SITUASI DAN KONDISI PEMBELA HAM DI INDON

SITUASI DAN KONDISI PEMBELA HAM DI INDONESIA DAN
JAMINAN PERLINDUNGAN HUKUM

Dalam lintasan sejarah kita akan selalu menyaksikan bagaimana keberadaan
pembela HAM selalu terancam. Posisi mereka sangat rentan oleh tindakantindakan yang membahayakan nasib dan hidup mereka. Eksistensi para pembela
HAM berbeda dengan aktor-aktor terancam lainnya karena yang mereka hadapi
adalah para pelaku kebijakan yang mempunyai kekuatan, kekuasaan dan modal
yang tidak segan-segan digunakan untuk mematikan dan menghancurkan para
aktifis HAM tersebut.
Salah satu pembela HAM yang masih terkenang sampai saat ini ialah
almarhum Munir. Kegigihannya membela kelompok tertindas, keberaniannya
mengkritik pemangku otoritas dan suara lantangnya yang menggugat aparat
militer untuk bertanggungjawab atas tindakan-tindakan keji pelanggaran HAM di
banyak daerah telah menyebabkannya dibunuh. Munir meninggal ketika dalam
perjalanan pesawat Garuda GA 974 dari Singapura menuju Schipol Belanda
dalam rencana studi S2-nya di Utrecht University. Munir dibunuh dengan
menggunakan racun arsenik dengan dosis yang mematikan.
Munir bukanlah korban satu-satunya. Kita tidak akan lupa terhadap para
pembela HAM seperti Marsinah, Udin, Ja’far Siddiq, aktifis Trisakti, aktifis
Semanggi dan banyak pembela HAM lainnya yang masih belum kembali karena
telah dihilangkan menjelang reformasi di Indonesia. Nasib para Pembela HAM

sungguh memperihatinkan, mereka biasa diintimidasi, diteror, dipenjarakan dan
dibunuh oleh penguasa dan relasi kekuasaannya. Pembela HAM dengan
keteguhan tekad dan semangat untuk menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan,
keadilan dan kebenaran di muka bumi, seringkali dihadapkan dengan pilihanpilihan nasib yang serba sulit dan tidak dilindungi hukum.

Situasi dan Kondisi Pembela HAM di Indonesia
Para pembela HAM di Indonesia sungguh menghadapi situasi dan kondisi
yang sangat memprihatinkan. Kekuasaan yang selalu berujung pada totalitarian
memaksa para Pembela HAM mengalami nasib yang serba sulit. Mereka sangat
rentan kekerasan, teror, intimidasi dan pembunuhan. Sejarah paling gelap
menimpa para Pembela HAM terjadi ketika era rezim Orde Baru. Kekejaman dan
pembunuhan terhadap para pembela HAM terjadi cukup beringas di era ini.
Menjelang kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998, rezim Orde Baru dengan
aparatnya, menculik dan menghilangkan belasan aktifis. Sebagian besar mereka
nasibnya belum diketahui sampai saat ini, meninggal ataukah hidup.
Diantara peristiwa yang kita tidak akan lupa ialah nasib yang Marsinah,
seorang buruh karena demonstrasinya menuntut menuntu hak-hak buruh berupa
kenaikan UMR akhirnya ia dibunuh, nasib Udin, seorang wartawan Bernas
dibunuh karena menulis kasus korupsi salah satu bupati di Yogyakarta, Ja’far
Siddiq karena tuntutannya meminta hak referendum di Aceh ia akhirnya dibunuh,

kasus Nipah di Sampang Madura tahun 1993, penembakan mahasiswa Trisakti 12
Mei 1999 dan 5 orang meninggal, tragedi Semanggi I dan 5 orang mahasiswa
tewas, tragedi Semanggi II dan 10 orang mahasiswa tewas, Peristiwa Batu Merah
Berdarah 11 Agustus 2000 dan Kebun Cengkeh, Wasior tahun April-Oktober
2001, Kasus Bulukumba tahun 2003, dan masih banyak kasus HAM lainnya yang
harus meninggalkan luka berupa teror, intimidasi, kekerasan dan pembunuhan.
Pembela HAM yang menjadi korban juga salah satunya ialah almarhum
Munir. Kegigihannya menginvestigasi berbagai pelanggaran HAM dan meminta
pertanggungjawaban para pelanggaran HAM dari kalangan militer akhirnya ia
diracun dengan dosis yang mematikan. Para pembela HAM selalu mengalami
nasib tragis terutama yang terjadi di daerah-daerah konflik seperti Aceh, Papua,
Poso, Ambon dan Timor-Timor. Kita akan mudah menemukan kisah para aktor
pembela HAM yang sangat menggetirkan dan mencemaskan di daerah-daerah
yang sedang dilanda konflik itu.
Nasib pembela HAM yang sangat memprihatinkan tidak berhenti setelah
reformasi di Indonesia. Sesuai data Imparsial, pada tahun 2003 terdapat 30 kasus

kekerasan terhadap pembela HAM dan tahun 2004 terdapat 152 kasus. Kekerasan
terhadap para pembela HAM dalam kasus-kasus tersebut meliputi penangkapan
dan penahanan sewenang-wenang, dikenakan tuduhan menjadi tersangka,

penganiyaan (pemukulan), penghilangan, pembunuhan di luar proses hukum,
pembubaran kegiatan, pelecehan, penyerbuan dan pengrusakan, dijadikan daftar
pencarian orang (DPO), dan diteror.
Para korban kekerasan tersebut terdiri dari beragam profesi meliputi aktifis
LSM, Mahasiswa, guru dan dosen, tokoh masyarakat, wartawan, aktifis petani dan
PMI. Sedangkan pelakunya paling banyak adalah aparat polisi khususnya
kesatuan Brimob, militer, Satpol PP dan aktor-aktor non negara meliputi para
milisi, preman, orang yang tidak dikenal dan anggota kelompok gerakan
bersenjata. Para pelaku kekerasan semuanya adalah para pemegang otoritas aparat
negara sedangkan sisanya ialah jejaring para pemegang otoritas preman, OKP dan
orang yang tidak dikenal, mereka telah disewa dan dibayar untuk mengintimidasi,
menteror dan membunuh para pembela HAM.
Bentuk-Bentuk Hambatan, Kekerasan dan Ancaman Terhadap Pembela
HAM
Bentuk-bentuk hambatan, kekerasan dan ancaman terhadap pembela HAM
beragam variasinya. Berdasarkan kasus-kasus yang terjadi baik di Indonesia
ataupun di luar negeri, bentuk-bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan yang
biasa dialami oleh para pembela HAM meliputi, yaitu :
1.


Pembatasan hak-hak yang diperlukan dalam melindungi dan memajukan
HAM.

2.

Menggunakan hukum untuk melanggar HAM.

3. Pembunuhan, penghilangan paksa, penganiyaan, penyiksaan dan ancaman
kekerasan.
4. Kampanye intimidasi dan penghinaan untuk membangun stigma negatif
terhadap para pembela HAM.
5. Tidak adanya respon dari pemerintah dan malakukan impunitas terhadap
para pelanggar HAM.

Perlindungan Pembela HAM Dalam Instrumen Nasional
Perlindungan terhadap pembela HAM dalam instrumen nasional disebutkan
secara tegas dalam UUD 1945 pada Pasal 28C ayat (2) yang berbunyi “Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara”. Ketentuan ini
menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan diri dan berjuang untuk

pemenuhan hak-haknya secara kolektif demi membangun masyarakat, bangsa dan
negara.
Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pada Pasal 100-103 juga
menegaskan tentang Perlindungan Pembela HAM. Pasal 100 berbunyi “Setiap
orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam
perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia”.
Pasal 101 berbunyi “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan
lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka
perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia”
Pasal 102 berbunyi “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan
lainnya, berhak untuk mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan
yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan atau
lembaga lainnya”
Pasal 103 berbunyi “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau
lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja

sama dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan
penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia”.
UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga menyebutkan tentang
Perlindungan Pembela HAM. Pasal 34 ayat (1) berbunyi “Setiap korban dan

saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan
fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun”. Pada ayat (2) berbunyi “Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan
secara cuma-cuma”.
UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga
disebutkan tentang perlindungan para Pembela HAM. Pasal 10 ayat (1) berbunyi
“Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana
maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya”. Pada ayat (2) berbunyi “Seorang Saksi yang juga tersangka
dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia
ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat
dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan
dijatuhkan”. Pada ayat (3) berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan

keterangan tidak dengan i’tikad baik”.
UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juga
memberikan penjelasan tentang hak atas informasi publik. Pasal 4 ayat (1)
berbunyi “Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini”. Pada ayat (2) berbunyi “Setiap Orang berhak:
(a). melihat dan mengetahui Informasi Publik; (b). menghadiri pertemuan publik
yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; (c). mendapatkan
salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang
ini; dan/atau (d). menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.
Namun demikian, berbagai peraturan nasional tentang perlindungan
Pembela HAM di atas terdapat kelemahan-kelamahan diantaranya, pertama,
ketentuan diatas lebih banyak mencakup korban dan saksi sehingga orang yang
berstatus dilindungi hanya sebatas korban dan saksi. Padahal pembela HAM tidak
hanya saksi dan korban, pihak dan organisasi yang membantu mengungkap
pelanggaran HAM berat juga berpotensi akan mengalami kekerasan dan berbagai

ancaman dari aktor-aktor pelanggar HAM. Perlindungan hanya terhadap saksi dan
korban masih akan tetap menghambat proses pemajuan HAM.
Kedua, perlindungan juga rata-rata diberikan dalam kasus pelanggaran

HAM berat. Padahal banyak pembela HAM yang tidak hanya bergerak dalam
pembelaan pelanggaran HAM berat, bahkan banyak pembela HAM yang juga
bergerak dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat biasa bahkan diantara
mereka juga banyak yang bergerak dalam advokasi kasus-kasus kriminal yang
terjadi di masyarakat. Pembatasaan pembelaan hanya pada Pembela HAM yang
berdimensi pelanggaran HAM berat merupakan kelemahan sendiri yang tidak
mendorong terhadap pemajuan dan pemenuhan HAM di Indonesia.
Perlindungan Pembela HAM Dalam Instrumen Internasional
Dalam instrumen internasional juga dijamin perlindungan para pembela.
Sejak 9 Desember 1998 telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB “Declaration on
the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to
Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental
Freedom” dengan resolusi 53/144. Deklarasi Pembela HAM ini awalnya
merupakan gagasan hasil elaborasi NGO HAM dan delegasi negara-negara di
dunia. Pada artikel 1, 5, 6, 7, 8. 9, 11, 12, dan 13 “Declaration on the Right and
Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and
Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom”
disebutkan beberapa hak dari para Pembela HAM, meliputi :
1. Hak untuk mewujudkan perlindungan dan realisasi HAM baik level nasional
ataupun internasional.

2. Hak untuk melakukan kerja-kerja HAM baik secara individu maupun dalam
organisasi dengan individu yang lain.
3. Hak untuk membentuk asosiasi dan organisasi non pemerintah.
4. Hak untuk bertemu atau membuat pertemuan secara damai.
5. Hak untuk mencari, mendapatkan, menerima, dan menyimpang informasi
terkait dengan HAM.

6. Hak untuk mendiskusikan dan mengembangkan ide-idedan prinsip-prinsip
baru tentang HAM dan memperjuangkan penerimaannya.
7. Hak untuk menyampaikan proposal dan kritik tentang masalah publik
kepada lembaga-lembaga dan organisasi pemerintahan demi meningkatkan
fungsinya dan untuk memberikan perhatian terhadap berbagai aspek dari
kerja HAM yang dapat mendorong realisasi HAM.
8. Hak untuk menyatakan keberatan dan mendapatkan tanggapan terhadap
kebijakan dan tindakan pejabat terkait dengan HAM
9. Hak untuk menawarkan dan memberikan bantuan hukum profesional atau
bantuan nasehat-nasehat lain dalam membela HAM
10. Hak untuk menghadiri dengar pendapat (public hearing), proses
pemeriksaan (penyelidikan dan penyidikan), dan persidangan untuk menilai
kesesuaiannya dengan hukum nasional dan ketentuan HAM internasional.

11. Hak untuk tidak dihambat atas akses informasi dan komunikasi dengan
organisasi non pemerintah dan organisasi internasional
12. Hak untuk mendapatkan keuntungan dari suatu ganti kerugian
13. Hak untuk melakukan pekerjaan atau profesi Pembela HAM
14. Hak atas perlindungan efektif menurut hukum nasional dalam mereaksi
atau melawan, secara damai, atas tindakan atau pembiaran yang dilakukan
negara yang menghasilkan pelanggaran HAM
15. Hak untuk mengumpulkan, menerima, dan menggunakan sumber-sumber
daya untuk melindungi HAM (termasuk hak untuk menerima dana dari luar
negeri)
Hak-hak yang terumuskan dalam Deklarasi di atas sesungguhnya merupakan
substansi materi dalam DUHAM, ICCPR, ICESCR. Di Indonesia hak-hak
tersebut sebenarnya juga telah termuat dalam UUD 1945 terutama Pasal 28A-28I,
juga telah diatur dalam dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26
tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, dan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik. Pada artikel 2, 9, 12, 14 dan 15 “Declaration on the Right and

Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and
Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom”

menyebutkan tentang peran dan tanggungjawab negara, meliputi ;
1. Melindungi, memajukan, dan melaksanakan HAM secara keseluruhan
2. Menjamin bahwa semua orang dalam yurisdiksinya dapat menikmati semua
hak-hak sosial, ekonomi, politik, serta hak-hak dan kebebasan-kebebasan
lainnya.
3. Mengadopsi dalam lingkup legislatif, administratif, dan tahapan lain yang
dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan yang efektif dari hak-hak dan
kebebasan-kebebasan tersebut.
4. Menyediakan penggantian yang efektif kepada korban pelanggaran HAM
5. Melakukan investigasi yang cepat dan tepat serta impartial terhadap
pelanggaran HAM yang terjadi
6. Melakukan semua langkah yang diperlukan untuk menjamin perlindungan
terhadap setiap orang dari segala pelanggaran, ancaman, pembalasan,
tindakan diskriminasi, tekanan, atau tindakan sewenang-wenang lainnya
sebagai konsekwensi dari kegiatan yang sah menurut Deklarasi Pembela
HAM
7. Memajukan pemahaman publik tentang hak sipil, politik, ekonomi, sosial
dan budaya
8. Menjamin dan mendukung pembuatan dan pengembangan institusi nasional
independen untuk memajukan dan melindungi HAM, seperti Ombudsman
atau Komisi HAM
9. Memajukan dan memfasilitasi pendidikan HAM pada semua level baik
pendidikan formal ataupun non formal.
Selain Dekarasi Pembela HAM di atas, terdapat beberapa resolusi Komisi
HAM PBB yang memberikan perlindungan terhadap para pembela HAM,
diataranya, Resolusi 2001/64, resolusi 2002/70 dan resolusi 2003/64. Resolusi
2001/64 menekankan perlunya upaya yang kuat dan efektif untuk melindungi para
Pembela HAM dengan cara, pertama, menyerukan kepada semua negara untuk
memajukandan melaksanakan Deklarasi Pembela HAM. Kedua, menuntut semua

pemerintahan untuk bekerjasama dan membantu Perwakilan Khusus dalam
melaksanakan tugasnya dengan memberikan semua informasi yang diminta.
Ketiga, meminta kepada semua agen dan organisasi PBB untuk memberikan
bantuan dan dukungan kepada Perwakilan Khusus dalam pelaksanaan programnya
sesuai dengan mandatnya masing-masing. Keempat, menyerukan kepada semua
negara untuk melakukan upaya yang diperlukan dalam menjamin perlindungan
Pembela HAM. Resolusi 2002/70 menekankan pentingnya perlindungan Pembela
HAM dengan cara-cara, meliputi :
1. Menyerukan kepada semua negara untuk memajukan dan melaksanakan
Deklarasi Pembela HAM.
2.

Mengutuk semua pelanggaran HAM terhadap orang yang melakukan
pemajuan dan pembelaan HAM dan kebebasan dasar di seluruh dunia, dan
menuntut semua negara melakukan langkah-langkah yang tepat sesuai
dengan Deklarasi dan semua instrumen HAM lain yang relevan untuk
mengakhiri pelanggaran HAM.

3. Menyerukan kepada semua negara untuk melakukan upaya yang diperlukan
demi menjamin perlindungan Pembela HAM.
4.

Menekankan pentingnya melawan impunitas dan karenanya menuntut
negara untuk mengambil langkah yang tepat menghapuskan impunitas dan
tindakan-tindakan yang mengintimidasi Pembela HAM.

5. Menuntut semua negara bekerjasama dan membantu Perwakilan Khusus
dalam melaksanakan tugasnya dengan memberikan semua informasi yang
dibutuhkan untuk melaksanakan mandatnya.
6.

Menuntut pemerintahan-pemerintahan yang belum merespon upaya
komunikasi yang telah disampaikan oleh Perwakilan Khusus untuk segera
menjawab tanpa penundaan lebih lanjut

7. Mengundang pemerintahan-pemerintahan untuk menterjemahkan deklarasi
ke dalam bahasa nasional dan mendorong penyebarluasannya
8.

Meminta semua agen dan organisasi PBB sesuai dengan mandatnya
masing-masing untuk menyediakan bantuan dan dukungan kepada
Perwakilan Khusus dalam melaksanakan progragm aktifitasnya

9. Meminta kepada Sekretaris Jenderal untuk memberikan sumber-sumber
personal dan finansial demi pemenuhan secara efektif mandat dari
Perwakilan Khusus
Sedangkan Resolusi 2003/64 menekankan perlunya upaya yang kuat dan
efektif untuk melindungi Pembela HAM dengan cara-cara, meliputi :
1.

Menyerukan kepada semua negara untuk memajukan dan melaksanakan
Deklarasi Pembela HAM

2.

Mengutuk semua pelanggaran HAM terhadap orang yang melakukan
pemajuan dan pembelaan HAM dan kebebasan dasar di seluruh dunia, dan
menuntut semua negara melakukan langkah-langkah yang tepat sesuai
dengan deklarasi dan semua instrumen HAM lain yang relevan untuk
mengakhiri pelanggaran HAM

3. Menyerukan kepada semua negara untuk melakukan upaya yang diperlukan
demi menjamin Perlindungan Pembela HAM
4.

Menekankan pentingnya melawan impunitas dan karenanya menuntut
negara-negara untuk mengambil langkah yang tepat menghapuskan
impunitas dan tindakan-tindakan yang mengintimidasi Pembela HAM

5. Menuntut semua negara bekerjasama dan membantu Perwakilan Khusus
dalam melaksanakan tugasnya dengan memberikan semua informasi yang
dibutuhkan untuk melaksanakan mandatnya
6.

Menyerukan kepada semua pemerintahan memberikan perhatian serius
untuk merespon permintaan Perwakilan Khusus melakukan kunjungan ke
negaranya dan menuntut pemerintahan tersebut melakukan dialog yang
konstruktif dengan Perwakilan Khusus dengan menghargai tindak lanjut dari
rekomendasi yang diberikan sehingga dapat memenuhi mandatnya secara
efektif

7.

Menuntut pemerintahan-pemerintahan yang belum merespon uapay
komunikasi yang telah disampaikan oleh Perwakilan Khusus untuk segera
menjawab tanpa penundaan lebih lanjut

8. Mengundang pemerintahan-pemerintahan untuk menterjemahkan deklarasi
ke dalam bahasa nasional dan mendorong penyebarluasannya
9. Memutuskan memperpanjang mandat Perwakilan Khusus masalah Pembela
HAM Sekretaris Jenderal selama tiga tahun dan meminta Perwakilan
Khusus melanjutkan melaporkan aktifitasnya kepada Majelis Umum dan
Komisi terkait dengan mandatnya
10.

Meminta Sekretaris Jenderal untuk memberikan sumber-sumber personal

dan finansial demi pemenuhan secara efektif mandat dari Perwakilan
Khusus
11.

Meminta semua agen dan organisasi PBB sesuai dengan mandatnya

masing-masing untuk menyediakan bantuan dan dukungan kepada
Perwakilan Khusus dalam melaksanakan program khususnya.
Kesimpulan
Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa perlindungan para Pembela HAM
sangat penting dilakukan. Pembela HAM dalam banyak kasus selalu dihadapkan
pada situasi dan kondisi yang sangat memprihatinkan. Mereka sangat rentan oleh
kekerasan, intimidasi, teror bahkan dari tindakan pembunuhan. Diantara peristiwa
yang menimpa Pembela HAM di Indonesia adalah Marsinah, Udin, Ja’far Siddiq,
Munir, dan para Pembela HAM dalam kasus Nipah di Sampang Madura tahun
1993, penembakan mahasiswa Trisakti 12 Mei 1999 dan 5 orang meninggal,
tragedi Semanggi I dan 5 orang mahasiswa tewas, tragedi Semanggi II dan 10
orang mahasiswa tewas, Peristiwa Batu Merah Berdarah 11 Agustus 2000 dan
Kebun Cengkeh, Wasior tahun April-Oktober 2001, Kasus Bulukumba tahun
2003, pembunuhan aktifis Munir dan masih banyak lagi yang berlangsung pasca
reformasi.
Hambatan, kekerasan dan ancaman kekerasan yang sering menimpa
Pembela HAM bentuk-bentuknya bervariasi, seperti pembatasan hak-hak yang
diperlukan dalam melindungi dan memajukan HAM, penggunaan hukum untuk
melanggar HAM, tindakan pembunuhan, penghilangan paksa, penganiyaan,
penyiksaan dan ancaman kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara dan

berbagai relasinya, kampanye intimidasi dan penghinaan untuk membangun
stigma negatif terhadap para pembela HAM, dan tidak adanya respon dari
pemerintah dan malakukan impunitas terhadap para pelanggar HAM.
Perlindungan hukum terhadap para Pembela HAM sebenarnya sangat jelas
dalam beberapa instrumen nasional dan internasional. Jaminan perlindungan
dalam nstrumen nasional tercantum pada Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, Pasal
100-103 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 34 ayat (1) UU No. 26
tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban khususnya Pasal ayat 1, 2 dan 3, dan Pasal 4 ayat
1 dan 2 UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sedangkan
dalam instrumen internasinal perlindungan terhadap Pembela HAM tercantum
dalam resolusi 53/144 Declaration on the Right and Responsibility of Individuals,
Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized
Human Rights and Fundamental Freedom, resolusi 2001/64, resolusi 2002/70,
resolusi 2003/64 dan level regional Eropa juga terdapat Panduan Uni Eropa
Tentang Pembela HAM yang telah disetujui pada pertemuan Majelis Uni Eropa
pada tanggal 15 Juni 2004.