BISNIS DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

BISNIS DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
S. Daud Nub uf*
Abstrak
Dinamika perubahan lingkungan sebagai tekanan dari kekuatan internal dan eksternal
perusahaan memicu para pelaku bisnis untuk tidak semata-mata berorientasi pada profit bagi
kepentingan Stakeholder tetapi juga kepentingan Stakeholders. Fenomena ini jugayang turut
memicu munculnya wacana tentang tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate
Sosial Responsibility (CSR). Konsep CSR menekankan bahwa tanggungjawab perusahaan
tidak- hanya berorientasi pada profit tetapi juga bertanggung jawab terhadap lingkugan alam
dan masyarakat.
pelaku bisnis saat ini harus menjadikan tanggung jawab sosial sebagai bagian dari strategi
perusahaan secara komperehensif dan berkelanjutan karena memberikan manfaat yang lebih
besar bagi perusahaan sebagai investasi jangka panjang, maupun bagi masyarakat dalam
mensolusi masalah-masalah sosial. Tanggung jawab sosial dunia bisnis berupa menyisihkan
sebagian keuntungan untuk perbaikan lingkungan alam dan masyarakat bukan dilaksanakan
secara terpaksa melainkan merupakan suatu kesadaran bahwa lingkungan dan manusia
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Kata kunci : Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Pendahuluan
Dunia bisnis mempunyai peran yang sangat penting mulai dari jaman pra sejarah,

abad pertengahan, era merkantilisme, fisiokrat, klasik dan modern. Pada jaman modern
ini dapat dikatakan bahwa dunia bisnis telah menjadi institusi paling berkuasa di planit
ini. Merujuk berbagai sumber, seperti bukunya David C. Korten, When Corporation
Rule the world dan Anderson cavanagh dalam the top 200 : The rise of global power
yang dikutip oleh Edi Suharto (2010) disimpulkan bahwa dunia bisnis kini telah
menjelma menjadi institusi paling berkuasa dimuka bumi selama setengah abad
terakhir ini.
Dari 100 besar penguasa ekonomi dunia, 51 diantaranya adalah korporasi dan 49
nya adalah negara. Mengutip laporan the united nation conference on trade and
development (UNCTAD) the world investment (2002) ditemukan bahwa sekitar 65 ribu
korporasi transnasional bersama 850 ribu affiliasi asingnya menguasai 10% total gross
domestic bruto (GDP) dan 33% ekspor dunia.
Sejumlah korporasi multinasional memiliki pendapatan sebanding dengan GDP
negara maju dan melebihi puluhan negara miskin dan berkembang. Misalnya penjualan
tahunan general motor sebanding dengan GDP Denmark dan Omzet Exxon mobil

melebihi gabungan GDP 180 negara miskin dan berkembang. Namun demikian,
kemajuan perusahan transnasional tersebut ternyata tidak sejalan dengan perbaikan
kesejahteraan masyarakat dunia. Hingga awal milenium ini, diantara 5,4 miliar
populasi dunia terdapat sekitar 1,3 miliar manusia yang hidup di bawah 1 dolar AS

perhari (Edi suharto, 2010).
Kekuasaan pelaku bisnis yang begitu besar tersebut tentu mengandung resiko
yang tidak kecil karena sepak terjang mereka terutama perusahaan-perusahaan yang
telah meraksasa akan memberikan dampak yang nyata terhadap kualitas masyarakat
dan lingkungan alam di dunia ini. Dunia bisnis tidak lagi tepat jika memandang bahwa
tugas utama dunia bisnis adalah mencari keuntungan semata. Kemanusiaan adalah
aspek yang tidak bisa ditinggalkan, karena hal ini telah menjadi dorongan dan tuntutan
umat manusia.
Tanggung

jawab

perusahaan

atau

Corporate

Social


Responsibility

(CSR) atau sering dipertukarkan dengan frasa lain, seperti corporate sustainability,
corporate accountability corporate citizenship, corporate stewardship, corporate
philantropy, sudah selayaknya menjadi antitesa dari fenomena paradaksal kejayaan
dunia bisnis yang cukup ironis dan meresahkan sehingga tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan investasi cerdas
perusahaan. Investasi yang suatu saat nanti akan memenangkan persaingan pasar yang
ketat di era globalisasi.
Berdasarkan pengamatan terhadap praktek CRS selama ini tidak semua perusahan
mampu menjalankan CSR secara otentik sesuai dengan filosofi dan konsep CSR yang
sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak dalam bias-bias CSR berikut ini :
 Kamuflase. Perusahaan melakukan CSR tidak didasari oleh komitmen, melainkan
hanya sekedar menutupi praktik bisnis yang memunculkan “ethical questions”
Mcdonald’s corporation di AS dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah
tersandung kasus yang berkaitan dengan “unnecessary cruetly to animals“ third
word nation are exploited in producing these goods” dan mempraktekkan anak di


bawah umur (Wikipedia, 2008).

Lip service. CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan.
Biasanya, program CSR tidak di dahului oleh need assesment dan hanya diberikan
berdasarkan kelas kasihan (karitatif). Laporan tahunan CSR yang dibuat Enrondan
British American Tobacco (BAT) pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya “lib
service” belaka (Wikipedia, 2008).

Elkington (1998) dalam bukunya Canibals With Forks : The Triple Bottom Line
In 21st Centure Bussiness, mengelompokkan perusahaan yang peduli dan tidak peduli
terhadap CSR berdasarkan analogi serangga : Perusahan kategori pertama laksana
“ulat” , yang memiliki model bisnis rakus dan tidak peduli pada lingkungan
sekelilingnya. Kategori kedua adalah perusahaan yang mirip “belalang” yaitu model
bisnis yang juga ekploitatif dan degeneratif. Kategori kedua, ini mungkin saja sudah
mulai mempraktekkan CSR tetapi tidak dilakukan dengan sepenuh hati. Kategori ketiga
adalah “kupu-kupu”. Korporasi seperti ini punya komitmen kuat menjalankan CSR.
Bagi perusahaan ini CSR adalah investasi, bukan basa-basi. Kategori terakhir adalah
“lebah” perusahaan seperti ini punya sifat regeneratif atau menumbuhkan. Perusahaan
ideal ini menerapkan etika bisnis dan menjalankan good CSR.
Belum banyak pelaku bisnis yang menempatkan CSR sebagai sesuatu yang
strategis dalam bisnis perusahaan. Masih banyak yang menganggap sebagai liabilitas
dari pada asset yang akan menjadi daya dukung keunggulan dalam bersaing. Philip

Kotler dan Nancy Lee (2005) mengatakan bahwa CSR seharusnya berada pada koridor
strategi perusahaan yang diadakan untuk meraih bottom-line business goal, diantaranya
mendongkrak penjualan dan segmen pasar; membangun positioning merek; menarik,
memotivasi dan membangun loyalitas pegawai mengurangi biaya operasional, sampai
dengan membuat image korporat di pasar modal.Survey atas 850 CEO diseluruh
Eropa,Kanada melaporkan bahwa banyak CEO international menganggap CSR sebagai
kendaraan untuk meningkatkan penjualan. Para CEO Amerika menempatkan
perekrutan retensi pekerja sebagai sasaran bisnis yang paling penting dalam kerangka
CSR (Hill dan Knowlton, 2002). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa CSR sudah
menjadi nyawa dari perusahan.
Evolusi CSR
CSR yang kini marak diimplementasikan banyak perusahaan, mengalami evolusi
dan metamorfosis dalam rentang waktu yang cukup panjang. Konsep ini tidak lahir
begitu saja. Ada beberapa tahapan sebelum gemanya lebih terasa. Hanya, sejauh ini
tidak ada jejak baku yang disepakati secara bulat tentang tahap perkembangan itu.
Namun secara garis besar berdasar beberapa literatur, tahap-tahap perkembangannya
dapat didiskripsikan.
Pada saat industri berkembang setelah terjadi revolusi industri, kebanyakan
perusahaan masih memfokuskan dirinya sebagai organisasi yang mencari keuntungan


belaka. Mereka memandang bahwa sumbangan kepada masyarakat cukup diberikan
dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui
produknya, dan pembayaran pajak kepada negara. Seiring dengan berjalannya waktu,
masyarakat tak sekadar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang
diperlukannya, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab secara sosial.
Karena, selain terdapat ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat
di sekitarnya, kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan ampak
negatif, misalnay ekploitasi sumber daya dan rusaknya lingkungan di sekitar operasi
perusahaan.
Itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep CSR yang paling
primitif : kedermawanan yang bersifat karitatif. Gema CSR semakin terasa pada tahun
1960-an saat di mana secara global, masyarakat dunia telah pulih dari Perang Dunia II,
dan mulai menapaki jalan menuju kesejahteraan. Pada waktu itu, persoalan-persoalan
mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Persoalan ini telah
mendorong berkembangnya beragam aktivitas yang terkait dengan pengentasan
kemiskinan dan keterbelakangan dengan mendorong berkembangnya sektor produktif
dari masyarakat.
Gema CSR pada dekade itu juga diramaikan oleh terbitnya buku legendaris yang
berjudul “Silent Spring”. Di dalam buku ini untuk pertama kalinya persoalan
lingkungan diwacanakan dalam tataran global. Penulis buku itu, Rachel Carson, yang

merupakan seorang ibu rumah tanggal biasa, mengingatkan kepada masyarakat dunia
tangga biasa, mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa betapa mematikannya
pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Melalui karyanya itu sepertinya ia ingin
menyadarkan bahwa tingkahlaku korporasi mesti dicermati sebelum berdampak menuju
kehancuran. Sejak itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin
berkembang dan mendapat perhatian yang kian luas.
Pemikiran tentang korporasi yang lebih manusiawi juga muncul dalam “The
Future Capitalism” yang ditulis Lester Thurow tahun 1966. Pandangan Thurow pun tak
kalah tajamnya. Menurutnya, kapitalisme yang menjadi mainstream saat itu tidak hanya
berkutat pada masalah ekonomi, namun juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan
yang menjadi basis apa yang nantinya disebut sustainable society. Thurow memang
agak pesimistis bahwa konsep itu bisa diimplementasikan. Namun demikian, perilaku
karitatif sudah mulai banyak digelar oleh korporasi.

Pada dasawarsa 1970-an, terbitlah “The Limits to Growth”. Buku yang hingga kini
terus diperbarui itu merupakan hasil pemikiran para cendekiawan dunia yang tergabung
dalam Club of Rome. Buku ini mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa bumi
yang kita pijak ini mempunyai keterbatasan daya dukung. Sementara disisi lain,
manusia bertambah secara eksponensial. Karenanya, eksploitasi alam mesti dilakukan
secara berkelanjutan.

Sejalan dengan bergulirnya wacana tentang kepedulian lingkungan, kegiatan
kedermawanan perusahaan terus berkembang dalam kemasan philanthory serta
Community Development (CD). Pada dasawarsa ini, terjadi perpindahan penekanan
dari fasilitasi dan dukungan pada sektor-sektor sosial. Latar belakang perpindahan ini
adalah kesadaran bahwa peningkatan produktivitas hanya akan dapat terjadi manakala
variabel-variabel yang menahan orang miskin tetap miskin, misalnya pendidikan dan
kesehatan dapat dibantu dari luar. Berbagai program populis kemudian banyak
dilakukan seperti penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, air bersih dan
banyak lagi kegiatan sejenisnya.
Di era 1980-an makin banyak perusahaan yang menggeser konsep filantropisnya
kearah Community Development. Intinya kegiatan kedermawanan yang sebelumnya
kental dengan pola kedermawanan ala Robbin Hood makin berkembang kearah
pemberdayaan

masyarakat

semisal

pengembangan


kerja

sama,

memberikan

keterampilan, pembukaan akses pasar, hubungan inti-plasma, dan sebagainya.
Dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan
seperti pendekatan integraal, pendekatan stakeholder maupun pendekatan civil society.
Beragam pendekatan tersebut telah mempengaruhi praktek CD. CD. menjadi suatu
aktivitas yang lintas sektor karena mencakup baik aktivitas produktif maupun sosial dan
juga lintas pelaku. Sebagai konsekuensi berkembangnya keterlibatan berbagai pihak.
Pada tataran global, tahun 1992 diselenggarakan KTT Bumi (Earth Summit). KTT
yang diadakan di Rio de Jenairo, Brazil ini menegaskan konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) yang didasarkan atas perlindungan lingkungan
hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang mesti dilakukan.
Terobosam besar dalam kontek CSR ini dilakukan oleh John Elkington melalui
konsep “3P” (profit, people dan planet) yang dituangkan dalam bukunya “Cannibals
with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business” yang di release pada
tahun 1997. Ia berpendapat bahwa jika perusahaan ingin sustain, maka ia perlu

memperhatikan 3P, yakni, bukan Cuma profit yang diburu, namun juga harus

memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam
menjaga kelestarian lingkungan (planet).
Gaung CSR kian bergema setelah diselenggarakannya World Summit on
Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg Afrika Selatan. Sejak
saat inilah, definisi CSR mulai berkembang.
Definisi CSR
Yang menarik,sebagai sebuah konsep yang makin populer, CSR ternyata belum
memiliki definisi yang tunggal. The Word Business Council for Sustainable
Development (WBCSD) misalnya, lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan
berangotakan lebih dari 120 multinasional company yang berasal lebih dari 30 negara
itu, dalam publikasinya Making Good Business Sense mendefinisikan CSR atau
tanggung jawab sosial perusahaan, sebagai “Continuing commitment by business to
behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of
life of the local community and society and their families as well as of the local
community and society at large. “Dalam bahasa bebas kurang lebih maksudnya adalah,
komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal
dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, berssamaan dengan peningkatan kualitas
hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas

lokal dan masyarakat secara lebih luas. (Wibisono, 2000).
Versi lain mengenai devinisi CSR dilontarkan oleh World Bank. Lembaga
keuangan global ini memandang CSR sebagai “the commitment of business to
contribute to sustainable economic development working with amployees and their
representatives the local community and society at large to improve quality of life, in
ways that are both good for business and good for development.” (Wikisono, 2000).
Ricky W. Griffin dan Michael W. Pustay (2005) menyatakan bahwa tanggung
jawab sosial perusahaan adalah kumpulan kewajiban organisasi untuk melindungi dan
memajukan masyarakat dimana organisasi berada.
Edi Suharto (2010) menyatakan bahwa CSR adalah operasi bisnis yang
berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial,
melainkan pula untuk pembangunan sosial ekonomi kawasan secara halistik,
melembaga, dan berkelanjutan.
Selanjutnya sebagaimana definisi CSR yang tidak tunggal sejauh ini ada beberapa
Madzhad yang banyak dianut. yang unik, mayoritas dari mereka merujuk pada konsep
triple Gottom Sine yang merupakan buah pemikiran Elkington sebagai dasar
pelaksanaannya. Misalnya lingkup penerapan CSR gagasan “prince of wales

international bussiness forum” yang menyusun lima pilar pertama, upaya perusahaan
untuk menggalang dukungan SDM, baik internal (karyawan) maupun eksternal
(masyarakat sekitar) istilahnya building human capital. Kedua, memberdayakan
ekonomi komunitas (stregthening economies), ketiga, menjaga harmonisasi dengan
masyarakat sekitar agar tidak terjadi konflik (assesing social cahession), keempat,
mengimplementasikan tata kelola yang baik (encaeraging good corporate), kelima,
memperhatikan kelestarian lingkungan (protecting the environment).
Berdasarkan pendapat diatas, ternyata CSR. Tidak hanya dipraktekkan pada
eksternal organisasi tetapi juga pada internal perusahaan seperti yang dikemukakan oleh
Gurvy Cavey(Wibisono, 2000) bahwa CSR dipraktekkan dalam tiga area : Pertama,
ditempat kerja mencakup : kesehatan dan keselamatan kerja, pengembangan knowledge
dan skill karyawan, peningkatan kesejahteraan dan bahkan mungkin kepemilikan
saham. Kedua, dikomunitas berupa charity, philantropy maupun community
development. Ketiga, terhadap lingkungan berupa proses produksi yang ramah
lingkungan, pelestarian lingkungan hidup.

Tipologi Perusahan dan Cara pandangnya Dalam menerapkan CS R
Menurut suharto (2010) secara garis besar, tipilogi perusahan dalam merespon
CSR dapat dikategorikan kedalam empat jenis perusahan yakni ; Perusahan nakal,
perusahan licik, perusahan baik dan perusahan maju. Dua tipe perusahan yang disebut
pertama responnya cenderung negatif yakni melawan atau menyembunyikan. Seiring
dengan meningkatnya kesadaran pihak internal perusahan dan tekanan pihak eksternal
tipe perusahan baik dan perusahan maju merespon CSR. Perusahan nakal cenderung
tidak melakukan apa-apa atau hanya melakukan CSR yang sifatnya karikatif sedangkan
perusahan maju melakukan CSR berdasarkan kaidah kaidah community development
dan bahkan dengan menerapkan prinsip prinsip investasi sosial.
Perusahaan nakal dan licik tentu memandang CSR sebagai suatu strategi untuk
mendatangkan keuntungan bagi perusahaannya walaupun dilakukannya program CSR
semata-mata hanya untuk menaati peraturan atau regulasi yang ada maupun karena
tekanan eksternal (media masa, LSM, masyarakat). Bagi perusahaan yang baik dan

maju tentu program CSR dilaksanakan sebagai suatu kesadaran akan pentingnya,
masyarakat, lingkungan dan ekonomi.
Walaupun masih terdapat permasalahan-permasalahan yang memandang CSR
sebagai upaya memperoleh keuntungan semata atau yang bersifat karikatif, kesadaran
tentang pentingnya CSR terus menjadi tren seiring dengan semakin maraknya
kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan
diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial.
Konkretnya, pengusaha-pengusaha Amerika Serikat sudah semakin keras dengan
produk furniture yang datang dari Indonesia. Pasalnya, produk furniture diharuskan
menerapkan ecolabeling, suatu tanda bukti bahwa kayunya diambil secara bijaksana
dengan memperhatikan lingkungan, misalnya, tidak menebang kayu seenaknya tanpa
upaya peremajaan.
Bank-bank di Eropa juga telah menurunkan regulasi dalam masalah pinjaman
yang hanya diberikan kepada perusahaan yang mengimplementasikan CSR dengan
baik. Sebagai contoh, mereka hanya memberikan pinjaman pada perusahaan-perusahaan
perkebunan di Asia yang memberikan jaminan bahwa ketika membuka lahan
perkebunan mereka tidak melakukannya dengan cara membakar hutan.
Tren global lainnya adalah di bidang pasal modal. Beberapa bursa sudah
menerapkan indeks yang memasukkan mengimplementasikan CSR. New York Stock
Exchange umpamanya, sekarang memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) bagi
saham-saham perusahaan yang di kategorikan memiliki nilai CSR yang baik. DJSI
mulai dipraktekkan sejak tahun 1999. Begitu pula London Stock Exchange yang
memiliki Socially Responsible Investment (SRI) Index dan Financial Times Stock
Exchange (FTSE) yang mempunyai FTSE4Good sejak 2001. Belakangan, inisiatif ini
mulai diikuti oleh otoritas bursa saham di Asia, seperti di Hangseng Stock Exhange dan
Singapore Stock Exchange. Konsekuensi dari adanya indeks-indeks tersebut memacu
investor global untuk menanamkan investasinya hanya di perusahaan-perusahaan yang
sudah masuk dalam indeks tersebut.
Selain market driven, driven lain yang sanggup memaksa perusahaan untuk
mempraktekkan CSR adalah adanya penghargaan-penghargaan

(reward) yang

diberikan oleh segenap institusi atau lembaga. Misalnya CSR Award baik yang regional
maupun global, Padma (Pandu Daya Masyarakat Award yang di gelar oleh Depsos).
Aktivitas CSR berada dalam koridor strategi perusahaan yang diarahkan untuk
mencapai bottom line business goal yaitu mendatangkan keuntungan. Perbaikan konteks

ini diyakini akan menjadi sumber keunggulan kompetitif yang sangat powerfull bagi
perusahaan.
Implementasi CSR itu merupakan langkah-langkah pilihan sendiri, sebagai
kebijakan perusahaan, bukan karena dipaksa oleh aturan dan tekanan masyarakat.
Perusahaan telah melepaskan motif-motif ke PR-an saat mempraktikkan CSR.
Istilahnya karenanya, beyond PR, beyond profit, beyond compliance. Ini karena dalam
kegiatan CSR itu ada nuansa mengedukasi dan berkomunikasi dengan masyarakat,
nuansa kebersamaan dan nuansa kenabian. Jadi semata-mata tulus karena niat berbuat
baik saja.
Bahwa kemudian efeknya positif ke arah pembentukan citra, melampaui standar
regulasi yang berlaku, mendongkrak nilai saham, atau memenangi kompetisi dan
memperoleh penghargaan, itu sudah seharusnya. Tapi

itu awalnya murni karena

korporasi berniat untuk berbuat baik.
Selanjutnya bila diamati secara cermat sebagaimana yang diungkap oleh
D.grayson dan A. Hodges dalam bukunya everybody’s business tekanan untuk
melaksanakan CSR kini semakin kuat. Menurut mereka setidaknya ada 2000 lebih
perusahaan di dunia yang senantiasa melaporkan secara Rutin dampak aktivitas
perusahaan yang masuk fortune 500 yang mendesain departemen sendiri dibawah
seorang manajer yang didedikasikan secara khusus

untuk mengelola CSR secara

terorganisasi (Swa, Desember 2005).
Model Tanggung Jawab Sosial
Menurut Sukanto (2000) ada empat model pola TSP di Indonesia
1. Keterlibatan Langsung Perusahaan menjalankan program TSP secara langsung
dengan

menyelenggarakan

sendiri

kegiatan

sosial

atau

menyerahkan

sumbangan secara langsung kepada masyarakat tanpa peraturan.
2. Melalui Yayasan Atau Organisasi Sosial Lain
Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya.
Model ini merupakan adapsi model yang lazim diterapkan di perusahaanperusahaan asing.
3. Bermitra Dengan Pihak Lain
Perusahaan melakukan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial atau
organisasi pemerintah, universitas, media masa baik dalam mengelola dana
maupun kegiatan sosialnya.
4. Mendukung atau bergabung dalam konsasium
Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga
sosial yang didirikan untuk tujuan sosial.

Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Di Indonesia
Penerapan CSR di Indonesia semakin meningkat baik dari kuantitas maupun
kualitas, selain keragaman kegiatan dan pengelolaannya semakin bervariasi di lihat
dari kontribusi finansial, jumlahnya semakin besar. Penelitian Piral pada tahun 2001
menunjukkan bahwa dana CSR di Indonesia mencapai lebih dari 115 miliard rupiah
yang di belanjakan untuk 279 kegiatan sosial yang terekam oleh media masa. Dilihat
dari angka komulatif tersebut perkembangan CSR di Indonesia cukup memberikan
angka rata-rata perusahaan yang menyumbangkan dana untuk kegiatan CSR adalah
sekitar 413 juta perkegiatan. (Saidi dan Abidin, 2004).

Saat ini sudah banyak

perusahaan yang menerapkan program-program tanggung jawab sosial. Mulai dari
perusahaan yang terpaksa menjalankan program tanggung jawab sosialnya karena
peraturan yang ada, sampai perusahaan-perusahaan yang benar-benar serius dalam
menjalankan program tanggung jawab sosial mereka. Berdasarkan konsep triple
Bottom line (John Elkinton, 1997) atau tiga faktor utama operasi dalam kaitannya
dengan lingkungan dan manusia (people, planit, prafit), program tanggung jawab sosial
penting untuk diterapkan oleh perusahaan karena keuntungan perusahaan tergantung
pada masyarakat dan lingkungan.
Perusahaan tidak bisa begitu dengan mengabaikan peranan stakeholder dan
shareholder dengan hanya mengejar profit semata, jika perusahaan mengabaikan
keseimbangan triple bottom line maka akan terjadi gangguan pada lingkungan sekitar
perusahaan dan manusia yang dapat menimbulkan reaksi seperti demo masyarakat
sekitar atau kerusakan lingkungan sekitar akibat aktivitas yang mengabaikan
keseimbangan tersebut. Jadi ada atau tidaknya sebuah peraturan yang mewajibkan
sebuah perusahaan yang menjalankan program tanggung jawab sosial atau tidak
sebenarnya tidak akan terlalu membawa

perubahan karena jika perusahaan tidak

menjaga keseimbangan antara people, profit dan planit maka cepat atau lambat pasti
akan timbul reaksi dari pihak yang dirugikan kepada perusahaan tersebut.
Banyak cara bisa dilakukan perusahaan untuk menerapkan tanggung jawab sosial
dan tetap menjaga keseimbangan Triple Bottom Line. Beberapa contoh perusahaan
yang telah menerapkan program-program tanggung jawab sosial antara lain :
PT. Kaltim Prima Coal sebagai salah satu peraih penghargaan Indonesia CSR
Award 2008 mempunyai prestasi yang sangat membanggakan dibidang pelestarian
lingkungan. Bahkan program lingkungan yang diterapkan oleh perusahaan berbasis

pada kemitraan dan pemberdayaan masyarakat. Contohnya, menyadari ketergantungan
masyarakat Kutai Timur (lokasi perusahaan beroperasi) terhadap sektor tambang batu
bara cukup tinggi, KPG memprakarsai program untuk kemandirian ekonomi lokal
berbasis agri bisnis. Selain itu perusahan juga melaksanakan program pelestarian alam;
yakni pembibitan dan pelestarian tanaman lokal. Dalam program ini puluhan ribu bibit
pohon lokal di tanam di daerah setempat untuk melestarikan tanaman lokal ( Suharto,
2010).
PT Unilever melalui Yayasan Unilever Peduli sejak tahun 2000 perusahaan
menjalin kerjasama dengan Universitas Gajahmada Yogyakarta, untuk mengembangkan
suatu program dengan mengajak petani lokal memproduksi kedelai hitam berkualitas.
Kedelai hitam sendiri merupakan suatu bahan baku dari produk unilever yaitu kecap
bangau. Perusahaan juga secara sinergis merangkul petani dalam kemitraan bersama
UGM yang memberikan manfaat bagi semua pihak. Dengan kemitraan tersebut, petani
kedelai hitam memperoleh pasar yang pasti sebab unilever memberi akses dalam
pemilihan seluruh hasil panen dengan harga, kualitas dan kuantitas yang telah disetujui
sebelum bibit ditanam(majalah bisnis dan CSR, 2008)
PT HM Sampoerna sebagai salah satu perusahan rokok terbesar di negeri ini, juga
menyediakan beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa baik kepada anak-anak karyawan
sendiri maupun masyarakat umum. Selain itu di kabupaten pasuruan di sekitar pabrik
dalam implementasinya, Sampoerna mengajak partisipasi seluruh pihak untuk
mensukseskan programnya. Misalnya, pemerintah desa berperan menyediakan lahan
tempat instalasi air bersih dan menyiapkan dukungan kebijakan sedangkan warga
masyarakat berperan dalam penyediaan tenaga kerja, modal sosial, dan dana distribusi
air. Sampoerna menyediakan teknologi ,pengetahuan, infrastuktur dan exploitasi serta
pendampingan masyarakat. PDAM pasuruan di gandeng untuk memberikan pelatihan
manajemen pengolahan air bersih ( majalah bisnis dan CSR , 2008 ). Contoh diatas
hanya merupakan sebagian kecil dari perusahaan di Indonesia yang telah menerapkan
program-program tanggung jawab sosial. Masih juga banyak perusahaan yang melihat
program CSR yang menghabiskan banyak biaya dan merugikan bagi mereka.
Perusahaan yang telah menjalankan program tanggung jawab sosialpun ada yang
menerapkannya karena alasan untuk mengantisipasi penolakan dari masyarakat dan
lingkungan sekitar perusahaan. Masih jarang ada perusahaan yang menjadikan program

CSR sebagi bagian dari perencanaan strategis perusahaan. Mereka tidak melihat
kenyataan di lapangan bahwa perusahaan yang menjadikan program tanggung jawab
sosial sebagai bagian dari perencanaan strategis perusahaan mempunyai corporate
image yang lebih tinggi sehingga dapat berdampak pada loyalitas yang tinggi baik pada
masyarakat yang telah di untungkan oleh perusahaan tersebut juga bagi konsumen yang
sering mengandalkan corporate image dalam mengomsumsi apa yang mereka beli.
Michael Porter, Clayton Christensen, dan Rosabet Moss Kanter mengemukakan
bahwa hanya dengan menjadikan program tanggung jawab sosial sebagai bagian dari
strategi perusahaan, program-program tanggung jawab sosial tersebut bisa abadi karna
strategi perusahaan terkait erat dengan program-program tanggung jawab sosial.
Perusahaan tidak akan menghilangkan program-program tanggung jawab tersebut meski
dilanda krisis, kecuali ingin merubah strateginya secara mendasar sementara pada
kasus-kasus program tanggung jawab sosial pada umumnya, begitu perusahaan dilanda
krisis,

program-progran

tanggung

jawab

sosial

akan

di

potong

terlebih

dahulu(Suharto,2010).
Demi kepentingan yang lebih strategis implementasi tanggung jawab sosial tidak
hanya dilakukan oleh pelaku bisnis dan kemitraannya dengan pemerintah dan
masyarakat tetapi setiap perusahaan harus mampu untuk memaksimalkan potensinya
untuk mengimplementasikan tanggung jawab sosialnya secara berkelanjutan. Dari sisi
pemerintah, perlu nya kebijakan-kebijakan nyata kepada pelaku bisnis yang telah
melaksanakan program-program tanggung jawab sosial misalnya dalam bentuk
keringanan pajak, dukungan birokrasi yang tidak berbelit-belit saat program CSR yang
dilaksanakan . dari sisi mayarakat juga perlu peran yang lebih pro aktif dan pasrtisipatif
baik dalam penyusunan program maupun pelaksanaannya .
Selanjutnya

berdasarkan contoh-contoh implementasi tanggung jawab sosial

diatas ternyata memberikan manfaat bagi pelaku bisnis dan masyarakat bagi pelaku
bisnis yang peduli terhadap tanggung jawab sosial antara lain : (1) adanya citra positif
sebagai perusahaan yang peduli dan bertanggung jawab terhadap kondisi masyarakat (2)
terciptanya hubungan yang lebih baik dengan massyarakat (3) terdukungnya operasional
perusahaan (4) meningkatnya kepuasan batin karyawan terhadap perusahaan karna
merasa memiliki kesempatan untuk orang lain sehingga menimbulkan perasaan bangga
bagi perusahaan (5) memudahkan perusahaan memperoleh bahan baku (6) dalam jangka

panjang tercipta kondisi ekonomi yang lebih baik. Bagi masyarakat manfaatnya adalah :
(1) tersedianya layanan-layanan sosial publik yang selama ini sulit di peroleh.
(2) berkembangnya usaha masyarakat,(3) meningkatnya kualitas pendidikan (4)
meningkatnya kelestarian lingkungan (5) terciptanya lapangan kerja (6) meningkatnya
mutu kesehatan (7) meningkatnya kapasitas masyarakat untuk bekerja sama (8)
terciptanya jejaring yang di butuhkan oleh kelompok-kelompok masyarakat untuk
meningkatkan kondisi kehidupan. (9) meningkatkan kedekatan sosial pada masyarakat.
Penutup
Tak dapat di pungkiri bahwa

perusahaan sebagai pelaku bisnis mempunyai

peranan yang besar bagi perubahan-perubahan sosial.. walaupun bisnis tidak dapat
diharapkan mengambil alih seluruh tanggung jawab untuk masalah sosial yang begitu
luas, namun kertergantungan masyarakat terhadap dunia bisnis semakin meningkat
untuk memecahkan isu-isu social. Inilah sejatinya merupakan ujian bagi pelaku bisnis
dalam menjalankan tanggung jawab sosial. Pelaku bisnis tidak memandang alam
sebagai sesuatu yang harus di taklukkan dan di kuasai tetapi sesuatu yang di pelihara
dan di lestarikan. Masyarakat sekitar bukanlah musuh tetapi kawan meminta
pertolongan dan perlindungan. Kesadaran itulah yang mengerakan “ virtue ethics “
seorang pebisnis sebagai pribadi ataupun bagian dari perusahaan .Etika kebajikan ini
tidak membuatnya terpaksa tetapi karena merasa patut atau perlu. Keberpihakannya
kepada lingkungan sekitar masyarakat merupakan buah dari hidupnya dalam memaknai
setiap aspek yang terkait dengan bisnisnya. Dengan demikian bagi pelaku bisnis yang
menilai tanggung jawab social sebagai suatu keharusan tidak akan merasa terpaksa
menyisihkan sebagian keuntungan perusahan untuk menghidupi warga masyarakat,
maupun melindungi lingkungan hidup.

DAFTAR RUJUKAN
Suharto, Edi, 2010, CSR & COMDEV : Investasi Perusahaan di Era Globalisasi,
Alphabeta, Bandung
Wikipedia, 2008, Corporate Social Responsibility, http://en.wikipedia.org/wiki/corporatesocial-responsibility
Elkington, Jhon. 1998 Canibals With Forks : The Triple Botton Sine In Zist Centry
Business, Gabriala Islan, BC : New Society Publishers
Kotler, P. & Nancy Lee. 2005. Corporate Responsibility : Doing The Most Good For You
Cause. Jhon Willey & Sons Me
Ricky W Griffin & Michael W. Pustay. 2005. International Business. New Jersey : Upper
Sadl River.
Wibisono Yusuf. 2007. Membedah Konsep & Aplikasi CSR, Fascho. Gresik
Majalah SWA Sembada No. 26 XXI, edisi 19 Desember 2005 11 Januari 2006
Majalah Bisnis dan CSR. 2009. Audit CSR Volume 1 No. 5