NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT NURCHOLISH MADJID SKRIPSI
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA
MENURUT NURCHOLISH MADJID
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
RENI SEKAR OKTAVIANA
NIM: 111-13-257
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Anak memiliki kecenderungan untuk meniru (al-iqtida’); orang tualah yang menjadi teladan pertama dalam hidupnya.”
- Imam Al-Ghazali- “Memang susah menjadi orang baik, tapi ini bukan bicara soal BISA atau TIDAK BISA. Karena Allah memberikan potensi, ini bicara mengenai MAU atau TIDAK
MAU” (Penulis)
PERSEMBAHAN
Untuk Kedua Orang Tuaku (Ibu Sunti Rinjani dan Bapak Sarijo) Adikku dan Tante (Doni Kusuma Putra dan Sutrisni)
Orang yang setia menungguku (Nur Saefudin) Keluarga Keduaku (Sian’s Hostel): Kunni, Heni, Hani, Mela, Rumi, Mba Datul,
Rani, Tesa, Anggun, Helmi, Momo, Desy Keluarga Besar SD Muhammadiyah (Plus) Kota Salatiga
Keluarga besar PPL MA Al-Manar, Bener, Tengaran Keluarga besar KKN Kaliwungu Posko 73-75
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan banyak rahmat dan hidayah-Nya, sehingga bisa menikmati indahnya Islam di dunia ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Nabi Agung Muhammad Saw. yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan hingga zaman yang terang benderang dan yang selalu dinantikan syafa’atnya di hari kiamat kelak. Segala syukur penulis panjatkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT NURCHOLISH MADJID”.
Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar S1 Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan di dalamnya. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga 2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan 3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam 4. Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M.Si, selaku pembimbing yang telah mengarahkan dalam penulisan skripsi ini.
ABSTRAK
Oktaviana, Reni Sekar. 2017 “Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid” Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Asdiqoh, M.Si.
Kata Kunci: Nilai-nilai, Pendidikan Agama, Keluarga Penanaman nilai-nilai pendidikan agama dalam keluaga tidak cukup hanya berupa pengajaran kepada anak tentang segi-segi ritual dan formal agama. Pendidikan agama dalam keluarga tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh guru ngaji atau guru agama di sekolah. Pendidikan tersebut melibatkan peran orang tua dan seluruh anggota keluarga dalam usaha menciptakan suasana keagamaan yang baik dan benar dalam keluarga, pengertian itu perlu disempurnakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholsih Madjid. (2) Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid.
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis (descriptive of analyze
research ). Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode studi
dokumentasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis isi (content analysis).
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid dikelompokkan menjadi tiga aspek, yaitu nilai pendidikan akhlak, ibadah, dan aqidah untuk pertumbuhan total anak. Orang tua mempunyai hak, yaitu mendapat perlakuan baik dari anak (melayani orang tuanya dengan baik, lemah lembut menyayanginya, selalu menghormati dan menunjukkan sikap sopan santun walau mereka kafir, berterimakasih atas jasa-jasa mereka, taat mematuhi perintah orang tua yang berhubungan dengan kebenaran dan kebaikan, tidak pada perkara yang bathil atau munkar). Orang tua berperan sebagai pendidik dalam kelurga (membentuk dan membina kepribadian anak yang utama sesuai petunjuk agama, menuntun, membimbing, dan menumbuhkembangkan anaknya menjadi orang shalih yang bermanfaat bagi sesamanya dan dirinya). (2) Implementasi nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid adalah sebagai berikut: mendidik dengan keteladanan, membiasakan sholat berjamaah, menanamkan nilai dimensi hidup ketuhanan (taqwa, iman, islam, ikhlas, tawakal, syukur, sabar) dan nilai dimensi kemanusiaan (silaturahmi, persaudaraan, persamaan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, perwira, hemat dan dermawan) dalam diri anak, dan menerapkan pola asuh anak yang benar.
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................iLEMBAR BERLOGO ....................................................................................ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................iii
PENGESAHAN KELULUSAN ......................................................................iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..................................................................vi
KATA PENGANTAR .....................................................................................vii
ABSTRAK .......................................................................................................viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................ix
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................................1 B. Rumusan Masalah .............................................................................6 C. Tujuan Penelitian ..............................................................................6 D. Kegunaan Penelitian .........................................................................7 E. Metode Penelitian .............................................................................8 F. Penegasan Istilah ................................................................................11 G. Sistematika Penulisan ........................................................................12 BAB II BIOGRAFI A. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid ....................................................14 B. Pendidikan Nurcholish Madjid ..........................................................16
C. Aktivitas Intelektual Nurcholish Madjid ............................................22
D. Karya-karya Nurcholish Madjid ........................................................27
E. Kontribusi Pemikiran Nurcholish Madjid di Bidang Pendidikan Agama ..............................................................................................32
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN A. Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid ..............................................................................................34
1. Aspek-Aspek Nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga ................34
2. Hak Orang Tua dari Anak .............................................................42
3. Orang Tua sebagai Pendidik Bukan Pengajar bagi Anak ................46
B. Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid ..............................................................49
1. Mendidik dengan Keteladanan ......................................................49
2. Membiasakan Shalat Berjamaah ....................................................51
3. Menanamkan Nilai Dimensi Hidup Ketuhanan dalam Diri Anak ...52
4. Menanamkan Nilai Dimensi Hidup Kemanusiaan dalam Diri Anak 62
5. Menerapkan Pola Asuh Anak yang Benar ......................................68
BAB IV PEMBAHASAN A. Signifikansi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga ..............70 B. Relevansi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid dengan Ayat Al- Qur’an .......................................74 C. Implikasi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Terhadap Perkembangan Agama Anak .............................................................86
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................90 B. Saran ................................................................................................92 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
1. Gambar Nurcholish Madjid ............................................................................ 96
2. Daftar Riwayat Hidup .................................................................................... 97
3. Daftar SKK .................................................................................................... 98
4. Nota Pembimbing Skripsi ............................................................................ 101
5. Lembar Konsultasi ....................................................................................... 102
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan secara prinsip berlangsung dalam lingkungan keluarga. Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang merupakan figur sentral dalam pendidikan. Pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia karena
pada hakikatnya manusia lahir dalam keadaan tak berdaya, dan tidak langsung dapat berdiri sendiri serta memelihara dirinya sendiri. Manusia pada saat lahir memerlukan bantuan orang tuanya. Akhirnya pada hakikatnya anak merupakan titipan Tuhan Yang Maha Esa kepada orang tuanya untuk mendidiknya menjadi manusia dewasa yang penuh tanggung jawab, terutama tanggung jawab moral, salah satunya dengan menanamkan pendidikan agama dalam keluarga (Sadulloh, 2014: 10).
Kegiatan pendidikan dapat berlangsung di dalam tiga lembaga, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut yang bertanggung jawab memberi pertolongan kepada anak didik atau seseorang dalam perkembangan rohani dan jasmaninya, agar mencapai tingkat kedewasan dan mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai makhluk Allah, makhluk dan sebagai individu (Djumransah, dkk., 2007: 83).
Ketiga lingkaran lingkungan tersebut yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat adalah lingkungan yang dapat membentuk karakter manusia. Meski ketiganya saling memperngaruhi, tetapi pendidikan keluargalah yang paling dominan pengaruhnya terhadap pendidikan anak. Jika suatu rumah tangga berhasil membangun keluarga sakinah, maka peran sekolah dan masyarakat menjadi pelengkap (Mubarok, 2005: 152).
Seperti yang kita ketahui seorang bayi yang baru lahir adalah makhluk Allah SWT yang tidak berdaya dan senantiasa memerlukan pertolongan untuk dapat melangsungkan hidupnya di dunia. Maha bijaksana Allah SWT yang telah menganugerahkan rasa kasih sayang kepada semua ibu bapak untuk memelihara anaknya dengan baik tanpa mengaharap imbalan (Majid, 2004: 11).
Seorang anak senantiasa membutuhkan pendidikan karena pendidikan berusaha mengubah keadaan seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat berbuat menjadi dapat berbuat, dari bersikap yang tidak diharapkan menjadi bersikap seperti yang diharapkan. Kegiatan pendidikan ialah usaha untuk membentuk manusia secara keseluruhan aspek kemanusiaannya secara utuh, lengkap dan terpadu. Secara umum dan ringkas dapat dikatakan pembentukan kepribadian.
Oleh karena itu, manusia tidak bisa dipisahkan dari pendidikan. Pendidikan dapat membawa manusia ke arah yang lebih baik. Terutama pendidikan pada masa anak-anak, pendidikan bagi anak harus dimulai dalam lingkungan keluarga, sejak anak masih dalam kandungan (periode pra-natal) hingga dilahirkan sampai mereka dewasa (periode post-natal) sampai memiliki kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual yang matang.
Lingkungan keluarga sering pula disebut sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama yang dikenal anak. Kedua orang tuanyalah orang yang pertama dikenal dan diterimanya pendidikan. Bimbingan, perhatian dan kasih sayang yang terjalin antara kedua orang tua dan anak-anaknya merupakan basis yang ampuh bagi pertumbuhan dan perkembangan psikis serta nilai-nilai sosial dan religius pada diri anak didik (Nizar, 2001: 125).
Munculnya pendidikan dalam suatu keluarga disebabkan karena adanya pergaulan antara orang tua sebagai manusia dewasa dan anak yang belum dewasa. Dari situlah lahirnya persitiwa pendidikan dalam sebuah wadah yakni keluarga. Kehadiran anak dalam keluarga merupakan tanggung jawab dan pengabdian orang tua terhadapnya, yang bersifat kodrati dan berdasarkan cinta kasih (Yasin, 2008: 207).
Pendidikan dalam lingkungan keluarga bersifat pertama dan utama atau tertua, artinya pembiasaan atau tradisi untuk mengembangkan kepribadian anak adalah pertama kali terjadi dalam lingkungan keluarga. Alam keluarga adalah alam pendidikan yang pertama dan yang terpenting, karena sejak timbulnya adat kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga itu selalu mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti manusia (Yasin, 2008: 208).
Oleh karena itu keluarga merupakan lembaga sosial yang paling dasar untuk mencetak kualitas manusia. Sampai saat ini masih menjadi keyakinan dan harapan bersama bahwa keluarga senantiasa dapat diandalkan sebagai lembaga ketahanan moral, akhlaq al-
karimah dalam konteks bermasyarakat, bahkan baik butuknya suatu
generasi suatu bangsa, ditentukan pula oleh pembentukan pribadi dalam keluarga. Di sinilah keluarga memili peranan strategis untuk memenuhi harapan tersebut (Mufidah, 2008: 39).
. Kehidupan keluarga diibaratkan sebagai suatu bangunan, demi terpeliharanya bangunan itu dari hantaman badai dan goncangan gempa, maka ia harus didirikan di atas fondasi yang kuat dengan bahan bangunan yang kokoh serta jalinan perekat yang lengket. “Fondasi kehidupan kekeluargaan adalah ajaran agama, disertai dengan kesiapan fisik dan mental calon-calon ibu dan ayah” (Shihab, 2007: 254).
Pembinaan moral atau mental agama harus dimulai sejak anak lahir, oleh bapak ibunya. Karena setiap pengalaman yang dilalui oleh si anak, baik melalui pendengaran, penglihatan, perlakuan, pembinaan dan sebagainya, akan menjadi bagian pribadinya yang akan bertumbuh nanti. “Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka, merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh itu” (Darajat, 2015: 67).
Pada umumnya, agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang dilaluinya pada masa kecilnya dulu. Seseorang yang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan pendidikan agama, maka pada masa dewasanya nanti, ia tidak akan merasakan pentingnya agama dalam hidupnya. Lain halnya dengan orang yang mempunyai pengalaman agama di waktu kecilnya, maka mereka akan cenderung pada aturan-aturan agama (Darajat, 2015: 43). “Semakin banyak pengalaman yang bernilai agamis mampu ditransfer dan diterimanya, maka akan banyak pula unsur agama dan pengalaman keagamaan yang mampu mewarnai proses pembentukan kepribadiannya” (Nizar, 2001: 126). Sedemikian sangat berpengaruhnya pendidikan agama dalam keluarga bagi anak, tidak salah bila Rasulullah mengibaratkan seorang anak yang baru dilahirkan itu fitrah atau suci, orang tualah yang menjadikan anak itu Yahudi, Majusi atau Nasrani. Sebagaimana sabda Rasulullah:
اخبل ا هاو ر( هناسجمي وأ هنارصني وأ هنادوهي هاوبأف ةرطفلا ىلع دلوي دولوم لك )ملسم و ير
“Semua anak dilahirkan fitrah atau suci, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (H.R. Bukhori dan Muslim) “Si anak mulai mengenal Tuhan melalui orang tua dan lingkungan keluarga. Kata-kata, sikap, tindakan dan perbuatan orang tua, sangat mempengaruhi perkembangan agama pada anak. Sebelum anak dapat bicara, ia telah melihat dan mendengar, pertumbuhan agama telah mulai ketika itu” (Darajat, 2015: 70). Dari kedua orang tua terutama ibu, pertama kali pengaruh dari sesuatu yang dilakukan ibu secara tidak langsung akan membentuk watak anaknya. Ibu merupakan orang tua yang pertama kali sebagai tempat pendidikan anak. Karena ibu ibarat sekolah, jika ibu mempersiapkan anak berarti ibu telah mempersiapkan generasi yang kokoh dan kuat. Dengan generasi yang kuat berarti telah menginvestasikan sesuatu pada diri anak agar bermanfaat kelak mengarungi kehidupan yang lebih global. Itulah sebabnya pendidikan dalam keluarga disebut pendidikan yang pertama dan utama serta merupakan peletak fondasi dari watak dan pendidikan anak.
Begitu besarnya tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak. Maka Jalaludin dan Usman Said menyebut tanggung jawab orang tua adalah pertama mencegah anak dari kemungkaran dan selalu mengajak kepada kebaikan. Kedua, memberikan arahan dan binaan untuk selalu berbuat baik. Ketiga, beriman dan bertaqwa kepada Allah. Oleh karena itu tugas dan tanggung jawab orang tua adalah membimbing anak agar menjadi hamba yang taat menjalan ajaran agama (Yasin, 2008: 206).
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak- anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan . dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan timbal balik antara orang tua dan anak. Ibu dan ayah memegang peranan penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya (Darajat, 2014: 35).
Nurcholish Madjid salah satu tokoh cendekiawan muslim Indonesia yang cukup concern mmenyumbangkan pemikirannya tentang pendidikan Islam salah satunya yang tak luput dari perhatiannya adalah masalah pendidikan agama dalam keluarga. Mengingat ajaran agama adalah sebagai fondasi bagi kehidupan keluarga, maka pendidikan agama seharusnya dapat mewarnai kepribadian anak, sehingga agama itu benar-benar menjadi bagian dari pribadinya yang akan menjadi pengendali dalam kehidupannya di kemudian hari. Sehubungan dengan itu, peran orang tua mendidik anak melalui pendidikan agama yang benar amat amat penting. Namun, perlu direnungkan kembali apa sebenarnya arti pendidikan agama, bagaimana pendidikan agama dalam keluarga, dan nilai-nilai keagamaan apa saja yang harus ditanamkan kepada anak dalam keluarga.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dari itu penulis tertarik melakukan penelitian mengenai “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT NURCHOLISH MADJID”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan di atas maka yang menjadi masalah pokok dalam bahasan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut
Nurcholish Madjid? 2. Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis dapat menentukan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid.
2. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid.
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua sisi, yaitu 1.
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang positif dan sebagai bagian dari usaha untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) dan keguruan pada umumnya dan jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) pada khususnya.
2. Manfaat Praktis a.
Dapat menjadi pertimbangan untuk diterapkan pada keluarga dengan mengimplementasikan peranan-peranan pendidikan agama di dalamnya.
b.
Sebagai alternatif guna meningkatkan kualitas pendidikan agama di dalam keluarga.
c.
Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan bagi pelaksanaan penelitian-penelitian yang relevan di masa yang akan datang.
E. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Sebagai suatu kajian terhadap gagasan dari seorang tokoh, dalam hal ini metode penelitian penyusunan skripsi ini penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Yaitu pemecahan masalah-masalah yang ada dengan usaha menganalisis dan menjelaskan dengan teliti kenyataan-kenyataan faktual dari subjek yang diteliti sehingga dipeoleh gambaran yang utuh berdasarkan fakta (Surakhmad, 2004: 139). Ditunjang oleh data-data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan membaca, menelaah, dan mengkaji buku-buku dan sumber tulisan yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas.
Pendekatan yang penulis gunakan yaitu pendekatan content
analysis , yaitu metode analisis yang menitikberatkan pada pemahaman isi dan maksud yang sebenarnya dari sebuah data.
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan (Sugiono, 2008: 329), misalnya berupa buku-buku, naskah, catatan kisah sejarah, internet dan sumber lain, yang berhubungan dengan Nurcholish Madjid dan pemikirannya tentang pendidikan agama dalam keluarga.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan buku-buku sekunder atau sumber sekunder lainnya.
3. Sumber Data
Penelitian skripsi ini dilakukan melalui riset pustaka (library
research ). Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini untuk
mendapatkan data-data yang valid maka diperlukan sumber data penelitian yang valid pula. Dalam penelitian ini ada dua sumber, yaitu: a.
Sumber Data Primer Yaitu data yang langsung dari sumber pertama mengenai masalah yang diungkap secara sederhana disebut data asli. Data yang dimaksud yaitu buku-buku karya Nurcholish Madjid yaitu Masyarakat
Religius, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonsesia, Pintu-pintu Menuju Tuhan, dan Pesan-pesan Taqwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina adalah landasan utama
untuk menjadi rujukan dalam mengkaji masalah pendidikan agama dalam keluarga.
b.
Sumber Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh dari sumber lain selain sumber primer. Data sekunder ini dimaksudkan untuk mendukung dan melengkapi data primer. Data yang dimaksud yaitu yang relevan dengan skripsi ini. Yaitu buku-buku yang ditulis orang lain yang membahas tentang pemikiran Nurcholish Madjid. Data sekunder ini sifatnya sebagai pelengkap untuk memperkuat data primer.
Setelah data terkumpul lengkap berikutnya yang penulis lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklarifikasi data-data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.
4. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan pengaturan transkripsi wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi yang lain yang telah terkumpul untuk meningkatkan pemahaman peneliti mengenai materi-materi tersebut dan untuk memungkinkan peneliti menyajikan apa yang sudah ditemukannya kepada orang lain (Sugiono, 2008: 85).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Isi (content analysis) dalam bentuk deskriptif analisis yaitu berupa catatan informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup penggambaran secara rinci dan akurat terhadap berbagai dimensi yang terkait dengan semua aspek yang diteliti. Maka, di sini penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan, kemudian dianalisis, dipadukan, sehingga dihasilkan suatu kesimpulan (Bungin, 2008: 155- 159).
F. Penegasan Istilah 1.
Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Kata “nilai” dikonotasikan sebagai sesuatu yang baik, bermanfaat, positif
(Sujarwa, 2010: 229). “Dalam KKBI, pendidikan berasal dari kata ‘didik’, yang mendapat awalan ‘pen’ dan akhiran ‘an’, yang berarti proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan” (Zarkasi, 2005: 19). Agama adalah kebutuhan jiwa manusia, yang mengatur dan mengendalikan sikap, pandangan hidup, kelakuan serta cara menghadapi tiap- tiap masalah” (Darajat (2015: 47). Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang terikat oleh satu keturunan yang masing-masing anggotanya mempunyai peran dan tanggung jawab. (Ahmadi, 2003: 96).
Setelah mengartikan nilai, pendidikan, agama, dan keluarga, penulis ingin menambahkan bahwa yang dimaksud “Pendidikan Agama” di sini menurut Nurcholish Madjid adalah “Pendidikan Islam”.
Pendidikan Islam adalah suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam, menuju kepada terbentuknya kepribadian yang utama. Kepribadian utama menurut Islam tersebut adalah pribadi yang memiliki nilai-nilai agama Islam, bertanggung jawab dan sesuai dengan Al- Qur’an dan Hadist (Zuhairini, 2009: 290).
2. Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid populer dipanggil dengan sebutan Cak Nur. Ia merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, serta cendekiawan muslim bangsa. Dalam banyak sumber yang mengulas tentang dirinya, disebutkan bahwa Nurcholish Madjid lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Prestasi Nurcholish Madjid lebih terlihat dalam pemikiran. Ia meninggal pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis yang dideritanya (Cahyo, 2014: 210-215).
Jadi, yang dimaksud “nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga” menurut Nurcholish Madjid dalam skripsi ini adalah sifat-sifat atau hal-hal yang melekat pada pendidikan Islam yang digunakan sebagai dasar manusia untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu mengabdi pada Allah Swt. Nilai-nilai tersebut perlu ditanamkan pada anak sejak kecil dengan metode peneladanan, karena pada waktu itu adalah masa yang tepat untuk menanamkan kebiasaan yang baik kepada mereka dalam rangka pembentukan pribadi muslim sejati.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulisan penelitian.
BAB II BIOGRAFI Pada bab ini akan diuraikan mengenai: riwayat hidup, pendidikan, aktivitas dan karya-karya intelektual, dan kontribusi pemikiran Nurcholish Madjid di bidang Pendidikan Agama.
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai: nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga dan implementasi nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid
BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai: signifikansi, relevansi, dan implikasi pemikiran Nurcholish Madjid mengenai nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga.
BAB V PENUTUP Bab penutup berisi kesimpulan dan saran.
BAB II BIOGRAFI H. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid atau yang biasa dipanggil Cak Nur lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 bertepatan dengan tanggal 26 Muharram 1358 H (Madjid, 1995: 224). Nurcholish adalah putra dari seorang
petani Jombang yang bernama H. Abdul Madjid. Abdul Madjid adalah seorang ayah yang rajin dan ulet dalam mendidik putranya, dia adalah seorang figur ayah yang alim. Dia merupakan Kyai alim ulama Nahdlatul Ulama (NU), yang secara personal mempunyai hubungan khusus dengan K.H. Hasyim Asy’ari, salah seorang founding father Nahdlatul Ulama. H. Abdul Madjid inilah yang menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada Nurcholish Madjid semenjak dirinya masih berusia 6 tahun (Barton, 1999: 74).
Orang tua Nurcholish Madjid datang dari lingkungan Nadlatul Ulama dan Masyumi. Ibunda Nurcholish Madjid, Fathonah, dipilih menjadi istri ayahnya, Abdul Madjid, atas perintah Kyai Asy’ari. Fathonah putri keluarga pengusaha yang taat beragama. Abdul Madjid adalah petani dan guru, yang bersama istrinya kemudian mendirikan Madrasah Al-Wathaniyah, di Mojoanyar. Sang ayah politisi Masyumi, yang jarang di daerah itu, meski tetap memegang tradisi NU secara kuat.
Tradisi yang kosmopolit dan menghargai keragaman seperti itulah yang kelak akan mewarnai Paramadina, organisasi yang didirikannya. Hidup, pribadi, dan pikiran Nurcholish Madjid terbentuk pada masa remaja ketika dia sekolah di Pondok Modern Gontor. Pesantren ini sangat progresif dan modern, baik dalam metode pengajaran maupun gaya hidup para santrinya. Santri diperbolehkan main musik dan mengenakan celana, bukannya sarung.
Kurikulum di Gontor mengkombinasikan kajian Islam dan sekular dengan metode pengajaran modern: pengantar bahasa Arab dan Inggris. Selepas Gontor, Nurcholish Madjid pergi ke Jakarta untuk melanjutkan pelajaran di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sejak 19 Juli 2004, ketika Nurcholish Madjid meninggalkan tanah air, untuk menjalani transplantasi hati di Taiping Hospital, di Guandong, China, harap-harap cemas selalu menyelimuti sahabat-sahabatnya. Penyakit hepatitis C yang dideritanya sejak 20 tahun lalu, telah menjadi keganasan.
Transplantasi merupakan satu-satunya harapan Nurcholish Madjid. Namun Tuhan menentukan lain.
Tanggal 23 Juli 2004, Nurcholish Madjid menjalani operasi transplantasi. Semua dikabarkan operasinya sukses, sebab tidak lebih dari seminggu, Nurcholish Madjid telah dipindahkan ke Singapura. Sejak Nurcholish Madjid operasi lever di China, dirawat di rumah sakit Singapura, sampai perawatan intensif di rumah sakit Pondok Indah, Jakarta, teman- temannya berdatangan memberikan doa dan dukungan moril.
Senin, 29 Agustus 2005, bertepatan dengan 24 Rajab 1426, pukul
14.05 WIB, Nurcholish Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur meninggal dunia dalam usia 66 tahun (17 Maret 1939-29 Agustus 2005). Nurcholish
Madjid meninggalkan seorang istri Omi Komariah dan dua orang anak, Nadia Madjid dan Ahmad Mikail (Yani, 2009: 49-50).
I. Pendidikan Nurcholish Madjid
Dalam mempersepsikan tatanan pendidikan yang diberikan oleh ayahnya, Nurcholish Madjid mencatat: Meskipun pendidikan resmi Abdul Madjid hanya tamatan SR, tetapi ia memiliki pengetahuan yang luas. Fasih dalam bahasa Arab dan megakar dalam tradisi pesantren. Abdul Madjid sering dipanggil “kyai haji”, sebagai penghormatan atas ketinggian ilmu keislaman yang dimilikinya, walaupun ia sendiri secara pribadi tidak pernah menyebut dirinya sebagai kyai dan tidak pernah secara resmi bergabung dengan kalangan ulama. Dan meskipun ia tetap menyebut diri sebagai orang biasa, namun hal itu tidaklah menmbendung keinginannya untuk mendirikan sebuah madrasah. Bahkan ia menjadi pengelola utama pada pembangunan madrasah yang ia kelola sendiri dan juga yang paling berperan dalam membesarkan madrasah di Mojoanyar Jombang (Barton, 1999: 72).
wathoniyah
Penanaman nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan oleh H. Abdul Madjid kepada Nurcholish Madjid, bukan saja melalui penanaman aqidah, moral, etika, ataupun dengan pembelajaran membaca Al-
Qur’an saja, akan tetapi juga dengan arah pendidikan formal bagi Nurcholish Madjid (Barton, 1999: 72). Pendidikan dasar yang ditempuhnya pada dua sekolah tingkat dasar, yaitu di Madrasah al-Wathoniyah dikelola oleh ayahnya sendiri dan di Sekolah Rakyat (SR) di Mojoanyar, Jombang.
Pemikiran Nurcholish Madjid yang sedemikian rupa tentu tidak lepas dari pengaruh lingkungan rumah dan eksistensi keluarga serta pengaruh terbesarnya terletak pada asuhan yang diberikan oleh sang ayah. Jadi, sejak tingkat dasar, Nurcholis Madjid telah mengenal dua model pendidikan.
Pertama , pendidikan dengan pola madrasah, yang sarat dengan penggunaan
kitab kuning sebagai bahan rujukannya. Kedua, Nurcholish Madjid juga memperoleh pendidikan umum secara memadai, sekaligus berkenalan dengan metode pengajaran modern. Pada masa pendidikan dasar ini, khususnya di Madrasah Wathoniyah, Nurcholish Madjid sudah menampakkan kecerdasannya dengan berkali-kali menerima penghargaan atas prestasinya (Nadroh, 1999: 21-22).
Selepas menamatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) pada tahun 1952, Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi.
Pesantren Darul ‘Ulum Jombang menjadi pilihan ayahnya dan dipatuhi oleh Nurcholish Madjid. Di pesantren ini Nurcholish Madjid hanya mampu menjalani proses belajarnya selama dua tahun. Atas izin ayahnya, kemudian Nurcholish Madjid pindah ke Pondok Pesantren Darussalam, KMI (Kulliyat Mu’alimien al-Islamiah) Gontor Ponorogo pada tahun 1955. Hal ini disebabkan penderitaan yang dialami Nurcholish Madjid karena ejekan yang datang dari teman-temannya, terkait dengan pendidikan politik ayahnya yang terlibat di Masyumi (Barton, 1999: 75).
Di Gontor, Nurcholish Madjid selalu menunjukkan prestasi yang baik, sehingga dari kelas 1 ia langsung loncat ke kelas 3. Di pesantren ini, ia banyak mempelajari bahasa asing terutama Bahasa Arab. Sehubungan dengan kemampuan berbahasa Arab ini, terdapat suatu cerita menarik dari Nurcholish Madjid (untuk selanjutnya ditulis dengan nama akrabnya, Cak Nur):
Suatu hari ia pulang ke rumah, ayahnya, Abdul Madjid dikenal memiliki koleksi kitab yang banyak dan tidak ada yang bisa membaca selain ayahnya sendiri. Ketika pulang ke rumahnya, ditunjukkan beberapa kitab berbahasa Arab dari Mesir dan ayahnya tidak bisa membaca. Sementara Cak Nur mampu membaca kitab-kitab ayahnya itu dengan baik (Ridwan, 2002: 51).
Kurikulum yang diberikan Gontor menghadirkan perpaduan yang liberal, yakni tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat. Para santri diwajibkan menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris secara aktif dalam berkomunikasi antar santri di lingkungan pesantren. Pelajaran agama yang diajarkan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai pengantarnya di semua kelas kecuali kelas tahun pertama. Tujuan penekanan pada santri-santri dalam menggunakan kedua bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar sehari-hari, yakni mengantarkan para santrinya ke dalam cakrawala pengetahuan yang lebih luas.
Semboyan Gontor yang berbunyi “berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan lua s dan berfikiran bebas” memberikan penekana keseimbangan antara kesehatan jasmani dan rohani, menciptkan iklim yang kondusif bagi santrinya untuk pemikiran kritis dan maju secara intelektual. Di pesantren inilah Nurcholish Madjid masuk ke KMI (Kulliyatul M
u’alimien al-
Islamiah ) selama enam tahun. Pada tahun 1960 Nurcholish Madjid
menyelesaikan studi di Gontor dan untuk beberapa tahun ia mengajar di bekas almamaternya. Pondok pesantren Gontor dan orang tuanyalah yang merupakan unsur yang cukup berpengaruh pada perkembangan intelektual Nurcholish Madjid (Barton, 1999: 36).
Perkembangan intelektual Nurcholish Madjid di Gontor berjalan seiring dengan besarnya perhatian orang tuanya H. Abdul Madjid dalam mendidik. Untuk itulah akselerasi belajar yang diperolehnya tersebut menghantarkannya sebagai santri berprestasi. Prestasi belajar Cak Nur yang fenomenal itu, diperhatikan oleh K.H. Zarkasyi, salah satu pengasuh pesantren Gontor, dan ketika tamat pada tahun 1960, sang guru bermaksud mengirimnkannya ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Karena waktu itu di Mesir terjadi krisis politik akibat problem Terusan Suez, keberangkatan Cak Nur ke Mesir tertunda, dan untuk sementara waktu Cak Nur mengajar di almamaternya. Ketika terbetik kabar bahwa di Mesir sulit memperoleh visa, sang guru tahu bahwa Cak Nur sangat kecewa dan untuk menghiburnya, K.H. Zarkasyi mengirim surat ke IAIN Jakarta meminta agar murid kesayangannya itu dapat diterima, dan dengan bantuan alumni Gontor di IAIN tersebut, Cak Nur bisa diterima, meski tanpa ijazah negeri (Barton, 1999: 77).
Atas petunjuk gurunya KH. Zarkasyi inilah Nurcholish Madjid meneguhkan pilihannya untuk melanjutkan studi di IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta. Pilihannya terhadap IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkaitan erat dengan minatnya yang besar terhadap pemikiran keislaman. Pemikirannya yang kritis dan keebranian pengembaraan intelektualitasnya ditunjukkan ketika ia menulis skripsi yang berjudul Al-
Qur’an ‘Arabiyun Lughatan Wa
‘Alamiyun Ma’nan (AL-Qur’an secra bahasa adalah bahasa Arab, Secara
Makna adalah Universal ). Tema skripsi yang diangkat oleh Nurcholish
Madjid tersebut setidaknya telah menyiratkan kekritisan dan corak berfikir keislaman yang inklusif. Kuliahnya di selesaikan pada tahun 1968 dengan predikat cum laude.
Ketika di Jakarta, sembari kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Nurcholish Madjid tinggal di Masjid Agung al-Azhar, Kabayoran Baru dan sedemikian akrab dengan Buya Hamka dan ia sedemikian kagum terhadap dakwah Buya yang mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan budaya dan semangat Al-
Qur’an sehingga paham keislaman yang ditawarkan Buya sangat menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam kota. Hal tersebut dilansir dari Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar”, dalam Madjid, (1995: vii).
Minat Nurcholish Madjid terhadap kajian keislaman semakin mengkristal dengan keterlibatannya di HMI. Dia terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama dua periode berturut-turut dari tahun 1966-1969 hingga 1969-1971. Ia pun menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) periode 1967-1969. Dan untuk masa bakti 1969-1971, Cak Nur menjadi Wakil Sekertaris Umum International Islamic Federation of Students Organisation (IIFSO) (Barton, 1999: 78).
Kepemimpinan Nurcholish Madjid pada organisasi mahasiswa tingkat nasional tersebut merupakan hal yang amat penting dalam jalur intelektualisme kehidupannya. Pada sisi lain keterlibatanya pada kegiatan internasional yakni kunjungannya ke Tumur Tengah dan Amerika Serikat telah semakin mematangkan petualangan intelektualitasnya. Pada saat-saat itulah Nurcholish Madjid melontarkan gagasan kontroversial, yang sangat menyengat kalangan Masyumi yang waktu itu sedemikian getol memperjuangkan visi Islam Politik, yakni jargon Islam Yes, Partai Islam No (Nadroh, 1999: 37). Banyak reaksi keras yang dialamatkan kepadanya, namun dia tak bergeming, bahkan semakin aktif dengan gagasan-gagasannya, dengan mendirikan Yayasan Samanhudi dan ia menjadi direkturnya selama tahun 1974-1976 (Barton, 1999: 83-84). Atas dasar itu, dalam perspektif Majalah Tempo-hingga batas tertentu-pemikiran Nurcholish Madjid telah menyebabkan ormas-ormas Islam yang telah menerima asas tunggal (Pancasila) merasa lebih damai karena telah menemukan kebenaran (Barton, 1999: 36).
Pada tahun 1984, ia berhasil menyandang gelar Philoshopy Doctoral (Ph.D) di Universitas Chicago dengan nilai cum laude. Adapun disertasinya ia mengangkat pemikiran Ibnu Taimiyah dengan judul
“Ibn Taimiyah dalam
Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam” (Ibn
Taymiyah in Kalam and Falsafah: a Problem of Reason and Revelation in
Islam ). Disertasi doctoral yang dilakukan ini menunjukkan kekaguman dirinya
terhadap tokoh tersebut. Kekaguman ini pun menjadi pengakuan yang disampaikannya.
Nurcholish Madjid bukan hanya memiliki prsetasi akademik yang menakjubkan, tapi sebagai seorang aktivis pun ia dipercaya untuk menempati posisi penting pada berbagai organisasi kepemudaan. Ini menyiratkan dedikasinya dalam me-manage waktu antara aktivitas akademik dengan aktivitas organisasinya, hal mana sulit dilakukan oleh rekan-rekan aktivis lainnya. Pada saat yang bersamaan Nurcholish Madjid telah mampu membuktikan intergritasnya sebagai intelektual yang produktif.
Dunia formal yang ia jalani selama kurun waktu 36 tahun sejak tahun 1984, penuh dengan segudang pengalaman dan prestasi akademik yang sangat memuaskan. Hal tersebut dibuktikan oleh Nurcholish Madjid dengan predikat
cum laude yang setidaknya dapat dijadikan tolak ukur dari kapasitas
intelektualnya. Karir Nurcholish Madjid semakin sempurna tatkala ia dinobatkan sebagai Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai rasa penghargaan pihak kampus baginya yang begitu lama menggeluti dunia keilmuan pada tanggal 10 Agustus 1998. Adapun pidato pengukuhannya sebagai guru besar berjudul
“Kalam Kekhalifahan Manusia Reformasi: Suatu Percobaan Pendekatan Sistematis Ter hadap Konsep Antropologis Islam.” J.
Aktivitas Intelektual Nurcholish Madjid
Kelincahan Nurcholish Madjid di dunia organisasi selama menjadi mahasiswa tidak terlepas dari pengaruh sosiologis dan ideologis KMI Gontor, tempat ia mengenyam pendidikan keagamaan. KMI Gontor bukan saja berbentuk pesantren yang semata-mata menyuguhi para santrinya materi keagamaan klasik an sich, tidak hanya menyuguhi para santrinya untuk menguasai mata pelajaran di kelas, tetapi lebih dari semua itu, Gontor merupakan pesantren modern yang mengajarkan mereka bagaimana cara berorganisasi dengan baik. Hal itulah yang dirasakan oleh Nurcholish Madjid.
Selama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah terbiasa dengan dinamika keilmuan, aktivitas keorganisasian, yang karenanya, ia begitu berwujud sebagai mediator kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan Mahasiswa Ialam) selama berkiprah di dunia kampus. Dalam menjalankan roda organisasi Nurcholish Madjid bnyak menerapkan komitmen ke-KMI- annya yang memang diajarkan oleh para pengasuhnya (Barton , 1999: 65).