62081186 Model Pendidikan Berkarakter. pdf

MODEL PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

Penulis

DR. Achmad Husen, M.Pd DR. Muhammad Japar, M.Si Yuyus Kardiman, M.Pd

Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh dari isi buku ini tanpa ijin tertulis

Cetakan I: 2010

SAMBUTAN

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

D egradasi moral yang melanda bangsa Indonesia saat ini menjadi keprihatinan semua pihak. Banyak perilaku elemen masyarakat yang menunjukkan lemahnya karakter sebagai suatu bangsa yang besar. Untuk itu perlu disikapi dengan langkah-langkah nyata oleh semua elemen masyarakat baik itu keluarga, sekolah, masyarakat, media massa maupun perguruan tinggi. Perguruan tinggi memiliki peranan starategis dalam melaksanakan pendidikan karakter. Upaya itu dapat berbentuk mata kuliah tersendiri (monolitik), terintegrasi dalam mata kuliah yang relevan, juga pencipataan kultur kampus yang mendukung terbentuknya pendidikan karakter guna membangun karakter yang kuat bagi civitas akademika perguruan tinggi.

Dalam rangka menjalankan peran itu, kami bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izin-Nyalah, maka buku MODEL PENDIDIKAN

KARAKTER BANGSA: SEBUAH PENDEKATAN PEMBELAJARAN MONOLITIK DI UNIVERSITAS NEGERI

JAKARTA ini dapat diselesaikan. Buku ini merupakan best practices yang merupakan pengalaman dalam menjalankan mata kuliah pendidikan karakter di Program Studi PPKN Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta. Dalam kesempatan ini juga kami menyambut baik dan memberi apresiasi yang tinggi kepada tim penulis buku, yaitu Saudara Achmad Husen, Saudara Muhammad Japar dan Saudara Yuyus Kardiman yang telah memberikan komitmen yang tinggi dalam menyelesaikan buku ini.

Terima kasih ini kami sampaikan kepada Direktorat Ketenagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional yang telah mendukung dan membiayai penyusunan buku ini.

Sebagai langkah awal dalam pengembangan pendidikan karakter, penulisan buku ini belumlah sempurna, oleh karena itu kritik dan masukan penting bagi tim penulis agar dapat disempurnakan di kemudian hari. Semoga usaha kita untuk membangun karakter bangsa mencapai hasil yang optimal. Terima kasih.

Jakarta, Desember 2010

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Drs. Komarudin, M.Si

Kata Pengantar

P idato Pembelaan Bung Karno di muka Hakim Kolonial pada tahun 1930 menegaskan : “Kalau bangsa Indonesia ingin mentjapai kekuasaan politik, jakni ingin merdeka, kalau bangsa kami itu ingin menjadi tuan di dalam rumah sendiri, maka ia harus mendidik diri sendiri, menjalankan perwalian atas diri sendiri, berusaha dengan kebiasaan dan tenaga sendiri!” (Soekarno, 1930:92).

Pernyataan Bung Karno di atas menunjukkan bahwa salah satu karakter warga negara Indonesia yang harus di bangun adalah karakter kemandirian sebagai sebuah bangsa yang dapat terwujud dengan berusaha dan pembiasaan. Seorang Aristoteles menjelaskan bahwa karakter sangat erat hubungannya dengan kebiasaan (Habits). Diperjelas oleh Lickona (1992) yang mengatakan bahwa untuk mendapatkan kararakter yang baik (good character) maka setiap warga negara harus melakukan kebiasaan pikiran, kebiasaan hati dan kebiasaan dalam tindakan (habits of mind, habits of heart and habits of action).

Dari uraian di atas, maka secara sederhana karakter seseorang atau sekumpulan orang atau bangsa berasal dari kebiasaan atau perilaku yang terbiasa (habits). Perilaku yang terbiasa berasal dari tindakan pertama (action) yang dikendalikan oleh cara berpikir (mind seat). Sehingga langkah awal membangun karakter adalah harus di mulai dari membangun cara berpikir (mind seat) terlebih dahulu, sehingga bisa tercipta kebiasaan berpikir yang baik, kebiasaan merasakan hal yang baik, kebiasaan berperilaku baik dan harapannya akhir adalah terbentuknya karakter yang baik (good character). Tentunya satu-satunya senjata yang ampuh untuk membentuk kebiasaan itu adalah melalui pendidikan.

Buku Model Pendidikan Karakter : Sebuah pendekatan monolitik di Universitas Negeri Jakarta ini di susun sebagai bagian kerjasama antara Direktorat Ketenagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional dengan Universitas Negeri Jakarta dalam upaya membangun kararter bangsa khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi. Buku ini memberikan panduan baik kepada mahasiswa untuk melakukan pembiasaan pikiran, pembiasaan hati dan pembiasaan tindakan maupun kepada Pergurua Tinggi Lain khususnya LPTK sebagai bahan bandingan dalam menyelenggarakan kegiatan Pendidikan Karakter.

Sebagai penulis kami telah mengeluarkan kemampuan terbaik dalam menyusun buku ini, namun tentunya buku ini masih banyak memiliki kelemahan, sehingga dengan lapang dada kami akan menerima saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan buku ini di masa datang. Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materil sehingga buku ini terbit. Terimakasih.

Jakarta, Desember 2010

Penulis.

Daftar Isi

Sambutan Dekan ~ iii Kata Pengantar ~ v Daftar Isi ~ vii

Bab I, Pendahuluan ~ 1

A. Latar Belakang ~ 1

B. Tujuan ~ 6

Bab II, Landasan Teori dan Deskripsi Model ~ 9

A. Konsep Karakter ~ 9

B. Konsep Karakter Bangsa ~ 13

C. Konsep Pendidikan Karakter ~ 18

1. Arti Penting Pendidikan Karakter di LPTK ~ 22

2. Kunci Sukses Pendidikan Karakter ~ 23

a. Dari Knowing menuju Doing ~ 23

b. Identiikasi Karakter ~ 26

3. 11 Prinsif Pendidikan Karakter ~ 29

D. Deskripsi Model Pendidikan Karakter ~ 30

1. Model Monolitik ~ 30

2. Model Terintegrasi ~ 31

3. Model di Luar Pengajaran ~ 32

4. Model Gabungan ~ 32

Bab III, Metode Pelaksanaan Pendidikan Karakter ~ 35

A. Prosedur/Metode Pelaksanaan ~ 35

B. Pelaksanaan Pendidikan Karakter ~ 36

1. Penetapan kontrak perkuliahan dengan membangun harapan dan komitmen ~ 36

2. Menemukenali Kata-kata Hikmah dan memasangnya di ruang kelas dan di tempat-tempat strategis di kampus ~ 38

3. Meningkatkan Minat Baca dengan Menyusun Resensi ~ 39

4. Mahasiswa Mengamati dan Mengabarkan Kebajikan (Story Telling) ~ 39

5. Dosen Menyaksikan atau Mengetahui Kebajikan dan Mengabarkannya ~ 40

6. Mengembangkan Suasana Apresiatif ~ 41

7. Menemukenali Tokoh Idola ~ 42

8. Meningkatkan Kebersihan dan Kerapian Kelas ~ 43

9. Memulai perkuliahan dengan berdoa ~ 44

10. Peduli terhadap Masalah Masyarakat, Korban Bencana atau Kemalangan ~ 44

11. Nonton Bersama Film yang Bertemakan Pendidikan Karakter, Sejarah Perjuangan dan Kemanusiaan ~ 46

12. Bekerja dalam Kelompok ~ 47

13. Melibatkan Orang-tua dalam Pendidikan Karakter ~ 47

14. Releksi ~ 48

Bab IV, Penutup ~ 51 LAMPIRAN ~ 53

Lampiran 1, Silabus Pendidikan Karakter ~ 53

Lampiran 2, Proil manusia berkarakter, Harapan dan Komitmen Kelas ~ 58 Lampiran 3, Kata-kata hikmah ~ 64 Lampiran 4, Buku-Buku yang diresensi ~ 124

Lampiran 5, Releksi ~ 126 Lampiran 6, CD Kegiatan Pendidikan Karakter

Daftar Pustaka ~ 145

BAB I MODEL PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

Sebuah Pendekatan Monolitik di Universitas Negeri Jakarta

A. Latar Belakang

K ehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia telah menunjukkan adanya degradasi atau demoralisasi dalam pembentukan

karakter dan kepribadian Pancasila. Degradasi nilai-nilai dan moral Pancasila sebagai inti atau core values dari pembentukan karakter Pancasila tersebut tidak saja terjadi di kalangan masyarakat awam tetapi juga sudah merambah ke kepribadian para profesional, tokoh masyarakat, para terpelajar, para pendidik, elit politik, bahkan hingga para pemimpin bangsa dan negara. Adalah wajar, bila banyak penilaian masyarakat internasional yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara terkorup di dunia dan birokrasi pemerintahan di Indonesia adalah birokrasi pemerintahan paling buruk kedua di dunia. Belum lagi, banyak fakta lainnya yang menunjukkan bahwa degradasi nilai-nilai dan moral Pancasila itu telah terjadi dari tingkat akar rumput hingga para pemimpin bangsa. Kasus narkoba yang makin subur, pertikaian bersenjata antar kelompok massa yang menjadi tontonan di televisi, kekerasan terhadap anak dan perempuan, pornograi dan pornoaksi yang makin vulgar ditunjukkan oleh kalangan muda hingga elit politik, hubungan seks bebas yang makin menjangkiti kalangan generasi muda siswa dan mahasiswa, tindakan KKN

di mana-mana, kasus maia hukum dan peradilan, gerakan terorisme oleh di mana-mana, kasus maia hukum dan peradilan, gerakan terorisme oleh

Proses degradasi nilai dan moral tersebut telah mengalami proses yang lama hingga memunculkan karakter manusia Indonesia yang cenderung memiliki nilai-nilai yang mengagungkan dan mengukur keberhasilan seseorang dari aspek kebendaan. Sebagai contoh, perilaku korupsi bahkan dikatakan telah membudaya di Indonesia. Jika pembudayaan nilai-nilai menyimpang tersebut pada dasarnya juga adalah hasil proses pendidikan (karena pembudayaan tidak bisa dilepaskan dari pendidikan), maka dapat dikatakan pula bahwa ada yang salah dalam proses pendidikan di negeri ini dalam waktu yang lama sehingga melahirkan generasi masyarakat yang kurang berkarakter Pancasila. Pendidikan di Indonesia ditengarai kurang berbasis pada pendidikan karakter Pancasila, melainkan lebih mendominankan atau menyombongkan pendidikan yang takabur pada keunggulan berpikir logika kognitif belaka. Menurut Mahatma Gandhi pendidikan tanpa basis karakter adalah salah satu dosa yang fatal. Theodore Roosevelt juga pernah menyatakan bahwa: “to educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat) (Russell T. Williams, 2010; Ratna Megawangi, 2010). Jelaslah bahwa pendidikan karakter itu sangat penting dan mendesak dikembangkan dan dilaksanakan di Indonesia.

Bila diperhatikan dengan cermat, konstitusi Indonesia telah mengamanatkan pentingnya pendidikan karakter, seperti bunyi pasal 31 ayat 3 yaitu “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Untuk menjalankan amanah itu maka UU

No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab. Salah satu pilar yang harus menjalankan pendidikan karakter adalah perguruan tinggi.

Lembaga Pendidikan Tinggi atau Perguruan Tinggi harus ikut mengambil peran ikut bertanggung jawab untuk mengembangkan dan melaksanakan pendidikan karakter bangsa berbasis Pancasila dalam rangka memajukan keberadaban bangsa. Sesuai dengan visi Kementerian Pendidikan Nasional yang tertuang dalamKerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (KPPT-JP) IV (2003-2010), maka pendidikan tinggi di Indonesia diarahkan untuk mampu membentuk insan yang berkarakter dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa. Kebijakan dasar untuk mencapai visi tersebut adalah adanya kesadaran bahwa daya saing bangsa hanya dapat dicapai dalam bingkai karakter bangsa dan peradaban yang kuat. Pendidikan tinggi sebagai kelanjutan dan titik kulminasi proses pendidikan dalam jenjang pendidikan formal jelas memiliki peran dan tanggung jawab dalam memantapkan pembinaan karakter bangsa yang telah dibangun dan dikembangkan sejak pendidikan dasar. Untuk itu pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab untuk menghasilkan sarjana yang memiliki pengetahuan yang kuat, memahami bagaimana menjadi warganegara yang baik dan mampu memimpin kehidupan yang bermakna (Brodjonegoro, S. S., 2003).

Salah satu sarana untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah pada kegiatan pembelajaran di kelas, dengan menjadikannya sebagai satu mata kuliah tersendiri. Mata kuliah ini unik dalam arti berbeda dengan mata kuliah lain. Mata kuliah ini berorientasi pada pengembangan karakter bagi mahasiswa dengan menjadikan teladan dan berbuat sebagai basis perkuliahan.

Bila menggunakan terminologi standar kompetensi lulusan maka pendidikan karakter di perguruan tinggi dapat dirumuskan sebagai Bila menggunakan terminologi standar kompetensi lulusan maka pendidikan karakter di perguruan tinggi dapat dirumuskan sebagai

1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri.

3. Kepekaan dan kepedulian sosial, bekerja sama dan gotong royong, serta bersatu dalam keberagaman

4. Demokratis, bertanggung jawab, dan partisipatif.

5. Berorientasi hidup sehat, hemat, dan bersahaja Dari standar kompetensi lulusan seperti di atas dapatlah kemudian

dikembangkan pada nilai-nilai yang lebih bersifat praksis antara lain sebagai berikut.

1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

2. Menghargai kebebasan dan keberagaman beragama dan berkeyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa

3. Toleransi dan saling menghormati terhadap sesama

4. Memajukan persaudaraan antar umat manusia

5. Kemampuan kerja sama dan cinta damai

6. Memajukan kehidupan berkelompok atau berorganisasi untuk menjalin kerjasama saling menguntungkan

7. Kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif

8. Gemar membaca untuk mengembangkan wawasan

9. Kemampuan melakukan inkuiri dan pemecahan masalah secara bermakna

10. Kemampuan mengambil keputusan dengan benar, baik, dan bijaksana.

11. Menghargai dan mengembangkan seni dan keindahan

12. Mengembangkan motivasi berprestasi dan rasa percaya diri (self- conidence)

13. Mandiri, memiliki etos kerja tinggi, mengembangkan semangat 13. Mandiri, memiliki etos kerja tinggi, mengembangkan semangat

14. Berdisiplin dan bertanggung jawab

15. Memiliki kemapuan kompetisi secara fair

16. Menjunjung persatuan dan kesatuan bangsa

17. Mengembangkan kepekaan sosial dan altruisme

18. Bersikap gotong royong

19. Memajukan semangat patriotisme dan kepahlawanan

20. Kesadaran nasionalisme dan dharma negara

21. Menghargai pluralisme dalam masyarakat

22. Kepedulian terhadap lingkungan

23. Menghargai, mencintai budaya dan mengembangkan produk bangsa sendiri

24. Jujur dan cinta kebenaran

25. Menghargai budaya malu berbuat salah (dosa) sekecil apapundan mengembangkan sikap anti korupsi

26. Mengembangkan semangat demokrasi, etika dialog, dan terbuka

27. Kemampuan berkomunikasi yang berpengaruh secara lisan dan tertulis

28. Menghargai dan mematuhi norma-norma dan hukum

29. Menghargai hak golongan minoritas dan kesetaraan gender

30. Partisipatif dalam kehidupan masyarakat dan mempengaruhi kebijakan publik

31. Hidup hemat dan bersahaja

32. Bertindak efektif dan eisien

33. Berorientasi hidup sehat baik secara isik maupun mental

34. Mengakui dan menghormati keseimbangan hak dan kewajiban

35. Keseimbangan orientasi masa lalu, masa kini, dan masa depan

36. Hidup teratur, bersih, rapi, dan tepat waktu Dalam menjalankan pendidikan karakter banyaknya perilaku atau nilai

yang dikembangkan bukanlah yang penting, tetapi yang lebih penting adalah terjadinya pembiasaan yang dapat dilakukan yang pada akhirnya akan membentuk karakter yang kuat bagi mahasiswa.

B. Tujuan

P enyusunan buku model pendidikan karakter di Universitas Negeri Jakarta bertujuan:

1. Mengidentiikasi pengalaman terpetik (best practices) pengembangan karakter yang dapat dijadikan model bagi perguruan tinggi lain,

2. Memberi penguatan dan motivasi bagi Universitas Negeri Jakarta untuk melanjutkan pendidikan karakter, yang pada akhirnya akan berdampak kepada peningkatan mutu pendidikan di Universitas Negeri Jakarta,

3. Mengembangkan model pendidikan karakter yang mencerminkan keragaman dan kearifanlokal.

C. Nilai-nilai yang Dikembangkan

N ilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Program Studi PPKN Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta dirumuskan sebagai berikut.

5. Tanggung jawab

6. Menghargai dan menghormati

7. Berbagi

Bab II

Landasan Teori dan Deskripsi Model

A. Konsep Karakter

S ecara umum istilah “karakter” yang sering disamakan dengan istilah “temperamen” ,”tabiat”, “watak” atau “akhlak” yang memberinya sebuah

deinisi sesuatu yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Secara hariah menurut beberapa bahasa, karakter memiliki berbagai arti seperti : “kharacter” (latin) berarti instrument of marking, “charessein” (Prancis) berarti to engrove (mengukir), “watek” (Jawa) berarti ciri wanci; “watak” (Indonesia) berarti sifat pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku, budi pekerti, tabiat, dan peringai. Dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki sejak lahir, Sehingga Doni Kusuma (2007:80) istilah karakter dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1995:445), istilah “karakter” berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain: tabiat, watak. Dalam istilah Inggris, karakter berpadanan dengan “character” yang dalam Oxford Advace Learner’s Dictionary of Current English (2000) dapat diartikan: (1) All the qualities and features that make a person, groups of people, and places different from others (semua baik kualitas maupun ciri- ciri yang membuat seseorang, kelompok orang atau tempat berbeda dari Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1995:445), istilah “karakter” berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain: tabiat, watak. Dalam istilah Inggris, karakter berpadanan dengan “character” yang dalam Oxford Advace Learner’s Dictionary of Current English (2000) dapat diartikan: (1) All the qualities and features that make a person, groups of people, and places different from others (semua baik kualitas maupun ciri- ciri yang membuat seseorang, kelompok orang atau tempat berbeda dari

personal qualities such as the ability to deal with dificult or dangerous situations (kualitas pribadi yang tangguh misalnya

kemampuan dalam menghadapi situasi yang sulit atau berbahaya); (4) the interesting or unusual quality that a place or a person has (kualitas menarik dan luar biasa yang dimiliki suatu tempat atau orang); (5)

a person, particularly an unpleasant or strange one (orang yang aneh atau tidak menyenangkan); (6) an interesting or unusual person (orang yang menarik dan luar biasa); (7) the opinion the people have of you, particularly of whether you can be trusted or relied on (pendapat khalayak tentang anda, apakah anda dapat dipercaya). Dari penjelasakan konsep karakter di atas, maka karakter pada nomor (5) dan (6) lebih bersifat informal sedangkan nomor (7) mengandung pengertian yang lebih bersifat formal.

Dalam pengertian hariah, sebagian para ahli berpendapat bahwa karakter mempunyai makna psikologis atau sifat kejiwaan karena terkait dengan aspek kepribadian (personality). Akhlak atau budi pekerti, tabiat, watak, atau sifat kualitas yang membedakan seseorang dari yang lain atau kekhasan (particular quality) yang dapat menjadikan seseorang

terpercaya dari orang lain. Dari konteks inipun, karakter mengandung unsur moral, sikap bahkan perilaku karena untuk menentukan apakah seseorang memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, hanya akan terungkap pada saat seseorang itu melakukan perbuatan atau perilaku tertentu.

Karakter yang baik menurut Maxwell (2001) lebih dari sekedar perkataan, melainkan sebuah pilihan yang membawa kesuksesan. Ia bukan anugerah, melainkan dibangun sedikit demi sedikit, dengan pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasaan, keberanian usaha keras, dan bahkan dibentuk dari kesulitan hidup.

Berkowitz (1998) menyatakan bahwa kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu.

Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri. Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domein affection atau emosi). Memakai istilah Lickona (1992) komponen ini dalam pendidikan karakter disebut “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat kebaikan. Menurut Lickona pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good” (moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling) dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham.

Menurut Q-Annes dan Hanbali (2008:1), bahwa karakter adalah lautan, tak selemai dan tak dapat diintervensi. Hal ini memperkuat bahwa karakter akan membedakan seseorang dengan orang lain. Dijelaskan lebih lanjut oleh Q-Annes dan Hanbali bahwa orang yang memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada begitu saja dari sono-nya, sementara, orang yang memiliki karakter lemah adalah orang yang tunduk pada sekumpulan kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya. (2008:2)

Menurut Cronbach (Spriya; 2007, Kardiman, 2008:25) menyatakan bahwa perilaku bersifat amoral apabila pelaku tidak menyadari atau tidak peduli dengan akibat dari tindakannya terhadap orang lain. Bayi yang belum punya konsep tentang baik atau buruk adalal amoral. Sementara seorang yang bijakdana (expendient) adalah juga berpusat ada dirinya namun perilakunya jauh terkontrol. Ia tahu pentingnya memperhatikan reaksi orang lain untuk mengenal lebih jauh lagi .

Menurut Sparks (Sapriya;2007, Kardiman, 2008:25) menyatakan bahwa secara umum fungsi dari karakter adalah : (1) one’s sense of right and wrong; (2) one’s standards of what is good and just; (3) one’s judgement of what constitutes good and bad behavior. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pada esensinya ada dua dimensi karakter; one is focused on the individual’s biliefs, amoral reseaning, and system of values; the other is focused on the individual’s actions and conduct. Dimensi pertama adalah konsep pengembangan karakter yang secara tradisional Menurut Sparks (Sapriya;2007, Kardiman, 2008:25) menyatakan bahwa secara umum fungsi dari karakter adalah : (1) one’s sense of right and wrong; (2) one’s standards of what is good and just; (3) one’s judgement of what constitutes good and bad behavior. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pada esensinya ada dua dimensi karakter; one is focused on the individual’s biliefs, amoral reseaning, and system of values; the other is focused on the individual’s actions and conduct. Dimensi pertama adalah konsep pengembangan karakter yang secara tradisional

Dalam National Conference on Character Bulding yang membahas The Need for Character Education yang diselenggarakan oleh International Education Foundation bekerjasama dengan DEPDIKNAS, BKKBN, DEPAG, UNDP dan sejumlah LSM di Jakarta (2005:6) mempertanyakan : What is meant by “character”? konferensi merumuskan pengertian karakter sebagai berikut:

Character has been deined as the inner disposition conductive to right

conduct. It is a person’s collection of attitudes and habits which enable and facilitate moral action. It is the foundation for all activity in the world; every task and every achievement bears the imprint of ones’s character. Moreover, as we shall see, one result of attaining good character is that individuals are able to love others well and become more productive citizens. Good character is thus the foundatio for all human endeavors.

Lebih lanjut, dalam dokumen konferensi tersebut dibahas pula perbedaan pengertian antara personality dan character. “personality is unique. It varies from person, as do talents and general abilities. Character, on the otehr hand, can be shared by many people. It is composed of virtues that are universal”. (2000:6)

Uraian di atas memperjelas bahwa istilah personality menunjukkan kekhasan atau ciri khas yang dimiliki oleh seseorang atau perseorangan, karena aspek pembawaan atau bakat dan kemampuan umum sedangkan istilah character menunjukkan kekhasan yang dimiliki sejumlah orang termasuk kebajikan-kebajikan yang bersifat universal. Sehingga dapat diilustrasikan mungkin saja seseorang personalitinya seorang periang atau Uraian di atas memperjelas bahwa istilah personality menunjukkan kekhasan atau ciri khas yang dimiliki oleh seseorang atau perseorangan, karena aspek pembawaan atau bakat dan kemampuan umum sedangkan istilah character menunjukkan kekhasan yang dimiliki sejumlah orang termasuk kebajikan-kebajikan yang bersifat universal. Sehingga dapat diilustrasikan mungkin saja seseorang personalitinya seorang periang atau

Dijelaskan pula bahwa pada intinya, karakter yang baik berada tertanam secara baik di dalam hati, yang disebut pula “moral heart” atau menurut Agustian (2007:25) suara hati yang terletak pada god spot. Secara khusus dinyatakan bahwa “heart is the source of the fundamental impulse for relatedness. it is what motivates a person to yearn to the joy of loving and being loved, the satisfaction of valuing and being valued” (National Conference on Character Building, 2000: 6). Yang menjadi persoalan apakah karakter tersebut terbangun atau tidak. Sehingga bagaimana untuk membangunkan kembali karakter yang baik (good character) maka Pendidikan karakter menjadi penting peranannya.

B. Konsep Karakter Bangsa

P ara ahli (Margenthau, 1993; Devos, 1968) mendeinisikan karakter

bangsa dalam konteks negara-bangsa (nation-state) sebagai salah satu unsur kekuatan nasional (national power) dalam politik antar bangsa.

DeVos (1968:14) mendeinisikan bahwa karakter bangsa sebagai berikut: the term “National Charaacter” is used to described

the enduring personality characteristic and unicue life style found among the populations of particular national states. Artinya, istilah karakter bangsa digunakan untuk mendskripsikan ciri-ciri kepribadian yang tetap dan gaya hidup yang khas yang ditemui pada penduduk negara bangsa tertentu. Karena terkait dengan masalah kepribadian yang merupakan bagian dari aspek kejiwaan maka diakui oleh Devos bahwa dalam konteks perilaku, karakter bangsa dianggap sebagai istilah yang abstrak yang terikat oleh aspek budaya dan termasuk dalam mekanisme psikologis yang menjadi karakteristik masyarakat tertentu.

Lebih lanjut, DeVos (1968:14) menguraikan bahwa secara historis, munculya kesadaran adanya perbedaan kebangsaan bermula di Eropa “...the defferences between Danes and Sweden, between

Belgians and Dutch, between Germans and Italians, or even between northem and southerm Italians and southern Belgians, or northen and southern Dutch”. Namun persepsi tentang perbedaan perilaku yang menimbulkan kesan verbal yang berusaha sungguh-sungguh mengkaji secara sistematis tentang persepsi

perbedaan dalam konigurasi kepribadian, baru muncul tahun 1940-an. Sejak saat itu, konigurasi “personality” berhasil dirumuskan oleh para antropolog bahkan dari pandangan budaya di luar Eropa.

Selama perang dunia II menurut sejumlah antropolog (Mead, 1953: Kardiner. 1939: Devos, 1960: Hagen, 1962) perhatian terhadap adanya perbedaan kepribadian antar bangsa yang disebabkan oleh perbedaan budaya seiring dengan munculnya perbedaan pemahaman terhadap konsep karakter bangsa di tengah masyarakat Barat. Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa analisis yang lebih sistematis tentang perbedaan dalam “national character” dalam masyarakat Barat menimbulkan pandangan-pandangan yang mengarah pada ketegangan secara perodik dan kesalah pahaman antara anggota aliansi dan kelompok-kelompok nasional yang bermusuhan. Pada masa perang, penelitian tentang “national character” terutama pada wilayah pendudukan atau wilayah jajahan tidak dapat dilakukan secara langsung sehingga Mead dan Metraux (1953) menamakannya “the study of culture at a distance” (dalam DeVos, 1968:15).

Pada dasarnya, kajian tentang “national character” berbeda-beda tergantung pada pendekatan yang digunakan oleh penulis. Mead (1953), pelopor yang gigih dalam mengkaji “national character” membedakan tiga pendekatan. Pertama, the analisys of reletionshif between the basic learning coomon to children with in a nation or culture and later characteristic witnessed in the behavior of adults with in the same society artinya, pendekatan yang menganalisis hubungan antara kebiasaan belajar anak-anak dalam suatu bangsa atau budaya dengan karakteristik yang terlihat dalam perilaku orang dewasa pada suatu masyarakat yang sama. Dalam pendekatan ini, pengalaman anak yang sedang tumbuh menjadi fokus utama. Kedua,. Societal studies of the pattern and stuctur of interversonal reletionshif. Artinya, pendekatan dilakukan dengan cara mengkaji pola dan struktur hubungan antar personal dalam masyarakat. Ada sanksi budaya dalam Pada dasarnya, kajian tentang “national character” berbeda-beda tergantung pada pendekatan yang digunakan oleh penulis. Mead (1953), pelopor yang gigih dalam mengkaji “national character” membedakan tiga pendekatan. Pertama, the analisys of reletionshif between the basic learning coomon to children with in a nation or culture and later characteristic witnessed in the behavior of adults with in the same society artinya, pendekatan yang menganalisis hubungan antara kebiasaan belajar anak-anak dalam suatu bangsa atau budaya dengan karakteristik yang terlihat dalam perilaku orang dewasa pada suatu masyarakat yang sama. Dalam pendekatan ini, pengalaman anak yang sedang tumbuh menjadi fokus utama. Kedua,. Societal studies of the pattern and stuctur of interversonal reletionshif. Artinya, pendekatan dilakukan dengan cara mengkaji pola dan struktur hubungan antar personal dalam masyarakat. Ada sanksi budaya dalam

pendekatan ini menjadi aspek kepribadian tertentu. Ketiga, studies comprising simple comparative descriftion those cultural

coniguration which distinguish one national unit from another, ifferent live styles and ways of loocking at things are deined

as part of national character. Artinya kajian yang meliputi uraian komparatif tentang semua konigurasi budaya yang membedakan suatu budaya dari budaya lainnya, perbedaan gaya hidup dan cara pandang

tentang sesuatu ditentukan sebagai bagian dari “national character”. Kardiner (1939) mengembangkan konsep “basic personality”, ialah

upaya untuk mendeinisikan komponen-komponen dari pengintegrasian kepribadian bersama yang dilakukan oleh sejumlah individu yang memiliki pengalaman budaya yang sama. Pertimbangan penting dalam mengkaji variabel “basic personality” adalah kedudukan atau keadaan kehidupan orang tua dalam masyarakat. Perubahan dalam struktur ekonomi sangat

besar mempengaruhi pengalaman anak-anak dan dapat mengubah keluarga inti, sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan dalam “basic personality” (DeVos, 1968: 15-16).

Kajian lain terhadap karakter bangsa “concernedwith correlating the central role of culturally prevalent chil-rearing practice with resultant personality modalities found in the adults” (DeVos, 1968:16). Artinya pengkajian yang terkait dengan hubungan dengan hubungan peran sentral budaya membesarkan anak umumnya dengan dampaknya pada perasaan pribadi masa dewasa. Melalui pendekatan ini dimungkinkan adanya pengkajian terhadap perbedaan dalam kelompok etnis dan golongan dalam suatu bangsa. dalam kaitan ini, ada upaya untuk mendeskripsikan praktek membesarkan anak pada kelompok etnis dan golongan tertentu secara sistematis.

Bentuk kajian selanjutnya dinamakan functional prerequities. Pendekatan ini “...examine the basic personality traits that are necessary for at leasts a working minority of individuals whitin a society to keep that society functioning on its own terms. Maksudnya, pendekatan ini mengkaji sifat-sifat dasar kepribadian yang diperlukan paling tida untuk kelompok pekerjaan minoritas dalam Bentuk kajian selanjutnya dinamakan functional prerequities. Pendekatan ini “...examine the basic personality traits that are necessary for at leasts a working minority of individuals whitin a society to keep that society functioning on its own terms. Maksudnya, pendekatan ini mengkaji sifat-sifat dasar kepribadian yang diperlukan paling tida untuk kelompok pekerjaan minoritas dalam

Dilihat dari sudut pandang sosiopolitis, maka salah satu tujan pokok kajian “national character” adalah mengkaji gejilak dalam struktur sosial dan politik negara-negara modern. (DeVos, 1968: 16). Gejolak sosial ini kerapkali muncul dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan cepat. Beberapa kajian tentang “national character” berupaya membedakan antara pola-pola masyarakat. Diantara orang yang mengkaji secara khusus tentang karakter nasional pada suatu negara antara lain : Barner (1948); Khatchatrian (2003); Antonov (2002).

Baner (1948) pernah menunjukkan teori sosial yang terjadi antara lit politik di masyarakat Rusia dan sejumlah individu yang tidak terlibat dalam keanggotaan partai komunis. Sedangkan Khatchatrian (2003)

sebagai seorang Rusia memberikan releksi pikirnya tentang karakter bangsa dengan menyatakan bahwa “each nation is unique and inimitable phenomenon ever marked in nature, which represents itself unmeasured value for the concrete nation as well as for the whole mankind”.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa suatu bangsa terbentuk dari sejumlah orang yang memiliki kesamaan bahasa, musik, tarian, kebiasaan dan tradisi khas yang dinamakan budaya bangsa yang merupakan karakter bangsa sebagai aspek psikologis atau bidang inti manusia. Oleh karena itu ia menegaskan bahwa

“National character belongs to any society distinguished historically and geographically and it manifests itself through inducement, norms of behaviour, measures, perceptions, the way of thinking, attitude to the surroundings. And, I believe this is the real essence of nation. It is something that differs one nation from the other.

Morgenthau (1963) memandang “national character” dalam konteks politik internasional. National character merupakan salah satu dari tiga faktor kualitatif sumber daya manusia yang menonjol sebagai kekuatan Morgenthau (1963) memandang “national character” dalam konteks politik internasional. National character merupakan salah satu dari tiga faktor kualitatif sumber daya manusia yang menonjol sebagai kekuatan

Keterkaitan yang begitu besar antara National Character dan National Power dalam konteks politik internasional ditegaskan oleh Morgenthau (1963:130-131) sebagai berikut.

National character cannot fail to inluence national power; for those who

act for the nation in peace and war, formulate, execute, and support its policies, elect and are elected, mold public opinion, produce and consume – all bear to a greate or lesser degree the imprint of those intellectual and moral qualities which make up the national character.

Morgenthau (1963) menggambarkan sejumlah bangsa yang memiliki character unggul yang membedakannya satu bangsa dari bangsa lain sebagai berikut.

The “elementary force and persistence” of the Russians, the individual

initiative and inventiveness of the Americans, the undogmatic common sense of the British, the discipline and thoroughness of the Germans are some of the qualities which will manifest themselves, for better or for worse, in all the individual and collective activities in which the members of a nation may engage. (1963:131)

Sebagai akibat dari perbedaan dalam national character maka pemerintah Jerman dan Rusia telah mampu membangun kebijakan luar negeri yang tidak mungkin dicapai oleh Amerika serikat dan Inggris pada waktu itu. “Antimiliterime, keengganan membangun tentara dan wajib militer merupakan ciri-ciri permanen dari karakter bangsa Amerika dan Inggris. Dengan demikian, karakter bangsa Jerman dan Rusia telah memberikan keuntungan awal dalam membangun kekuatan karena mereka dapat melakukan transfromasi pada masa damai dari bangsanya menjadi instrumen untuk beperang. Oleh karena itu, Morgenthau menegaskan lagi Sebagai akibat dari perbedaan dalam national character maka pemerintah Jerman dan Rusia telah mampu membangun kebijakan luar negeri yang tidak mungkin dicapai oleh Amerika serikat dan Inggris pada waktu itu. “Antimiliterime, keengganan membangun tentara dan wajib militer merupakan ciri-ciri permanen dari karakter bangsa Amerika dan Inggris. Dengan demikian, karakter bangsa Jerman dan Rusia telah memberikan keuntungan awal dalam membangun kekuatan karena mereka dapat melakukan transfromasi pada masa damai dari bangsanya menjadi instrumen untuk beperang. Oleh karena itu, Morgenthau menegaskan lagi

C. Konsep Pendidikan Karakter

S eperti di bahas pada bagian sebelumnya, bahwa pendidikan karakter memiliki peran penting untuk membangun karakter seseorang. Bukan saja saat ini sejak 2500 tahun yang lalu, Socrates telah berkata bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, sekitar 1500 tahun yang lalu Muhammad SAW, Sang Nabi terakhir dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character) dimana ajaran pertamanya adalan kejujuran (al-amien) serta bagaimana dapat membangun karakter yang baik tersebut maka saat itu pula telah di ajar bahwa manusia harus senantiasa mampu belajar (iqra) apakah belajar dari ayat-ayat yang tertulis maupun ayat-ayat yang tidak tertulis. Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah serupa, yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhamad SAW, bahwa moral, akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan. Begitu juga dengan Marthin Luther King Jr. menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan, “Intelligence plus character, that is the true aim of education”. Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan. Pakar pendidikan Indonesia, Fuad Hasan, dengan tesis pendidikan adalah pembudayaan, juga ingin menyampaikan hal yang sama dengan tokoh-tokoh pendidikan di atas. Menurutnya, pendidikan bermuara pada pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial (transmission of cultural values and social norms). Sementara Mardiatmadja menyebut pendidikan karakter sebagai ruh pendidikan dalam memanusiakan manusia.

Pemaparan pandangan tokoh-tokoh di atas ingin menunjukkan bahwa pendidikan sebagai nilai universal kehidupan memiliki tujuan pokok yang disepakati di setiap jaman, pada setiap kawasan, dan dalam semua pemikiran. Dengan bahasa sederhana, tujuan yang disepakati itu adalah merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahun, sikap dan keterampilan. Bila pendidikan senyatanya bertujuan seluhur itu, lalu bagaimana dengan implementasi dan realitas yang terjadi? Sejalankah usaha-usaha pendidikan yang terjadi selama ini dengan tujuan matau kulianya? Inilah yang mengusik banyak para pakar kelas dunia, sehingga bermunculanlah berbagai tawaran pendidikan alternatif. Hal yang paling menggelisahkan dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah kenyataan bahwa kompetensi yang ditampilkan para siswa sebagai out put pendidikan sangat kontradiktif dengan tujuan pendidikan.

Tak dapat dipungkiri, sekolah atau kampus memiliki pengaruh dan dampak terhadap karakter siswa atau mahasiswa, baik disengaja maupun tidak. Kenyataan ini menjadi entry point untuk menyatakan bahwa sekolah atau kampus mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pendidikan moral dan pembentukan karakter. Selanjutnya para pakar pendidikan terutama pendidikan nilai, moral atau karakter, melihat hal itu bukan sekedar tugas dan tanggung jawab tetapi juga merupakan suatu usaha yang harus menjadi prioritas.

Sementara itu, Berkowitz dan Melinda menambahkan 3 alasan mendasar lainnya. 1) Secara faktual, disadari atau tidak, disengaja atau tidak, sekolah atau kampus berpengaruh terhadap karakter siswa atau mahasiswa. 2) Secara politis, setiap negara mengharapkan warga negara yang memiliki karakter positif. Banyak hal yang berkaitan dengan kesuksesan pembangunan sebuah negara sangat bergantung pada karakter bangsanya. Demokrasi yang diperjuangkan di banyak negara, sukses dan gagalnya juga tergantung pada karakter warga negara. Di sinilah, sekolah harus berkontribusi terhadap pembentukan karakter agar bangsanya tetap survive. 3) Perkembangan mutakhir ternyata menunjukkan bahwa pendidikan karakter yang efektif mampu mendorong dan meningkatkan pencapaian tujuan-tujuan akademik sekolah atau kampus. Dengan kata lain, pendidikan karakter juga dapat meningkatkan pembelajaran. Dapat ditambahkan di sini, bahwa fenomena pengasuhan dalam keluarga (parenting) sekarang ini banyak yang sudah menyalahi Sementara itu, Berkowitz dan Melinda menambahkan 3 alasan mendasar lainnya. 1) Secara faktual, disadari atau tidak, disengaja atau tidak, sekolah atau kampus berpengaruh terhadap karakter siswa atau mahasiswa. 2) Secara politis, setiap negara mengharapkan warga negara yang memiliki karakter positif. Banyak hal yang berkaitan dengan kesuksesan pembangunan sebuah negara sangat bergantung pada karakter bangsanya. Demokrasi yang diperjuangkan di banyak negara, sukses dan gagalnya juga tergantung pada karakter warga negara. Di sinilah, sekolah harus berkontribusi terhadap pembentukan karakter agar bangsanya tetap survive. 3) Perkembangan mutakhir ternyata menunjukkan bahwa pendidikan karakter yang efektif mampu mendorong dan meningkatkan pencapaian tujuan-tujuan akademik sekolah atau kampus. Dengan kata lain, pendidikan karakter juga dapat meningkatkan pembelajaran. Dapat ditambahkan di sini, bahwa fenomena pengasuhan dalam keluarga (parenting) sekarang ini banyak yang sudah menyalahi

Argumen tajam lainnya disampaikan oleh Robert W. Howard. Menurutnya, sekalipun perdebatan seputar tujuan pendidikan tidak pernah berakhir, namun upaya mempersiapkan generasi baru dari warga negara merupakan suatu tujuan yang telah disepakati. Kewarganegaraan ini mempunyai dua dimensi politik dan sosial, yang keduanya menyatu dan terlibat dengan isu-isu moral. Tidaklah mungkin meninggalkan isu-isu moral ini di luar jangkauan sekolah. Sebagai konsekuensinya, pendidikan moral haruslah menjadi salah satu dari dua tujuan umum pedidikan; yang tujuan lainnya adalah mengajarkan kecerdasan dan kecakapan akademik (teaching academic content and skills).

Argumen-argumen di atas dengan jelas menunjukkan bahwa sekolah atau kampus tidak dapat menghindar dari pendidikan karakter. Sekolah atau kampus pun tidak dapat mengupayakan dan menerapkannya dengan tanpa kesungguhan. Sekolah atau kampus harus meyikapi pendidikan karakter seserius sekolah menghadapi pendidikan akademik, karena sekolah yang hanya mendidik pemikiran tanpa mendidik moral adalah sekolah yang sedang mempersiapkan masyarakat yang berbahaya. Kesimpulan serupa juga ditegaskan dalam Sister Mary Janet dan Ralp

G. Chamberlin. Menurutnya, sekolah atau kampus memiliki yang sangat signiikan dalam mengajarkan moral dan nilai-nilai agama.

Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter

T. Ramli (2003)mengemukakan bahwa pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah atau dikampus harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah atau kampus itu sendiri.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif,

hayat. Konigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati

(Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development).

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan

pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klariikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku

sosial. Berbeda dengan klasiikasi tersebut, Elias (1989) mengklasiikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif,