USULAN TEKNIS SURVEI TOPOGRAFI DAN HIDRO

USULAN TEKNIS SURVEI TOPOGRAFI DAN HIDRO-OCEAN
DED PELABUHAN
1. Survei Pendahuluan
Survei pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan gambaran kondisi lokasi
pengukuran, batas-batas area pekerjaan, penentuan titik referensi pemetaan,
identifikasi akses menuju lokasi, dan persiapan akomodasi selama di lokasi.
Survei pendahuluan juga dapat dilakukan untuk menyiapkan perizinan selama
bekerja di lokasi.
Selain itu sebelum dilakukannya persiapan survei topografi dan hidrooceanografi juga perlu dilakukannya pengumpulan dat sekunder penunjang
pemetaan, seperti data peta topografi dengan skala besar yang sudah ada untuk
lokasi pengukuran, peta rupa bumi Indonesia, peta laut setempat, dan data
meteorologi setempat.
2. Persiapan dan Mobilisasi
Pekerjaan persiapan ini meliputi persiapan personil dan peralatan yang akan
digunakan untuk keperluan lapangan, laboratorium dan kantor, sedangkan
mobilisasi meliputi mobilisasi peralatan dan personil yang akan ditugaskan untuk
melaksanakan pekerjaan di lapangan.
Peralatan kerja (alat ukur) yang harus dipersiapkan anatar lain:
- Rambu ukur dan formulir pengamatan pasang surut
- Waterpass untuk pengikatan bidang referensi kedalaman pada titik referensi
pemetaan

- Peralatan pembuatan BM dan formulir deskripsi BM
- 2 set Receiver GNSS (GPS Geodetic), laptop, dan formulir pengamatan
GNSS
- 1 set Total Station dan formulir pengukuran survei topografi
- 1 set Echosounder, aki (baterai), laptop, dan barcheck
- Currentmeter dilengkapi dengan stopwatch dan kompas dan formulir
pengukuran arus laut
- Watersampler dan Grabber disertai dengan botol sample
- 1 set drone dan kamera
- GPS handheld
- Alat komunikasi (Handytalky)
3. Pengamatan Pasang Surut Air Laut
Pasang surut air laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya
permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya
gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh
matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan
karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil. Faktor non astronomi yang

mempengaruhi pasut terutama di perairan semi tertutup seperti teluk adalah
bentuk garis pantai dan topografi dasar perairan.

Pengamatan pasang surut air laut dilakukan untuk mengetahui posisi atau
kedudukan dari muka air laut terhadap titik referensi pemetaan, muka air yang
dimaksud dapat berupa muka air rendah, muka air rata-rata, dan muka air tinggi.
Hal ini dilakukan untuk mendefinisikan bidang referensi tinggi maupun
kedalaman. Selain untuk pendefinisian bidang referensi tinggi data hasil
pengamatan pasang surut juga digunakan untuk mengoreksi hasil pengukuran
batimetri (pemeruman).
Bidang referensi yang akan dihasilkan pada pekerjaan ini adalah kedudukan
muka air rendah berupa LWS, muka air rata-rata berupa MSL, dan muka air tinggi
berupa HWS. Bidang referensi tinggi yang akan digunakan untuk pemetaan
adalah LWS.
LWS (low water spring) adalah kedudukan muka air
terendah dalam satu siklus bulan, dua kali spring tide
(pasang purnama) dan dua kali neap tide (pasang
perbani) atau selama 1 bulan. Spring tide terjadi
ketika bumi, bulan dan matahari berada dalam suatu
garis lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang
tinggi yang sangat tinggi dan pasang rendah yang
sangat rendah. Pasang surut purnama ini terjadi pada
saat bulan baru dan bulan purnama. Sedangkan neap

tide terjadi ketika bumi, bulan dan matahari
membentuk sudut tegak lurus. Pada saat itu akan
dihasilkan pasang tinggi yang rendah dan pasang
rendah yang tinggi. Pasang surut perbani ini terjadi
pasa saat bulan 1/4 dan 3/4.
Pengamatan pasang surut (pasut) air laut untuk mendapatkan nilai LWS
sebaiknya dilakukan selama 1 siklus bulan (30 hari), namun untuk keperluan
teknis bisa juga hanya dilakukan selama 15 hari (setengah siklus bulan) untuk
mendapatkan 1 nilai pasang tertinggi dan surut terendah pada saat spring tide
dan 1 nilai pasang terendah dan surut tertinggi pada saat neap tide.
Pengamatan pasut air laut dilakukan dengan metode sebagai berikut:
a. Pemasangan rambu pasut
- Rambu pasut dibuat dengan skala 1:1 yang memiliki nilai elevasi
dalam satuan dm dan memiliki garis ukur dalam skala cm.
- Rambu ukur harus dapat terbaca dengan jelas pada jarak tertentu
(dari lokasi pengamatan ke rambu)
- Rambu pasut harus ditempatkan pada bagan/struktur yang kokoh,
kuat, dan tegak
- Rambu pasut ditempatkan dilokasi yang tidak terganggu, misal oleh
lalu lintas kapal dan aktifitas lainnya yang dapat menimbulkan

gelombang yang cukup tinggi

- Rambu pasut dibuat/diposisikan sedemikian rupa sehingga ketika pasang
tertinggi tidak tenggelam dan ketika surut terendah tidak
kandas/menggantung)
b. Pengamatan kedudukan muka air
Pengamatan muka air dilakukan selama 15 hari dengan interval pengamatan
setiap 1 jam selama 24 jam. Nilai elevasi setiap jam dicatat pada formulir
pengamatan dengan satuan dm.
c. Pengikatan nilai 0 palem atau rambu pasut ke BM
Pengikatan nilao 0 rambu pasut ke BM dilakukan untuk mendefinisikan nilai
0 rambu maupun nilai muka air terhadap sistem tinggi global yang dimiliki BM
atau titik referensi pemetaan. Pengikatan ini dilakukan menggunakan metode
sipat datar dengan alat ukur berupa Waterpass.
d. Penghitungan data pasut untuk mendapatkan nilai LWS, MSL, dan HWS
dilakukan menggunakan metode Admiralty. Pada dasarnya metode
Admiralty ini adalah penghitungan untuk mendapatkan komponen-komponen
pasang surut, untuk mendapatkan nilai HWS, LWS, dan MSL hanya
memerlukan komponen utama pasang surut, yaitu:
Komponen

Utama
Pasang Surut
S0
M2
S2
N2
K2
K1
O1
P1

Dimana,

Jenis Pasang Surut

Muka air rata-rata
Pasang Bulan ganda harian
Pasang matahari ganda harian
Pasang ellips ganda harian
Pasang Deklanasi ganda harian

Pasang Deklanasi tunggal harian
Pasang Deklanasi tunggal harian
Pasang Deklanasi tunggal harian

Periode
Pasang/
Surut
(Jam)
12,4
12,0
12,6
11,97
23,93
25,8
24,07

MSL = S0
LWS = S0 – 1,1 (M2 + S2)
HWS = S0 + (M2 + S2 + K1 + O1)


Selain itu dari data komponen pasut juga dapat menghasilkan informasi
berupa jenis pasang surut. Jenis pasang surut ini ditentukan dari nilai
bilangan Formzahl. Terdapat empat jenis pasang surut, yaitu:
Jenis Pasang Surut
Semi Diurnal (Harian ganda beraturan)
Mix Semi-Diurnal (Campuran condong harian ganda)
Mix Diurnal (Campuran condong harian tunggal)
Diurnal (Harian tunggal beraturan)

Bilangan Formzahl
0 < 0,25
0,25 < 1,5
1,5 < 3,0
3,0 < ~

Dimana pasang surut Diurnal memiliki karakteristik dalam satu hari periode
24 jam terdapat satu kali pasang dan satu kali surut, sedangkan Semi-Diurnal
dalam 24 jam terdapat dua kali pasang dan dua kali surut, dengan periode
pasang surut selama 12,4 jam. Bilangan Formzahl didapatkan dengan
persamaan sebagai berikut:

F = (K1 + O1) / (M2 + S2)

4. Pembuatan Benchmark (BM)
Titik kontrol pemetaan atau Benchmark (BM) di buat sebagai acuan pemetaan,
titik ikat sistem koordinat, dan sebagai kerangka pemetaan. Untuk kegiatan lebih
lanjut, BM dapat digunakan sebagai acuan posisi dalam kegiatan rekonstruksi
dan monitoring. Pada dasarnya BM merupakan titik referensi koordinat yang
nilainya didefinisikan pada suatu sistem koordinat tertentu. Pada pekerjaan ini
digunakan sistem koordinat proyeksi global berupa UTM dengan Zona yang
disesuaikan dengan lokasi pekerjaan dan sistem tinggi lokal yang mengacu pada
bidang muka air laut terendah berupa LWS.
Pembuatan titik kontrol pemetaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. BM dibuat berpasangan, minimal 1 pasang (dua buah BM) dan tersebar di
seluruh area,
b. Setiap monumen (BM) pada setiap titik harus dilengkapi dengan tablet atau
plat atau tanda nama (label) yang dipasang pada tugu beton dan mudah
dibaca (secara jelas),
c. Monumen harus dibuat dari campuran semen, pasir, dan kerikil (1:2:3),
sesuai dengan desain dan ukuran yang dispesifikasikan,
d. Setiap BM harus saling terlihat, dengan jarak minimal antar BM sejauh 2

meter, semakin jauh semakin baik,
e. Ditempatkan di area yang stabil (tanah stabil), mudah dicapai dan mudah
ditemukan kembali,
f. Tidak mengganggu fasilitas dan utilitas umum,
g. Mempunyai ruang pandang langit yang bebas ke segala arah, sebisa
mungkin dengan elevasi 15o,
h. Jauh dari objek-objek reflektif yang mudah memantulkan sinyal GPS dan
dapat menimbulkan interferensi elektris terhadap penerimaan sinyal GPS,
i. Setiap BM dibuatkan formulir deskripsi BM, yang berisi Sketsa lokasi dan
deskripsi lokasi, aksesibilitas lokasi, diagram obstruksi, foto dari berbagai
arah, tanggal pembuatan, dan informasi geodetik, seperti koordinat BM,
Sistem koordinat yang digunakan, dan lainnya.
j. Bentuk fisik BM mengikuti standar titik kontrol orde 3 (JKHN), sebagai
berikut:

5. Pengamatan GNSS
GNSS (Global Navigation Satelite System) merupakan sistem penentuan posisi
berbasiskan satelit. Pengamatan GNSS dilakukan agar mendapatkan nilai
koordinat dari titik kontrol pemetaan dalam sistem koordinat global sehingga data
koordinat yang dihasilkan dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan dapat

diintegrasikan dengan berbagai data yang lain.
Pada dasarnya prinsip penentuan posisi berbasis satelit adalah pengukuran
jarak dari receiver GNSS terhadap satelit Geodetik, dengan posisi satelit
merupakan posisi yang sudah diketahui dalam sistem koordinat global. Sehingga
posisi titik yang diukur akan relatif terhadap posisi satelit, semakin banyak satelit
terbaca akan semakin presisi nilai posisi titik yang diukur, dan semakin lama
waktu pengamatan akan merekam data jarak dari receiver ke satelit semakin
banyak sehingga menghasilkan ukuran lebih semakin banyak. Hal ini akan
berdampak pada presisi data. Untuk mendapatkan parameter posisi (XYZ) dan
waktu (t) minimal terdapat 4 data jarak (4 satelit teramati). Berikut ilustrasi
penentuan posisi berbasis satelit:

Survei GNSS atau pengamatan GPS dilakukan di atas titik kontrol pemetaan
(BM) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Metode pengamatan berupa statik differensial post processing
b. Titik kontrol pemetaan harus diikatkan ke JKHN (Jaring Kontrol Horizontal
Nasional) terdekat atau terhadap CORS (Continuously Operating Reference
Station)
c. Menggunakan receiver GNSS dual frekuensi (L1 dan L2)
d. Menggunakan interval pengamatan setiap 15 detik dengan elevation mask

sebesar 15o
e. Lama pengamatan GNSS setiap titik disesuaikan dengan panjang baseline
(jarak dari base ke rover, atau dari JKHN ke titik kontrol pemetaan).
Untuk baseline < 2 km lama pengamatan 1 jam
Untuk baseline 2 km – 8 km lama pengamatan 2 jam
Untuk baseline 8 km – 15 km lama pengamatan 3 jam
Untuk baseline 15 km – 20 km lama pengamatan 4 jam
Untuk baseline > 20 km lama pengamatan 5-6 jam

Ketentuan diatas hanya sebagai acuan lama pengamatan minimal,
semakin panjang lama pengamatan data yang dihasilkan akan semakin
baik.
f. Pada setiap titik, ketinggian dari antena harus diukur sebelum dan sesudah
pengamatan satelit, minimal tiga kali pembacaan untuk setiap
pengukurannya. Perbedaan antara data-data ukuran tinggi antena tersebut
tidak boleh melebihi 2 mm
g. Mengisi formulir pengamatan GNSS yang berisi:
➢ Nama titik BM,
➢ Identitas operator,
➢ Tipe antenna dan receiver,
➢ Hari (tanggal) UTC,
➢ Waktu awal observasi (UTC) dan waktu akhir observasi (UTC),
➢ Interval pengamatan,
➢ Day of year (DOY),
➢ Tinggi antenna sebelum dan setelah pengamatan,
➢ Diagram obstruksi,
➢ Sketsa lokasi (detail dan umum), dan
➢ Kejadian penting atau catatan lainnya.
6. Survei Topografi
Survei topografi merupakan bagian dari kegiatan pemetaan, dimana pemetaan
merupakan proses pembuatan dan penggambaran dari sebagian maupun
seluruh permukaan bumi pada bidang dua dimensi dengan menggunakan skala
dan sistem proyeksi tertentu. Peta dengan informasi ketinggian disebut sebagai
peta topografi, sedangkan peta dengan informasi kedalaman disebut sebagai
peta batimetri. Sejalan dengan perkembangan teknologi hasil akhir dari kegiatan
pemetaan tidak hanya berupa peta cetak
dua dimensi saja, namun dapat berupa
peta digital yang dengan mudah dapat
mengatur skala, dapat di gabungkan
dengan data lain untuk analisis lebih
lanjut, dan lebih mudah untuk diperbarui.
Peta topografi merupakan peta yang
merepresentasikan posisi horisontal dan
vertikal dari objek-objek alam maupun
buatan manusia yang berada pada
permukaan bumi yang dipetakan sesuai
dengan maksud dan tujuan pembuatan peta.
Survei topografi terbagi menjadi dua kegiatan,
pengukuran titik kerangka pemetaan dan pengukuran titik
detail situasi.
1. Kerangka Dasar Pemetaan
Kerangka Dasar Pemetaan merupakan titik-titik yang memiliki nilai koordinat fiks
atau nilai koordinatnya dicari terlebih dahulu sebelum melakukan pemetaan

situasi. Fungsi dari kerangka dasar pemetaan adalah sebagai referensi atau
acuan posisi dari setiap titik yang dipetakan. Kerangka dasar pemetaan terdiri
dari kerangka horisontal dan vertikal.
Pengukuran kerangka dasar pemetaan dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Sebaran titik kerangka dasar pemetaan harus dapat melingkupi seluruh area
pemetaan
b. Konfigurasi titik kerangka pemetaan sedemikian rupa membentuk poligon
tertutup yang melalui dua buah titik referensi pemetaan (BM), atau
membentuk poligon terbuka dengan dua titik awal dan dua titik akhir
merupakan BM (titik referensi yang koordinatnya sudah diketahui)
c. Bentuk fisik titik kerangka pemetaan selain BM adalah
patok kayu yang kokoh, mudah dikenali, dan memiliki titik
pusat (center) berupa paku/paku payung
d. Titik kerangka dibuat dilokasi yang cukup terbuka, stabil,
aman, tidak mengganggu fasilitas dan utilitas umum
e. Pengukuran titik kerangka dilakukan menggunakan
Electronic Total Station (ETS/TS) yang terkalibrasi
f. Gunakan alat ukur sesuai prosedur, lakukan centering,
leveling, ukur tinggi alat, definisikan 0o sudut horisontal
pada titik referensi, pastikan nivo tabung dan nivo kotak
tetap level
g. Setiap pengukuran sudut dilakukan dengan sudut biasa
dan luar biasa, dengan toleransi selisih sudut biasa dan luar biasa ≤20”,
- untuk sudut horisontal HRB ± HRLB ≤ 20”
- untuk sudut vertikal
(VB + VLB) - 360o ≤ 20”
h. Setiap data pengukuran sudut dan jarak harus dicatat pada formulir
pengukuran
i. Setiap ukuran sudut harus dikoreksikan terhadap salah indeks dan salah
kolimasi, untuk mereduksi kesalahan sistematis alat, dengan persamaan
sebagai berikut:

Pengukuran kerangka dasar vertikal dapat dilakukan dengan menggunakan
Total Station dengan metode hitungan trigonometri, dapat juga dilakukan
dengan menggunakan Waterpass dengan metode sipat datar. Jika
menggunakan Total Station data yang dipakai adalah sudut vertikal dan jarak
miring, dengan prosedur pengukuran sama seperti kerangka dasar
horisontal. Sedangkan untuk metode sipat datar yang diukur adalah beda
tinggi.
Pengukuran kerangka dasar vertikal dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Pengukuran sipat datar dilakukan dengan menggunakan alat ukur berupa
Waterpass terkalibrasi, dan semua data ukuran harus dicatat pada
formulir pengukuran
b. Alat ukur didirikan diantara dua titik kerangka yang akan diukur beda
tingginya, usahakan jarak dari alat ukur ke titik belakang sama dengan
jarak antara alat ukur ke titik depan
c. Pengukuran dilakukan dengan membaca benang atas (BA), benang
tengah (BT), dan benang bawah (BB).

d. Sebelum melakukan pengukuran beda tinggi harus dilakukan
penghitungan
Kesalahan
Garis
Bidik,
dengan
melakukan
pembacaan/pengukuran sebanyak dua kali (double stand). Stand 1 alat
ukur didirikan dekat dengan titik belakang, dan Stand 2 alat ukur dekat
titik depan.
Besar kesalahan garis bidik dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

di mana :
C = besar kesalahan garis bidik
Di = 100 ( BAi – BBi )
I = dudukan i ( I , II )

Bila C = 1 mm/m , berarti besarnya kesalahan pembacaan BT adalah 1
mm untuk jarak alat ke rambu sebesar 1 m. Untuk jarak ke rambu adalah
10 m, maka kesalahan pembacaan adalah sebesar 10 mm.
e. Setiap data ukuran harus dikoreksi dengan kesalahan garis bidik sebelum
masuk penghitungan beda tinggi
f. Pengukuran dalam satu hari dilakukan dengan sistem pulang-pergi
(bolak-balik), dengan toleransi selisih pengukuran pergi – pulang
sebesar:

𝝈 = 15√d

d = Jarak pergi atau pulang pengukuran (km)
2. Pengukuran Detail Situasi
Pengukuran titik detail situasi merupakan pengukuran atau penentuan posisi dari
titik-titik detail. Titik detail merupakan titik-titik yang membentuk unsur-unsur
penyusun bentuk alam maupun buatan. Unsur-unsur tersebut dapat berupa
rumah, jalanan, pohon, titik kontur (spotheight), titik kedalaman, sungai, dan
sebagainya.
Pengukuran Titik Detail dilakukan dengan Metode Backsight. Hal ini dikarenakan
dalam perhitungannya, diperlukan tidak hanya sudut dan jarak namun azimuth
dan jarak. Metode Backsight bertujuan untuk memudahkan
mendapatkan hasil akhir berupa azimuth dari arah utara ke
titik detail.
Metode Backsight merupakan metode dimana 0 alat disetting pada suatu titik kerangka lain dari titik kerangka
tempat melakukan pengukuran. Pengukuran kali ini
dilakukan dengan perputaran kerangka searah jarum jam
dengan backsight pada titik kerangka sebelum titik
kerangka tempat melakukan pengukuran.
Pada Gambar di atas, kotak oranye merupakan titik kerangka dan titik hijau
merupakan titik detail. Titik 2 merupakan tempat mendidikan alat dan titik 1
merupakan tempat melakukan 0 set.
Prosedur pengukuran yang dilakukan sama dengan pengukuran kerangka dasar
(menggunakan TS), namun bacaan sudut yang dicatat hanya sudut biasa saja
yang kemudian dikoreksi dengan salah indeks dan salah kolimasi. Nilai posisi
(X,Y,Z) dari titik detail yang diukur didapat melalui persamaan sebagai berikut:
Xi = Xn + dni . cos αi
Yi = Yn + dni . sin αi
Zi = Zn + (SD x sin m) + tinggi alat – tinggi reflektor

7. Survei Batimetri
Survei batimetri merupakan survei pemetaan untuk mengetahui topografi dasar
perairan dengan metode pemeruman menggunakan gelombang suara dengan
alat ukur berupa Echosounder. Sistem penentuan posisi horisontal dilaut yang
digunakan adalah sistem penentuan posisi berbasis satelit dengan metode Real
Time Kinematic Differential Positioning menggunakan base atau titik referensi
yang telah dibuat sebelumnya (BM).
Penentuan posisi pada survei batimetri terbagi menjadi dua, penentuan posisi
horisontal menggunakan Receiver GNSS dan terikat pada sisitem koordinat
base, sedangkan penentuan posisi vertikal dari hasil pemeruman didapatkan
jarak dasar permukaan terhadap Transducer. Gambar di bawah menjelaskan
konfigurasi sistem pemeruman menggunakan Echosounder dengan penentuan
posisi horisontal menggunakan receiver GNSS. Jarak yang didapat berupa
kedalaman sementara, yang kemudian akan dikoreksi terhadap posisi
transducer terhadap muka air, koreksi posisi muka air sesaat terhadap datum
kedalaman, dan kalibrasi alat atau koreksi barcheck. Pada Gambar selanjutnya
dijelaskan mengenai ilustrasi koreksi kedalaman hasil ukuran, namun koreksi
barcheck tidak ditampilkan karena sudah dilkakukan dalam input data (koreksi
awal) sebelum melakukan survei.

Jarak atau nilai kedalaman hasil ukuran didapatkan dari penghitungan kecepatan
rambat gelombang usara dengan waktu tempuh rambat gelombang dengan
persamaan matematis sebagai berikut:
1
2

d = (v . Δt)

dimana,

d adalah jarak ukuran (kedalaman)
1
2

karena gelombang dipancarkan dan diterima kembali

v adalah kecepatan rambat gelombang suara di air
Δt adalah waktu tempuh gelombang suara dari ketika
dipancarkan sampai diterima kembali oleh alat
Nilai kedalaman yang dihasilkan yang akan dimasukkan kedalam peta batimetri
adalah kedalaman terhadap datum kedalaman. Pada pekerjaan ini datum
kedalaman yang digunakan adalah LWS (lowest water spring).
Lajur pemeruman dibuat zigzag (bolak-balik) agar seluruh area pemetaan
terlingkupi dan bagi menjadi lajur utama (main line) yang tegal lurus dengan garis
pantai dan lajur silang (cross line) yang sejajar dengan garis pantai. Lajur silang
diperlukan untuk melakukan pengecekan atau kontrol kualitas dari hasil
pemeruman menggunakan lajur utama. Interval lajur utama untuk area penting
(dekat pelabuhan) adalah 10m sedangkan untuk area perairan biasa 25m, dan
untuk interval lajur silang 3x – 5x dari lajur utama (50m – 100m).

Berdasarkan IHO Standards for Hydrographic Surveys nomor S-44 orde
pengukuran yang digunakan untuk keperluan perencanaan pelabuhan adalah
orde 1b dengan ketentuan ketidakpastian horisontal untuk uji kualitas data
sebesar 5 m + 5% d, yang berarti untuk dua titik uji yang berada dalam radius 5
m + 5% dari nilai kedalaman layak untuk diuji. Sedangkan untuk komponen
vertikalnya nilai ketidakpastian vertikal tidak boleh lebih besar dari

±√𝑎2 + (𝑏 𝑥 𝑑)2

Dimana a adalah nilai yang mewakili ketidakpastian kedalaman, b adalah
koefisien ketidakpastian, dan d adalah nilai kedalaman. Untuk orde 1b, nilai a =
0,5 m dan b = 0,013. Secara umum prosedur survei batimetri adalah sebagai
berikut:
a. Pembuatan lajur perum
b. Persiapan alat (echosounder, receiver GNSS, perahu/wahana apung, laptop,
kamera, aki/baterai, meteran)

c.
d.
e.
f.
g.
h.

Instalasi peralatan pada perahu/wahana apung
Persiapan base dan mulai pengamatan GNSS
Barcheck atau kalibrasi alat
Input data lajur perum, cek sinyal GPS
Mulai melakukan pemeruman, dan mengarahkan perahu sesuai lajur perum
Pertahankan kecepatan perahu tidak melebihi 4 knot atau 7,4 km/jam atau
2m/s
i. Survei tidak dilakukan jika tinggi gelombang air laut melebihi 1m, untuk
menjaga keamanan survei dan kualitas data
j. Untuk area yang tidak memungkinkan dilakukan perum, misal terlalu dangkal
atau terlalu bervegetasi, maka nilai kedalaman didapatlam\n dengan
menggunakan tongkat duga yang dibidik menggunakan total stasion atau
dengan metode GPS RTK
k. Setelah selesai pemeruman data hasil pemeruman langsung diunduh dan
diamankan untuk proses penghitungan
8. Pengukuran Arus Laut
Arus laut adalah pergerakan massa air laut baik secara vertikal maupun
horisontal. Arus yang diukur adalah arus horisontal, karena yang akan
mempengaruhi aktifitas pelahuban/pelayaran secara langsung dan signifikan
adalah arus horisontal. Pergerakan arus laut dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah angin, perbedaan tekanan air, perbedaan densitas air laut,
gaya Coriolis, topografi dasar laut, temperatur, dan arus permukaan.
Terdapat dua metode pengukuran arus, secara tidak langsung menggunakan
satelit, dan pengukuran secara langsung atau insitu dengan menggunakan alat
ukur arus. Pengukuran secara langsung terbagi menjadi dua metode,
Langrangian dan Euler. Metode Langrangian dilakukan dengan cara
mengapungkan atau melepas benda apung atau drifter ke laut, kemudian
mengikuti gerakan aliran massa air laut. menunjukkan salah satu alat ukur atau
drifter yang ditaruh di laut, pada bagian atas dilengkapi seperangkat elektronik
yang mampu mentranfer data posisi ke stasiun kontrol di darat melalui satelit.
Sehingga secara terus menerus posisinya dapat diplotkan dan akhirnya lintasan
arus dapat diketahui. Gambar berikut merupakan ilustrasi dari alat ukur dan hasil
tracking (aliran arus) menggunakan metode Lagrangian.

Sedangkan metode Euler merupakan metode pengukuran arus yang dilakukan
pada satu titik tetap pada kurun waktu tertentu. Cara ini biasanya menggunakan
alat yang disebut dengan Currentmeter. Pada pekerjaan ini pengukuran arus
dilakukan dengan menggunakan metode Euler dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Pengukuran arus dilakukan menggunakan Currentmeter terkalibrasi
b. Pengukuran arus laut merupakan pengukuran besar kecepatan dan arah
arus
c. Jika menggunakan Currentmeter manual, wajib disertai dengan kompas dan
stopwatch, nilai besar dan arah harus dicatat pada formulir pengukuran
d. Pengukuran arus dilakukan minimal pada 2 lokasi yang mempunyai
pengaruh terhadap aktifitas pelabuhan /pelayaran
e. Pengukuran arus dilakukan dua kali pada satu titik, pada saat spring tide dan
neap tide
f. Pengukuran arus dilakukan pada tiga layer kedalaman, 0,2d, 0,6d, dan 0,8d
dimana d adalah nilai kedalamana di titik pengukuran arus. Tiga layer
kedalaman tersebut mewakili
permukaan, kolom air, dan dasar
perairan
g. Pengukuran arus pada satu titik
dilakukan setiap interval 1 jam
selama
25
jam
(seharisemalam), baik pada saat spring
tide maupun neap tide
h. Posisi titik pengukuran arus
dicatat
pada
formulir
pengukuran dan diplot pada peta
topografi
9. Pengambilan Sampel Air dan Sedimen
Pengambilan sampel air laut dilakukan untuk mendapatkan sifat fisik air laut,
seperti salinitas atau kadar garam, densitas, temperatur, komposisi mineral, dan
sebagainya. Sedangkan pengambilan sampel sedimen dilakukan untuk
mendapatkan data mengenai jenis sedimen di dasar perairan, berupa
konsentrasi sedimen dan median grain size.
Pengambilan sampel air dan sedimen dilakukan secara manual dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Pengambilan sampel air dan sampel sedimen dilakukan pada titik yang sama
b. Lokasi pengambilan sampel minimal pada dua titik yang memiliki pengaruh
pada aktifitas pelabuhan/pelayaran
c. Pengambilan sampel air dilakukan menggunakan alat berupa Watersampler
dan pengambilan sampel sedimen dilakukan menggunakan alat berupa
Grabber
d. Pengambilan sample air dilakukan pada tiga layer kedalaman, 0,2d, 0,6d,
dan 0,8d dimana d adalah kedalaman perairan pada titik pengambilan
sampel

e. Pengambilan sampel sedimen dilakukan pada dasar perairan
f. Sampel air dan sedimen setelah diambil harus segera dimasukkan pada botol
sampel, tertutup rapat, dan diberi label nama titik beserta kedalaman
g. Sampel air dan sedimen harus segera dibawa ke laboratorium untuk
dilakukan pengujian

10. Pengambilan Foto dan Video Udara
Pengambilan foto dan video udara dilakukan untuk mendapatkan informasi
kawasan di area studi menggunakan wahana terbang tanpa awak (UAV). Selain
untuk dokumentasi foto udara yang dihasilkan juga dapat digunakan sebagai
peta dasar kawasan untuk melengkapi data topografi, dengan syarat setiap tofo
udara yang diambil harus tegak dan tidak terdapat distorsi lensa.
Pada dasarnya pengolahan data foto udara adalah dengan menggabunggabungkan foto tegak yang saling bertampalan. Sehingga cakupan areanya
menjadi lebih luas. Sistem pesawat yang digunakan untuk pengambilan data foto
udara umumnya sudah dilengkapi dengan sistem navigasi dan penentuan posisi
berbasis satelit, sehingga foto yang dihasilkan sudah tergeoreferensi atau
memiliki koordinat global.
Untuk keperluan lebih lanjut, seperti pembuatan Digital Elevation Model (DEM)
dan penarikan garis kontur dibutuhkan nilai elevasi yang akurat dengan
menggunakan Ground Control Point (GCP). Pada pekerjaan ini hasil foto udara
hanya dipakai untuk mendapatkan
gambaran situasi dua dimensinya
saja (tanpa elevasi) karena nilai
elevasinya didapatkan dari survei
topografi dan batimetri, maka
proses yang dilakukan setelah
didapat peta foto adalah pembuatan
peta garis melalui digitasi.

11. Pengolahan Data dan Penggambaran
Pengolahan data dan penggambaran meliputi:
a. Pengolahan data pasang surut air laut menggunakan metode Admiralty
sehingga didapatkan komponen utama pasang surut. Dari komponen

tersebut kemudian dihitung elevasi penting berupa LWS, MSL, dan HWS,
jenis pasut, dan koreksi pasut untuk batimetri.
b. Pengolahan data pengamatan GNSS dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
- Menggunakan perangkat lunak pengolah data GNSS komersial seperti SKI,
GPSurvey, LGO, TBC, dll
- Seluruh data pengamatan di konversi ke rinex (receiver independent
exchange format)
- Menggunakan metode differensial positioning dengan base berupa titik
JKHN atau CORS dengan sistem radial
- Status ambiguitas fase harus fixed
- Tahapan penentuan koordinat melalui pengolahan baseline
- Standar deviasi tiap titik pengamatan untuk setiap komponen (x,y,z)
maksimal 1 mm atau 0,001 m
- Output berupa daftar koordinat fiks dari setiap titik kontrol pemetaan (BM)
beserta nilai variansinya atau standar deviasinya, elips kesalahan titik untuk
setiap titik, elips kesalahan relatif untuk setiap baseline teramati dan
dibuatkan Lembar Deskripsi BMnya
- Koordinat titik dinyatakan dalam system:
➢ Koordinat kartesian geosentris 3D (X,Y,Z)
➢ Koordinat geodetik (lintang, bujur, tinggi ellipsoid)
➢ Koordinat proyeksi UTM dengan zona nya (easting, northing)
Catatan: data rinex hasil pengamatan disrahkan kepada pemberi pekerjaan
c. Pengolahan data hasil survei topografi meliputi:
- Data sudut yang akan diolah adalah sudut horisontal dan vertikal yang
sudah terkoreksi dari kesalahan indeks dan salah kolimasi
- Melakukan penghitungan poligon, baik poligon terbuka maupun tertutup
untuk kerangka dasar pemetaan.
➢ Untuk poligon tertutup dilakukan penghitungan sudut menggunakan
metode Bowditch
➢ Untuk kerangka dasar vetikal dengan metode sipat datar,
penghitungan kerangka dasar vertikal harus terpisah
- Melakukan hitungan titik detail situasi setelah titik kerangka dasar memiliki
koordinat fiks (kesalahan dibawah toleransi atau sudah melalui proses
perataan)
- Data list koordinat disajikan dalam bentuk koordinat proyeksi UTM dengan
zona dalam file .txt / .csv / .xlxs agar dapat dilakukan proses selanjutnya
(plotting)
d. Pengolahan data batimetri terdiri dari:
- Data yang akan diolah adalah data hasil pemeruman menggunakan
echosounder yang telah dikalibrasi dengan menggunakan barcheck
- Koreksi data hasil pemeruman (kedalaman) dengan data pasut
- Data list koordinat titik batimetri (kedalaman) disajikan dalam bentuk
koordinat proyeksi UTM dengan zona dalam file .txt / .csv / .xlxs agar dapat
dilakukan proses selanjutnya (plotting)

e. Pengolahan data arus yang dilakukan adalah konversi nilai kecepatan hasil
pengukuran dari jumlah kecepatan / waktu menjadi m/s. Setelah itu adalah
penyajian data arus dalam bentuk grafik dan diagram (current rose)
f. Pengolahan data sampel air dan sedimen dilakukan di laboratorium dengan
hasil berupa sifat fisis air laut dan karakteristik mineral yang terkandung pada
perairan setempat
g. Pengolahan data foto udara untuk mendapatkan peta foto kawasan dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak pengolah data foto udara, misal
Agisoft Photoscan dengan tahap sebagai berikut:
- Input foto, merupakan proses memasukkan foto-foto yang akan diolah.
Foto yang dimasukkan adalah foto tegak dengan geo-tagging atau sudah
tergeoreferensi, sehingga posisinya sudah tepat berdasarkan koordinat
geografis dari sistem penentuan posisi berbasis satelit yang terdapat pada
pesawat yang digunakan.
- Align Photo, merupakan proses mensejajarkan atau memposisikan fotofoto yang telah diambil. Proses pemosisian foto ini selain berdasarkan
koordinat foto juga berdasarkan objek serupa pada beberapa foto
bertampalan.
- Built Dense Clouds, merupakan proses membangun titik-titik dengan
kerapatan tertentu yang memiliki koordinat tiga dimensi, atau serupa
dengan titik-titik tinggi yang selanjutnya akan diinterpolasi untuk
menghasilkan DEM dan garis kontur. Hasil dari dense clouds sudah
nampak seperti model tiga dimensi yang terdiri dari titik-titik. Namun nilai
elevasinya masih belum akurat dikarenakan tidak menggunakan Ground
Control Point pada saat akuisisi data foto udara.
- Built Mesh, merupakan proses interpolasi dense clouds atau mengubah
titik-titik tersebut menjadi permukaan.
- Built Orthophoto, merupakan proses pembuatan peta foto dengan
memproyeksikan permukaan tiga dimensi menjadi dua dimensi secara
orthogonal sehingga nampak seperti peta hasil mosaik foto-foto yang
bertampalan.
- Export Orthophoto, merupakan proses menghasilkan peta foto dalam
format .tiff atau gambar yang tergeoreferensi sehingga dapat
dikombinasikan dengan data hasil survei topografi dan batimetri.
h. Penggambaran dilakukan menggunakan perangkat lunak pemetaan seperti
AutoCAD dan/atau ArcGis. Produk atau hasil penggambaran berupa peta
topografi kawasan, peta foto, peta batimetri, dan potongan atau profil dasar
perairan.
12. Pelaporan
Pembuatan laporan kegiatan survei topografi dan hidro-oceanografi dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
- Laporan survei berisi laporan seluruh kegiatan beserta dengan lampirannya
- Lampiran meliputi:
➢ Surat tugas pelaksanaan survei
➢ Formulir deskripsi BM
➢ Formulir pengamatan GNSS

➢ Report pengolahan data GPS
➢ Data pengamatan pasang surut air laut
➢ Tahapan pengolahan data pasang surut dan hasilnya (grafik pasut dan
elevasi penting)
➢ Formulir pengukuran topografi
➢ Tabel hitungan poligon (kerangka dasar pemetaan)
➢ Daftar koordinat topografi
➢ Tabel hitungan koordinat batimetri
➢ Daftar koordinat batimetri
➢ Data pengukuran arus laut
➢ Data pengukuran sipat datar dan hasil pengolahannya
➢ Peta topografi
➢ Peta batimetri
➢ Peta foto kawasan
➢ Laporan hasil laboratorium sampel air dan sedimen
➢ Dokumentasi seluruh kegiatan survei
- Laporan diberikan dalam bentuk hardcopy dan softcopy
Data rinex hasil pengamatan GNSS diserahkan dalam bentuk softcopy