DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 1870-1875 Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah SKRIPSI

  

DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870

TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATEN

GROBOGAN TAHUN 1870-1875

  

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

  

SKRIPSI

Disusun Oleh:

Makaria Asfina Ratu

  

044314002

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2009

  

DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870

TERHADAP KEHIDUPAN PETANI

DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 1870-1875

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

SKRIPSI

  

Oleh:

Makaria Asfina Ratu

044314002

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

  

JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2009

LEMBAR PERSETUJUAN

  Skripsi dengan judul: “DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870

  

TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATEN GROBOGAN

TAHUN 1870-1875”, yang ditulis oleh Makaria Asfina Ratu/044314002.

  TELAH DISETUJUI OLEH: Pembimbing Drs. Silverio R.L.Aji Sampurno, M. Hum Tanggal 19 November 2009

HALAMAN PERSEMBAHAN

  

Skripsi ini kupersembahkan untuk;

Mendiang ayahku, Fransiscus Ambo.

  

Ibuku, Agustina Indrayani Inya.

  

Adikku, Samuel Kalimanjaya.

  

Dan...

Peri kecilku, Nathania Quella Izzi.

  

HALAMAN MOTTO

In order to succeed, we must first believe that we can.

  

(Michael Korda)

  

LEMBAR PENGESAHAN

DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP

KEHIDUPAN PETAHI DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 1870-1875

OLEH:

  

MAKARIA ASFINA RATU

044314002

“Dipertahankan di depan Panitia Penguji Skripsi Program Studi Ilmu

Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma pada

tanggal 17 Desember 2009”

Susunan Panitia Penguji

  

Ketua : Prof. P.J. Suwarno, S.H _____________

Anggota : 1. Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum _____________

  2. Drs. Ign. Sandiwan Suharso _____________

  3. Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno, M.Hum _____________

Yogyakarta, 17 Desember 2009

Fakultas Sastra

  

Universitas Sanata Dharma

Dekan,

PERYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi. Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain atau suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.

  Yogyakarta, Makaria Asfina Ratu

  044314002

  

ABSTRAK

Makaria Asfina Ratu

Universitas Sanata Dharma

  

Yogyakarta

  Skripsi berjudul “Dampak Pelaksanaan Agrarische Wet 1870 terhadap

  

Kehidupan Petani di Kabupaten Grobogan tahun 1870-1875” disusun

  berdasarkan tiga permasalahan pokok. Pertama, bagaimana keadaan Kabupaten Grobogan sebelum pelaksanaan Agrarische Wet 1870; kedua, bagaimana pelaksanaan Agrarische Wet 1870 di Kabupaten Grobogan; dan ketiga, apa dampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalisme dari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa kemiskinan itu bersifat fungsionalis. Kemiskinan perlu dipertahankan untuk melestarikan sebuah sistem yang ada dalam suatu lingkungan tertentu.

  Keadaan geografis dari Kabupaten Grobogan merupakan faktor penting penyebab pesatnya perkembangan usaha-usaha perkebunan, baik pada masa

  

Cultuurstelsel maupun masa liberal. Kemudian pelaksanaan Agrarische Wet 1870

  semakin mempertegas ‘politik pintu terbuka’ dan era perdagangan bebas di Hindia-Belanda. Perkembangan usaha-usaha perkebunan berdampak pada kehidupan petani di Kabupaten Grobogan. Dengan kondisi kehidupan yang subsisten, petani kemudian menjadi buruh di perkebunan-perkebunan swasta.

  Pada kenyataannya, idealisme liberal tidak tercapai. Petani yang seharusnya juga diuntungkan tidak merasakan keuntungan dari pelaksanaan

  

‘politik pintu terbuka’ dan era perdagangan bebas pada masa itu. Kegagalan

‘politik pintu terbuka’ dan perdagangan bebas pada sistem liberal membuktikan

  bahwa rakyat di Hindia-Belanda pada masa itu belum siap menghadapi era perdagangan bebas.

  

ABSTRACT

Makaria Asfina Ratu

Sanata Dharma University

  

Yogyakarta

  The thesis entitled “Dampak Pelaksanaan Agrarische Wet 1870

  

terhadap Kehidupan Petani d Kabupaten Grobogan Tahun 1870-1875” (The

Impact of the Realization of The Agrarische Wet 1870 to the Peasants’ Life in

the Grobogan Regency in 1870-1875) was formatted with three principal

  problems : first, how the condition of the Grobogan regency before the realization of The Agrarische Wet 1870 is; second, how the realization of The Agrarische Wet

  

1870 in the Grobogan residence is; and third, what its impacts to the peasants life

  are. This thesis uses the functionalism theory by Robert K. Merton who said that poverty has a functional characteristic, i.e., poverty is needed to support a system of a particular society.

  The geographical condition of the Grobogan regency was the main factor that caused the rapid development of the private plantation enterprises, either in the Cultuurstelsel period or in the liberal period. Then, the realization of The

  

Agrarische Wet 1870 affirmed the ‘open door policy’ and free trade era in East-

  Indies. The development of the private plantation enterprises had impacts to the peasants’ life. In the subsistence life, the peasants became the labors for the private plantations.

  In fact, the liberal’s idealism was not reached. The peasants who had to benefit from the ‘open door policy’ and free trade era did not feel the profit. The failure of the ‘open door policy’ and free trade in the liberal system proves that, in the period, people in the East-Indies were not yet ready to face the free trade era.

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Makaria Asfina Ratu Nomor Mahasiswa : 044314002

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

  “DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 1870-1875’ beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 17 Desember 2009 Yang menyatakan Makaria Asfina Ratu

KATA PENGANTAR

  Skripsi ini memberikan sebuah rekonstruksi mengenai Sejarah Agraria pada masa kolonial, khususnya masa liberal. Ketika membahas mengenai perkembangan perkebunan pada abad ke-19, maka sosok petani atau yang juga sering disebut sebagai buruh tani mempunyai keterikatan yang sangat erat.

  Ditinjau dari sudut pandang filsafat sejarah, konteks tersebut menunjukkan sebuah gerak spiral. Gerak sejarah spiral merupakan gabungan antara gerak sejarah siklis dan gerak sejarah linear. Karena di dalamnya terdapat unsur kesinambungan, maka gerak tersebut tidak hanya melulu siklis tetapi pada masanya muncul juga gerak linear.

  Pada masa kerajaan (feodal) raja merupakan tuan tanah, pemerintah kolonial sebagai golongan kapitalis dan petani sebagai buruh. Kemudian pada masa kolonial (Cultuurstelsel) melalui berbagai perjanjian dengan raja-raja pemerintah kolonial menjadi tuan tanah sekaligus golongan kapitalis dan petani sebagai buruh. Lalu pada masa liberal pemerintah kolonial sebagai tuan tanah dan para pemilik modal swasta sebagai golongan kapitalis, sedangkan petani tetap sebagai buruh. Perubahan kekuasaan dari raja ke pemerintah kolonial sebagai tuan tanah dan perubahan kekuasaan dari pemerintah kolonial ke para pemilik modal swasta sebagai golongan kapitalis mengidentifikasikan sebuah gerak linear dalam pola siklis yang ada.

  Ucapan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan berkah-Nya. Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada segenap staf pengajar di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma. Kepada Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum; Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M. Hum; Drs. Ign. Sandiwan Suharso; Drs. H. Purwanta, M. A; Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ; Dra. Lucia Juningsih, M. Hum; Prof. Dr. P. J. Suwarno, S. H; (alm.) Drs. G. Moedjanto, M.

  A. Terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah berbagi pengetahuan dan pengalaman serta menjadi motivator untuk dapat menemukan atau memberikan yang terbaik untuk masa depan.

  Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada mas Tri yang banyak membantu di Sekretariat Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma.

  Terima kasih juga kepada teman-teman seangkatan yang mengagumkan; Nana, Anon, Agus/P’De, Darwin, Kaka dan Buy. Kepada sahabat-sahabatku tercinta; Mami-Andar, Nenek Desy, Tante-Ve dan Wisni. Terima kasih atas dukungan yang terus-menerus kalian berikan. Terima kasih banyak kepada almarhum bapak, ibuku, adikku semata wayang dan si kecil; Izzi.

  Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama proses penulisan skripsi ini.

  

DAFTAR ISI

Halaman

  HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………… ii LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………. iii HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………… iv HALAMAN MOTTO……………………………………………………… v LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAAN KARYA …………………….. vi ABSTRAK …………………………………………………………………. vii ABSTRACT ……………………………………………………………….. viii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………………. ix KATA PENGANTAR ……………………………………………………… x DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. xii

  BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………

  1 A. Latar Belakang ...…………………………………………….........

  1 B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ………………………………

  5 C. Perumusan Masalah ………………………………………..............

  6 D. Tujuan Penelitian ………………………………………….............

  7 E. Manfaat Penelitian …………………………………………..............

  7 F. Kajian Pustaka ………………………………………………..........

  8 G. Landasan Teori ……………………………………………..............

  11 H. Metode Penelitian …………………………………………..............

  17 I. Sistematika Penulisan ……………………………………..................

  18 BAB II SEKILAS TENTANG KABUPATEN GROBOGAN………………………………………..........................

  21 A. Gambaran Umum dan Sejarah Kabupaten Grobogan………………

  21 B. Penduduk Kabupaten Grobogan ............................………………....

  23

  C. Sektor Perkebunan di Kabupaten Grobogan .....................................

  25 BAB III PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870

  DI KABUPATEN GROBOGAN …………………………………

  35 A. Cultuurstelsel dan Pelaksanaan Sistem Liberal di Hindia-Belanda ………………………………………….............

  37 B. Pelaksanaan Agrarische Wet 1870 di Kabupaten Grobogan ..............…………………………………..

  46 BAB IV DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870

  TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 1870-1875 ...……………………………...

  52 A. Dampak di Bidang Ekonomi ………………………………….....

  55 B. Dampak di Bidang Sosial ………………………………………..

  59 BAB V PENUTUP …………………………………………….....................

  66 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………

  76

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris yang berbasis ekonomi

  pertanian, dimana petani merupakan tulang punggung kelangsungan hidup dari masyarakat agraris tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh sejarahnya yang meskipun mengalami pergantian jaman, pertanian tetap eksis dan menjadi soko guru

  1

  kehidupan. Kehidupan agraris di Indonesia telah berlangsung sejak jaman kerajaan hingga sekarang. Seperti di Jawa, kehidupan yang berbasis agraris telah dimulai dari kerajaan Jawa Kuna hingga sekarang. Tetapi pada masa kolonial ada beberapa perubahan yang terjadi dalam kehidupan agraris tersebut. Petani yang merupakan tonggak dari kehidupan agraris tersebutlah yang lebih merasakan dampak dari perubahan yang terjadi pada masa itu.

  Sejak tahun 1830-an, kehidupan petani menjadi sangat memprihatinkan, terutama dengan diterapkannya Cultuurstelsel. Ciri utama dari Cultuurstelsel yang diperkenalkan oleh van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang mereka lakukan selama sistem pajak tanah

1 Suhartono W. Pranoto, Serpihan Budaya Feodal, (Yogyakarta, 2001),

  2

  masih berlaku. Melalui Cultuurstelsel ini, pemerintah Hindia-Belanda berharap dapat mengatasi permasalahan ekonomi negeri induk yang pada masa itu sedang mengalami keterpurukan.

  Selama masa Cultuurstelsel, seperlima tanah pertanian ditanami tanaman komersial yang jenisnya ditentukan oleh pemerintah. Upaya van den Bosch tidak sia-sia karena ekspor gula dari Jawa menguasai pasar dunia. Kerajaan Belanda menikmati keuntungan besar dari hasil Cultuurstelsel tersebut, kas negara kembali stabil bahkan dapat disebut sebagai sebuah surplus. Namun, di sisi lain kehidupan para petani semakin menurun karena lahan-lahan produktif (subur) dan beririgasi yang dulunya digunakan sebagai lahan pertanian diubah menjadi lahan perkebunan oleh pemerintah.

  Dalam perkembangannya Cultuurstelsel mendapat berbagai kritikan, terutama dari kaum liberal dan humanis. Kaum liberal berpendapat bahwa pemerintah seharusnya tidak ikut campur dalam urusan ekonomi, pihak swastalah yang lebih tepat mengurusi bidang tersebut sedang pemerintah fungsinya adalah menjadi pelindung warga negara, penyedia prasarana, penegak hukum, dan pengatur keamanan dan ketertiban. Sedang kritikan kaum humanis lebih pada masalah kesejahteraan hidup petani yang semakin memprihatinkan. Kritikan kaum humanis berangkat dari adanya kasus kelaparan yang menimpa petani di Jawa pada akhir tahun 1840-an. Kritikan kaum humanis tersebutlah yang

2 Penjelasan lebih lanjut silahkan baca dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (eds.), Sejarah Nasional Indonesia, Jil.

  kemudian memperkuat kritikan kaum liberal terhadap pemerintah. Perjuangan keduanya berbuah penghapusan Cultuurstelsel secara resmi pada tahun 1870.

  Dengan dihapusnya Cultuurstelsel, kemudian dimulailah suatu haluan politik baru oleh pemerintah Hindia-Belanda, yaitu Sistem Liberal. Adanya perubahan dalam sistem pemerintahan tersebut, menyebabkan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan di Hindia-Belanda. Sistem Liberal berarti bahwa Hindia-Belanda terbuka terhadap modal-modal swasta yang ingin berinvestasi di Hindia-Belanda. Kesempatan seperti ini mengakibatkan perkembangan perkebunan-perkebunan besar pada masa liberal, khususnya di pulau Jawa dan Sumatera. Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa pada tahun 1870, Belanda

  3

  memasuki periode kapitalisme modern yang ditandai dengan pelaksanaan “politik pintu terbuka”.

  Berdasarkan latar belakang tersebut, topik Dampak Pelaksanaan

  

Agrarische Wet 1870 terhadap Kehidupan Petani di Kabupaten Grobogan tahun

  1870-1875 menjadi menarik untuk dikaji. Ada dua alasan penting yang mendasari topik ini menjadi patut untuk dikaji lebih dalam, yaitu; pertama, Agrarische Wet tahun 1870 merupakan undang-undang agraria yang dikeluarkan pada masa liberal dengan idealisme akan kebebasan dan kesejahteraan umum, akan tetapi dalam pelaksanaan hingga pada akhirnya rakyat (khususnya petani) tetap tidak merasakan apa yang disebutkan sebagai kesejahteraan umum yang menjadi cita- cita perjuangan kaum liberal. Petani tetap menajdi korban eksploitasi agraria.

3 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah

  

Pergerakan Nasional. Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jil. I , (Jakarta,

  Kedua, dengan alasan pertama tadi terbukti bahwa Agrarische Wet tahun 1870 tidak memberikan sebuah pencerahan bagi petani masa itu. Akan tetapi, undang- undang agraria kita hingga saat ini masih berdiri dengan membawa jiwa

  

Agrarische Wet tahun 1870 di dalamnya. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji

  secara lebih mendalam karena kemudian muncul sebuah hipotesis bahwa apakah keterbelakangan petani yang terjadi di negara kita hingga saat ini ada kaitannya dengan jiwa Agrarische Wet 1870 yang tetap lestari dalam undang-undang agraria negara kita.

  Dipilihnya kurun waktu dari tahun 1870 sampai dengan 1875 adalah karena pada periode ini, khususnya di pulau Jawa dan Sumatera terjadi perkembangan usaha-usaha perkebunan milik swasta sebagai salah satu dampak dari pelaksanaan dari Agrarische Wet 1870. Pada masa pemerintahan Hindia- Belanda, wilayah Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah perkebunan- perkebunan besar Belanda di pulau Jawa. Kabupaten Grobogan merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang juga menjadi pusat perkembangan usaha-usaha perkebunan swasta. Selain itu, kehidupan petani di Grobogan terlihat bertolak belakang dengan pesatnya perkembangan perkebunan yang terjadi. Di satu sisi usaha perkebunan berkembang dengan pesat dari tahun 1870 sampai dengan tahun 1875, akan tetapi di sisi lainnya kehidupan petani tidak mengalami pekembangan yang serupa (ke arah lebih baik: sejahtera).

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

  Agar pembahasan dari permasalahan dalam penulisan ini tidak menjadi kabur, maka ada beberapa hal yang perlu diidentifikasikan. Pertama, kritikan- kritikan terhadap pelaksanaan Cultuurstelsel (1830-1870) merupakan sebuah proses perubahan politik di Hindia-Belanda. Kasus kelaparan dan wabah penyakit yang menimpa petani di Jawa pada akhir tahun 1840-an menjadi pukulan keras yang akhirnya membuat kaum humanis menuntut penghapusan Cultuurstelsel (1860). Bersamaan dengan hal tersebut, kaum liberal memenangkan politiknya di parlemen Belanda pada tahun 1870 sehingga Cultuurstelsel dihapuskan secara resmi dan dimulailah politik kolonial baru, yaitu politik liberal.

  Kedua, politik liberal pada dasarnya berarti komersialisasi Hindia- Belanda, dengan pelaksanaan ‘politik pintu terbuka’ maka penanaman modal swasta membanjiri Hindia-Belanda. Untuk mengontrol atau mengatur hal tersebut, dewan menteri de Waal mengeluarkan sebuah undang-undang yang dikenal dengan Agrarische Wet tahun 1870. Undang-undang ini secara garis besar memuat ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak atas tanah dan ketentuan penggunaannya. Pelaksanaan poltik liberal di Hindia-Belanda menyebabkan pesatnya perkembangan usaha-usaha swasta, khususnya di pulau Jawa dan Sumatera. Ketiga, pada kenyataannya Agrarische Wet tidak juga berhasil meningkatkan kesejahteraan hidup petani yang semakin lama semakin menunjukkan kemerosotan di tengah pesatnya perkembangan usaha swasta.

  Dalam metode sejarah dikenal dua batasan, yaitu batasan temporal atau waktu dan batasan spasial atau tempat. Dalam penulisan ini, batasan temporal atau waktu yang digunakan adalah periode tahun 1870 sampai dengan tahun 1875. Tahun 1870 merupakan awal mula masuknya modal swasta, selain pengusaha Belanda, ke Hindia-Belanda yang kemudian menyebabkan berkembangnya perkebunan-perkebunan di Hindia-Belanda swasta. Sedang tahun 1875 menunjukkan peningkatan dari perkembangan perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatera yang juga disertai dengan berdirinya industri-indudtri perkebunan dalam skala besar. Sedangkan batasan spasial atau tempat yang digunakan dalam penulisan ini adalah Kabupaten Grobogan yang terletak di Jawa Tengah.

  C. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut:

  a. Bagaimana keadaan Kabupaten Grobogan sebelum pelaksanaan

  Agrarische Wet 1870?

  b. Bagaimana pelaksanaan Agrarische Wet 1870 di Kabupaten Grobogan?

  c. Apa dampak Agrarische Wet terhadap kehidupan petani di Kabupaten Grobogan tahun 1870-1875?

  D. Tujuan Penulisan

  Tujuan dari penulisan ini secara garis besar terbagi dua, antara lain sebagai berikut: a. Akademis Tulisan ini bertujuan untuk menambah wawasan khususnya menyangkut masalah agraria di Indonesia, khususnya sejarah perkebunan dan petani di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah periode 1870-1875.

  b. Praktis Tulisan ini bertujuan untuk merekonstruksi seperti apa sistem perkebunan Belanda yang diterapkan di Jawa. Dengan rekonstruksi tersebut, maka tulisan ini juga akan merekonstruksi seperti apa dampaknya terhadap perkembangan perkebunan dan kehidupan petani.

  E. Manfaat Penulisan

  a. Teoretis Tulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sebuah wacana pembelajaran tentang pengalaman di masa lalu, sehingga masyarakat luas dapat merencanakan masa depan yang jauh lebih baik lagi.

  b. Praktis Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi pihak- pihak yang ingin melakukan penelitian serupa.

  F. Kajian Pustaka

  Sebagai suatu ilmu yang mempelajari masa lalu umat manusia maka studi sejarah menggunakan rekaman peristiwa masa lalu sebagai sumber sejarah yang akan ditelitinya. Rekaman peristiwa masa lalu tersebut berupa buku dan media cetak lainnya yang akan digunakan dalam penulisan ini. Dikarenakan keterbatasan dalam menemukan dan menggunakan sumber-sumber primer, maka sumber- sumber yang akan digunakan dalam penulisan ini merupakan sumber sekunder, yaitu sumber yang berasal dari tangan kedua. Artinya, sumber-sumber tertulis yang digunakan bukan merupakan tulisan orang yang terlibat secara langsung dalam peristiwa tersebut.

  Beberapa buku yang digunakan dalam penulisan ini antara lain adalah buku yang ditulis oleh Furnivall yang berjudul Netherlands India. Dalam buku ini, Furnivall memberikan deskripsi mengenai Hindia-Belanda, ia memberikan uraian yang cukup lengkap mulai dari latar belakang atau masa transisi menuju liberalisasi, dinamika sistem tersebut, dan dampak atau hasil dari penerapan sistem tersebut di Hindia-Belanda. Tetapi, uraian-uraian tersebut terasa kurang mendalam. Dijelaskan dalam bukunya mengenai bagaimana penerapan sistem liberal di Hindia-Belanda dalam bidang perkebunan secara umum. Dalam penulisan ini juga digunakan buku yang ditulis oleh Suhartono W. Pranoto dengan judul Serpihan Budaya Feodal (Yogyakarta, 2001). Buku ini merupakan kumpulan dari makalah atau artikel-artikel milik penulis. Beberapa tulisan yang terangkum dalam buku ini memaparkan potret kehidupan petani, baik pada masa kerajaan, kolonial, maupun masa kini. Memang Surakarta merupakan salah satu daerah istimewa pada periode 1830-1875 dan kehidupan petani di daerah ini sama memprihatinkan dengan yang terjadi di daerah perkebunan dan industri swasta yang sedang berkembang di Hindia-Belanda. Berangkat dari tulisan tersebut melihat Grobogan yang pada masa itu termasuk suatu wilayah dalam Karesidenan Semarang sebagai salah satu pusat perkebunan tebu dan industri gula terbesar di Jawa, maka harusnya ini juga menjadi suatu perihal yang patut dikaji. Selain tulisan Furnivall dan Suhartono W. Pranoto tersebut, juga digunakan buku

  

Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (Jakarta, 1984) yang disusun oleh Marwati

  Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan. Dalam buku ini, editor menguraikan bagaimana sejarah Indonesia khususnya abad ke-18 dan ke-19. Buku ini sedikit banyak memberikan uraian mengenai perkembangan ekonomi Indonesia pada abad ke-19, pada bagian tersebut terdapat uraian mengenai sistem sewa tanah, sistem tanam paksa, dan sistem liberal. Tetapi karena buku ini hanya memaparkan pembahasan-pembahasan tersebut secara garis besar saja, maka pemaparannya cenderung kurang mendalam.

  Selain ketiga buku yang isinya telah dijelaskan secara singkat di atas, penulisan ini juga menggunakan buku-buku lainnya dengan isi yang berkaitan dengan topik penulisan ini. Adapun buku-buku tersebut antara lain adalah buku yang ditulis oleh Clifford Geertz dengan judul Agricultural Involution: The

  

Process of Ecological Change in Indonesia (Barkeley, 1963); Soediono M. P.

  Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, sebagai penyunting buku berjudul Dua

  

Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa

ke Masa (Jakarta, 1984); The History of Java (London, 1817) tulisan Thomas

  Stamford Raffles; dan beberapa buku lainnya.

  Potret kehidupan petani Indonesia merupakan sebuah kajian yang menarik dari masa ke masa. Banyak penulis maupun peneliti mengkaji topik-topik yang berkaitan dengan dinamika kehidupan petani. Edi Cahyono dalam skripsinya yang berjudul Karesidenan Pekalongan Kurun Cultuurstelsel: Masyarakat Pribumi

4 Menyongsong Pabrik Gula , memberikan suatu analisis mengenai berbagai

  macam dampak dari berdirinya pabrik-pabrik gula di Jawa, khususnya di Pekalongan. Salah satu dampak yang disebutkan Edi Cahyono dalam tulisannya adalah bahwa berdirinya pabrik gula telah menyebabkan masyarakat Jawa yang awalnya bermata pencaharian sebagai petani beralih menjadi buruh pabrik. Dalam penulisan ini ditemukan adanya kesamaan dengan tulisan Edi Cahyono, seperti peralihan mata pencaharian tersebut. Setelah dikeluarkannya Agrarische Wet pada tahun 1870, perkebunan-perkebunan swasta berkembang dengan sangat pesat di pulau Jawa dan Sumatera. Di Jawa, dalam kasus ini, petani juga kemudian beralih menjadi buruh perkebunan.

  Berbeda dengan kasus dalam tulisan Edi Cahyono, tulisan ini mencoba memberikan suatu penjelasan yang bersifat klarifikasi. Selama ini masih saja ada orang yang beranggapan bahwa ketika petani dihadapkan dengan suatu pertumbuhan industri, maka dengan serta merta petani kemudian beralih profesi menjadi buruh. Pendapat demikian tidaklah salah, hanya saja orang terkadang melupakan bahwa terkadang beberapa petani tidak begitu saja meninggalkan profesinya sebagai petani dan menjadi buruh sepenuhnya. Dengan latar belakangan ekonomi petani pada tahun 1800-an dan terutama setelah

  

Cultuurstelsel , bahkan setelah dikeluarkannya Agrarische Wet 1870, petani tetap

  4

  5

  mempunyai kehidupan yang subsisten. Dengan kehidupan ekonomi yang subsisten petani harus bekerja lebih keras untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga membutuhkan penghasilan tambahan. Petani tidak meninggalkan lahan pertanian untuk bekerja di lahan perkebunan , tetapi bukan berarti mereka tidak bekerja di lahan perkebunan. Dengan latar belakang ekonomi tersebut bekerja di lahan pekebunan memang menjanjikan, tetapi untuk memenuhi kebutuhan pangan petani tetap mengolah lahan pertanian. Tulisan ini akan memberikan klarifikasi bahwa ada tiga unsusr penting yang jelas berbeda, yaitu petani, buruh tani, dan petani yang juga buruh tani.

  Dengan adanya seleksi dan kritik sumber yang dilakukan secara bersamaan dalam langkah tersebut, maka tulisan ini mencoba menyajikan suatu karya dengan tujuan melengkapi kekurangan-kekurangan yang terdapat pada tulisan-tulisan atau penelitian-penelitian sebelumnya.

G. Landasan Teori

  Dalam penulisan ini ada beberapa konsep yang digunakan sebagai dasar landasan teori. Konsep-konsep tersebut antara lain adalah petani, pertanian, perkebunan, Cultuurstelsel, Kerja Wajib, dan Sistem Liberal. Petani adalah orang

  6

  yang mata pencahariannya bercocok tanam (mengolah tanah). Dalam penulisan ini juga harus dibedakan secara jelas konsep antara pertanian dan perkebunan.

  5 Dalam konteks penulisan ini, kehidupan subsisten yang dialami petani

  dimengerti sebagai ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

  6 W. J. S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Lahan pertanian ditanami dengan tanaman-tanaman pangan, seperti padi, jagung, dan lain-lain (bukan tanaman komersial). Sedangkan lahan perkebunan ditanami dengan tanaman-tanaman komoditi pasar, seperti kopi, tebu, tembakau, dan lain- lain yang termasuk kategori tanaman komersial.

  Pada dasarnya Cultuurstelsel atau sistem tanam berarti pemulihan sistem eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dipraktekkan VOC dahulu. Sistem tanam mewajibkan petani untuk menanam tanaman-tanaman komersial yang jenisnya ditentukan oleh pemerintah untuk diekspor ke pasaran dunia. Van den Bosch, gubernur Hindia-Belanda yang menerapkan sistem tersebut, yakin bahwa cara ini sangat efektif untuk memperoleh tanaman ekspor yang dibutuhkan sebagai komoditi perdagangan di pasar dunia.

  Istilah Kerja Wajib dalam penulisan ini berarti himpunan berbagai jenis kerja yang wajib dilakukan oleh rakyat untuk kepentingan pemerintah, pejabat, atau kepentingan umum.

  Pada dasarnya kerja wajib pada abad ke-19 terdiri atas empat kategori, yaitu: a. Kerja umum (heerendiensten), terdiri dari berbagai jenis kerja di sektor pekerjaan umum, pelayanan umum, dan penjagaan keamanan; b. Kerja wajib pancen (pancendiensten), khusus untuk melayani rumah tangga pejabat. Kerja ini sebenarnya termasuk kategori kerja wajib umum; c. Kerja wajib tanam (cultuurdiensten), meliputi sektor pertanian, terdiri dari berbagai jenis kerja di bidang penanaman, pengolahan dan pengangkutan tanaman wajib dari pemerintah;

  d. Kerja wajib desa (desadiensten, gemeendiensten), meliputi jenis kerja untuk kepentingan kepala desa dan bermacam-macam pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan warga desa dan lingkungan desa pada

  7 umumnya.

  Sebagai suatu sistem pajak, kerja wajib merupakan ekstraksi tenaga kerja petani, baik untuk kepentingan raja, pemerintah kolonial maupun untuk kepentingan masyarakat pada umumnya. Kerja wajib dan penyerahan wajib merupakan ujung tombak dari pelaksanaan Cultuurstelsel yang mau tidak mau berpengaruh buruk terhadap kehidupan petani dan ekonomi desa.

  Dalam penulisan ini yang dimaksud dengan Sistem Liberal adalah suatu kebijakan pemerintah kolonial dimana modal swasta diberi peluang sepenuhnya

  8

  untuk mengusahakan kegiatan di Hindia-Belanda. Sistem ekonomi yang baru ini menyebabkan pertumbuhan perkebunan semakin meluas. Sistem Liberal juga berarti lembaran baru bagi petani untuk mendapatkan uang dengan cara yang baru pula, yaitu dengan menjual tenaga atau menyewakan tanah pada pihak-pihak swasta yang menanamkan modalnya di sektor perkebunan. Perkebunan menjadi

  7 A. M. Djuliati Suryo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890 , (Yogyakarta, 2000), hal. 24-25.

  8 Marwati Djorned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah pusat kekuasaan dan petani sangat tergantung pada kekuasaan tersebut. Dominasi

  9 kekuasaan sepenuhnya ada pada perkebunan dan petani menjadi klien yang loyal.

  Raffles pada masa kekuasaannya di Hindia-Belanda menerapkan suatu kebijakan agraria, yaitu dalam masalah tanah dengan melakukan registrasi kadestral yang dapat dikatakan mengacu pada teori David Ricardo tentang pajak

  10

  tanah (the rent of land). Pola penguasaan tanah pada masa Raffles mencoba menghilangkan peranan golongan feodal lama (penguasa lokal; raja) dan menggantinya dengan kekuasaan pemerintah jajahan yang tetap berciri feodal. Tanah adalah milik pemerintah. Maka, di desa semua tanah tersebut adalah milik desa. Sehingga pemerintah desa membayar pajak yang besarnya telah ditetapkan oleh pemerintah. Pada wilayah-wilayah dimana kekuasaan lokal tidak efektif Raffles langsung mengundang pemodal asing untuk mengikuti lelang sehingga sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil panen.

  Kemudian pada masa van den Bosch, gubernur jenderal yang kemudian memerintah di Hindia-Belanda menggantikan Raffles, memanfaatkan kebijakan yang telah diterapkan tersebut. Jika tidak ada pencatatan luas tanah, maka akan sulit bagi van den Bosch untuk menerapkan Cultuurstelsel di Jawa. Dengan adanya kebijakan Raffles tersebut, maka ia dapat dengan mudah memaksa petani untuk meluangkan 1/5 dari luas tanahnya untuk ditanami tanaman tertentu, seperti kopi, tebu, tembakau, dan lain sebagainya. Dapat dikatakan bahwa kebijakan

  9 A. M. Djuliati Suroyo. Op. cit., hal,114.

  10 Sumitro Djojohadikusumo. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Buku I: tersebut mengacu pada teori dari Thomas Robert Malthus tentang sewa tanah dan masalah penduduk. Dalam pandangan Malthus, penduduk dalam jumlah dan tingkatan hidupnya langsung berkaitan dengan tersedianya sumber kehidupan

  11

  manusia (sumber daya produksi) . Pulau Jawa merupakan wilayah di Hindia- Belanda dengan jumlah penduduk terbesar pada masa itu, yang berarti tersedianya tenaga kerja dalam julah besar yang dapat mensukseskan Cultuurstelsel yang dicetuskan oleh van den Bosch.

  Menurut Robert K. Merton kemiskinan itu bersifat fungsional, untuk itu kemiskinan perlu dipertahankan untuk melestarikan sebuah sistem yang ada dalam suatu lingkungan tertentu. Kemiskinan dapat disebut sebagai subsidi bagi berbagai kegiatan ekonomi yang menguntungkan orang-orang kaya atau golongan atas. Kemiskinan menjamin tersedianya tenaga kerja yang dapat dibayar murah untuk pekerjaan-pekerjaan berat (kasar). Kemiskinan yang dialami oleh petani di Grobogan selama masa-masa perkembangan perkebunan dalam jumlah besar di daerah tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu sifat fungsional dari keadaan tersebut untuk melestarikan sistem eksploitasi oleh kolonial maupun pemilik modal. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa sifat fungsional dari kemiskinan tersebut hanya menguntungkan golongan atas, yang dalam konteks ini ialah pemerintah kolonial maupun pihak swasta. Sedangkan golongan bawah, yaitu petani tidak diuntungkan dengan kemiskinan yang terus dipertahankan oleh golongan atas.

  11

  Agrarische Wet 1870 pada Sistem Liberal dapat dikatakan berdasar pada pemikiran yang serupa dengan pemikiran Raffles dan van den Bosch tersebut.

  Baik Agrarische Wet maupun Sistem Liberal itu sendiri pada dasarnya merupakan ajang komersialisasi Hindia-Belanda dengan membuka peluang bagi para pemilik modal swasta. Agrarische Wet 1870 semakin mempertegas hal tersebut. Dengan

  

Agrarische Wet 1870 pemilik modal dapat menguasai tanah, penduduk (tenaga

  kerja), dan hasil panen. Kemiskinan yang terjadi juga merupakan suatu keadaan yang perlu dilestarikan agar pemerintah kolonial maupun pemilik modal dapat terus melakukan eksploitasi terhadap tanah maupun penduduknya.

  Berbagai kebijakan dan sistem yang diterapkan pemerintah kolonial dalam bidang agraria sepanjang tahun 1870 tentu saja mempunyai banyak dampak. Ada banyak perubahan yang terjadi dalam kurun waktu tersebut terutama di daerah- daerah perkebunan seperti di Grobogan. Beberapa perubahan yang sangat menonjol adalah perubahan di bidang ekonomi dan sosial. Dampak di bidang ekonomi dapat dilihat dengan jelas yaitu timbulnya kemiskinan di kalangan petani, sedang untuk dampak sosial, salah satunya adalah muncul golongan baru dalam masyarakat, yaitu golongan buruh. Untuk itu, dalam penulisan ini akan digunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan ekonomi dan pendekatan sosial.

  Pendekatan ekonomi digunakan untuk mendeskripsikan kesejahteraan hidup petani. Selain itu, pendekatan ini juga akan sangat membantu dalam menelaah latar belakang dikeluarkannya Agrarische Wet 1870 pada masa liberal oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pendekatan sosial digunakan untuk memaparkan tentang kehidupan petani, baik peran dan kedudukannya dalam masyarakat di Jawa pada umumnya dan di Kabupaten Grobogan pada khususnya. Pendekatan sosial juga digunakan untuk melihat dan menganilisis perubahan-perubahan sosial dalam kehidupan petani di Kabupaten Grobogan pada khususnya sebagai akibat dari perkembangan perkebunan pada tahun 1870.

H. Metode Penelitian

  Sebagai sebuah studi sejarah, penelitian ini tentu menggunakan metode sejarah. Metode sejarah dalam konteks penulisan ini adalah proses menguji dan

  12

  menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lalu. Tulisan ini merupakan sebuah kajian pustaka, sehingga metode yang akan dilakukan dalam penulisan ini adalah mengumpulkan sumber-sumber tertulis baik primer maupun sekunder. Akan tetapi, karena keterbatasan dalam menemukan dan menggunakan sumber primer, maka penulisan ini akan lebih banyak menggunakan sumber tertulis yang bersifat sekunder dan juga tersier. Sumber-sumber tertulis ini tidak hanya terbatas pada jenis buku dan media cetak lainnya, tetapi juga termasuk beberapa sumber yang diambil dari situs-situs internet.

  Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu pertama, pengumpulan data; kedua, analisis data; dan ketiga penulisan. Tahap pertama, pengumpulan data. Proses ini dilakukan di perpustakaan-perpustakaan maupun dengan cara browsing melalui internet.

12 Penjelasan selebihnya lihat, Louis Gottschalk, terj. Nugroho

  Dalam proses ini terdapat sistem seleksi untuk mendapatkan data-data yang sesuai dengan topik yang akan dikaji.

  Kedua, analisis data. Pada bagian ini data-data yang telah terkumpul pada tahapan sebelumnya diolah melalui proses interpretasi. Data-data yang telah diseleksi pada saat pengumpulan data dihadapkan dengan teori dan pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini, sehingga tercipta suatu analisis data.

  Ketiga, penulisan atau historiografi. Tahap ketiga ini merupakan langkah terakhir dari metode yang digunakan dalam penulisan ini. Setelah melalui ketiga tahapan sebelumnya, maka terakhir adalah menyajikan data-data yang telah diinterpretasikan tersebut dalam bentuk tulisan, yaitu skripsi.

I. Sistematika Penulisan

  Sesuai dengan garis besar permasalahan yang telah dipaparkan pada bagian perumusan masalah di awal, maka studi sejarah sekitar dampak dari pelaksanaan Agrarische Wet 1870 terhadap kehidupan petani di Kabupaten Grobogan dari tahun 1870 sampai dengan tahun 1875 disusun menurut sistematika penulisan yang terpadu dalam urutan waktu tertentu.

  Studi ini di awali dengan uraian deskriptif-naratif mengenai kehidupan agraris di Hindia-Belanda pada abad ke-19, khususnya di Jawa. Bagian ini akan memaparkan bagaimana kondisi Hindia-Belanda di bawah pemerintahan Raffles– sebagai pengantar–juga di bawah van den Bosch (1830-1870). Kebijakan- kebijakan agraria apa saja yang telah diterapkan selama masa itu. Sedikit menyinggung latar belakang van den Bosch menerapkan Cultuurstelsel dan pelaksanaannya yang kemudian menimbulkan berbagai kritikan hingga kemudian dihapuskannya Sistem Tanam tersebut.

  Pada bab II dipaparkan tentang kondisi Kabupaten Grobogan sebelum pelaksanaan Agrarische Wet 1870. Uraian tersebut akan disusun secara kronologis dimulai dari periode Cultuurstelsel sampai dengan periode Sistem Liberal.

  Bab III pelaksanaan Agrarische Wet 1870. Uraian analisis ini akan diawali dengan uraian mengenai pelaksanaan Sistem Liberal sebagai suatu haluan politik baru di Hindia-Belanda yang kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan baru, seperti Agrarische Wet 1870. Setelah itu dilanjutkan dengan uraian mengenai pelaksanaannya.

  Bab IV sebagai inti dari ketiga bab analisis dalam penulisan ini memaparkan mengenai dampak dari pelaksanaan Agrarische Wet 1870 terhadap kehidupan petani di Kabupaten Grobogan tahun 1870-1875. Dapat dikatakan bahwa Agrarische Wet 1870 memberi dampak langsung terhadap liberalisasi perkebunan dan dampak tidak langsung terhadap kehidupan petani. Agrarische