LOKASI SASTRA DALAM SEJARAH DAN ESTETIKA

LOKASI SASTRA DALAM SEJARAH DAN ESTETIKA
Manneke Budiman
Universitas Indonesia
[email protected]

Pengantar
Kian hari, seiring dengan perjalanan waktu, pengertian sastra menjadi kian mengabur alih-alih
menjadi lebih jelas. Kini, dari bentuk puisi yang sangat tradisional hingga ke fenomena jenis
tulisan yang disebut fiksi mini bisa dengan luwes disebut sebagai ‘sastra’. Tidak banyak yang
mau repot atau pusing untuk mempertanyakan ‘kesastraan’ karya-karya itu karena memang
percuma. Sama halnya dengan setiap orang yang menulis dan menerbitkan karya tulisnya bisa
dengan mudah menyebut diri, atau mendapat predikat, ‘sastrawan’, dan kalaupun ada yang
menggugat, hal itu bukanlah sebagai akibat dari dipertanyakannya bobot tulisan mereka
melainkan lebih sering karena tingkah polah mereka di mata publik. Heboh buku 33 Tokoh
Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (2014), yang memasukkan nama Denny J.A. sebagai salah
satu tokoh berpengaruh tersebut, adalah ilustrasi bagi persoalan yang saya sebutkan itu. Apa itu
sastra dan siapa itu sastrawan menjadi pertanyaan yang tek pernah terjawab.
Persoalan lain yang tak berhenti dikutak-kutik adalah periodisasi sastra. Kapan sesungguhnya
sastra Indonesia (modern) dimulai dan apa sebab musabab munculnya suatu periode baru dalam
riwayat sastra Indonesia, misalnya, hingga hari ini masih terngiang gaungnya di benak banyak
orang. Bagaimana sastra semestinya ditempatkan dalam ruang dan waktu itulah inti

permasalahannya. Pertanyaan ini tak bisa dilepaskan dari persoalan pertama, yakni bagaimana
sebuah karya dinilai pada suatu konteks tempat dan zaman agar layak untuk disebut ‘sastra’, dan
penulisnya pun pantas diberi gelar ‘sastrawan.’ Dua hal yang saya lontarkan ini baunya sudah
usang tapi menolak untuk disingkirkan. Maka, ketika saat ini kita berbicara tentang “Sastra kita
dulu, kini dan nanti”, tak bisa dicegah, persoalan-persoalan itu kembali mengemuka dan, suka
atau tidak suka, kita perlu menengoknya kembali agar lintasan sastra ke depan menjadi lebih
jelas di mata kita.
Tulisan ini tentu saja tidak mencoba untuk menawarkan jawaban-jawaban pasti dan tuntas karena
saya sadar itu akan sia-sia belaka. Namun, yang bisa saya lakukan di sini adalah mengajak
pembaca untuk melakukan refleksi dan kontekstualisasi atas pertanyaan-pertanyaan di atas pada
titik kini, di saat Indonesia baru saja merayakan hari jadinya ke-70, dan ketika kita sebagai
bangsa perlu merumuskan kembali hal-hal apa yang paling kita butuhkan kini agar setiap sektor
kehidupan bangsa ini, termasuk sastra, dapat berancang-ancang untuk memasuki tiga dasawarsa
berikutnya menuju ke penghujung satu abad usia kemerdekaan. Konsekuensi dari kerangka pikir
ini adalah suatu tawaran cara untuk memahami siapa sastrawan dan apa itu sastra di dalam
bingkai perumusan kebutuhan kita sebagai bangsa pada saat ini, serta tawaran cara untuk melihat
lintasan perjalanan sastra berdasarkan pada rumusan kebutuhan masa kini itu.

1


Apa yang kita inginkan sebagai bangsa berkenaan dengan kesusastraan kita? Peranan baru apa,
jika ada, yang menurut pandangan kita perlu dimainkan oleh para penulis kita kini agar kita bisa
menerima mereka tidak hanya sebagai penulis tetapi juga sebagai ‘sastrawan’? Dua hal ini, bagi
saya, adalah penting untuk digali kemungkinan-kemungkinannya. Sesudah 70 tahun merdeka,
kita tidak bisa terus-menerus gamang dan heboh karena inilah saatnya untuk secara serius
merenungkan dan memikirkan arah sastra kita, yang boleh jadi bisa mengungkap pula ke mana
arah perkembangan bangsa ini ke depan. Dengan demikian, estetika yang ingin saya bicarakan
adalah estetika yang terhistorisasi, bukan estetika di dalam ruang vakum ataupun estetika yang
skizofren—terperangkap dalam kekinian, tanpa masa lalu dan tanpa masa depan. Asumsi
dasarnya adalah estetika berubah dari masa ke masa, dan perubahan itu khususnya terjadi karena
zaman dan tempat di mana perubahan estetika itu terjadi melahirkan aspirasi-aspirasi atau
tuntutan-tuntutan baru.
Romantisisme dan nasionalisme Pujangga Baru
Angkatan Poedjangga Baroe (Pujangga Baru), yang resminya lahir pada 1933 dengan terbitnya
majalah Poedjangga Baroe, adalah contoh sebuah gerakan estetik yang oleh zamannya
dilontarkan pada persimpangan antara estetika Romantisisme dan tuntutan nasionalisme melalui
modernisasi kebudayaan. Dipelopori para sastrawan seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Amir
Hamzah, dan Armijn Pane, kelompok ini terbentuk sebagai reaksi atas sensor ketat penerbit
negara Balai Pustaka. Ada keyakinan bahwa kemajuan hanya dapat dicapai dengan mengadopsi
modernitas, tetapi pada saat sama, bentuk-bentuk serta perangkat sastra yang mereka gunakan

kental dilandasi oleh gagasan-gagasan Romantik.
Kedua kutub pemikiran ini akan sulit dijelaskan persinggungannya apabila tidak dipahami di
dalam konteks zamannya di Hindia Belanda, yang telah menjadi bagian dari zaman pergerakan
(age in motion). Di mana-mana terjadi kegelisahan dan kejemuan dengan keadaan yang lamban
berubah, sementara gairah pencarian baru dan penjelajahan imajinasi makin sulit dibendung
luapan energinya. Pada situasi demikian, pengarang dituntut kembali untuk menjalankan peran
sebagai ‘nabi’ yang menunjukkan jalan bagi masyarakatnya untuk keluar dari sumbat kebuntuan.
Romantisisme yang ditandai oleh luapan energi yang melimpah ruah bertemu dengan semangat
untuk membebaskan diri dan meraih kesetaraan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Nasionalisme sendiri bahkan oleh banyak pemikir dianggap sebagai wujud dari gagasan
romantik yang mengidealkan bangsa sebagai produk relatif baru dari modernitas. Kontradiksi
yang bermakna ini hanya mungkin terjadi di dunia kolonial yang mencita-citakan suatu
kebebasan.
Di dalam polemik kebudayaan yang kemudian terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan
Sanusi Pane, tetapi juga melibatkan sejumlah sastrawan lain, persoalannya tidak dapat
disederhanakan dengan cara memahaminya semata sebagai tegangan antara urusan tradisi dan
modernitas. Polemik yang dipicu oleh esai STA dalam majalahnya, “Menuju Masyarakat dan
Kebudayaan Baru” (1935), melainkan melibatkan pula visi akan arah yang ingin ditempuh oleh
Indonesia yang merdeka, yang terbebas dari masa lalu kolonialnya (Mihardja 1998). Sejarah
prakolonial yang feudal dan sejarah kolonial yang mengukuhkan stratifikasi sosial itulah yang

tidak dikehendaki oleh STA untuk menjadi bagian dari visi masa depan Indonesia, dan saya
yakin bahwa dalam hal ini Sanusi Pane pun tidak memiliki keberatan. Tradisi yang dirujuknya
2

jelas-jelas bukan tradisi bentukan kolonialisme tetapi praktik-praktik dan nilai-nilai yang bisa
menunjang terbentuknya Indonesia merdeka di masa depan. Maka, alih-alih menjumpai adanya
dua kutub pandangan yang berseberangan, kita sebetulnya menyaksikan romantisasi yang sama
terhadap masa depan, walaupun sumber gagasan yang melahirkan visi romantik itu berbeda pada
keduanya. Peran sasrawan, dalam konteks ini, adalah sebagai penunjuk jalan ke depan bagi
masyarakatnya.
Periode Revolusi
Pada masa Revolusi, justru nuansa modernis yang diangkat STA kian kental dalam membentuk
gagasan-gagasan nasionalis para sastrawan. Bukan modernitas kolonial yang penuh dengan
inkonsistensi dan kontradiksi yang diserap oleh para sastrawan era Revolusi antara 1942 dan
1949, melainkan modernitas Barat yang dibayangkan ‘murni’ dan ‘universal’ untuk kemaslahatan
siapa saja. Jadi, ada romantisasi juga dalam hal ini terhadap modernitas Barat itu. Para sastrawan,
seperti Rivai Apin, Chairil Anwar, dan Idrus, dengan penuh kegairahan menyerap nilai-nilai
modernis Barat yang diyakini akan dapat mendorong Indonesia yang bebas untuk menjadi warga
dunia yang internasional. Sastrawan memahami peranannya di dalam kancah revolusi yang
penuh ketidakpastian ini secara heroik, yakni bahwa mereka memimpin perjuangan di bidang

kebudayaan dan peradaban, dengan pena sebagai senjatanya. Mereka anti-kolonial tetapi tidak
anti-Barat. Tanpa sungkan ataupun prasangka, karya-karya sastrawan Barat diterjemahkan atau
disadur secara masif dan turut menentukan bentuk sastra yang dominan pada masa itu, yang
ditandai dengan efisiensi penggunaan bahasa, metafor-metafor individual, serta kebebasan
bentuk (lihat Foulcher 2009:835-853).1
Mereka ini menggunakan gagasan-gagasan modernitas Barat untuk melancarkan kritik terhadap
praktik modernis kolonial yang diterapkan di negeri jajahan oleh penguasa kolonial.
Diperlihatkan bagaimana nilai-nilai yang semestinya universal dan mendukung kesetaraan di
koloni justru digunakan untuk mengukuhkan superioritas penjajah atas kaum pribumi serta
sebagai sarana untuk mempertahankan diskriminasi. Praktik kekuasaan kolonial dibenturkan
sendiri ke nilai-nilai yang dijadikannya acuan. Hal ini khususnya tampak cukup jelas dalam
cerpen-cerpen saduran Idrus dari karya-karya pengarang Eropa (Foulcher 2009:840-843).
Namun, modernitas yang diangankan para sastrawan kita bukanlah tanpa biaya dan korban.
Dalam konteks sejarah sastra di Indonesia, proses modernisasi pertama-tama terlihat jelas pada
penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa baku sastra, menggantikan bahasa Melayu rendah
yang marak dipakai hingga 1930an dan merongrong kewibawaan Balai Pustaka sebagai lembaga
resmi negara. Pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa sastra tidak hanya meminggirkan
sastra-sastra daerah yang berbasis kelisanan dan diungkapkan dalam bahasa daerah, tetapi juga
menimbulkan keterasingan di kalangan khalayak sastra sendiri (Malna 2000:332-333). Sebagai
akibatnya, lanjut Malna, banyak puisi Indonesia bersuasana gelap dan muram, serta

menceritakan perasaan kesepian.
1 Aktivitas penyaduran karya-karya Barat ke dalam konteks Indonesia ini bahkan sudah terjadi bertahun-tahun
sebelumnya pada masa Hindia-Belanda, yakni sejak awal abad ke-19. Karya-karya populer Eropa, seperti Robinson
Crusoe, Count of Monte Cristo, dan Sherlock Holmes, disadur ke dalam bahasa Melayu oleh para penulis Indo dan
Tionghoa peranakan dan diterbitkan di Hindia di luar penerbit Balai Pustaka. Melalui penerjemahan dan penyaduran
karya-karya fiksi popular Eropa itulah mula-mula ide-ide modernitas diperkenalkan di Hindia (lihat Jedamski 2003).

3

Estetika dan sensibilitas baru yang diperkenalkan oleh Chairil Anwar dan kawan-kawan, yang
mereka peroleh dari sejawat sastrawan di Eropa, mungkin telah melontarkan Indonesia ke
gerbang modernitas, tetapi ada banyak yang tertinggalkan dalam proses ini. Lokalitas yang
mewujud dalam sastra-sastra daerah justru kini terancam oleh dominasi sastra berbahasa
Indonesia. Walaupun argumentasi Malna bahwa pengungkapan diri dalam bahasa Indonesia yang
dilakukan para sastrawan berakibat pada terjadinya keterasingan masih bisa diperdebatkan, sulit
dipungkiri bahwa memang sastra dalam bahasa-bahasa daerah cukup terengah-engah untuk dapat
bersaing dengan sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Maka, kita seolah melihat
dipentaskannya kembali polemik antara STA dan Sanusi Pane serta sejumlah sastrawan lainnya
tentang di mana tempat untuk tradisi dalam Indonesia yang modern. Revolusi, sebagaimana
makna yang terkandung di dalamnya, barangkali memang selalu harus dibayar dengan mahal.

Namun, akan kita lihat bahwa tradisi bukan sesuatu yang mudah menyerah atau bisa ditinggalkan
begitu saja.
Tahun 1950an dan 1960an
Periode 1950an dan 1960an, menurut banyak peneliti, adalah “periode keemasan” dalam sejarah
sastra Indonesia modern, yang kemudian terputus secara tragis oleh peristiwa G30S menjelang
akhir 1965. Pada periode ini, meskipun dalam kancah politik Perang Dingin sedang berkecamuk
di seluruh dunia, dan dampaknya mengena dengan sangat kuat di Asia tenggara, termasuk di
Indonesia yang juga menyaksikan pertarungan ideologis yang keras di kalangan para seniman
dan sastrawan, pencarian estetika yang mendunia terus berjalan dengan semarak. 2 Terjadi dialog
yang produktif bahkan di antara seniman dan sastrawan yang secara ideologis berseberangan
kubu, termasuk antara seniman-seniman LEKRA dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional)
serta LESBUMI. Jeniffer Lindsay secara kritis mempersoalkan penggambaran situasi sastra
tahun 1950an dan 1960an yang melulu mengedepankan konflik antara LEKRA dan kelompok
Manifes Kebudayaan, sehingga memberikan pemahaman yang keliru tentang dinamika
kebudayaan yang berlangsung pada masa itu. Walaupun para penggiat seni dan sastra ini
berkompetisi secara ideologis, semuanya memiliki satu visi, yakni menjadikan kebudayaan
Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia (Lindsay 2011:1-28). Dalam penilaian Asep
Sambodja, baaik sastrawan LEKRA maupun Manifes Kebudayaan telah sama-sama berjasa
dalam memperkaya kebudayaan Indonesia (2010:196).
Tony Day mengemukakan bahwa pada era Perang Dingin ini pula bentuk-bentuk serta tema-tema

modernism Eropa tetap memperlihatkan pengaruh kuat pada sastra Indonesia, bersanding dengan
merasuknya pengaruh realisme yang diusung oleh pengarang-pengarang kiri (2010:131-169).
Namun demikian, para sastrawan lokal yang terlibat dalam masuknya gagasan-gagasan modern
dari luar ini tetap mampu melakukan kontekstualisasi atas konsep-konsep itu ke dalam
perjuangan lokal untuk membangun kebangsaan. H.B. Jassin, sebagaimana dibahas oleh Day,
menyoroti lemahnya kemampuan para sastrawan kita pada masa itu dalam “memanfaatkan
secara optimal pengalaman dan pengetahuan manusia untuk dapat mengembangkan
kemungkinan-kemungkinan baru pengungkapan dalam bahasa Indonesia” (2010:139). Jassin
2 Untuk pembahasan lebih lanjut tentang periode keemasan sastra Indonesia di tengah kecamuk Perang Dingin ini,
lihat tulisan-tulisan para kontributor dalam J. Lindsay dan MHT Liem (ed), Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi
Indonesia 1950 – 1965, (Pustaka Larasan, Bali, dan KITLV – Jakarta, 2011).

4

berpandangan bahwa tidak perlu kita menengok ke Eropa untuk dapat melakukan hal ini, tetapi
cukuplah dengan menulis dan menghasilkan karya saja. Dalam hal ini, kita mendengar gaung
keprihatinan Afrizal akan tercerabutnya sastrawan modern Indonesia dari tradisi, dan mereka
menjadi terasing dari khalayaknya sendiri.
Namun, barangkali pencarian estetik yang terjadi selama kurun waktu 1950an dan 1960an itu
tidak mesti dipahami dari sudut pandang skeptik seperti itu. Memang bahasa Indonesia telah

diterima secara konsensus sebagai bahasa sastra Indonesia pascakemerdekaan, tetapi itu tidak
berarti prosesnya sudah selesai sampai di situ. Para seniman dan sastrawan pada periode tersebut
justru giat mencari cara bagaimana berbagai pengalaman dan pengetahuan yang mendunia dari
tempat-tempat lain dapat diramu dengan aspek-aspek lokal Indonesia sehingga memperkaya
kebudayaan Indonesia sekaligus menjadikannya sebagai bagian dari budaya dunia. Para
sastrawan pada masa itu terlibat secara ideologis dan bahkan politis dengan era mereka, tetapi
mereka juga secara intens terus menggumuli persoalan-persoalan estetika dan alat bicara, yang
dibayangkan akan dapat menjadi batu penjuru bagi internasionalisasi kebudayaan Indonesia ke
depan. Cita-cita menjadikan kebudayaan Indonesia sebagai “ahli waris budaya dunia” adalah
sebuah komitmen serius yang ditempuh secara bersama di tengah berbagai perbedaan tajam yang
cenderung hendak memisahkan mereka. Di dalam proses itu, para sastrawan malah
menumbuhkan kepekaan lebih tajam dalam mengupayakan lokalisasi berbagai hal baru yang
mereka temukan dalam pengembaraan estetik mereka di banyak tempat di dunia.
Era Orde Baru
Sulit untuk dengan pasti menyatakan bahwa pada periode ini ada suatu estetika seni atau sastra
yang lahir sebagai hasil pergulatan dengan zamannya dan kemudian mengkristal menjadi
semacam ciri khas kesastraan zaman itu. Era Orde Baru ditandai oleh sejumlah pelarangan dan
pembredelan buku, dan ada pula penulis yang harus membuang sebagian hidupnya dalam
tahanan sebagai akibat dari sikap politik mereka. Namun, yang jelas, pada masa itu ideologi
persatuan sebagai bagian dari idologi negara nyata-nyata dominan dan tampak jejak-jejaknya

dalam berbagai kebijakan dan institusi negara maupun sosial. Dibayang-bayangi oleh hantu
komunisme, yang dituding bertanggung jawab atas tragedi G30S, masa 32 tahun di bawah
kekuasaan Orde Baru menghasilkan cukup banyak karya fiksi popular untuk konsumsi orang
muda, yang biasanya bercerita tentang romantika kehidupan kampus, pergaulan dan percintaan
anak muda, dan sebagian bahkan terkesan menjurus pada vulgaritas, seperti karya-karya
Motinggo Busye. Terhadap karya-karya popular yang sebagiannya tidak sejalan dengan moralitas
Orde Baru ini, negara tidak banyak melakukan penindakan, sementara karya-karya serius yang
kritis dari segi sosial dan politik justru kerap menjadi sasaran sensor.
Entah ada kaitannya atau tidak, pada era Orde Baru ini pula semarak bermunculan karya-karya
fiksi yang ditulis oleh pengarang-pengarang perempuan, seperti Marga T., Mira W., Titi Said, Ike
Supomo, Marianne Katoppo, V. Lestari, dan tak ketinggalan Nh. Dini. Produktivitas mereka
begitu tinggi, sehingga dari segi sastra, zaman ini disebut juga era fiksi perempuan (Hellwig
1994). Tersirat di balik penyebutan ini adalah penilaian miring bahwa karya-karya para
pengarang ini mestilah lebih rendah mutunya dibanding karya-karya hasil tulisan pengarang lakilaki. Akan tetapi, kita juga tidak boleh lupa bahwa pada kurun waktu kurang lebih sama, hadir
pula karya-karya fiksi popular dari pengarang-pengarang laki-laki, seperti Ashadi Siregar, yang
5

terkenal lewat novel triloginya, Cintaku di Kampus Biru (1974), Kugapai Cintamu (1974), dan
Terminal Cinta Terakhir (1975) atau Yudhistira ANM Massardi (Arjuna Mencari Cinta, 1977 dan
bagian ke-2, 1980). Jika sebagian besar novel-novel ini berkisah tentang kehidupan anak muda

serta permasalahan pribadi yang mereka alami dalam pergaulan sosial, karya-karya Nh. Dini
memperlihatkan kecenderungan berbeda, yaitu persoalan domestik terkait dengan kehidupan
perkawinan. Namun, secara umum, karya-karya popular selama periode Orde Baru bisa dibilang
menjauhi tema-tema politik, yang pada saat itu boleh jadi dianggap peka atau bahkan tabu untuk
ditampilkan.
Walaupun secara kuantitas jumlah karya sastra yang diproduksi pada era itu tidak kecil, kita
nyaris tidak melihat adanya sekelompok pengarang yang secara serius memikirkan
keindonesiaan serta masa depannya, sebagaimana dilakukan oleh para sastrawan dari periodeperiode sebelumnya. Ini tidak berarti bahwa karya-karya pengarang Orde Baru dangkal isinya,
tetapi tidak terdapat undangan yang cukup kuat kepada khalayaknya untuk masuk dalam
pergumulan pemikiran yang mendalam atas berbagai isu yang mungkin secara bersama-sama
akan bisa memberikan sumbangan kepada pembentukan visi Indonesia seperti apa yang
diangankan untuk masa depan. Yang paling menonjol di antara pengarang era Orde Baru nonarus utama yang disebutkan di atas, menurut saya, adalah Y.B. Mangunwijaya, yang cukup kritis
dan terbuka menyoroti berbagai persoalan sosial semasa kekuasaan Orde Baru. Mangunwijaya
juga mengeksploitasi dimensi kesejarahan dengan cara menempatkan kejadian-kejadian dalam
karya-karyanya di masa lampau tetapi yang relevansinya dengan situasi zamannya sangat tinggi.
Sebagai seorang rohaniwan, Mangunwijaya cukup beruntung memiliki keleluasaan menyuarakan
kritiknya dan tidak harus mendekam dalam tahanan seperti halnya pengarang-pengarang kritis
sezaman yang dicap kiri, seperti Pramoedya Anata Toer, misalnya. Namun, Mangunwijaya dan
Pramoedya, lebih sering ditempatkan pada marjin dari kancah sastra pada zaman mereka. Karyakarya mereka, entah karena dilarang untuk dibaca atau tidak selaku novel-novel popular, tidak
secara signifikan turut berperan dalam membentuk estetika sastra zamannya. Mereka ini ibarat
nabi yang berseru-seru di padang gurun, namun suaranya tidak didengarkan oleh siapa-siapa dan
berlalu ditiup angin. Dengan kata lain, mereka adalah pengarang yang tidak dikodratkan untuk
berbicara kepada zamannya, melainkan lebih diperuntukkan bagi khalayak dari era berikutnya.
Kekuasaan otoriter yang harus mereka hadapi terlalu digdaya. Tak heran jika kedua pengarang
senior ini baru ‘ditemukan kembali’ dan dibaca dengan gairah lebih besar sesudah rezim Orde
Baru tidak lagi berkuasa.
Estetika pasca-Orde Baru
Pada sebuah kesempatan berbeda, saya pernah menulis sebuah esai tentang perubahan estetika di
Indonesia sesudah Orde Baru berakhir. Pada dasarnya, argumentasi saya adalah bahwa para
pengarang sesudah masa Orde Baru mendapati diri mereka berada di persimpangan antara
pengaruh ideologi Orde Baru yang telah turut membesarkan mereka dan membentuk pemikiran
mereka tentang Indonesia di satu pihak, dan tumbuhnya kesadaran kritis di lain pihak akan
penyakit-penyakit sosial yang dihadapi bangsa Indonesia pada akhir era Orde Baru dan masamasa sesudahnya. Mereka mampu mendeteksi penyakit itu namun juga menyadari bahwa mereka
sendiri bagian dari masarakat yang sakit itu. Kondisi seperti ini melahirkan suatu estetika yang
saya sebut dengan “estetika kebimbangan”, yang ditandai oleh kehendak untuk melanjutkan
6

langkah maju ke masa depan tetapi yang disertai oleh optimisme terbatas, dan bahkan keraguan
(Budiman 2011:31-51).
Secara kebetulan, penyair Afrizal Malna juga tampil bersama saya untuk menyampaikan
pemikirannya tentang estetika ini. Ia pun berbicara tentang estetika abad ke-21 di Indonesia. Ia
berbicara tentang apa yang disebutnya “estetika pembelahan dan pengembaran dari epidemi
sejarah.” Sejarah dipandangnya sebagai fakta masa lalu yang telah terfiksionalisasi sehingga
sebagai ‘realitas, sejarah tidak lagi bersifat tunggal ataupun utuh, melainkan senantiasa terbelah.
Itu sebabnya, ia menolak kontinuitas dalam sejarah, atau apa yang disebutnya dengan
“epidemi”/”penularan”, yang berpotensi menghisap realitas masa kini ke dalam kefiksian itu
(Malna 2011:3-30). Sejarah yang dimaksudkannya di sini tentu saja adalah masa Orde Baru,
sebuah periode yang sudah berlalu tetapi masih mampu menularkan virus berbahayanya kepada
generasi berikutnya dalam rupa perpecahan dan kekerasan. Dibutuhkan memori yang dapat
terwadahi oleh tradisi puitik sebagai ruang untuk merawat memori tersebut untuk dapat menjaga
akal sehat sejarah (2011:8). Estetika pembelahan ditawarkannya sebagai strategi untuk
menyikapi sekaligus menjembatani masa lalu dan masa kini yang terputus hubungannya itu.
Dalam karya sastra yang diproduksi sesudah era Orde Baru, Malna mencontohkan munculnya
estetika pembelahan ini, salah satunya, pada permainan sosok kembar/terbelah Maia dan Maya
dalam novel Cala Ibi (Nukila Amal).
Walaupun tidak persis sama, ada kesejajaran pemikiran antara saya dan Malna dalam memahami
estetika sastra yang muncul dengan berakhirnya otoritaritarianisme selama lebih dari 30 tahun,
yang efeknya juga melekat dengan sangat kuat pada karya-karya sastra yang lahir sesudahnya.
Ini menyebabkan saya memahami suatu estetika baru tidak sebagai suatu penolakan terhadap
yang lama, akan tetapi sebagai suatu kecenderungan yang tampak baru namun sesungguhnya
ditopang pula eksistensinya oleh kaidah-kaidah lama. Jejak-jejak masa lalu, apakah itu berupa
luka ataupun kenangan, selalu dapat ditelusuri kehadirannya dalam kemasan estetika yang diberi
label ‘baru’ (Budiman 2011: 31-32). Dalam pemahaman saya, estetika adalah pemahaman akan
masa depan “yang bertitik tolak dari yang kini”, namun dengan catatan bahwa “yang kini” itu
juga memuat masa lalu di dalam dirinya. Di Indonesia, sesudah berakhirnya Orde Baru, seolaholah telah muncul suatu kecenderungan baru, yang ditandai oleh gegap gempitanya dunia sastra
dalam wujud ledakan produksi sastra serta kegairahan dalam menulis. Apakah telah lahir sebuah
estetika baru?
Saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan mengkaji beberapa karya pengarang
perempuan, seperti Nukila Amal, Linda Christanty, Fira Basuki dll., dan dalam prosesnya saya
mendapati bahwa para pengarang ini bersikap sangat hati-hati sekali dalam merayakan ‘era
kebebasan baru’ itu. Mereka menolak terhanyut dalam utopia tentang perubahan (reformasi),
menyadari bahwa kebaruan itu, jikalau ada, telah terkontaminasi oleh ideologi Orde Baru,
seberapapun kecilnya, dan oleh karena itu secara sadar memilih posisi di marjin sebagai ruang
strategis untuk melahirkan gagasan-gagasan segar. Selain itu, dalam karya-karya mereka, muncul
unsur “kontemporaritas” yang cukup kentara, yaitu menggunakan masa kini—alih-alih masa lalu
—sebagai pijakan bagi pemikiran-pemikiran baru yang mereka gagas. Hal terakhir ini adalah
sesuatu yang tidak didapati dalam karya-karya pengarang era Orde Baru pada umumnya.
Mangunwijaya dan Pramoedya, misalnya, memilih memakai sejarah sebagai pijakan naratif
mereka tentang bangsa.
7

Apa yang dapat kita simpulkan dari gejala-gejala ini? Visi ke depan tetap ada, tetapi ia hadir
tanpa ilusi dan harapan berlebihan. Pada akhirnya, bukan perubahan revolusioner yang
dibayangkan mesti terjadi, tetapi pencairan batas-batas yang selama ini dinilai terlalu kaku dan
mengekang. Batas-batas itu bisa berbentuk macam-macam, dari adat, moral, norma sosial,
hingga batas-batas identitas dan kebangsaan. Michael Bodden menemukan adanya semangat
kosmopolitan untuk melampaui batas-batas dan kekang-kekang dalam karya-karya Ayu Utami
(2007a) dan Djenar Maesa Ayu (2007b), tetapi pengamat lain, yaitu Katrin Bandel (2006) dan
Intan Paramaditha (2004) menemukan hal yang berbeda. Bandel justru berpendapat bahwa
novel-novel Ayu Utami masih memperlihatkan pengaruh patriarki yang kuat walaupun
tampaknya berupaya mengkritisi falogosentrisme dan membebaskan tokoh-tokohnya dari
kekangan tersebut. Demikian pula, Paramaditha mencapai kesimpulan berbeda atas karya-karya
Djenar Maesa Ayu, yang menurutnya, masih didominasi urusan-urusan domestik dalam konteks
hubungan orangtua dan anak, sehingga belum memperlihatkan komitmen yang cukup pada
kosmopolitanisme.
Apa yang dapat ditarik dari silang pandangan ini? Bahwasannya, memang terdapat ambivalensi
sikap di kalangan para pengarang pasca-Orde Baru dan, sekali lagi, terlihat dalam hal ini
bagaimana pengaruh ideologi lama masih belum sepenuhnya dapat dilepaskan. Hanya saja, saya
juga berpendapat bahwa ambivalensi ini bukannya tidak disadari oleh para pengarang. Mereka
tak mampu menolaknya sebab mereka lahir dan dibesarkan oleh Orde Baru. Tak ada pilihan lain
bagi mereka selain maju dengan memikul beban sejarah itu menuju ke masa depan. Inilah yang
menyebabkan adanya kebimbangan dan optimisme penuh kehati-hatian dalam menyingsong
masa depan. Kesadaran ironis semacam inilah yang membuat beberapa pengarang, seperti
Nukila Amal dan Linda Christanty, memilih marjin sebagai ruang bebas untuk menuangkan
pikiran walau dengan risiko terkucil.
Pengamat-pengamat sastra, seperti misalnya Medy Loekito (2003) menilai karya-karya
pengarang perempuan generasi pasca-Orde Baru adalah karya-karya “sastra seksual” karena
mengobral seksualitas dan representasi tubuh perempuan yang vulgar. Penilaian Loekito ini
dikukuhkan lebih jauh oleh munculnya istilah miring ‘sastrawangi’ untuk menggambarkan
generasi ini, yang merujuk pada pengamatan bahwa para pengarang itu lebih heboh dalam
penampilan dirinya daripada bobot karya-karyanya. Tanpa menyangkali bahwa kecenderungan
seperti itu dapat tercium dalam sejumlah karya dari beberapa pengarang, saya menemukan dalam
pembacaan lebih mendalam bahwa mereka itu juga memiliki gagasan-gagasan serius yang
penting untuk diperhitungkan tentang identitas dan kebangsaan, yang berorientasi ke masa
depan. Gagasan-gagasan ini patut digali lebih lanjut dalam rangka produksi pemikiran dan
pengetahuan tentang Indonesia yang tadinya mampat semasa Orde Baru berkuasa. Di dalam
gagasan-gagasan orosnial yang barangkali masih belum sepenuhnya matang inilah benih estetika
baru dapat ditemukan.

Sastrawan sebagai filsuf
Dalam banyak forum temu sastra selama kurun waktu bertahun-tahun, saya sering mendengar
keluhan pengarang akan sedikitnya jumlah kritikus sastra yang bisa mengupas begitu banyak
karya yang telah dihasilkan para pengarang untuk dapat diperkenalkan kepada khalayak.
8

Biasanya, yang menjadi sasaran adalah para kritikus yang juga akademisi sastra yang bekerja di
fakultas-fakultas sastra. Mereka dinilai tidak cukup cepat dan tanggap dalam memberikan
tanggapan pada karya-karya yang dihasilkan, sehingga jembatan penghubung pengarang dan
khalayaknya. Dunia apresiasi sastra pun menjadi miskin dan sepi. Keluhan seperti ini dapat
dimaklumi karena memang tugas kritikuslah untuk menawarkan kemungkinan-kemungkinan
tafsir dan pemahaman atas karya-karya sastra kepada pembaca. Tetapi, apakah kerja kritik sastra
hanya menjadi kewajiban para akademisi sastra di universitas?
Pada titik ini, ketika peta jalan ke depan telah dipersiapkan oleh generasi demi generasi
pengarang, maka generasi pengarang masa kini tidak seyogyanya hanya menulis tetapi juga
memikirkan serta mengevaluasi tiap alternatif yang ditawarkan. Bila lintasan keindonesiaan ke
depan adalah menuju ke kebudayaan Indonesia yang mendunia, yang dibentuk oleh modernitas
yang telah diterjemahkan ke dalam konteks lokal, maka langkah yang perlu diambil selanjutnya
adalah bekerja untuk mewujudkan cita-cita itu, bila perlu mencoba menelusuri kembali riwayat
perjalanan gagasan-gagasan yang telah ditelurkan sebelumnya untuk memahami mengapa citacita itu begitu kukuh bertahan melewati berbagai zaman, agar langkah ke depan itu menjadi lebih
ajeg dan pasti. Ini adalah suatu ikhtiar besar yang tidak bisa dilaksanakan selama pencipataan
sastra dan kritik sastra masih dipandang sebagai dua dunia yang terpisah.
Kita tidak lagi memiliki pemikir-pemikir besar seperti STA, Muhammad Yamin, Tirto Adhi
Soerjo, Sutan Sjahrir, atau Tan Malaka. Mereka adalah orang-orang yang secara serius berpikir
tentang apa artinya menjadi Indonesia, dan gagasan-gagasan yang lahir dari kepala mereka masih
digali serta dipelajari orang hingga hari ini. Tiga dasawarsa lebih di bawah kekuasaan rezim
otoriter membuat generasi yang lahir dan besar pada masa itu serta sesudahnya tidak mampu
melahirkan pemikir-pemikir sekaliber tokoh-tokoh masa pergerakan itu. Mereka hidup pada era
ketika radikalisme dan militanisme seperti menjadi bagian dari gaya hidup. Namun, kini kita
mengalami paceklik pemikir besar. Maka, siapakah pada masa kini yang diharapkan bisa
mengambil estafet pengembangan pemikiran tentang Indonesia? Jelas bukan para selebriti politik
yang secara rutin muncul di layar televisi dan mengulang-ulang pernyataan yang sama, atau para
akademisi yang telah mengalami kejenuhan akibat overdosis kewajiban yang ditimpakan atas
mereka oleh negara. Mustahil dari mereka ini dapat diharapkan lahir gagasan-gagasan besar dan
mendalam tentang masa depan kita.
Maka, sebagai akibatnya, tinggal para pengarang yang masih memiliki otonomi relatif besar dan
ruang gerak yang cukup leluasa untuk mengambil peran sebagai ‘filsuf-filsuf’ Indonesia masa
kini lewat berbagai pemikiran yang mereka hasilkan dalam karya-karya yang tidak pernah
berhenti diproduksi meskipun aktivitas kritik sastra bergerak begitu lamban dan tersendat-sendat.
Para pengarang masa kini adalah juga para kritikus serius yang bergulat dengan persoalanpersoalan bentuk dan isi, yang merupakan manifestasi peta jalan Indonesia ke depan, sekaligus
penelur gagasan-gagasan. Merekalah semestinya filsuf-filsuf kontemporer kita kini. Menulis
adalah berpikir, bukan suatu keisengan atau pelarian dari kejemuan, dan berpikir adalah
memproduksi pemahaman serta pengetahuan, bukan kerja sambilan di sela-sela kesibukan lain.
Hanya pengarang yang memiliki kedua kapasitas itu secara bersamaan, dan itu dimungkinkan
oleh adanya otonomi kreatif tadi.
Penutup
9

Dalam sebuah diskusi yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki pada 2014, dalam rangka
ASEAN Literary Festival, saya mendorong para pengarang untuk berani menolak godaan
menulis dan berpikir sebagai kerja antara belaka atau memandang diri mereka sebagai
‘salesman’ semata. Mereka tidak perlu membebani diri dengan kewajiban mengemas dan
menghias karya-karya mereka agar laku dijual atau untuk memikat penerbit dan penerjemah.
Tugas mereka tidak berhenti dengan selesainya sebuah tulisan, tetapi mereka masih harus
bergulat untuk menguji pemikiran-pemikiran mereka sendiri serta pengarang sezaman yang lain,
sehingga pada akhirnya lahir sebentuk pengetahuan baru tentang diri kita sendiri yang akan
memperlihatkan siapa kita dan di mana kita berdiri di masa depan. Para pengarang masa kini,
dengan demikian, adalah mereka yang di pundaknya memikul tugas untuk mengawal bangsa
menuju ke takdirnya melalui jalan yang sudah dibukakan oleh para sastrawan-pemikir
sebelumnya, dan yang etape berikutnya harus mereka emban.
Oleh sebab itu, kerja menulis tak bisa tidak harus dilakukan secara serius dan dengan komitmen
penuh. Ia sama sekali bukan kerja main-main. Setiap tulisan membawa kandungan gagasan
untuk ditawarkan, dipergumulkan, dan dimatangkan. Di dalam proses itulah pengarang, tak bisa
ditolak, adalah juga kritikus, dan bahkan filsuf, sebab mereka merumuskan pengertianpengertian baru tentang Indonesia yang adalah warga dunia. Pada era inilah tugas pengarang
mencapai puncaknya. Inilah periode terberat dan paling menantang tetapi juga menjanjikan
banyak petualangan estetik dan intelektual bagi sastrawan yang bekerja sepenuh hati. Mereka
mungkin bukan ‘nabi-nabi baru’ zaman ini, tetapi beban sejarah yang mereka pikul tidak kalah
beratnya daripada tugas para nabi pada masa lampau. Kerja berat yang barangkali tak dihargai
orang ataupun mendatangkan keuntungan pribadi, namun bagaimanapun juga tetap harus
ditunaikan karena itulah kodrat mereka.
Saya mengamati para penulis muda saat ini memiliki perhatian dan keprihatinan besar pada
berbagai persoalan sosial dan kemanusiaan yang terjadi di negeri ini. Mereka menulis tentang
penindasan dan ketidakadilan di Papua, Bali dan Lombok; tentang kekerasan dan intoleransi di
Ambon dan Aceh; dan tentang sejarah yang dimanipulasi dan diselewengkan demi kepentingan
kekuasaan. Kita cukup menyimak dengan saksama apa yang dituangkan oleh penulis-penulis
kontemporer, seperti Okky Madasari, Erni Aladjai, Zubaidah Djohar, Anindita Thayf, Steve Elu,
dan Astina Triutami tentang kebebasan dari kebencian, cinta di tengah kecamuk kekerasan,
penolakan untuk melupakan kesewenang-wenangan, perlawanan terhadap ketidakadilan, dan
perjuangan hidup orang-orang terbuang, untuk dapat menangkap adanya keterlibatan yang intens
dan sejati dalam karya-karya mereka pada pencarian jalan keluar yang bermartabat bagi
segudang persoalan bangsa.
Estetika mereka boleh jadi dipertanyakan keunggulannya, tetapi estetika dalam karya-karya
mereka juga tidak semestinya diukur atau dinilai dengan menggunakan paradigm-paradigma
yang mungkin saja, pada masa serta periode berbeda, menjadi tolok ukur keunggulan. Seperti
kebimbangan, yang justru menjadi kekuatan estetika para pengarang pasca-Orde Baru, bagi para
penulis generasi sekarang keterlibatan sosial adalah tolok ukur utama estetika mereka. Solusi apa
yang mereka imajinasikan dalam memecahkan konflik antar-kelompok, kemiskinan, atau isu
sosial lainnya itulah tawaran pemikiran mereka bagi zaman ini. Kita sebaiknya mulai
mendengarkan apa yang mereka katakan.
10

*****

Daftar Acuan
Bandel, K. (2006). Sastra, Perempuan, Seks.Yogyakarta: Jalasutra.
Budiman, M. (2011). “Meramu Estetika Kebimbangan: Telaah atas Visi Beberapa Pengarang
Perempuan Indonesia Pasca-1998.” D. Kemalawati dkk. (ed), Risalah dari Ternate:
Bunga Rampai Telaah Sastra Indonesia Mutakhir. Ternate: Ummu Press, 31-51.
Bodden, M. (2007a). “Cosmopolitanism, Transgression and Public Debate about Culture in
Contemporary Indonesia: Ayu Utami’s Saman and Its Successors”, kertas kerja dalam
International Convention of Asia Scholars V, Kuala Lumpur, 2-5 Agustus.
Bodden, M. (2007b). “’Shattered Families’: ‘Transgression’, Cosmopolitanism and Experimental
Form in the Fiction of Djenar Maesa Ayu.” Review of Indonesian and Malaysian Affairs,
Vol. 41, No. 2, 95-125.
Day, T. dan M.H.T. Liem (ed) (2010). Cultures at War: The Cold War and Cultural Expression in
Southeast Asia. Ithaca: Southeast Asia Program Publications, Cornell University.
Foulcher, K. (2009). “Menjadi Penulis Modern: Penerjemahan dan Angkatan 45 di Jakarta Masa
Revolusi.” H. Chambert-Loir (ed), Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan
Malaysia. Jakarta: KPG, 835-853.
Hellwig, T. (1994). In the Shadow of Change: Women in Indonesian Literature. Berkeley:
Centers for Southeast Asian Studies, Monograph no. 35, University of California.
Jedamski, D. (2002). K. Foulcher dan T. Day (ed) Clearing a Space: Potcolonial readings of
modern Indonesian literature. Leiden: KITLV Press.
Loekito, M. (2003). “Perempuan dan Sastra Seksual.” A.Y. Herfanda et al (ed), Sastra Kota:
Bunga Rampai Temu Sastra Jakarta 2003. Yogyakarta: Dewan Kesenian Jakarta dan
Bentang Budaya, 130-156.
Malna, A. (2000). Sesuatu Indonesia: Personifikasi Pembaya-Yang-Tak-Bersih. Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya.
Malna, A. (2011). “Estetika Pembelahan dan Pengembaran dari Epidemi Sejarah: Usaha Melihat
Estetika Sastra Abad ke-21.” D. Kemalawati dkk. (ed), Risalah dari Ternate: Bunga
Rampai Telaah Sastra Indonesia Mutakhir. Ternate: Ummu Press, 3-30.

11

Mihardja, A.K. (ed) (1998). Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.
Paramaditha, I. (2004). “Seksualitas Remaja dalam Biru and Mereka Bilang, Saya Monyet!”
Prosa 4. Jakarta: Metafor Publishing, 133-150.
Sambodja, A. (2010). Historiografi Sastra Indonesia 1960-an. Jakarta: bukupop.
Biodata Penulis
Manneke Budiman, pengajar sastra dan cultural studies pada Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia. Pernah belajar Sastra Inggris, Sastra Bandingan, British Cultural
Studies, dan Kajian Asia. Menjadi Editor Seri untuk seri penerbitan Kota, Kata, dan Kuasa
(Penerbit Ombak, Yogyakarta), serta anggota Dewan Editor untuk Jurnal Ilmu Pengetahuan
Budaya WACANA, MAKARA Journal of Human Behavior Studies in Asia (Hubs-Asia), dan
Jurnal Perempuan. Fokus penelitiannya saat ini adalah pada artikulasi identitas sebagai inisiatif
komunitas lokal dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi di sejumlah wilayah di
Indonesia.

12