KERUGIAN EKONOMI AKIBAT SCABIES DAN KESU

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

KERUGIAN EKONOMI AKIBAT SCABIES DAN KESULITAN
DALAM PEMBERANTASANNYA
Budiantono
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI
Jalan Raya Sesetan 266, Denpasar (80223), Indonesia

RINGKASAN
Penyakit Scabies disebabkan oleh tungau, Sarcoptes scabiei . Penyakit kulit ini menyerang berbagai ternak;
kambing, domba, babi, sapi/kerbau dan anjing/kucing serta hewan liar. Tungau ini merusak epidermis dan bermukim
dilapisan keratin sehingga menyebebkan kerontokan kulit. Keberadaan tungau dipakai dasar diagnosa laboratorium,
yaitu dengan memeriksa kerokan kulit yang berkerak. Prevalensi penyakit Scabies dalam periode lima tahun terakhir
pada berbagai ternak di Indonesia adalah 0,022%. Khususnya pada ternak kambing di kabupaten Lombok Timur pada
tahun 1995 prevalensinya mencapai lebih dari 11%. Penyakit ini menyebabkan kerugian pada ternak kambing di
pulau Lombok sekitar Rp 1.633.158.750,- pertahunnya. Pengobatan yang paling efektif adalah menggunakan preparat
ivermectin yang aplikasi perenteral, maupun peroral. Obat-obat topical (BHC, coumaphos 0,1%, asunthol 0,04%,
neguvon 0,1% dan lain-lain) dan obat tradisional (belerang, kapur barus/ kamper dan lain-lain) dapat membantu, asal
aplikasi dan dosisnya akurat. Pada tahun 1993 di pulau Lombok terjadi wabah Scabies, maka dilakukan
pemberantasan. Penyakit ini menyerang hampir semua ternak kambing. Pemberantasan dilakukan dengan strategi
pengobatan masal dan serentak dengan menggunakan ivermectin. Kendala yang dihadapi adalah pengendalian lalu

lintas ternak kambing yang sedang dalam pengobatan; terbatasnya dana, khususnya untuk biaya kompensasi
mengeliminasi kambing tertular Scabies berat. Akibatnya pemberantasan Scabies menjadi kurang efektif. Tetapi
sebagai tindak pengendalian penyakit Scabies pada kambing dapat dikatakan berhasil. Karena penyebarannya di pulau
Lombok dapat ditekan dari 31 kecamatan menjadi 3 kecamatan saja.
Kata kunci : Scabies, kambing, prevalensi, pengobatan, pemberantasan di p.Lombok.

PENDAHULUAN
Scabies adalah penyakit kulit pada hewan yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei (sejenis
tungau), dapat menyerang semua hewan piaraan . Disamping itu juga tungau ini menyerang hewan liar
seperti misalnya; pada wombat, musang (Gray, 1937), dingo (McCarthy, 1960; Hoyte and Mason 1961)
dan hewan liar lainya (Sweatman, 1971; Meierhenry and Calusen 1977; Pence et al., 1983).
Hewan terserang mengalami penurunan kondisi tubuh, kerugian ekonomi, menimbulkan ketidak
senangan pemelihara dan lingkungan karena sifatnya yang zoonosis . Gejala klinis pada kulit hewan yang
terserang berupa adanya gatal-gatal (menggosok-gosokkan badan), luka pada kulit dan bulu rontok.
Penularan terjadi dengan cara kontak langsung antara hewan sakit dan hewan sehat (Anonimus, 1981).
Penyakit ini d Indonesia sudah lama dikenal dan diatur dalam Staatsblaad no.432 dan no. 435
tahun1912(Anonimus, 2001) dan termasuk penyakit hewan menular daftar B dalam SK Mentan No.487/
KPTD/UM/6/1981 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan Menular
(Anonimus, 1991). Akhir-akhir ini penyakit Scabies banyak dijumpai menyerang berbagai jenis hewan
piaraan yang sangat merugikan petani dan kesulitan dalam penangananinya (Anonimus 1982; Kertayadya

dkk. 1982; Putra dan Gunawan 1983; Manan dkk. 1984; Hasan dkk. 1985; Heriyanto 1990; Putra 1994).
Tulisan ini, terutama , akan mengkaji beberapa aspek kerugian ekonomi dan kesulitan dalam
pemberantasan penyakit Scabies pada ternak kambing yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei.

46

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

I. OVERVIEW ETIOLOGI, PATOGENESIS DAN DIAGNOSA SCABIES

I.1. Etiologi
Penyakit Scabies disebabkan tungau Sarcoptes scabiei. Tungau jantan berukuran panjang 213285µm dan lebar 162-210 µm, sedangkan yang betina berukuran panjang 300-504 µm dengan lebar 230420 µm. Tungau betina bertelur pada kulit dipinggir-pingir luka atau liang kulit, telur yang dihasilkan
sebnyak 40 -90 butir. Telur-telur ini kan menetas 1-5 hari menjadi larva berkaki enam. Larva berkembang
menjadi nimfa yang berkaki delapan tetapi belum mempuinyai alat-alat kelamin. Dari nimfa akhirnya
terbentuk tungau dewasa. Dari telur sampai dewasa diperlukan 11-16 hari. Tungau betina diperkirakan
hidup tidak lebih dari 40 hari. Tungau ini amat peka terhadap kekeringan.
Siklus hidup Sarcoptes scabiei hampir sama pada hewan ternak. Tungau ini masuk stratum
kurneum kulit. Tungau dewasa bertelur dengan jumlah telur 2-3 butir setiap hari per tungau dengan masa
bertelur sampai 2 bulan (Seddon,1968). Bahkan bisa 10-25 butir telur selama masa periode telur antara 1215 hari (Belschner, 1972). Betina segera mati setelah bertelur. Telur menetas pada 35oC dengan
kelembaban 100% setelah 2-3 hari dan menjadi larva; kemudian berubah menjadi nymphe, yaitu

protonymph dalam 3-4 hari Dan tritonymph dalam 2-3 hari; selanjutnya menjadi dewasa dalam waktu 2-3
hari. Total waktu yang diperlukan dari telur menjadi dewasa adalah 10-14 hari (Arlia & Vyszenski-Moher,
1988).
Tungau Sarcoiptes ini peka terhadap lingkungan. Pada kondisi lingkungan kering, tungau diluar
induk semang hanya bertahan 2-3 minggu, bisa sampai 8 minggu. Telur-telur masih fertil sampai 6 hari
pada kondisi kering, dan bisa sampai 6 minggu dalam kondisi lingkungan yang lembab (Abu-Samra et al.,
1981a)
I.2. Patogenesis
Penularan penyakit Scabies terutama terjadi secara kontak langsung antar ternak sakit dan ternak
sehat ; baik antara hewan piaraan maupun antara hewan piaraan dan hewan liar (Sweatman, 1971;
Anonimus,1981). Introduksi ternak baru yang subklinis penyakit Scabies, alat-alat peternakan yang
tercemar, maupun bekas kandang hewan penderita penyakit Scabies( Kertayadya dkk, 1982; Putra, 1994)
dan peternak yang terkena penyakit Scabies merupakan sumber penularan yang cukup potensial.
Masa inkubasi dari penyakit Scabies bervariasi antara 10-42 hari. Rasa gatal akan nampak lebih
jelas pada saat cuaca panas yaitu terjadi peningkatan aktifitas tungau (Sheahan, 1974). Bervariasinya
masa inkubasi ini diduga erat kaitannya dengan kelebatan dari bulu bagian tubuh yang terserang. Penderita
mengalami iritasi, tampak tidak tenang, menggosok-gosokkan tubuhnya, turunnya nafsu makan yang
mengakibatkan merosotnya kondisi tubuh, serta turunnya pertambahan berat badan, kelemahan umum dan
dapat berakhir dengan kematian. Disamping itu penderita dapat mengalami anemia (Sheahan, 1974; Putra
dan Gunawan, 1981; Abu-Samra et all., 1981a). Kejadian eosinofilia pada babi penderita (Sheahan, 1974)

dapat sampai 4-5%, serta pada kambing penderita sampai 16-30% (Abu-Samra et al.,1981a) dibanding
dengan hewan normal.
Pada kambing, dilaporkan oleh Abu-Samra et al. (1981a; 1984) bahwa lesi biasanya dimulai dari
bagian punggung dari hidung untuk selanjutnya dapat menyebar keseluruh tubuh. Bagian tubuh yang
lembab lebih disukai oleh tungau Sarcoptes dibandingkan dengan bagian tubuh yang kering.
Pada sapi, lesi pada penderita banyak dijumpai dikulit daerah leher, punggung dan pangkal ekor
(Lavigne and Smith, 1983), sedangkan pada penderita kronis lesi dijumpai pada daerah abdomen dan
ambing (Palmer and Amelsfoort, 1983; Hiepe,1982).

47

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Pada babi, lesi umumnya dapat dilihat pada daerah cungur, dorsal leher, bahu, daun telinga
(Wooten-Saadi et al.1987b), bagian dalam paha, sepanjang punggung, pangkal ekor dan pada kaki
(Seddon, 1968).
Tungau Sarcoptes mengisap cairan limfa dengan jalan melakukan perobekan lapisan epidermis,
dan memakan sel-sel jaringan epidermis muda. Hal ini menyebabkan timbulnya rasa gatal yang terus
menerus, sebagai akibatnya penderita akan menggosok-gosokkan tubuhnya sehingga mengakibatkan luka,
yang pada akhirnya memperburuk kondisi tubuh penderita. Pada awalnya kulit mengalami erithema,

kemudian berlanjut berbentuk papula, vesikula dan akhirnya terjadi peradangan yang diikuti oleh
pembentukan eksudat. Eksudat mengendap pada permukaan kulit sehingga terbentuk keropeng-keropeng/
kerak. Proses selanjutnya, akan terjadi keratinisasi dan proliferasi yang berlebihan dari jaringan ikat
sehingga menyebabkan bertambah tebalnya kulit serta terjadi pengkeriputan. Selanjutnya akan diikuti oleh
kerontokan bulu yang dapat terjadi pada seluruh permukaan tubuh (Soulsby, 1982; Nayel & AbuSamra,1986) sehingga kulit kelihatan gundul (Anonimus, 1981).
Menurut Morsy et al. (1989) jalannya penyakit Scabies dibagi 3 phase, yaitu phase pertama,
terjadi 1-2 hari setelah infestasi. Saaat ini tungau mulai menembus lapisan epidermis sehingga pada
permukaan kulit terdapat banyak lubang-lubang kecil. Pada phase kedua, tungau telah berada dibawah
lapisan keratin, permukaan kulit telah ditutupi oleh kerak/ keropeng yang tebal. Kerontokan bulu terjadi
pada phase ini dan phase ini terjadi setelah 4-7 minggu infestasi. Phase ketiga tampak kerak-kerak mulai
mengelupas sehingga pada permukaan kulit kembali terlihat lubang-lubang kecil. Phase terakhir ini terjadi
7-8 minggu setelah infestasi, tampak beberapa tungau meninggalkan bekas –bekas lubang tersebut.
Gambaran histopatologi menurut Jubb et al. (1985) lesi yang timbul bervariasi antara reaksi
infestasi parasit dan reaksi alergi. Pada penderita tampak sejumlah besar tungau dalam liang parakeratotik
di stratum corneum . Mereka membentuk lapisan kerak yang tebal dengan komposisi hiperkeratosis ortho
dan parakeratotik , cairan serum, debri neutrophilik dan sejumlah pecahan telur tungau. Pada epidermis
tampak gambaran hiperlasia yang hebat dengan formasi yang menggunung atau hiperplasia
pseudikarsinoma. Pada dermal lesi tampak vasodilatasi, pembengkakan endhotel , edema, fibrosis, infiltrasi
sel-sel mononuklear diperivaskular , eksocytosis neutrofil tergantung pada hebatnya infeksi sekunder. Pada
reaksi alergi yang akut, pada lesi tampak vasodilatasi yang hebat, edema kulit, infiltrasi limphositik dan

eosinophil diperivaskular , spongiosis dan hiperplasia pada epidermal . Pada reaksi alergi yang kronis
menggambarkan luka berat dengan fibrosis kulit, hiperplasia epidermis dan dominan infiltrasi sel-sel
monuklear di perivaskular
I.3. Diagnosa Scabies
Penyakit Scabies dapat didiagnosa dengan melihat gejala-gejala klinis dan histopatologi. Untuk
konfirmasi dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu dengan pemeriksaan mikroskopik dari bahan
kerokan dengan atau tanpa dibubuhi NaOH atau laktofenal. Luka-luka dikerok dengan skalpel atau pisau
sampai terlihat lapisan kulit yang agak basah. Hasil kerokan di tampung pada cawan petri. Untuk
pemeriksan segar sediaan langsung diperiksa dibawah mikroskop. Tungau tampak bergerak-gerak. Pada
pemeriksaan mikroskopik dapat diidentifikasi jenis tungaunya (Anonimus, 1981).Sedangkan diagnosa
secara histopatologi dapat dibuat biopsi kulit yang berlesi dari hewan yang menunjukan kegatalan yang
hebat (Jubb et al. 1985).
Beberapa jenis penyakit kulit dapat mengacaukan diagnosa klinik. Identifikasi tungaulah dipakai
sebagai pegangan, dibedakan dengan penyakit jamur yang ditemukan yaitu spora hifanya. Kesulitan lain
adalah dalam kasus Scabies subklinis. Mungkin diperlukan teknik khusus untuk pendiagnosaan, seperti
teknik serologi (Pruett et al, 1986). , PCR dan lain-lain yang masih taraf percobaan .

48

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004


II. PREVALENSI SCABIES PADA BERBAGAI TERNAK DI INDONESIA DAN TAKSIRAN
KERUGIAN EKONOMI YANG DITIMBULKANNYA

II.1. Prevalensi Scabies pada berbagai ternak di Indonesia
Di Indonesia hewan yang sering menderita akibat penyakit Scabies adalah hewan ternak kambing,
babi,sapi, kelinci dan hewan pet animal yaitu anjing, kucing. Sedangkan pada ternak kerbau penyakit
Scabies jarang menimbulkan masalah. Penyakit ini menyerang pada individual, kemudian meluas ke
populasi.
Ada kecenderungan
ternak dengan kondisi jelek lebih rentan terhadap penyakit
(Anonimus,1981). Khusus pada ternak muda angka kematian penderita mencapai 50%, tergantung dari
pada kondisi ternak dan lingkungannya (Anonimus, 2001). Putra (1994) mengatakan Sarcoptes scabiei
memiliki host range yang sangat luas atau dengan kata lain tidak memiliki spesifiksitas hospes.
Sifat penyakit Scabies adalah endemis, hanya kadang-kadang dapat terjadi wabah yang dapat
menyerang sebagian ternak. Berdasarkan laporan investigasi tahun 1981 penyakit Scabies dilaporkan
menduduki rangking kedua setelah ND dari penyakit-penyakit yang ditemukan menyerang ternak
(Anonimus,1982). Ditambahkan Putra dan Gunawan (1983) adanya wabah Scabies yang menyerang dua
peternakan kambing di Bali. Peternakan yang satu memiliki 29 ekor kambing dan semuanya menderita
Scabies, dan 35% (20 dari 55 ekor) terjadi pada peternakan lainnya. Sedangkan Manan dkk.(1983)

melaporkan di Sumatra Barat bahwa sekitar 8% dari kambing lokal dan 25% dari kambing peranakan
etawa menderita Scabies. Pada tahun 1984 di Indonesia ditemukan hampir 70.000 kasus Scabies pada
kambing berdasarkan laporan-laporan Dinas Peternakan (Tomaszewska et al., 1993). Sekitar 2.640 kasus
Scabies telah dilaporkan dan dijumpai menyerang berbagai jenis ternak seperti sapi, kambing, kelinci dan
anjing di wilayah kerja Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI.(Putra, 1994). Sumardjono (1995)
melaporkan di pulau Lombok terjadi wabah, 9.073 kasus Scabies di Kabupaten Lombok Timur dengan
prevalensi 11%.
Variasi prevalensi penyakit Scabies di Indonesia cukup bervariasi. Hal ini sejalan dengan
pendapat Putra (1994) yang mungkin disebabkan oleh berbagai faktor individu/host dan lingkungan.
Faktor-faktor predisposisi pada host seperti kekurangan vitamin A, kekurangan protein, infestasi atau
penyakit lainnya (Sweatman,1971;Samuel 1981; Higgins et al.,1984), bulu yang lebat (Sheahan, 1974),
ternak muda lebih peka terhadap Scabies (Seddon,1968; Putra dan Gunawan,1982), kulit tidak berpigmen
lesi Scabiesnya lebih keras dari pada kulit yang berpigmen (Brakenridge, 1958; Abu-Samra et al., 1984).
Faktor lingkungan seperti kelembaban yang tinggi meningkatkan daya hidup Sarcoptes (Ibrahim & AbuSamra, 1987), lingkungan padat populasi memberi peluang terkena Scabies (Hiepe,1982), musim dingin
lebih banyak kasus Scabies (Lodha, 1966; Sweatmen, 1971; Samuel, 1981, musim hujan kasus Scabies
meningkat (Abu-Samra et al.,1981b; Putra, 1994).
Menurut laporan hasil diagnosa Scabies 5 tahun terakhir di 6 BPPV di Indonesia yaitu laporan
diagnosa BPPV II Bukit Tinggi tahun 2002 peta penyakit Scabies ada 553 kasus dengan perincian di
Karimun 294 kasus, di Siak 224 kasus dan Kepulauan Riau 35 kasus yang menyerang berbagai hewan
kambing, sapi, anjing dan kucing. Laporan diagnosa BPPV III Lampung tahun 1999, 2000, 2002 kasus

Scabies rata-rata 12 kasus dan 6 kasus selama tahun 2003 pertahunnya. Laporan diagnosa BPPV IV
Jogjakarta tahun 2001 dan 2001 kasus penyakit Scabies adalah 124 kasus dan 77 kasus pada kambing, sapi,
kelinci dan anjing. Laporan diagnosa BPPV VI Denpasar tahun 1999, 2000, 2001, 2002 dan 2003 adalah
80 kasus, 30 kasus, 56 kasus, 2 kasus dan 107 kasus pada berbagai ternak, kambing, babi, sapi, dan anjing.
Laporan diagnosa BPPV VII Maros kasus Scabies tahun 1999, 2000, 2001, 2002 adalah 1.436 kasus (1151
kasus di Sulawesi Tenggara), 130 kasus, 13 kasus, 115 kasus (74 kasus di Pare-pare). Populasi terancam
ternak kambing, babi, sapi di Indonesia adalah 12.456.400 ekor, 5.866.800 ekor dan sapi potong
11.191.700 ekor, sapi perah 368.500 ekor (Anonimus, 2001). Prevalensi periode 5 tahun terakhir kasus
penyakit Scabies di Indonesia adalah 0,022%.

49

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

II.2. Taksiran Kerugian Ekonomi
Kerugian ekonomi yang timbul akibat Scabies berupa; turunnya produksi (daging, air susu, kulit,
wool), turunnya ”feed conversion efficiency”, kematian penderita dan pembelian obat-obatan serta biaya
untuk tenaga kesehatan (Putra, 1994).
Pada babi yang menderita Scabies ”feed conversion efficiency” nya dapat turun sampai 9-13%
(Cargill and Dobson, 1979; Dalton and Ryan, 1988). Pertambahan berat badan anak babi penderita Scabies

yang tidak diobati lebih rendah dibandingkan anak babi yang diobati (Sheahan et al., 1974, Hewet and
Heard, 1982). Sehingga ongkos produksi daging akan meningkat
Sapi perah yang menderita Scabies, jika diobati dengan insektisida akan menimbulkan residu
dalam air susunya (Hiepe, 1982). Sehingga produksi air susu yang dapat dikonsumsi akan menurun dan ini
menimbulkan kerugian ekonomi.
Pada kambing dan domba yang terkena Scabies mengakibatkan penurunan kualitas kulit maupun
woolnya (Seddon, 1968; Swarup et al.,1983). Sehingga nilai jual kulit dan wool akan menurun. Diketahui
bahwa kulit kambing di Indonesia, terutama di pulau Jawa sebagai bahan baku industri kulit yang utama,
yaitu kerajian kulit.
Kerugian akibat matinya ternak penderita Scabies sangat bervariasi, tergantung pada factor
predisposisi serta factor lainnya yang terlibat. Kematian akibat Scabies sering disebabkan karena malnutrisi
(Abu-Samra et al., 1981a). Mortalitas sampai 67% pada anak kambing penderita Scabies pernah dilaporkan
(Putra dan Gunawan, 1983; Chineme et al. 1979). Kematian karena infeksi sekunder, terutama infeksi
bakteri Streptococcus dan Staphylococcus pada ternak penderita Scabies (Chineme et al.,1979; Jackson
et al., 1983; Sharma et al., 1984; Reid et al.,1990). Infeksi sekunder lainnya adalah jamur
(Kershaw,1989).
Pemakaian obat-obatan untuk mengatasi Scabies, seperti terutama akarisida , roborantia seperti
vitamin A , mineral, dan untuk mengatasi infeksi sekunder seperti anthelmitika. antibiotika, fungisida,
tentunya akan meningkatkan ongkos produksi. Akhirnya menurunkan keuntungan .
Cargil dan Dobson (1979) mengatakan telah dilakukan survey tahun 1972-1973 di Australia

Selatan bahwa 50% perusahaan peternakan babi melakukan spraying pada ternak setiap bulan dan 30 %
melakukan spraying setiap 3 bulan untuk mengendalikan Scabies. Diperkirakan setiap tahun ongkos yang
dikeluarkan A$ 500 ribu. Di Amerika kerugian akibat Scabies pada ternak diperkirakan sebesar US$30 juta
pertahun yang meliputi akibat turunnya produksi dan biaya-biaya untuk pengendalian penyakit (WootenSaadi et al., 1987b). Menurut Suratno (2000) kerugian ekonomis akibat Scabies pada kambing di pulau
Lombok sekitar Rp 1.633.158.750,- pertahunnya.

III. CARA PENGOBATAN SCABIES PADA HEWAN DAN EFEKTIFITASNYA
Suatu program pemberantasan agar suatu peternakan bebas dari Scabies harus ditujukan terhadap
ternaknya sendiri dan atau keadaan lingkungan yang mempengaruhinya. Tindakannya pemberantasan pada
peternakan yang bersifat intensif (pada satu tempat/ daerah) mudah dilakukan dan telah banyak dilaporkan
dengan hasil yang memuaskan . Sedangkan pada peternakan tradisional hasilnya kurang memuaskan
karena proses kesembuhan dalam suatu populasi tidak lama kemudian diikuti munculnya kasus baru karena
tidak terkendalinya lalu lintas ternak (Anonimus, 2001). Jadi strategi pengobatan terhadap hewan karieer/
subklinis perlu diperhatikan. Disamping itu pemakaian akarisida dengan takaran dan cara pakai yang
cermat harus diperhatikan betul ( Putra, 1994).

50

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Penderita Scabies dapat diobati dengan dipping (perendaman), brushing (disikat), spraying
(penyemprotan) (Anonimus, 1981), oral dan paranteral (Egerton et al., 1980). Pengobatan sebaiknya
diulang sampai 2 atau 3 kali dengan interval 1-2 minggu dengan maksud untuk memutus siklus hidup
tungau (Anonimus, 2001).
III.1. Akarisida Topikal
Benzena Hexa Chloride (BHC) (1% larutan yang berisi serbuk BHC dengan kadar 0,625%)
dipakai sebagai obat Scabies pada babi dengan cara spraying. Spraying dilakukan 3 kali dengan interval 1
minggu menunjukan hasil yang memuaskan (Mc Pherson, 1960). Begitu juga pengobatan Scabies pada
kambing, domba dengan BHC cukup sukses (Jakson et al.,1983). Penggunaan Coumaphos 0,1% sebagai
obat Scabies pada kambing dengan spraying hasilnya cukup baik yaitu 4 kali spraying dengan interval
hari pertama, ketiga, ketuju dan keempat belas (Putra dan Gunawan, 1982). Sedangkan penggunaan
Asunthol 0,04% secara dipping 2 kali dengan interval 3 hari dan Neguvon 0,1% secara brushing dan
dipping sebagai obat Scabies pada kambing memberikan hasil 100% (Kertayadya dkk., 1982). Selain itu
obat-obatan yang dipakai adalah emulsi benzyl benzoate 25%, kombinasi benzyl benzoate dan BHC,
phosmet 20%(Hewet & Heard,1982), odylen 20% (dimethyl-diphenylene disulphide) (Abu-Samra et
al.,1981b), lindane 20%(Wooten-Saadi et al., 1987), amitraz 0,1% (Taylor, 1981), malathion (Swarup el
al.,1983), phoxim (Palmer dan Van Amelsfoort, 1983) untuk pengobatan Scabies .
III.2. Akarisida Systemik
Bila keropeng tebal akibat Scabies yang kronis pada ternak akan menyulitkan dalam pengobatan
topikal, karena akan menghambat penetrasi akarisida. Untuk itu diperlukan obat yang pemberian sistemik,
yaitu dengan rute parenteral ataupun peroral.
Pemberian obat parenteral atau secara oral seperti ivermectin untuk terapi Scabies sudah dikenal
secara luas (Egerton et al., 1980). Secara efektif ivermectin sudah dibuktikan mengobati scabies pada sapi
(Meleney et al. 1982), pada babi (Courtney et al.,1983), pada kerbau (Gill et al., 1989), pada domba (AbuSamra et al., 1981a), pada kambing (Putra,1987). Dosis obat ivermectin secara subkutan adalah 200 µgr
per kg berat badan dan secara oral 100-200 µgr per kg berat badan per hari selama 7 hari (Anonimus,
2001). Ivermectin atau 22,23,-dihydro-avermectin B1 telah dibuktikan sangat efektif dengan kosentrasi
rendah terhadap parasit eksternal , maupun internal dengan pemberian peroral atau perenteral (Brander et
al., 1982).
III.3 Obat Tradisional
Penggunaan obat tradisional seperti belerang dengan dicampur dengan minyak kelapa, olie bekas,
kapur barus/kampher dicampur dengan minyak tanah, basudin cukup luas dikenal dikalangan peternak
tradisional. Pemakaian belerang 50% dalam olie bekas, belerang 2,5% dalam vaselin, basudin sebagai obat
Scabies kurang efektif, karena pemakaian agak sulit dan waktu relatif lama, juga mengakibatkan keracunan
dan kematian (Jackson, 1986; Manurung, 1992; Manurung dan Kusumaningsih, 1996). Keracunan atau
kematian ternak akibat pemakaian obat tradisional mungkin karena dosis dan aplikasinya kurang/tidak
tepat.

IV. REVIEW PEMBERANTASAN SCABIES PADA KAMBING DI PULAU LOMBOK
IV.1. Urgensi Pelaksanaan Pemberantasan
Kepentingan utama dalam pelaksanaan pemberantasan Scabies di pulau Lombok adalah karena
adanya wabah Scabies di Kabupaten Lombok Timur pada tahun 1993. Ternak kambing yang tertular
51

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

10.149 kasus (Suratno, 2000) dengan atau prevalensi 12,3%. Selanjutnya penyakit Scabies ini menyebar
hampir diseluruh kecamatan di pulau Lombok. Untuk mengatasi penyakit ini dicanangkan suatu program
pemberantasan Scabies.
Program pemberantasan periode I semenjak tahun anggaran 1996/1997 sampai dengan tahun
anggaran 1998/1999. Program ini kerja sama Dinas Peternakan se-Lombok dengan Balai Penyidikan
Penyakit Hewan wilayah VI Denpasar (sekarang Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI
Denpasar).
Kemudian diteruskan pemberantasan Scabies periode II tahun1999 sampai dengan 2001, yang
dilakukan dan dibiayai oleh Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat. Adapun tujuan program
pemberantasan Scabies periode II adalah membebaskan penyakit Scabies pada ternak kambing di pulau
Lombok, khususnya yang pada pemberantasan Scabies periode I belum tuntas; memperbaiki
lingkungan/lahan untuk budidaya ternak kambing; meningkatkan produksi ternak kambing; meningkatkan
pendapatan petani peternak.
IV.2. Teknik Pelaksanaan Pemberantasan
Menurut Putra (1999), strategi program pemberantasan Scabies di pulau Lombok ditekankan
pada strategi pengobatan, pemilihan obat yang tepat serta mudah aplikasinya; pengendalian lingkungan
yang mendukung terjadinya penularan dan tingkat keparahan penderita; dan peningkatan pemahaman
peternak terhadap penyakit Scabies sehingga pada akhirnya lalu lintas ternak dapat terawasi dengan baik.
Periode I (1996-1999)
Strategi yang diterapkan dalam program pemberantasan tersebut adalah pengobatan dengan
akarasida yang dilaksanakan secara masal dan serentak, hal ini dimaksud untuk membatasi ruang gerak
penderita Scabies. Obat akarisida yang digunakan adalah ivermectin (dosis 200 µgr/kg berat badan) dan
atau doramectin, dengan dosis sesuai anjuran dan diberikan secara subkutan. Secara umum , dalam satu
tahun program pemberantasan dibagi dalam dua tahap pengobatan masal yang dilaksanakan secara
serentak, interval antara pengobatan tahap pertama dan kedua adalah 6 bulan. Disamping itu, sepanjang
tahun bila ditemukan kasus juga diberikan pengobatan baik secara individual maupun secara kelompok.
Strategi pengobatan dilakukan dengan:








kambing yang menderita Scabies ringan sampai sedang diisolasi dan diberikan 1-2 kali
pengobatan dengan interval 2 minggu,
terhadap kambing yang menderita Scabies berat, diberikan 3 kali pengobatan dengan interval 2
minggu, apabila usaha ini belum berhasil menyembuhkan penderita , dilakukan pemotongan
bersyarat (eliminasi kasus) untuk memutus siklus hidup parasit tungau,
melakukan pemantauan yang intensif, terutama pada saat/ akhir musim hujan (Desember-Maret),
dan apabila ditemukan kasus diperlakukan seperti diatas,
untuk menghindari penyebaran Scabies subklinis, apabial ada kasus Scabies dalam satu kandang,
jika memungkinan (obat yang tersedia cukup), semua hewan sekandang diberikan pengobatan
(satu kali),
mengadakan penyuluhan yang intensif dalam rangka lebih meningkatkan partisipasi masyarakat.

Pasca pengobatan dilakukan pengamatan kambing secara klinis dan dilakukan pengambilan sampel
darah untuk melihat gambaran darah (PCV,HB, RBC) dan selanjutnya diperiksa sesuai standar
Laboratorium tipe A (BPPV VI Denpasar) (Putra, 1999).

52

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Periode II (1999 -2001)
Strategi yang dilakukan pemberantasan Scabies periode II adalah:






Menyempurnakan dan melanjutkan pola pemberantasan periode I
Penyuluhan intensif dan monitoring kasus Scabies, ternak penderita scabies diisolasi dan
diobati gratis dari Dinas Peternakan
Pengobatan massal dan serentak dengan preparat ivermectin dengan dosis 0,5 cc/ 50 kg berat
badan (100 µgr/kg bb) dan isolasi kasus Scabies berat, ternak yang dalam pengobatan tidak
diperjaual belikan.
Monitoring , pengobatan insidental dan evaluasi

IV.3 Kesulitan yang Dihadapi Saat Pelaksanaan Pemberantasan
Periode I (1996-1999)
Kesulitan pelaksanaan pemberantasan periode I berjalan selama 3 tahun berturut-turut, yaitu :





Munculnya kasus baru pada akhir tahun pertama pemberantasan (Maret-April 1997), yang diduga
erat kaitannya dengan ; menurunnya jumlah kegiatan akibat tipisnya persedian obat akarisida,
terlambatnya dana anggaran tahun kedua (peralihan tahun anggaran), terjadinya perubahan musim
(musim hujan), dan belum optimalnya pengawasan lalu lintas ternak kambing penderita Scabies.
Pada tahun kedua, diadakan perubahan penanganan pemberantasan sehinggga masalah-masalah
tahun pertama dapat diatasi. Tetapi tetap saja timbul kasus baru ditempat lain.
Pada tahun ketiga, kasus hampir sama ; tetap timbul kasus baru. Hal ini karena adanya kesulitan
mengontrol lalu lintas ternak kambing menderita subklinis penyakit Scabies yang sulit dikenali.
Mutasi ternak kambing karena kebutuhan peternak, sehingga kambingnya dijual. Mungkin
kurang efektifitasnya penyuluhan terhadap peternak tentang pemberantasan penyakit Scabies.

Untuk penderita Scabies berat yang seharusnya memperoleh tiga kali pengobatan belum sepenuhnya
terlaksana dengan baik, sebab begitu terlihat ternaknya mengalami proses kesembuhan segera dijual oleh
pemiliknya. Usaha mengeliminasi ternak kambing kasus berat dengan maksud memutus siklus penularan
juga tidak dapat dijalankan karena tidak tersedianya dana kompensasi. Pengobatan terhadap ternak
kambing yang kemungkinan subklinis dalam satu kandang dengan kambing penderita Scabies tidak dapat
dilaksanakan. Hal ini karena sulitnya mengamati kasus sub klinis . Sehingga kambing sub klinis tersebut
berpotensi sebagai sumber penularan. Khususnya kesulitan pemberantasan Scabies pada tahun ketiga
adalah krisis moneter yang berkepanjangan. Harga obat naik hampir tiga kali lipat, sehingga cakupan
pengobatan menjadi sangat menurun.
Periode II (1999-2001)








Kesulitan yang dihadapi adalah mutasi ternak kambing yang belum sembuh masih dalam
pengobatan.
Kurangnya sarana pendukung, terutama obat-obatan dan operasional (tidak sesuai dengan
proposal).
Belum terputusnya siklus hidup Sarcoptes scabiei pada host atau lingkungan.
Kurangnya dana yang kosisten sesuai dengan kebutuhan dalam konsep.
Perlunya dana khusus untuk kompensasi eliminasi kasus pada tahap akhir

53

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

IV.4. Evaluasi Efektifitas Pemberantasan
Program pemberantasan Scabies di pulau Lombok ini belum berhasil mencapai target sepenuhnya,
yaitu pembebasan penyakit Scabies di pulau Lombok. Hal ini karena program pelaksanaan pemberantasan
Scabies di pulau Lombok belum optimal sesuai strategi yang dilaksanakan, yaitu:












Belum optimalnya pelaksanaan penyuluhan sehingga partisipasi/dukungan masyarakat peternak
belum optimal, yang pada akhirnya mengakibatkan;
Pelaksanaan pengobatan massal yang harusnya bersifat serentak tidak optimal, sehingga upaya
mempersempit ruang gerak penderita Scabies kurang berhasil;
Disamping itu belum terkendalinya secara optimal lalu lintas ternak penderita Scabies yang
sedang dalam pengobatan;
Kesulitan pengamatan kasus Scabies subklinis dilapangan, sehingga tindakan pengobatan
terhadap kasus subklinis tidak dapat dilakukan;
Belum optimalnya dana yang tersedia, terutama untuk kompensasi eliminasi ternak kambing
penderita Scabies status berat dan adanya krisis moneter yang berkepanjangan.
Disamping itu penyakit Scabies tidak hanya menyerang satu spesies, dan faktor ini kurang
dipertimbangkan dalam program pemberantasan tersebut. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
masalah lingkungan/ kandang tercemar yang tidak dilakukan treatment/desiinfestasi (memutus
siklus dengan Sarcoptes sp. dengan lingkungan)

Oleh karena kesulitan-kesulitan diatas, maka model program pemberantasan Scabies di pulau Lombok
menjadi kurang efektif. Tetapi sebagai tindak pengendalian Scabies boleh dikatakan sangat berhasil.
Penyebaran Scabies di pulau Lombok dapat ditekan dari 31 kecamatan menjadi 3 kecamatan saja. Hal ini
ditunjang dengan penggunaan ivermectin sebagai drug of choice sudah sangat tepat karena terbukti
efektifitasnya,yaitu ternak kambing penderita yang diobati Scabies 99% sembuh.
Keuntungan lain yang tampak dari kegiatan pemberantasan Scabies di pulau Lombok adalah dapat
ditekan akibat buruk dari Scabies sekecil-kecilnya (penurunan berat badan, penghambatan kenaikan berat
badan, kematian). Sehingga menyebabkan nilai tambah jual/ ekonomi yang tidak sedikit jumlahnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abu-Samra, M.T., B.E.D. Hago, M.A. Aziz and F.W. Awad. 1981a. Sarcoptic mange in sheep in the
Sudan. Annal of Tropical Medicine and Parasitology 75 : 639-645.
Abu-Samra, M.T., S.E. Imbabi and E.S. Mahgoub. 1981b. Mange in domestic animals in The Sudan. Annal
of Tropical Medicine and Parasitology. 75 :627 – 637.
Abu-Samra, M.T., K.E.E. Ibrahim and M.A. Aziz. 1984. Experimental infection of goat with Sarcoptes
scabie var ovis. Annal of Tropical Medicine and Parasitology 78 : 55-61.
Anonimus. 1981. Kudis menular. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular, Jilid III hal.7883.Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Anonimus. 1982. Informasi Pengamatan Penyakit Hewan no. 1, Mei. Direktorat Kesehatan Hewan,
Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Anonimus. 1991. SK Mentan no.487/KPTS/UM/6/1981.
Perhimpuan Dokter Hewan Indonesia. Jakarta.
54

Hemera Zoa Vol.74 No.1 hal. 74-88.

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Anonimus. 2001. Scabies. Manual Penyakit Hewan Mamalia, hal. 52-57. Direktorat Kesehatan Hewan,
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta.
Arlian, L. G. and D.L. Vyszenski-Moher. 1988. Life cycle of Sarcoptes scabie var canis. Journal of
Parasitology 74 :427-430.
Belschner, H.G. 1972. Pig Disease. 2nd ed. Angus and Robertson, pp. 138-142. Brakenridge, D. T. 1958.
Mange in Pig : A Survey. New Zealand Veterinary Journal 6: 166-167.
Brander, G.C., D.M. Pugh and R. J. Bywater. 1982. Avermectins. Veterinary Applied Pharmacology &
Therapeutics. 4th ed. pp490-491.Bailliere Tindall. London.
Cargill, C.F. and K.J. Dobson K.J. 1979. Experimental Sarcoptes scabie infestation in pigs: (2) Effect on
production. Vetrinary Record 104 : 33-36.
Chineme, C. N., S.A. Bida and S. Nuru. 1979. Sarcoptic mange of sheep in Kaduna state, Nigeria. Bulletin
of Animal Health and Production of Africa 27 : 41-45.
Courtney, C.H., W.L. Inggals and S.L. Stitzlein. 1983. Ivermection for the control of swine scabies:
relative values of prefarrowing treatment of sows and weaning treatment of Pigs. American Journal
of Veterinary Research 44 : 1220-1223.
Dalton, P.M. and W.G. Ryan. 1988. Productivity effects of pig mange and control with ivermectin.
Veterinary Record 122 : 307-308.
Egerton, J.R., J. Birnbaum and L.S. Blair. 1980. 22, 23-dehydro ivermectin B1, a new broad spectrum
antiparasitic Agent. British Veterinary Journal 136 :88.
Gill, B.S., J. Singh, A. Singh, S.S. Khehra, A. Rai and O. Hussein. 1989. Efficacy of ivermectin against
mange and gastrointestinal nematodes of buffalo (Bubalus bubalis). Veterinary Parasitology
31 :141-147.
Gray, D.F. 1937. Sarcoptec mange effecting wild fauna in New South Wales. Australia. Veterinary
Journal 13 : 154-155.
Hasan , M.Z., Mayestika dan I.W. Masudana. 1986. Pengamatan lapangan penggunaan ivermectin MDS
terhadap kasus scabies pada kelinci. Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di
Indonesia Periode Tahun 1984-1985. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal
Peternakan, Jakarta , hal. 86-91.
Heriyanto, A. 1990. Pengamatan epidemiologi penyakit scabies pada kambing di Propinsi Sumatra Barat.
Bulletin Informasi Kesehatan Hewan 3 : 42-58.
Hewett, G.R and W. Heard. 1982. Phosmet for the systemic control of pig mange. Veterinary Record
111 : 558.
Hiepe, P. Th. 1982. Large scale management system, and parasite populations: ectoprasites. Veterinary
Parasitology 11 : 61-68.
Higgins, A.J., S.A. Al-Mezaini and A.M. Abukhamseen. 1984. Observations on the incidence and control
of Sarcoptes scabiei var cameli in the Arabian camel. Veterinary Record 115 : 15-16.

55

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Hoyte, H M. D. and R.S. Mason. 1961. Sarcoptes sacbie in the dingo (Canis antarticus). Australia
Veterinary Journal 37 :53-54.
Ibrahim, K. E. E. and M.T. Abu-Samra. 1987. Experimental transmision of a goat strain Sarcoptes scabie
to desert sheep and its treatment with ivermectin. Veterinary Parasitology 26 : 157-164.
Jackson, P.G.G, H.W. Richards and S. Lioyd. 1983. Sarcoptic mange in goats. Veterinary Record 112 :
330.
Jackson , P. 1986. Skin Diseases in Goats. In Practice. Januari. p 5-10.
Jubb, K.V.F., C.K. Peter and P. Nigel. 1985. Pathology of Domestic Animals 3rd ed. Vol.1 pp. 495-496.
Academic Press Inc. London.
Kershaw, A. 1989. Sarcoptes scabie infestation in cat. Veterinary Record 124 : 537-538.
Kertayadnya, I.G., D.H.A. Unruh, M. Gunawan dan K.S. Adhyputra. 1982. Scabies, epizotiologi,
pengobatan dan perkiraan kerugian ekonomi, Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan
di Indonesia Periode Tahun 1976-1981. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal
Peternakan, Jakarta, hal 16-23.
Lavigne, C and H.J. Smith. 1983. Treatment of sarcoptic mange in Canadian cattle with ivermectin.
Canadian Veterinary Journal 24 :389-391.
Lodha, K.R. 1966. Studies on sarcoptic mange in camels. Veterinary Record 79 :41-43.
Manan, E., Soenardi dan M. Sapardi. 1984. Pengamatan scabies pada ternak kambing di Sumatra Barat.
Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia Periode Tahun 1982-1983.
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta, hal 18-24.
Manurung, J. 1990. Menyelamatkan uang petani peternak di Kecamatan Cibaliung, Pandegglang dengan
cara pengobatan kambing yang menderita kudis. Informasi Pertanian No.01, BIP. Jawa Barat
1989/1990.
Manurung,J. dan A. Kusumaningsih. 1996. Pengaruh kudis pada kambing terhadap minat peternak untuk
beternak kambing di Desa Cigombong dan Desa Srogol Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner , Bogor ,12-13 Maret 1996. Balai
Penelitian Veteriner. Bogor.
McCarthy, P.H. 1960. The presence of sarcoptic mange in wild fox in Central Queensland. Australian
Veterinary Journal 36 : 359-360.
Meierhenry, E.F. and L.W. Clausen. 1977. Sarcoptic mange in collared peccaries. Journal of American
Veterinary Medical association 171 : 983-984.
Meleney, W.P., F.C. Wright and F.S. Guillot. 1982. Residual protection against cattle scabies afforded by
ivermectin. American journal of Veterinary Research43 :1767-1769.
Morsy, G.H., J.J. Turek and S.M. Gaafar. 1989. Scanning electron microscopy of sarcoptic mange lesions
in swine. Veterinary Parasitology 31: 281-288.
56

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Nayel, N. M. and M.T. Abu-Samra. 1986. Experimental infection of the one humped camel (Camelus
dromedaries) with Sarcoptes scabie var cameli and Sarcoptes scabie var ovis . Annals of Tropical
Medicine and Parasitology 80 :553-561.
Palmer, C.R. and A. van Amelfoort. 1983. Cattle mange: importance of South Africa and chemical control
with the organophosphate phoxin . Journal of South African Veterinary Association 54 : 99-103.
Pence, D. B., L.A. Windberg, B.C. Pence and R. Sprowls. 1983. The epizootiology and pathology of
sarcoptic mange in coyotes, Canis latrans, from South Texas. Journal of Parasitology 69: 11001115.
Putra, A.A.G. dan M. Gunawan M. 1983. Laporan penyidikan kasus scabies pada kambing. Efikasi
coumaphos 0,1 % terhadap Sarcoptes scabie var caprae dan gambaran haematologik. Laporan
Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia Periode Tahun 1981-1982. Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta , hal. 30-35.
Putra, A.A. G. 1987. Efikasi ivermectin terhadap Sarcoptes Scabie var caprae . Laporan Penyidikan, Balai
Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar.
Putra, A. A. G. 1994. Kajian epidemiologi dan kerugian ekonomi scabies. Laporan Rapat Koordinasi
Kesehatan Hewan Wilayah Nusa Tenggara tanggal 16-18Nopember 1994. Balai Penyidikan
Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar.
Putra, A. A. G. 1999. Laporan evaluasi pemberantasan scabies pada kambing di Pulau Lombok. Laporan
Teknis, Bagian Proyek Penyidikan penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar, T A. 1998/1999.
Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar.
Pruett, J.H., F.S. Guillot dan W.F. Fisher. 1986. Humoral and celllular immunoresponsiveness of
stanchioned cattle infested with Psoroptes ovis. Vet Parasitology, 22, 121-133.
Reid, H. F. M., B. Birju, Y. Holder, J. Hospedales and T. Poon-King T. 1990. Epidemic scabies in four
carribean islands, 1981-1988. Transactions of The Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene
84 : 298-300.
Samuel,W. M. 1981. Attempted experimental transfer of sarcoptic mange (Sarcoptes scabie, Acarina :
Sarcoptidae) among Red Fox, Coyote, Wolf and Dog. Journal of Wild Life Diseases 17 : 343-347.
Seddon, H.R. 1968. Diseases of Domestic Animals in Australia. Part 3: Arthropods Infestations ( Ticks
and Mange). 2nd Ed. Service Publication no.7 Commonwealth of Australia Departement of Health,
page 98-101.
Sharma, R.S., R.S. Mishra, D. Pal, J.P. Gupta, M. Dutta. and K.K. Datta. 1984. An epidemiological study
of scabies in a rural community in India. Annals of Tropical Medicine and Parasitology 78 :157164.
Sheahan, B.J. 1974. Experimental Sarcoptes scabie infection in pigs I. Naturally occurring and
experimentally induced lesions. Journal of Comparative Pathology 85 : 87-95.
Soulsby, E.J.L. 1982. Helmith, Arthropods, and Protozoa of Domestic Animals, 7 th Ed. Bailliere Tindall,
page 482-486.

57

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Sumardijono. 1995. Pengendalian penyakit scabies pada kambing di Kabupaten Lombok Timur tahun
1992-1995. Laporan Pelaksanaan Rapat Kordinasi Kesehatan Hewan Wilayah Nusa Tenggara,
pada tanggal 30-31 Agustus 1995. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar.
Suratno. 2000. Pemberantasan penyakit scabies pada kambing di Pulau Lombok, NTB Periode II TA.
2000. Laporan Pelaksanaan Rapat Kordinasi Kesehatan Hewan Wilayah Nusa Tenggara. Balai
Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar.
Swarup, D.J., T.P. Parai. and M. Lal M. 1983. A report on clinical trial with malathion against sarcoptic
mange in Pashmina bearing goats. Indian Veterinary Journal 60 : 399-401.
Sweatmen, G.K. 1971. Mites and pentastomes. In “ Parasitic Diseases of Wild Animals“. (John W. Davis
and Roy C. Anderson, eds.), Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA., page 3-64.
Taylor, D. J. 1981. Pig Disease. 2nd Ed., Burlington Press (Cambridge) Ltd. Foxton, Cambridge, page 132134.
Tomaszewska, M.W., I.M. Mastika, A. Djajanegara, G. Susan dam T.R. Wiradarya. 1993. Produksi
kambing dan domba di Indonesia. Sebelas Maret Univ. Press. Surakarta
Wooten-Saadi, E.L., C.A. Towell-Vail, R.E. Williams and S.M. Gaafar. 1987. Incidence of Sarcoptes
scabiei (Acari: Sarcoptidae) and Haematopinus suis (Anoplura: Haematopnidae) on swine in
Indiana. Journal of Economic Entomology 80: 1031-1034.

58