ISLAM DAN SEJARAHNYA DALAM SASTRA INDONE

ISLAM DAN SEJARAHNYA DALAM SASTRA INDONESIA
Zul Fitrah Ramadhan (1651141019)
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Makassar
zulfitrahramadan@gmail.com

Abstrak
Artikel ini menjelaskan tentang kaitan antara sejarah Islam dengan
kesusastraan Indonesia. Tujuan penulisan ini bertujuan untuk
mendeskripsikan periodisasi kesusastraan Islam Melayu (Nusantara) dan
perkembangannya. Metode yang digunakan adalah metode kontekstual
dengan merujuk kepada berbagai sumber dan mengumpulkan data-data dari
sumber tersebut. Hasil dari penulisan ini adalah fenomena kemunculan
kesusastraan Melayu Islam, kesusatraan dan karya sastra pada zaman
peralihan Hindu-Islam dan zaman Islam (klasik) serta kemajuan kesusastraan
Islam di Indonesia.
Kata Kunci: Kesusastraan, Masa Peralihan Hindu-Islam, Kesusastraan Klasik

A. PENDAHULUAN
Islam memiliki sejarah yang tentu saja
memiliki kaitan dengan kesusastraan

Nusantara. Munculnya hikayat-hikayat
yang bergenre Islami turut andil dalam
mengisi sejarah Islam.
Pokok permasalahan yang timbul dari
pembahasa ini adalah bagaimana proses
kemunculan kesusastraan Melayu-Islam di
Indonesia?, bagaimanakah kesusastraan
pada masa peralihan dan zaman klasik?,
serta bagaimana kemajuan sastra Islam di
Indonesia?, Bagaimana pengaruh Islam
dalam kesusastraan Indonesia.
Tujuan penelusuran ini adalah agar
dapat
mengetahui
berbagai
jenis
kesusastraan yang muncul pada zaman
Islam klasik dan peralihan Hindu-Islam.
Serta bisa mengetahui pengaruh Islam
dalam kesusastraan Indonesia.


Metode yang digunakan dalam
penulisan artikel ini yaitu
dengan
mengumpulkan data-data dari berbagai
sumber (tentunya terpercaya dan faktual)
kemudian membuat berbagai kerangka
permasalahan yang akan dijadikan sebagai
acuan penyusunan artikel ini.
B.

MUNCULNYA KESUSASTRAAN
MELAYU-ISLAM
Kelahiran kesusastraan Melayu-Islam
muncul oleh revolusi kebudayaan yang
cukup panjang. Pada abad ke-7, Kerajaan
Sriwijaya menjadi sebuah negara terbesar
di seluruh Kepulauan Nusantara. Sriwijaya
pada saat itu menjadi pusat kebudayaan
dan

pengkajian
agama
Buddha.
Berdasarkan data-data yang didapatkan
oleh Cina dan Arab, kesusastraan Melayu
ini rata-rata berbahasa Sanskrit. Selain itu,
terdapat pula lagu-lagu (Hymne) yang
1

isinya pemujaan dewa-dewa dan sanjungan
kepada raja-raja (Braginsky, 1994: 42).
Pada tahap pertama, dasar hukum
Islam seperti Al-Quran, hadis Nabi, dan
hukum syariat lainnya masih diterima
secara dangkal. Pada masa itulah tonggak
lahirnya kesusastraan Melayu-Islam (abad
ke-14 hingga abad ke-16). Kesusastraan
Melayu-Islam berkembang di Pasai dan
Malaka. Tahap ini disebut sebagai periode
kesusastraan Islam Melayu (Nusantara)

awal.
Tahap yang kedua adalah ajaran
tasawuf
dan teologi Islam mulai
disebarkan melalui khutbah. Tahap ini
berkembang di Aceh, Johor, Sumatera
Timur, dan pusat kebudayaan budaya
Melayu. Tahap ini disebut sebagai periode
kesusastraan Islam Melayu (Nusantara)
klasik. Pada periode tersebut, segalanya
sudah dikuasai oleh agama Islam. Oleh
karena itu, kesusastraan klasik tersebut
mencampurkan setiap unsur yang ada
seperti pengaruh Melayu asli, HinduBuddha, dan Islam itu sendiri.
C. SASTRA
PADA
MASA
PERALIHAN HINDU-ISLAM
Sastra zaman peralihan adalah sastra
yang yang lahir dari pertembungan

(peleburan) sastra yang berunsur Hindu
dengan pengaruh Islam. Dengan kata lain,
sastra yang khas Hindu, seperti Hikayat
Seri Rama, walaupun mengandung unsurunsur Islam, tidak dianggap sebagai sastra
zaman peralihan. Ciri-cirinya adalah
sebagai berikut: Tuhan yang dijunjung
tinggi, awalnya adalah Dewata Mulia Raya
atau Batara Kala kemudian diganti oleh
Raja Syah Alam dan Allah Subhanahu wa
taala. Plotnya selalu menceritakan dewa
dewi atau bidadari yang turun ke dunia
untuk menjadi raja atau anak raja. Kalau
mereka lahir sebagai anak raja, kelahiran

mereka akan disertai gejala alam yang luar
biasa. Kadang-kadang mereka akan lahir
bersama dengan panah atau pedang sakti
(Hikayat . Indera Bangsawan). Sesudah
kelahiran mereka, negeri pun menjadi
makmurlah dan makanan pun terlalu

murah (banyak). Tetapi karena perbuatan
ahli nujum (Hikayat Si Miskin) atau
saudara yang curang (Hikayat Jaya
Langkara), “Wira” kita lalu dibuang dari
negeri.
Pembuangan
itu
mungkin
merupakan hal yang tidak dapat dielakkan.
“Wira” di dalam Hikayat Indera Putera
diterbangkan atau diculik oleh moyangnya
sendiri. Kadang-kadang “Wira” kita juga
membuang diri, karena hendak mencari
puteri yang dijumpai di dalam mimpi
(Hikayat Langlang Buana), butuh perindu
(Hikayat Indera bangsawan), atau ubat
untuk menyembuhkan penyakit (Hikayat
Jaya Langkara).
Dengan peredaran zaman, unsur-unsur
Islam makin lama makin tebal. Motif-motif

Hindu seperti menyelamatkan tuan puteri
dari tawanan garuda atau menyembuhkan
penyakitnya serta pemindahan nyawa ke
binatang masih dipakai, tetapi unsur-unsur
Islam sudah dimasukkan ke dalamnya.
Indera Jaya bertanya jawab mengenai
agama Islam dengan istrinya, Lukman
Hakim juga
muncul
menerangkan
perbedaan antara sembahyang dan salat
serta arti syariat, tarikat, hakikat, dan
ma’rifat. (Hikayat Syahi Mardan). Isma
Yatim juga menguraikan syarat dan raja
dan hukum Allah kepada raja (Hikayat
Isma Yatim). Cont-contoh sastra Parsi ,
pembagian bab dengan tajuk tersendiri,
juga ditiru (Hikayat Isma Yatim). Akhirnya
sastra zaman peralihan pun perlahan-lahan
bertukar corak menjadi sastra Islam.

Satu lagi karakteristik sastra zaman
peralihan adalah bahwa sastra zaman
peralihan biasanya mempunyai dua judul,

2

satu judul Hindu dan satu judul Islam.
Seringkali jdul Islam adalah judul yang
lebih dikenali daripada judul Hindunya.
Misalnya Hikayat Si Miskin adalah lebih
dikenal daripada Hikayat Marakarma,
Hikayat Syah Mardan lebih dikenal
daripada Hikayat Indera Jaya atau Hikayat
Bikrama Datya, dan Hikayat Ahmad
Muhammad
lebih dikenal daripada
Hikayat Serangga Banyu (Fang, 1991:
151-152).
1. Hikayat Puspa Wiraja
Hikayat Puspa Wiraja atau Hikayat

Bispu Raja adalah cerita yang populer
sekali. Plotnya dengan sedikit perbedaan
dapat ditemukan kembali dalam Hikayat
Bakhtiar dan Hikayat Maharaja Ali.
Tersebutlah cerita sebuah negeri yang
bernama Astana Pura Negara. Rajanya
bernama Bispu Raja, sedang permaisurinya
bernama Kemala Kisna Dewi. Adapun
baginda itu mempunyai dua orang anak
laki-laki, yang tua bernama Jaya Indera
dan yang muda bernama Jaya Cindra.
Adapun Jaya Cindra itu lagi menyusu.
Sekali peristiwa baginda mendengar
bahwa adinda yang bernama Antaraja
sedang mufakat dengan segera pegawai
dan hulubalang yang muda-muda hendak
merebut kerajaan. Maka baginda pun
sangat masyghul dengan dukacitanya. Pikir
baginda, kalai ia melawan Antaraja
berperang, niscaya banyaklah rakyat yang

mati, darah pun banyak tumpah ke bumi.
Untuk mengelakkan kejadian ini baginda
pun hendak pergi dari negeri. Permaisuri
berkata “Patik pun serta tuanku, karena
patik ini adalah umpama kaus dan jikalau
tinggal kaus itu, binasalah kaki.” Pada
malam hari, baginda dua laki istri pun
mendukung anak-anak mereka keluar dari
negeri Astana Pura Negara. Mereka masuk
keluar hutan rimba yang besar dan padang
yang luas. Beberapa lama berjalan, hari

pun sianglah dan mereka pun sampai ke
tepi sungai, dan berhenti di bawah
sebatang pohon kayu. Maka baginda pun
mendengar anak burung bayang yang di
atas pohon kayu berbunyi mencari ibunya.
Hatta anak baginda pun menangis
hendakkan anak burung bayan itu. Biarpun
tahu bahwa menjadi papa, diambil juga

anak burung bayan itu untuk anaknya,
karena kasih kepada anaknya. Beberapa
lama kemudian, anak burung itu pun
dipulangkan kepada sarangnya. Hatta ibu
burung itu pun datang. Diciumnya bau
manusia dan dipatuk anaknya.
Tersebut pula perkataan baginda
mendukung istrinya menyebrang sungai.
Tatkala ia kembali, didapatinya anakanaknya sudah tiada di tempat yang
ditaruhnya, baginda pun mencari anakanaknya di tepi pantai, tetapi tiada
bertemu. Hatta baginda pun kembali
mendapatkan istrinya, tetapi istrinya juga
sudah hilang. Maka baginda pun mencari
istrinya berkeliling segenap pohon kayu
itu, juga tidak bertemu. Akhirnya terpaksa
baginda merelakan kehilangannya dan
terus berjalan di dalam hutan rimba yang
besar. Selang beberapa lama, baginda pun
sampailah kepada sebuah negeri. karena
terlalu lelah, baginda pu tidur di sebuah
balai di luar kota. Tatkala baginda terkejut
dari tidurnya, didapati dirinya di atas
seekor
gajah.
Seorang
menteri
mengabarkan bahwa baginda telah dipilih
oleh gajah untuk menjadi raja dalam negeri
itu, karena raja negeri itu sudah mati dan
tiada anak yang menggantikannya. Maka
baginda pun menjadi rajalah di dalam
negeri itu, terlalu adil dan murahnya. Hatta
terdengarlah warta kepada semua negeri
yang takluk, maka segala raja pun datang
meghadap baginda pun menyuruh memberi
dirham dan sedekah kepada segala fakir
miskin, karena baginda hendak minta

3

dipertemukan Dewata Mulia Raya dengan
anak dan istri baginda. Maka segala fakir
dan miskin pun menjadi kayalah.
Tersebutlah pula perkataan anak
baginda yang dua orang itu. Mereka
sebenrnya tidak hilang, melainkan diambil
oleh seorang nelayan. Nelayan itu
membawa mereka pulang ke rumah dan
memelihara mereka dengan baik. Hatta
pada suatu hari, nelayan itu pun
mempersembahkan kedua orang anak yang
dipungutnya itu kepada baginda untuk
mendapat karunia baginda. Baginda sangat
tertarik kepada kedua orang anak
“nelayan” ini, karena rupa mereka yang
seperti anak-anaknya yang “hilang” itu.
Mula-mula mereka dijadikan biduanda,
kemudian dijadikan bentara. Akan nelayan
itu, dia pun dianugrahi baginda persalinan
dan harta emas yang banyak.
Pada suatu hari, datanglah seorang
nahkoda dari negeri Bijaya Nekema untuk
mengunjungi baginda dan diperjamu oleh
baginda di dalam istana. Kedua orang
bentara itu pun mengantuk lalu tidur.
Bentara tua membangunkan adiknya serta
menceritakan kepada adiknya asal mulanya
mereka menjadi bentara di istana. Adapun
cerita Jaya Indra itu semuanya didengar
oleh seorang perempuanyang sedang tidur
dalam kurung buritan. Dan perempuan itu
tidak lain daripada bunda mereka, Puteri
Kemala Kisna Dewi yang hilang dilarikan
nahkoda kapal itu. Maka Puteri Kisna
Dewi pun keluar mendapatkan anaknya,
serta memeluk dan mencium mereka.
Peristiwa itu menggemparkan segala orang
yang di dalam kapal itu. Masing-masing
mengatakan bentara yang disuruh baginda
menunggu kapal itu berbuat salah dengan
istri nahkoda. Baginda murka sekali dan
menyuruh seorang pertanda menangkap
mereka, serta membawa mereka keluar
negeri untuk dipenggal lehernya. Putri

Kemala Kisna Dewi menangis sambil
berteriak-teriak bahwa kedua bentara
adalah anaknya yang baru bertemu,
sesudah bercerai lamanya. Tetapi katakatanya tidak dihiraukan orang.
Tersebut pula perkataan pertanda
yang membawa kedua orang bentara untuk
dibunuh itu. Penunggu pintu di sebelah
matahari hidup tidak mau membuka pintu
karena ia tidak percaya kedua bentara itu
berbuat jahat. Lagi pula tiada adat daripada
zaman dahulu itu membunuh orang pada
ketika tengah malam. Lalu diceritakannya
kisah orang yang bertindak dengan tiada
usul periksanya. Demikian juga yang
dibuat oleh penunggu pintu di sebelah
selatan, utara dan di sebelah maghrib.
Maka hari pun sianglah. Keempat
orang penunggu pintu pun pergi
mendapatkan ahli nujum yang terbesar di
dalam negeri dan menceritakan hal bentara
dua orang yang hendak dibunuh baginda
itu. Ahli nujum itu lalu membawa keempat
orang penunggu pintu pergi menghadap
baginda dan memohon baginda memeriksa
perkara bentara yang dua orang itu.
Bentara dua orang itu lalu dipanggil. Dari
cerita Jawa Indra tahulah baginda bahwa
bentara dua orang itu tidak lain daripada
anak-anaknya yang sudah hilang. Baginda
lalu terjun dari atas singgahsana, memeluk
dan mencium mereka sambil menangis.
Putri Kemala Kisna Dewi juga dijemput
dari kapal nahkoda. Nahkoda kapal itu
mengatakan bahwa dia tidak pernah
menjamah tubuh tuan putri, ia pun merasa
tubuhnya menjadi panas seperti api.
Baginda pun gembira sekali mendengar
keterangan nahkoda kapal ini. Segala
bunyi-bunyian lalu dipalu, maka sesi
negeri pun ramailah bersuka-sukaan. Putri
Kemala Kisna Dewi juga dijadikan
permaisuri. Maka berapa lamanya baginda
di dalam negeri itu. Hatta berapa lamanya,

4

baginda pun hendak berbuat kebaktian dan
ibadat kepada Dewata Mulia Raya dan
merajakan anakanda Jaya Indra di dalam
negeri Semanta Pura Negara.
Tersebutlah
perkataan
Antaraja
memanda baginda yang jadi raja di negeri
Astana Pura Negara. Hatta Antaraja pun
sakit lalu hilang, dan negeri Astana Pura
Negara pun khalilah, karena tiada orang
yang patut menjadi raja di dalam negeri.
utusan lalu dikirim ke negeri Semanta Pura
Negara untuk memohon raja. Adinda
baginda Jaya Cendra lalu dihantar ke
negeri Astana Pura Negara untuk menjadi
raja. Sebelum berpisah, Jaya Indra
berpesan kepada adindanya supaya jangan
mengubah istiadat yang dahulu lalu dan
senantiasa menghukum dengan hukum
yang adil dan mengasihi segala menteri,
pengawal hulubalang sekalian. Maka
kedua raja itu pun kararlah kerajaan dalam
negeri masing-masing (Fang, 1991: 153157).
2. Hikayat Syah Mardan
Hikayat Syah Mardan adalah sebuah
hikayat yang populer dan pernah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa
Nusantara, misalnya Jawa, Makassar,
Bugis, dan Sasak. Pada tahun 1736,
Wendly sudah menulis bahwa “Hikayat ini
adalah satu cerita khayalan yang disusun
untuk hiburan anak-anak supaya mereka
gemar
membaca”.
Berikut
adalah
ceritanya.
Tersebutlah perkataan Raja BagermaDantajaya dari negeri Dahrulhastan
mempunyai seorang putra yang sangat
tampan, Raja Muda Syah Mardan
namanya. Adapun Syah Mardan itu terlalu
pantas tingkah lakunya, bicaranya pun
terlalu manis dan lemah lembut serta
dengan arif bijaksananya. Hatta Syah
Mardan pun belajar berbagai ilmu hikmat

dan ilmu akal (filsafat) dari seorang
brahmana.
Selang beberapa waktu, brahmana
pun memohon akan pulang ke negerinya,
maka Syah Mardan pun mengantar
gurunya itu pulang dengan segala
rakyatnya. Dalam perjalanan pulang (dari
mengantar gurunya), Syah Mardan pun
berjalan sambil berburu. Karena mengejar
perburuan, Syah Mardan pun berpisah
dengan rakyatnya dan tersesat di dalam
hutan rimba, tiada ketahuan akan jalan
kembali. Adapun akan rakyatnya pun
banyak yang mati, karena lapar dan haus,
sebab mencari rajanya.
Hatta berapa lamanya, Syah Mardan
pun bertemu dengan sebuah mahligai. Di
dalam mahligai itu duduk Putri Kemala
Ratna Dewi, anak Raja Dahrul Merjun
yang ditawan oleh seorang raksasa. Karena
tidak berani membawa tuan putri pulang,
Syah Mardan pun dijadikan oleh tuan putri
itu seekor burung nuri. Dalam rupa seekor
burung nuri, Syah Mardan terbang ke
mahligai Putri Siti Dewi, anak perempuan
Raja Dahrul Hayam. Tuan Putri amat suka
kepada burung nuri ini dan menaruhnya di
dalam sangkar emas. Sejak beroleh burung
nuri itu, tuan Putri pun lupa akan segala
pekerjaannya; ia tidak menenun, menjahit,
atau menyulam. Ia sampai lupa menghadap
ayah bundanya. Setiap hari hanya asyik
bermain-main dengan burung saja. Tatkala
ia pergi menghadap orang tuanya, rupanya
sudah menjadi layu. Baginda lalu
menitahkan
segala
menteri
pergi
menyiasati perkara ini. Inang pengasuh
tuan Putri mengakui bahwa selama tuan
putri mendapat burung itu perangainya pun
berubah. Burung itu lalu dibawa beserta
sangkarnya dan dipersembahkan kepada
baginda. Ia murka dan mau hendak
membunuh burung itu. Seorang brahmana
berkata bahwa sebaiknya diperiksa dulu,

5

sebelum burung itu dibunuh. Mungkin
sekali burung itu bukan burung sejati. Lalu
disapu-sapunya belakang burung itu. Maka
nyatalah Syah Mardan ada di dalam
burung
itu.
Perkara
ini
lalu
dipersembahkan kepada baginda. Baginda
tidak murka, malah mendudukkan Syah
Mardan dengan putrinya yang bernama Siti
Dewi itu. Pekerjaan berjaga-jaga pun
dimulai, terlalu ramainya. Selang berapa
lama, Syah Mardan pun memohon berjalan
pula. Kepada istrinya diberi pesan: jikalau
anak yang dilahirkan laki-laki, diberi nama
Panji Lelana; jiakalu perempuan, Ratna
Dewi.
Syah Mardan, yang kini bernama
Indra Jaya pun sampailah di sebuah bukit
dan bertemu dengan Lukman al-Hakim,
seorang pendeta yang sangat alim dan
anaknya yang bernama Jin Katob. Lukman
al-Hakim menyoal Indra Jaya tentang
perbedaan sembahyang dan salat, serta
sebab-sebab sembahyang maghrib itu
hanya tiga rakaat saja, sedangkan
sembahyang Isya empat rakaat. Lukman
al-Hakim sangat memuji pengetahuan
Indra Jaya dan menerangkan kepadanya
arti dari jalan empat perkara itu, yaitu
syariat, tarikat, hakikat, dan marifat.
Setelah tujuh hari dan tujuh malam
berjalan, maka Indra Jaya pun melihat
sebuah masjid yang sangat besar dan tinggi
di atas bukit di tepi laut. Tetapi seorang
pun tidak ada di dalam. Tiba-tiba seribu
orang yang menunggang kuda semberani
pun datang bersembahyang di masjid itu.
Mereka itu adalah orang yang mati syahid
dalam perang sabililah. Mereka diam pada
arsy Allah taala, tetapi turun ke dunia
untuk sembahyang tiap-tiap hari. Seorang
daripadanya menjelaskan arti taslim dan
murakabah kepada Indra Jaya. Penghulu
orang syahid itu pula menyoal Indra Jaya
tentang arti sembahyang dan perkara-

perkara yang perlu atau sudah dilakukan
sebelum
sembahyang.
Indra
Jaya
menguraikannya perkara demi perkara.
Hatta orang syahid yang seribu orang itu
pun ghaiblah dari penglihatan Indra Jaya.
Maka Indra Jaya pun berhenti di masjid itu
hingga tengah malam. Datanglah malaikat
yang menganugerahi Indra Jaya empat
orang jin, Yakiba, Yunuh, Yaidaka dan
Yautad, yang dapat membawanya ke
negeri yang jauh sekali serta memenuhi
segala kehendaknya. Terjadi jugalah
percakapan antara Indra Jaya dan malaikat
itu tentang iman yang lima perkara itu.
Tersebut pula perkataan Putri Komala
Ratna Dewi yang ditawan raksasa dan
menjadikan Syah Mardan menjadi burung
itu pun hamil dan melahirkan seorang anak
laki-laki yang sangat tampan. Hatta ia pun
diterbangkan burung raja wali ke
negerinya di Dahrul Merjun bersama-sama
dengan anaknya. Raja Dahrul Merjun
sangat gembira bertemu dengan anak
perempuannya
kembali.
Cucunya
dipelihara dengan baik dan diberi nama
Raden Panji Lelana. Hatta Raden Panji
Lelana pun besarlah dan pergi mencari
ayahnya dengan diiringi Surapenggi,
seorang penakawan. Di tengah jalan, ia
bertemu dengan ketiga orang ibu tirinya
yang sedang melarikan diri. Raden Panji
Lela mengantar mereka kembali ke istana
dan membebaskan ayahnya dari penjara.
Raden Wira Lelana, demikianlah nama raja
yang telah menewaskan Syah Mardan itu,
terpaksa mengaku kalah dan menyerahkan
perempuan Indra Cahaya kepada Raden
Panji Lela sebagai intri. Dalam pada itu,
datang pula Raja Nusantara dari benua
Hindustan untuk meminang Putri Indra
Cahaya. Sementara Raden Wira Lelana
berperang dengan Raja Nusantara, Raden
Panji Lela yang kini bernama Raja Dilila,
terbang ke benua Hindustan dan berkasih-

6

kasihan dengan gundik Raja Nusantara
yang dua ribu kurang satu orang itu. Hatta
Raja Dilila mencita mereka menjadi
kembang melati dan ditaruh dalam cembul
emas untuk dibawa pulang ke negeri
Dahrul Merjun. Ketika dalam medan
perang, dan memanahkan panah saktinya,
maka Raja Nusantara pun matilah. Semua
orang bersorak gembira. Raja Dilila
menunjukkan putri-putri yang dibawa dari
tanah Hindustan kepada istrinya. Segala
raja-raja juga datang mengantar upeti.
Adapun selama Raja Dilila memegang
takhta kerajaan, negeri Dahrul Merjun pun
sangat ramai dan makmur.
D. KESUSASTRAAN PADA MASA
ISLAM
(KESUSASTRAAN
KLASIK)
1. Cerita Al-Quran
Cerita Al-Quran adalah cerita yang
menghasilkan cerita nabi-nabi atau tokohtokoh yang namanya ada disebut di dalam
Al-Quran. Pada abad pertama tahun hijriah
sudsah ada disebut-sebut suatu jawaban
qass (jamak: qussas) yaitu pencerita, yang
mendaras Al-Quran serta menafsirkan
maknanya di masjid-masjid di seluruh
Empayar Islam. Keadaan yang demikian
berlaku berabad-abad lamanya. Baru pada
abad ke-4 tahun hijrah, cerita mengenai
nabi-nabi itu dikumpulkan di dalam sebuah
kitab. Dan orang yang mengumpulkannya
di dalam sebuah kitab. Dan orang yang
mengumpulkannya adalah seorang ahli
tafsir yang terkenal ialah Al-Thalabi atau
nama sebenarnya Abu Ishaq Ahmad ibn
Muhammad al-Thalabi (wafat 1036).
Tidak lama sesudah penerbitan kitab AlThalabi, muncul cerita-cerita tentang para
nabi di dalam bahasa Parsi di Iran dan
bahasa-bahasa lain Asia Tenggara.
Tetapi cerita nabi-nabi yang paling
terkenal ialah Qisas al-anbiya yang

disusun oleh al-Kisa’i sebelum abad ke13. Tentang siapakah sebenarnya alKisa’i,
para sarjana masih berbeda
pendapat. Ada yang berpendapat bahwa alKisa’i adalah Muhammad b. Abd. Allah
al-Kisa’i yang hidup pada zaman Harun
Al-Rashid. Tetapi seorang penyumbang
makalah “al-Kisa’i” di dalam sebuah
ensiklopedia
Islam
menjelaskan
kemungkinan ini dan mengatakan bahwa
al-Kisa’i adalah seorang pengarang yang
tidak bernama. Walau bagaimanapun AlKisa’i diakui sebagai seorang tukang cerita
yang ulung. Ia tahu bagaimana menarik
perhatian para pembaca/pendengarnya. Ia
tidak membatasi sembernya pada Al-Quran
dan tafsirnya saja. Ia juga menimba
bahannya dari cerita setempat dan ceritacerita khayalan seperti yang terdapat di
dalam Cerita Seribu Satu Malam. Cerita
nabi-nabi susunan al-Kisa’i inilah yang
menyebabkan cerita nabi-nabi makin
populer.
Cerita Al-Quran adalah cerita yang
didaktis yaitu bersifat memberi pengajaran.
Ia adalah “pelajaran bagi orang yang
mempunyai pikiran” (Surat 12:111). Dari
cerita-cerita ini umat Islam mengetahui
manakah perbuatan yang direlai Allah dan
diberi anugerah dan manakah perbuatan
yang dimurkai dan dijatuhi hukuman.
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
cerita-cerita AL-Quran adalah sastra
dakwah yang agung. Tokoh-tokoh di
dalam Al-Quran semuanya dianggap
sebagai penyebar agama Islam yang
mempertahankan keesaan Tuhan. Dan
orang Islam selalu mengutip cerita dari AlQuran untuk tujuan pengajaran. Nabi
Yusuf yang teguh imannya dan tidak
menaruh
dendam
keoada
sudarasaudaranya yang pernah mencelakakannya
serta Nabi Ayub yang tabah menghadapi
cobaan Allah adalah teladan yang baik.

7

Cerita Al-Quran dalam bahasa
Melayu terkenal dengan nama Kisah alanbiya. Naskahnya banyak sekali dan
terdapat di perpustakaan Museum Pusat
Jakarta terdapat enam naskah Kisah alanbiya. Empat dari naskah itu, yaitu Kitab
Ahlu Tafsir (v.d. Wall 66), Kisasul Anbiya
(Cohen Stuart 122) telah dikaji oleh
seorang sarjana Belanda yang bernama D.
Gerth Van Wijk. Biarpun begitu tidak
dapat diketahui bila dan oleh siapakah
naskah-naskah itu ditulis. Yang diketahui
ialah Kisasul Anbiya disalin oleh Encik
Husain, seorang Bugis yang tinggal di
Kalang; Hikayat Firan’an disalin oleh
Encik Mohammad Syam yang berasal
dari Lingga. Suratul Anbiya pula asalnya
adalah sebuah naskah yang dimiliki oleh
seorang yang bernama Baharuddin,
tinggal di Gang Trunci, Kampung Norbek.
Di dalam halaman pertama dinyatakan
bahwa hikayat itu memakan delapan bulan
untuk menyalinnya. Para peminjam
diminta supaya jangan mengotorkan dan
mengembalikanmya kepada pemilik segera
setelah dibaca. Uang sewa ialah sepuluh
sen sehari. Harga buku itu ialah f.15.
Seperti Hadis juga, Kisah al-anbiya
selalu mulai dengan Isnad yaitu senarai
nama orang yang menurunkan cerita. Di
antara nama yang sering disebut ialah
Abdullah ibn Abbas (wafat 687),
Muhammad al-Qalbi, Ka’ab al-Ahbar
(wafat 652), Wahab ibn Malik dan Sa’abi
(wafat 1059).
Kisah Al-Anbiya yang diterjemahkan
oleh Haji Azhari Khalid dari bahasa Arab
ke dalam bahasa Melayu itu mempunyai
jalan cerita yang sama dengan Suratul
Anbiya (Cohen Stuart 122). Mungkin
sekali keduanya berasal dari satu sumber
yang sama. Sayang sekali tahun
terjemahan dan penerbitan tidak disebut.
Hanya disebut bahwa kitab ini pernah

dibetulkan oleh Muhammad Tahir alIndonesia, tukang tashih kitab Melayu di
Mesir. Walaupun demikian, kita dapat
menduga bahwa Kisah Al-Anbiya yang
diterjemahkan oleh Haji Azhari Khalid
ini adalah sebuah kitab yang popular
seperti Sulaiman Mari’i di Singapura.
Dalam ringkasannya ia juga merujuk
kepada ringkasan naskah Jakarta yang
dibuat oleh D. Gerth Van Wijk.
Cerita ini mulai dengan kejadian
langit dan bumi. Tatkala Allah hendak
menjadikan langit dan bumi, maka
ditiliknya mutia putih yang sudah
dijadikan terlebih dahulu. Mutia putih itu
lalu menjadi air. Dijadikan pula Allah api
untuk menghanguskan air itu menjadi asap
dan buih. Dari asap dan buih itulah
dijadikan Allah langit dan bumi. Maka
terjadilah pula Allah segala bukit itu akan
pasak bumi. Kalakian maka air itu pun
tetaplah pada tempatnya. Maka dijadikan
Allah seekor ikan terlalu amat besar dan di
belakang ikan itu seekor lembu, tiada dapat
diperkirakan lagi panjang dan luasnya.
Demikian juga tanduk tanduk lembu itu.
Dan di atas tanduk lembu itulah diletakkan
Allah bumi yang tujuh lapis itu.
Kemudian daripada itu dijadikan pula
Allah binatang supaya memenuhi bumi ini;
dijadikan juga matahari, bulan, dan bintang
akan perhiasan langit. Maka dijadikan juga
Arsy, kursi, surga, dan neraka. Hatta
dijadikan Allah seekor burung dan biji
sawi. Bila biji sawi itu habis dimakan,
burung itu pun matilah. Kemudian
dijadikan pula Allah 70 orang lelaki yang
mendiami dunia ini pada waktu
mendurhaka. Seterusnya adalah cerita
Izrail memohon turun ke dunia untuk
berbuat ibadat kepada Allah (Fang, 1991:
205-207).
2. Cerita Nabi Muhammad

8

Salah satu rukun Islam ialah percaya
kepada rasul-rasul Allah. Sebagai khatam
al-anbiya, rasul yang terakhir, Nabi
Muhammad adalah nabi pilihan yang
sangat disanjung tinggi oleh umat Islam,
perbuatannya juga menjadi contoh teladan
orang yang beriman. Tidak heran kalau
cerita Nabi Muhammad menjadi cerita
yang populer sekali.
Cerita tentang Nabi Muhammad
sebenarnya boleh dibagi kepada tiga jenis.
Jenis
pertama
ialah
cerita
yang
mengisahkan riwayat Nabi Muhammad
dari kelahirannya hingg awafatnya. Cerita
semacam ini mungkin berasal dari sastra
Sirah (riwayat hidup Nabi Muhammad)
yang disusun sesudah wafatnya Nabi
Muhammad, tetapi sastra Sirah bukan satusatunya sumber cerita Nabi Muhammad.
Di dalam cerita Nabi Muhammad sudah
dimasukkan cerita-cerita khayalan demi
untuk
mengagung-agungkan
nabi
Muhammad yang disayangi. Di dalam
bahasa Melayu hanya ada dua hikayat yang
menceritakan seluruh riwayat hidup Nabi
Muhammad yaitu bagian pertama Hikayat
Muhammad Hanafiah dan Hikayat Nabi.
Hikayat-hikayat lain hanya mengisahkan
satu pasal atau masa dalam kehidupan
Nabi Muhammad sahaja, misalnya Hikayat
Nur Muhammad yang menceritakan
kejadian Nabi Muhammad dan Hikayat
Nabi Wafat yang mencatatkan wafatnya
Nabi Muhammad.
Jenis kedua ialah cerita yang
menceritakan mukjizat Nabi Muhammad.
Cerita ini juga berasal dari Sirah dan
kumpulan haids-hadis yang terkenal.
Cerita jenis ini juga bertujuan mengagungagungkan kemuliaan Nabi Muhammad
sebagai nabi akhir zaman. Di antara
hikayat jenis ini ialah Hikayat Mikraj yang
menceritakan peristiwa Nabi Muhammad
dibawa berjalan pada suatu malam dari

masjid Al-Haram ke masjid Al-Aqsa dan
kemudian naik ke langit. Termasuk dalam
jenis cerita ini ialah Hikayat Bulan
Berbelah dan Hikayat Nabi Bercukur.
Jenis ketiga ialah apa yang dimaksud
dengan cerita maghazi. Maghazi, sebagai
jenis sastra, berarti cerita peperangan yang
disertai Nabi Muhammad untuk untuk
mengembangkan agama Islam. Cerita ini
timbul tidak lama sesudah wafatnya Nabi
Muhammad dan menjadi cerita kegemaran
umum. Ramal orang yang menghapal jenis
cerita ini untuk mengambil manfaat
daripadanya.
Pertempuran yang terjadi itu biasanya
dapat ditentukan tarikhnya kecuali
pertempuran yang berlaku di Badar dan
Khandak. Mungkin karena kekacauan
pertarikhan ini lahirlah sebuah Hikayat
Raja Khandak di dalam bahasa Melayu di
mana rajanya Raja Khandak mempunyai
seorang anak yang bernama Raja Badar.
Perang yang berlaku di Uhud juga
mengilhami lahirnya sebuah hikayat yang
bernama Hikayat Raja Lahad. Kebanyakan
hikayat perang ini adalah hikayat khayalan
yang ditulis di dalam Melayu.
Di samping ketiga jenis di atas,
mungkin perlu juga disebut juga disebut
cerita Nabi beserta keluarganya, misalnya
Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah.
Di dalam hikayat ini Nabi berpesan kepada
anaknya supaya jangan durhaka kepada ibu
bapa dan suami, karena durhaka kepada
ibu bapa dan suami itu sama halnya
dengan durhaka kepada Allah Taala.
Hikayat Nabi Mengajar Ali pula pula berisi
ajaran Nabi tentang syarat, tarikat, hakikat
dan marifat (Fang, 1991: 236-237).
3. Cerita Sahabat Nabi Muhammad
Menurut Ismail Hamid, Sahabat atau
al-Shahabat, adalah satu istilah Islam yang
berarti orang-orang yang rapat sekali
dengan Nabi Muhammad. Istilah ini

9

kemudian diperluas maknanya sehingga
meliputi semua orang yang pernah bertemu
atau bercakap dengan Nabi Muhammad.
Di antara al-Shahabat itu, yang paling
karib ialah keempat khalifah yang pertama,
yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar ibn
al-Khattab, Uthman ibn Affan dan Ali
ibn Abu Talib. Di antara keempat khalifah
ini, cerita Ali ibn Talib lah yang paling
populer. Ali digambarkan sebagai seorang
pahlawan yang gagah berani dan menyertai
Nabi Muhammad dalam hampir semua
pertempuran yang berlaku. Pertempuran
yang terjadi biasanya dapat ditentukan
tarikhnya kecuali pertempuran yang
berlaku di Badar dan al-Khandak.
Mungkin karena kekacauan pertarikhan ini
lahirlah sebuah Hikayat Raja Khandak di
dalam bahasa Melayu di mana rajanya
Raja Khandak mempunyai seorang anak
yang bernama Raja Badar. Perang yang
berlaku di Uhud juga mengilhami lahirnya
sebuah hikayat yang bernama Hikayat
Raja Lahad. Kebanyakan hikyat perang ini
adalah hikayat khayalan yang ditulis di
dalam alam Melayu.
Cerita semacam ini kemudian
melahirkan apa yang disebut cerita
maghazi di dalam bahasa Arab. Maghazi,
sebagai jenis sastra, berarti cerita
peperangan yang disertai oleh Nabi
Muhammad untuk mengembangkan agama
Islam. Cerita ini timbul tidak lama sesudah
wafatnya Nabi Muhammad dan menjadi
cerita kegemaran umum. Ramai orang
yang menghapal jenis cerita ini untuk
mengambil manfaatnya.
Kepopuleran Ali mungkin juga
disebabkan kedudukannya dalam Islam.
Oleh golongan Syiah, Ali dianggap sebagai
Imam yang pertama dan sangat disanjung
tinggi. Puteranya, Hasan dan Hussain, cucu
Nabi Muhammad, juga sangat dimuliakan.
Demikian Muhammad b. Al-Hanafiah,

putera Ali dengan istrinya yang kedua.
Cerita-cerita ini boleh dibaca dalam
Hikayat Muhammad Hanafiah.
Khalifah yang kedua, Umar ibn alKhattab, sangat keras menjalinkan hukum
syariah. Kisahnya diceritakan dalam
Hikayat Abu Syamah. Hikayat Abu Bakar
juga lebih banyak bercerita tentang Umar
al-Khattab daripada Abu Bakar. Di
samping itu, cerita sahabat Nabi juga
meliputi cerita orang yang mula-mula
masuk Islam seperti Tamim AL-Dari,
peristiwa dalam kehidupan Nabi, misalnya
perkawinan dengan Mariah, seorang budak
perempuan yang dikirim oleh penguasa
Mesir kapadanya (Fang, 1991: 246-247).
4. Cerita Pahlawan Islam
Cerita
golongan
ini
biasanya
mengisahkan tokoh-tokoh sejarah yang
hidup sebelum munculnya agama Islam.
Karena sumbangan mereka kepada
perkembangan Islam atau karena perbuatan
mereka yang menakjubkan, mereka lalu
dijadikan pahlawan yang menyebarkan
ajaran Islam. Iskandar Zulkarnain dan
Amir Hamzah menaklukkan negeri-negeri
yang enggan masuk Islam; Saif DzulYazan pula membantu raja Himyarite
mengalahkan serangan raja Abesinia yang
beragama Nasrani dan Sultan Ibrahim pula
menunjukkan bahwa dunia ini dan
seyogianya kita jangan makan hak orang
lain. Sebagian besar cerita ini berasal dari
sumber Arab atau Parsi Arab. Di bawah ini
dibincangkan beberapa buah cerita
pahlawan yang penting (Fang, 1991: 260261).
5. Sastra Kitab
Sastra kitab mencakup satu bidang
yang luas sekali, termasuk di dalamnya
ilmu kalam, ilmu fikh dan ilmu tasawuf.
Jenis sastra ini biasanya disadur dan
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh orang
Indonesia yang tinggal di Mekah dan

10

Madinah. Tempat asal mereka selalu
disebut di belakang nama mereka,
misalnya al-Palimbani (dari Palembang).
Al-Banjari, al-Sumatra’i, al-Fansuri, alMakasari, al-Kelantani, al-Fatani dan
sebagainya. Hal-hal yang diuraikan
meliputi semua segi Islam sebagai agama,
misalnya Quran, tafsir, tajwid, hadis,
arkan al-Islam, fikh dan usul al-fikh. Ada
di antara karya ini puluhan jilid tebalnya;
ada pula merupakan risalah pendek yang
membahas satu perkara saja, misalnya ilmu
sufi, ilmu tasawuf, zikir, rawatib,
primbons, dan sebagainya. Kumpulan doa
dan azimat mungkin juga dianggap sebagai
sastra kitab. Sastra kitab ini sangat
digemari oleh kaum santri dan karena itu,
pengaruhnya juga besar sekali (Fang,
1991: 286).
E. LAHIRNYA
NOVEL
ISLAMI
HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY
Munculnya novel Islami karya
Habiburrahman El Shirazy menandakan
bahwa Kesusastraan Islam mengalami
kemajuan hingga saat ini. Novel Islami
yang sudah diterbitkan beliau yaitu Ketika
Cinta Bertasbih (2007), Ketika Cinta
Berbuah Surga (2005), Pudarnya Pesona
Cleopatra (2005), Ayat-Ayat Cinta (2004),
Di Atas Sajadah Cinta (2004), dan Dalam
Mihrab Cinta (2007).
Habiburrahman El Shirazy lahir di
Semarang, pada 30 September 1976.
Beliau adalah lulusan Universitas AlAzhar (Al-Azhar University) di Mesir.
Beliau juga seorang sutradara, dai, penyair,
dan pimpinan pesantren. Latar belakang
itulah yang membuat Habiburrahman El
Shirazy menulis novel tersebut.
Dalam novelnya tersebut, terdapat
nilai-nilai Islam yang terkandung di
dalamnya, salah satunya bertawakal
kepada Allah. Tokoh utama novel Ayat-

Ayat Cinta, Fahri, selalu bertawakal
kepada Allah. Dengan begitu, segala
sesuatu akan terasa ringan. Dengan
mengucapkan Bismillah tawakkaltu ‘ala
Allah, yang artinya dengan menyebut nama
Allah, Fahri pun menguatkan niatnya pergi
mengaji
(Supriadi,
2006:
http://eprints.undip.ac.id/16638/1/ASEP_S
UPRIADI.pdf. (diakses 9 Desember
2017)).
F.

SIMPULAN
Kesusastraan Indonesia mengalami
perkembangan dari masa ke masa. Di
mana perkembangan itu meliputi adanya
sastra masa peralihan Hindu-Islam,
kesusastraan
Islam
(klasik),
dan
kesusastraan Islam Indonesia modern yang
dibuktikan
oleh
novel
karya
Habiburrahman El Shirazy.
G. DAFTAR PUSTAKA
Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah
Kesusastraan Melayu Klasik. Jilid 1.
Universitas
Nasional Singapura:
Erlangga.
Braginsky, V.I. 1994. Erti Keindahan dan
Keindahan Erti dalam Kesusastraan
Melayu Klasik. Kuala Lumpur:
Dewan
Bahasa
dan
Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia.
Supriadi, Asep. 2006. Transformasi NilaiNilai Ajaran Islam dalam Ayat-Ayat
Cinta Karya Habiburrahman El
Shirazy:
Kajian
Interteks.
http://eprints.undip.ac.id/16638/1/AS
EP_SUPRIADI.pdf.
(Diakses
9
Desember 2017).

11