Pengaruh Perendaman Asap Cair Terhadap Daya Simpan Daging Domba

TINJAUAN PUSTAKA
Daging Domba
Daging adalah salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia.Selain penganekaragaman sumber pangan, daging dapat
menimbulkan kepuasan atau kenikmatan bagi yang memakannya karena
kandungan gizinya lengkap, sehingga keseimbangan gizi untuk hidup dapat
terpenuhi oleh masyarakat yang mengkonsumsi daging domba tersebut (Soeparno,
2005).
Defenisi daging terbatas pada beberapa 3000 spesies mamalia yang
dikenal, sering pula diperluas dengan memasukkan organ-organ seperti hati dan
ginjal, otot dan jaringan lain yang dapat dimakan atau dikonsumsi. Variasi yang
sangat banyak dalam kualitas penyimpanan daging, selalu terlihat semu oleh
konsumen.Pendapat yang mengatakan bahwa variabilitas dalam beberapa serat
daging, mungkin secara rasional mencerminkan perbedaan sistematis dalam
komposisi dan kondisi jaringan urat daging sebagai aspek pascamati (post
mortem) secara perlahan dapat disadari (Lawrie, 2003).
Daging tersusun dari

jaringan ikat,epitelial,jaringan-jaringan saraf,

pembuluh darah dan lemak.Jumlah jaringan ikat berbeda daiantara otot,jaringan

ikat berhubungan dengan kealotan daging.Otot skeletal merupakan sumber utama
jaringan otot daging dengan komposisi terbanyak dalam karkas,yaitu 35-36% dari
berat karkas atau 35-40% dari berat hewan hidup (Lawrie, 1995).
Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi
kebutuhan gizi.Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging teradapat pula
kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang.Dari tingkat kealotan

Universitas Sumatera Utara

daging merupakan sekumpulan otot yang melekat pada kerangka.Istilah daging
dibedakan dengan karkas, daging adalah bagian yang sudah tidak mengandung
tulang, sedangkan karkas berupa daging yang belum dipisakan dari tulang atau
kerangkanya (Astawan, 2008).
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas
daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin,
umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral). Faktor
setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi
metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging,
bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging,hormondan antibiotika,

lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam
otot daging dan lokasi otot daging (Abustam, 2009).
Menurut Cassens (1978) di dalam daging juga terdapat mineral-mineral
seperti kalsium,magnesium,kalium,natrium,fosfor,klor,besi,belerang,tembaga,dan
mangan.Vitamin yang terdapat pada daging terutama golongan vitamin B (B1,
B12, B6, dan B2),vitamin C, A, D, E, dan K. Selain itu, daging juga mengandung
pigmen pemberi warna merah (mioglobin). Daging merupakan sunber vitamin B
yang baik disamping mengandung vitamin A dan vitamin C dalam jumlah kecil.
Daging domba mengandung 3,79 mg vitamin B tiap 100 mg daging, 2 UI vitamin
A tiap 1 gram lemak daging,sedangkan sebagian besar kandungan vitamin C akan
hilang dalam penanganan daging segar.sebanyak 100 gram daging dapat
memenuhi kebutuhan gizi orang dewasa setiap harinya,yang mengandung sekitar

Universitas Sumatera Utara

10 % kalori, 50% protein, 35% zat besi (Fe), dan 25-60% vitamin B kompleks
(Lukman et al.,2007).
Rigormortis pada Daging
Rigormortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih
diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan

terjadinya kekakuan pada otot. Pada saat kekakuan otot itulah disebut sebagai
terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat
(Abustam, 2009)
Perubahan otot menjadi daging yang terjadi secara biokimia dan biofisika
yang ditandai dengan penurunan pH lewat pembentukan asam laktat dan glikolisis
secara anaerobik.Mekanisme anaerobik ini terjadi karena otot-otot tidak
mendapatkan lagi oksigen akibat terhentinya peredaran darah, sementara itu otot
masih

tetap

hidup

dengan

menghabiskan

cadangan

energinya


(Abustam, 2009)
Proses kontraksi menyebabkan otot menjadi keras dan kaku sedangkan
proses relaksasi menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Fase-fase
yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong adalah fase prerigor mortis,
rigor mortis, dan pascarigor mortis.Pada fase pre rigor mortis daging masih lunak
karena daya ikat air dari jaringan otot masih tinggi, lama fase pre rigor mortis
berkisar antara 5-8 jam, tergantung dari jenis hewan.Penemuan baru menunjukkan
bahwa ada penyusutan otot pada fase prerigor, oleh karena itu bertambah kerasnya
otot dapat dikurangi dengan menyimpan daging pada temperatur 20oC pada fase
prerigor mortis (Abustam, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Darah yang keluar dari tubuh ternak mengakibatkan hilangnya mekanisme
pengendalian temperatur didalam otot oleh sistem sirkulasi. Panas dari dalam
tubuh tidak ada lagi yang diangkut ke paru-paru dan permukaan tubuh lain,
sehingga terjadi kenaikan temperatur didalam otot dan tubuh setelah pemotongan,
kenaikan temperatur dalam tubuh tergantung pada laju produksi panas metabolik
dan lama produksi serta pelepasan panas. Faktor yang menyebabkan kenaikan

temperatur otot postmortem, juga menyebabkan pH otot pacamerta (Soeparno,
2005).
Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi keras dan kaku.Fase ini sangat
tergantung pada kondisi penyimpanan.Penyimpanan pada suhu rendah dapat
menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cukup lama.Sedangkan fase
pascarigor adalah fase pembentukan aroma, pada fase ini daging kembali menjadi
lunak dan empuk karena daya ikat air dalam otot kembali meningkat.Lama
pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigor mortis (proses
kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigor mortis belum selesai dan
daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau daging
mengalami proses cold-shortening (pengkerutan dingin) ataupun thaw rigor
(kekakuan akibat pencairan daging) pada saat thawing sehingga akan
menghasilkan daging yang tidak empuk (Abustam, 2009).
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada
jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati.Jumlah ATP yang tersedia terkait
dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati. Pada
ternak yang mengalami kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang
disembelih akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor

Universitas Sumatera Utara


mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada saat ternak
disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim
ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat (Abustam, 2009).
Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH
daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya
rigor mortis. Jika pH > 5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu
yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan
menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak
bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin (Abustam, 2009).
Ternak yang telah disembelih, akan terjadi ikatan kimia antara filament
tebal dan filament tipis yang akan merubah sifat-sifat kontraktil dari jaringan
muskuler menjadi struktur tidak ekstensibel dan kompak, dikenal sebagai rigor
mortis dan daging menjadi keras. Lawrie (2003) menyatakan bahwa kekerasan
maksimal otot dicapai pada saat tingkat kontraksi otot mncapai 40% dari panjang
semula.

Kontraksi diatas 40% sampai 60% kekerasan menurun. kekerasan

maksimal pada daging dicapai pada saat otot memendek antara 35 – 40% dari

panjang semula.
Jenis Otot pada domba
Otot merupakan penyusun utama daging, termasuk jaringan ikat epitel dan
jaringan syaraf lain yang terdapat di dalam otot dan jaringan ikat serta keberadaan
lemak di dalamnya merupakan penentu karakteristik kualitatif daging
Korelasi yang erat antara kandungan kolagen dengan kekerasan daging
yang dinilai dengan melakukan pemutusan paralel dengan arah serat daging,
koefisien korelasi (R) 0,82 antara kandungan kolagen dengan indeks kekerasan

Universitas Sumatera Utara

daging yang diukur menggunakan Warner Bratzles shear force. memperlihatkan
koefisien relasi antara daya putus daging dengan kandungan kolagen yang
terdapat pada daging mentah yang telah mengalami maturasi sebesar +0,87.
Beberapa penilitian menemukan korelasi antara daya putus dengan kandungan
kolagen pada Semitendinosus yang cukup rendah. Kandungan dan solubilitas
kolagen hanya dapat menjelaskan variasi keempukan sebesar 15 – 20% pada otot
Semitendinosus dari ternak dengan genotip yang sama (Abustam, 2004).
Daging memiliki keempukan yang bervariasi diantara jenis otot, jumlah
jaringan ikat dalam otot yang lebih banyak digerakkan selama ternak masih hidup

seperti otot Semitendinosus memiliki tekstur yang lebih halus.

Otot yang

teksturnya kasar akan kurang empuk dibandingkan dengan otot yang teksturnya
halus (Aberley et al, 2001).
Asap cair
Asap cair merupakan hasil pendinginan dan pencairan asap dari tempurung
kelapa yang dibakar dalam tabung tertutup. Asap yang semula merupakan partikel
padat didinginkan kemudian menjadi cair itu disebut nama asap cair atau liquid
smoke. Asap cair berfungsi sebagai pengawet bahan makanan mengingat bahwa
asap cair tidak saja mengandung formaldehid alami, tetapi juga dilengkapi dengan
komponen lain yang juga bersifat mengawetkan seperti fenolat dan asam. Asap
cair tempurung mengandung lebih dari 400 komponen dan memiliki fungsi
sebagai penghambat perkembangan bakteri dan cukup aman sebagai pengawet
alami.

Asap tempurung kelapa memiliki kemampuan mengawetkan bahan

makanan karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil (Anonima, 2010).


Universitas Sumatera Utara

Efektifitas formaldehid alami ini tidak sekuat formaldehid sintetik
(formalin), tapi dengan dukungan kandungan asamnya yang terdiri dari asam
asetat, asam butirat, iso valerat, valerat, maupun propionat yang pada pH 5 efektif
mematikan kapang dan bakteri. Asam ini juga memberikan lingkungan yang tidak
nyaman bagi mikrobial.Demikian juga dengan kandungan fenolatnya yang
didominasi siringol, eugenol, berfungsi sebagai antioksidan yang melindungi
terhadap kerusakan akibat oksidasi pada lemak maupun protein pada bahan
pangan (Anonimb, 2010).
Senyawa karsinogen telah dikemukakan didalam asap kayu alami dalam
jumlah yang sangat rendah, sehingga bahaya karsinogenis dapat diabaikan.
Jumlah karsinogen tergantung ada temperatur pembentukan asap dan lignin.
Senyawa 3,4 benzipiren dan 1,2,5,6 fenantrasen yang bersifat karsinogenik telah
dikemukakan dan terbentuk dari pembakaran lignin pada teperatur diatas 35%.
Asap cair dapat disuplementasi dengan substansi fenolik tertentu untuk
meningkatkan atau menimbulkan bau dan flavor buah untuk menghasilkan asap
cair yang bebas karsinogen yaitu dengan cara kondensasi, kemudian diikuti
dengan destilasi fraksional, fraksi yang dipilih dilarutkan dalam air dan benzipiren

tidak akan larut.
Asap memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan makanan karena
adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil. Pirolisis tempurung kelapa
menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa fenol 4,13 %, karbonil 11,3
% dan asam10,2 %. Asap cair ini memiliki fungsi sebagai penghambat
perkembangan bakteri dan sangat aman sebagai pengawet alami. Kandungan
senyawa fenol dengan titik didih tinggi dalam asap cair merupakan zat yang

Universitas Sumatera Utara

mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Asap cair sebagai pengganti formalin
asap cair hasil pendinginan dan pencairan asap dari tempurung kelapa yang
dibakar dapat sebagai bahan pengawet makanan, terutama ikan. Bahan pengawet
ini bisa mengawetkan ikan sampai 25 hari dan tidak memiliki efek samping atau
bahan beracun berbahaya seperti formalin (Broken, 2010).
Kelebihan penggunaan asap cair dalam pengasapan yaitu beberapa aroma
dapat dihasilkan dalam produk yang seragam dengan konsentrasi yang lebih
tinggi, lebih intensif dalam pemberian aroma, kontrol hilangnya aroma lebih
mudah, dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan dan dapat
digunakan oleh konsumen pada level komersial (Adawyah, 2007).

Asap cair ini juga telah diaplikasikan pada pengawetan daging, termasuk
daging unggas dan ikan salmon. Selain itu juga digunakan untuk menambah
citrarasa pada saus, sup, sayuran dalam kaleng, bumbu dan rempah-rempah.
Pengasapan adalah salah satu cara pengawetan ikan yang dikenal manusia.
Namun, pada ikan asap yang proses pembuatannya konvensional, hanya diasapi
dengan bara api, masih mengandung tar dan benzopyrene. Keduanya adalah
penyebab kanker, sedangkan ikan yang diawetkan dengan asap cair tidak
berbahaya bagi kesehatan, juga masih layak dikonsumsi hingga sebulan, sama
seperti ikan yang diasapkan dengan cara konvensional. Kelemahan asap cair ini,
kalau konsentrasinya cukup tinggi mengeluarkan bau asap yang sangat keras.
Tetapi bau asap itu bisa dihilangkan dengan cara tertentu namun dampaknya bagi
kesehatan jauh lebih aman dari formalin (Broken, 2010)
Hasil penelitian Susalam (2012), menunjukkan bahwa penggunaan asap
cair

efektif

untuk

memperpanjang

masa

simpan

sehingga

mampu

Universitas Sumatera Utara

mempertahankan kualitas nugget daging ayam dalam hal ini mempengaruhi nilai
susut nugget daging ayam secara nyata.
Susut Masak
Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengistemasikan jumlah
jus dalam daging masak.Daging dengan susut masak yang rendah mempunyai
kualitas yang tinggi. Susut masak adalah proses selama pemasakan daging yang
mengalami pengerutan dan pengurangan berat. Prodak daging olahan sebaiknya
mengalami susut masak sedikit karena susut masak mempunyai hubungan erat
dengan rasa/juiceness daging (Winarno, 1993).
Pada temperatur pemasakan 80oC daging yang mengalami pemendekan
dingin Pada pH normal 5,4-5,8 menghasilkan susut masak yang lebih besar
daripada susut masak daging regang dengan panjang serabut yang sama.
Pemasakan pada temperatur 90oC juga dapat menghasilakn susut masak otot
(misalnya ST steer) pendek dingin yang lebih besar daripada otot regang. Susut
masak menurun secara linear dengan bertambahnya umur tenak.Misalnya pada
domba, susut masak otot SM yang dimasak pada temperatur 80oC selama 90
menit, menurun dengan meningkatnya umur ternak.Konsumsi pakan dapat
mempengaruhi besarnya susut masak.Misalnya susut otot LD sapi yang diberi
pakan maintenans (imbangan energi nol) dan submaintenans (imbangan energi
negatif) adalah lebih kecil daripadaotot LD sapi yang diberi pakan dengan
imbangan energi positif (Harjono, 2008).
Menurut Shanks et al., (2002) menjelaskan bahwa besarnya susut masak
dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membran seluler, banyaknya air yang

Universitas Sumatera Utara

keluar dari daging, umur simpan daging, degradasi protein dan kemampuan
daging untuk mengikat air.
Keempukan daging
Keempukan daging dapat diukur dengan melihat daya putus daging
dengan menggunakan alat CD Shear Force.Uji daya putus daging merupakan
pengujian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kealotandaging, semakin
tingggi nilai DPD suatu sampel daging maka semakin tinggi pula tingkat
kealotannya.Faktor utama yang mempengaruhi tingkat kealotan daging adalah
jumlah kolagen dan tingkat kelarutan kolagen (Lawrie, 2003).
Keempukan daging adalah kualitas daging setelah dimasak yang
didasarkan pada kemudahan waktu menguyah tanpa menghilangkan sifat-sifat
jaringan yang layak.Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat keempukannya
yang dipengaruhi oleh banyak faktor.Faktor yang mempengaruhi keempukan
daging ada hubungannya dengan komposisi daging itu sendiri, yaitu berupa
tenunan pengikat, serabut daging, sel-sel lemak yang ada diantara serabut daging
(Reny, 2009).
Keempukan merupakan faktor yang mempengaruhi mutu produk terutama
hubunganya dengan selera konsumen dan mempengaruhi penerimaan secara
umum.Keempukan dapat diketahui dengan daya putusnya, Semakin rendah nilai
daya putusnya, semakin empuk daging tersebut (Maruddin, 2004).
Derajat keempukan dapat dihubungkan dengan tiga kategori protein dalam
urat daging yaitu : 1) Tenunan pengikat (kolagen, miosin, tropomiosin), 2).
Miofibril (aktin, miosin, tropomiosin), 3). Sarkoplasma (protein-protein
sarkoplasma, sarkoplasma retikulum). Kontribusi masing-masing kategori protein

Universitas Sumatera Utara

tergantung pada tingkat kontraksi miofibril, tipe urat daging dan suhu pemasakan
(Lawrie, 1995).
Soeparno (2005) menjelaskan bahwa keempukan daging tergantung dari
temperatur dan waktu pemasakan, lama waktu pemasakan mempengaruhi
kolagen, dan temperatur pemasakan lebih mempengaruhi kealotan miofibrilar.
Fiems et al., (2000) menambahkan bahwa nilai keempukan daging sangat
berpengaruh oleh faktor penanganan ternak sebelum pemotongan, pakan ternak,
pH dan perlemakan.Menurut Lawrie (1995), faktor-faktor yang menentukan
kekasaran tekstur adalah ukuran berkas serat dan jumlah perimisium yang
merupakan tebal dalam urat-urat daging kasar. Berhubung elemen-elemen yang
menentukan tekstur adalah aspek tenunan pengikat, maka mungkin dapat
diharapkan bahwa ada hubungan/korelasi langsung antara kasarnya sususan serat
dan kekerasan daging setelah dimasak. Kandungan kolagen memiliki korelasi
yang sangat erat terhadap kekerasan daging yang dinilai dengan melakukan
pemutusn paralel dengan arah serat daging untuk koefisien korelasi (Abustam dan
Ali, 2005).
Uji Organoleptik
Semakin tua ternak, daging makin merah. Tiap jenis daging mempunyai
aroma yang khas. Warna daging adalah satu parameter penting pada kualitas
daging. Itu dapat diukur secara numerical menggunakan colorimeter atau secara
obyektif. Beberapa faktor mempengaruhi warna daging seperti species /
keturunan, usia, jenis kelamin, potongan daging, pelayuan daging dan kecacatan
(Twelve, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Sifat organoleptik menggunakan indera manusia sebagai instrument
penilaian.Beberapa sifat yang menentukan dari satu produk dapat dinilai secara
organoleptik, misalnya aroma, warna, rasa, dan tekstur (Utami, 2008).
Flavor/cita rasa adalah sensasi yang kompleks, melibatkan bau dan
rasa/taste, tekstur, suhu dan pH (dari semua ini, bau adalah yang paling penting).
Respon terhadap bau terjadi pada sel-sel alfactory dari permukaan asal dan dari
situ disampaikan ke otak guna ditafsirkan oleh saraf alfactory. Pada umumnya
diduga bahwa zat-zat yang mengandung kimia, reaktif dengan ujung-ujung saraf
alfactory (Antonius, 2001). Bau daging masak sangat ditentukan oleh prekursor
yang larut dalam air dan lemak dan pembebasan substansi volatil (kreatin,
kreatinin dan purin ) yang terdapat didalam daging (Soeparno, 1992).
Menurut Sitorus (2001), rasa digunakan sebagai salah satu parameter uji
kesukaan karena rasa merupakan salah satu faktor yang menentukan pilihan
konsumen. Pada manusia dewasa, respon terhadap rasa terjadi dalam sel-sel
terspesialisasi pada lidah langit-langit lembut dan puncak kerongkongan. Seperti
halnya bau, ada kemungkinan terlibat reaksi-reaksi kimia antara molekul-molekul
yang ada hubungannya dengan nerve ending dalam sel-sel pengecap dan hal diatur
dalam otak.
Sari rasa (juiceness) pada daging yang telah dimasak dapat dipisahkan
menjadi dua hal. Pertama, karena pengaruh keluarnya cairan pada saat dikunyah
dan kedua karena adanya rangsangan lemak dari saliva. Keempukan dan juiceness
mempunyai hubungan yang erat, makin empuk daging makin cepat keluarnya
cairan akibat dikunyah dan daging lebih juicy (Sitorus, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Bouton et al., (1975), juiciness atau jus daging mempunyai
hubungan yang erat dengan susut masak. Juiciness daging yang rendah dapat
disebabkan oleh susut masak yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara