Pengaruh Experiential Marketing dan Perceived value terhadap 1 Loyalitas Pelanggan The Mind Cafe di Jl. Dr. Mansyur Medan

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Pemasaran
2.1.1 Pengertian Pemasaran
Menurut Kotler (1993:4), pemasaran adalah proses sosial dan manajerial
dengan mana seseorang atau kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan
dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran produk dan nilai. Pemasaran
berarti bekerja dengan pasar guna mewujudkan pertukaran potensial untuk
kepentingan memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia. (Kotler, 1993: 12).
Sedangkan menurut American Marketing Association 1960 dalam Assauri
(2004:3), pemasaran adalah hasil prestasi kerja kegiatan usaha yang berkaitan
dengan mengalirnya barang dari produsen sampai ke konsumen.
Kebutuhan,
keinginan,
dan

Produk

Utilitas,
nilai, dan
kepuasan


Pertukaran,
transaksi,
dan
hubungan

Pasar

Pemasaran
& pemasar

Gambar 2.1 Konsep-konsep inti pemasaran
Sumber: Manajemen Pemasaran, Philip Kotler, hal. 4
Berikut ini beberapa definisi pemasaran lainnya dalam buku Manajemen
Pemasaran yang ditulis oleh Tjiptono (2005:2):
1. Pemasaran merupakan proses dimana struktur permintaan terhadap produk
diantisipasi atau diperluas dan dipuaskan melalui konsepsi, promosi,
distribusi, dan pertukaran barang
2. Fungsi pemasaran memprakarsai, menegosiasikan dan mengelola relasi
pertukaran dengan key interest groups dalam rangka mewujudkan


12
Universitas Sumatera Utara

keunggulan bersaing berkesinambungan dalam pasar-pasar spesifik (Day
& Wesley)
3. Pemasaran

merupakan

proses

manajemen

yang

mengidentifikasi,

mengantisipasi, dan memasok kebutuhan pelanggan secara efisien dan
menguntungkan (Chartered Institute of Marketing)

4. Pemasaran

bertujuan

untuk

menjalin,

mengembangkan,

dan

mengomersialisasikan hubungan dengan pelanggan untuk jangka panjang
sedemikian rupa sehingga tujuan masing-masing pihak dapat terpenuhi.
Hal ini dapat dilakukan melalui proses pertukaran dan saling memenuhi
janji (Gronroos)
5. Pemasaran didefinisikan sebagai aktivitas individual dan organisasional
yang memfasilitasi dan memperlancar hubungan pertukaran yang saling
memuaskan dalam lingkungan yang dinamis melalui pengembangan,
distribusi, promosi, dan penetapan harga barang, jasa, dan gagasan (Dibb,

Simkin, Pride & Ferrel)
6. Pemasaran merupakan pengantisipasian, pengelolaan, dan pemuasan
permintaan melalui proses pertukaran (Evans & Berman)
7. Pemasaran merupakan sistem total aktivitas bisnis yang dirancang untuk
merencanakan, menetapkan harga, mempromosikan dan mendistribusikan
produk, jasa, dan gagasan yang mampu memuaskan keinginan pasar
sasaran dalam rangka mencapai tujuan organisasional (Miller & Layton)
8. Pemasaran

merupakan

proses

manajemen

yang

berupaya

memaksimumkan laba (returns) bagi pemegang saham, dengan jalan


13
Universitas Sumatera Utara

menjalin relasi dengan pelanggan utama (valued customers) dan
menciptakan keunggulan kompetitif (Doyle).
2.2 Jasa
2.2.1 Pengertian Jasa
Beberapa pakar pemasaran jasa mendefinisikan jasa sebagai berikut.
A service is an activity or a series of activities which take place in
interactions with a contact person or physical machine and which
provides consumer satisfaction (Lehtinen dalam Lupiyoadi, 2001:5).
Jasa adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak
pada pihak lain dan pada dasarnya tidak berwujud, serta tidak menghasilkan
kepemilikan sesuatu (Kotler, 1993:96).
Selanjutnya, Valarie A. Zethaml and Mary Jo Bitner dalam Lupiyoadi
(2001:5) memberikan batasan tentang service (jasa) sebagai berikut:
Service is all economic activities whose output is not a physical product or
construction is generally consumed at that time it is produced, and
provides added value in forms (such as convenience, amusement, comfort

or health).
2.2.2 Karakteristik dan Klasifikasi Jasa
Produk jasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan barang (produk fisik).
Griffin dalam Lupiyoadi (2001:6) menyebutkan karakteristik tersebut sebagai
berikut:
1. Intangibility (tidak berwujud)

14
Universitas Sumatera Utara

Jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum jasa
itu dibeli. Nilai penting dari hal ini adalah nilai tidak berwujud yang
dialami konsumen dalam bentuk kenikmatan, kepuasan, atau rasa aman.
2. Unstorability
Jasa tidak mengenal persediaan atau penyimpanan dari produk yang telah
dihasilkan. Karakteristik ini disebut juga tidak dapat dipisahkan
(inseperability) mengingat pada umumnya jasa dihasilkan dan dikonsumsi
secara bersamaan.
3. Customization
Jasa juga sering kali didesain khusus untuk kebutuhan pelanggan,

sebagaimana pada jasa asuransi dan kesehatan.
Jasa juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuh kriteria menurut Lovelock
dalam Tjiptono (2005:26-28), yaitu:
1. Segmen pasar
Berdasarkan segmen pasar, jasa dapat dibedakan menjadi jasa yang
ditujukan pada konsumen aktif (misalnya taksi, asuransi jiwa, dan
pendidikan) dan jasa bagi konsumen organisasional (misalnya biro
periklanan,

jasa

akuntansi dan perpajakan,

dan

jasa

konsultasi

manajemen).

2. Tingkat keberwujudan
Kriteria ini berhubungan dengan tingkat keterlibatan produk fisik dengan
konsumen. Berdasarkan kriteria ini, jasa dapat dibedakan menjadi tiga
macam:
a. Rented-goods services

15
Universitas Sumatera Utara

Dalam jenis ini, konsumen menyewa dan menggunakan produk
tertentu berdasarkan tarif yang disepakati selama jangka waktu
tertentu. Konsumen hanya dapat menggunakan produk tersebut, karena
kepemilikannya

tetap

menyewakannya.

berada


Contohnya

pada

pihak

penyewaan

perusahaan

mobil,

video

yang
games,

VCD/DVD, villa, dan apartemen.
b. Owned-goods services
Pada tipe ini, produk-produk yang dimiliki konsumen direparasi,

dikembangkan

atau

ditingkatkan

untuk

kerjanya,

atau

dipelihara/dirawat oleh perusahaan jasa. Jenis jasa ini juga mencakup
perubahan bentuk pada produk yang dimiliki konsumen. Contohnya
jasa reparasi (arloji, sepeda motor, komputer, dan lain-lain).
c. Non-goods services
Karakteristik khusus pada jenis ini adalah jasa personal bersifat
intangible (tidak berbentuk produk fisik) ditawarkan kepada para
pelanggan. Contoh penyedia jasa tipe ini antara lain supir, dosen, tutor,
baby-sitter, pemandu wisata, penerjemah lisan, ahli kecantikan, pelatih

renang, dan lain-lain.
3. Keterampilan penyedia jasa
Berdasarkan tingkat keterampilan penyedia jasa, terdapat dua tipe pokok
jasa. Pertama, professional services (seperti

konsultan manajemen,

konsultan hukum, konsultasi perpajakan, konsultan sistem informasi,
pelayanan dan perawatan kesehatan, dan jasa arsitektur). Kedua, non-

16
Universitas Sumatera Utara

professional services (seperti jasa sopir taksi, tukang parkir, pengantar
surat, dan penjaga malam).
4. Tujuan organisasi jasa
Berdasarkan tujuan organisasi, jasa dapat diklasifikasikan menjadi
commercial services atau profit services (misalnya penerbangan, bank,
penyewaan mobil, bioskop, dan hotel) dan non-profit services (seperti
sekolah, yayasan dana bantuan, panti asuhan, panti wreda, perpustakaan
umum, dan museum).
5. Regulasi
Dari aspek regulasi, jasa dapat dibagi menjadi regulated services
(misalnya jasa pialang, angkutan umum, dan perbankan) dan non
regulated services (seperti jasa makelar, katering, kos dan asrama, serta
pengecatan rumah).
6. Tingkat intensitas karyawan
Berdasarkan tingkat intensitas karyawan (keterlibatan tenaga kerja), jasa
dapat dikelompokkan menjadi dua macam: equipment-based services
(seperti cuci mobil otomatis, jasa sambungan telepon jarak jauh, mesin
ATM, internet banking, vending machines, dan binatu) dan people basedservices (seperti pelatih sepak bola, satpam, akuntan, konsultan hukum,
dan

konsultan

manajemen).

People-based

services

masih

dapat

diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu tidak terampil, terampil dan
pekerja profesional (Kotler).
7. Tingkat kontak penyedia jasa dan pelanggan

17
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan tingkat kontak ini, secara umum, jasa dapat dibagi menjadi
high-contact services (seperti universitas, bank, dokter, penata rambut,
juru rias dan pegadaian) dan low contact services (misalnya bioskop dan
jasa layanan pos). Bila dikaitkan dengan tingkat intensitas karyawan (rasio
antara biaya tenaga kerja dan biaya modal) berdasarkan tingkat
interaksi/kontak penyedia jasa dan pelanggan ini dapat dirinci menjadi
empat tipe yaitu service factory, service shop, mass service, dan
professional service (Fitzsimmons & Fitzsimmons).
Sementara itu jasa masih dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori lainnya
(Lovelock & Yip dalam Tjiptono, 2005:30):
1. People processing services
Pelanggan menjadi bagian dari proses produksi yang berlangsung secara
simultan

dengan

proses

konsumsi.

Contohnya,

jasa

transportasi

penumpang dan jasa kesehatan. Dalam konteks ini, pelanggan harus
mendatangi tempat jasa disediakan atau sebaliknya, penyedia jasa harus
mendatangi lokasi pelanggan. Dalam kedua kasus ini, penyedia jasa harus
memiliki fasilitas geografis lokal (local geographic presence).
2. Possession-processing services
Tipe ini berkenaan dengan melakukan sesuatu atas produk fisik untuk
meningkatkan nilainya bagi pelanggan. Contohnya, reparasi kendaraan
bermotor, mengantarkan kiriman paket, merawat dan membersihkan
kantor, dan seterusnya. Fasilitas penyediaa jasa seperti ini bisa berada di
lokasi tertentu (fixed location) maupun bersifat mobil. Fasilitas geografis
lokal sangat diperlukan apabila penyedia jasa ingin menyediakan layanan

18
Universitas Sumatera Utara

di suatu lokasi secara rutin. Dalam beberapa kasus (misalnya,
telemedicine), pemanfaatan teknologi elektronik bisa mengatasi masalah
ketersediaan fasilitas secara fisik.
3. Information-based services
Tipe ini terdiri atas pengumpulan, interpretasi dan pengiriman data untuk
menciptakan nilai tambah, contohnya perbankan, jasa konsultasi,
akuntansi, dan pendidikan. Keterlibatan pelanggan dalam produksi jasa
semacam

ini

bisa

ditekan

hingga

minimum,

misalnya

dengan

menggunakan teknologi telekomunikasi.
2.3 Experiential Marketing
Ada dua jenis pemasaran, yakni pemasaran secara tradisional dan
pemasaran secara modern. Pemasaran modern telah mengalahkan pemasaran
secara tradisional dengan menggunakan pendekatan terhadap pengalaman
pelanggan dan pemasaran berdasarkan pengalaman (Kotler).
Experiential marketing adalah suatu konsep pemasaran yang bertujuan
membentuk pelanggan yang loyal dengan cara menyentuh emosi pelanggan
dengan menciptakan pengalaman-pengalaman positif dan memberikan suatu
feeling yang positif terhadap jasa dan produk mereka (Kertajaya dalam Yuwandha
dan Sri Rahayu, 2010:193). Experiential marketing merupakan sebuah pendekatan
untuk memberikan informasi yang lebih dari sekedar informasi mengenai sebuah
produk (Schmitt dalam Cahyadi, 2011:7).
Konsep experiential marketing yang dikemukakan oleh Schmitt (1999)
dalam Indriani (2006:32) menyatakan bahwa demi mendekati, mendapatkan dan
mempertahankan konsumen loyal, produsen melalui produknya menghadirkan

19
Universitas Sumatera Utara

pengalaman-pengalaman yang unik, positif, dan mengesankan kepada konsumen.
Prinsip pokok dari experiential marketing yaitu bagaimana membuat konsumen
lebih terlibat dengan produk/jasa baik secara fisik ataupun emosional. Sebab,
apabila produk/jasa tersebut mampu untuk menghadirkan pengalaman positif yang
tak terlupakan (memorable experience) yang menyentuh sisi afeksi mereka,
konsumen akan menjadi fanatik dan secara sadar (atau tidak sadar) akan mengajak
orang lain untuk mengkonsumsi produk tersebut (Schmitt, 1999 dalam Indriani,
2006, p.29).
Menurut Kertadjaya dalam Wiratmadja (2011:18), suatu produk memiliki
kemampuan lebih baik dalam menciptakan pengalaman dalam berbagai bentuk,
yaitu:
a. Membangun interaksi sensorial (sensory interactions), yaitu mempertegas
sensasi produk dan layanan yang diberikan, seperti yang dilakukan oleh
Absolute Vodka dengan kemasannya yang simple, tapi elegan
b. Membangun ketersediaan produk untuk membangun the experience of
having one seperti Starry Night dan Vincent Van Gogh yang laku jutaan
dollar
c. Menciptakan eksklusivitas produk dengan membentuk klub dan komunitas
pelanggan, seperti yang dilakukan Harley Davidson dengan Harley
Davidson Owner Club (HOC)
d. “Memanggungkan” produk dengan menciptakan event-event, tujuannya
untuk membawa pelanggan masuk ke proses bisnis perusahaan, apakah itu
dalam mendesain, memproduksi, mengemas, atau men-deliver produk
tersebut, seperti yang dilakukan Disney dengan theme park-nya.

20
Universitas Sumatera Utara

Menurut Schmitt dalam Wiratmadja (2011:20), ada empat ciri pokok yang
membedakan experiential marketing dengan traditional marketing, yaitu:
a. Fokus pada pengalaman pelanggan
Berbeda dengan traditional marketing yang lebih memfokuskan
pada masalah features dan benefits produk, experiential marketing
memfokuskan pada pengalaman-pengalaman pelanggan. Pengalaman itu
terjadi karena suatu proses dalam menghadapi, mengalami dan menjalani
berbagai

macam

situasi

dalam

hidupnya.

Pengalaman

tersebut

menstimulasi perasaan, hati dan pikiran pelanggan. Pengalaman tersebut
mendorong pelanggan untuk melakukan pembelian pada suatu merek
tertentu atau suatu perusahaan tertentu.
Pengalaman-pengalaman semacam inilah yang akan membuat
hubungan dengan perusahaan. Pelanggan akan lebih mempertimbangkan
pengalaman dalam pembelian suatu produk atau jasa, karena pengalaman
tersebut dapat mengganti nilai-nilai fungsional.
b. Menganalisis situasi konsumsi
Dalam experiential marketing, tidak berfokus pada produk atau
jasa atau persaingan, tetapi berpikir mengenai produk seperti apa yang
sesuai untuk situasi tertentu, bagaimana produk tersebut, bagaimana
pengemasannya, promosinya yang dapat membuat pengalaman yang
mengesankan bagi pelanggan.
Pemasaran experiential menciptakan sinergi dalam memasarkan
produknya. Contohnya adalah pesawat penerbangan Virgin. Virgin
memanfaatkan pengalaman penerbangan menjadi lebih menyenangkan

21
Universitas Sumatera Utara

dengan menghadirkan musik selama penerbangan, dan mengajak
konsumen menikmati film sambil menikmati minuman ringan dari Virgin.
Pengalaman dengan Virgin merupakan kombinasi antara penjualan,
hiburan, makanan, musik, dan perjalanan. Pemasar experiential sangat
tertarik dengan makna dari situasi konsumsi. Para peneliti seperti Russel
Belk, Melania Wallendrof dan John Sherry menyatakan bahwa para
konsumen modern memberikan arti jauh lebih besar kepada suatu produk
tersebut.
Perbedaan yang mendasar pada pemasaran experiential, yaitu
percaya bahwa kekuatan terbesar untuk mempengaruhi pelanggan atas
suatu merek terjadi setelah pembelian. Pengalaman sesudah pembelian
adalah kunci untuk menentukan kepuasan pelanggan dan loyalitas
pelanggan, sedangkan dalam pemasaran tradisional, fokus pada penjualan
dan kurang memperhatikan mengenai apa yang terjadi setelah pembelian.
c. Pelanggan bersifat rasional dan emosional
Pemasar experiential mengatakan bahwa para pelanggan bersifat
emosional dan rasional dalam mengkonsumsi suatu produk. Meskipun
pelanggan sering menggunakan rasio dalam mengkonsumsi suatu produk,
tetapi mereka juga sering terdorong oleh emosi karena pengalaman
konsumsi mereka untuk mencari hiburan dan kesenangan. Hal yang
penting adalah bahwa pelanggan tidak menggunakan rasio saja dalam
melakukan suatu pembelian atau konsumsi. Pelanggan menginginkan
hiburan, stimulasi, sentuhan emosional, dan kreativitas

22
Universitas Sumatera Utara

d. Metode yang digunakan bersifat elektik (elective) yaitu bisa memilih dari
berbagai sumber
Pemasar tradisional menggunakan metode analitik, kuantitatif, dan verbal.
Sedangkan pemasar experiential menggunakan cara yang lebih luas dan
beraneka ragam. Singkatnya, pemasar experiential tidak terbatas pada
suatu metode, tetapi metode apa saja yang dapat membantu mereka
menemukan ide yang sesuai.
Dalam membentuk perspektif yang berdasarkan experiential bagi konsumen,
penerapan experiential marketing harus didahului dengan mengidentifikasi
dengan matriks dua unsur experiential marketing, yaitu experiential modules dan
experiential providers (Schmitt, 1999 dalam Indriani, 2006, p.32).
2.3.1 Strategic Experiential Modules (SEMs)
Experiential modules terdiri dari lima unsur utama yang menitikberatkan pada
penciptaan persepsi positif tertentu di mata konsumen (Schmitt, 1999 dalam
Indriani, 2006, p.32), yaitu:
1. Sense marketing
Sense marketing merupakan tipe experience yang muncul untuk
menciptakan pengalaman panca indra melalui mata, mulut, kulit, lidah,
hidung (Schmitt, 1999, Yuwandha Anggia Putri & Sri Rahayu Tri Astuti,
2010, p.194). Sense marketing merupakan salah satu cara yang digunakan
untuk menyentuh emosi pelanggan dengan memberikan pengalaman yang
dapat diperoleh konsumen melalui panca indra yang mereka miliki melalui
produk dan service (Kertajaya, 2005, Yuwandha Anggia Putri & Sri
Rahayu Tri Astuti, 2010, p.194). Contohnya, pada saat konsumen datang

23
Universitas Sumatera Utara

ke sebuah hotel, mata akan melihat dekorasi dan layout hotel yang
menarik, ruangan hotel yang sejuk dan bersih, serta merasakan enaknya
makanan yang dihidangkan di restoran hotel. Pada dasarnya, sense
marketing dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap loyalitas. Suatu
produk dan jasa yang diberikan ke konsumen dimungkinkan tidak sesuai
dengan selera konsumen, sehingga konsumen akan loyal dan pada
akhirnya harga yang ditawarkan oleh produsen tidak menjadi masalah bagi
konsumen.
Dalam sense marketing, terdapat tiga kunci strategi yang dapat
digunakan untuk menstimulasi sense marketing:
a. Sense as differentiator
Pengalaman yang diperoleh melalui sense (panca indra) mungkin
melekat pada pelanggan karena mereka tampil secara unik dan spesial.
Cara yang dilakukan untuk menarik pelanggan melebihi batas normal,
sehingga produk dan jasa tersebut sudah memiliki ciri khusus yang ada
di benak konsumen.
b. Sense as motivator
Sense yang dapat memotivasi konsumen dengan tidak terlalu memaksa
konsumen, tetapi juga jangan terlalu acuh terhadap keinginan
konsumen.
c. Sense as value provider
Sense sebagai nilai tambah yang dapat memberikan pengalaman yang
unik kepada pelanggan, sense dipengaruhi oleh panca indra. Melalui
panca indra, konsumen dapat mengetahui nilai suatu produk.

24
Universitas Sumatera Utara

Dari tiga kunci tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan strategis dalam
sense marketing adalah untuk membedakan, memotivasi, dan untuk memberikan
nilai tambah kepada pelanggan yang fokus pada sense (Schmitt, 1999, Yuwandha
Anggia Putri & Sri Rahayu Tri Astuti, 2010, p.194).
2. Feel marketing
Feel marketing merupakan tipe experience yang muncul untuk menyentuh
perasaan terdalam dan emosi pelanggan dengan tujuan menciptakan
pengalaman yang efektif (Schmitt, 1999, Yuwandha Anggia Putri & Sri
Rahayu Tri Astuti, 2010, p.194). Feel marketing adalah bagian yang
sangat penting dalam strategi experiential marketing. Feel dapat dilakukan
dengan service atau layanan yang baik, seperti keramahan dan kesopanan
karyawan. Pelayanan yang menarik akan menciptakan feel good bagi
konsumen. Agar konsumen dapat mendapatkan feel yang kuat terhadap
produk dan jasa, maka produsen harus mampu memperhitungkan mood
yang sedang dialami konsumen. Kebanyakan konsumen akan menjadi
pelanggan apabila mereka merasa cocok terhadap barang dan jasa yang
ditawarkan. Untuk itu, diperlukan waktu yang tepat yaitu pada saat
konsumen berada pada kondisi good mood, sehingga produk dan jasa
tersebut dapat memberikan memorable experience sehingga berdampak
positif pada loyalitas konsumen.
3. Think marketing
Think marketing merupakan tipe experience yang bertujuan untuk
menciptakan kognitif, pemecahan masalah yang mengajak konsumen
untuk berpikir kreatif (Schmitt, 1999, Yuwandha Anggia Putri & Sri

25
Universitas Sumatera Utara

Rahayu Tri Astuti, 2010, p.194). Think marketing adalah salah satu cara
yang

dilakukan

perusahaan

untuk

mengubah

komoditi

menjadi

pengalaman (experience) dengan melakukan customization secara terus
menerus (Kertajaya, 2005, Yuwandha Anggia Putri & Sri Rahayu Tri
Astuti, 2010, p.194).
Dalam think marketing, terdapat dua konsep, yaitu:
a. Convergent thinking
Bentuk yang spesifik dari convergent thinking adalah pemikiran yang
muncul meliputi problem-problem rasional yang dapat dinalar.
b. Divergent thinking
Divergent thinking meliputi kemampuan untuk memunculkan ide baru,
fleksibilitas (kemampuan untuk menyesuaikan dengan adanya
perusahaan), kemampuan untuk memunculkan ide-ide yang luar biasa.
Perusahaan harus selalu tanggap dengan kebutuhan dan keluhan
konsumennya, terutama dengan persaingan bisnis yang semakin ketat, perusahaan
dituntut untuk selalu berpikir kreatif. Salah satunya mengadakan program yang
melibatkan pelanggan, misalnya memberikan harga khusus bagi pelanggan
korporat. Dengan memberikan sesuatu hal yang menyenangkan pelanggan, maka
akan membuat pelanggan merasa puas dan kembali di kemudian hari.
4. Act marketing
Act marketing merupakan tipe experience yang bertujuan untuk
mempengaruhi perilaku, gaya hidup, dan interaksi dengan konsumen
(Schmitt, 1999, Yuwandha Anggia Putri & Sri Rahayu Tri Astuti, 2010,
p.195). Act marketing adalah salah satu cara untuk membentuk persepsi

26
Universitas Sumatera Utara

pelanggan terhadap produk dan jasa yang bersangkutan (Kertajaya, 2005,
Yuwandha Anggia Putri & Sri Rahayu Tri Astuti, 2010, p.195).
Act marketing merupakan bagian dari Strategic Experiential Modules
(SEMs). Act marketing didesain untuk menciptakan pengalaman konsumen
dalam hubungannya dengan physical body, lifestyles, dan interaksi dengan
orang lain. Contohnya, dalam jasa perhotelan adalah penyambutan tamu
dengan ramah, dsb. Hal ini dapat memberikan pengalaman kepada
pelanggan agar merasa betah dan nyaman. Ketika act marketing ini
mampu mempengaruhi gaya hidup konsumennya, maka act marketing
dikatakan berpengaruh positif terhadap loyalitas konsumen.
5. Relate marketing
Relate marketing merupakan tipe experience yang digunakan untuk
mempengaruhi konsumen dalam menggabungkan seluruh aspek sense,
feel, think, dan act serta menitikberatkan pada persepsi positif di mata
konsumen (Schmitt, 1999, Yuwandha Anggia Putri & Sri Rahayu Tri
Astuti, 2010, p.195). Relate marketing merupakan salah satu cara untuk
membentuk

atau

menciptakan

komunitas

pelanggan

dengan

berkomunikasi (Kertajaya, 2005, Yuwandha Anggia Putri & Sri Rahayu
Tri Astuti, 2010, p.195).
Relate marketing merupakan bagian dari Strategic Experiential Modules
(SEMs). Relate marketing menggabungkan aspek sense, feel, think, dan
act dengan maksud mengaitkan individu dengan apa yang ada di luar
dirinya dan mengimplementasikan hubungan antara other people dan other
social group sehingga mereka merasa bangga dan diterima di

27
Universitas Sumatera Utara

komunitasnya. Relate marketing dapat berpengaruh positif maupun negatif
terhadap loyalitas konsumen. Ketika relate marketing dapat membuat
seseorang bangga untuk masuk ke dalam komunitas tertentu, maka akan
memberikan pengaruh yang negatif terhadap loyalitas konsumen. Contoh
relate marketing yaitu Hotel “X” menjalin kerjasama dengan instansi atau
perusahaan lain, sehingga tercipta suatu image yang positif di mata
masyarakat.
2.3.2 Alat-alat Penting dari Experiential Marketing: Experiential Providers
(ExPros)
Experience Providers (ExPros) merupakan komponen implementasi taktis dalam
tahap penyelesaian pemasaran untuk menciptakan kampanye sense, feel, think,
act, dan relate. Alat-alat penting yang diperlukan dalam pelaksanaan experiential
marketing adalah (Schmitt, 1999 dalam Prayogi, 2007, p.19):
a. Komunikasi: mencakup periklanan, komunikasi internal, dan eksternal
perusahaan sebaik kampanye hubungan publik (public relations) terhadap
merek.
b. Identitas visual/verbal: mencakup nama, logo, dan lambang.
c. Kehadiran

produk:

mencakup

desain

produk,

pengemasan

dan

penampakan produk, dan karakter merek yang digunakan sebagai bagian
dari pengemasan dan poin dari material penjualan.
d. Co-branding (kerja sama merek): mencakup event marketing dan
sponsorship, aliansi dan partnership, perizinan, penempatan produk dalam
film, kerja sama kampanye dan tipe lain dari pengaturan kerja sama.

28
Universitas Sumatera Utara

e. Lingkungan: mencakup bangunan, kantor, jarak pabrik, retail dan jarak
publik, dan perdagangan.
f. Website dan media elektronik.
g. Orang: mencakup sales people, perwakilan perusahaan, penyedia jasa,
penyedia pelayanan pelanggan dan siapa saja yang terlibat dengan
perusahaan merek.
2.4 Perceived value
Nilai yang dipersepsikan pelanggan (customer perceived value) menurut
Kotler dan Lane (2009: 136) adalah selisih antara penilaian pelanggan prospektif
atas semua manfaat dan biaya dari suatu penawaran terhadap alternatifnya. Kotler
dan Lane mendefinisikan total manfaat pelanggan (total customer benefit) sebagai
nilai moneter kumpulan manfaat ekonomi, fungsional, dan psikologis yang
diharapkan pelanggan dari suatu penawaran pasar yang disebabkan oleh produk,
jasa, personel dan citra yang terlibat. Sedangkan total biaya pelanggan (total
customer cost) adalah kumpulan biaya yang dipersepsikan yang diharapkan
pelanggan untuk dikeluarkan dalam mengevaluasi, mendapatkan, menggunakan,
dan menyingkirkan suatu penawaran pasar, termasuk biaya moneter, waktu,
energi, dan psikologis.
Perceived value menurut Agarwal dan Teas (2001) dalam Dewi (2012:57)
ialah trade off antara kualitas dan pengorbanan yang dilakukan yang akan
membawa dampak dimana kualitas memiliki hubungan positif terhadap nilai dan
pengorbanan memiliki hubungan negatif terhadap nilai persepsian.
Menurut Lai (2004) dalam Ivonny Chandra dan Hartono Subagio (2013:3),
perceived value adalah penilaian konsumen secara keseluruhan terhadap manfaat

29
Universitas Sumatera Utara

produk dengan didasarkan pada apa yang mereka terima dan apa yang mereka
berikan. Sedangkan menurut Payne dan Holt (2001) dalam Ivonny Chandra dan
Hartono Subagio (2013:3), customer perceived value adalah trade off antara
manfaat yang dipersepsikan dan pengorbanan yang dipersepsikan (atau
konsekuensi positif dan negatif).
Kotler dan Lane (2009:37) lebih lanjut menjelaskan langkah-langkah dalam
analisis nilai pelanggan:
1. Mengidentifikasi atribut dan manfaat utama yang dinilai pelanggan
Pelanggan ditanyai apa tingkat atribut, manfaat dan kinerja yang mereka
cari dalam memilih produk dan penyedia layanan.
2. Menilai arti penting kuantitatif dari atribut dan manfaat yang
berbeda
Pelanggan diminta memeringkat arti penting berbagai atribut dan manfaat.
Jika peringkat mereka jauh berbeda, pemasar harus mengelompokkan
mereka ke dalam berbagai segmen.
3. Menilai kinerja perusahaan dan pesaing berdasarkan nilai pelanggan
yang berbeda dan membandingkannya dengan peringkat arti
pentingnya
Pelanggan menggambarkan di tingkat mana mereka melihat kinerja
perusahaan dan pesaing pada setiap atribut dan manfaat
4. Mempelajari

bagaimana

pelanggan

dalam

segmen

tertentu

menentukan peringkat kinerja perusahaan terhadap pesaing utama
tertentu berdasarkan suatu atribut atau manfaat

30
Universitas Sumatera Utara

Jika tawaran perusahaan melebihi tawaran pesaing atas semua atribut dan
manfaat penting, perusahaan dapat mengenakan harga yang lebih tinggi
(sehingga menghasilkan laba yang lebih tinggi), atau perusahaan dapat
mengenakan harga yang sama dan mendapatkan pangsa pasar yang lebih
banyak.
5. Mengamati nilai pelanggan sepanjang waktu
Secara berkala, perusahaan harus mengulangi studi nilai pelanggan dan
posisi pesaing ketika terjadi perubahan dalam hal ekonomi, teknologi, dan
fitur.
Menurut Sweeney dan Soutar (2001:208) dalam Tjiptono (2005:298) pengukuran
perceived value dibentuk oleh empat aspek:
1. Emotional value, yaitu utilitas yang berasal dari perasaan atau
afektif/emosi positif yang ditimbulkan dari mengkonsumsi suatu produk.
2. Social value, yaitu utilitas yang didapatkan dari kemampuan produk untuk
meningkatkan konsep diri (sosial) konsumen.
3. Quality/performance value, yaitu utilitas yang diperoleh dari persepsi
terhadap kualitas atau kinerja yang diharapkan atas suatu produk.
4. Price/value for money, yakni utilitas yang didapatkan dari produk
dikarenakan reduksi biaya jangka pendek dan jangka panjang.
2.5 Loyalitas Pelanggan
2.5.1 Definisi Loyalitas
Oliver dalam Hurriyati (2005:128) mengungkapkan definisi loyalitas pelanggan
sebagai berikut:

31
Universitas Sumatera Utara

Customer loyalty is deefly held commitment to rebuy repatronize a
preffered product or service consistently the future, despite situational
influences and marketing efforts having the potential to cause switching
behavior.
Dari definisi di atas terlihat bahwa loyalitas adalah komitmen pelanggan
secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang
produk/jasa terpilih secara konsisten di masa yang akan datang, meskipun
pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk
menyebabkan perubahan perilaku (Hurriyati, 2005:128).
Loyalitas menurut Hermawan (2003:126) dalam Hurriyati (2005:128),
merupakan bentuk manifestasi dari kebutuhan fundamental manusia untuk
memiliki, men-support, mendapatkan rasa aman dan membangun keterikatan serta
menciptakan emotional attachment.
Aaker dalam Kartajaya (2009:130) juga mengungkapkan “Brand loyalty is
a measure of the attachment that customer has to a brand.” Dari definisi tersebut,
dijelaskan bahwa definisi loyalitas adalah keterikatan pelanggan terhadap suatu
merek.
Selanjutnya Griffin (2002:13) dalam Hurriyati (2005:129) menyatakan,
“Loyalty is defined as non random purchase expressed over time by some decision
making unit.” Berdasarkan definisi tersebut, dapat dijelaskan bahwa loyalitas
lebih mengacu pada wujud perilaku dari unit-unit pengambilan keputusan untuk
melakukan pembelian secara terus-menerus terhadap barang/jasa suatu perusahaan
yang dipilih (Hurriyati, 2005:129).

32
Universitas Sumatera Utara

Sheth dan Mittal (2004) dalam Tjiptono (2005:387) mendefinisikan
loyalitas pelanggan sebagai komitmen pelanggan terhadap suatu merek, toko atau
pemasok, berdasarkan sikap yang sangat positif dan tercermin dalam pembelian
ulang yang konsisten. Sementara itu, loyalitas pelanggan dalam konteks
pemasaran jasa didefinisikan oleh Bendapudi & Berry (1997) dalam Tjiptono
(2005:387) sebagai respons yang terkait erat dengan ikrar atau janji untuk
memegang teguh komitmen yang mendasari kontinuitas relasi, dan biasanya
tercermin dalam pembelian berkelanjutan dari penyedia jasa yang sama atas dasar
dedikasi maupun kendala pragmatis.
2.5.2 Karakteristik Loyalitas Pelanggan
Griffin (2003:31) menyatakan bahwa karakteristik pelanggan ialah sebagai
berikut:
1. Melakukan pembelian berulang secara teratur
2. Membeli antarlini produk dan jasa
3. Mereferensikan kepada orang lain
4. Menunjukkan kekebalan terhadap tarikan dari pesaing
2.5.3 Langkah-langkah Menuju Loyalitas
Griffin (2003: 19- 20) mengemukakan ada lima langkah-langkah menuju
loyalitas:
1. Kesadaran
Langkah pertama menuju loyalitas dimulai dengan kesadaran akan produk.
Pada tahap ini, perusahaan mulai membentuk “pangsa pikiran” yang
dibutuhkan untuk memposisikan ke dalam pikiran calon pelanggan bahwa
produk atau jasa perusahaan lebih unggul dari pesaing. Kesadaran dapat

33
Universitas Sumatera Utara

timbul dengan berbagai cara: iklan konvensional (radio, TV, surat kabar,
billboards), iklan di web, e-mail, dll).
2. Pembelian awal
Pembelian pertama-kali merupakan langkah penting dalam memelihara
loyalitas. Baik itu dilakukan secara online atau pun offline, pembelian
pertama-kali

merupakan

pembelian

percobaan.

Perusahaan

dapat

menanamkan kesan positif atau negatif kepada pelanggan dengan produk
atau jasa yang diberikan, mudahnya transaksi pembelian aktual, hubungan
dengan pegawai, lingkungan fisik toko, dan bahkan waktu loading
halaman situs web perusahaan atau mudahnya navigasi.
3. Evaluasi pasca-pembelian
Setelah pembelian dilakukan, pelanggan secara sadar atau tidak sadar akan
mengevaluasi transaksi. Bila pembeli merasa puas, atau ketidakpuasannya
tidak terlalu mengecewakan sampai dapat dijadikan dasar pertimbangan
beralih ke pesaing.
4. Keputusan membeli kembali
Komitmen untuk membeli kembali merupakan sikap yang paling penting
bagi loyalitas, bahkan lebih penting dari kepuasan. Singkatnya, tanpa
pembelian berulang, tidak ada loyalitas. Motivasi untuk membeli kembali
berasal dari lebih tingginya sikap positif yang ditujukan terhadap produk
atau jasa tertentu, dibanding sikap positif terhadap produk atau jasa
alternatif yang potensial. Keputusan membeli kembali sering kali
merupakan langkah selanjutnya yang terjadi secara alamiah bila pelanggan
telah memiliki ikatan emosional yang kuat dengan produk tertentu

34
Universitas Sumatera Utara

5. Pembelian kembali
Langkah akhir dari siklus pembelian adalah pembelian kembali yang
aktual. Untuk dapat dianggap benar-benar loyal, pelanggan harus terus
membeli kembali dari perusahaan yang sama, mengulangi langkah ketiga
sampai kelima sampai berkali-kali. Hambatan terhadap peralihan dapat
mendukung pelanggan untuk membeli kembali. Pelanggan yang benarbenar loyal, menolak pesaing dan membeli kembali dari perusahaan yang
sama kapan saja item itu dibutuhkan. Itu adalah jenis pelanggan yang
harus didekati, dilayani dan dipertahankan.
2.5.4 Tahap-tahap Loyalitas
Tahap-tahap loyalitas pelanggan menurut Griffin (2003:35) ialah:
1. Tahap satu: suspect
Tersangka (suspect) adalah orang yang mungkin membeli produk atau
jasa. Kita menyebutnya tersangka karena kita percaya, atau “menyangka”,
mereka akan membeli, tetapi kita masih belum cukup yakin.
2. Tahap dua: prospek
Prospek adalah orang yang membutuhkan suatu produk atau jasa dan
memiliki kemampuan membeli. Meskipun prospek belum membeli, ia
mungkin telah mendengar tentang produk atau jasa tersebut, membaca
tentangnya, atau ada seseorang yang merekomendasikan produk tersebut
kepadanya. Prospek mungkin tahu siapa, di mana, dan apa yang dijual
suatu perusahaan atau bisnis, tetapi mereka masih belum membeli.
3. Tahap tiga: prospek yang didiskualifikasi

35
Universitas Sumatera Utara

Prospek yang didiskualifikasi adalah prospek yang telah cukup dipelajari
oleh perusahaan untuk mengetahui bahwa mereka tidak membutuhkan,
atau tidak memiliki kemampuan membeli produk suatu perusahaan.
4. Tahap empat: pelanggan pertama-kali
Pelanggan pertama-kali adalah orang yang telah membeli satu kali. Orang
tersebut bisa jadi merupakan pelanggan dan sekaligus juga pelanggan
pesaing.
5. Tahap lima: pelanggan berulang
Pelanggan berulang adalah orang-orang yang telah membeli dua kali atau
lebih. Mereka mungkin telah membeli produk yang sama dua kali atau
membeli dua produk atau jasa yang berbeda pada dua kesempatan atau
lebih.
6. Tahap enam: klien
Klien membeli apa pun yang dijual suatu perusahaan dan dapat ia
gunakan. Orang ini membeli secara teratur. Perusahaan membeli hubungan
yang kuat dan berlanjut, yang menjadikannya kebal terhadap tarikan
pesaing.
7. Tahap tujuh: penganjur (advocate)
Seperti klien, pendukung membeli apa pun yang dijual suatu perusahaan
dan dapat ia gunakan serta membelinya secara teratur. Tetapi, penganjur
juga mendorong orang lain untuk membeli dari perusahaan tersebut. Ia
membicarakan

perusahaan

tersebut,

melakukan

pemasaran

bagi

perusahaan tersebut, dan membawa pelanggan kepada perusahaan.

36
Universitas Sumatera Utara

2.5.5 Jenis-jenis Loyalitas
Menurut Griffin (2003: 22-23), ada empat jenis loyalitas, yaitu:
1. Tanpa loyalitas
Pada jenis ini, pelanggan tidak mengembangkan loyalitas terhadap produk
atau jasa tertentu. Secara umum, perusahaan harus menghindari membidik
para pembeli jenis ini, karena mereka tidak akan pernah menjadi
pelanggan yang loyal. Mereka hanya akan berkontribusi sedikit pada
kekuatan keuangan perusahaan. Tantangannya adalah menghindari
membidik sebanyak mungkin orang-orang seperti ini dan lebih memilih
pelanggan yang loyalitasnya dapat dikembangkan.
2. Loyalitas yang lemah
Keterikatan yang rendah digabung dengan pembelian berulang yang tinggi
menghasilkan loyalitas yang lemah (inertia loyalty). Pelanggan ini
membeli karena kebiasaan. Ini adalah jenis pembelian “karena kami selalu
mengutamakannya” atau “karena sudah terbiasa”. Dengan kata lain, faktor
nonsikap dan faktor situasi merupakan alasan utama membeli. Perusahaan
bisa mengubah loyalitas lemah ke loyalitas lemah ke dalam bentuk
loyalitas yang lebih tinggi dengan secara aktif mendekati pelanggan dan
meningkatkan diferensiasi positif di benak pelanggan mengenai suatu
produk atau jasa dibanding produk lain.
3. Loyalitas tersembunyi
Tingkat preferensi yang relatif tinggi digabung dengan tingkat pembelian
berulang yang rendah menunjukkan loyalitas tersembunyi (latent loyalty).

37
Universitas Sumatera Utara

Bila pelanggan memiliki loyalitas yang tersembunyi, pengaruh situasi dan
bukan pengaruh sikap yang menentukan pembelian berulang.
4. Loyalitas premium
Yaitu jenis loyalitas yang paling dapat ditingkatkan, terjadi bila ada
tingkat keterikatan yang tinggi dan tingkat pembelian berulang yang juga
tinggi. Pada tingkat preferensi paling tinggi tersebut, orang bangga karena
menemukan dan menggunakan produk tertentu dan senang membagi
pengetahuan mereka dengan rekan dan keluarga.
Pembelian berulang
Tinggi

Rendah

Tinggi

Loyalitas premium

Loyalitas tersembunyi

Rendah

Loyalitas yang lemah

Tanpa loyalitas

Keterikatan
relatif

Gambar 2.2 Empat Jenis Loyalitas
Sumber: Griffin, Jill. Customer Loyalty, 2003

2.5.6 Tingkatan Loyalitas
Ada lima tingkatan loyalitas menurut Kartajaya (130-131), yakni:
1. Switchers/price sensitive
Pada tingkat ini, pelanggan tidak loyal kepada merek atau belum memiliki
brand equity yang kuat. Setiap merek dipersepsikan memberikan kepuasan
yang cukup. Nama merek berperan kecil dalam keputusan pembelian
mereka. Pada tingkatan ini, pelanggan sensitif dengan penawaran yang

38
Universitas Sumatera Utara

lebih murah. Untuk produk bagi segmen menengah ke bawah, harga
sangat berpengaruh terhadap keputusan pembelian.
2. Satisfied/habitual buyer
Pada tingkat ini, pelanggan merasa puas terhadap produk atau setidaknya
merasa tidak puas terhadap produk perusahaan. Pelanggan juga sensitif
terhadap benefit baru yang ditawarkan kepada mereka. Sebagai contoh:
pasar yang terbiasa makan permen rasa mint cenderung memilih permen
apa saja asal memiliki rasa mint. Biasanya pada tingkatan ini, pasar
memilih produk yang fast moving dan diferensiasi kecil.
3. Satisfied buyer with switching cost
Pelanggan merasa puas terhadap produk. Mereka harus mengeluarkan
biaya tertentu apabila ingin berpindah merek. Pada tingkatan ini,
pelanggan sensitif dengan benefit yang dapat melampaui biaya beralih
merek. Sebagai contoh: penumpang pesawat kelas bisnis merasa lebih
puas meski harganya lebih mahal dibanding kelas ekonomi, karena kelas
bisnis menawarkan benefit. Meski penumpang harus membayar lebih
untuk kelas bisnis.
4. Committed buyer
Pelanggan memiliki rasa bangga menggunakan produk yang ditawarkan
perusahaan. Mereka merekomendasikan merek yang sama kepada orang
lain. Pada tingkatan ini, merek produk memiliki brand equity yang kuat di
mata pelanggan. Sebagai contoh, pasar pada tingkatan ini sangat tidak
terpengaruh dengan penawaran pesaing.

39
Universitas Sumatera Utara

2.5.7 Manfaat Loyalitas
Griffin (2002:13) dalam Hurriyati (2005:129) mengemukakan keuntungankeuntungan yang diperoleh perusahaan apabila memiliki pelanggan yang loyal
antara lain:
1. Dapat mengurangi biaya pemasaran (karena biaya untuk menarik
pelanggan yang baru lebih mahal)
2. Dapat mengurangi biaya transaksi
3. Dapat mengurangi biaya turn over konsumen (karena penggantian
konsumen yang lebih sedikit)
4. Dapat meningkatkan penjualan silang, yang akan memperbesar pangsa
pasar perusahaan
5. Mendorong word of mouth yang lebih positif, dengan asumsi bahwa
pelanggan yang loyal juga berarti mereka yang merasa puas
6. Dapat mengurangi biaya kegagalan (seperti biaya penggantian, dll).

2.5.8 Pengukuran Loyalitas
Menurut Aaker (1991:45-46) dalam Durianto, Sugiarto dan Sitinjak (2001:132134), ada lima variabel dalam pengukuran loyalitas:
1. Behavior measures (pengukuran perilaku)
Suatu cara langsung untuk menetapkan loyalitas, terutama untuk habitual
behavior (perilaku kebiasaan) adalah dengan memperhitungkan pola
pembelian yang aktual. Loyalitas pelanggan sangat bervariasi di antara
beberapa kelas produk, tergantung jumlah merek yang bersaing dan
karakteristik produk tersebut.

40
Universitas Sumatera Utara

2. Pengukuran switching cost
Pengukuran terhadap variabel ini dapat mengindikasikan loyalitas
pelanggan terhadap suatu merek. Pada umumnya, jika biaya untuk
berganti merek sangat mahal, pelanggan akan enggan untuk berganti
merek sehingga laju penyusutan dari kelompok pelanggan dari waktu ke
waktu akan rendah.
3. Measuring satisfaction (pengukuran kepuasan)
Pengukuran terhadap kepuasan maupun ketidakpuasan pelanggan suatu
merek merupakan indikator penting dari loyalitas. Bila ketidakpuasan
pelanggan terhadap suatu merek rendah, maka pada umumnya, tidak
cukup alasan bagi pelanggan untuk beralih mengkonsumsi merek lain
kecuali bila ada faktor-faktor penarik yang sangat kuat. Dengan demikian,
sangat perlu bagi perusahaan untuk mengeksplor informasi dari pelanggan
yang memindahkan pembeliannya ke merek lain dalam kaitannya dengan
permasalahan yang dihadapi oleh pelanggan ataupun alasan yang terkait
dengan ketergesaan mereka memindahkan pilihannya.
4. Measuring liking the brand (pengukuran kesukaan terhadap merek)
Kesukaan terhadap merek, kepercayaan, perasaan-perasaan hormat atau
bersahabat dengan suatu merek membangkitkan kehangatan dalam
perasaan pelanggan. Akan sangat sulit bagi merek lain untuk dapat
menarik pelanggan yang sudah mencintai merek hingga pada tahapan ini.
Pelanggan dapat saja sekedar suka pada suatu merek dengan alasan yang
tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui persepsi dan kepercayaan
mereka yang terkait dengan atribut merek. Ukuran dari rasa suka tersebut

41
Universitas Sumatera Utara

dapat dicerminkan dengan kemauan untuk membayar dengan harga yang
lebih mahal untuk memperoleh merek tersebut.
5. Pengukuran komitmen
Merek dengan brand equity yang tinggi akan memiliki sejumlah besar
pelanggan yang setia dengan segala bentuk komitmennya. Salah satu
indikator kunci adalah jumlah interaksi dan komunikasi yang berkaitan
dengan produk tersebut. Kesukaan pelanggan terhadap suatu merek akan
mendorong mereka untuk membicarakan merek tersebut kepada pihak
lain, baik dalam taraf sekedar menceritakan mengenai alasan pembelian
mereka terhadap merek tersebut atau bahkan pada tiba pada taraf
merekomendasikannya kepada orang lain untuk mengkonsumsi merek
tersebut. Indikator lain adalah sejauh mana tingkat kepentingan merek
tersebut bagi seseorang berkenaan dengan aktivitas dan kepribadian
mereka, misalnya manfaat atau kelebihan yang dimiliki dalam kaitannya
dengan penggunaannya.
2.6 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No
1.

Peneliti
Shartika
Purnama
Dewi

Judul
Penelitian
Pengaruh
Experiential
Marketing
terhadap
Pembentuka
n Loyalitas
Pelanggan
7-Eleven

Variabel yang
Diteliti
1. Experientia
l Marketing
(x)
2. Loyalitas
Pelanggan
(y)

Metode
Penelitian
Analisis regresi
linier berganda,
riset kausal,
analisis deskriptif
dan kuantitatif

Hasil Penelitian
1.Faktor feel
secara parsial
berpengaruh
signifikan
terhadap loyalitas
pelanggan 7Eleven
2.Variabel sense,
feel, think, act dan
relate secara
simultan
berpengaruh

42
Universitas Sumatera Utara

2.

Eko Budi
Prayogi

Analisis
Pengaruh
Experiential
Marketing
terhadap
Loyalitas
Konsumen
Coffee
Shop De
Koffie Pot
Bogor

1. Experientia
l Marketing
(x)
2. Loyalitas
konsumen
(y)

3.

Meity
Purwaningru
m

1. Experientia
l Marketing
(x)
2. Word of
mouth (y)

4.

Krishna
Padja
Kurniawan

Pengaruh
Experiential
Marketing
Yamaha
Mio
terhadap
Word of
Mouth
Konsumen
Faktorfaktor
Experiential
Marketing
dan
Emotional
Branding
(EXEM)
yang
Dipertimba
ngkan
dalam
Pembentuka
n Loyalitas

1. Experientia
l marketing
(x1)
2. Emotional
branding
(x2)
3. Loyalitas
konsumen
(y)

signifikan
terhadap variabel
loyalitas
pelanggan 7Eleven
Analisis faktor,
Terdapat tiga
analisis
faktor-faktor
diskriminan
experiential
marketing yang
berpengaruh
terhadap loyalitas
konsumen Coffee
Shop De Koffie
Pot Bogor, yaitu
faktor experience
(indera , perasaan,
identitas, produk,
dan lingkungan),
faktor komunikasi
(komunikasi, cobranding, website
dan orang),
situasional
(pilihan, aksi dan
hubungan)
Analisis statistik
Variabel sense,
deskriptif dan
feel, think, act,
inferesial
dan relate
termasuk dalam
kategori tinggi
dalam
mempengaruhi
word of mouth
Yamaha Mio
Analisis
Faktor komponen
deskriptif, analisis komunikasi ke
faktor, analisis
dialog, website,
diskriminan
fungsi ke
perasaan,
kemasyuran ke
aspirasi,
pelayanan ke
hubungan,
konsumen ke
manusia,
ubikuitas ke
kehadiran
merupakan faktor

43
Universitas Sumatera Utara

Konsumen
Kafe Kopi
X

5.

Hendry
Awang
Nurcahyadi

Pengaruh
Experiential
Marketing
terhadap
Tingkat
Kepercayaa
n dan
Loyalitas
Pelanggan
pada EF
(English
First)
Jember

1. Experientia
l marketing
(x1)
2. Kepercayaa
n (y1)
3. Loyalitas
konsumen
(y2)

Analisis SEM
(Structural
Equation
Modelling)

dominan yang
dipertimbangkan
dalam
pembentukan
grup pasca
pembelian repeat
customer oleh
pelanggan Kafe
Kopi X.
Sedangkan faktor
komponen cobranding,
lingkungan, dan
identitas ke
kepribadian
merupakan faktor
dominan dalam
pembentukan
grup pasca
pembelian clients
dan advocates.
Experiential
marketing
berpengaruh
signifikan
terhadap
kepercayaan
pelanggan EF
Jember dengan
sense sebagai
indikator yang
paling
memengaruhi dan
feel sebagai
indikator yang
paling sedikit
berpengaruh.
Kepercayaan
berpengaruh
signifikan
terhadap loyalitas
pelanggan dengan
arah positif.

Sumber: Data diolah dari berbagai sumber

44
Universitas Sumatera Utara

2.7 Kerangka Berpikir

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual
Sumber: Data diolah
Variabel independen:
1. Sense (X1)
2. Feel (X2)
3. Think (X3)
4. Act (X4)
5. Relate (X5)
6. Perceived value (X6)
Variabel dependen:
Loyalitas pelanggan (Y)

45
Universitas Sumatera Utara