Hubungan Kebisingan dengan Stres Kerja pada Pekerja Pabrik Tapioka PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti Tahun 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kebisingan
2.1.1. Defenisi Kebisingan
Bising (noise) adalah bunyi yang ditimbulkan oleh gelombang suara
dengan intensitas dan frekuensi yang tidak menentu. Di sektor industri, bising
berarti bunyi yang sangat mengganggu dan menjengkelkan serta sangat
membuang energi (Harrianto, 2008).
Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber
dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu
dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I..
No. Per.13/MEN/X/2011).
Dalam rangka perlindungan kesehatan tenaga kerja, kebisingan diartikan
sebagai semua suara/bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat
proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat
menimbulkan gangguan pendengaran (Suma‟mur, 2013)
Kebisingan adalah salah satu faktor fisik berupa bunyi yang dapat
menimbulkan akibat buruk bagi kesehatan dan keselamatan kerja. Sedangkan
dalam keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia “Bising adalah semua
suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat produksi dan atau alatalat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran”. Dari

kedua defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebisingan adalah semua bunyi
atau suara yang tidak dikehendaki yang dapat menggangu kesehatan dan
keselamatan (Anizar, 2009).
6

Universitas Sumatera Utara

7

2.1.2. Sumber Kebisingan
Menurut Wisnu, sumber kebisingan dilihat dari sifatnya dibagi menjadi
dua yaitu: (Subaris & Haryono, 2008)
a. sumber kebisingan statis: pabrik, mesin, tape, dan lainnya.
b. sumber kebisingan dinamis: mobil, pesawat terbang, kapal laut, dan
lainnya.
Sedangkan menurut Men.KLH, sumber bising yang dilihat dari bentuk
sumber suara yang dikeluarkannya ada dua, yaitu: (Subaris & Haryono, 2008)
a. Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu titik/bola/lingkaran.
Contoh: sumber bising dari mesin-mesin industri/mesin yang tak
bergerak

b. Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu garis, misalnya
kebisingan yang timbul karena kendaraan-kendaraan yang bergerak.
Di tempat kerja, disadari maupun tidak, cukup banyak fakta yang
menunjukkan bahwa perusahaan beserta aktivitas-aktivitasnya ikut menciptakan
dan menambah keparahan tingkat kebisingan di tempat kerja, misalnya:
(Tambunan, 2005)
a. Mengoperasikan mesin-mesin produksi “ribut” yang sudah cukup tua.
b. Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja
cukup tinggi dalm periode operasi cukup panjang.
c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi ala kadarnya,
misalnya mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami
kerusakan parah.

Universitas Sumatera Utara

8

d. Melakukan modifikasi/perubahan/penggantian secara parsial pada
komponen-komponen mesin produksi tanpa mengindahkan kaidahkaidah keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponenkomponen mesin tiruan.
e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak

tepat (terbalik atau tidak rapat/longgar), terutama pada bagian
penghubung antara modul mesin (bad connection).
f. Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya, misalnya
penggunaan palu (hammer )/alat pemukul sebagai alat pembengkok
benda-benda metal atau alat bantu pembuka baut.
2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebisigan
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kebisingan antara
lain :
a. Intensitas, intensitas bunyi yang dapat didengar telinga manusia
berbanding langsung dengan logaritma kuadrat tekanan akustik yang
dihasilkan getaran dalam rentang yang dapat didengar. Jadi, tingkat
tekanan bunyi di ukur dengan logaritma dalam decibel (dB).
b. Frekuensi, frekuensi yang dapat didengar oleh telinga manusia terletak
antara 16-20000 Hertz. Frekuensi bicara terdapat antara 250-4000
Hertz.
c. Durasi, efek bising yang merugikan sebanding dengan lamanya
paparan dan berhubungan dengan jumlah total energi yang mencapai
telinga dalam.

Universitas Sumatera Utara


9

d. Sifat, mengacu pada distribusi energi bunyi terhadap waktu (stabil,
berfluktuasi, intermiten). Bising impulsive (satu/lebih lonjakan energi
bunyi, dengan durasi kurang dari 1 detik) sangat berbahaya.
Menurut Anizar, bagian yang paling penting adalah:
1. intensitas kebisingan (tingkat tekanan suara)
2. jenis kebisingan (wide band, narrow band, impulse)
3. lamanya terpapar per hari
4. jumlah lamanya terpapar (dalam tahun)
5. usia yang terpapar
6. masalah pendengaran yang telah diderita sebelumnya
7. lingkungan yang bising
8. jarak pendengaran dengan sumber kebisingan
2.1.4. Jenis Kebisingan
Menurut Suma‟mur, kebisingan yang sering ditemukan adalah:
a. Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus-putus dengan spektrum
frekuensi yang lebar (steady state,wide band noise ), misalnya bising
mesin, kipas angin dapur pijar dan lain-lain

b. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis
(steady state, narrow band noise ), misalnya bising gergaji sirkuler,
kutup gas, dan lain-lain.
c. Kebisingan terputus-putus (intermittent noise ), misalnya bising lalu
lintas, suara kapal terbang di bandara.

Universitas Sumatera Utara

10

d. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise ), seperti bising
pukulan palu, tembakan bedil atau meriam, dan ledakan.
e. Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di
perusahaan atau tempaan tiang pancang bangunan.
Di tempat kerja, kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan
besar, yaitu kebisingan tetap (steady noise) dan kebisingan tidak tetap (non-steady
noise) (Tambunan, 2005).

Kebisingan tetap (steady noise ) dipisahkan lagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise)

Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang
beragam, contohnya suara mesin, suara kipas, dan sebagainya.
b. Broad band noise
Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise samasama digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise ).
Perbedaannya adalah broad band noise terjadi pada frekuensi yang
lebih bervariasi (bukan “nada” murni)
Sementara itu, kebisingan tidak tetap (unsteady noise) dibagikan lagi
menjadi:
a. Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise )
Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu
b. Intermittent noise
Sesuai dengan terjemahannya, intermitten noise adalah kebisingan

Universitas Sumatera Utara

11

yang terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah, contohnya
kebisingan lalu lintas.
c. Impulsive noise

Kebisingan impulsif dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi
(memekakkan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara
ledakan senjata api dan alat-alat sejenisnya.
Sedangkan menurut Anizar (2009), kebisingan dapat dikelaskan kepada
beberapa jenis yaitu:
a. Bising secara terus menerus adalah bising yang mempunyai perbedaan
tingkat intensitas bunyi di antara maksimum dan minimum yang
kurang dari 3 dBA. Contohnya adalah bunyi yang dihasilkan oleh
mesin penenun tekstil.
b. Bising fluktuasi ialah bunyi bising yang mempunyai perbedaan tingkat
di antara intensitas yang tinggi dengan yang rendah lebih dari 3 dBA.
c. Bising impuls ialah bising yang mempunyai intensitas yang sangat
tinggi dalam waktu yang singkat seperti tembakam senjata api, lagan
besi dan sebagainya.
d. Bising bersela ialah bunyi yang terjadi di dalam jangka waktu tertentu
serta berulang. Contohnya bising ketika memotong besi akan berhenti
apabila gergaji itu dihentikan. Terdapatnya kombinasi daripada jenis
bunyi di atas, contohnya kebisingan berterusan dan bersela dapat
terjadi secara serentak.


Universitas Sumatera Utara

12

2.1.5. Nilai Ambang Batas Kebisingan
Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kebisingan di tempat kerja adalah
intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh
tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu
terus-menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu (Soeripto, 2008).
NAB kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat kerja adalah standar
sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya
tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan seharihari untuk waktu tidak melebihi 8 (delapan) jam sehari dan 5 (lima) hari kerja
seminggu atau 40 jam seminggu (Suma‟mur, 2013)
NAB kebisingan adalah 85 dB(A). NAB kebisingan tersebut merupakan
ketentuan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : Kep-51/Men/1999
tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisik di Tempat Kerja dan merupakan standar
dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 16-7063-2004 Nilai Ambang Batas iklim
kerja (panas), kebisingan, getaran tangan-lengan dan radiasi sinar ultra ungu di
tempat kerja (Suma‟mur, 2013)


Universitas Sumatera Utara

13

Berikut ini adalah tabel Nilai Ambang Batas Kebisingan berdasarkan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.3 tahun 2011:
Tabel 1.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan

Sumber: Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.3
tahun 2011

2.1.6. Pengukuran Kebisingan
Telinga manusia sama sekali tidak dapat dijadikan “referensi” tingkat
kebisingan yang terdapat pada sebuah temapat. Berdasarkan hasil percobaan, pada
intensitas kebisingan sesungguhnya berkurang 2 dB dari tingkat kebisingan awal,
pengurangan kebisingan yang dirasakan oleh telinga manusia adalah sekitar 15%,
sedangkan pada saat pengurangan (actual) sebesar 20% maka kebisingan yang
dirasakan akan berkurang sebesar 81%. Untuk mendapatkan hasil pengukuran
tingkat kebisingan yang akurat, diperlukan alat-alat khusus (Tambunan, 2005).


Universitas Sumatera Utara

14

Bunyi diukur dengan satuan yang disebut decibel. Dalam hal ini mengukur
besarnya tekanan udara yang ditimbulkan oleh gelombang bunyi. Satuan decibel
diukur dari 0 sampai 140, atau bunyi terlemah yang masih dapat didengar oleh
manusia sampai tingkat bunyi yang dapat mengakibatkan kerusakan permanen
pada telinga manusia. Desibel biasa disingkat dB dan mempunyai skala A, B, dan
C. Skala yang terdekat dengan pendengaran manusia adalah skala A atau dBA
(Anies, 2009).
Dua suara atau lebih dengan intensitas sama, jika digabungkan akan
menghasilkan intensitas kebisingan yang lebih tinggi. Untuk memperoleh hasil
pengukuran kebisingan di tempat kerja yang teliti, maka kebisingan dari setiap
sumber sebaiknya diukur secara terpisah atau satu per satu (Subaris dan Haryono,
2008).
Menurut Suma‟mur (2013), maksud dilakukannya pengukuran kebisingan
ada dua dua hal, yaitu:
a. Memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan di
perusahaan atau di mana saja

b. Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi
intensitas kebisingan tersebut, sehingga tidak menimbulkan gangguan
dalam rangka upaya konservasi pendengaran tenaga kerja, atau
perlindungan masyarakat dari gangguan kebisingan atas ketenangan dalam
kehidupan masyarakat atau tujuan lainnya.
Anizar (2009) berpendapat bahwa pengukuran ada yang hanya bertujuan
untuk pengendalian terhadap lingkungan kerja namun ada juga pengukuran yang

Universitas Sumatera Utara

15

bertujuan

untuk

mengetahui

pengaruhnya

terhadap

tenaga

kerja

yang

bersangkutan di mana:
a. Pengukuran dilakukan di tempat kerja, tempat si pekerja berada dan
menghabiskan waktu kerjanya. Pengukuran ini dilakukan pada pagi
hari, siang dan sore hari.
b. Pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan tingkat kebisingan ratarata yang diterima tenaga kerja selama 8 jam kerja berturut-turut,
sehingga hasilnya dapat dihubungkan dengan penelitian terhadap
tenaga kerja yang bersangkutan. Oleh karena itu, pengukuran harus
dilakukan selama jam kerja secara intensif dan bila tenaga kerja selalu
berpindah tempat

maka

harus

dilakukan

pengukuran

tingkat

kebisingan pada tempat di mana tenaga kerja itu berada dan pencatatan
waktu selama tenaga kerja berada di tempat-tempat tersebut,
selanjutnya diperhitungkan tingkat kebisingan rata-rata yang diterima
tenaga kerja selama 8 jam kerja.
Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter. Alat
ini mengukur kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari frekuensi 20 -20.000 Hz.
Suatu sistem kalibrasi terdapat dalam alat itu sendiri, kecuali untuk kalibrasi
mikrofon diperlukan pengecekan dengan kalibrasi tersendiri. Sebagai alat
kalibrasi dapat dipakai pengeras suara yang kekuatan suaranya diatur oleh
amplifier . Atau suatu piston phone dibuat untuk maksud kalibrasi tersebut yang

tergantung pada tekanan udara, sehingga perlu koreksi berdasarkan atas perbedaan
tekanan barometer. Kalibrator dengan intensitas tinggi (125 dB) lebih disukai oleh

Universitas Sumatera Utara

16

karena alat pengukur intensitas kebisingan demikian mungkin dipakai untuk
mengukur kebisingan yang intensitasnya tinggi (Suma‟mur, 2013).
Adapun bagian-bagian yang terdapat pada Sound Level Meter adalah
sebagai berikut (Subaris & Haryono, 2008):
a. Tombol pengatur hidup/mati atau power on/off
b. Tombol pengontrol battery
c. Tombol pengatur penunjuk cepat lambat (slow/fast)
d. Tombol pengukur skala angka puluhan
e. Tombol pengatur penunjuk maksimum (max hold)
f. Microphone
g. Filter microphone
h. Kalibrator
i.

Display

Komponen dasar sebuah Sound Level Meter adalah sebuah microphone,
penguat suara (amplifier) dengan pengatur frekuensi dan sebuah layar indikator.
Sesuai namanya, fungsi dasar minimum yang harus ada pada sebuar Sound Level
Meter adalah sebagai alat ukur tingkat suara (dB). Fungsi – fungsi tambahan lain
cukup bervariasi, seperti fungsi pengukuran TWA ( Time Weigted Average ) secara
otomatis dan pengukuran dosis kebisingan (Tambunan, 2005).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengukuran adalah
sebagai berikut (Subaris & Haryono, 2008):
a. Sebelum pengukuran dilaksanakan, battery harus diperiksa untuk
mengetahui apakah masih berfungsi atau tidak.

Universitas Sumatera Utara

17

b. Agar peralatan SLM yang akan digunakan benar-benar tepat, maka
terlebih dahulu harus dicek dengan menggunakan kalibrator, yaitu dengan
meletakkan/memasang alat tersebut di atas microphone dari SLM,
kemudian dengan tombol pada alat tersebut dikeluarkan nada murni ( pure
tone) dengan intensitas tertentu, maka jarum penunjuk/display SLM

tersebut harus menunjukkan sesuai dengan intensitas suara dari kalibrator.
c. Meletakkan sejauh mungkin SLM sepanjang tangan (paling dekat 0,5
meter dari tubuh pengukur). Bila perlu gunakan tripod untuk
meletakkannya. Hal ini dilakukan karena selain operator dapat merintangi
suara yang datang dari salah satu arah operator tersebut juga dapat
memantulkan suara sehingga menyebabkan kesalahan pengukuran.
d. Pengukuran di luar gedung/lingkungan harus dilakukan pada ketinggian
1,2 – 1,5 meter di atas tanah dan bila mungkin tidak kurang dari 3,5 meter
dari semua permukaan yang dapat memantulkan suara. Sebaliknya
digunakan WindsScreen (terbuat dari karet busa berpori) yang dipasang
pada microphone untuk mengurangi turbulensi aliran udara di sekitar
diafragma microphone.
e. Bila ingin diketahui dengan tepat sumber suara yang sedang diukur dapat
digunakan headphone yang dihubungkan dengan output dari SLM
f. Hindarkan pengukuran terlalu dekat dengan sumber bunyi, karena hasil
pengukuran akan menunjukkan perbedaan yang bermakna pada posisi
SLM yang berubah-ubah.

Universitas Sumatera Utara

18

g. SLM ini dapat digunakan pada suasana kelembapan sampai dengan 90%
dan pada suhu antara 100 – 500C.
Dalam merencanakan pengukuran, perlu untuk menginvestigasi:
a. Titik-titik pengukuran
b. Personalia
c. Peralatan pengukuran
d. Proses pengukuran
e. Metode komunikasi, dan sebagainya
Waktu memilih alat-alat pengukuran, perlu untuk mengingat tujuan dari
hasil-hasil pengukuran. Terutama, bila pengukuran adalah bagian dari investigasi
untuk langkah-langkah penanggulangan, maka perlu diadakan pengukuranpengukuran pada titik-titik di mana suara-suara mudah bocor seperti jendelajendela, pintu-pintu, kipas angin, dan sebagainya.
2.2.
Stres Kerja
2.2.1. Defenisi
Menurut Morgan dan King ”..as an internal state can be caused by
physical demand on the body (disease condition, exercise, extremes of
temperature, and the like) or by environmental and cosial situations which are
evaluated as potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our resources for

coping”. Jadi stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal yang bisa
disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan dan situasi sosial yang
berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Waluyo, 2009).
Stres dapat diartikan sebagai suatu persepsi akan adanya ancaman atau
tantangan yang menggerakkan, menyiagakan, atau membuat aktif dirinya. Tenaga

Universitas Sumatera Utara

19

kerja dapat merasakan lingkungan kerjanya sebagai suatu ancaman atau suatu
tantangan, di mana ia merasa belum pasti dapat menghadapi dengan berhasil
(Anies, 2009).
Menurut Dr. Hans Selye, guru besar emeritus (purnawirawan) dari
Universitas Montreal, stres adalah suatu abstraksi. Orang tidak dapat melihat
pembangkit stres (stressor ), yang dapat dilihat ialah akibat dari pembangkit stres
(Munandar, 2001).
Stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara
karakteristik

kepribadian

karyawan

dengan

karakteristik

aspek-aspek

pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Adanya beberapa
atribut tertentu dapat rnempengaruhi daya tahan stres seorang karyawan ( Agung,
2008).
Menurut Rice (1992), seseorang dapat dikategorikan mengalami stres kerja
adalah apabila stres yang dialami melibatkan juga pihak organisasi perusahaan
tempat orang yang bersangkutan bekerja. Setiap aspek dari lingkungan kerja dapat
dirasakan sebagai stres oleh tenaga kerja (Anies, 2014).
“Work stress is an individual‟s response to work related environtmental
stressors. Stress as the reaction of organism, which can be physiological,

psychological, or behavioral reaction” Berdasarkan definisi di atas, stres kerja
dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi
individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah
diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja.

Universitas Sumatera Utara

20

Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang di persepsikan karyawan

sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja (Waluyo, 2009).
Kemudian stres kerja dapat disimpulkan sebagai suatu kondisi dari hasil
penghayatan subjektif individu yang dapat berupa interaksi antara individu dan
lingkungan kerja yang dapat mengancam dan memberi tekanan secara psikologis,
fisiologis dan sikap individu (Sutarto Wijono, 2011).
2.2.2. Sumber Stres Kerja
Sumber stres kerja (stressors) adalah suatu kondisi, situasi atau peristiwa
yang dapat menyebabkan stres. Ada berbagai sumber stres yang dapat
menyebabkan stres di perusahaan di antaranya adalah faktor perkerjaan itu sendiri
dan di luar pekerjaan itu. Pada dasarnya, sumber stres merupakan hasil interaksi
dan transaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya (Sutarto Wijono,
2011).
Menurut Cooper (1983), ada beberapa sumber stres kerja, antara lain
(Anies, 2014):
a. Lingkungan kerja
Kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah
sakit, mengalami stres psikologis dan menurunkan produktivitas kerja.
Lingkungan yang kurang nyaman, misalnya panas, berisik, sirkulasi
udara kurang, membuat pekerja mudah menderita stres.
b. Overload
Overload dapat dibedakan menjdai kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan
overload secara kuantitatif, bila target kerja melebihi kemampuan

Universitas Sumatera Utara

21

pekerja yang bersangkutan, akibatnya mudah lelah dan berada dalam
ketegangan tinggi. Sementara overload kualitatif, bila pekerjaan
memiliki tingkat kesulitan atau kerumitan yang tinggi.
c. Deprivational stres
Istilah deprivational stres diperkenalkan oleh George Every dan Daniel
Girdano (1980), yaitu pekerjaan yang tidak lagi menantang atau
menarik bagi pekerja. Akibatnya, timbul berbagai keluhan seperti
kebosanan, ketidakpuasan, dan sebagainya.
d. Pekerjaan berisiko tinggi
Ada pekerjaan yang berisiko tingi dan berbahaya bagi keselamatan,
misalnya pekerjaan di pertambangan di lepas pantai, pekerja cleaning
service pada gedung-gedung pencakar langit, dan sebagainya.

Pekerjaan-pekerjaan tersebut berpotensi menimbulkan stres.
Banyak ahli mengemukakan mengenai penyebab stres kerja itu sendiri.
Soewondo (1992) mengadakan penelitian dengan sampel 300 karyawan swasta di
Jakarta, menemukan bahwa penyebab stres kerja terdiri atas 4 (empat) hal utama,
yakni (Waluyo, 2009):
a. Kondisi dan situasi pekerjaan
b. Pekerjaannya
c. Job Requirement seperti status pekerjaan dan karir yang tidak jelas
d. Hubungan interpersonal
Luthans (1992) menyebutkan bahwa penyebab stres terdiri atas 4 (empat)
hal utama, yakni:

Universitas Sumatera Utara

22

a. Extra

Organization

Stressor ,

yang

terdiri

dari

perubahan

social/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan,
ras dan kelas, dam keadaan komunitas/tempat tinggal.
b. Organization Stressor , yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur
organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi
dalam organisasi.
c. Group Stressor , yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup,
kurangnya dukungan social, serta adanya konflik antar individu,
interpersonal, dan intergroup.
d. Individual Stressor , yang terdiri dari terjadinya konflik dan
ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian
Tipe A, control personal, learned helplessness, self-efficacy, dan daya
tahan psikologis.
Sedangkan Cooper dan Davidson (1991) membagi penyebab stres dalam
pekerjaan menjdai dua, yakni:
a. Group Stressor , adalah penyebab stres yang bersal dari situasi maupun
keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antara
karyawan, konflik antara individu dalam kelompok, maupun
kurangnya dukungan social dari sesama karyawan di dalam
perusahaan.
b. Individual Stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri
individu, misalnya tipe kepribadian seseorang, kontrol personal dan

Universitas Sumatera Utara

23

tingkat kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat
ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran.
2.2.3. Faktor Penyebab Stres Kerja
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi stres kerja pada individu dalam
penelitian Mirza (2011), antara lain:
a. Usia
Kebanyakan kinerja fisik mencapai puncak dalam usia pertengahan 20an dan kemudian menurun dengan bertambahnya usia
b. Masa kerja
Masa kerja dapat diartikan sebagai jangka waktu seseorang bekerja,
dihitung dari mulai bekerja sampai dia masih bekerja. Semakin lama
seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar
bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.
c. Pendidikan
Secara umum pendidikan bertujuan mengembangkan dan memperluas
pengetahuan, pengalaman serta pengertian individu. Semakin tinggi
pendidikan seseorang makin mudah seseorang berpikir secara luas,
makin tinggi daya inisiatifnya dan makin mudah pula untuk
menemukan cara-cara yang efisien guna menyelesaikan pekerjaannya
dengan baik.
d. Riwayat Penyakit
Penyakit akan menyebabkan hipo atau hipertensi suatu organ,
akibatnya akan merangsang syaraf tertentu. Dengan perangsangan

Universitas Sumatera Utara

24

yang terjadi akan menyebabkan pusat syaraf otak akan terganggu atau
terpengaruh yang dapat menurunkan kondisi fisik seseorang.
e. Hubungan sosial
Hubungan tidak baik antara karyawan di tempat kerja adalah faktor
yang berpotensi sebagai penyebab terjadinya stres di tempat kerja.
Kecurigaan antar pekerja, kurangnya komunikasi, ketidaknyamanan
dalam melakukan pekerjaan merupakan tanda-tanda stres akibat kerja.
2.2.4. Gejala Stres Kerja
Gejala ringan sampai sedang akibat stres meliputi: (Pandji Anogara, 2011)
a. Gejala badan: sakit kepala, sakit maag, mudah kaget, banyak keluar
keringat dingin, gangguan pola tidur, lesu, letih, kaku leher belakang,
nafsu makan menurun, dan sejumlah gejala lain.
b. Gejala emosional: pelupa, sukar konsentrasi, sukar mengambil
keputusan, cemas, was-was, kuatir, mimpi-mimpi buruk, murung,
mudah marah/jengkel, gelisah dan sebagainya.
c. Gejala sosial: makin banyak merokok/minum/makan, menarik diri dari
pergaulan social, mudah bertengkar dan sebagainya.
Menurut Terry Beehr dan John Newman mengkaji ulang beberapa kasus
stres pekerjaan dan menyimpulkan tiga gejala dari stres pada individu, yaitu
(Waluyo, 2009):
a. Gejala Psikologis
Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada
hasil penelitian mengenai stres pekerjaan :

Universitas Sumatera Utara

25

1. Kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung
2. Perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian)
3. Sensitif dan hyperreactivity
4. Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi
5. Komunikasi yang tidak efektif
6. Perasaan terkucil dan terasing
7. Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
8. Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan
konsentrasi
9. Kehilangan spontanitas dan kreativitas
10. Menurunnya rasa percaya diri
b. Gejala Fisiologis
Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres kerja adalah:
1. Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan
mengalami penyakit kardiovaskular.
2. Meningkatnya sekresi dari hormone stres, contoh: adrenalin dan
nonadrenalin.
3. Gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung).
4. Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan.
5. Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom
kelelahan yang kronis (chronic fatigue syndrome ).
6. Gangguan pernafasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada.
7. Gangguan pada kulit

Universitas Sumatera Utara

26

8. Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot.
9. Gangguan tidur
10. Rusaknya fungsi imun, termasuk risiko tinggi kemungkinan
terkena kanker
c. Gejala Perilaku
Gejala-gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah:
1. Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan
2. Menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas
3. Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan
4. Perilaku sabotase dalam pekerjaan
5. Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai
pelampiasan, mengarah ke obesitas
6. Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan), sebagai bentuk
penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba,
kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi.
7. Meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi, seperti
menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi.
8. Meningkatnya agresivitas, vandalism, dan kriminalitas,
9. Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan
teman.
10. Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.

Universitas Sumatera Utara

27

2.2.5. Dampak Stres Kerja
Menurut Rice (1999), pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan
diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut
dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustasi dan
sebagainya. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan
aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti
tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mapu
berkonsentrasi, dan sebagainya. Sedangkan Arnold (1986) menyebutkan bahwa
ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh
individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance,
serta mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan (Waluyo, 2009).
Reaksi tubuh terhadap stressor pada seseorang sangat bervariasi dan
berbeda dari masing-masing orang yang menerimanya. Perbedaan reaksi tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor psikologis dan faktor socialbudaya seseorang. Mathews (1989) menjelaskan secara spesifik tentang reaksi
stres akibat kerja yaitu:
a. Reaksi Psikologis
Stres biasanya merupakan perasaan subjektif seseorang sebagai bentuk
kelelahan, kegelisahan dan depresi. Reaksi psikologis kepada stres
dapat dievaluasi dalam bentuk beban mental, kelelahan dan perilaku.

Universitas Sumatera Utara

28

b. Respon Sosial
Setelah beberapa lama mengalami kegelisahan, depresi, konflik dan
stres di tempat kerja, maka pengaruhnya akan dibawa ke dalam
lingkungan keluarga dan lingkungan sosial.
c. Respon stres kepada gangguan kesehatan atau reaksi fisiologis
Bila tubuh mengalami stres maka akan terjadi perubahan fisiologis
sebagai jawaban atas stres.
d. Respon Individu
Pengaruhnya tergantung dari sifat dan kepribadian seseorang. Dalam
menghadapi stres, individu dengan kepribadian introvert akan bereaksi
akan bereaksi lebih negatif dan menderita ketegangan lebih besar
dibandingkan dengan mereka yang berkepribadian ekstrovert.
2.3.

Pengaruh Paparan Kebisingan terhadap Stres Kerja
Kebisingan mempunyai pengaruh terhadap tenaga kerja, mulai gangguan

ringan berupa gangguan terhadap konsentrasi kerja, pengaruh dalam komunikasi
dan kenikmatan kerja sampai pada cacat yang berat karena kehilangan daya
pendengaran (Anizar, 2009).
a. Gangguan terhadap konsentrasi kerja dapat mengakibatkan menurunnya
kuantitas dan kualitas kerja. Hal ini pernah dibuktikan pada sebuah
perusahaan film di mana penurunan intensitas kebisingan berhasil
mengurangi jumlah film yang rusak, sehingga dapat menghemat bahan
baku.

Universitas Sumatera Utara

29

b. Gangguan dalam kenikmatan kerja berbeda-beda untuk tiap orang. Untuk
beberapa orang yang rentan, kebisingan dapat menyebabkan rasa pusing,
kantuk, sakit, tekanan darah tinggi, tegang dan stres yang diikuti dengan
sakit maag, kesulitan tidur. Gangguan konsentrasi dan kehilangan
semangat kerja.
c. Gangguan terhadap komunikasi akan mengganggu kerjasama antara
pekerja dan kadang-kadang mengakibatkan salah pengertian yang secara
tidak langsung menurunkan kuantitas dan kualitas kerja.
Kebisingan mempengaruhi daya kerja seseorang dan efek tersebut
merugikan baik ditinjau dari pelaksanaan kerja maupun dari hasil kerja boleh
dikatakan telah merupakan pendapat masyarakat pada umumnya (Suma‟mur,
2013). Pengaruh negatif demikian adalah sebagai berikut:
a. Gangguan secara umum
Selain gangguan terhadap kemampuan memusatkan perhatian atau
mengalihkan perhatian atau melemahkan motivasi, kebisingan dapat
menyebabkan rasa terganggu yang merupakan reaksi psikologis seseorang;
perasaan terganggu demikian bervariasi dalam besar dan coraknya atas
dasar sifat-sifat suatu kebisingan yang ditentukan oleh jenis kebisingan itu
sendiri, frekuensi dan intensitasnya.
b. Gangguan komunikasi dengan pembicaraan
Sebagai pegangan, gangguan komunikasi oleh kebisingan telah terjadi,
apabila komunikasi pembicaraan dalam pekerjaan harus dijalankan dengan
suara yang kekuatannya tinggi dan lebih nyata lagi apabila dilakukan

Universitas Sumatera Utara

30

dengan cara berteriak. Gangguan komunikasi seperti itu menyebabkan
terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin mengakibatkan kesalahan atau
kecelakaan, terutama pada penggunaan tenaga kerja baru oleh karena
timbulnya salah faham dan salam pengertian.
Intensitas kebisingan yang masih dibawah NAB secara fisiologis tidak
menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya sering
dapat menyebabkan penurunan performansi kerja, sebagai salah satu penyebab
stres dan gangguan kesehatan lainnya. Stres yang disebabkan karena pemaparan
kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dini, kegelisahan dan depresi
(Tarwaka, 2004). Secara spesifik stres karena kebisingan tersebut dapat
menyebabkan antara lain:
a. Stres menuju keadaan cepat marah, sakit kepala, dan gangguan tidur
b. Ganguan reaksi psikomotor
c. Kehilangan konsentrasi
d. Gangguan komunikasi antara lawan bicara
e. Penurunan performansi kerja yang kesemuanya itu akan bermuara
pada kehilangan efisiensi dan produktivitas kerja
Kebisingan yang diterima manusia dan berlangsung dalam waktu lama
harus dilakukan pengendalian atau pencegahan. Kebisingan dengan level yang
cukup tinggi di atas 70 dB dapat menimbulkan kegelisahan, kurang enak badan,
masalah pendengaran dan penyempitan pembuluh darah (Leslie L. Doelle, 1993).
Setiap aspek dari lingkungan kerja dapat dirasakan sebagai stres oleh
tenaga kerja. Tergantung dari persepsi tenaga kerja terhadap lingkungannya,

Universitas Sumatera Utara

31

apakah ia merasakan adanya stres ataukah tidak. Hal ini berarti bahwa pada situasi
kerja yang sama, seorang tenaga kerja dapat mengalami stres sedangkan lainnya
tidak (Anies, 2014).
2.4.

Kerangka Konsep

Stres Kerja

Kebisingan

Gambar 2.1 Kerangka Konsep
Keterangan:
Berdasarkan kerangka konsep di atas variabel yang diukur adalah variabel
bebas yaitu kebisingan yang terdapat pada pabrik tapioka PT. Hutahaean Wilayah
Tapanuli Kecamatan Laguboti dan variabel terikat yaitu stres kerja pada pekerja
pabrik.

Universitas Sumatera Utara