APLIKASI BUDIDAYA KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis DI TELUK EKAS KABUPATEN LOMBOK TIMUR Titiek Aslianti, 1) Bedjo Slamet dan 1) Gegar Sapta Prasetya 2)

  

APLIKASI BUDIDAYA KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis

DI TELUK EKAS KABUPATEN LOMBOK TIMUR

1) 1) 2)

  Titiek Aslianti, Bedjo Slamet dan Gegar Sapta Prasetya 1)

  

Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol PO Box. 140. Singaraja 81101, Bali

2)

  

Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta

ABSTRAK

  Ikan kerapu merupakan satu diantara komoditas ekspor yang banyak diusahakan di beberapa wilayah Indonesia

melalui budidaya dengan sistim keramba jaring apung (KJA) seperti kerapu bebek (Cromileptes altivelis), kerapu macan

(Epinephelus fuscoguttatus), kerapu sunu (Plectropomus leopardus) dan kerapu lumpur (Epinephelus coioides).

Berdasarkan data oceanografi, Teluk Ekas dinilai cukup potensi untuk pengembangan budidaya kerapu. Penelitian ini

dilakukan melaui uji coba pembesaran benih kerapu bebek di KJA dengan berbagai ukuran dan padat penebaran yang

bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut kelayakan budidayanya. Hasil uji coba menunjukkan bahwa dalam waktu 4 bulan

benih yang berukuran 100 gram menghasilkan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi dan.padat penebaran benih yang

  ±

melebihi kepadatan optimal berdampak negatif terhadap vitalitas ikan, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan ikan

terhadap serangan penyakit sehingga dapat mengakibatkan kematian masal. Hasil deteksi melalui RT-PCR menunjukkan

bahwa jenis penyakit yang menyerang ikan kerapu tergolong virus VNN (Viral Nervous Necrosis).

  Kata kunci : Kerapu bebek, pembesaran, KJA.

  ABSTRACT The grouper is one of export commodity and many culturing in some of Indonesia coastal area by floating net

cage system, such as polka dot grouper (Cromileptes altivelis), brown marbled grouper (Epinephelus fuscoguttatus),

leopard corral trout (Plectropomus leopardus) and orange spotted grouper (Epinephelus coioides). The data base of Ekas

bay oceanography showed that the Ekas bay is potencial area for grouper culture development. Therefore, it is necessary

to carryout a research to know the degree of land suitability for fish culture in the floating cages using different size and

densities of the fry. The result showed that the highest survival rate of the fry during 4 months reared in the floating cage

is the fry with initial body weight ± 100 g, and if the density of fry overing than optimal density, it could be down

vitalities and could be mass mortalities. Detection by RT-PCR showed that mass mortalities by VNN (Viral Nervous

Necrosis).

  

.

  Key Words : Polka dot grouper, fry culture, Floating net cage PENDAHULUAN

  Peranan budidaya pantai dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan besarnya potensi pengembangannya baik sumberdaya lahan maupun jenis komoditas. Kegiatan perikanan yang memanfaatkan kawasan pantai telah memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan nasional, tidak saja dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani tetapi juga sebagai sektor penghasil devisa dan mampu menciptakan lapangan kerja baru di wilayah desa pantai. Pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan sehat asal laut mengakibatkan jumlah permintaan jenis-jenis ikan laut dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

  Potensi perairan laut yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha budidaya ikan-ikan bersirip diperkirakan 3 juta Ha (Sunaryanto, et al, 2001). Upaya budidaya selain bertujuan meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan per kapita, juga untuk memenuhi permintaan pasar dunia serta memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia dengan cara-cara yang ramah lingkungan dalam upaya pelestariannya di alam baik terhadap ruaya hidupnya maupun terhadap kelestarian jenis- jenisnya.

  Ikan kerapu tersebar luas di perairan pantai baik di daerah tropis maupun sub tropis, dan termasuk jenis ikan yang hidup di perairan berkarang sehingga sering dikenal sebagai ikan karang (coral reef fish). Beberapa jenis ikan kerapu yang banyak terdapat di Indonesia seperti kerapu bebek atau tikus (Cromileptes

  

altivelis ), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu sunu (Plectropomus leopardus), kerapu lumpur

  (Epinephelus coioides), kerapu malabar (Epinephelus malabaricus), dan kerapu bintik atau batik (Epinephelus bleekeri), merupakan komoditas andalan untuk dibudidayakan karena selain memiliki nilai jual yang tinggi juga dalam proses produksinya lebih banyak memanfaatkan sumber daya laut yang ada dan menggunakan komponen lokal cukup besar, sementara hasil dari usaha budidayanya mempunyai pangsa pasar yang luas sehingga sangat potensial untuk dikembangkan yang pada gilirannya dapat meningkatkan devisa negara, Sumberdaya pesisir dan laut di wilayah perairan laut NTB mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Berdasarkan data potensi lestari (Maximum Sustainable Yield / MSY) perikanan laut

  NTB sekitar 428.439 ton, sementara tingkat pemanfaatannya relatif masih rendah sekitar 16,0% (Samodra, 2000), sehingga perlu alternatif untuk mengoptimalkan pemanfaatannya melalui peningkatan sistem pengelolaan potensi sumberdaya kelautan dengan mengembangkan budidaya laut (mariculture). Dengan mengacu pada UU no 22 tahun 1999, tentang penataan pemanfaatan ruang budidaya dan berdasarkan data oceanografi seperti lokasi yang terlindung dari gelombang besar, kondisi perairan yang tenang, dasar perairan yang terdiri dari gugusan karang, kedalaman perairan pada saat surut berkiar 15-30 meter dan mempunyai pola sirkulasi masa air (arus) yang baik, karakteristik biota laut memadai, karakteristik data sedimen serta pola sosial ekonominya, maka Teluk Ekas merupakan lokasi yang cocok untuk pengembangan budidaya kerapu. Teluk Ekas juga kaya akan sumberdaya pakan ikan berupa ikan rucah serta potensi benih lobster yang memadai.

  Kerapu bebek termasuk satu diantara jenis kerapu yang paling banyak diminati konsumen baik sebagai ikan hias (pada ukuran juvenil 3-5 cm) yang dikenal dengan nama Grace Kelly atau Polka dot

  

Grouper, maupun sebagai pasok restoran “sea food” (pada ukuran konsumsi 400-800 gram) (Aslianti, 1996).

  Ketersediaan benih telah berhasil diproduksi secara massal di Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) di Bali dengan ukuran yang relatif seragam, jumlah yang cukup serta kualitas yang terjamin sehingga dapat diandalkan sebagai sumber pasok benih yang kontinyu tanpa dipengaruhi musim (Anonimous, 1998), bahkan HSRT telah mampu menembus pasar luar negeri. Dengan demikian sumber benih relatif berdekatan dengan lokasi pembesaran di Teluk Ekas. Demikian juga hasil budidayanya akan sangat mudah dipasarkan karena propinsi Bali merupakan pelabuhan internasional sehingga peluang ekspor ikan hidup ke pasar internasional seperti Hongkong, Singapura, Jepang, Taiwan dan Thailand akan sangat mudah (Aslianti, 1996).

  Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dalam proses pembesarannya adalah tingginya tingkat kematian. Hal ini terutama disebabkan karena belum dikuasainya tehnologi pembesaran secara baku, baik ditinjau dari kondisi lingkungan perairan yang kurang mendukung maupun dari segi standar operasional (ukuran KJA, ukuran benih pada saat tebar, padat penebaran dalam pemeliharaan, pola pemberian pakan, dll). Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian tentang pembesaran kerapu di Teluk Ekas dengan mengacu pada aspek-aspek kendala budidaya, dengan tujuan untuk mengkaji lebih lanjut kelayakan sistim budidayanya sehingga dapat meningkatkan kapasitas pemeliharaan (carryng capacity) dan meningkatkan jumlah produksi yang akhirnya dapat diperoleh suatu type budidaya kerapu yang dapat diaplikasikan pada pengguna tidak saja di Teluk Ekas tetapi di seluruh wilayah perairan Indonesia.

BAHAN DAN METODE

  Penelitian ini diawali dengan pembuatan keramba jaring apung (KJA) dengan kerangka dari bahan kayu dan pelampung (sterofoam). KJA terdiri dari 10 petak/lubang dan setiap petak dipasang jaring berbentuk kurungan berukuran 2x2x2 meter. Ukuran mata jaring disesuaikan dengan ukuran hewan uji yaitu 0,50; 0,75 dan 1,00 inci. KJA dipasang di lokasi sesuai hasil survey tepatnya di desa Batu Nampar, Kecamatan Jero Waru, Kabupaten Lombok Timur. Benih kerapu bebek sebagai hewan uji terdiri dari 4 ukuran yang berbeda yaitu K-1: ± 5,00 gr (4-5,00 cm); K-2 : ± 8,00 gr (6-7,00cm); B-1: ± 10,00 gr (8-10 cm) dan B-2 : ± 100,00 gr (15-20,00 cm). Kelompok ukuran K-1 sebanyak 6.000 ekor yang dibagi dalam 6 petak sehingga kepadatan per petak adalah 1.000 ekor. Kelompok ukuran K-2 sebanyak 1200 ekor ditebar dalam satu petak, demikian juga untuk kelompok ukuran B-1 dan B-2 masing-masing ditebar dalam satu petak dengan kepadatan 600 dan 300 ekor. Pada saat awal penebaran dalam KJA dilakukan secara hati-hati mengingat sifat kerapu bebek sangat sensitive dan mudah stress dibanding dengan kerapu Macan ataupun kerapu Lumpur. Pakan berupa pellet yang berukuran sesuai dengan ukuran hewan uji diberikan 2-3 kali per hari sebanyak 2-3% dari bobot tubuh dan diberikan sampai kenyang/ikan tidak respon lagi terhadap pakan. Jumlah pakan yang dikonsumsi setiap hari diketahui dengan cara menimbang sisa pakan yang disediakan. Hal ini untuk mengetahui tingkat efektivitas pakan terhadap pertumbuhan ikan (nilai konversi pakan). Pengamatan pertumbuhan (panjang dan bobot tubuh) dilakukan setiap 15-20 hari, pengamatan visual terhadap kesehatan ikan dilakukan setiap hari, dan kelangsungan hidup diamati setiap bulan. Pengamatan laboratorium dilakukan terhadap hewan uji yang menunjukkan gejala tidak sehat dengan cara mengambil bagian tubuh ikan (otak dan mata) dan disimpan sementara dalam botol sampel yang telah berisi alcohol absolut, selanjutnya dianalisa di laboratorium dengan menggunakan metode RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction ) terutama untuk mendeteksi jenis penyakit yang disebabkan oleh virus.

HASIL DAN BAHASAN

  Pada awal penebaran, ikan belum tampak respon terhadap pakan. Keadaan ini merupakan masa adaptasi ikan terhadap lingkungan yang baru setelah ikan mengalami pengangkutan selama ± 12 jam. Parameter lingkungan yang sangat berpengaruh pada masa adaptasi adalah faktor suhu, salinitas, pH dan kondisi arus saat ikan ditebar. Masa adaptasi biasanya berlangsung sampai 2-3 hari dan selanjutnya ikan sudah mulai respon terhadap pakan. Hasil pengamatan yang dilakukan setiap 15-20 hari terhadap pertumbuhan panjang dan bobot tubuh selama 4 bulan pemeliharaan secara rinci disajikan pada Tabel 1.

  

Tabel 1. Pertumbuhan (panjang dan bobot tubuh) benih kerapu bebek, Cromileptes altivelis yang dipelihara di KJA di

Teluk Ekas P e n g a m a t a n Parameter

  1

  2

  3

  4

  5

  6 K-1 TL (cm) 4,50 7,40 8,30 8,85 9,98 11,99 BW (gr) ± 5,00 7,00 10,00 10,50 17,83 27,17 K-2 TL (cm) 6,50 9,40 10,06 10,62 12,19 13,84 BW (gr) ± 8,00 17,0 22,73 19,33 28,00 45,00 B-1 TL (cm) 9,00 11,20 12,36 12,92 14,58 15,67 BW (gr) ± 10,00 26,00 30,00 32,66 46,00 65,00 B-2 TL (cm) 17,5 20,30 19,84 20,72 20,96 21,62 BW (gr) ± 100,0 138,00 143,00 140,0 160,00 222,50

  Pada masa pemeliharaan sampai 40 hari sejak hewan uji ditebar, peningkatan pertumbuhan panjang (Gambar 1) dan bobot tubuh ikan (Gambar 2) pada semua kelompok ukuran menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, demikian juga berdasarkan pengamatan secara visual ikan tampak sangat respon terhadap pakan yang diberikan terlihat dari gerak renang yang agresif. Ditinjau dari pertumbuhan panjang dan bobot tubuh ikan selama penelitian dapat dikatakan cukup baik.

  Gam bar

25 K-1 K-2 B-1 B-2 1.

  Pertu

  20 mbuh

  ) an cm panja

   ( h

  15 u ng b u tubuh

   T g kerap n

  10 ja u n a P bebek selam

  5 a

  4 bulan peme

  1

  2

  3

  

4

  5

  6 lihar aan

  Pengamatan ke- di KJA.

  Namun pada pengamatan bulan berikutnya baik pada ikan kelompok kecil (K) maupun kelompok besar (B) tidak menunjukkan kenaikkan pertumbuhan yang berarti. Peningkatan pertumbuhan panjang dan bobot tubuh dari semua perlakuan nampak lebih lambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan jenis-jenis ikan kerapu lain. Hal ini disebabkan selain proses pemanfaatan pakan pellet dalam pencernaan memerlukan waktu lebih lama dibanding ikan rucah juga sifat genetis, selektif dalam memilih pakan dan kepekaan terhadap perubahan lingkungan dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhannya. Disamping itu dengan bertambahnya ukuran ikan kerapu, sifat alaminya sebagaimana hidupnya di alam semakin tampak yaitu termasuk jenis ikan yang pasif (Thobaity and James, 1996). Heemstra and Randall, (1993) mengatakan bahwa pada batas ukuran tertentu pertumbuhan kerapu bebek cenderung lambat. Dikatakan oleh Djajasewaka (1985) bahwa fungsi utama pakan adalah untuk kelangsungan hidup, apabila ada kelebihan akan dimanfaatkan untuk

  250 200 K-1 K-2 B-1 B-2 ) r 150 g ( h u b tu 100 t o b o B

  50

  1

  2

  3

  4

  5

  6 Pengamatan ke-

Gambar 2. Pertumbuhan bobot tubuh kerapu bebek selama pemeliharaan 4 bulan di KJA.

  Tingkat kelangsungan hidup ikan pada masa pemeliharaan sampai 5 minggu pertama setelah penebaran, menunjukkan hasil sangat baik (Gambar 3), yang berarti ikan telah dapat beradaptasi dengan lingkungan setempat. Tetapi berdasarkan pengamatan secara visual pada awal minggu ke-6 ikan tampak kurang sehat, seperti tingkah laku berenang yang tidak beraturan, posisi berenang sering tengadah, gerak renang yang pasif, warna pucat dan nafsu makan menurun. Kondisi ikan yang demikian menunjukkan gejala bahwa ikan mulai terserang penyakit dan berlangsung sampai minggu ke-8. Dari hasil deteksi melalui metode RT-PCR (Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction) diketahui bahwa ikan-ikan tersebut telah terserang virus VNN (Viral Nervous Necrosis). Terserangnya hewan uji oleh VNN diduga disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah kondisi lingkungan yang tidak mendukung akibat terjadinya angin kencang pada awal bulan September (minggu ke-6) menyebabkan gelombang air cukup besar dan menimbulkan pengadukan sehingga air menjadi keruh diduga kualitas air tidak mendukung kehidupan ikan. Air yang keruh banyak mengandung partikel-partikel air laut yang dapat menyumbat insang ikan, mengganggu pernafasan dan berlanjut dengan kematian. Selain itu kondisi perairan dengan pola arus yang tidak tenang dapat mengakibatkan ikan stress sehingga tidak mempunyai nafsu makan. Hal ini berdampak negatif terhadap vitalitas tubuh ikan yang menjadi lemah. Disamping itu kepadatan ikan yang cukup tinggi sementara kedalaman jaring tidak sesuai/mencukupi (2 meter), sehingga ikan yang berada di dasar jaring apabila terkena goncangan gelombang sering terlipat dan terperangkap serta terjadi benturan diantara sesama ikan yang dapat mengakibatkan luka. Ikan yang luka dan dalam kondisi lemah akibat stress akan mudah diserang penyakit dan berlanjut dengan kematian dalam jumlah yang cukup tinggi. Ikan yang terserang VNN tidak dapat diobati karena VNN tergolong virus yang menyerang syaraf. Dengan terserangnya syaraf (otak dan mata) menyebabkan gerak renang yang tidak normal. Mengantisipasi terjadinya kemungkinan kematian total, telah dilakukan penanganan dengan pemberian antibiotik berupa OTC (Oxy Tetra Cyklin) yang dicampurkan pada pakan setiap kali pemberian pakan. Pada pengamatan minggu ke-9 keadaan ikan sudah kembali sehat yang ditunjukkan dengan respon positif terhadap pakan dan gerak renang yang normal sehingga tingkat kelangsungan hidup ikan stabil sampai minggu ke 14.

  100 K-1 K-2 B-1 B-2

  80 ) % ( p u

  60 id h n a g n

  40 su g n a el K

  20

mg1 mg3 mg5 mg7 mg9 mg11 mg13

  Waktu pemeliharaan (minggu)

Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup kerapu bebek selama pemeliharaan 4 bulan di KJA.

  Berdasarkan analisis data yang tertera pada Tabel 2. menunjukkan bahwa ukuran awal hewan uji sebagai benih pembesaran di KJA (K-1; K-2 dan B-1; B-2) memberikan perbedaan yang nyata (p<0.05) baik terhadap nilai laju tumbuh harian, rasio konversi pakan harian maupun terhadap rasio konversi pakan pada akhir penelitian.

  

Tabel 2. Nilai laju pertumbuhan harian, rasio konversi pakan harian dan rasio konversi pakan pada akhir penelitian

(minggu ke-14) dari masing-masing ukuran hewan uji Variabel K-1 K-2 B-1 B-2

  Panjang total awal (cm) 4,50 6,50 9,0 19,5 Panjang total akhir (cm) 11,99 13,84 15,67 21,62 Bobot tubuh awal (gr) 5,0 6,0 10,5 100 Bobot tubuh akhir (gr) 27,17 45,0 65,0 222,5 Laju tumbuh harian (%) 2,70 2,26 1,14 1,05 Rasio konversi pakan harian (%) 2,32 2,20 1,44 1,38 Rasio konversi pakan akhir (%) 0,86 0,97 1,21 1,36

  Disimak dari Tabel 2. bahwa ikan yang berukuran kecil (K-1 dan K-2) menghasilkan nilai laju tumbuh harian lebih besar dari pada ikan yang berukuran besar (B-1 dan B-2). Hal ini membuktikan bahwa ikan uji yang berukuran kecil cenderung tumbuh lebih cepat dari pada ikan yang berukuran besar. Sesuai dengan pendapat Legler (1979) dalam Sunyoto dan Muslikh (1991) bahwa semakin kecil ukuran ikan akan menghasilkan laju pertumbuhan yang semakin tinggi dan konversi pakan yang semakin rendah. Namun tingkat kelangsungan hidupnya lebih kecil dari pada ikan yang berukuran lebih besar. Dengan mengetahui rasio konversi pakan dapat diperkirakan bobot ikan hingga mencapai ukuran konsumsi sehingga dapat ditentukan waktu panen.

KESIMPULAN DAN SARAN

  Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ikan kerapu yang berukuran 4 - 5 cm (± 5 gram) dapat digunakan sebagai benih pembesaran di KJA dengan terlebih dulu dipelihara dalam waring yang dilapisi jaring pengaman, hal ini untuk menghindari ancaman predator (ikan liar), dan secara bertahap dilakukan seleksi dan penjarangan. Namun ikan yang berukuran lebih dari 8 cm menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Kepadatan penebaran ikan optimal untuk ukuran jaring 2x2x2 m adalah 300-500 ekor, tetapi sebaiknya kedalaman jaring minimal 3 meter. Dengan melalui berbagai penelitian yang bersifat kajian kelayakan wilayah untuk budidaya, akan semakin meningkatkan produktivitas daerah yang pada gilirannya dapat meningkatkan devisa negara juga meningkatkan taraf hidup nelayan setempat.

  

Anonimous. 1998. Prospek Budidaya Ikan Kerapu Dalam KJA di Sumatra Utara. Lembar Informasi Pertanian (Liptan).

  No. 05/1997/1998. BPTP Gedong Johor Medan, Sumatra Utara.

Aslianti, T. 1996. Pemeliharaan Larva Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis Dengan Padat Tebar Berbeda. Jurnal

Penelitian Perikanan Indonesia II(2):6-12. Edisi Khusus.

  Djajasewaka, H. 1985. Pakan Ikan (Makanan Ikan). Cetakan-I. Penerbit Yasaguna. Jakarta. 47 hal.

Heemstra, P.C. and J.E. Randall. 1993. Groupers of The World. FAO Species Cataloque. Food and Agriculture

Organization of The United Nations. 416p.

  

Sunaryanto, Sulistyo, I. Chaidir, dan Sudjiharno. 2001. Pengembangan Teknologi Budidaya Kerapu : Permasalahan dan

Kebijakan. Prosiding Lokakarya Nasional. Pengembangan Agribisnis Kerapu. Peningkatan Daya Saing Agribisnis Kerapu yang Berkelanjutan Melalui Penerapan IPTEK. Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal.1-16.

Sunyoto, P. dan M. Muslikh. 1991. Pembesaran Ikan Kerapu Lumpur, Epinephelus suillus di Keramba Jaring Apung.

  Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. 7(2):117-121.

Thobaity, S., and C.M. James. 1996. Developments In Grouper Culture In Saudi Arabia. Aquaculture. Infofish

International 1/96. January/February.p22-28.

  DISKUSI Pertanyaan :

  1. Bagaimana metode pengukuran panjang dan berat ikan kerapu didalam KJA 2. Kepadatan tinggi dalam budidaya ikan kerapu menyebabkan kanibal.

  3. Upaya apa yang dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit ?

  4. Jenis pelet yang dipergunakan sebagai pakan dalam budidaya ikan kerapu apa?

  5. Apakah ada perbedaan konversi pakan pada ikan ukuran kecil dan besar Tanggapan:

  1. Cara pengukurannya dengan metode sampling, metode ini dapat mengurangi stress pada ikan kerapu

  2. Kanibalisme merupakan sifat alami ikan kerapu

  3. Hal tersebut dapat diantisipasi dengan cara antara lain: pemberian pakan 2 kali sehari sampai tidak ada respon, dan diberikan saat matahari condong ke barat

  4. Pengwasan dini terhadap ikan yang dibudidayakan 5. Ikan-ikan yang geraknya berkurang diambil dan diamati, kemudian dipisahkan dari lainya untuk diobati.

  6. Pelet yang digunakan adalah pelet komersial yag sudah beredar di pasaran.

  7. Ukuran kecil akan mempunyai laju tumbuh yang cepat sehingga konversi pakan lebih kecil.