Media Sosial Ruang Negosiasi Politik

Budaya Politik dalam Cultural Studies: Tugas Akhir . 10 Juni 2014.
Ellen S. Kusuma (1306425864)

Media Sosial: Ruang Negosiasi Politik
Studi Kasus: Instagram @AniYudhoyono dan Netizen

Berbicara tentang akun media sosial, para pemimpin dunia sekarang dapat memilih untuk
berinteraksi dengan publik mereka melalui akun ini. Ada berbagai jenis situs jejaring sosial,
namun yang dimaksud dengan media sosial adalah yang didefinisikan Christian Fuchs, yaitu
yang mengandung perpaduan dari information dan cognition, communication, community,
collaboration dan co-operative work. Instagram memiliki fungsi tiga yang pertama, yaitu

penyampaian informasi, komunikasi, dan komunitas.

Dari perkuliahan yang saya ikuti, saya mengambil kesimpulan bahwa politik berbicara
tentang relasi kuasa, yang mana dekat dengan dasar ilmu Cultural Studies yang
mempermasalahkan ketimpangan kuasa. Saya mencoba melihat perihal relasi kuasa yang muncul
dengan penggunaan sosial Instagram dan kaitannya dengan Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Dalam catatan media massa online, ada 7 kejadian kontroversial yang berhubungan
dengan tanggapan @AniYudhoyono atas komentar yang muncul di gambar yang diunggahnya di
akun tersebut, yaitu (1) kamera pribadinya dikomentari sebagai milik Negara pada tanggal 17

Januari 2014, (2) Ani Yudhoyono geram dengan komentar mengenai berbaju batik di pantai pada
tanggal 16 Oktober 2013, (3) kesal dengan tudingan bahwa fotonya adalah hasil editan pada
tanggal 17 Agustus 2013, (4) mengenai banjir dan Ani Yudhoyono yang dituding sibuk main
Instagram, (5) ketika ada foto Ani Yudhoyono yang sedang masak di dapur Istana Negara dan
dikomentari menggunakan cepol, (6) mengenai baju lengan panjang yang dikenakan Ibas,
anaknya, dan (7) ketika Ibas diasumsikan memiliki tato bergambar Salib.

(Contoh interaksi @AniYudhoyono dengan follower -nya. Sumber:
http://www.tempo.co/read/news/2014/01/17/078545829/Ani-Yudhoyono-Ini-Tustel-PribadiPaham)

Tujuh kejadian akun Instagram @AniYudhoyono ini viral pada harinya dan dimuat
sebagai artikel berita dalam berbagai media massa online seperti Kompas.com dan Tempo.co.
Yang saya lihat dari pemberitaan yang dilakukan media adalah penyudutan posisi Ani
Yudhoyono sebagai Ibu Negara dan komentar-komentarnya yang dianggap tidak pas pada
tempatnya. Bahkan pada 21 Januari 2014 dilansir oleh salah satu media massa online pada
blogger senior Indonesia, Enda Nasution menyebutkan bahwa baiknya Ani Yudhoyono
memperbaiki cara berkomunikasinya, karena walaupun akun Instagram tersebut milik pribadi,
ketika berupa media sosial maka sudah masuk ranah publik, sehingga ada citra Ani Yudhoyono
sebagai Ibu Negara yang harus dijaga 1 . Sebagai tanggapan terakhir dari kisruh komentarkomentar sebelumnya, @AniYudhoyono kemudian menayangkan permintaan maafnya di
Instagram diwakili dengan gambar bunga berwarna putih.


(Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2014/01/22/1806266/
Lewat.Instagram.Ani.Yudhoyono.Minta.Maaf)

1

http://www.tempo.co/read/news/2014/01/21/219546859/Jubir-Istana-Diminta-Perbaiki-Komunikasi-Ani-SBY,
diakses Juni 2014.

Dari sini saya melihat adanya negosiasi kuasa yang terjadi melalui media sosial, tentu
peranan media massa online juga harus diperhitungkan karena secara tidak langsung mereka
turut menjadi penyebar berita, sehingga viral informasi tentang interaksi @AniYudhoyono dan
follower -nya di Instagram lebih cepat dan luas. Sebagai Ibu Negara, Ani Yudhoyono tidak harus

menanggapi komentar-komentar dari follower -nya tapi ia membuka pintu untuk berinteraksi
ketika menanggapi komentar-komentar tersebut. Kemudian dengan statusnya maka posisi Ani
Yudhoyono lebih kuat secara kuasa, namun adanya tekanan sosial yang massif di media sosial
serta media massa online membuat Ani Yudhoyono mau tidak mau bernegosiasi dengan netizen
dan akhirnya mengeluarkan pernyataan maaf tersebut. Media sosial menjadi ruang negosiasi
kuasa yang bila tidak ada media sosial tidak akan bisa terjadi.


Daftar Pustaka:
Fuchs, Christian. (2014). What is a Critical Introduction to Social Media? in Social Media: a
critical introduction (pp. 1-28). London: Sage Publication.