PROPOSAL TESIS PENDIDIKAN KARAKTER

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 berbunyi demikian.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Keseriusan pemerintah untuk mengoptimalkan fungsi dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional di atas, antara lain tampak dari adanya kebijakan pendidikan karakter yang disuarakan sejak tahun 2003. Pendidikan karakter diharapkan agar diterapkan oleh semua satuan pendidikan secara terintegrasi dalam pembelajaran di kelas dan kultur sekolah. Senada dengan komitmen pemerintah di atas, Koesoema (2010:116) menegaskan bahwa pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana pembudayaan dan pemanusiaan. Peran pendidikan karakter bukan saja bersifat integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual subjek didik, melainkan juga bersifat kuratif, baik secara personal maupun sosial, yakni bisa menjadi salah satu sarana penyembuh penyakit sosial.

Sehubungan dengan perilaku menyimpang, salah satu yang paling mengkhawatirkan berkembang akhir-akhir ini adalah tawuran antarpelajar. Pemberitaan media tentang tawuran antarpelajar di Indonesia semakin marak, terutama pada sepanjang tahun 2012. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat sudah terjadi 147 kasus tawuran dengan korban jiwa sebanyak 82 anak (www.megapolitan.com, 21 Desember 2012). Tawuran antarpelajar merupakan persoalan yang cukup kompleks, karena berkaitan langsung dengan perilaku destruktif siswa.

Persoalan tawuran antarpelajar mengindikasikan bahwa kebijakan pendidikan karakter yang dibuat pemerintah belum terealisasi sebagaimana yang diharapkan. Jangankan persoalan tawuran antarpelajar, masalah-masalah seperti bolos, menyontek, sering terlambat ke sekolah, tidak mengerjakan tugas, pornografi, pembangkangan, narkoba dan miras telah sangat memiriskan bagi banyak pihak. Berhadapan dengan pelbagai persoalan siswa di atas, maka implementasi pendidikan karakter menjadi semakin urgen. Karena itulah menarik untuk mempertanyakan dan menelusuri sejauh mana sekolah sebagai lembaga pendidikan formal menjalankan perannya mengimplementasikan kebijakan pendidikan karakter? Bagaimana mengelola atau me-manage pendidikan karakter di lingkungan sekolah?

Bertitik tolak dari fenomena di atas, peneliti memilih satuan pendidikan SMK Katolik Sta. Familia Tomohon sebagai obyek penelitian. Alasannya adalah sekolah ini dikelola oleh Yayasan YEEMYE perwakilan Tomohon (Yayasan Yesus Maria Yosep). Sebuah Yayasan dengan komitmen yang kuat untuk mengimplementasikan pendidikan karakater. Komitmen tersebut terwujud dari gencarnya sosialisasi dan lokakarya pendidikan karakter yang diselenggarakan oleh Yayasan pada setiap persekolahan yang dikelolanya (diskusi singkat dengan Prof. Dr. Yong Ohoitimur sebagai Tim Pendidikan Karakter Yayasan YEEMYE. Beliau sering membawakan lokakarya Pendidikan Karakter di lingkungan persekolahan Yayasan YEEMYE).

SMK Katolik Sta. Familia Tomohon terletak di kelurahan Kolongan, kecamatan Tomohon Utara, kompleks persekolahan Yayasan YEEMYE perwakilan Tomohon. Sekolah ini mendidik dan melatih para siswa untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang akomodasi perhotelan, tata boga, tata busana, dan perkantoran. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan, disiplin dan keramahtamahan (hospitality) sangat ditekankan. Siswa harus berada di sekolah sebelum jam 06.45. Sesudah jam tersebut, pintu gerbang dikunci oleh satpam. Siswa-siswa yang terlambat mendapatkan sanksi yang tegas. Ucapan-ucapan seperti “selamat pagi, ada yang bisa dibantu?” disertai senyum yang ramah menjadi keseharian para siswa ketika berpapasan dengan tamu.

Hasil observasi awal di atas dikuatkan oleh penuturan Kepala Sekolah melalui wawancara informal yang dilakukan peneliti. Kepala Sekolah menegaskan bahwa SMK Katolik Sta. Familia adalah sekolah yang sangat menekankan pendidikan karakter, bahkan jauh sebelum pemerintah menyuarakan urgensi pendidikan karakter. Hal ini dilatarbelakangi oleh spiritualitas Yayasan YEEMYE sebagai Yayasan religius, karena dikelola oleh para biarawati tarekat JMJ (Jesus, Mary and Joseph). Kepala Sekolah menambahkan bahwa setiap bulan terdapat nilai tertentu yang ditekankan. Untuk bulan April 2013 yang lalu misalnya, nilai yang ditekankan adalah respect (menghormati/menghargai). Setiap komponen; siswa, guru maupun pegawai berupaya untuk menghayati dan mewujudkan nilai respect ini.

Akan tetapi, Kepala Sekolah mengakui di tengah-tengah upaya mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah ini, terdapat beberapa persoalan mendasar, yaitu pertama, tidak semua siswa berasal dari lingkungan keluarga yang harmonis. Banyak di antara mereka yang broken home, atau orang tuanya bermasalah. Sehingga, kompensasi yang cenderung ke arah negatif seperti absensi, keterlambatan, pembangkangan, dll. sering dilakukan oleh para siswa sekadar untuk mencari perhatian. Lingkungan keluarga yang kondusif dapat menjaga kesinambungan pendidikan karakter yang ditekankan di sekolah. Sebaliknya, lingkungan keluarga yang bermasalah, dapat menyebabkan terputusnya sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai yang diterima siswa di sekolah. Kedua, SMK Katolik Sta. Familia adalah sekolah non-asrama. Kebersamaan dengan siswa di sekolah tidak berlangsung 1x24 jam seperti di sekolah berasrama. Paling tidak sekolah berasrama memiliki peluang lebih besar untuk menjaga kontinuitas pendidikan karakter secara integral-holistik.

Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk mendalami manajemen pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia Tomohon.

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah

Fokus penelitian ini adalah Manajemen Pendidikan Karakter pada SMK Katolik Sta. FamiliaTomohon.Untuk itu dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

  1. Bagaimana perencanaan pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia Tomohon.

  2. Bagaimana pengorganisasian pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia Tomohon.

  3. Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia Tomohon.

  4. Bagaimana pengawasan pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia Tomohon.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi yang rinci dan jelas tentang:

  1. Perencanaan pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia Tomohon.

  2. Pengorganisasian pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia Tomohon.

  3. Pelaksanaan pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia Tomohon.

  4. Pengawasan pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia Tomohon.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik teoretik dan praktis.

1. Manfaat Teoretik

Secara teoretik penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan keilmuan dalam bidang manajemen pendidikan dan secara khusus manajemen pendidikan karakter. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pimpinan yayasan, pimpinan sekolah, guru, dan seluruh warga sekolah, bahkan para pemerhati pendidikan tentang pedoman pelaksanaan pendidikan karakter.

II. ACUAN TEORETIK

A. Konsep Dasar Manajemen dan Manajemen Pendidikan

1. Pengertian Manajemen dan Manajemen Pendidikan

Kata manajemen sering dihubungkan dengan istilah bahasa Italia maneggiare yang berarti ‘mengendalikan’. Kata ini mendapat pengaruh dari bahasa Perancis manège yang berarti ‘kepemilikan kuda’ (yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti seni mengendalikan kuda). Bahasa Perancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Berdasarkan etimologinya, istilah manajemen sebenarnya berasal dari bahasa Latin manus yang berati ‘tangan’ dan agere yang berarti ‘melakukan’. (http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia.manajemen, diakses 5 April 2013). Jadi, secara harafiah manajemen berarti mengatur, melaksanakan dan mengendalikan sesuatu.

Dalam perkembangannya, istilah manajemen mendapatkan pengertian yang lebih spesifik dan variatif dari para ahli. Harold Koontz dan Hein Weirich (dalam Kambey, 2006:2), mendefinisikan manajemen sebagai “proses mendisain dan memelihara lingkungan di mana orang-orang bekerja bersama dalam kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara efisien”. Sementara itu, Sanches (dalam Kambey, 2006:2), mendefinisikan manajemen sebagai “proses mengembangkan manusia”.

Manajemen bukan sekedar proses melakukan sesuatu, melainkan sebagai seni. Mary Parker Follet (dalam Sule dan Saefullah, 2010:5) menegaskan bahwa “manajemen is the art of getting things done through people.” Artinya, manajemen adalah seni menyelesaikan sesuatu melalui orang lain. Manajemen sebagai proses ataupun seni senantiasa terarah pada suatu tujuan yang hendak dicapai dan melalui tahapan-tahapan yang pasti, yakni perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Nickels dkk. (dalam Sule dan Saefullah, 2010:6). Mereka menyebutkan pengertian manajemen sebagai “the process used to accomplish organizational goals through planning, organizing, directing, and controlling people and other organizational goals”. Definisi sesungguhnya dari kata manajemen ternyata banyak, tergantung pada persepsi masing-masing ahli. Namun, terdapat salah satu definisi klasik tentang manajemen yang dirumuskan oleh George Terry (dalam Indrajit dan Djokopranoto, 2011:315), yakni “management is a distinct process consisting of planning, organizing, actuating, and controlling, performed to determine and accomplish stated objetctives by the use of human beings and other resources”. Manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan melalui orang atau sumber daya lain untuk mewujudkan tujuan. Proses yang dikemukakan Terry inilah yang secara populer dikenal dengan singkatan POAC (planning, organizing, actuating, controlling).

Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh para ahli di atas, maka manajemen dalam arti luas adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Sementara itu dalam arti sempit, yakni dalam konteks lingkungan pendidikan, “manajemen adalah perencanaan program sekolah, pelaksanaan program sekolah, kepemimpinan kepala sekolah, pengawas/evaluasi, dan sistem informasi sekolah” (Usman, 2011:5). Lebih lanjut Usman (2011:12) mengemukakan definisi manajemen pendidikan sebagai berikut:

Manajemen pendidikan adalah seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Dari definisi di atas, Usman menjabarkan tujuan dan manfaat manajemen pendidikan (2011:13), antara lain:

  1. Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan dan bermakna.

  2. Terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan potensi dirinya.

  3. Terpenuhinya salah satu dari 5 kompetensi tenaga kependidikan, yaitu kompetensi manajerial.

  4. Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.

  5. Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas administrasi pendidikan.

  6. Teratasinya masalah mutu pendidikan.

  7. Terciptanya perencanaan pendidikan yang merata, bermutu, relevan, dan akuntabel.

  8. Meningkatnya citra positif pendidikan.

Secara ringkas, Mulyati dan Komariah (dalam Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, 2011:88) menegaskan bahwa pentingnya manejemen agar pelaksanaan suatu usaha terencana secara sistematis dan dapat dievaluasi secara benar, akurat dan lengkap sehingga mencapai tujuan secara produktif, berkualitas, efektif dan efisien.

2. Fungsi-Fungsi Manajemen

Fungsi manajemen sebenarnya telah tertuang dalam definisi manajemen yang dikemukan oleh para ahli, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian/pengawasan. Fungsi-fungsi tersebut merupakan elemen dasar yang akan selalu ada dan melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer/pemimpin dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan.

Secara garis besar Gerloff (dalam Kusdi, 2009:9) menunjukkan melalui sebuah tabel dinamika proses manajemen sebagai berikut:

Fungsi

Tindakan

Resultan/Efek

Planning

Menentukan berbagai tujuan, strategi, dan arah yang ingin dicapai.

Dasar bagi desain dan kebijakan organisasi

Organizing

  • Menentukan aktivitas-aktivitas pokok.

  • Mengelompokkan aktivitas-aktivitas menjadi jabatan-jabatan.

  • Mengelompokkan jabatan dan menentukan tanggung jawab

  • Mengisi jabatan dengan orang-orang yang sesuai.


  • Struktur kerja formal dengan mengidentifikasi jabatan, hubungan pelaporan dan koordinasi, departemen-departemen, serta prosedur yang dibutuhkan.

  • Menciptakan situasi yang memungkinkan munculnya struktur kerja informal.

Directing

  • Memprakarsai dan memfokuskan tindakan para bawahan menuju tujuan.

Aliran komunikasi dari atas ke bawah yang mengaktifkan rencana formal dan mendukung prioritas-prioritasnya.

Controlling

Memonitor kinerja dan mengarahkan upaya menuju tujuan yang sudah direncanakan

Standard-standar kerja, media pelaporan, dan metode-metode standard yang merupakan bagian dari struktur

1. Perencanaan

Banghart dan Trull (dalam Sagala, 2010:56) mengemukakan: “Educational planning is first of all a rational process”. Artinya perencanaan pendidikan adalah langkah paling awal dari semua proses rasional. Dengan kata lain sebelum melaksanakan kegiatan lain, langkah pertama yang mestinya dibuat adalah perencanaan.

Perencanaan pada dasarnya merupakan suatu proses memikirkan dan menetapkan secara matang arah, tujuan dan tindakan sekaligus mengkaji berbagai sumber daya dan metode yang tepat. Pengertian serupa dikemukakan oleh Gibson (dalam Sagala, 2010:56), “perencanaan mencakup kegiatan menentukan sasaran dan alat sesuai untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan”. Perencanaan yang dibuat secara matang akan berfungsi sebagai kompas untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk itu Sergiovanni (dalam Sagala, 2010:57) menegaskan: “plans are guides, approximation, goal post, and compass setting not irrevocable commitments or dicision commandments”.

Lebih lanjut Mulyati dan Komariah (dalam Tim Dosen, 2011:93-95) mengemukakan fungsi perencanaan sebagai berikut:

  • Menjelaskan dan merinci tujuan yang ingin dicapai.

  • Memberikan pegangan dan menetapkan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

  • Organisasi memperoleh standar sumber daya terbaik dan mendayagunakan sesuai tugas pokok fungsi yang telah ditetapkan.

  • Menjadi rujukan anggota organisasi dalam melaksanakan aktivitas yang konsisten prosedur dan tujuan.

  • Memberikan batas kewenangan dan tanggung jawab bagi seluruh pelaksana.

  • Memonitor dan mengukur berbagai keberhasilan secara intensif sehingga bisa menemukan dan memperbaiki penyimpangan secara dini.

  • Memungkinkan untuk terpeliharanya persesuaian antara kegiatan internal dengan situasi eksternal.

  • Menghindari pemborosan.

Berdasarkan jangkauan waktunya, perencanaan dapat dibagi menjadi perencanaan jangka pendek, misalnya satu minggu, satu bulan, satu semester dan satu tahun, perencanaan jangkah menengah yaitu perencanaan yang dibuat untuk jangka waktu tiga sampai tujuh tahun, dan perencanaan jangka panjang dibuat untuk jangka waktu delapan sampai dua puluh lima tahun. Sementara itu proses perencanaan dilaksanakan secara kolaboratif, yakni melibatkan warga sekolah. Alasan pentingnya melibatkan mereka dalam perencanaan dikemukakan oleh Hoyle dan Moedjiarto (dalam Sagala, 2010:57). Masyarakat sekolah akan bertanggungjawab atas perencanaan yang ditetapkan dan akan menimbulkan sense of belonging (rasa memiliki), sehingga mendorong warga sekolah untuk bersama-sama berusaha agar rencana tersebut berhasil.

2. Pengorganisasian

Mengorganisasikan adalah proses mengatur, mengalokasikan dan mendistribusikan pekerjaan, wewenang, dan sumber daya di antara anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Stoner (dalam Tim Dosen, 2011:94) menyatakan bahwa mengorganisasikan adalah “proses mempekerjakan dua orang atau lebih untuk bekerja sama dalam cara terstruktur guna mencapai sasaran spesifik atau beberapa sasaran”. Pada intinya mengorganisasikan berarti:

  • menentukan sumber daya kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi.

  • merancang dan mengembangkan kelompok kerja yang berisi orang yang mampu membawa organisasi pada tujuan.

  • menugaskan seseorang atau kelompok orang dalam suatu tanggung jawab tugas dan fungsi tertentu.

  • mendelegasikan wewenang kepada individu yang berhubungan dengan keleluwasaan melaksanakan tugas.

Pengorganisasian yang tepat akan membuat posisi orang jelas dalam struktur dan pekerjaannya melalui pemilihan, pengalokasian dan pendistribusian kerja yang profesional. Untuk itu seorang manajer memerlukan kemampuan memahami sifat pekerjaan dan kualifikasi orang yang harus mengisi jabatan.

3. Pelaksanaan

Pelaksanaan, pengimplementasian, atau penggerakkan (actuating) merupakan proses implementasi program agar bisa dijalankan oleh seluruh pihak dalam organisasi serta proses memotivasi agar semua pihak dapat bertanggung-jawab dengan penuh kesadaran dan produktivitas yang tinggi (Sule dan Saefulla, 2010:8). Proses memotivasi berarti mendorong semua pihak agar mau bekerja sama, ikhlas dan bergairah untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan rencana-rencana yang telah ditentukan atau diorganisir sebelumnya. Hal ini ditegaskan oleh Terry (dalam Kambey, 2006:70), “Actuating is setting all members of the group to want to achieve and to strike to achieve the objective willingly and keeping with the managerial planning and organizing the efforts”.

Dalam konteks manajemen sekolah, fungsi tersebut dijalankan oleh kepala sekolah, yakni melalui tindakan merangsang guru dan personal sekolah lainnya melaksanakan tugas-tugas dengan antusias dan kemauan yang baik untuk mencapai tujuan dengan penuh semangat (Sagala, 2010:60). Menurut Sagala (2010:62-63), kepala sekolah dalam menjalankan fungsinya perlu memperhatikan beberapa faktor seperti keefektifan organisasi kerja yang terdiri dari sejumlah unit kerja (kelas, guru kelas, bimbingan penyuluhan, usaha kesehatan sekolah), kepekaan terhadap sejumlah kebutuhan pelayanan persoan sekolah, pelatihan guru, koordinasi yang meliputi pembagian kerja dan spesialisasi atas dasar tanggung jawab profesionalnya masing-masing, semangat kerja sama, tersedianya fasilitas dan kontak hubungan yang lancer bagi semua pihak dan memulai tahapan suatu kegiatan dengan benar dan mempertahankan kualitas pekerjaan sebagai proses yang kontinu.

Koordinasi dapat diwujudkan melalui 1) konfrensi atau pertemuan lengkap yang mewakili unit kerja di sekolah, 2) pertemuan berkala untuk pejabat-pejabat tertentu, 3) pembentukan panitia gabungan jika diperlukan, 4) pembentukan badan koordinasi staf untuk mengkoordinir kegiatan, 5) mewawancarai personal sekolah untuk mengetahui hal yang penting berkaitan dengan tugas dan tanggungjawabnya, 6) memorandum atau instruksi berantai, dan , 7) ada dan tersedianya buku pedoman organisasi dan tatakerja.

4. Pengawasan

Sagala merangkum beberapa pengertian pengawasan dari beberapa pakar berikut (dalam Sagala, 2010:65). Pertama, Oteng Sutisna menghubungkan fungsi pengawasan dengan tindakan administrasi. Baginya pengawasan dilihat sebagai proses administrasi melihat apakah apa yang terjadi itu sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi, jika tidak maka penyesuaian yang perlu dibuatnya. Kedua, Hadari Nawawi menegaskan bahwa pengawasan dalam administrasi berarti kegiatan menukur tingkat efektivitas kerja personal dan tingkat efesiensi penggunaan metode dan alat tertentu dalam usaha mencapai tujuan. Ketiga, Johnson mengemukakan pengawasan sebagai fungsi sistem yang melakukan penyesuaian terhadap rencana, mengusahakan agar penyimpangan-penyimpangan tujuan sistem hanya dalam batas-batas yang dapat ditoleransi.

Dalam kaitannya dengan manajemen sekolah, Sagala menegaskan bahwa pengawasan adalah salah satu kegiatan mengetahui realisasi perilaku personal sekolah dan apakah tingkat pencapaian tujuan pendidikan sesuai yang dikehendaki, kemudian dari hasil pengawasan apakah dilakukan perbaikan. Pengawasan meliputi pemeriksaan apakah semua berjalan sesuai rencana yang dibuat, instruksi-instruksi yang dikeluarkan, dan prinsip-prinsip yang ditetapkan, antara lain seperti yang dikemukakan oleh Massie (dalam Sagala, 2010:65):

  • Tertuju kepada strategis sebagai kunci sasaran yang menentukan keberhasilan.

  • Menjadi umpan balik sebagai bahan revisi dalam mencapai tujuan.

  • Fleksibel dan responsif terhadap perubahan-perubahan kondisi dan lingkungan.

  • Cocok dengan organisasi pendidikan.

  • Merupakan control diri sendiri.

  • Bersifat langsung yaitu pelaksanaan kontrol di tempat pekerja.

  • Memperhatikan hakikat manusia dalam mengontrol para personal pendidikan.

Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut, Oteng Sutisna (Sagala, 2010:65) menegaskan bahwa tindakan pengawasan terdiri dari tiga langkah universal, yaitu (1) mengukur perbuatan atau kinerja; (2) membandingkan perbuatan dengan standar yang ditetapkan dan menetapkan perbedaan-perbedaan jika ada; dan (3) memperbaiki penyimpangan dengan tindakan pembetulan.

Lebih lanjut Stoner (dalam Sagala, 2010:66) membagi pengawasan dalam empat langkah berikut:

  • Pertama, menetapkan standar dan metode untuk mengukur prestasi yang mencakup di dalamnya penetapan standar dan ukuran untuk segala macam keperluan, mulai dari target pencapaian kurikulum sampai pada target pencapaian mutu lulusan.

  • Kedua, mengukur prestasi kerja yang dilakukan secara berkesinambungan, repetitif dan frekeunsinya tergantung pada jenis aktivitas yang sedang diukur.

  • Ketiga, membandingkan hasil yang telah diukur dengan sasaran dan standar yang telah ditetapkan sebelumnya.

  • Keempat, mengambil tindakan korektif, jika hasil-hasil yang dicapai tidak memenuhi standar dan analisis menunjukkan perlunya diambil tindakan.

B. Konsep Dasar Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan

Kata bahasa Inggris education yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi pendidikan, secara etimologis berasal dari kata kerja bahasa Latin educare. Koesoema (2010:53) mengemukakan bahwa bisa jadi secara etimologis, kata pendidikan berasal dari dua kata kerja yang berbeda, yaitu dari kata educare dan educere. Secara distingtif, Koesoema mendeskripsikan makna kedua istilah tersebut sebagai berikut.

Kata educare memiliki konotasi ‘melatih’, ‘menjinakkan’, atau ‘menyuburkan’. Dalam konteks ini pendidikan dipahami sebagai “sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar menjadi semakin tertata, semacam proses penciptaan kultur dan tata keteraturan dalam diri maupun dalam diri orang lain”. Pengertian pendidikan seperti ini senada dengan pendapat kaum behavioris seperti Watson dan Skinner yang menekankan pendidikan sebagai proses perubahan tingkah laku (Mudyahardjo, 2001:7). Pendidikan juga berarti “proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia, seperti kemampuan akademis, relasional, bakat, talenta, kemampuan fisik atau daya-daya seni”.

Sementara itu, kata educere merupakan gabungan dari preposisi ex (keluar dari) dan kata kerja ducere (memimpin). Secara harafiah educere berarti “suatu kegiatan untuk menarik keluar atau membawa keluar”. Dalam arti ini, pendidikan dimengerti sebagai “sebuah proses pembimbingan keluar yang terarah pada satu tujuan tertentu”. Proses pembimbingan keluar ini bisa berarti secara internal, yakni keluar dari keterbatasan fisik kodrati yang dimiliki sehingga tetap bertahan hidup, dan secara eksternal lebih mengacu pada kecerdasan sosial individu, antara lain tampak dari kemampuan bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama.

Di pihak lain, menurut John Dewey (dalam Muslich, 2011:67) pendidikan adalah “proses pembentukan kecapakan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Sementara itu dalam konteks Indonesia, pengertian pendidikan secara sistematis tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi demikian:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Jadi, pengertian pendidikan mencakup keseluruhan aspek kehidupan manusia. Bahkan, pendidikan adalah hidup itu sendiri, sebab pendidikan berlangsung seumur hidup (lifelong education), mencakup segala lingkungan dan situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu (Mudyahardjo, 2001:3).

2. Pengertian Karakter

Secara etimologis istilah “karakter” berasal dari bahasa Yunani karasso, berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, atau ‘sidik’ seperti dalam sidik jari. Interpretasi atas istilah ini bermacam-macam. Mounier (dalam Koesoema, 2010:90-91) mengajukan dua cara interpretasi, yaitu pertama, karakter sebagai “sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita” (karakter bawaan atau given character). Kedua, karakter sebagai “tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter adalah sebuah proses yang kehendaki” (willed). Senada dengan pengertian karakter di atas, Ohoitmur (dalam Rataq dan Korompis, 2011:11), menegaskan bahwa “karakter personal terdiri dari dua unsur yakni karakter bawaan dan karakter binaan. Karakter bawaan merupakan karakter yang secara hereditas menjadi ciri khas kepribadiannya. Sedangkan karakter binaan merupakan karakter yang berkembang melalui pembinaan dan pendidikan secara sistematis.

Menurut Pusat Bahasa Depdiknas (dalam Kemendiknas, 2010:12) karakter diartikan sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak.” Berkarakter berarti “berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan, dirinya, sesame dan lingkungannya dengan cara mengoptimalkan potensi dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya.

Tadkiroatun Musfiroh (dalam Kemendiknas, 2010:12) berpendapat bahwa “karakter mengacu kepada serangkaian sikap, perilaku, motivasi dan keterampilan”. Karakter berhubungan dengan karakteristik psikologis individual. Hal ini ditegaskan oleh Marvin W. Berkowitz (2002:69) sebagai berikut: “Character as an individual’s set of psychological characteristics that affect that person’s ability and inclination to function morally. Simply put, character is comprised of those characteristics that lead person to do the right thing or not to do the right thing.” Karakter adalah kumpulan dari karakteristik psikologis individual yang mempengaruhi bakat seseorang dan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan moralitas. Dengan kata lain karakter itu terdiri dari karakteristik-karakteristik yang menuntun seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik atau melakukan sesuatu yang tidak baik.

3. Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan Karakter

Elkind dan Sweet (dalam Kemendiknas, 2010:13) menyebutkan pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values”. Pendidikan karakter adalah suatu usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli dan bertindak menurut nilai-nilai etika. Sementara itu menurut Ramli (dalam Kemendiknas, 2010:13), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.

Pendidikan moral dan pendidikan karakter tidaklah sama. Perbedaannya terletak pada ruang lingkup dan lingkungan yang membantu individu dalam mengambil keputusan. Dalam pendidikan moral, ruang lingkupnya adalah kondisi batin seseorang. Sedangkan dalam pendidikan karakter ruang lingkupnya selain terdapat dalam diri individu, juga memiliki konsekuensi kelembagaan, yang keputusannya tampil dalam kinerja dan kebijakan lembaga pendidikan (Koesoema, 2010:198).

Koesoema (2010:42) menyebutkan bahwa pendidikan karakter sebenarnya dicetuskan pertama kali oleh pedagog Jerman F.W. Foerster (1869-1966). Lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang arus positivisme yang dipelopori oleh filsuf dan sosiolog Perancis Auguste Comte (1798-1857). Tujuan pendidikan menurut Foerster adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter menjadi semacam identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah kualitas seorang pribadi diukur. Lebih lanjut Foerster menyebutkan kekuatan karakter seseorang tampak dalam empat ciri fundamental yang mesti dimiliki. Kematangan keempat ciri fundamental karakter inilah yang memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas.

Pertama, keteraturan interior melalui mana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Karakter tidak terbentuk selalui merupakan sebuah kesediaan dan keterbukaan untuk mengubah dan dari ketidakteraturan menuju keteraturan nilai.

Kedua, koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seseorang dapat mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Kredilibitas seseorang akan runtuk apabila tidak ada koherensi.

Ketiga, otonomi atau kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Hal ini tampak dari penilaian keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan dari pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Lebih lanjut, Koesoema sendiri (2010:193-190) melihat pendidikan karakter sebagai keseluruhan dinamika relasional antarpribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya sehingga ia dapat semakin bertanggungjawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai peribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. Pendidikan karakter memiliki dua dimensi sekaligus, yakni dimensi individual dan dimensi sosio-struktural. Dimensi individual berkaitan erat dengan pendidikan nilai dan pendidikan moral seseorang. Sedangkan dimensi sosio-kultural lebih melihat bagaimana menciptakan sebuah sistem sosial yang kondusif bagi pertumbuhan individu.

Tidak hanya di Indonesia, pendidikan karakter juga menjadi perhatian di belahan dunia lain, seperti di Amerika. Character Education Partnership (CEP) (dalam Koesoema, 2012:57), sebuah program nasional pendidikan karakter di Amerika Serikat, mendefinisikan pendidikan karakter demikian.

Sebuah gerakan nasional untuk mengembangkan sekolah-sekolah agar dapat menumbuhkan dan memelihara nilai-nilai etis, tanggung jawab dan kemauan untuk merawat satu sama lain dalam diri anak-anak muda, melalui keteladanan dan pengajaran tentang karakter yang baik, dengan cara memberikan penekanan pada nilai-nilai universal yang diterima oleh semua. Gerakan ini merupakan usaha-usaha dari sekolah, distrik, dan Negara bagian yang sifatnya intensional dan proaktif untuk menanamkan dalam diri para siswa nilai-nilai oral inti, seperti perhatian dan perawatan (caring), kejujuran, keadilan (fairness), tanggung jawab dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain.

Sementara itu Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum di Amerika Serikat (dalam Koesoema, 2012:57-58), mendefinisikan pendidikan karakter sebagai berikut.

Sebuah proses pengajaran kepada anak-anak tentang nilai-nilai kemanusiaan dasar, termasuk di dalamnya kejujuran, keramahtamahan, kemurahan hati, keberanian, kebebasan, persamaan, dan rasa hormat. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan diri siswa sebagai warga Negara yang dapat bertanggungjawab secara moral dan memiliki disiplin diri.

Pendidikan karakter baik di Indonesia, maupun di Amerika memuat nilai-nilai yang kurang lebih sama. Dalam konteks Indonesia, Kemendiknas secara detail (2011) menyebutkan delapan belas nilai dalam pendidikan karakter, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, gemar membaca, peduli lingkungan, dan peduli sosial, serta tanggung jawab. Koesoema (2010:208-2011) mengambil garis besarnya saja dengan menyebutkan delapan nilai, yakni keutamaan, keindahan, kerja, cinta tanah air, demokrasi, kesatuan, menghidupi nilai moral, dan kemanusiaan.

2. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Karakter

Koesoema (2010:218-220) mengemukakan bahwa pendidikan karakter di sekolah memerlukan prinsip-prinsip dasar yang mudah dimengerti dan dipahami oleh siswa dan setiap individu yang bekerja dalam lingkup pendidikan itu sendiri. Beberapa prinsip dasar itu antara lain sebagai berikut.

  1. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan atau kamu yakini.

  2. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang macam apa dirimu.

  3. Karakter yang bai mengandaikan bahwa hal yang baik itu dilakukan dengan cara-cara yang baik, bahkan seandainya pun kamu harus membayarnya secara mahal, sebab mengandung risiko.

  4. Jangan pernah mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain sebagai patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang lebih baik dari mereka.

  5. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang individu bisa mengubah dunia.

  6. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah bahwa kamu menjadi pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk dihuni.

3. Metode Integral bagi Pendidikan Karakter

Koesoema menyebutkan secara praktis dan sederhana lima unsur yang bisa dipertimbangkan dalam upaya mengarahkan sekolah pada penghayatan pendidikan karakter yang realistis, konsisten, dan integral (2010:212-217). Koesoema menegaskan bahwa kelima unsur itu bisa menjadi menjadi pedoman dan patokan dalam menghayati dan mencoba menghidupi pendidikan karkater di dalam setiap lembaga pendidikan. Lima hal tersebut bisa dikatakan sebagai lingkaran dinamis dialektis yang senantiasa berputar semakin maju. Kelima unsur itu adalah mengajarkan, keteladanan, menentukan prioritas, praksis prioritas, dan refleksi.

a. Mengajarkan

Pendidikan karakter mengandaikan pengetahuan teoretis tentang konsep-konsep nilai tertentu. Artinya, untuk dapat melakukan yang baik, adil, dan bernilai, maka peserta didik pertama-tama perlu mengetahui dengan jelas apa itu kebaikan, keadilan dan nilai. Perilaku berkarakter mendasarkan diri pada tindakan sadar subjek dalam melaksanakan nilai. Untuk inilah, salah satu unsur penting dalam pendidikan karakter adalah mengajarkan nilai-nilai sehingga anak didik memiliki gagasan konseptual tentang nilai-nilai pemandu perilaku yang bisa dikembangkan dalam mengembangkan karakter pribadinya.

Proses diseminasi nilai tidak hanya berlangsung di dalam kelas, melainkan bisa memanfaatkan berbagai macam unsur lain, misalnya proses perencanaan kurikulum. Dalam merencanakan kurikulum perlu dilihat apakah telah terdapat nilai-nilai etis yang menyerambah dalam kurikulum sehingga sekolah memiliki nilai-nilai yang ditawarka (espoused values). Cara lain adalah dengan mengundang pembicara tambu dalam sebuah seminar, diskusi, publikasi, dll, untuk secara khusus membahas nilai-nilai utama yang dipilih sekolah dalam kerangka pendidikan karakter bagi para peserta didik.

b. Keteladanan

Verba movent exempla trahunt”, ungkapan bahasa Latin ini berarti kata-kata memang dapat menggerakkan orang, namun teladan itulah yang menarik hati. Untuk itu pendidikan karakter merupakan tuntutan terutama bagi para pendidik sendiri. Sebab, pengetahuan yang baik tentang nilai akan menjadi kredibel ketika gagasan teoretis normatif itu ditemui oleh peserta didik dalam praksis kehidupan di sekolah.

Keteladanan menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya pendidikan karakter. guru sesungguhnya menjadi jiwa bagi pendidikan karakter itu sendiri. Konsistensi dalam mengajarkan pendidikan karakter tidak sekadar melalui apa yang dikatakan melalui pembelajaran di dalam kelas, melainkan nilai itu juga tampil dalam diri sang guru,d alam kehidupannya yang nyata di luar kelas. Indikasi adanya keteladanan dalam pendidikan karakter adalah apakah terdapat model peran dalam diri insane pendidik. Demikian juga, apakah secara kelembagaan terdapat contoh-contoh kebijakan serta perilaku yang bisa diteladani oleh siswa sehingga apa yang mereka pahami tentang nilai-nilai itu memang dekat dengan hidup mereka, dan mereka dapat menemukan afirmasi dalam perilaku individu atau lembaga sebagai manifestasi nilai.

c. Menentukan prioritas

Pendidikan karakter menghimpun banyak kumpulan nilai yang dianggap penting bagi realisasi atas visi lembaga pendidikan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan mesti menentukan standar atas karakter yang akan ditawarkan kepada peserta didik. Untuk ini, setiap pihak yang terlibat perlu memahami secara jernih apakah prioritas nilai yang ingin ditekankan dalam pendidikan karakter di lingkungan sekolahnya. Selain prioritas nilai, diperlukan juga penentuan sekumpulan perilaku standar yang diketahui dan dipahami oleh peserta didik, orang tua dan masyarakat.

d. Praksis prioritas

Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah verifikasi di lapangan tentang karakter yang dituntutkan itu. verifikasi yang dimaksudkan antara lain bagaimana sikap sekolah terhadap pelanggaran atas kebijakan sekolah, bagaimana sanksi itu diterapkan secara transparan sehingga menjadi praksis kelembagaan. realisasi visi dalam kebijakan sekolah merupakan salah satu cara untuk mempertanggungjawabkan pendidikan karakter di hadapan publik.

e. Refleksi

Setelah tindakan dan praksis pendidikan itu terjadi, perlulah diadakan semacam evaluasi, pendalaman atau refleksi, untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter. Keberhasilan dan kegagalan itu lantas menjadi sarana untuk meningkatkan kemajuan yang dasarnya adalah pengalaman itu sendiri. Oleh karena itu perlu dilihat, apakah para siswa setelah memperoleh kesempatan untuk belajar dari pengalaman dapat menyampaikan refleksi pribadinya tentang nilai-nilai tersebut dan membagikannya dengan teman lain? Apakah ada diskusi untuk semakin memahami nilai pendidikan karakter yang hasil-hasilnya bisa diterbitkan dalam jurnal, koran sekolah, dll?

Di samping kelima unsur di atas, Koesoema pada bukunya yang lain mendeskripsikan secara detail pelbagai metode integral untuk mewujudkan pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh bagi setiap kegiatan yang ada di dalam lingkungan sekolah. Metode integral berarti terkait upaya pengembangan kualitas individu, desain program yang sesuai dengan tanggung jawab individu, dan upaya membangun lingkungan yang ramah atau kondusif bagi pertumbuhan individu sesuai dengan tahap perkembangan kepribadiannya. Berikut pelbagai metode integral yang disarikan dari pemikiran Koesoema (2012:70-82).

a. Menyerambah ke seluruh kehidupan sekolah

Metode pendidikan karakter seperti ini didesain secara khusus agar seluruh dinamika kehidupan sekolah senantiasa berjiwa pembentukan karakter. Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh menyerambah seluruh fase kehidupan sekolah, mulai dari siswa-siswa masuk melalui gerbang sekolah, kantin, aula, ruang kelas, perpustakaan sampai mereka kembali melalui gerbang yang sama untuk pulang ke rumah.

b. Prioritas nilai dan keutamaan (core values)

Lembaga pendidikan mesti menentukan prioritas nilai atau keutamaan apa yang akan diraih. Prioritas nilai dan keutamaan ini menjadi dasar penting bagi pertumbuhan individu agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang baik. Nilai-nilai yang diprioritaskan itu dijunjung tinggi, disepakati bersama, dihormati, dan diteladankan oleh para pendidik dan orang-orang lain dalam perkataan dan perbuatan. Dengan demikian, diharapkan para siswa dapat menangkap bahwa nilai-nilai tersebut sungguh merupakan nilai-nilai bersama yang ingin diperjuangkan oleh seluruh komunitas sekolah. Dalam setiap pembicaraan, diskusi atau berhadapan dengan berbagai masalah di sekolah, setiap anggota komunitas senantiasa menyadari bahwa segala peristiwa dalam lembaga pendidikan mesti diletakkan dalam kerangka pengembangan prioritas nilai, yang menggerakkan dinamika kehidupan sekolah.

c. Mengembangkan tiga dimensi pengolahan hidup

Metode pendidikan karakter utuh dan menyeluruh mengembangkan seluruh dimensi pengolahan diri manusia secara integral, yakni meliputi olah pikir, olah hati, dan olahraga. Olah pikir berarti mengajarkan individu untuk dapat memahami nilai-nilai dan keutamaan secara benar. Individu mengetahui mengapa ia melakukan sebuah tindakan dan mengapa tindakan yang dilakukan itu dapat dibenarkan secara moral (moral reasoning). Olah hati berarti upaya menanamkan pemahaman yang benar dalam diri individu sampai pemahaman tersebut sungguh menjadi bagian berharga dalam dirinya. Dengan kata lain, individu menghidupi dan mencintai nilai-nilai yang telah diajarkan kepadanya. Olah hati mengarahkan individu agar mampu membangun komitmen menjadi pribadi berintegritas secara mendalam (moral loving). Selanjutnya, olah raga merupakan pembadanan dari praksis nilai, yaitu merawat tubuh diri dan orang lain. Penghargaan atas tubuh menjadi tanda dihargainya harkat dan martabat manusia. Olah raga mengindikasikan bahwa tindakan bermoral itu hanya dapat diverifikasi dalam praksis dan tindakan, di mana fungsi organis tubuh berperan penting. pemahaman dan penghargaan atas tubuh secara benar membuat individu mampu juga menghargai keberadaan fisik orang lain apapun keadaan mereka.

d. Pengembangan organisasi dan manajemen

Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh juga menyerambah sampai pada pembentukan organisasi dan manajemen sekolah yang berjiwa pembentukan karakter, baik itu berupa kebijakan-kebijakan maupun keputusan-keputusan yang diambil. Definisi tugas yang jelas yang jelas dari masing-masing individu, proses pengaturan relasi antar individu dalam kerangka organisasi perlu diperjelas, sehingga masing-masing individu dalam lembaga pendidikan tersebut memiliki pemahaman akan cakupan tanggung jawab mereka secara spesifik dan khas. Sekolah yang memiliki manajemen yang baik mampu merealisasikan visi dan misi lembaga ke dalam praksis, membentuk tradisi pendidikan yang kokoh, serta memiliki kepemimpinan yang berkelanjutan.

e. Pengembangan kultur sekolah yang menumbuhkan (caring community)

Pendidikan karakter akan semakin efektif, relevan dan berkesinambungan jika terarah pada pengembangan kultur sekolah yang menghargai individu dalam mengembangkan karakter pribadinya. Pengembangan kultur sekolah yang baik pada gilirannya akan berpengaruh pada pengembangan kultur sekolah di lingkungan pendidikan lain. Dalam hal ini, lembaga pendidikan sebagai sebuah pelaku bagi pengembangan pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, atau hidup bagi dirinya sendiri. Kehadirannya yang bermutu dan bai semestinya juga dapat menjadi contoh dan model sekolah-sekolah lain di sekitarnya. Dengan demikian, kultur pendidikan karakter di satu sekolah yang baik dapat memengaruhi lingkungan pendidikan lain di sekitarnya.

f. Eksplisit, direncanakan, terpadu

Pendidikan karakter mesti berciri eksplisit, direncanakan (intentional), dan terpadu (integrated). Pendidikan karakter mesti bersifat eksplisit. Artinya, isi, pendekatan, dan bentuk praksisnya di dalam atau di luar kelas, disampaikan secara transparan kepada seluruh pemangku kepentingan sekolah, yakni siswa, guru, orang tua, ataupun masyarakat.

Pendidikan karakter juga mesti secara sengaja direncanakan. Ada semacam intense, niat, kehendak dan kemauan untuk secara sengaja mengembangkan pendidikan karakter di sekolah. Guru, tim pendidikan karakter, penanggung jawab setiap kelas, serta anggota komunitas lain terlibat dalam desain dan perencanaan strategis pendidikan karakter. Melalui perencanaan secara sadar, keberhasilan pendidikan karakter dapat dievaluasi dan dinilai untuk pengembangan selanjutnya.

Pendidikan karakter juga mesti dipraktikkan secara terpadu, dan melibatkan sebanyak mungkin pihak yang berkepentingan dengan pengembangan pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan karakter menjadi kepentingan bersama yang akan berdampak luas dalam masyarakat. Untuk itu, kerja sama intensif dan saling mendukung antara lembaga pendidikan dengan masyarakat sangatlah penting. keterpaduan ini juga mempersyaratkan adanya simultanitas program, yakni berjalannya berbagai macam program secara serentak dan bersama-sama. Simultanitas program mengandaikan adanya pembenahan praksis di lapangan bukan memulai dari awal atau menunggu program pendidikan matang. Caranya adalah dengan mulai membuat skala prioritas hal-hal mendesak mana yang mesti dilakukan segera.

g. Pertumbuhan motivasi individu

Sifat utuh dan menyeluruh pendidikan karakter merangkum persoalan tentang motivasi moral. Artinya, sifat itu mencakup bagaimana menumbuhkan dalam diri individu sebuah semangat pembaruan diri terus-menerus dalam kebersamaan untuk menghidupi dan menghayati nilai-nilai moral inti yang diperjuangkan. Dengan mengembangkan motivasi dalam diri individu, program tidak sekedar dipaksakan dari atas. Sebaliknya, ada rasa memiliki, rasa satu panggilan untuk menghayati dan melaksanakan setiap program pengembangan sebagai bagian dari tugas panggilan hidupnya di dunia.

Dengan motivasi moral, tampaklah bahwa setiap anggota komunitas menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral inti dalam hidup mereka. Untuk mendukung tumbuhnya motivasi internal yang muncul dari dalam, setiap tindakan bermoral baik mesti memperoleh penghargaan secara natural, pujian yang wajar. Upah perilaku bermoral yang baik adalah pujian tulus dari komunitas, kesadaran, dan kebanggaan diri bahwa individu tersebut menjadi contoh bagi integritas moral seorang pribadi. Rasa hormat dan pujian ini dilakukan secara wajar dan normal dalam setiap sisi kehidupan sekolah.

h. Pengembangan professional

Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh menyertakan pengembangan professional para pelakunya sebagai bagian penting. Tujuannya adalah pengayaan serta peningkatan kemampuan agar guru dapat menjadi pendidik karakter yang efektif, seperti lokakarya tentang cara mengajar yang baik dan efektif, teknik berkomunikasi dengan orang lain, manajemen kelas, dan lain sebagainya, yang dirasakan relevan bagi kinerja dan pengembangan tugas guru. Di sini dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan agar individu yang terlibat dalam dunia pendidikan bertumbuh secara sehat dan professional.

i. Kerja sama dengan banyak pihak

Metode pengembangan pendidikan karakter juga melibatkan berbagai macam pihak dalam komunitas pendidikan. keterlibatan semua pihak diperlukan karena pendidikan karakter menyangkut kepentingan seluruh anggota komunitas, terutama guru, staf pendidik, dan karyawan non-kependidikan. Keyakinan bersama (shared believed) mesti muncul pada hal-hal yang esensial: nilai-nilai dan keutamaan, prinsip-prinsip pendidkan karakter, dan nilai-nilai yang diprioritaskan dan ingin dikembangkan oleh lembaga pendidikan.

Selain itu, pendidikan karakter di lembaga pendidikan juga berusaha menjembatani dan menghubungkan pendidikan karakter dalam konteks tantanan perubahan masyarakat yang lebih luas. Integrasi dan kerja sama antara sekolah dengan masyarakat, terutama orang tua, merupakan sebuah keharusan. Lembaga pendidikan melibatkan komunitas yang lebih besar agar terlibat dalam pengembangan dan promosi pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Komunitas yang lebih luas itu antara lain kelompok bisnis, kelompok organisasi kepemudaan, organisasi pemerintah dan non-pemerintah.

  1. Terintegrasi dalam kurikulum

Metode pendidikan karakter yang terintegrasi dalam kurikulum ini mempergunakan berbagai macam materi pembelajaran yang ada dalam kurikulum demi pembentukan karakter siswa. Pembelajaran di dalam kelas mesti menghargai keunikan setiap peserta didik dan membantu mengembangkan karakter mereka.

Proses pembelajaran di kelas terarah pada pembentukan karakter siswa melalui pendalaman materi, baik tematis maupun non-tematis. Guru memiliki tanggung jawab dalam merancang dan mengembangkan pendidikan karakter dalam konteks kelas, yaitu melalui pengajaran, manajemen kelas dan pembuatan kesepakatan kelas yang mendukung tercapainya pengembangan belajar di dalam kelas. Melalui metode pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, menghargai perbedaan dalam belajar, dan perhatian pada pertumbuhan individu, diharapkan karakter siswa dapat berkembang.

  1. Memberikan ruang bagi tindakan

Setiap anggota komunitas diberikan ruang untuk bertindak dan mempraktikkan nilai-nilai yang diperjuangkan. Dalam hal ini, lembaga pendidikan memberikan harapan yang jelas tentang apa yang dapat mereka lakukan. Tujuannya agar para siswa terlibat dalam tindakan-tindakan yang terkait dengan pengembangan kehidupan moral mereka, baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Caranya adalah dengan memberikan penekanan pada unsur pengembangan tanggung jawab pribadi, sprotivitas dalam olah raga, kesediaan untuk membantu orang lain, dan pelayanan pada sekolah ataupun komunitas. Metode ini akan semakin efektif ketika lembaga pendidikan mampu memberikan pada siswa berbagai macam kesempatan dan kemungkinan untuk melaksanakan nilai-nilai itu dalam setiap kebijakan dan program yang dibuat oleh sekolah, yang membuat mereka terlibat aktif dalam kehidupan sekolah.

  1. Kepemimpinan pendidikan berkarakter

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

PENGARUH INTENSITAS MORAL, KARAKTER PERSONAL DAN KARAKTER ORGANISASI TERHADAP SENSITIVITAS ETIKA AUDITOR (STUDI EMPIRIS PADA KAP MALANG)

5 79 17

ANALISIS VALIDITAS BUTIR SOAL UJI PRESTASI BIDANG STUDI EKONOMI SMA TAHUN AJARAN 2011/2012 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN JEMBE

1 50 16

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

JUDUL INDONESIA: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO\ JUDUL INGGRIS: IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

1 56 92

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TANJUNG KARANG PERKARA NO. 03/PID.SUS-TPK/2014/PT.TJK TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DANA SERTIFIKASI PENDIDIKAN

6 67 59