untuk perlindungan terhadap kesehatan
manusia, tanaman, tumbuhan dan hewan, yang harus sesuai dengan
standar-standar kesehatan yang dapat dibenarkan secara ilmiah. WTO
menunjuk badan Codex Alimentarius yang diurus bersama WHO dan
FAO , SPS kini banyak dipakai oleh negara-negara maju sebagai perintang
terhadap akses pasar negara-negara berkembang. Standar ini sangat mahal
untuk diterapkan oleh negara-negara berkembang dan sebenarnya tidak
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan negara tersebut.
Sementara itu akibat pemberlakuan SPS, maka banyak barang ekspor
hasl pertanian negara berkembang tertahan di pabean negara maju karena
tidak memenuhi standar SPS, yang terutama disebabkan karena tidak

4

Dalam diskusi AOA oleh Bina Desa-INFID tanggal 14 Juni 2000.

9

sesuai dengan sistem produksi di negara-negara berkembang yang masih
berskala kecil dan tradisional.
Satu lagi perjanjian AOA yang menimbulkan permasalahan adalah
TBT (Technical Barriers to trade), yaitu perjanjian mengenai standardisasi,
baik yang sifatnya mandatory (wajib) maupun yang sifatnya voluntary,
yang mencakup karakteristik produk, metode proses dan produk,
terminologi dan simbol serta persyaratan kemasan (packaging) dan label
suatu produk. Perjanjian TBT ini mewajibkan para anggota untuk
menggunakan standar internasional sebagai dasar penetapan standar,
seperti ISO dan lainnya. Produk pertanian yang termasuk di dalamnya
adalah sayur-sayuran dan buah-buahan, makanan dan minuman, daging
dan produk daging, produk makanan yang diproses dan produk susu. 5
Dalam banyak hal, maka produk-produk pertanian dan makanan negaranegara berkembang menghadapi kesulitan dalam melakukan standardisasi
semacam ini.
D. Liberalisasi Pertanian dan dampaknya bagi Indonesia
Sudah diketahui bahwa AOA telah membawa dampak negatif di
berbagai negara anggota WTO. Dampak negatif tersebut juga terjadi di
Indonesia. Apalagi setelah tahun 1997 Indonesia terkena krisis yang parah
sampai kini, yang semakin memberatkan sektor pertanian. Pemulihan
terhadap sektor ekonomi, khususnya sector pertanian semakin berat, dan
untuk itu dibutuhkan upaya besar untuk memulihkannya. Karena itu
masalah pertanian di Indonesia memerlukan penanganan khusus, intensif
dan komprehensif dari pemerintah, dan tidak bisa dipulihkan lewat resep
liberalisisasi pertanian dan pembukaan akses pasar, seperti yang dilakukan
oleh AOA.
Sebelum diterapkan AOA, perdagangan luar negeri menggunakan
pengenaan lisensi import yang terbukti ampuh dalam melindungi
komoditas pertanian di Indonesia. Jumlah komoditas yang mendapat
5

Alfons Samosir, “Hambatan Teknis Perdagangan Dilihat Dari Segi Perlindungan Konsumen”.

10

lisensi import sekitar 1000 komoditas. Akan tetapi sejak tahun 1996 turun
menjadi 200 komoditas, karena adanya penghapusan hambatan non-tarif
untuk komoditas yang diikat di WTO.
Masalah pangan menjadi sangat berisiko bila dilepaskan kedalam
mekanisme pasar bebas. Berdasarkan data-data impor dan ekspor pertanian
yang bisa dikumpulkan, kita bisa melihat dengan jelas bagaimana dampak
AOA telah menghancurkan pasar pertanian d Indonesia. Petani kebanjiran
produk luar negeri yang lebih murah yang menghancurkan harga di dalam
negeri dan yang membangkrutkan usaha pertanian mereka. Bila petani
bangkrut dan tak bisa bertani lagi, lalu dari mana mereka mencari
penghidupan. Padahal ini menyangkut puluhan juta dan bahkan ratusan
juta orang yang hidupnya tergantung dari sektor pertanian. Sektor
pertanian Indonesia meliputi sekotar 112 juta jiwa , ketiga terbesar di
dunia setelah Cina dan India. Jadi pertanian adalah taruhan utama
Indonesia.
Tabel 1. Nilai Import dan Eksport beberapa komoditas Pangan
Indonesia Sebelum (1984-1994) dan setelah (1995-2000) AOA
(dalam USD)
No
1

2

3

4

5

Komoditas
Beras

Gula

Kedelai

Bawang merah

Tahun

Nilai impor

Nilai Ekspor

1984 -1994

684.018.000

216.010.000

1995- 2000

4.268.200.000

3.264.000

1984 -1994

646.063.000

613.000

1995- 2000

2.311.474.000

10.169.000

1984 -1994

1.579.672.000

2.201.000

1995- 2000

1.314.782.000

281.000

1984 -1994

13.989.000

57.000

1995- 2000

21.786.000

64.000

Produk

1984 -1994

18.557.124.000 34.309. 262.000

pertanian

1995- 2000

27.420.381.000 32.624.696.000

pangan umum
Sumber : FAO

11

Data pada tabel diatas nampak sekali bahwa secara umum telah
terjadi kenaikan import secara besar-besaran setelah berlangsungnya
AOA, yang berarti menggeser sumber penghidupan petani. Tabel diatas
memberikan gambaran bahwa telah terjadi ancaman produk impor yang
sedemikian parah dan menghancurkan kehidupan petani.
Masalah Pertanian Indonesia adalah masalah struktural yang
dalam, yang dicerminkan dari besarnya jumlah petani yang serba miskin,
belum termasuk jumlaf buruh tani yang semakin besar. 6Tetapi liberalisasi
import akan segera mengganggu pertanian indonesia karena lemahnya
kemampuan pertanian Indonesia dalam menghadapi import komoditas dari
luar. Sementara sistem pasar bebas yang berlaku sekarang mengundang
masuknya pelaku pelaku besar, TNC-TNC agribisnis baik pedagang,
produsen penyedia input pertanian dan spekulan di bursa komoditas.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cita- cita dan harapan untuk menjadi negara maju dengan tingkat
kesejahteraan msayarakat yang tinggi tentu diharapkan oleh semua negara. Jalan
untuk mencapai hal tersebut tentu tidaklah mudah dan sangat sulit ditempuh.
Kerangka kerjasama perdagangan internasional dengan konsep liberalisasi
perdagangan sektor pertanian yang telah disepakati bersama perlu disikapi dengan
bijaksana oleh berbagai pihak, mengingat sektor pertanian memiliki peran vital
dalam struktur perekonomian bangsa. Tidak hanya itu, sektor pertanian
merupakan ruh dan nafas kehidupan rakyat yang mendiami bumi Indonesia.
Untuk itu pemerintah dan segala elemen yang ada hendaknya berupaya dan bahu
membahu dalam mendorong dan meningkatkan sektor pertanian Indonesia agar
6

Kamal Nainggolan, “Ekonomi Beras: Antara Proteksi dan Pasar Bebas”, Kompas, 10 April 2000.

12

menjadi negara agraris yang dapat bersaing di kancah internasional. Sehingga
kemudian cita-cita dan harapan untuk menjadi negara maju dengan tingkat
kesejahteraan masyarakat yang tinggi dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA
Alfons Samosir, “Hambatan Teknis

Perdagangan

Dilihat Dari Segi

Perlindungan Konsumen”.
Dominick Salvatore, 1995, International Economics , 5th ed, Prentice Hall, Inc.
New Jersey (DS).
Dominick Salvatore, (2014), Ekonomi Internasional. (Jakarta : Salemba Empat)
Kamal Nainggolan, “Ekonomi Beras: Antara Proteksi dan Pasar Bebas”,
Kompas, 10 April 2000.
Paul R. Krugman. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan. Edisi 5
(Jakarta: Indeks).

13