SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

STUDI KASUS: PERSEPSI KORBAN BULLYING TERHADAP FENOMENA BULLYING YANG TERJADI DI SEKOLAH SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun oleh : Nama : Fransisca Ratih Ariani

  

NIM : 039114073

  Ap a ra ha sia te rb e sa r d a la m hid up ini ? Me le wa ti ha ri d e ng a n p e nuh ma kna .

  Ma kna te nta ng c inta , ilmu, d a n ima n. De ng a n c inta , hid up me nja d i ind a h...

  De ng a n ilmu, hid up me nja d i mud a h...

  Da n d e ng a n ima n, hid up me nja d i te ra ra h…..

  (Mo tiva si ne t).

  Kupersembahkan karya ini bagi : Yesus Kristus dan Bunda Maria, kedua orang tuaku,

dan para korban bullying dimanapun mereka berada

“trust me, you are not alone…..”

  

ABSTRAK

Fransisca Ratih Ariani (2008). Studi Kasus: Persepsi Korban Bullying

terhadap Fenomena Bullying yang Terjadi di Sekolah. Yogyakarta: Fakultas

Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

  Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai persepsi korban Bullying terhadap Bullying yang terjadi di sekolah. Gambaran mengenai persepsi korban bullying terhadap bullying di sekolah meliputi cara pandang korban terhadap kekerasan dan bullying, bentuk-bentuk bullying yang dialami, penyebab terjadinya bullying, durasi waktu terjadinya bullying, dan reaksi orang tua, teman, dan guru.

  Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus, dengan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam. Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa korban bullying mempersepsikan bullying sebagai suatu hal yang menyakitkan menimbulkan perasaan tertekan dan kesepian, dan mengganggu dalam proses belajar di sekolah. Para korban dalam penelitian ini mengambil langkah yang berbeda untuk menghentikan bullying yang terjadi. Subjek 1 dengan cara menarik diri dari siswa- siswa lain, subjek 2 dengan cara menuruti kemauan pelaku, dan subjek 3 dengan cara keluar dari sekolah. Selain itu diketahui bahwa para korban mengharapkan dukungan dari guru-guru agar membantu menyelesaikan masalah bullying yang dialami oleh siswa

  Kata kunci: Persepsi, Bullying, Korban Bullying

  

ABSTRACT

Fransisca Ratih Ariani (2008). Case Study: The Victim’s Perception of

Bullying Phenomenon in School. Yogyakarta: Faculty of Psychology, Sanata

Dharma University.

  This research aimed at describing the victims’ perception of Bullying phenomenon in School. The description of the victims’ perception of bullying phenomenon refers to the victims’ point of view toward violence and bullying, the manifestation of the bullying they experienced, the cause of the bullying, the duration of the bullying, and the respond from their parents, friends, and teachers.

  This research was a qualitative case study. Data for the study were obtained through in depth interviews with the respondents. There were three respondents in this study.

  The result showed that the victims of the bullying perceived that bullying was a painful experience which resulted in depressed and loneliness and disturbed their learning process at school. The victims of the bullying in this study took different ways to cope with this problem. Subject 1 tried to withdraw from other students, subject 2 just accepted the bullying happened to her and just follow what she was told to do, and subject 3 moved from the school where he got this bullying experiences. In the meantime, it was revealed that the victims hoped to get the teachers supports to solve their bullying problem.

  Keywords: Perception, Bullying, Bullying Victim

  Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyususnan skripsi dengan judul “Persepsi Korban Bullying terhadap Bullying yang Terjadi di Sekolah”. Adapun Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai derajat Sarjana Psikologi pada Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma.

  Penulis menyadari bahwa dalam proses belajar di Program Studi Psikologi, seja awal studi sampai berakhirnya studi melibatkan banyak hal. Atas segala saran, bimbingan, dukungan dan bantuan, pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

  1. Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria, dan para malaikat pelindungku yang selalu membimbing dan menolongku.

  2. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

  3. Sylvia CMYM, S.Psi., M.Si, selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

  4. Agnes Indar E, S.Psi., M.Si, selaku dosen pembimbing akademik, “Makasih

  buat, dukungan dan, nasehat saat saya merasa jatuh. Keep survive is the key! 5.

  Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan juga Nimas Eki, S.Psi, M.Si, “Trimakasih banyak atas waktu, perhatian,

  saran, dukungan, dan kesabaran yang telah diberikan sampai selesainya skripsi ini.”

  6. Pak Tatang, Mas Cahyo, dan budhe tersayang (alm) di Humas USD.

  “Daddy!!! Seneng ya ternyata kalo udah beres... Makasih banget buat ilmu,

  perhatian & dukungannya, dad...” 7.

  Pak Bambang, Mbak Atik, Mbak Wira, Mbak Ruth, Mas Devi, Mas Heru, Pak Pri, n Mas Kris di BAA. Intan, Kadek, Bunga, Yosep, Hartono, Dicky, Yosia,

  “Makasih buat kerja team-nya. Sukses!!” 8.

  Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji, Pak Giek, Mas Donny, di Psikologi, n Peye dkk di Mrican, 9. Pak Supratiknya, (“Trims jurnal-jurnalnya, Pak”), seluruh dosen di Fak.

  Psikologi USD, juga Ibu Nunung dan semua guruku dari TK hingga saat ini.

  10. Drs. Deny Supriatna & My Great Mother, My Hero, and My Angel, Ibu Dra.

  Efrasina Tri Wanito Murni. “I hope I can make you proud, mum.. I love you

  so much..” 11.

  Yuliana Padmowiryono, om Bambang, mbak Anggra, budhe Dwi, te Tutik n all of my family. Willbi, Lissie, dkk, Cindy 1 & Cindy 2, “Ndy!!! Makasih ya

  udah ditemenin pagi siang malem.” 12.

  Andreas Janis Harulito (Pipul, om Haryadi & tante Yuli), “Makasih buat

  kesabaran, doa, dukungan, kasih sayang, dan semuanya… I’ve learnt so many things from you…”.

  13. Rm Sunu, Rm. Insyaf, Rm Heru (di LA), dan Rm Halim. “Makasih buat dukungan dan doanya… upahmu besar di surga ^^”.

  14. Dzaki, Denni, Aam, Nana, Arista, Isa, n smua sobatQ di EEC… “Kalian salah satu supporter setiaku!!”.

  15. Ignatius Setiawan, S.Pd, M.Si yang udah mau baca kerjaanQ di tengah2 sibuknya kerjaan di kantor, “Makasih ya mas…”.

  16. DF. Vembrietto H (om Hayono+tante Sri and family), P. Narendra Utama (om Budi + tante Endang, mbak Ruli, mbak Kris dll di MSD.

  17. YEIMOSRAXTI, Yoko, Meidi, Mira, Yosi, Krisna, n Tanti. Juga Patria Club, Safat, Angga, Pur, Iyong, Mula, dll, “Tahun-tahun pas kita bareng kerasa

  cepeeeeeett banget ya.. seru, rame, sejuta rasa, warna-warni!” 18.

Semua subjek dalam penelitian ini (+family) dan semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberi masukan

  selama penyelesaian Tugas Akhir ini.

  Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Tugas Akhir ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, serta jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi banyak pihak dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut.

  Yogyakarta, Mei 2008 Penulis

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL………………………………………………………………i LEMBAR PERSETUJUAN………………………………………………………ii LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………....iv HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………………..v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………………….vi ABSTRAK……………………………………………………………………….vii

  

ABSTRACT ………………………………………………………………………viii

  LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………………….....ix KATA PENGANTAR…………………………………………………………….x DAFTAR ISI……………………………………………………………………...xi DAFTAR TABEL……………………………………………………………….xiii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….....xiv

  BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….......1 A. Latar Belakang………………………………………………...1 B. Rumusan Masalah ……………………………………………8 C. Tujuan Penelitian ……………………………………………..8 D. Manfaat Penelitian…………………………………………….9 BAB II DASAR TEORI …………………………………………………10 A. Persepsi……………………………………………………....10 1. Pengertian Persepsi………………………………………10 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi …………….13 3. Jenis Persepsi…………………………………………… 14 Aspek-aspek Persepsi…………………………………….15 B. Bullying …………………………………………………………….16 1. Pengertian Bullying ……………………………………...16 2. Aspek-aspek dalam Bullying……………………………. 19 3. Bentuk - bentuk Bullying ………………………………..20 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Bullying.. 23 C. Korban Bullying……………………………………………….. 26

  D.

  Persepsi Korban terhadap Fenomena Bullying di Sekolah…..27

  BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………….29 A. Jenis Penelitian ………………………………………………29 B. Definisi Operasional …………………………………………29 C. Subjek Penelitian …………………………………………….30 D. Metode dan Alat Pengumpulan Data ………………………..31 E. Analisis Data ………………………………………………...33 F. Pemerikasaan Keabsahan Data ……………………………...36 1. Kredibilitas …………………………………………..36 2. Dependabilitas ……………………………………….38 BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ………………..40 A. Pelaksanaan Penelitian ………………………………………40 B. Hasil Penelitian ……………………………………………...41 C. Pembahasan ………………………………………………….81 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………..93 A. Kesimpulan ……………………………………………...…..93 B. Saran ……………………………………………………...….93 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………... 95 LAMPIRAN……………………………………………………………………..99

  

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kode Organisasi Data……………………………………………35Tabel 3.2 Kode Analisis Data Wawancara…………………………………35Tabel 3.3 Rangkuman Hasil Penelitian…………………………………….79

  

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1. WWCR1, S1, 210108........................................................................99 Lampiran 2. WWCR2, S1, 150308......................................................................112 Lampiran 3. WWCR1, S2, 240208......................................................................119 Lampiran 4. WWCR2, S2, 120308......................................................................131 Lampiran 5 WWCR1, S3, 240208.......................................................................139 Lampiran 6 WWCR2, S3, 100308.......................................................................152

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekolah harus menjadi tempat dan lingkungan yang aman karena

  menjadi tempat belajar dan berkembang bagi anak (Neser, Ovens, Merwe, Morodi dan Ladikos, 2002), namun berbagai hasil penelitian telah menunjukkan bahwa sekolah telah menjadi tempat yang tidak aman karena terkontaminasi oleh berbagai bentuk kekerasan yang dapat membahayakan proses belajar. Hironimus Sugi (Indarini, 2007) menyatakan hasil kesimpulan dari penelitian yang dilakukan pada tahun 2005 pada 18 propinsi di Indonesia. Kesimpulan tersebut menunjukkan bahwa sekolah bisa menjadi tempat yang berbahaya untuk anak-anak karena banyaknya bentuk kekerasan di sekolah.

  Kekerasan yang terjadi tidak hanya secara psikologis, namun juga bisa terjadi secara fisik. Contoh kekerasan psikologis adalah yang menimpa Fifi Kusrini, seorang gadis remaja berusia 13 tahun siswi SMP

  10 Bantar Gebang Bekasi. Ia ditemukan tergantung di kamar mandi tukang bubur sehingga ia mengalami depresi dan akhirnya bunuh diri (Bangu dalam www.batampos.co.id). Linda Utami, 15 tahun, siswi kelas 2 di SLTPN 12 Jakarta menggantung dirinya di kamar tidur hingga tewas karena depresi. Seperti pada kasus Fifi, teman-teman Linda sering mengejeknya karena ia tidak naik kelas.

  Contoh kekerasan fisik adalah yang terjadi pada Cliff Muntu, praja

  IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) pada tahun 2007. Cliff tewas karena budaya senioritas di IPDN yang menyertakan kekerasan fisik (Bangu, dalam). Korban lainnya adalah Muhamad Fadhil Harkaputra Sirath, 15 tahun, siswa kelas X SMA Pondok Labu Jakarta Selatan yang disiksa seniornya hingga mengalami patah-patah tulang. Fadhil dianiaya anggota geng Gazper yang beranggota ratusan siswa SMA 34 Jakarta Selatan. Selain Fadhil, puluhan murid laki-laki juga sering disiksa di dalam kamar mandi sekolah (Kompas, 2007).

  Kasus-kasus diatas hanya sebagian kecil contoh dari kekerasan yang terjadi di sekolah baik secara fisik maupun psikologis. Contoh lain misalnya, ada Franky Edward Damar di SMK Pelayaran Maritim Surabaya yang tewas saat mengikuti masa orientasi siswa (MOS) di sekolahnya. Di Tegal, tiga siswa SMP Negeri 8 dianiaya kepala sekolahnya. Korban tewas di tingkat sekolah dasar misalnya adalah yang terjadi pada Edo Rinaldo, siswa SD Santa Maria Immaculata, Pondok Bambu, Duren Sawit Jakarta 2007)..

  Fenomena kekerasan yang terjadi secara disengaja dalam periode waktu tertentu disebut bullying. Bullying adalah conduct problems yang termasuk gangguan perilaku pada anak. Conduct problems dan perilaku antisosial menunjuk pada tingkah laku dan sifat yang melanggar dari harapan orang tua, norma sosial, hak personal dan properti yang dimiliki oleh orang lain (McMahon & Estes dalam Mash dan Wolf, 1999). Smith dan Thompson (1991) dalam ed.gov menjelaskan bahwa bullying bertujuan menyebabkan korban terluka. Luka ini bisa berbentuk fisik ataupun psikologis. Korban jiwa karena penganiayaan fisik disebabkan karena perilaku kekerasan fisik yang dilakukan oleh pelaku, selain itu beberapa kasus, dimana korban melakukan bunuh diri, menunjukkan bahwa bullying dapat membuat korban putus asa sehingga melakukan bunuh diri.

  Menurut bentuknya, bullying dapat dikelompokkan dalam 5 jenis yaitu bullying fisik, bullying emosional, bullying seksual, bullying verbal, dan bullying relasional (Nesser, Ovens, Merwe, dan Morodi, dan Ladikos, 2002). Sedangkan Riauskina, Djuwita, dan Soesetio

  (popsy.wordpress.com) membedakan bentuk bullying sebagai berikut;

  kontak fisik langsung, kontak verbal langsung, perilaku non verbal langsung, perilaku non verbal tidak langsung, dan pelecehan seksual.

  Bullying termasuk kedalam agresi. Agresi adalah perilaku yang

  verbal, ataupun dengan cara menghancurkan harta benda korban (Atkinson, Smith, & Bem, 2002). Dengan demikian, perilaku melukai yang dilakukan tanpa sengaja tidak bisa disebut agresi melainkan kekerasan. Helmi dan Soedarjo (1998) mengemukakan berbagai faktor penyebab agresi. Faktor internal misalnya kelainan kromosom, insting agresi, dan potensi bawah sadar dimana seseorang memiliki dorongan merusak diri sendiri namun operasionalisasinya ditujukan pada orang lain. Faktor belajar sosial yaitu proses meniru perilaku yang terjadi dalam masyarakat. Selain itu juga terdapat faktor situasional dimana korban dan pelaku sering bertemu. Teori dominansi (Dunbar, Bjorklund & Pellegrini, 2000) dan bukti empiris (Pellegrini dan Stayer dalam Pellegrini dan Bartini, 2000) menunjukkan bahwa agresi lebih sering terjadi saat individu memasuki kelompok sosial baru dan pelaku berusaha mendapatkan dominansi status diantara teman sebayanya.

  Pelaku bullying menggunakan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya (Sindo, 2007). Respon dari korban bullying pun bermacam- macam, ada yang melawan, melaporkan pada pihak yang berwenang, ataupun memendamnya dan memilih untuk tidak datang ke sekolah. Antara tahun 2002-2005 ada sekitar 30 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja. Dalam kasus-kasus tersebut anak-anak terdorong berbuat nekat karena diejek, dicemooh, dan dimana korban melakukan bunuh diri, hal ini merupakan respon yang ekstrim dari korban dalam menunjukkan ketidakberdayaannya untuk menghindari ejekan dan cemoohan yang melukai mereka secara psikologis.

  Respon korban yang beraneka ragam ditentukan oleh pemahaman dan pemaknaan korban terhadap situasi bullying yang dialaminya. Persepsi adalah proses pemahaman seseorang ketika mengenali stimulus tertentu yang ditangkap oleh panca indranya (Walgito dan Mahmud dalam Ernita, 2004), lalu diproses di otak untuk dihubungkan dengan pengalaman masa lalu, diorganisasikan (Ruch dalam Budi, 2007) dan kemudian diberi makna untuk selanjutnya digunakan dalam pengambilan keputusan mengenai respon yang akan dilakukan (www.sabda.org).

  Persepsi dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, dan lingkungan sosial secara umum (Sutaat, 2007). Sarwono (dalam Sutaat, 2007) menyebutkan bahwa persepsi bersifat subjektif karena dipengaruhi pengalaman-pengalaman, cara berpikir, perasaan, dan minat masing- masing individu. Respon korban dalam menghadapi bullying akan ditentukan oleh persepsinya yang bersifat subjektif. Dengan demikian respon setiap orang pun bersifat subjektif. Persepsi korban terhadap fenomena bullying adalah proses

  bullying

  penangkapan, pemahaman, dan pemberian makna terhadap stimulus yang berasal dari pelaku, guru, orang tua, sesama korban, teman, dan menentukan respon terhadap bullying. Persepsi korban terkait dengan faktor-faktor personal didalam dirinya, persepsinya terhadap lingkungan disekitarnya, dan juga respon yang akan diambil. Pengalaman masa lalu dan lingkungan sekitar mempengaruhi cara pandang korban terhadap kekerasan sehingga turut mempengaruhi persepsi korban terhadap bullying .

  Bullying dapat membentuk respon berupa konsep diri yang negatif

  pada korban dan menghilangkan kepercayaan diri. Hal ini karena korban beranggapan ada sesuatu yang salah pada dirinya (www.nobully.org.nz/advicek.htm). Hilangnya kepercayaan diri mengakibatkan kerusakan konsep diri, sehingga dapat menimbulkan respon yang ekstrim seperti bunuh diri. Bullying dapat menimbulkan dampak negatif pada korban seperti menurunkan skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis siswa, sehingga menimbulkan penurunan prestasi akademik. Korban bullying juga dapat mengalami gangguan psikologis secara umum dan memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang rendah (Kochenderfer-Ladd dan Skinner; Nansel dalam Raskauskas dan Stoltz, 2007). Secara spesifik, indikator yang nampak pada korban bullying yaitu meningkatnya kecemasan, munculnya simptom-simptom depresi, dan penilaian harga diri yang rendah (Grills dan Ollendick; O’Moore dan Kirikham, dalam Raskauskas dan Stoltz, 2007). Terdapat pula hasil penelitian yang menunjukkan hubungan antara bullying dengan

  Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Riauskina et al.

  , korban mempunyai persepsi bahwa pelaku

  (popsy.wordpress.com)

  melakukan bullying karena tradisi, karena balas dendam sebab terhadap perlakuan yang dulu diterimanya (menurut korban laki-laki), karena ingin menunjukkan kekuasaan, karena marah pada korban yang tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, karena ingin mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan), dan karena iri hati (menurut korban perempuan). Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena berpenampilan menyolok, karena tidak berperilaku dengan sesuai, karena berperilaku dengan tidak sopan, dan karena adanya tradisi. Namun dari kesimpulan hasil penelitian Juwita (Kompas, 2007) diketahui bahwa alasan pelaku untuk menyakiti biasanya dicari-cari untuk membenarkan perilaku mereka. Karena itu kesalahan sebetulnya tidak terdapat pada diri korban.

  Jika lingkungan berpendapat bahwa bullying adalah hal yang wajar, kecil kemungkinan korban akan mendapatkan dukungan untuk menyelesaikan masalahnya. Namun jika korban merasakan bahwa bullying sangat menyakitkan secara fisik dan psikis, dan ia menemukan perbedaan pandangan itu dengan lingkungannya, korban akan merasa tidak berdaya karena merasa tidak mendapatkan bantuan. Berdasarkan survei terhadap guru-guru di tiga SMA di kota besar dipulau Jawa, ada pandangan bahwa penggencetan dan olok-olok merupakan hal biasa dan tidak perlu sekali-kali tidak akan berdampak buruk bagi kondisi psikologi siswa (Sindo, 2007). Terdapat pula pandangan orang tua bahwa bullying hanya merupakan ujian kehidupan bagi anak agar menjadi pribadi yang tangguh ().

  Data yang diperoleh dari survei yang dilakukan Yayasan Sejiwa terhadap 250 guru dan orang tua di berbagai daerah di Indonesia, diketahui bahwa 94,9% peserta yang hadir menyatakan bahwa bullying memang terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia (Yayasan Sejiwa, 2008). Faktanya, penelitian terhadap bullying di Indonesia masih relatif baru dan jarang dilakukan karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap masalah ini.

  Berdasarkan uraian sebelumnya diketahui bahwa persepsi menentukan respon korban yang membawa dampak tertentu bagi diri korban. Karena itu, dalam penelitian ini peneliti ingin memahami fenomena bullying dari sudut pandang korban dan bagaimana ia mempersepsikan bullying yang terjadi padanya B.

Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pengamatan peneliti, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah persepsi korban bullying terhadap fenomena bullying yang terjadi di sekolah ?

Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi korban bullying di sekolah terhadap fenomena bullying yang terjadi di sekolah. Persepsi korban penting untuk diketahui untuk melihat bagaimana korban menerima, memaknai, dan memahami bullying yang dialaminya. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk melihat bagaimana korban menentukan respon terhadap bullying.

  Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi peneliti lain di bidang Psikologi, terutama mengenai perilaku bullying di sekolah dengan melihat fenomena bullying dari sudut pandang korban.

  Bagi orang tua dan guru : Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai perilaku bullying yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi siswa. Dengan demikian orang tua dan guru dapat turut mengawasi dan menolong bila seseorang menjadi korban bullying.

  b.

Bagi masyarakat :

  Informasi berdasarkan hasil penelitian ini bullying dapat menimbulkan dampak negatif pada korban.

  Dengan demikian, masyarakat diharapkan dapat ikut memperhatikan masalah-masalah yang terjadi dikalangan pelajar termasuk memberi contoh berperilaku saling menghormati dalam masyarakat.

  c.

Bagi peneliti lain :

  Penelitian ini dapat menyumbangkan pengetahuan bagi penelitian selanjutnya terutama yang berkaitan dengan remaja dan kasus bullying.

BAB II DASAR TEORI A. Persepsi 1. Pengertian Persepsi Persepsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002)

  adalah tanggapan atau penerimaan langsung dari sesuatu, atau bisa disebut serapan. Arti lainnya adalah proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indranya.

  Persepsi dapat juga diartikan sebagai penelitian yang dilakukan oleh seseorang dengan mengintegrasikan sensasi kedalam percepts objek, dan bagaimana kita selanjutnya menggunakan percepts objek itu untuk mengenali dunia (Atkinson, Smith & Bem, 1999).

  Walgito dan Mahmud (dalam Ernita, 2004) mengartikan persepsi sebagai proses diterimanya stimulus oleh reseptor, yang diteruskan ke otak sehingga individu menyadari apa yang diperolehnya melalui pengindraan tersebut. makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Stimulus didapat dari proses penginderaan terhadap objek, peristiwa, atau hubungan- hubungan antar gejala yang selanjutnya diproses oleh otak (id.wikipedia.org).

  Persepsi diartikan oleh Ruch (dalam Budi, 2007) sebagai proses tentang petunjuk sensori yang diorganisasikan dengan pengalaman masa lalu untuk memberikan suatu gambaran utuh yang berstruktur dan memiliki makna tentang suatu situasi.

  Atkinson dan Hilgrad (dalam Budi, 2007) mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses menerjemahkan dan mengorganisasikan pola stimulus pada lingkungan. Sementara itu, persepsi diartikan oleh Gibson dan Donely (dalam Budi, 2007) sebagai proses pemaknaan yang dilakukan individu terhadap lingkungan.

  Persepsi diartikan sebagai proses bagaimana seseorang menangkap informasi secara individual, sehingga membentuk apa yang dipikirkan, mendefinisikan dan menentukan mana yang penting, dan selanjutnya menentukan pengambilan keputusan (). Sarwono (dalam Sutaat, 2007) mengungkapkan bahwa persepsi bukan hanya pengenalan tetapi juga evaluasi dan bersifat inferensional (menarik kesimpulan).

  Dengan demikian persepsi dapat dipahami sebagai proses ditangkap oleh pancaindranya, lalu diproses di otak untuk dihubungkan dengan pengalaman masa lalu, diorganisasikan, dan diberi makna untuk mendapatkan suatu gambaran utuh, sehingga dapat digunakan dalam mengambil keputusan dan menarik kesimpulan.

  Faktor-faktor yang menentukan persepsi seseorang menurut Rakhmat (dalam Budi, 2007) adalah kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan kondisi personal. Persepsi ditentukan oleh karakteristik orang yang menangkap dan merespon stimuli.

  Gibson (dalam Budi, 2007) berpendapat bahwa persepsi menyangkut kognisi (pengetahuan) individu yang mencakup penafsiran objek, tanda, dan pengalaman sebelumnya. Sementara itu, Krech dkk (dalam Budi, 2007) berpendapat bahwa dua faktor utama yang menentukan persepsi adalah pengalaman masa lalu dan faktor pribadi.

  Sutaat (2007) menyebutkan bahwa persepsi yang merupakan proses psikologis dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, dan lingkungan sosial secara umum. Sarwono (dalam Sutaat, 2007) menyebutkan bahwa persepsi bersifat subjektif karena dipengaruhi pengalaman-pengalaman, cara berpikir,

  Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah kondisi personal individu, kebutuhan, pengalaman masa lalu, karakteristik individu, lingkungan sosial, dan kognisi yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, cara berpikir, perasaan, dan minat.

  Dikemukaka terdapat dua macam persepsi yang dimiliki setiap individu, yaitu : a.

Persepsi Kongkret

  Persepsi kongkret adalah proses penerimaan, pemahaman, dan pemaknaan terhadap stimulus yang dapat diterima secara langsung oleh panca indra.

  Persepsi ini membuat seseorang lebih cepat dalam menangkap informasi yang nyata dan jelas melalui kelima indra yang terdiri dari penglihatan, penciuman, peraba, perasa, dan pendengaran. Seseorang menerima informasi murni seperti apa yang ditangkapnya dan tanpa mencari arti tersembunyi maupun menghubungkan gagasan atau konsep.

  b.

Persepsi Abstrak

  Persepsi abstrak adalah proses penerimaan, proses yang lebih kompleks karena pemahaman dan pemaknaan yang dilakukan lebih melibatkan unsur-unsur non fisik.

  Persepsi abstrak memungkinkan anak menangkap sesuatu yang abstrak, mengerti dan percaya pada apa yang tidak bisa dilihat sesungguhnya. Seseorang menggunakan persepsi abstrak saat menggunakan intuisi, intelektual, dan imajinasi. Dengan demikian diketahui bahwa terdapat dua jenis persepsi yaitu persepsi kongkret dan persepsi abstrak. Persepsi kongkret adalah proses penerimaan, pemahaman, dan pemaknaan terhadap stimulus yang diterima langsung oleh panca indra, sementara persepsi abstrak adalah proses penerimaan, pemahaman, dan pemaknaan terhadap stimulus yang melibatkan unsur-unsur non fisik.

  Seperti dikemukakan oleh Irawanto (1996), aspek-aspek persepsi terdiri atas : a.

  Perhatian (attention), yaitu bagaimana kepekaan individu terhadap stimulus yang datang.

  b.

  Stimulus ambigu, yaitu ketidakjelasan ataupun ketiadaan c.

  Penyimpangan pengamatan (perceptual bias), yaitu distorsi atau kesalahan dalam menerima informasi yang datang. d.

  Penelusuran nyata (overt research), yaitu penelusuran informasi secara aktif yang terkait dengan kecepatan dan keluasan dalam mengemukakan masalah yang dikaitkan dengan memori dan pengalaman sebelumnya.

  Dengan demikian diketahui bahwa persepsi memiliki beberapa aspek yaitu perhatian, stimulus ambigu, penyimpangan pengamatan, dan penelurusan nyata.

  B.

   Bullying 1.

Pengertian Bullying

  Dikemukakan oleh Limber and Nation (1997), bullying pada anak-anak dipahami sebagai pengulangan, dari perlakuan negative yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang anak untuk menyerang atau menekan anak lain. Bullies adalah para pelaku bullying, sedangkan bullied adalah korban dari perilaku bullying.

  Menurut Dorothea Ross (dalam ed.gov), bullying mengarah pada usaha yang tidak bertujuan dan biasanya tidak terprovokasi psikologis pada satu atau lebih korban.

  Ratna Juwita (Kompas, Mei 2007) mendefinisikan bullying sebagai tindakan menyakiti fisik dan psikis yang terencana dari pihak yang merasa lebih berkuasa terhadap pihak yang dianggap lebih lemah. Alasan untuk menyakiti biasanya dicari-cari untuk membenarkan perilaku mereka.

  Besag (1989) dalam ed.gov mendefinisikan bullying sebagai serangan berulang secara fisik, psikologis, sosial, atau verbal oleh mereka yang memiliki kekuatan pada mereka yang tidak memiliki kekuatan untuk bertahan, dengan tujuan menyebabkan tekanan untuk keuntungan atau kepuasan mereka sendiri.

  Lane (1989) dalam ed.gov menyimpulkan bahwa bullying termasuk setiap aksi atau aksi yang berimplikasi, seperti mengancam, bertujuan untuk menimbulkan ketakutan dan tekanan psikologis pada orang lain. Perilaku ini sudah diulangi lebih pada satu kesempatan. Definisi harus disertai bukti dari mereka yang terlibat atau merasa takut.

  Johnstone, Munn, dan Edwards (1991) dalam ed.gov mendefinisikan bullying sebagai kesengajaan, keinginan yang disadari untuk melukai, mengancam atau menakuti seseorang.

  Farrington (1993) dalam ed.gov mendefinisikan bullying atau sekelompok orang yang memiliki kekuatan lebih tinggi pada seseorang yang memiliki kekuatan lebih rendah.

  Smith dan Thompson (1991) dalam ed.gov menjelaskan bahwa bullying bertujuan menyebabkan korban terluka. Luka ini bisa berupa secara fisik atau psikologis. Sebagai tambahan, tiga kriteria yang membedakan bullying dari agresi: tidak dipancing, timbul secara berulang, dan bullies (pelaku) lebih kuat dari korban atau merasa lebih kuat.

  Tattum (1989) dalam ed.gov mendefinisikan bullying sebagai kesengajaan, dorongan yang disadari untuk melukai orang lain. Dapat terjadi pada suatu keadaan dan secara singkat, atau secara terus menerus dan dalam waktu yang lama. Sebagian korban jarang membalas atau mempertahankan diri, sebagian lagi cenderung melakukan agresi reaktif (D. Schwartz dalam Mc Devitt dan Ormrod, 2004).

  Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (popsy.wordpress.com) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa atau siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.

  Yayasan Sejiwa (2008) mendefinisikan bullying sebagai penyalahgunaan kekuasaan/kekuatan yang dilakukan seseorang yang dilakukan berulang kali dan dengan sengaja dengan tujuan untuk membuat korban merasa depresi dan tidak berdaya.

  Dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan suatu keadaan dimana terdapat tindakan yang menekan secara fisik maupun psikologis oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah untuk membuat korban tertekan dan merasa tidak berdaya. Selain itu terdapat tiga hal pokok yang membedakan

  bullying dari perilaku agresi, yaitu bukan membalas perilaku

  korban, timbul secara berulang, dan terdapat ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bullying dan korban.

  Situasi bullying memiliki enam faktor yang penting (Neser, et all, 2002): a.

  Intensi untuk menyakiti.

  Pelaku bullying menemukan kesenangan dalam mengganggu atau berusaha mendominasi korbannya, walaupun korban sudah tampak tertekan.

  b.

  Intensitas dan durasi.

  Bullying berlanjut dalam suatu periode dan

  tingkat keparahan bullying mempengaruhi tingkat kerusakan harga diri korban.

  c.

Karakteristik sifat-sifat tertentu dari korban

  bahwa siswa yang menjadi korban kurang memiliki kemampuan sosial, jarang melindungi diri sendiri atau membalas perlakuan para pelaku bullying. Karakteristik pokok dari korban bullying adalah harga diri yang rendah dan kecemasan sosial yang tinggi (Lane & Slee dalam Ma, 2001).

  d.

  Kurangnya dukungan.

  Korban merasa terisolasi dan selalu diawasi. Seringkali, korban takut untuk melapor karena khawatir akan adanya pembalasan.

  e.

Konsekuensi

  Kerusakan harga diri korban berlangsung lama, dan korban cenderung menarik diri dari aktivitas sekolah, atau mungkin juga menjadi agresif. Aspek-aspek dalam bullying adalah adanya intensi untuk menyakiti korban, berlangsung dalam sebuah periode waktu, adanya karakteristik tertentu dari korban, kurangnya dukungan terhadap korban, dan menyebabkan kerusakan harga diri pada korban.

  Bentuk-bentuk bullying adalah sebagai berikut (Nesser et all, 2002): Bullying fisik

  Bentuk bulying fisik termasuk meninju, menusik, mencekik, menjambak rambut, memukul, menggigit, dan menggelitiki dengan keterlaluan.

  b.

  Bullying emosional

  Bentuk bulying emosional termasuk menolak, memeras, memfitnah, menghina, mendaftarhitamkan, memanipulasi teman, mengisolasi, dan menyingkirkan teman sebaya c.

  Bullying seksual Bentuk bulying seksual termasuk mempertontonkan kemaluan (ekshibisionisme), mengintip (voyerisme), pelecehan seksual, kekerasan seksual, dan penyiksaan yang ditimbulkan oleh kontak secara fisik dan mengeroyok.

  d.

  Bullying verbal Bentuk bulying verbal termasuk perbuatan seperti memanggil dengan nama panggilan yang menyakitkan, mengusik, dan membuat gosip.

  e.

  Bullying relasional Bentuk bullying relasional termasuk mengeluarkan seorang anak dari suatu aktivitas, biasanya terjadi saat waktu istirahat pelajaran. Sedangkan Riauskina, et al (popsy.wordpress.com) a.

Kontak fisik langsung

  Bentuk bullying kontak fisik langsung adalah perilaku yang menyakiti korban langsung secara fisik.

  Diantaranya adalah memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain.

  b.

  Kontak verbal langsung Bentuk bullying kontak verbal langsung adalah perilaku intimidasi secara verbal seperti mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip.

  c.

  Perilaku non-verbal langsung Bentuk bullying non-verbal langsung adalah ekspresi wajah ataupun gesture yang bertujuan untuk menyakiti korban secara psikologis. Contohnya yaitu melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal.

Perilaku non-verbal tidak langsung

  Bentuk bullying non-verbal tidak langsung adalah perilaku yang bertujuan melukai korban secara psikologis dengan cara yang tidak langsung. Contohnya yaitu mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.

  e.

Pelecehan seksual

  Bentuk bullying seksual adalah perilaku yang bertujuan melukai korban secara seksual. Bentuk ini kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal. Contohnya yaitu menyentuh korban dengan tidak sopan, ataupun mengucapkan kata-kata yang merupakan pelecehan seksual. Dengan demikian diketahui bahwa bullying dapat dikelompokkan kedalam lima bentuk yaitu kontak fisik langsung, kontak verbal langsung, perilaku non-verbal langsung, perilaku non-verbal tidak langsung, dan pelecehan seksual. Pelecehan seksual kadang dikategorikan kedalam perilaku agresi fisik atau verbal.

  Bullying termasuk perilaku agresi sebagai bagian dari conduct behavior pada anak. Tiga perspektif besar dinamika

  Sigmund Freud (dalam Helmi dan Soedarjo, 1998) menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki potensi bawah sadar, yaitu dorongan merusak diri (thanatos). Pada awalnya dorongan ini ditujukan untuk merusak diri sendiri, tapi berkembang dengan ditujukan pada orang lain.

  Operasinalisasi dorongan merusak ini dialihkan pada objek yang dijadikan kambing hitam, atau mungkin disublimasi agar dapat diterima oleh masyarakat (Baron & Byrne, 1994 dalam Helmi et al, 1998).

  Menurut perspektif ethiologist agresi disebabkan faktor insting dalam diri manusia dan perilaku agresi dilakukan dalam rangka adaptasi secara evolusioner. Terdapat perilaku agonistic aggresion, yaitu suatu perilaku agresi yang dilakukan dalam rangka teritori dan hirarki dominansi (Brigham, 1991; dan Dunkin,1995 dalam et al 1998). Pendapat ini menjelaskan tentang perilaku bullying yang dilakukan untuk menguasai atau mendominasi korbannya.

  Perspektif biologis mengemukakan penyebab perilaku agresi adalah peningkatan hormon testosteron (Tieger dalam Dunkin, 1995). Selain itu juga dapat terjadi karena adanya

  supermale XYY (Pearlman dan Cozby dalam et al 1998).

  Perspektif ini dipelopori oleh Albert Bandura (dalam

  

et al 1998). Menurutnya, perilaku agresi merupakan perilaku yang dipelajari dari pengalaman masa lalu melalui pengamatan langsung (imitasi), penguatan positif, ataupun karena stimulus diskriminatif.

  Orang tua dan budaya juga mempengaruhi cara berpikir anak. Anak yang dibesarkan dalam pola asuh dan budaya yang menekankan prasangka terhadap kelompok masyarakat atau kebudayaan lain dapat memiliki prasangka negatif terhadap karakteristik tertentu sehingga kemudian menyalurkannya melalui agresi (Penner dan Eron dalam Wisjnu, 1992).

  Dalam perspektif situasional, penyebab perilaku agresi bisa dikarenakan situasi dimana korban terlihat lemah.

  Pelaku dan korban sering berada dalam tempat yang sama sehingga memungkinkan terjadinya bullying. Teori dominansi (Dunbar et al, 2000) dan bukti empiris (Pellegrini dan Stayer dalam Pellegrini dan Bartini, 2000) menunjukkan bahwa agresi lebih sering terjadi saat individu memasuki diantara teman sebayanya; setelah dominansi ditetapkan, agresi akan menurun.

  Bullying semakin meningkat dengan adanya anggapan

  guru bahwa bullying akan berlalu seiring berjalannya waktu

  (), sehingga guru yang mengetahui situasi bullying tidak mengambil tindakan tegas.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab perilaku bullying secara internal adalah dorongan bawah sadar termasuk insting, adanya peningkatan hormon testosteron ataupun abnormalitas gen dan kerusakan otak, dan adanya rasa frustrasi. Menurut teori belajar sosial faktor penyebab perilaku agresi adalah pengamatan langsung dan pengalaman langsung dari orang lain. Sedangkan menurut perspektif situasional, perilaku agresi dapat disebabkan karena memasuki kelompok atau lingkungan sosial yang baru, tidak ada pencegahan dari pihak lain, dan adanya karakteristik tertentu dari target.