PERBEDAAN ANTARA AJARAN GEREJA KATOLIK

PERBEDAAN ANTARA AJARAN GEREJA KATOLIK
ROMA DAN REFORMATOR (ISTIMEWA LUTHER)
TENTANG SAKRAMEN

PENDAHULUAN
Jika kita berbicara tentang perbedaan, maka yang pasti kita akan melihat
perbedaan itu dari berbagai sisi dan aspek. Apakah perbedaan itu secara fisik,
ajaran, liturgi, sikap, prinsip dan lain sebagainya. Gereja Protestan memang harus
diakui berasal dan Gereja Katolik. Namun dalam sejarah Gereja, Gereja Katolik
Roma (GKR) ini semakin berbeda pengajarannya dengan para Reformator sejak
bergejolaknya masa reformasi. Para reformator ini kadang disebut dengan
“Protestan”. Protestan adalah sebuah mazhab dalam agama Kristen. Mazhab ini
muncul setelah protes Martin Luther pada 31 Oktober 1517 dengan 95 Dalilnya.
Kata Protestan sendiri diaplikasikan kepada umat Kristen yang menolak ajaran
maupun otoritas Gereja Katolik.1
Pada kenyataannya, gerakan Reformasi (Pembaruan) yang dilakukan Martin
Luther bukanlah yang pertama kali terjadi di kalangan Gereja Katolik, sebab
1

Istilah “Protestan” berasal dari hasil Persidangan Umum Kedua di Speyer (Februari 1529) yang
memutuskan untuk mengakhiri toleransi terhadap Lutheranisme di Jerman. Lih. Alister E.McGrath,

Sejarah Pemikiran Reformasi, (terj.Liem Sien Kie) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm.7.

0

sebelumnya sudah ada gerakan-gerakan serupa seperti yang terjadi di Prancis yang
dipimpin oleh Peter Waldo (dan kini para pengikutnya tergabung dalam Gereja
Waldensis) pada pertengahan abad ke dua belas, dan di Bohemia (kini termasuk
Ceko) di bawah pimpinan Yohanes Hus (1369-1415). Gereja Waldensis banyak
terdapat di Italia dan negara-negara yang mempunyai banyak imigran dari Italia,
seperti Uruguay. Sementara para pengikut Yohanes Hus di Bohemia kemudian
bergabung dengan Gereja Calvinis.
Apa yang membedakan Gereja Katolik dan Reformasi (Protestan) ini dikemudian
hari? Banyak hal yang menjadikan Katolik dan Reformasi menjadi berbeda.
Beberapa di antara perbedaan itu antara lain:
1. Dalam hubungannya dengan penafsiran Kitab Suci. Dalam Protestan setiap
orang berhak menafsirkan Kitab Suci sesuai dengan pemahamannya sendiri,
sedangkan dalam Gereja Katolik Kitab Suci hanya dapat ditafsirkan secara
resmi oleh orang-orang yang mendapat 'rahmat' untuk itu (pertama dari Paus,
diturunkan pada Kardinal, Uskup, Pastur, dst).
2. Gereja Katolik didirikan di atas dasar 'PETRUS', batu karang yang teguh,

sebagaimana tertulis dalam kitab Matius 16:18: “Dan Akupun berkata
kepadamu: "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan
mendirikan

jemaat-Ku

dan

alam

maut

tidak

akan

menguasainya."

Maka dari itu dalam Gereja Katolik ada Paus, sebagai penerus dari St. Petrus.
Sedangkan Gereja Protestan menyatakan bahwa gereja didirikan di atas dasar

Kristus sendiri.
3. Dalam Gereja Protestan hanya ada dua sakramen, sakramen Baptisan dan
sakramen Perjamuan Kudus. Sedangkan dalam Gereja Katolik ada tujuh
sakramen, yaitu sakramen Baptis, Krisma, Tobat (rekonsiliasi), Ekaristi,
Imamat, Pernikahan, dan sakramen Pengurapan Orang Sakit.
4. Gereja Katolik merupakan persekutuan para kudus, sehingga umat dapat
berdevosi kepada para santa/santo, asalkan devosi itu pada akhirnya tetap
mengantarkan umat kepada Allah Tritunggal sendiri. Gereja Protestan menolak
ajaran ini.
5. Dalam Gereja Protestan, satu-satunya sumber kebenaran adalah Kitab Suci,
sedangkan Gereja Katolik juga mengakui Tradisi Suci sebagai sumber
kebenaran di samping Kitab Suci sendiri.
1

6. Salib pada Gereja Protestan tidak ada Corpus Christi/Tubuh Kristus.
Makalah ini akan memfokuskan perhatian pada perbedaan kedua gereja ini pada
pemahamannya tentang sakramen. Perbedaan pemahaman ini diakibatkan
perkembangan mengenai isi dari sakramen-sakramen itu sendiri. Secara singkat
dapat dikatakan, bahwa segera sesudah periode Perjanjian Baru (PB), Perjamuan
Kudus itu dipandang sebagai suatu “kurban” dan bahwa pengungkapan ini, yang

pada mulanya berarti kiasan, berangsur-angsur dipahami secara harfiah. Menurut
Irenaeus (abad kedua), orang Kristen membawa persembahan roti dan air anggur.
Tetapi Irenaeus tidak berpikir bahwa Kristus sendiri dikorbankan sebagai kurban.
Cyprianus, Uskup Kartago, mengembangkan pemahaman ini dengan mengatakan
bahwa tubuh dan darah Kristus adalah pemberian-pemberian persembahan yang
dipersembahkan oleh para imam. Dalam ekaristi, ia katakan, kurban di atas kayu
salib itu diulangi. Pemikiran gereja mula-mula mengenai sakramen altar atau
mezbah mencapai suatu tahap tertentu dalam Ambrosius. Tulisan-tulisannya
berisikan

pernyataan-pernyataan

mengenai

trans-mutasi

(perubahan)

dari


“elemen-elemen” roti dan air anggur yang mengikuti upacara-upacara tertentu dari
teologi Yunani. Ajaran tentang sakramen yang berasal dari Abad-abad Pertengahan
dipengaruhi oleh realisme Ambrosius. Tetapi Augustinus juga mempunyai
pengaruh besar atas sakramen-sakramen, hingga Abad-abad Pertengahan, yaitu
menyangkut ajaran Reformasi mengenai sakramen.2

1. PENGERTIAN SAKRAMEN
Kata “Sakramen” aslinya berasal dari kata Latin, sacramentum, yang akar katanya
sacr, sacer, sacrare.3 Kata sacrare berarti menyucikan, menguduskan, atau
mengkhususkan sesuatu atau seseorang bagi bidang yang suci atau kudus. Kata
sacramentum menunjuk tindakan penyucian itu ataupun hal yang menguduskan.
Pengertian kata sacramentum ini berkembang secara bertahap. Dalam masyarakat
2

Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, (terj.A.A.Yewangoe) (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1994), hlm. 170-173.
3
Joseph Pohle & Arthur Preuss, The Sacraments: A Dogmatic Treatise, (St.Louis: B.Herder Book
Co,957), hlm. 5; bnd. E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan
Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 61.


2

Romawi kuno, sacramentum digunakan dalam dua pengertian yakni: untuk
menunjuk sumpah prajurit dan menunjuk pada uang jaminan atau denda. Orang
Kristen pada abad kedua, menerjemahkan kata Yunani mustήrion (musterion =
misteri) dari kata muw (muo = menutup mulut dan mata). Pengertian misteri ini
mengacu pada dua ciri pokok yakni: menunjuk pada tegangan dinamik antara
Yang Ilahi dan yang manusiawi dan menunjuk pada sejarah penyelamatan Allah
dalam diri Yesus Kristus. Pada abad kedua hingga abad keempat, pengertian
mysterion-sacramentum masih melanjutkan gagasan makna mysterion biblis yang
memuat dua ciri pokok tadi. Namun, pada abad kedua hingga abad ketiga,
penggunaan mysterion dan sacramentum masih cukup rancu dan tidak seragam.
Di satu pihak, istilah mysterion dan sacramentum sering masih digunakan secara
luas sebagaimana dimengerti dalam Kitab Suci. Di lain pihak, istilah mysterion
dan sacramentum mulai dipakai untuk pengertian sakral atau suci, yakni upacaraupacara suci.4 Pada Abad-abad Pertengahan dan zaman Reformasi hingga awal
abad keduapuluh, konsepsi sakramen mengalami penyempitan. Pada awal Abadabad Pertengahan, ajaran sakramen di Barat masih dikuasai teologi Augustinus.
Namun, sejak pertengahan abad keduabelas, karena pengaruh sistematisasi
Skolastik yang dipengaruhi filsafat Aristoteles, pengertian sakramen sudah
memfokuskan diri pada defenisi sakramen, jumlah sakramen, penetapan sakramen

oleh Yesus dan daya guna sakramen. 5 Misalnya Thomas Aquinas berpendapat
bahwa secara pokok, sakramen berarti ritus atau upacara Gereja yang ditetapkan
Yesus sendiri dan berjumlah tujuh buah dan berdaya guna secara ex opere
operato.6 Pada pertengahan abad keduabelas, sakramen merupakan tanda yang
mengerjakan apa yang ditandakan itu (sacramentum est signum quod efficit quod
significant). Mulai saat itulah istilah “sakramen” bukan lagi dipahami sebagai
dinamik misteri karya keselamatan Allah yang terwujud dalam Kristus, namun
sebagai ritus atau upacara liturgi. Sakramen merupakan tanda pertemuan antar
4

Bnd. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (terj. Liem Sien Kie) (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003), hlm. 332; E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen…, hlm. 61-64. Penggunaan kata
mysterion dan sacramentum untuk pengertian upacara suci ini dipengaruhi oleh kebudayaan kafir,
khususnya dalam agama-agama misteri.
5
E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen …, hlm. 66.
6
Ex opere operato berarti kemujaraban dari sakramen itu dipahami tidak bergantung pada kualitas
pribadi dari imam, tetapi pada kualitas yang melekat di dalam sakramen itu sendiri. Berbeda dengan ex
opere operantis (secara harfiah berarti ‘melalui karya dari orang yang bekerja). Dalam hal ini

kemujaraban sakramen itu dipahami bergantung pada moral pribadi dan kualitas rohani dari imam itu
(Lih. Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran …, hlm.215).

3

pribadi antara Allah dan manusia. Pertemuan ini dibahasakan baik lewat kata-kata,
maupun lewat bahan-bahan atau materi.7

2. PANDANGAN DAN AJARAN GEREJA KATOLIK ROMA

TENTANG

SAKRAMEN
Setiap orang yang memperhatikan keadaan GKR, akan dapat melihat betapa
pentingnya sakramen dalam pengajaran GKR. GKR sebenarnya adalah gereja
sakramentalis. Sejak dilahirkan sampai dikuburkan, penganut GKR selalu diikuti
oleh ketujuh sakramen dalam gereja itu. Bukan pemberitaan firman Tuhan
melainkan sakramenlah8 yang menjadi pusat liturgi. Bagaimanakah pemahaman
GKR terhadap sakramen?
Dalam Konsili Trente, tersusunlah suatu ajaran tentang sakramen. Sakramen

adalah alat-alat anugerah yang bukan saja menandakan dan memeteraikan
anugerah, tetapi mengandung anugerah pula dan imam membagikannya kepada
orang karena imam itu melakukan ibadat sakramen itu (ex opere operato). Firman
Allah hanyalah mengabarkan adanya anugerah, tetapi yang dapat memberikan
anugerah itu hanyalah sakramen.9 Sakramen itu perlu untuk beroleh keselamatan.
Supaya seorang manusia dapat dikaruniai anugerah pembenaran, sakramen itu
harus ada, atau sekurang-kurangnya orang itu harus mempunyai keinginan akan
menerimanya; iman saja tidak cukup. Agar sakramen itu benar adanya maka pihak
yang melayankan itu sekurang-kurangnya harus bersedia mengerjakan apa yang
dikerjakan gereja, tetapi selanjutnya apakah orang yang melayankan sakramen tu
sangat banyak atau sangat besar dosanya, itu tidaklah menjadi soal. Pada pihak
yang menerima sakramen itu yang perlu hanyalah, ia harus bersedia menerima apa
yang diberikan gereja dan tidak boleh menghalang-halangi pekerjaan anugerah
itu.10

7

Niko Hayon, Ekaristi Perayaan Keselamatan Dalam Bentuk Tanda, (Flores: Nusa Indah, 1986), hlm.
59.
8

Bagi GKR (dan juga Protestan), sakramen (istemewa Baptisan dan Perjamuan Kudus) adalah Firman
Tuhan dalam bentuk tanda (bukan kata-kata).
9
J.Verkuyl, Apakah beda Geredja Rum Katolik dan Reformasi?, (Jakarta: BPK, 1960), hlm. 64.
10
Ibid., hlm. 64-65.

4

Meskipun tidak semua pribadi menerima semua sakramen, sakramen-sakramen
secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting bagi keselamatan umat
beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap sakramen tersebut,
misalnya dipersatukan dengan Kristus dan Gereja, pengampunan dosa-dosa, ataupun pengkhususan (konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu. Gereja Katolik
mengajarkan bahwa efek dari suatu sakramen itu ada ex opere operato (oleh
kenyataan bahwa sakramen itu dilayankan), tanpa memperhitungkan kekudusan
pribadi pelayan yang melayankannya; tetapi di sini lain kurang layaknya kondisi
penerima untuk menerima rahmat yang dianugerahkan tersebut dapat menghalangi
efektivitas sakramen itu bagi yang bersangkutan.
Gereja Katolik mengajarkan adanya tujuh sakramen, dan diurutkan dalam
Katekismus Gereja Katolik (KGK)11 sebagai berikut:

Pembaptisan: KGK 1213–1284
Penguatan, juga disebut Krisma (KGK 1289): KGK 1285–1321
Ekaristi: KGK 1322–1419
Rekonsiliasi (umumnya disebut "Pengakuan Dosa"): KGK 1422–1498
Pengurapan orang sakit (Penyembuhan): KGK 1499–1532
Imamat (Tahbisan): KGK 1536–1600
Perkawinan: KGK 1601–1666
Penjelasan tiap sakramen tersebut berikut ini terutama didasarkan atas
Kompendium Katekismus Gereja Katolik.
Sakramen-sakramen Inisiasi
Pembaptisan12
Pembaptisan adalah sakramen pertama dan mendasar
dalam inisiasi Kristiani. Sakramen ini dilayankan
dengan cara menyelamkan13 si penerima ke dalam air
11

Lih. Katekismus Gereja Katolik, (Ende: Percetakan Arnoldus Ende, 1998), hlm.312-424.
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, (Jakarta: Penerbit Obor, 2007), hlm. 420-426;
E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen …, hlm. 216-244; KGK, hlm.312-326.
13
Dalam KGK, 1239 ditegaskan bahwa atas cara yang paling nyata pembatisan dilaksanakan melalui
pencelupan ke dalam air pembaptisan sebanyak tiga kali. Tetapi sejak zaman Kristen purba ia
(baptisan) juga dapat diterimakan, dengan menuangkan air sebanyak tiga kali di atas kepala orang yang
12

5

atau dengan mencurahkan (tidak sekedar memercikkan) air ke atas kepala si
penerima "dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus" (Matius 28:19). Pelayan
sakramen ini biasanya seorang uskup atau imam, atau (dalam Gereja Latin, namun
tidak demikian halnya dalam Gereja Timur) seorang diakon. Dalam keadaan
darurat, siapapun yang berniat untuk melakukan apa yang dilakukan Gereja,
bahkan jika orang itu bukanlah seorang Kristiani, dapat membaptis.
Pembaptisan membebaskan penerimanya dari dosa asal serta semua dosa pribadi
dan dari hukuman akibat dosa-dosa tersebut, dan membuat orang yang dibaptis itu
mengambil bagian dalam kehidupan Tritunggal Allah melalui "rahmat yang
menguduskan"

(rahmat

pembenaran

yang

mempersatukan

pribadi

yang

bersangkutan dengan Kristus dan Gereja-Nya). Pembaptisan juga membuat
penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan merupakan landasan
komuni (persekutuan) antar semua orang Kristen. Pembaptisan menganugerahkan
kebajikan-kebajikan "teologis" (iman, harapan dan kasih) dan karunia-karunia
Roh Kudus. Sakramen ini menandai penerimanya dengan suatu meterai rohani
yang berarti orang tersebut secara permanen telah menjadi milik Kristus.
Penguatan (Krisma)14
Penguatan atau Krisma adalah sakramen kedua dalam
inisiasi Kristiani. Sakramen ini diberikan dengan cara
mengurapi penerimanya dengan Krisma, minyak yang
telah dicampur sejenis balsam, yang memberinya
aroma khas, disertai doa khusus yang menunjukkan
bahwa, baik dalam variasi Barat maupun Timurnya,
karunia Roh Kudus menandai si penerima seperti sebuah meterai. Melalui
sakramen ini, rahmat yang diberikan dalam pembaptisan "diperkuat dan
diperdalam" (KGK 1303). Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu
kali, dan si penerima harus dalam keadaan layak (artinya bebas dari dosa-maut
apapun yang diketahui dan yang belum diakui) agar dapat menerima efek
sakramen tersebut. Pelayan sakramen ini adalah seorang uskup yang ditahbiskan
dibaptis (KGK, hlm.318).
14
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, hlm. 426-429; E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen
…, hlm. 245-254; KGK, hlm.327-334.

6

secara sah; jika seorang imam (presbiter) melayankan sakramen ini —
sebagaimana yang biasa dilakukan dalam Gereja-Gereja Timur dan dalam
keadaan-keadaan istimewa (seperti pembaptisan orang dewasa atau seorang anak
kecil yang sekarat) dalam Gereja Ritus-Latin (KGK 1312–1313) — hubungan
dengan jenjang imamat di atasnya ditunjukkan oleh minyak (dikenal dengan nama
krisma atau myron) yang telah diberkati oleh uskup dalam perayaan Kamis Putih
atau pada hari yang dekat dengan hari itu. Di Timur sakramen ini dilayankan
segera sesudah pembaptisan. Di Barat, di mana pelayanan (administrasi) biasanya
dikhususkan bagi orang-orang yang sudah dapat memahami arti pentingnya,
sakramen ini ditunda sampai si penerima mencapai usia awal kedewasaan;
biasanya setelah yang bersangkutan diperbolehkan menerima sakramen Ekaristi,
sakramen ketiga dari inisiasi Kristiani. Kian lama kian dipulihkan urut-urutan
tradisional sakramen-sakramen inisiasi ini, yakni diawali dengan pembaptisan,
kemudian penguatan, barulah Ekaristi.
Ekaristi15
Ekaristi adalah sakramen (yang ketiga dalam inisiasi Kristiani) yang dengannya
umat Katolik mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus serta turut
serta dalam pengorbanan diri-Nya. Aspek pertama dari sakramen ini (yakni
mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus) disebut pula Komuni
Suci. Roti (yang harus terbuat dari gandum, dan yang tidak diberi ragi dalam ritus
Latin, Armenia dan Ethiopia, namun diberi ragi dalam kebanyakan Ritus Timur)
dan anggur (yang harus terbuat dari buah anggur) yang digunakan dalam ritus
Ekaristi, dalam iman Katolik, ditransformasi dalam segala hal kecuali wujudnya
yang kelihatan menjadi Tubuh dan Darah Kristus, perubahan ini disebut
transubstansiasi. Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen
Ekaristi, dengan bertindak selaku pribadi Kristus sendiri. Diakon serta imam
biasanya adalah pelayan Komuni Suci, umat awam dapat diberi wewenang dalam
lingkup terbatas sebagai pelayan luar biasa Komuni Suci. Ekaristi dipandang
sebagai "sumber dan puncak" kehidupan Kristiani, tindakan pengudusan yang
paling istimewa oleh Allah terhadap umat beriman dan tindakan penyembahan
yang paling istimewa oleh umat beriman terhadap Allah, serta sebagai suatu titik
15

Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, hlm. 410-412; E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen
…, hlm. 263-295; KGK, hlm. 336-358.

7

di mana umat beriman terhubung dengan liturgi di surga. Betapa pentingnya
sakramen ini sehingga partisipasi dalam perayaan Ekaristi (Misa) dipandang
sebagai kewajiban pada setiap hari Minggu dan hari raya khusus, serta dianjurkan
untuk hari-hari lainnya. Dianjurkan pula bagi umat yang berpartisipasi dalam Misa
untuk, dalam kondisi rohani yang layak, menerima Komuni Suci. Menerima
Komuni Suci dipandang sebagai kewajiban sekurang-kurangnya setahun sekali
selama masa Paskah.
Sakramen-sakramen Penyembuhan
Rekonsiliasi16
Sakramen rekonsiliasi adalah yang pertama dari kedua sakramen penyembuhan,
dan juga disebut Sakramen Pengakuan Dosa, Sakramen Tobat, dan Sakramen
Pengampunan (KGK 1423–1424). Sakramen ini adalah sakramen penyembuhan
rohani dari seseorang yang telah dibaptis yang terjauhkan dari Allah karena telah
berbuat dosa. Sakramen ini memiliki empat unsur: penyesalan si peniten (si
pengaku dosa) atas dosanya (tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia),
pengakuan kepada seorang imam (boleh saja secara spirutual akan bermanfaat
bagi seseorang untuk mengaku dosa kepada yang lain, akan tetapi hanya imam
yang memiliki kuasa untuk melayankan sakramen ini), absolusi (pengampunan)
oleh imam, dan penyilihan.
"Banyak dosa yang merugikan sesama. Seseorang harus melakukan melakukan
apa yang mungkin dilakukannya guna memperbaiki kerusakan yang telah terjadi
(misalnya, mengembalikan barang yang telah dicuri, memulihkan nama baik
seseorang yang telah difitnah, memberi ganti rugi kepada pihak yang telah
dirugikan). Keadilan yang sederhana pun menuntut yang sama. Akan tetapi dosa
juga merusak dan melemahkan si pendosa sendiri, serta hubungannya dengan
Allah dan sesama. Si pendosa yang bangkit dari dosa tetap harus memulihkan
sepenuhnya kesehatan rohaninya dengan melakukan lagi sesuatu untuk
memperbaiki kesalahannya: dia harus 'melakukan silih bagi' atau 'memperbaiki
16

Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, hlm. 430-435; E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen
…, hlm. 312-323; KGK, hlm. 360-376.

8

kerusakan akibat' dosa-dosanya. Penyilihan ini juga disebut 'penitensi'" (KGK
1459). Pada awal abad-abad Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat berat dan
umumnya mendahului absolusi, namun sekarang ini biasanya melibatkan suatu
tugas sederhana yang harus dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan
beberapa perbaikan dan sebagai suatu sarana pengobatan untuk menghadapi
pencobaan selanjutnya.
Imam yang bersangkutan terikat oleh "meterai pengakuan dosa", yang tak boleh
dirusak. "Oleh karena itu, benar-benar salah bila seorang konfesor (pendengar
pengakuan) dengan cara apapun mengkhianati peniten, untuk alasan apapun, baik
dengan perkataan maupun dengan jalan lain" (kanon 983 dalam Hukum Kanonik).
Seorang konfesor yang secara langsung merusak meterai sakramental tersebut
otomatis dikenai ekskomunikasi (hukuman pengucilan) yang hanya dapat dicabut
oleh Tahta Suci (kanon 1388).
Pengurapan Orang Sakit17
Pengurapan

Orang

Sakit

adalah

sakramen

penyembuhan yang kedua. Dalam sakramen ini
seorang imam mengurapi si sakit dengan minyak yang
khusus diberkati untuk upacara ini. "Pengurapan orang
sakit dapat dilayankan bagi setiap umat beriman yang,
karena telah mencapai penggunaan akal budi, mulai
berada dalam bahaya yang disebabkan sakit atau usia lanjut" (kanon 1004; KGK
1514). Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi kesehatan
membuat sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh seseorang.
Dalam tradisi Gereja Barat, sakramen ini diberikan hanya bagi orang-orang yang
berada dalam sakratul maut, sehingga dikenal pula sebagai "Pengurapan Terakhir",
yang dilayankan sebagai salah satu dari "Ritus-ritus Terakhir". "Ritus-ritus
Terakhir" yang lain adalah pengakuan dosa (jika orang yang sekarat tersebut
secara fisik tidak memungkinkan untuk mengakui dosanya, maka minimal
diberikan absolusi, yang tergantung pada ada atau tidaknya penyesalan si sakit
17

Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, hlm. 413-417; E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen
…, hlm. 333-342; KGK, hlm. 378-385.

9

atas dosa-dosanya), dan Ekaristi, yang bilamana dilayankan kepada orang yang
sekarat dikenal dengan sebutan "Viaticum", sebuah kata yang arti aslinya dalam
bahasa Latin adalah "bekal perjalanan".
Sakramen-sakramen Panggilan
Imamat18
Imamat atau Penahbisan adalah sakramen yang dengannya seseorang dijadikan
uskup, imam, atau diakon, sehingga penerima sakramen ini dibaktikan sebagai
citra Kristus. Hanya uskup yang boleh melayankan sakramen ini. Penahbisan
seseorang menjadi uskup menganugerahkan kegenapan sakramen Imamat
baginya, menjadikannya anggota badan penerus (pengganti) para rasul, dan
memberi dia misi untuk mengajar, menguduskan, dan menuntun, disertai
kepedulian

dari

semua

Gereja.

Penahbisan

seseorang

menjadi

imam

mengkonfigurasikan Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam Agung, serta
menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk
merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa
Ekaristi.

Penahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasikan Kristus

selaku Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang
bersangkutan, khususnya pada Kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta-kasih
Kristiani terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman Allah.
Orang-orang yang berkeinginan menjadi imam dituntut oleh Hukum Kanonik
(Kanon 1032 dalam Kitab Hukum Kanonik) untuk menjalani suatu program
seminari yang selain berisi studi filsafat dan teologi sampai lulus, juga mencakup
suatu program formasi yang meliputi pengarahan rohani, berbagai retreat,
pengalaman apostolat (semacam Kuliah Kerja Nyata), dst. Proses pendidikan
sebagai persiapan untuk penahbisan sebagai diakon permanen diatur oleh
Konferensi Wali Gereja terkait.
Pernikahan19
18

Ibid., hlm. 440-460; E.Martasudjita, Ibid., hlm. 370-385; KGK, hlm. 387-401.
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, hlm. 435-439; E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen
…, hlm. 349-362; KGK, hlm. 403-417.
19

10

Pernikahan atau Perkawinan, seperti Imamat, adalah
suatu sakramen yang mengkonsekrasi penerimanya
guna suatu misi khusus dalam pembangunan Gereja,
serta menganugerahkan rahmat demi perampungan
misi tersebut. Sakramen ini, yang dipandang sebagai
suatu tanda cinta-kasih yang menyatukan Kristus
dengan Gereja, menetapkan di antara kedua pasangan suatu ikatan yang bersifat
permanen dan eksklusif, yang dimeteraikan oleh Allah. Dengan demikian, suatu
pernikahan antara seorang pria yang sudah dibaptis dan seorang wanita yang
sudah dibaptis, yang dimasuki secara sah dan telah disempurnakan dengan
persetubuhan, tidak dapat diceraikan.
Sakramen ini menganugerahkan kepada pasangan yang bersangkutan rahmat yang
mereka perlukan untuk mencapai kekudusan dalam kehidupan perkawinan mereka
serta untuk menghasilkan dan mengasuh anak-anak mereka dengan penuh
tanggung jawab. Sakramen ini dirayakan secara terbuka di hadapan imam (atau
saksi lain yang ditunjuk oleh Gereja) serta saksi-saksi lainnya, meskipun dalam
tradisi teologis Gereja Latin yang menerima pelayanan sakramen ini adalah kedua
pasangan yang bersangkutan.
Demi kesahan suatu pernikahan, seorang pria dan seorang wanita harus
mengutarakan niat dan persetujuan-bebas (persetujuan tanpa paksaan) masingmasing untuk saling memberi diri seutuhnya, tanpa memperkecualikan apapun
dari hak-milik esensial dan maksud-maksud perkawinan. Jika salah satu dari
keduanya adalah seorang Kristen non-Katolik, maka pernikahan mereka hanya
dinyatakan sah jika telah memperoleh izin dari pihak berwenang terkait dalam
Gereja Katolik. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang non-Kristen (dalam
arti belum dibaptis), maka diperlukan izin dari pihak berwenang terkait demi
sahnya pernikahan.

11

3. PANDANGAN DAN AJARAN REFORMATOR (ISTIMEWA MARTIN
LUTHER) TENTANG SAKRAMEN
Para Reformator tidak sepenuhnya menerima ketujuh sakramen yang dipahami
dan diimani oleh Katolik.20 Menurut para Reformator, sakramen hanya ada dua
sakramen yang ditetapkan Allah dalam Alkitab yakni : Sakramen Baptisan dan
Sakramen Perjamuan Kudus.21 Sakramen adalah tanda dan materi yang kudus
serta kasatmata, yang telah ditetapkan oleh Allah. Melalui penerimaan sakramen,
diterangkan-Nya dan dimeteraikan-Nya kepada kita secara lebih jelas lagi janji
Injil, yaitu bahwa Dia menganugerahkan kepada kita pengampunan semua dosa
dan hidup yang kekal, hanya berdasarkan rahmat, karena kurban Kristus yang
satu-satunya, yang telah terjadi di kayu salib (Roma 4:11). 22 Yang paling utama,
sakramen adalah suatu perbuatan atau pekerjaan Allah. Tuhanlah yang melakukan
sakramen, bukan manusia. Tuhan menghampiri manusia, bukan sebaliknya.
Dahlenburg mengatakan, “Kita harus membedakan antara sakramen (sacrament)
dan kurban (sacrifice). Sakramen adalah dari Tuhan kepada manusia sedangkan
kurban adalah dari manusia kepada Allah”.23
Baptisan
Dasar baptisan menurut Luther, tertulis dalam Injil Matius 28:19, “Pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan
Anak dan Roh Kudus” dan Injil Markus 16:16, “Siapa yang percaya dan dibaptis
akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum”. Baptisan
20

Misalnya, Luther semula mengakui tiga dari ketujuh sakramen itu yakni: Baptisan, Perjamuan Kudus
dan Tobat, namun di kemudian hari, Luther hanya mengakui dua saja yakni: Baptisan dan Perjamuan
Kudus.
21
Bnd. Dale Appleby, Memperkenalkan Gereja Anglikan, (Jakarta: All Saints Anglican Church, 2005),
hlm. 51. Gereja Anglikan juga mengakui hanya ada dua sakramen, yaitu: Pembaptisan dan Perjamuan
Tuhan. Sakramen yang diangkat Kristus bukan saja merupakan lencana atau tanda yang menyatakan
bahwa seseorang beragama Kristen. Sakramen ini juga merupakan saksi yang dapat dipercaya akan
kehendak baik Allah kepada kita, dan tanda yang membawa kasih karunia-Nya kepada kita. Allah
bekerja secara tidak kelihatan dalam kita melalui sakramen, tidak saja untuk menghidupkan iman kita,
tetapi juga memperkuat iman kita kepada-Nya.
22
Zakharias Ursinus & Caspar Olevianus, Katekismus Heidelberg: Pengajaran Agama Kristen,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet.ke-27, 2005), hlm. 37.
23
G.D.Dahlenburg, Pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1997), hlm. 19. Pendapat ini tentunya belum tentu menjadi pendapat langsung dari Luther karena
pemahaman para Reformator, Tubuh dan Darah Kristus dalam Perjamuan Kudus adalah kurban
penghapusan dosa-dosa manusia yang berasal dari Allah. Artinya, kurban tidak selamanya dari manusia
kepada Allah, tetapi bisa juga kurban dari Allah kepada manusia itu sendiri.

12

berasal dari Allah, bukan hasil pikiran dan khayalan manusia. Baptisan bukan
kata-kata manusia belaka, melainkan telah ditetapkan oleh Allah sendiri. Menurut
Luther, baptisan bukanlah air biasa saja, melainkan air yang di dalamnya
terkandung Firman dan perintah Allah serta dikuduskan oleh-Nya. Dengan
demikian, baptisan tidak lain daripada air Allah sendiri – bukan karena air itu
sendiri lebih istimewa daripada segala jenis air yang lain, tetapi karena firman dan
perintah Allah menyertainya. Baptisan berbeda sekali dengan segala jenis air yang
lain, bukan karena apa adanya, melainkan karena sesuatu yang lebih mulia
menyertainya. Allah sendiri menaruh kemuliaan-Nya atasnya dan mengalirkan
kuasa dan kekuatan ke dalamnya. Itulah sebabnya baptisan bukanlah air yang
biasa saja, tetapi air yang bersifat surgawi, kudus, dan diberkati. Baptisan adalah
suatu firman surgawi dan kudus. Baptisan menjadi baptisan dan disebut sakramen
oleh karena firman Allah, seperti diajarkan Augustinus: “Accedat verbum ad
elementum et fit sacramentum”, artinya: “Apabila firman itu bersatu dengan
unsurnya (atau zat alami), ia menjadi sakramen”, yakni satu benda dan tanda yang
kudus dan ilahi.24 Baptisan tidak lain daripada firman Allah yang menyertai air,
yang disuruh dan ditetapkan oleh Kristus; atau bagaimana Paulus berkata,
“Memandikannya dengan air dan Firman” (Ef.5:26), begitu pula Augustinus
mengatakan, “Firman itu dicampur kepada zat air itu dan itulah sakramen”. 25
Katekismus Lutheran mengajarkan bahwa pembaptisan adalah karya Allah,
berlandaskan perkataan dan janji Kristus; sehingga dilayankan baik bagi bayi
maupun orang dewasa.26 Sama seperti kita, anak-anak memerlukan anugerah
Tuhan dan pengampunan dosa, karena mereka telah mewarisi tabiat yang bersifat
dosa dari orang tuanya. Baptisan merupakan satu cara yang dengannya Allah
mengampuni dosa kita dan ke dalam lingkungan keluargan-Nya. Begitu juga
anak-anak kecil menerima kasih karunia Allah dan menjadi anak Allah.27

24

Martin Luther, Katekismus Besar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 186-187; bnd. Martin
Luther, Katekismus Kecil, (Pematangsiantar: LKS, ttp), hlm. 19;
25
Buku Konkordia, (Pematangsiantar: Lutheran Literatur Team, 1986), hlm. 56.
26
Martin Luther, Katekismus Besar, hlm. 195-198; bnd. The Augsburg Confession, (Adelaide: Lutheran
Publishing House, 1980), hlm.13. Bagi Calvin, baptisan adalah tanda bahwa kita diterima masuk ke
dalam persekutuan Gereja, supaya kita ditanamkan di dalam Kristus, kita terhisab anak-anak Allah.
Baptisan itu diberikan Allah kepada kita dengan tujuan untuk membantu iman kita dalam hubungan
dengan Dia, selanjutnya untuk membantu pengakuan iman itu dalam hubungan dengan manusia
(Yohanes Calvin, Intitutio, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 281.
27
G.D.Dahlenburg, Pemberitaan Firman ..., hlm. 28.

13

Menurut Luther, arti baptisan itu adalah untuk mematikan Adam yang lama dan
membangkitkan manusia baru. Dengan demikian, kehidupan orang Kristen tidak
lain daripada baptisan setiap hari. Sekali baptisan itu dimulai, maka kita terusmenerus berada di dalamnya. Sebab, kita tidak pernah berhenti membersihkan apa
yang berasal dari Adam lama; dan apa saja yang termasuk manusia baru harus
terus-menerus muncul.28 Jelaslah bagi kita sekarang, alangkah mulia dan agung
Baptisan itu. Baptisan itu merampas kita dari cengkeraman Iblis, membuat kita
menjadi milik Allah dan melumpuhkan serta mengenyahkan dosa. Lalu baptisan
meneguhkan manusia baru itu setiap hari, terus-menerus demikian, sampai kita
meninggalkan penderitaan ini dan masuk ke dalam kemuliaan kekal. Karena itu,
setiap orang mesti memandang baptisan sebagai pakaian sehari-hari, yang harus
dikenakan senantiasa. Ia terus-menerus memelihara iman dan buah-buahnya untuk
melumpuhkan manusia lama dan bertumbuh dalam manusia baru.29
Perjamuan Kudus
Menurut Luther, Perjamuan Kudus adalah saat makan daging yang sebenarnya
dan minum darah yang sebenarnya dari Tuhan kita Yesus Kristus melalui roti dan
anggur bagi kita orang Kristen, sesuai dengan pesan Yesus Kristus sendiri. 30
Perjamuan Kudus adalah Tubuh dan Darah Kristus yang sejati, di dalam dan
dengan roti dan anggur melalui sabda Kristus; seperti yang diperintahkan, kita
orang Kristen harus memakan dan meminumnya. Sama seperti baptisan bukan
hanya air biasa, demikian pula kita katakan di sini, sakramen ini adalah roti dan
anggur, namun bukan roti dan anggur biasa yang dihidangkan di meja. Sakramen
ini adalah roti dan anggur yang di dalamnya terkandung firman Allah dan terikat
padanya. Luther menegaskan bahwa firman itulah yang membuat sakramen ini
menjadi sakramen, sehingga roti dan anggur bukanlah roti dan anggur biasa,
melainkan tubuh dan darah Kristus dalam kenyataan maupun sebutan. Seperti
yang dikatakan, “Accedat verbum ad elementum et fit sacramentum”, (apabila
firman itu menyatu dengan unsur lahiriah, maka unsur itu menjadi menjadi
sakramen).31
28

Martin Luther, Katekismus Besar, hlm. 200-201.
Martin Luther, Katekismus Besar, hlm. 204.
30
Martin Luther, Katekismus Kecil, hlm. 22.
31
Martin Luther, Katekismus Besar, hlm. 209.
29

14

Bagi Luther, tujuan sakramen Perjamuan kudus ini adalah untuk pengampunan
dosa dan peneguhan iman. Menurut Luther, kita tidak boleh mendesak atau
memaksa siapa pun untuk mengikuti sakramen ini, supaya kita jangan sampai
membunuh jiwa orang-orang lagi. Namun, hendaklah dicamkan bahwa mereka
yang menghindari atau menjauh dari sakramen ini sekian lama, tidak dapat
dianggap orang Kristen. Kristus tidak menetapkan sakramen ini sebagai suatu
pertunjukan, melainkan menyuruh umat-Nya orang

Kristen memakan dan

meminumnya serta mengingat Dia sambil mereka melaksanakannya. 32 Sakramen
ini adalah “makanan sorgawi” guna menguatkan iman dan menolong kita yang
sedang berjalan dalam iman menuju Bapa kita. Iman atau hidup itu sudah
diberikan kepada kita dalam baptisan dan sekarang diteguhkan lagi dalam
Perjamuan Kudus. Oleh sebab itu sakramen juga adalah peringatan yang
mengarahkan kita kembali pada penderitaan dan kematian Kristus di salib serta
mengarahkan kita menuju saat kita akan merayakan perjamuan dengan-Nya di
dalam kerajaan-Nya yang kekal.33
Menurut Luther, dalam Perjamuan Kudus tubuh Kristus hadir sebagai substansi,
tetapi bukan karena substansi dari roti dan anggur itu diubah menjadi tubuh dan
darah Kristus. Sebaliknya, menurutnya, substansi tubuh dan darah Kristus itu
hadir tanpa aksiden-aksiden apa pun (warna, bentuk, berat, dan lain-lain), dan juga
substansi roti dan anggur itu hadir bersama-sama dengan aksiden-aksidennya.
Pada suatu bagian tulisannya dalam The Babylonian Captivity of the Church,
Luther menulis:
Beberapa waktu yang lalu, ketika saya sedang mempelajari teologi skolastik, kardinal
dari Cambrai yang terpelajar itu memberi saya bahan untuk dipikirkan dalam
komentar-komentarnya atas buku keempat dari Sentences. Ia mengemukakan
pendapatnya dengan sangat tajam bahwa meyakini pendapat bahwa roti dan anggur
yang riil, dan bukan hanya aksiden-aksidennya yang hadir di atas altar, akan jauh
lebih mungkin dan menuntut lebih sedikit mujuzat yang kurang berguna – kalau saja
Gereja tidak mengeluarkan keputusan sebaliknya. 34

32

Ibid., hlm. 216.
G.D.Dahlenburg, Pemberitaan Firman ..., hlm. 37-38.
34
Luther’s Works, (Philadelphia: Muhlenberg Press), vol.36, hlm.28-29; bahasan ini lebih dalam
diuraikan oleh G.W.Bromiley, Sacramental Teaching and Practice in the Reformation Churches,
(Grand Rapids, Michigan: Wm.B.Eerdmans Publishing Co, 1957), hlm. 82-94.
33

15

Pandangan Luther adalah bahwa dalam sakramen itu roti dan anggur tetap utuh
dan lengkap, yang mempunyai substansi dan aksiden-aksiden; Kristus memilih
hadir, tetapi hanya dalam substansi dan tanpa aksiden tubuh dan darah-Nya. Bagi
Luther, kehadiran Allah itu terlihat dalam tubuh Kristus yang tidak diatur dan
diperintah oleh hukum alam.35

4. PERBEDAAN ANTARA AJARAN GEREJA KATOLIK ROMA DAN
AJARAN REFORMATOR (ISTIMEWA MARTIN LUTHER) TENTANG
SAKRAMEN
Perbedaan-perbedaan dalam pemahaman mengenai sakramen-sakramen ini sudah
dimulai sejak zaman para Bapa-bapa Gereja. Misalnya, Ambrosius dan Augustinus
berbeda pendapat dalam memahami Perjamuan Kudus khususnya dalam bidang
liturgi. Liturgi-liturgi yang lebih tua, yang berasal dari Gallia dan Spanyol
dipengaruhi oleh Ambrosius yang menekankan trans-mutasi atau perubahan dari
unsur-unsur sebagai akibat perbuatan konsekrasi yang dilakukan imam-imam.
Sementara liturgi Romawi dipengaruhi oleh Augustinus yang tampak dalam
pemakaian istilah “mengkonsekrasikan” atau mendedikasikan, atau “memberkati”
yang kelihatan lebih bersifat simbolis apabila dibandingkan dengan kata-kata
realistis dari Ambrosius.36
Dalam bagian ini akan diuraikan beberapa pokok yang menjadi perbedaan antara
GKR dan Reformator khususnya Martin Luther yakni:
1. Jumlah sakramen. Persoalan-persoalan mengenai jumlah sakramen ini,
hingga abad kedua belas masih belum terdapat kepastian. Peter Damiani (†
1072), menghitung tidak kurang dari 12 sakramen yang terdiri dari: baptisan,
konfirmasi (penguatan), pengurapan orang sakit, penahbisan uskup-uskup,
pengurapan raja-raja, penahbisan gereja, pengakuan iman, penahbisan para
kanosis, penahbisan para biarawan, para asket dan biarawati, serta pernikahan.
Penetapan jumlah sakramen menjadi tujuh, yang dipegang GKR hingga
35

Lee Palmer Wandel, The Eucharist in the Reformation, (Cambridge: Cambridge University Press,
2006), hlm.104.
36
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah ..., hlm. 180.

16

sekarang, dimulai sejak Petrus Lombardius. Bagi kalangan Katolik, pada tahun
1274 Konsili Lyon II mengajarkan secara resmi untuk pertama kalinya bahwa
sakramen Gereja berjumlah tujuh, dan penetapan ini dinyatakan kembali oleh
Konsili Florenz (1439) dan diteguhkan oleh Konsili Trente (1547).37 Para
reformator tidak setuju dan tidak mengakui jumlah tujuh sakramen itu.
Alasannya adalah bahwa menurut Injil, hanya Baptisan dan Perjamuan
Kuduslah yang ditetapkan oleh Yesus (Mat.28:16-20; 1Kor.11:23-26).
2. Ex opere operato. Istilah “ex opere operato”, atau sering disingkat opus
operatum, merupakan istilah klasik yang selalu dibicarakan dalam teologi
sakramen sejak zaman Skolastik. Secara harfiah, ex opere operato berarti
“menurut karya yang dikerjakan”. Istilah ex opere operato digunakan pertama
kalinya oleh Petrus dari Poitiers († 1205). Pada zaman Skolastik istilah ini
biasa diperlawankan dengan istilah “ex opere operantis”, atau yang sering
disingkat opus operantis. Secara harfiah, ex opere operantis berarti “menurut
karya yang mengerjakan” atau “menurut yang melaksanakan sakramen, yakni
pelayan atau penerima sakramen”. Pada prinsipnya ex opere operato
menunjuk pada daya guna sakramen yang tidak tergantung pada iman ataupun
disposisi si pelayan (dan atau penerima), melainkan melulu bergantung pada
tindakan Allah sendiri.

Istilah ex opere operato ini tidak terdapat dalam

Alkitab. Namun, gagasan dasar mengenai tindakan peyelamatan Allah yang
tidak tergantung pada sikap manusia sudah ada dalam Alkitab (Tit.3:4-6).38
Paham ex opere operato ini dikembangkan oleh kaum Skolastik dengan
mengungkapkan dasar teologis yang baik mengenai rahmat yang berasal dan
bergantung dari Allah. Akan tetapi suatu penekanan yang ekstrem pada
ketepatan upacara atau ritusnya dapat membuat suatu pandangan yang tidak
seimbang dan cenderung magis. Karena seolah-olah asal orang menepati
seluruh tata perayaan sakramen dengan baik dan tepat, maka orang dapat
memastikan bahwa ia memperoleh rahmat sakramen. Akibatnya, ada semacam
otomatisme penerimaan sakramen dan orang tidak ambil pusing lagi dengan
37

E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen …, hlm. 59; bnd. Joseph Pohle & Arthur Preuss, The
Sacraments: A Dogmatic …, hlm. 143-146; bnd. J.B.Banawiratma, Baptis Krisma Ekaristi,
(Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 59-62. Pada Konsili Lateran IV (1215), ketujuh sakramen ini sudah
ditetapkan.
38
E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen …, hlm. 188-189.

17

disposisi batin dari si pelayan dan si penerima. Pemahaman ini terjadi pada
Abad-abad Pertengahan. Gereja Reformasi mengkritik praktik magis ini,
termasuk menolak paham ex opere operato. Gereja Reformasi meletakkan
syarat pengudusan atau pembenaran hanya oleh karena iman saja. Mereka juga
memandang sakramen hanya sekedar sebagai tanda atau janji Allah saja, tetapi
tidak sebagai tanda yang memberikan rahmat pengudusan.39 Luther
menyatakan bahwa bukan sakramen, melainkan iman sakramenlah yang
membenarkan manusia berdosa. Dalam sabda sakramen diwartakanlah janji
Allah. Barangsiapa tidak menanggapi janji itu dengan iman kepercayaan yang
hidup, tidak memperoleh rahmat. Begitu juga Calvin menekankan karya Roh
Kudus yang menghadirkan Kristus yang mulia dalam tindakan sakramental
itu.40
Menghadapi paham Reformasi tersebut, Konsili Trente mengajarkan:
Barangsiapa berkata bahwa sakramen-sakramen Perjanjian Baru tidak
menyampaikan rahmat berkat ritus-ritus upacara yang dilaksanakan (ex opere
operato), melainkan untuk memperoleh rahmat itu cukup melalui iman akan janji
Allah, terkucillah dia (DS 1608/NR 513).41

Menurut Trente, istilah ex opere operato ini tidak merupakan konsepsi yang
magis, sebagaimana dituduhkan oleh kelompok reformator. Sebab, dengan
konsepsi ini, bukan pertama-tama dari ritus-upacaranya rahmat mengalir,
melainkan hanya dari Allah saja. Istilah ex opere operato jelas menunjuk pada
objektivitas daya guna sakramen yang melulu bergantung pada Allah saja.
3. Meterai atau character indelebilis. Meterai atau character indelebilis, secara
harfiah berarti: sifat atau ciri yang tak terhapuskan, merupakan status baru
sebagai hasil atau akibat penerimaan sakramen dan yang dibedakan dari isi
rahmat yang sebenarnya. Character indelebilis ini hanya terdapat dalam ketiga
sakramen: baptisan, penguatan, dan tahbisan. Dengan meterai atau character
indelebilis, mau dinyatakan bahwa sakramen-sakramen tersebut hanya
diterimakan sekali dan tidak dapat diulangi lagi.42 Lama ajaran Augustinus ini
dilupakan. Baru sesudah Paus Innocnetius III mengajarkan kembali paham
39

Ibid.. 190-191.
Nico Syukur Dister, Teologi Sitematika 2: Ekonomi Keselamatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm.
360.
41
Nico Syukur Dister, Teologi Sitematika ..., hlm. 360.
40

18

meterai atau character indelebilis ini pada tahun 1201 untuk melawan
kelompok bidaah kaum Waldensis. Pada zaman Skolastik, Thomas Aquinaslah
yang memiliki pembahasan mengenai meterai secara Kristosentris. Orangorang yang menerima meterai sakramental mengambil bagian dalam meterai
yang pada hakikatnya adalah meterai Yesus Kristus sendiri, yakni Yesus
Kristus sebagai Gambar Allah dan Imam Agung. Dengan meterai sakramental
itu, orang-orang yang menerima pembaptisan, penguatan, dan tahbisan
dijadikan serupa dengan Kristus Sang Imam Agung (bnd. Ibr.5:5-6) dan juga
dimasukkan dan dimampukan ke dalam pelayanan kultis kepada Allah di
tengah Gereja.
Gereja dengan resmi mengajarkan character indelebilis ini dalam Konsili
Florenz (1439) dan Trente (1547). Konsili Florenz menyatakan:
Di antara sakramen-sakramen ini ada tiga, yaitu baptisan, penguatan, dan
tahbisan, yang memberikan pada jiwa meterai yang merupakan tanda rohani yang
tak dapat dihapus, yang membedakannya dari sakramen-sakramen lainnya.
Keempat sakramen lainnya tidak memberikan meterai dan makanya dapat
diulangi (DS 1313/NR 504).43

Konsili Trente menyatakan:
Barangsiapa berkata bahwa melalui tiga sakramen, yaitu baptisan, penguatan dan
tahbisan, tidak diberikan pada jiwa suatu meterai, yang berarti: suatu tanda rohani
dan tak terhapuskan, sehingga karenanya sakramen-sakramen itu tidak dapat
diulangi lagi, terkucillah dia (DS 1609/NR 514).44

Konsili Trente ini menegaskan ajarannya untuk menghadapi Gereja Reformasi
yang secara eksplisit menolak ajaran character indelebilis dengan alasan
karena ajaran ini tidak biblis.
4. Baptisan. Bagi Gereja Katolik Roma, salah satu unsur yang sangat
dipentingkan dalam ritus baptisan adalah penahbisan air-baptisan: unsur ini
42

Ibid., hlm. 195; bnd. J.B.Banawiratma, Baptis Krisma ..., hlm. 62-63. Ajaran ini bermula dari ajaran
Augustinus († 430) yang membedakan antara res dan signum. Res menunjuk isi rahmat atau apa yang
dirayakan dan dianugerahkan dalam sakramen, sedangkan signum atau sacramentum menunjuk tanda
lahiriah yang kelihatan. Sejak zaman Skolastik muncullah istilah baru yakni res et sacramentum atau
res et signum. Res et sacramentum merupakan buah atau hasil sakramen yang bersifat “antara atau
tengah-tengah“. Misalnya status baru bagi ketiga sakramen: baptisan, penguatan, dan tahbisan,
mempunyai ciri khusus dan sebutan khusus, yaitu meterai (character indelebilis), yakni yang tidak
dapat hilang dan tidak dapat diulangi.
43
E.Martasudjita, Sakramen-Sakramen …, hlm. 198.
44
Ibid.

19

benar tidak diwajibkan dalam segala hal (untuk “baptisan darurat”), tetapi air
itu harus dipakai untuk pelayanan “baptisan hikmat”, yaitu pembaptisan yang
dilayani dengan semua upacara (antara lain: tanda salib, pembuangan/
penolakan setan, pemberian pakaian atau baju putih kepada calon baptisan),
baik di gereja, maupun di rumah. 45 Reformasi tidak setuju dengan ajaran GKR
ini. Pandangan yang dianut reformatoris, bahwa sakramen termasuk baptisan
merupakan tanda dan meterai dari anugerah Allah. Sakramen bukan
merupakan sarana penyaluran anugerah Allah yang ex opere operato.46 Luther,
mula-mula menekankan, bahwa untuk mendapat anugerah (oleh sakramen)
perlu ada iman. Luther katakan: baptisan sendiri tidak dapat membenarkan
manusia dan tidak ada artinya baginya, kalau ia tidak menyambut baptisan itu
(= janji-janji yang Tuhan Allah berikan di dalamnya) dengan percaya. Tetapi
kemudian – dalam polemiknya dengan ajaran bidat, dan juga dengan Zwingli
– pandangan Luther ini mendapat aksen lain. Cara pengungkapan Augustinus
– yaitu bahwa sakramen adalah bentuk yang kelihatan dari anugerah yang
tidak kelihatan – yang mula-mula diambil-alih oleh Luther, makin terdesak ke
belakang. Baginya air-baptisan bukan hanya berfungsi sebagai tanda yang
menunjuk kepada janji-janji Allah dan yang memeteraikannya, tetapi lebih
dari itu: ia juga adalah wahana dari anugerah Allah, tetapi tidak seperti yang
diajarkan oleh GKR. Sebab anugerah itu hanya diperoleh kalau orang
percaya.47 Menurut Calvin, baptisan adalah peraturan Allah. Kenyataan inilah,
menurut dia, yang memberikan nilai kepada baptisan dan yang membuatnya
menjadi wahana-anugerah dalam arti yang sebenarnya. Sebagai tanda dari
masuknya manusia dalam persekutuan Gereja, baptisan memberikan
kepadanya tiga hal. Pertama: baptisan adalah tanda dan bukti dari
pengampunan dosa oleh darah Kristus (= baik dosa-dosa yang dibuat sebelum,
maupun dosa-dosa yang dibuat sesudah pelayanan baptisan). Kedua: oleh
baptisan manusia mendapat bagian dalam kematian dan kebangkitan kembali
45

J.L.Ch.Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-Hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985),
hlm.86. Baptisan pada Abad-abad Pertengahan hanya boleh dilayankan oleh uskup dan, kalau ia tidak
ada, oleh presbyter. Diaken hanya boleh membaptis dalam hal-hal darurat dan dengan izin uskup.
46
Sakramen seperti ini misalnya tercantum dalam pengakuan Iman Belanda (Confessio Belgica)
[1561], sakramen merupakan “tanda-tanda dan meterai-meterai yang kelihatan dari sesuatu yang
bersifat batiniah dan tidak kelihatan yang melaluinya Allah bekerja di dalam diri kita dengan kuasa Roh
Kudus”. Lih. Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme?, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001), hlm.23 ;
Th.Van den End, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme).
47
J.L.Ch.Abineno, Pemberitaan Firman …, hlm.87.

20

dan pembaharuan. Ketiga: oleh baptisan manusia dipersatukan dengan Kristus
dan mendapat bagian dalam karya-penyelamatan-Nya.48
Ajaran ini kemudian disebarkan dalam Gereja-gereja Protestan oleh pengikutpengikut Luther dan Calvin, khususnya melalui rumusan-rumusan (formulirformulir) liturgis dan naskah-naskah pengakuan iman. Bukan saja di bidang
ajaran, juga di bidang pelayanan baptisan, Reformasi berbeda dengan GKR.
Perbedaan itu terdapat di berbagai-bagai bidang. Pertama: di bidang upacara
pelayanan baptisan. Gereja-gereja Lutheran umumnya tidak berkeberatan
terhadap upacara-upacara lama seperti eksorsisme, penumpangan tangan dan
lain-lain. Gereja Calvinis tidak demikian: mereka menolak segala macam
upacara lahiriah sebagai peraturan-peraturan yang tidak essensial dan dengan
tegas menuntut untuk kembali kepada kesederhanaan Kitab Suci. Kedua : di
bidang bentuk pelayanan baptisan. Memang harus diakui bahwa simbolik
baptisan lebih jelas nampak, kalau ia berlangsung dalam bentuk penyelaman.
Tetapi oleh rupa-rupa sebab – antara lain iklim, pembaptisan anak kecil,
pelayanan pembaptisan dan gedung gereja – lama-kelamaan dalam gerejagereja Protestan penyelaman diganti dengan pemercikan atau penyiraman
(=permandian). Hal ini didasarkan antara lain atas kesaksian Kitab Suci dan
atas data-data lain yang menyatakan bahwa di samping penyelaman Gereja
Purba juga mengenal pemercikan dan penyiraman, dan bahwa arti dan
kekuatan (=sahnya) baptisan tidak bergantung pada banyaknya air yang
dipakai. Sekalipun demikian dianjurkan, supaya air yang dipakai itu jangan
terlampau sedikit, agar ide pembasuhan (=penyucian) jangan hilang
seluruhnya. Ketiga: di bidang tempat baptisan. Suatu perbedaan lain ialah
kebiasaan untuk menyelenggarakan pelayanan baptisan di tengah-tengah
jemaat. Kebiasaan itu didasarkan atas anggapan, bahwa pelayanan baptisan
adalah bagian dari ibadat (=kebaktian) umum, yang erat hubungannya dengan
pelayanan pemberitaan Firman. Sesuai dengan itu wewenang untuk membaptis
hanya diberikan oleh Gereja-gereja Protestan kepada mereka, yang berhak
memberitakan Firman dalam ibadat. Keempat: di bidang penundaan baptisan.
Terhadap kecenderungan untuk menunda baptisan, karena sebab-sebab yang
tidak berarti, Gereja-gereja Protestan selalu mendesak anggota-anggotanya
48

Ibid.

21

untuk selekas mungkin membaptis anak-anak mereka. Kelima: di bidang
pelayanan baptisan Gereja-gereja lain. Gereja-gereja Protestan mengakui
baptisan Gereja-gereja lain, kalau baptisan itu dilayani: a) sesuai dengan
perintah Tuhan Yesus, yaitu dengan air dan dalam nama Allah Tritunggal, b)
dalam persekutuan Kristen (=jemaat) dan c) oleh