Perspektif Ekonomi TEKNOLOGI DAN ILMU

PERSPEKTIF EKONOMI, TEKNOLOGI DAN ILMU PENGETAHUAN
SEBAGAI UNSUR DINAMIKA PRANATA SOSIAL1
Oleh
Prof. DR. Raja Masbar, M.Sc2
Abd. Jamal, S.E, M.Si, DR (Kandidat)3

Pendahuluan
Sejak manusia lahir sudah membutuhkan berbagai kebutuhan, seperti
makan, pakaian dan tempat tinggal. Dalam kehidupan primitif, masyarakat di
dalam

memenuhi

kebutuhan-kebutuhan

tersebut

diusahakan

dengan


mendapatkannya dari alam, dan terus dilakukan dengan cara berpindahpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain.
Dengan

berkembangnya zaman di mana kebutuhan penduduk sudah

semakin berkembang, dan telah terbatasnya kebutuhan yang didapatkan
dari alam, berkembanglah cara memenuhi kebutuhan dengan mengolah
sendiri lahan untuk mendapatkan makanan. Akan tetapi, hasil produksinya
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten). Kebutuhan
masyarakat tidak hanya makanan dan juga tidak hanya pada satu jenis
makanan, tapi juga butuh pakaian dan tempat tinggal yang layak.
Oleh karena berkembangnya kebutuhan masyarakat tersebut, muncullah
pemikiran dari mereka untuk melakukan perdagangan dalam rangka
memenuhi kebutuhan yang semakin kompleks tersebut. Jenis perdagangan
yang muncul pada tataran ini adalah masyarakat melakukan pertukaran
barang/jasa dengan barang/jasa yang disebut dengan “barter”. Barter ini
muncul karena belum adanya uang di dalam masyarakat, sementara
masyarakat membutuhkan barang/jasa yang tidak dihasilkan sendiri.

1


Makalah disampaikan pada Dialog Penelaahan terhadap Pranata Sosial untuk Memahami
Dinamika Masyarakat Indonesia di Provinsi Aceh dengan tema “Dinamika Masyarakat Aceh
Pasca Tsunami” pada tanggal 29 Juni 2009 di Banda Aceh
2

Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh

3

Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

2

Bagi penduduk di Aceh, barter ini masih ada hingga periode waktu sekitar
tahun 1970-an. Di dalam barter ini masyarakat melakukan pertukaraan
barang dalam ukuran standar unit yang mereka sepakati, misal satu bambu 4
garam ditukarkan dengan dua bambu padi. Bahkan di dalam era modern pun
barter


masih

dilakukan.

Misalnya

pada

saat

terjadinya

hiperinflasi

(www.en.wikipedia.org).
Berkembangnya jumlah penduduk dan kebutuhan setiap individu dan
keluarga, maka barter menjadi semakin sulit. Hal ini disebabkan tidak adanya
kebutuhan atau keinginan masyarakat yang dapat ditukarkan dalam waktu
bersamaan. Atau berbedanya antara kebutuhan seseorang dengan barang
dan jasa yang tersedia pada pihak lain. Barter di sini menjadi pilihan yang

paling sulit untuk dilakukan, karena harus mempertemukan semua orang
yang memiliki barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Ekonomi barter
ini sangat tidak efisien. Misalnya, di pasar terdapat 3.000 jenis barang dan
jasa yang berbeda, maka tukar menukar di dalam perekonomian barter
diperhitungkan sebanyak 4.498.500 kali 5 (Mahmud, 1985 : 2)

Untuk

menyelesaikan persoalan ini maka muncullah uang yang mula-mula sekali
yang disebut dengan commodity money (uang terbuat dari benda), misalnya,
kulit berbulu, rahang binatang, binatang ternak, budak belian dan lain-lain
(Mahmud, 1985 : 16).
Uang dalam bentuk tersebut juga mengalami banyak kendala karena tidak
efisien di dalam operasionalnya. Dengan demikian muncul uang-uang lain
yang lebih efisien dan praktis seperti uang kartal (uang kertas dan koin) atau
uang giral. Uang tersebut sangat efisien di dalam melakukan perdagangan.
Bahkan di zaman modern sekarang ini berkembang pada kartu kredit dan
debit di dalam urusan perdagangan.

4


Ukuran ”Bambu” merupakan ukuran kesepakatan masyarakat pada masa lalu yaitu dengan
menggunakan ukuran satu ruas bambu yang sudah cukup tua.
5

Jumlah ini berasal dari rumus R 

n(n  1)
. R adalah jumlah perbandingan tukar1

menukar atau harga-harga dan n adalah jumlah barang-barang yang diperhitungkan dalam
ekonomi barter.

3

Pranata Sosial dan Ekonomi
Pranata-pranata sosial muncul dan berkembang sebagai refleksi dari sebuah
kebudayaan. Menurut Rosyada (1999 : 163) pranata sosial adalah tradisitradisi dalam kehidupan manusia yang terbentuk sebagai kombinasi antara
reaksi kemanusiaan atas tantangan dan dinamika lingkungannya, dengan
etos yang menjadi nilai dasar kehidupannya.

Koentjaraningrat (1964 : 113) mengatakan bahwa pranata sosial adalah
suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitasaktivitas untuk memenuhi kompleks-komplkes kebutuhan khusus dalam
kehidupan masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami
bahwa dalam sebuah pranata sosial sebagai sebuah sistem tentu terdapat
tiga hal utama, yakni subjek yaitu manusia, objek yaitu aktivitas

yang

dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dan kelembagaan yaitu aturan
atau norma yang mengatur aktivitas tersebut. Oleh karenanya, di dalam
pranata sosial terdapat seperangkat aturan yang berpedoman pada
kebudayaan.
Selanjutnya, Kuntjaraningrat juga mengatakan bahwa pranata sosial memiliki
delapan tujuan, yaitu :
a. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan sosial dan kekerabatan,
yaitu yang disebut kinship atau domestic institutions.
b. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mata
pencaharian hidup, memproduksi, menimbun, dan mendistribusikan
harta benda atau economic institutions.
c. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan pengetahuan dan

pendidikan manusia atau educational institutions.
d. Pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia
atau scientific institutions.
e. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk
menyatakan rasa keindahan dan rekreasi atau aesthetic and
recreational institutions.

4

f. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk
berhubungan dengan Tuhan atau religius institutions.
g. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk
mengatur kehidupan berkelompok atau bernegara atau political
institutions.
h. Pranata-pranata yang mengurus kebutuhan jasmani manusia atau
somatic institutions.
Sebagai salah satu tujuan dari pranata sosial untuk memenuhi kebutuhan
manusia, maka pranata ekonomi sistem norma atau kaidah yang mengatur
tingkah laku individu dalam masyarakat guna memenuhi kebutuhan barang
dan jasa. Dengan demikian, fungsi pranata ekonomi adalah :

a. Mengatur konsumsi barang dan jasa.
b. Mengatur distribusi barang dan jasa, dan
c. Mengatur produksi barang dan jasa.

Jadi pranata ekonomi ini lahir ketika orang-orang mulai mengadakan
pertukaran barang atau perdagangan serta mengakui adanya kebutuhan
atau tuntutan dari orang lain.
Dari sisi pembangunan ekonomi, kehidupan masyarakat di dalam pranata
ekonomi dan pranata sosial memiliki strata atau jurang pemisah dua
kelompok masyarakat yang disebut dengan dualisme 6 ekonomi (Todaro,
2003 : 145). Di satu sisi masyarakat berada pada kelompok elit (superior)
namun di sisi lain juga ada yang berkehidupan di dalam kelompok inferior.
Akan tetapi, kedua kelompok masyarakat tersebut dapat hidup di dalam
ruang dan waktu yang sama. Biasanya, kedua kelompok masyarakat
tersebut saling membutuhkan dan saling bekerjasama secara ekonomi dan
sosial. Misalnya, hubungan pengusaha dengan buruh (dualisme ekonomi),
bank dan rentenir (dualisme keuangan), penduduk berpendidikan tinggi dan
6

Dualisme atau sering juga disebut dualisme pembangunan merupakan dua kondisi yang

kontras di dalam masyarakat, namun mereka saling membutuhkan, sehingga dapat hidup di
dalam ruang dan waktu yang sama, seperti supir dengan majikan

5

pendidikan rendah (dualisme sosial) serta pusat dan daerah (dualisme
regional).
Dari contoh tersebut terlihat jelas bahwa pranata ekonomi memang terbentuk
dengan sendirinya disebabkan oleh adanya kebutuhan masyarakat.
Dualisme tersebut juga berkembang disebabkan oleh berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pada masa lalu, di dalam mengembangkan ekonomi, masyarakat melakukan
pinjaman pada sesamanya dengan tanpa adanya bunga. Akan tetapi,
dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat dan kebutuhannya untuk
melakukan produksi, rentenir7 menjadi satu pilihan untuk menambah modal
kerja. Bahkan pada daerah tertentu saat ini di Aceh, rentenir masih dapat
hidup8. Hal ini disebabkan oleh sulitnya akses masyarakat pada bank formal
untuk mendapatkan pinjaman guna menjalankan usaha mereka. Akses
mereka terhadap bank resmi tentu baru dapat dilakukan bila mereka
memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh bank, yang

biasanya mereka9 tidak punya. Sedangkan pinjaman pada rentenir tidak
diperlukan persyaratan administratif, kecuali perjanjian-perjanjian tertentu
yang mengikat atas saling kepercayaan.
Perkembangan pranata kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat terus
mengalami perubahan-perubahan. Hal ini disebabkan oleh adanya kemajuan
teknologi yang berkembang pesat. Bahkan perubahan pola konsumsi
masyarakat sangat ditentukan oleh perubahan lingkungan sekitar, bukan
ditentukan oleh kebutuhan (needs) tapi oleh keinginan (wants).

7

Di dalam masyarakat Aceh, rentenir juga sempat hidup. Beberapa waktu lalu, rentenir juga
diistilahkan oleh beberapa kelompok masyarakat sebagai Bank 47. Istilah tersebut
digunakan karena secara formal pada masa lalu adanya Bank BNI 46 sebagai sebutan
untuk Bank BNI saat ini. Sebutan untuk rentenir mungkin berbeda untuk beberapa daeah di
Aceh
8

Hasil wawancara penulis dengan beberapa pengurus Lembaga Keuangan Mikro saat
melakukan pengawasan LKM untuk Badan Pengawas BRR di Kabupaten Aceh Tamiang

beberapa waktu lalu, terungkap di daerah tersebut masih ada rentenir, terutama di daerah
pedalaman
9

Masyarakat perdesaan yang berekonomi lemah (pelaku usaha mikro)

6

Demonstrative effects menjadi kebanggaan dan pedoman konsumtif
kelompok masyarakat tertentu. Sikap konsumerisme yang berlebihan
tersebut berdampak pada tergerusnya ekonomi bangsa. Hal ini karena
bangsa kita harus menyediakan devisa yang cukup untuk melakukan impor
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang telah mengalami pergeseran
dan perubahan kepala pola konsumtif tertentu. Bahkan gejala ini seringkali
mengarah pada sikap over consumptive atau materialistis (Marzali, 2007 :
186).

Perilaku tersebut sering diperlihatkan oleh sebagai kelompok

masyarakat yaitu kelas menengah ke atas yang biasanya banyak hidup
diperkotaan.
Jangan heran bila di berbagai media termasuk elektronik banyak muncul
iklan-iklan yang ribuan jumlahnya. Peranan jasa perbankan seperti kartu
kredit dan kartu debit mempermudah kelompok ini untuk melakukan
transaksi, baik antar wilayah maupun antar negara. Jarak antar negara tidak
lagi menjadi halangan di dalam memenuhi keinginan masyarakat. Mereka
cukup membuka komputer dan internet dan langsung dapat melakukan
transaksi baik di pasar uang maupun pasar barang. Perkembangan ilmu
pengetahuan dn teknologi sangat mendukung perubahan pranata ini.
Perubahan kehidupan pranata sosial dan ekonomi ini dapat berarti dan
bermanfaat bila perubahan tersebut normal, wajar dan tidak mengandung
traumatik (Ranjabar, 2008 : 54). Misalnya, pada masa lalu tanah diolah
dengan bajak, namun sekarang diolah dengan traktor. Perdagangan
dilakukan antar desa, berubah menjadi antar negara atau lintas samudra dan
lintas benua.
Proses perubahan dapat berlangsung dalam beberapa kecepatan, lambat,
sedang dan cepat, atau secara evolusi dan revolusi. Oleh karenanya,
Ranjabar (2008 : 82 - 111) menjelaskan beberapa faktor perubahan baik
penyebab, pendorong maupun penghambat perubahan, yaitu :
1) Faktor penyebab, yaitu :
a. Penemuan-penemuan baru

7

b. Struktur sosial
c. Inovasi
d. Perubahan Lingkungan
e. Ukuran penduduk dan komposisi penduduk
f. Inovasi dalam teknologi
2) Faktor pendorong
a. Toleransi
b. Sistem terbuka lapisan masyarakat
c. Heterogenitas
d. Rasa tidak puas
e. Karakter masyarakat
f. Pendidikan
g. Ideologi
3) Faktor penghambat
a. Kehidupan masyarakat yang terasing
b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat
c. Sikap masyarakat yang sangat tradisional
d. Adanya kepentingan yang tertanam
e. Adanya prasangka
f. Adat istiadat
Ternyata perubahan-perubahan sosial dan ekonomi tidak hanya dapat
disebabkan dan didorong oleh beberapa faktor tertentu, tapi juga ada faktorfaktor yang menghambat. Komunikasi antar masyarakat dapat menyebabkan
saling pengaruh mempengaruhi. Pengaruh tersebut dapat dalam bentuk
ideologi, penemuan-penemuan baru, maupun perubahan perilaku. Namun
sebaliknya, bagi masyarakat yang terasing, perubahan tersebut tidak akan
dapat diperoleh karena tidak adanya komunikasi dengan masyarakat luar
yang biasanya membawa sesuatu yang baru di dalam kehidupan.
Begitu juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat
menyebabkan masyarakat setempat akan terus tertinggal dalam mengikuti

8

perubahan-perubahan karena kuarangnya efisien di dalam melakukan suatu
kegiatan ekonomi. Keyakinan dan mengangungkan budaya dan tradisi
leluhur secara berlebihan juga akan tetap berada pada ketertinggalan.
Kenyamanan dengan kondisi kehidupan yang ada, kecurigaan pada
pendatang, juga menjadi penghalang pada perubahan kehidupan dari
kehidupan yang lama kepada yang baru. Kebiasaan atau adat istiadat yang
tetap dipertahankan juga akan stagnan tanpa ada perubahan.

Pranata dan Struktur Ekonomi dalam Masyarakat Aceh
Sejak berabad-abad lalu, pranata ekonomi masyarakat Aceh adalah
saudagar dan petani. Kedua kelompok masyarakat tersebut saling
berinteraksi satu dengan yang lain dalam kerangka kerjasama yang saling
menguntungkan. Namun demikian, pada dasarnya kelompok saudagar atau
pedagang lebih banyak mendapatkan manfaat dari hasil pertukaran dan
perdagangan tersebut. Semangat dagang atau persaudagaran memang
sudah tertanam dalam jiwa masyarakat Aceh yang pada umumnya berasal
dari pedagang perantau masa lalu terutama melalui alur Gujarat dan
Hadralmaut.
Dari sisi pranata ekonomi, dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Aceh
terdiri dari beberapa kelompok

pada tingkat dasar yang dikenal dengan

istilah ”muge”10 yang berfungsi sebagai pedagang pengumpul. Muge ini
membeli komoditas pertanian langsung dari petani dan juga menjual
langsung kepada penduduk yang membutuhkan.
Kelompok kedua adalah toke atau haji yang berfungsi sebagai pedagang
perantara (midleman) yang menampung komoditas pertanian dari para muge
dan penyalur atau distributor barang-barang kebutuhan masyarakat melalui
para muge tersebut. Di samping fungsinya sebagai distributor, juga berfungsi
sebagai penampung aset di ”gala” atau digadaikan oleh para petani kepada
10

”Muge” (istilah Aceh) untuk pedagang pada level yang paling bawah. Biasanya “muge” ini
berhubungan langsung dengan konsumen atau dengan produsen pada level yang paling
bawah untuk mengumpulkan hasil produksi rakyat perdesaan.

9

toke untuk memenuhi kebutuhan yang besar dan urgen dengan janji akan
ditebus kembali kalau petani atau masyarakat sudah mendapatkan
penghasilan.
Kelompok ketiga adalah toke rayeuk (toke besar) yang setara dengan
eksportir dan importir. Pada masa lalu banyak saudagar Aceh yang
melakukan kegiatan perdagangan antar pulau dan antar negara yang
kemudian menetap di negara lain setelah sukses dalam kegiatan bisnisnya,
seperti di Arab Saudi dan Malaysia. Pengusaha sukses Aceh yang berada di
dalam negeri juga berdomisili di luar Aceh terutama di Medan dan Jakarta.
Pada umumnya ketertarikan mereka untuk kembali ke Aceh secara relatif
kurang berminat.
Di sektor ekonomi perikanan/kelautan, masyarakat Aceh juga terlibat di
dalam kegiatan melaut sebagai nelayan. Sebagian nelayan melakukan
kegiatnnya dengan cara memancing atau menarik pukat. Ini khusus bagi
nelayan kelas rendah atau berekonomi lemah. Namun bagi nelayan yang
memiliki modal besar dia akan menjadi toke bangku. Toke bangku ini hanya
memberikan modal kepada para nelayan yang selanjutnya dia menunggu
hasil dan dia menjadi pengumpul untuk dijual atau dilelang. Nelayan yang
menggunakan jasa toke bangku ini akan mendapat imbalan sesuai dengan
ketentuan atau kesepakatan11.
Dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh, pada masa lalu,
kehidupan ekonomi di perdesaan sebenarnya tidak hanya dalam bentuk
perdagangan sebagaimana diuraikan di atas, namun rasa ke-gotongroyongan sangat kental di dalam kehidupannya. Para petani di dalam melakukan
kegiatan pertaniannya sehari-hari selalu melakukannya secara bersamasama dengan kelompoknya. Misalnya, pada saat mulai mengolah tanah,
para petani mengolah tanah secara bergiliran sampai selesai untuk seluruh
anggota kelompoknya. Begitu juga dengan tahapan-tahapan kegiatan
pertanian lainnya sampai ke tahapan panen yang mereka lakukan secara
11

Nelayan pengguna jasa (modal) toke bangku ini dapat membuat perjanjian dengan toke
bangku seperti membagi keuntungan, menjual ke toke, atau cara lain yang disepakati.

10

bergantian (istilahnya, aplusan atau urub). Rasa kebersamaan ini tidk hanya
dilakukan sesama petani laki-laki, tapi juga bauran laki-laki dengan
perempuan. Kondisi ini menunjukkan rasa kebersamaan yang sangat tinggi
di dalam masyarakat.
Selanjutnya, dalam menghidupkan ekonomi perdesaan untuk bangkit dari
kemiskinan, para kepala desa (geusyik) bersama dengan tetua desa (tuha
peuet dan tuha lapan)12 membentuk lumbung desa. Para petani saat panen
mengumpulkan hasil panen untuk disumbangkan kepada desa sesuai
dengan kemampuan dan hasil panennya. Hasil pengumpulan ini digunakan
untuk pembiayaan pembangunan desa baik untuk pembangunan jalan desa
maupun untuk kegiatan-kegiatan lain yang menunjang kemajuan desa dan
penduduknya.
Untuk melancarkan pertumbuhan sektor pertanian, keujruen13 merupakan
kunci kesuksesannya. Para keujruen ini melakukan kegiatannya dalam
meningkatkan hasil pertanian tanpa pamrih. Akan tetapi, saat panen, para
petani memberikan hasil panen sesuai kemampuan kapadanya sebagai
imbalan selama masa produksi pertanian.
Begitu juga halnya di dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia,
para guru ngaji di dalam mendidik anak-anak mengaji di balai-balai
pengajiannya tanpa mengharapkan balas jasa. Namun dengan kesadaran
para penduduk, kadangkala, mereka memberikan sekedar uang minyak
kepada teungku14 karena telah mengajarkan ilmu agama dengan harapan

12

Istilah untuk perangkat desa, seperti LMD (Lembaga Musyawarah Desa) dan LKMD
(Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa)
13

Keujruen atau keujruen blang adalah istilah untuk seseorang yang selalu menjaga pintu air
irigasi untuk pengairan sawah. Bila musim sawah sudah tiba, keujruen mengairi sawah
sehingga petani dapat membajaknya. Begitu juga bila kelebihan air, misal ada hujan, maka
dia akan menutupnya, dan itu terus dilakukan hingga panen tiba
14

Istilah untuk guru ngaji di Aceh, terutama di perdesaan. Panggilan tersebut juga sering
digunakan oleh masyarakat di Aceh untuk suaminya, bukan menyebutkan istilah bapak,
ayah atau lainnya. Selain itu juga panggilan untuk orang-orang tua yang baru dikenal.
Namun saat ini (setelah konflik) panggilan teungku sudah digunakan lebih luas setiap orang
yang baru dikenal khususnya di perdesaan, walaupun masih muda, karena dikaitkan dengan
panggilan saat perjuangan masa konflik

11

anaknya akan menjadi manusia yang bermartabat di masa yang akan
datang.
Aceh sebagai sebuah daerah yang pernah berjaya, di mana hilir mudiknya
ratusan atau bahkan ribuan pedagang atau saudagar di masa lalu, ternyata
belum membuat daerah ini dan masyarakatnya hidup makmur dan
berkecukupan.

Sejak

era

tahun

1970-an,

perusahaan-perusahaan

multinasional pun bercokol di tanah rencong. Setelah 30-an tahun, tingkat
kemiskinan penduduk juga masih relatif tinggi yang pada tahun 2008 masih
mencapai 23,5 persen. Angka tersebut masih jauh di atas tingkat kemiskinan
Indonesia yang hanya 15,4 persen.
Berkembangnya kegiatan-kegiatan sektor ekonomi di Aceh yang dimulai
pada era 1970-an hanya mampu menyerap sebagian tenaga kerja lokal,
selebihnya, tenaga kerja pendatang mendominasi lapangan kerja yang ada
di Aceh. Sektor industri dan pertambangan pernah mencatat sejarah sebagai
sektor yang mampu menggerakkan ekonomi dan menjadi mesin penggerak
ekonomi Aceh terutama pada era 1970-an hingga 1990-an. Pertumbuhan
ekonomi Aceh melaju dengan tingkat yang siginifikan. Sektor-sektor non
migas terlihat terseok-seok di belakang sektor industri dan perdagangan.
Selama 6 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Aceh terus mengalami
kemerosotan. Bahkan pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi pada harga
konstan tahun 2000 menunjukkan angka minus 8,32 persen (termasuk
minyak dan gas) (Lihat Gambar 1). Ini mengindikasikan bahwa peranan dari
sektor minyak dan gas telah merosot.
Dilihat dari strukturnya, ekonomi Aceh memiliki struktur basis pertanian.
Kedaan ini ditunjukkan oleh kontribusi sektor pertanian yang masih di atas 20
persen. Bahkan pada tahun 2004 kontribusi sektor tersebut mencapai 36,25
persen. Tingginya kontribusi sektor pertanian dalam perkembangan ekonomi
Aceh mengindikasikan masih banyaknya penduduk yang bekerja di sektor
ini, dan banyaknya penduduk yang masih tinggal di perdesaan. Pola
ekonomi perdesaan ini merupakan pola ekonomi yang kurang produktif dan

12

kurang efisien bila dibandingkan dengan sektor perkotaan seperti sektor
industri pengolahan dan jasa.

Gambar 1
Pertumbuhan PDRB NAD ADHK 2000

Sumber : BPS, Aceh Dalam Angka 2002-2008 (diolah)

Bila dilihat dari sisi non migas, pertumbuhan ekonomi Aceh pada tahun 2008
ternyata menunjukkan angka positif yang mencapai 1,89. Akan tetapi, angka
ini masih lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2007 yang mencapai 7,02
persen. Di satu sisi, pertumbuhan yang positif tersebut menunjukkan bahwa
sektor non migas masih berpeluang untuk menggerakkan pertumbuhan
ekonomi Aceh dan memperluas kesempatan kerja dan kesempatan
berusaha bagi masyarakat Aceh. Namun di sisi lain, rendahnya pertumbuhan
tersebut menunjukkan gejala melemahnya produktivitas ekonomi Aceh saat
ini. Melemahnya produktivitas bisa disebabkan oleh rendahnya kualitas
sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam atau teknologi yang ada.
Tsunami yang pernah melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2006
menyebabkan runtuhnya pranata ekonomi Aceh. Pengangguran dan
kemiskinan meningkat tajam. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi ternyata

13

tidak cukup membantu untuk untuk menurunkan tingkat kemiskinan paling
tidak setara dengan tingkat kemiskinan nasional. Kemiskinan ini sudah
merupakan tema sentral di dalam perjuangan bangsa Indonesia selama ini.
Pembangunan dengan manajemen dan sistem desentralisasi yang dilakukan
Pemerintah Indonesia sekarang ini merupakan upaya untuk membebaskan
rakyat Indonesia (termasuk masyarakat Aceh) dari belenggu kemiskinan.
Bencana alam gempa dan tsunami telah membuka tabir kemiskinan di Aceh.
Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam dan cacat fisik merupakan
kemiskinan alami. Namun kemiskinan karena adanya perubahan struktur
ekonomi, politik, sosial dan budaya merupakan kemiskinan yang diciptakan
oleh manusia itu sendiri. Kemiskinan yang terakhir ini dapat diperkecil
jumlahnya dengan cara meningkatkan kualitas sumberdaya manusia,
mengubah

pola

pikir

(mindset)

dan

meningkatkan

akses

terhadap

sumberdaya ekonomi, politik dan sosial budaya.
Berkaitan dengan masalah kemiskinan ini, Presiden Republik Indonesia,
Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2007 mengatakan bahwa
permasalahan kemiskinan dan pengangguran bukan permasalahan statistik
dan angka, melainkan persoalan nyata mengenai sulitnya kondisi kehidupan
rakyat. Persoalan lain, yang dihadapi rakyat kita adalah meskipun lapangan
pekerjaan tersedia, belum tentu mereka memiliki pendidikan dan ketrampilan
... (dalam Ranjabar, 2008 : 131).
Dari pernyataan presiden tersebut jelas nyata bahwa rendahnya kualitas
sumberdaya manusia menjadi faktor penting bagi perubahan status
sosialnya dengan tingkat ekonomi yang lebih baik. Ketersediaan lapangan
kerja yang cukup, namun tenaga kerja tidak memiliki keahlian, mustahil dia
mampu untuk memperbaiki tingkat kehidupan ekonominya.
Selama puluhan tahun, ekonomi Aceh dinakhodai oleh sektor industri yang
ditunjukkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi pada masa lalu, saat jayajaya-nya industri minyak dan gas. Sayangnya, tanaga kerja putra daerah
Aceh sangat terbatas yang dapat memberikan kontribusinya di dalam sektor

14

tersebut, sehingga penduduk Aceh lebih banyak yang bekerja di sektor
pertanian dan sektor perdagangan sebagai habitat aslinya.
Ketika sektor pertambangan dan industri ini sudah berada pada titik anti
klimaks, namun masyarakat Aceh masih eksis pada pekerjaannya dari masa
ke masa, terutama masyarakat perdesaan yang tetap berkutat dengan
pekerjaannya sebagai petani. Akan tetapi, setelah bencana tsunami, di mana
banyaknya lembaga NGO masuk ke Aceh, banyak masyarakat yang mulai
mencari pekerjaan yang mereka anggap lebih memiliki prestise atau white
collar (kerah putih), mereka tinggalkan pekerjaan mereka sebagai blue collar
(kerah biru)15. Dengan demikian, cara hidup dan perilaku ekonomi mereka
pun mulai berubah, seperti bergesernya pola konsumsi. Tidak hanya mereka
yang terlibat secara langsung untuk bekerja di sektor-sektor tersebut, tapi
juga masyarakat yang terimbas dari multiplier effect ekonomi, seperti
menaikkan harga-harga barang dan jasa dengan kelipatan yang relatif
tinggi16.
Setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan tsunami, terjadi
perubahan-perubahan yang berarti, tidak hanya pada tatanan kehidupan
sosial dan politik, tapi juga pada tatanan ekonomi. Perubahan budaya
ekonomi telah mulai terlihat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sisi ekonomi,
baik dari produksi, distribusi maupun konsumsi. Misalnya, banyaknya muncul
produsen-produsen waralaba, pasar-pasar swalayan dan cafe-cafe.

Penutup
Perkembangan ekonomi yang melanda bangsa-bangsa di dunia juga telah
berpengaruh pada perubahan tatanan kehidupan masyarakat khususnya
masyarakat Aceh, terutama pada tatanan kehidupan ekonomi. Pranata
15

Kerah putih merupakan istilah untuk pekerjaan yang tidak berkeringat, seperti bekerja
pemerintahan, manajer, dan lain-lain. Sedangkan kerah biru adalah pekerjaan yang dapat
menyebabkan baju kotor, seperti pertanian, bengkel, dan lain-lain
16

Sebelum tsunami, harga sewa rumah di Banda Aceh relatif murah, namun setelah tsunami
terjadi kenaikan harga mencapai lima sampai sepuluh kali lipat. Ini disebabkan tingginya
permintaan rumah oleh lembaga-lembaga asing pada saat itu

15

kehidupan ekonomi yang pernah hidup di dalam masyarakat seperti
kegotongroyongan

sebagai

pendorong

pertumbuhan

ekonomi

rakyat

perdesaan telah mulai pupus. Masyarakat sekarang lebih cenderung
melakukan berbagai transaksi ekonomi dengan mengedepankan uang.
Bahkan, kegiatan sosial pun telah diukur dengan nilai rupiah. Perubahanperubahan yang telah melunturkan nilai-nilai sosial budaya tersebut
disebabkan

oleh

kesibukan-kesibukan

masyarakat

sehari-hari

dalam

melaksanakan tugas rutinnya sebagai pekerja di sektor-sektor ekonomi.
Perubahan-perubahan pilihan pekerjaan pada sektor-sektor ekonomi tertentu
yang dianggap lebih produktif dan menjanjikan ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraannya. Memang harus diakui, pergeseran pilihan pekerjaan juga
telah berdampak pada pada pergeseran nilai-nilai budaya dan pranata sosial
dan ekonomi itu sendiri. Masyarakat telah menjadi sosok yang lebih
individualis dalam tutur dan tingkah lakunya.
Referensi
Bank Indonesia, 2009. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Dumairy, 1996. Perekonomian Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Koentjaraningrat, 1964. Pengantar Antropologi,
Universitas Indonesia, Jakarta.

Cetakan

Kedua,

Deliarnov, 1995. Pengantar Ekonomi Makro, …………
Mahmud, Syamsuddin, 1985. Ekonomi Moneter Indonesia, Yayasan
Kesejahteraan Ummat, Jakarta.
Marzali, A, 2007. Antropologi dan Pembangunan Indonesia, Cetakan
Kedua Kencana, Jakarta.
Ranjabar, J, 2008. Perubahan Sosial dalam Teori Makro : Pendekatan
Realitas Sosial, Alfabeta, Bandung.
Rosyada, Dede, 1999. Hukum Islam Dan Pranata Sosial, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Todaro, MP dan Stephen C. Smith, 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia
Ketiga, Jilid I, Edisi Kedelapan, terjemahan, Penerbit Erlangga,
Jakarta.

16