Gambaran Ketersediaan Pangan, Kecukupan Energi Protein Dan Status Gizi Pada Balita (12-59 Bulan) Di Pengungsian Gunung Sinabung Tahun 2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Posisi wilayah Indonesia, secara geografis dan demografis rawan

terjadinya bencana alam dan non alam seperti gempa tektonik, tsunami, banjir dan
angin puting beliung. Bencana non alam akibat ulah manusia yang tidak
mengelola alam dengan baik dapat mengakibatkan timbulnya bencana alam,
seperti tanah longsor, banjir bandang, kebakaran hutan dan kekeringan (Kemenkes
RI, 2012).
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (BNPB, 2012).
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2004). Status gizi merupakan salah satu
indikator yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Faktor-faktor
yang mempengaruhi status gizi masyarakat adalah Pendapatan, Penggunaan

pangan, Pendidikan dan ketersediaan pangan.
Kondisi bencana menyebabkan masyarakat yang berada di sekitar wilayah
bencana harus mengungsi, mencari tempat yang lebih aman. Perpindahan tersebut
menjadikan masyarakat akan tinggal di tempat yang memiliki segala keterbatasan,
baik dari segi sandang, pangan maupun papan. Ketersediaan pangan yang terbatas
sangat berdampak kepada kondisi pertumbuhan dan perkembangan anak balita

Universitas Sumatera Utara

yang merupakan kelompok usia rentan. Kekurangan gizi terutama pada anak
balita

mempengaruhi

resiko

kematian,

kesakitan,


pertumbuhan

fisik,

perkembangan mental dan kecerdasan (Wijaya, 2014).
Masalah gizi dapat dialami semua kelompok umur. Pemilihan kelompok
balita disasarkan pada kenyataan bahwa kelompok balita rentan terhadap
perubahan dan memerlukan penanganan gizi khusus. Gangguan pertumbuhan dan
perkembangan pada balita akan mempengaruhi ketahanan fisik dan kecerdasan
sehingga dapat memberi dampak terhadap kehidupan pada masa yang akan
datang. Digambarkan pula, ada kekhawatiran jika permasalahan gizi pada balita
tidak ditanggulangi akan menyebabkan generasi yang hilang (lost generation),
yaitu suatu keadaan yang berbahaya bagi kelangsungan suatu bangsa
(Suyanto, 2004).
Masalah gizi yang bisa timbul adalah kurang gizi pada bayi dan balita,
bayi tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) karena terpisah dari ibunya dan
semakin memburuknya status gizi kelompok masyarakat. Bantuan makanan yang
sering terlambat, tidak berkesinambungan dan terbatasnya ketersediaan pangan
lokal dapat memperburuk kondisi yang ada (Kemenkes RI, 2012).
Masalah lain yang sering kali muncul adalah adanya bantuan pangan dari

dalam dan luar negeri yang mendekati atau melewati masa kadaluarsa, tidak
disertai label yang jelas, tidak ada keterangan halal serta melimpahnya bantuan
susu formula bayi dan botol susu. Masalah tersebut diperburuk lagi dengan
kurangnya pengetahuan dalam penyiapan makanan buatan lokal khususnya untuk
bayi dan balita (Kemenkes RI, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Pemberian makanan yang tidak tepat pada kelompok tersebut dapat
meningkatkan risiko kesakitan dan kematian, terlebih pada situasi bencana. Risiko
kematian lebih tinggi pada bayi dan anak yang menderita kekurangan gizi
terutama apabila bayi dan anak juga menderita kekurangan gizi mikro. Penelitian
di pengungsian menunjukkan bahwa kematian anak balita 2-3 kali lebih besar
dibandingkan kematian pada semua kelompok umur (Kemenkes RI, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan
UNICEF terhadap pengungsi Timor Timur di Nusa Tenggara Timur tahun 2000
menunjukkan

bahwa


24%

balita

dikategorikan

kurus

atau

wasting

(BB/TB < -2 SD), 8% diantaranya sangat kurus (BB/TB < - 3SD). Sedangkan di
Kalimantan Barat prevalensi gizi kurang (BB/TB < - 2 SD) dilaporkan sebesar
10,8%. Hasil survei cepat di 13 Kabupaten pasca Tsunami di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (Februari-Maret 2005) menunjukkan prevalensi anak gizi
kurang 41,5%, anak kurus (wasting) 11,2%, dan anak pendek (stunting) 36,75%.
Status gizi di lokasi pengungsi dikategorikan kritis menurut UNHCR
apabila prevalensi gizi Kurang (< - 2SD) antara 10-15% dan ditambah dengan
adanya faktor lain yang memperburuk status gizi. Dengan demikian status gizi di

lokasi pengungsi di provinsi NTT dan NAD dapat dikategorikan kritis
(Depkes, 2007).
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, secara nasional prevalensi
menurut indikator BB/U 19,6% terdiri dari 13,9% gizi kurang dan 5,7% gizi
buruk, indikator TB/U 37,2% terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek,
menurut indikator BB/TB 5,3% sangat kurus dan 6,8% kurus. Sementara data

Universitas Sumatera Utara

status gizi di provinsi Sumatera Utara menurut indikator BB/U 8,3% gizi buruk,
14,1% gizi kurang, 4,8% gizi lebih, menurut indikator TB/U 22,7% sangat
pendek, 19,8% pendek, menurut indikator BB/TB 7,5% sangat kurus, 7,4% kurus,
dan 12,8% gemuk.
Hasil penelitian Wijaya (2014) di posko pengungsian Gunung Sinabung
yang memiliki jumlah balita sebanyak 58 balita menunjukkan bahwa status gizi
berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U) yaitu sebanyak 9 balita (15,5%)
memiliki berat badan kurang, dan 49 balita (84,5%) memiliki berat badan normal.
Berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) yaitu balita pendek sebanyak 18
balita (31%), serta balita sangat pendek sebanyak 15 balita (25,9%) dan sebanyak
25 balita (43,1%) normal. Sedangkan berdasarkan berat badan menurut tinggi

badan (BB/TB) yaitu balita sangat gemuk sebanyak 3 orang (5,2%), balita gemuk
sebanyak 5 orang (8,6%), sedangkan yang kurus sebanyak 4 orang (6,9%) dan
yang normal sebanyak 41 orang (70,7%). Untuk tingkat kecukupan protein balita
menunjukkan tingkat kecukupan baik

sebanyak 33 balita (56,9%), kategori

sedang sebanyak 25 balita (41,1%). Kecukupan protein mereka banyak bersumber
dari susu formula, biskuit dan jajanan.
Berdasarkan survei awal yang dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2015 di
posko pengungsian Gunung Sinabung Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo,
terdapat 95 balita dan jumlah KK 265. Warga yang menetap di posko ini berasal
dari Desa Kuta Gugung dan Desa Lau Kawar. Mereka sudah berada di
pengungsian ± 4 bulan. Mereka dipindahkan ke pengungsian karena menurut

Universitas Sumatera Utara

BMKG diperkiran bahwa lahar panas sudah berada di bawah desa mereka dan
sewaktu-waktu akan keluar.
Dilakukan pengukuran status gizi pada 15 anak balita berdasarkan BB/U

ada 10 balita gizi kurang, 3 balita gizi baik, dan 2 balita gizi buruk, berdasarkan
TB/U ada 4 balita sangat pendek, 7 balita pendek, dan 4 balita normal, dan
berdasarkan BB/TB ada 5 balita memiliki berat badan yang normal, 5 balita kurus,
2 balita sangat kurus, dan 3 balita gemuk. Sumber asupan protein yang di
dapatkan selama berada di posko pengungsian gunung Sinabung dalam setiap
minggu mendapatkan bantuan makanan dari dinas sosial seperti sayur-sayuran,
tahu tempe dan ikan seperti ikan mas, nila, dan gurami. Meskipun sumber
makanan di tanggung pemerintah mereka tetap kembali ke desa di siang hari
untuk melakukan aktivitas seperti biasa yaitu berladang dan kembali ke
pengungsian pada sore hari sebab sumber penghasilan warga pengungsian tersebut
hanya dengan berladang atau sebagai buruh tani.
Adanya hal tersebut, maka dianggap perlu untuk mengetahui gambaran
ketersediaan pangan, kecukupan energi protein dan status gizi pada balita
(12-59 bulan) yang berada di pengungsian Gunung Sinabung pada tahun 2016.
1.2

Permasalahan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang maka permasalahan yang dapat diambil

dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran ketersediaan pangan, kecukupan

energi protein dan status gizi pada balita (12-59 bulan) di pengungsian Gunung
Sinabung Kabupaten Karo tahun 2016.

Universitas Sumatera Utara

1.3

Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui gambaran

ketersediaan pangan, kecukupan energi dan protein dan status gizi pada balita
(12-59 bulan) yang tinggal di pengungsian Gunung Sinabung Kabupaten Karo
tahun 2016.
1.4

Manfaat Penelitian
Dapat menjadi bahan pertimbangan pada pihak instansi kesehatan setempat

mengenai status gizi anak balita di tempat pengungsian dan memberikan wacana
tambahan mengenai


status gizi pada anak balita, sehingga dapat memberi

masukan atau penyuluhan kepada warga pengungsian agar dalam keadaan apa pun
tetap memperhatikan kondisi anak balita agar tetap dalam keadaan baik terutama
dalam penyediaan pangan pada balita. Sebagai bahan informasi dan masukan
kepada penanggung jawab posko pengungsian dan masyarakat dipengungsian
dalam upaya peningkatan gizi balita yang berkaitan dengan penyediaan pangan
untuk balita, sehingga masyarakat dapat lebih memperhatikan dan meningkatkan
kualitas dan kuantitas asupan zat gizi bagi anak balita.

Universitas Sumatera Utara