MOKO TEMPO DOELOE DAN LEDAKAN BOM WAKTU

MOKO TEMPO DOELOE DAN LEDAKAN BOM WAKTU
(Sebuah Refleksi Atas Revitalisasi Budaya di Alor)

Kalau kita masih ingat pelajaran sejarah kelas 1 SMP atau 1 SMA, kita pasti membaca
tentang peninggalan prasejarah di Nusantara. Dalam buku sejarah, peninggalan masa
lampau itu berupa sarkofagus batu, beliung dan kapak batu, manik-manik kulit kerang, juga
nekara. Ada yang mendeskripsikan nekara sebagai bokor besar, juga katanya ada nekara
yang sakti untuk bisa meminta hujan. Di Alor, nekara disebut dengan istilah moko. Sebelum
bicara lebih jauh tentang Alor, sebaiknya kita lebih dulu memastikan apa saja yang
termasuk Alor. Menurut Bai Usu ada 7 suku yang disebut asli Alor yaitu Batulolong, Kolana,
Abui, Kabola, Ternate, Pantar, dan Treweng.
Dalam perbincangan dengan para tetua adat: Bai Usu Tangpeni, Bapak Salmon, dan Bapak
Julius dari Moramam serta Bapak Imanuel Mopa dan Bapak Ansrodin dari Wolwal, mereka
menekankan tentang peran moko sebagai pembayaran belis. Maksud mereka, orang Alor
menarik garis keturunan dari pihak laki-laki. Seorang ayah akan meneruskan nama marga
leluhurnya pada semua anaknya dan anak-anak lelaki wajib meneruskan marga itu pada
anak-anaknya lagi. Itu sebabnya anak lelaki menjadi penting karena mereka yang
meneruskan keberlangsungan suatu suku, atau dalam istilah bahasa Indonesia khas Alor
disebut dengan batu plat.
Menurut Bai Usu, dulu, dulu sekali, sebelum jaman Majapahit, moko itu pot bunga. Waktu
orang India datang ke Alor untuk beli hasil bumi, mereka juga membawa moko. Moko itu

ditukar oleh Raja Alor dengan seorang nona sebab dia lihat benda itu bagus. Orang India
tentu mau sebab moko bagi mereka bukan barang berharga tapi bisa ditukar dengan satu
nona. Raja Alor membuat keputusan bahwa moko adalah barang berharga dan berfungsi
sebagai mas kawin. Sejak itu moko menjadi bagian dari belis yang harus ada ketika
meminang perempuan. Moko sendiri punya banyak nama, seperti moko bunga tangan
panjang, moko makasar, dan moko jawa. Di pinggir moko ada ukiran-ukiran dan dari ukiran
itulah nama itu berasal.
Tokoh-tokoh adat dari generasi yang lebih muda daripada Bai Usu Tangpeni seperti Bapa Ima
Mopa dan Bapa Ansrodin berkeyakinan moko sebagai pot bunga bisa saja benar namun itu
berasal dari masa yang amat lampau, itu terjadi lama sekali sebelum masa Majapahit.
Sejauh yang mereka tahu moko selalu berfungsi sebagi alat pembayaran belis. Bersama
dengan gong sebagai alas pantat mama atau hadiah karena mama sudah setengah mati
melahirkan, moko itu pasti ada dalam acara perkawinan. Moko sebagai belis perkawinan
juga bukan hanya satu buah tetapi beberapa macam mulai yang kecil dan besar.
BOM WAKTU
Semua nara sumber yang ditemui sangat bersemangat menyederhanakan persyaratan belis
agar nilai uang yang dikeluarkan bisa lebih rendah. Tujuan dari dimurahkannya biaya belis
adalah agar tidak perlu orang habis-habisan menguras semua hartanya bahkan hinga
berutang demi bisa membayar belis. Bahkan dalam istilah para narsumber “Dulu baju di
badan pun tidak terpikir untuk diganti sebab siang malam sibuk cari cara bayar belis”.

Harapannya, uang yang sedianya digunakan untuk belis bisa dialokasikan untuk pendidikan
anak. Sebab selama ini terbukti sedikit anak yang bisa melanjutkan pendidikan tinggi.
Berkali-kali bahwa dulu orang tua bangga bila punya banyak moko tetapi sekarang akan
lebih bangga kalau di rumah ada banyak foto wisuda sarjana anak.

Keinginan orang tua untuk menyekolahkan anak setinggi-tinggnya tentu merupakan niat
mulia yang terpuji. Orang tua ingin anak-anak sekolah agar nantinya bisa mengalami hidup
yang lebih baik karena mereka lebih pintar dan punya pengetahuan sebagai bekal untuk
hidup mereka. Jaman terus berubah, orang tua ingin anak-anak tidak lagi meneruskan
profesi orang tua sebagai petani dan nelayan, tetapi ingin menjadi pegawai yang bekerja di
kantor atau menjadi guru dan perawat. Orang tua rela mengeluarkan biaya banyak agar
anak bisa sekolah. Sekolah menajdi sebbuah prestis dan kebanggaan baru bagi generasi
orang tua.
Anak muda sendiri saat ini kebanyakan tidak pusing dengan moko dan belis sebab kalaupun
mereka nanti menikah, segala hal itu bukan urusan mereka tetapi urusan orang tua dan
keluarga besar. Banyak anak ingin melanjutkan sekolah lalu kuliah agar bisa jadi orang.
Mereka berupaya untuk pergi ke ibukota kabupaten atau provinsi bahkan lintas provinsi
demi bisa menjadi sarjana. Mereka berjuang dengan masalah kiriman pas-pasan dari orang
tua, pergaulan sebaya yang penuh pilihan mulai dari kegiatan berorganisasi hingga miras
dan tawuran. Mereka berjuang melewati itu dan harus diakui tidak semua yang pergi kuliah

kemudian lulus. Namun begitu, setiap tahun ada banyak sekali wisudawan dan wisudawati
dihasilkan dari sekolah-sekolah tinggi.
Saat ini, situasi jamak di daerah-daerah adalah banyak sekali sarjana
yang belum
mendapat pekerjaan. Banyak lulusan guru, perawat, bidan, kesehatan masyarakat, dll,
belum lagi lulusan ilmu-ilmu lainnya yang masih menganggur sebab lowongan kerja yang
tersedia di daerah amat sedikit. Kalaupun ada pekerjaan sebagai tenaga sukarela setelah
menempuh proses penerimaan yang panjang dan berliku. Honorarium yang diterima
sebetulnya tidak layak untuk hidup sebulan. Akhirnya di manapun selalu ada keluhan
kurangnya tenaga PNS di setiap sekolah, puskesmas dan poskesdes. Masyarakat umum
percaya tenaga sukarela kurang bekerja dengan baik sebab timbal balik yang mereka
dapatkan sedikit. Hanya mereka yang punya jaringan saja yang bisa jadi PNS sebab kita
semua tahu bahwa di banyak tempat, bukan karena kompetensi seseorang mendapatkan
suatu jabatan.
Seperti moko dulu pernah menjadi hal yang baik dalam satu masa peradaban suku Alor lalu
sekarang perlu direvitalisasi kembali sebab ada yang sudah tidak sesuai jaman, bisa jadi
konsep pendidikan yang diharapkan orang tua saat ini pun kelak bisa menimbulkan masalah
baru. Dulu moko diterima dengan baik sebagai pembayaran mas kawin. Moko memberi arti
dan nilai bagi keluarga perempuan maupun mempelai perempuan sendiri, bahwa dia
dihargai sekalipun bisa juga dilihat bahwa perempuan diperdagangkan. Sekarang pendidikan

pun demikian, ijazah dianggap baik sebagai syarat untuk menghadapi persaingan hidup
masa kini, tapi nanti ketika semua anak memiliki ijazah tetapi tingkat pengangguran tinggi,
ini akan menjadi masalah baru. Apalagi kecenderungan membuktikan anak muda yang
berijazah sudah enggan dan malu untuk memegang cangkul dan meraba tanah. Ini hal yang
sebaiknya dipertimbangkan sebelum meledak.

Barat)

Penulis: Devi Damayanti
(Development Facilitator WVI ADP Manggarai