REKONSEPTUALISASI NEGARA DAN PEMBANGUNAN. pdf

REKONSEPTUALISASI NEGARA DAN PEMBANGUNAN
DALAM MEWUJUDKAN DEMOKRASI YANG MENSEJAHTERAKAN1
Caroline Paskarina
Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran

ABSTRAK
Demokrasi dan kesejahteraan merupakan dua isu yang sangat populer dewasa ini,
terutama setelah Indonesia memasuki era pascatransisi demokrasi. Ada harapan yang sangat
besar bahwa demokratisasi akan membawa kesejahteraan yang lebih merata bagi seluruh
rakyat Indonesia, terutama bagi mereka yang selama ini termarginalkan akibat dari
pendekatan pembangunan yang diterapkan selama masa Orde Baru. Kenyatannya, setelah
reformasi berlangsung lebih dari 1 (satu) dekade, harapan kesejahteraan tersebut tidak
kunjung menampakan tanda-tanda akan terwujud. Agenda reformasi diterjemahkan dengan
sangat prosedural dengan melakukan redesain institusi-institusi politik merujuk pada model
demokrasi liberal. Padahal, dari sisi struktural, tidak terjadi perubahan yang mendasar dalam
relasi kekuasaan karena kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber daya publik masih tetap
berada di tangan para elit. Distribusi dan alokasi sumber-sumber daya juga masih
berlangsung dalam corak patrimonial. Praktik demokrasi ala liberal justru menyebabkan
relasi patrimonial ini makin kuat dan makin mahal karena untuk memelihara legitimasi
kekuasaannya diperlukan lebih banyak biaya untuk memelihara loyalitas politik para klien
yang makin tersebar. Keberadaan institusi-institusi politik dan mekanisme demokrasi liberal

memang ada, tapi bekerja atas dasar relasi patrimonial.
Dalam konteks ini, demokratisasi tidak berdampak langsung pada penciptaan
kesejahteraan karena mekanisme pengelolaan urusan publik belum berlangsung secara
sinergis. Di sinilah praktik demokrasi secara substantif diperlukan untuk mengelola
pembangunan dengan lebih akuntabel. Dalam konteks demokrasi yang mensejahterakan,
negara dituntut untuk dapat mengelola urusan publik dengan menggunakan berbagai
mekanisme yang tersedia, baik yang berbasis hirarkhi, pertukaran, maupun solidaritas sosial.
Untuk dapat melaksanakan peran tersebut, perlu ada rekonseptualisasi peran negara sebagai
institusi yang mengelola pembangunan agar penyelenggaraan urusan publik menjadi sinergis.
Sinergitas inilah yang mengarah pada terwujudnya kesejahteraan.
Pengelolaan pembangunan di era pascareformasi melibatkan berbagai aktor di luar
negara, seperti pasar dan masyarakat. Karena itu, sinergitas dalam pembangunan perlu
dibangun atas dasar consensus bulding dan akomodasi kepentingan. Rekonseptualisasi peran
negara dan pembangunan esensinya adalah menata ulang institusi dalam pengelolaan sumbersumber daya publik sehingga alokasi dan distribusinya dapat mengarah pada pemerataan
kesejahteraan. Perubahan ini menyebabkan rekonseptualisasi peran negara dalam
pembangunan menjadi penting untuk direspon oleh kajian administrasi publik untuk
mengembangkan pendekatan institusionalisme baru dalam mengelola kompleksitas dan
horisontalisme relasi antaraktor untuk mewujudkan kesejahteraan.
Kata-kata kunci: demokrasi, kesejahteraan, pembangunan, institusionalisme
1


Disampaikan pada Konferensi Administrasi Negara III, diselenggarakan di FISIP Universitas Padjadjaran,
Jatinangor, 6-8 Juli 2010.

1

Pengantar
Wacana pembangunan umumnya dipahami dalam kaitannya dengan upaya mencapai
kesejahteraan atau taraf hidup yang lebih baik, baik secara ekonomi, sosial, budaya, maupun
politik. Meskipun demikian, rute yang ditempuh untuk mencapai kesejahteraan tersebut tidak
selalu sama. Perdebatan tentang wacana pembangunan tidak hanya berkaitan dengan
pencapaian kesejahteraan tapi juga pertarungan kepentingan yang memunculkan praktik
dominasi, hegemoni, dan marginalisasi dalam pengelolaan sumberdaya. Fenomena ini
tampak dari kecenderungan praktik pembangunan yang memposisikan negara-negara industri
maju dengan negara-negara berkembang secara diametral. Konteks ini hingga sekarang masih
mendasari perkembangan paradigma pembangunan, meskipun isu-isu yang dimunculkan
mengalami perubahan dan perluasan, tidak sekedar berfokus pada pertumbuhan ekonomi tapi
juga keadilan, keamanan, kesetaraan gender, kelestarian lingkungan hidup, dan perbaikan tata
kelola pemerintahan.
Perkembangan praktik pembangunan juga tidak dapat dilepaskan dari dinamika

perubahan fiskal dan moneter internasional yang mempengaruhi corak kebijakan
pembangunan di berbagai negara. Interaksi antara global dan nasional ini berlangsung
sepanjang perkembangan paradigma pembangunan, mulai dari masa kolonialisme, masa
pasca-Perang Dunia II, masa pasca-Perang Dingin, hingga masa sekarang yang membagi
dunia ke dalam dua kutub besar, yakni negara-negara Utara (yang merupakan negara-negara
industri maju) dan negara-negara Selatan (yang merupakan negara-negara industri baru atau
negara-negara berkembang). Klasifikasi tersebut seolah menjadikan model pembangunan
yang diterapkan di negara-negara maju sebagai panduan yang harus diikuti bagi negaranegara berkembang untuk mencapai tahap kemajuan yang sama. Padahal, setiap negara
memiliki konteks yang berbeda, sehingga tidak ada model pembangunan yang sepenuhnya
berlaku untuk semua kondisi negara.
Dinamika perkembangan pemikiran pembangunan menunjukkan bahwa proses
penciptaan kesejahteraan merupakan proses politik yang diwarnai pertarungan kepentingan
dalam kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber daya. Dalam konteks ini, pencapaian
kesejahteraan tidak semata ditentukan oleh kesesuaian antara rencana dengan realisasinya
sebagaimana diasumsikan oleh pendekatan manjerial-teknokratis, tapi terutama oleh
kapasitas negara dalam mengelola mekanisme alokasi dan distribusi sumber-sumber daya.
Perbedaan preferensi dalam menerapkan mekanisme tersebut ditentukan oleh banyak faktor,
termasuk kepentingan berbagai pihak yang terkait dengan pengelolaan sumber daya tersebut.
2


Kegagalan dalam mewujudkan kesejahteraan secara merata tidak selalu ditentukan oleh
faktor-faktor ekonomi, seperti ketersediaan sumber-sumber pertumbuhan atau akumulasi
kapital, tapi seringkali disebabkan oleh faktor-faktor yang lebih bersifat politik, seperti
komitmen pemerintah untuk meredistribusi sumber daya agar dapat diakses oleh kelompokkelompok marginal (Shaoguang dan Angang, 1999).
Reformasi di Indonesia seyogianya menjadi awal perubahan praktik pemerintahan
menjadi lebih demokratis, termasuk mengubah praktik pembangunan menjadi lebih
berorientasi pada pemerataan kesejahteraan. Tapi, upaya ini tidak mudah dilakukan karena
konteks yang melatarbelakangi pengelolaan sumberdaya telah mengalami perubahan yang
signifikan. Perubahan dalam pengelolaan sumberdaya tersebut ditandai oleh berkurangnya
peran negara dalam pembangunan, berkembangnya mekanisme baru dalam tata kelola
pemerintahan, serta munculnya aktor-aktor non negara bahkan supranegara yang turut
mempengaruhi kebijakan pembangunan dalam suatu negara. Implikasinya, pengelolaan
pembangunan di masa sekarang menjadi lebih kompleks, sehingga diperlukan pendekatan
baru untuk merekonseptualisasi pembangunan agar lebih kontekstual.
Pendekatan pembangunan

yang

berkembang


sejak

periode

akhir

1990-an

menunjukkan tidak relevannya lagi dikotomi antara negara dan pasar sebagai aktor utama
dalam pengelolaan sumber-sumber daya. Kegagalan negara maupun pasar justru
memunculkan mekanisme baru yang berbasis pada kekuatan solidaritas sosial. Praktik
pembangunan yang berkembang sekarang justru mengarah pada perlunya penguatan ketiga
mekanisme tersebut secara sinergis. Wacana tentang sinergitas tersebut pada dasarnya
merupakan awal dari kemunculan isu strategis baru dalam pembangunan, yakni tentang
pentingnya pengelolaan institusi dalam pembangunan.
Institusi, dalam arti seperangkat aturan atau norma yang menentukan bekerjanya
mekanisme pengelolaan sumberdaya, menjadi penting untuk membangun sinergitas dalam
pembangunan. Institusi tidak terwujud secara otomatis atau alamiah, tapi dibentuk melalui
proses politik yang diawali oleh rekonseptualisasi peran negara dalam pembangunan. Dalam
konteks demokrasi yang mensejahterakan, negara dituntut untuk dapat mengelola urusan

publik dengan menggunakan berbagai mekanisme yang tersedia, baik yang berbasis hirarkhi,
pertukaran, maupun solidaritas sosial. Rekonseptualisasi peran negara inilah yang selama
rentang 12 tahun reformasi di Indonesia (agak) terabaikan, sehingga sekalipun telah ada
kebebasan dan pengakuan hak-hak individual, tapi perubahan ini tidak mengarah pada
perubahan dalam pola kepemilikan, penguasaan, alokasi, dan distribusi sumber-sumberdaya.
3

Karena itu, rekonseptualisasi peran negara dan pembangunan esensinya adalah
menata ulang institusi dalam pengelolaan sumber-sumber daya publik sehingga alokasi dan
distribusinya dapat mengarah pada pemerataan kesejahteraan. Untuk itu, pemahaman tentang
karakter dari setiap mekanisme pengelolaan sumberdaya menjadi penting untuk dipahami,
terutama dalam konteks demokrasi yang mensejahterakan. Dalam konteks demokrasi yang
mensejahterakan, negara dituntut untuk dapat mengelola urusan publik dengan menggunakan
berbagai mekanisme yang tersedia, baik yang berbasis hirarkhi, pertukaran, maupun
solidaritas sosial dengan sinergis. Penguatan kapasitas negara inilah yang kemudian
melandasi perlunya penerapan pendekatan institusionalisme baru dalam pengelolaan
pembangunan. Kerangka pikir inilah yang melandasi uraian makalah berikut ini.

Mekanisme


Pengelolaan

Sumberdaya

dalam

Konteks

Demokrasi

yang

Mensejahterakan
Studi tentang mekanisme pengelolaan sumberdaya2 pada awalnya berkembang dalam
kajian-kajian ekonomi karena berhubungan erat dengan upaya penciptaan kesejahteraan.
Faktanya, pengelolaan sumberdaya bukan hanya merupakan proses ekonomi atau manajerial
karena pilihan terhadap mekanisme yang digunakan sangat ditentukan oleh struktur
kekuasaan yang berlaku, khususnya yang menyangkut sistem pengambilan keputusan.
Struktur kekuasaan inilah yang menentukan bagaimana keputusan-keputusan dalam hal
produksi, alokasi, dan distribusi sumberdaya diambil, siapa yang paling menentukan

pengambilan keputusan, serta siapa yang paling diuntungkan dari keputusan tersebut. Karena
itu, studi tentang mekanisme pengelolaan sumberdaya juga mulai dikembangkan dari
perspektif politik yang mengkaji tentang struktur konteks kekuasaan di balik mekanisme
tersebut, juga dari perspektif administrasi publik yang mengkaji penerapan mekanisme
tersebut dalam pengelolaan urusan publik, termasuk relasi antaraktor yang berperan dalam
pengelolaan urusan publik tersebut3.

2

Sumberdaya (resource) secara umum diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan, mencapai tujuan yang diinginkan, atau sebagai media untuk memperluas akses dalam mencapai
tujuan. Lingkup sumberdaya sangat luas, mencakup baik sumberdaya yang bersifat materiil, seperti modal
finansial, pendapatan, aset, tanah, tenaga kerja, sumberdaya alam, dan sejenisnya, juga sumberdaya yang
bersifat imateriil, misalnya pengaruh, kekuasaan, status, pengetahuan, hak, dan akses untuk mempengaruhi
kebijakan (Leftwich, 1983).
3
Perkembangan studi tentang pengelolaan urusan publik dalam perspektif administrasi publik tergambar dari
perkembangan paradigma administrasi publik, mulai dari old public administration, new public management,
dan governance. Perbedaannya terletak pada fokus pendekatan yang dipakai dalam mengelola urusan publik
tersebut, yakni pendekatan administrasi (state-centred) yang menjadi ciri khas paradigma old public

administration, pendekatan manajemen yang dipengaruhi oleh perkembangan peran sektor privat yang menjadi

4

Secara umum, pengelolaan sumberdaya terbagi ke dalam 3 (tiga) mekanisme 4, yakni:
mekanisme hirarkhi, pertukaran, dan solidaritas yang masing-masing memiliki karakteristik
sebagai berikut.
Tabel 1
Mekanisme Pengelolaan Sumberdaya
Pembanding

Mekanisme
Hirarkhi/Etatisme

Mekanisme
Pertukaran/Pasar

Basis hubungan
Arena/medium
hubungan

Prakondisi bekerjanya
mekanisme

Struktur hirarkhi
Otoritas formal

Kontrak
Harga

Sentralisasi
kekuasaan

Karakter hubungan

Subordinatif

Tingkat
ketergantungan
Penjaminan
kepatuhan


Tergantung

Keterbukaan,
informasi simetrik,
rasionalitas
Kompetitif,
transaksional
Indepeden

Penyelesaian konflik

Penciptaan
kesejahteraan

Kontrol birokrasi

Konsensus berbasis
sistem harga dan
kontrak
Aturan dan perintah
Tawar-menawar
(mekanisme pasar)
dan pengadilan
Redistribusi
oleh Akumulasi kapital
negara
oleh
individuindividu
untuk
menghasilkan
kemakmuran
bersama

Mekanisme
Solidaritas/Resiprositas/
Jaringan
Resiprositas/imbal-balik
Kepercayaan
Nilai-nilai
tradisi/adat/kebiasaan
Altruistik,
coordination
Saling tergantung

ethical

Kepatuhan pada adat/tradisi,
solidaritas sosial
Diplomasi/negosiasi

Maksimalisasi kemanfaatan
bersama dicapai melalui
tindakan kolektif (collective
action)

Sumber: diolah dari Polanyi (1944) dalam Huang (2007) serta Pierre and Peter (2000: 15‐20)
dan Rhodes dalam G. Stoker (1999: xviii) dalam Pratikno (2008).

ciri khas new public management, dan pendekatan sinergitas antara negara, swasta, dan masyarakat yang
menjadi ciri khas governance.
4
Karl Polanyi (1944) membagi mekanisme pengelolaan sumberdaya menjadi: (a) redistribusi, di mana sumberssumberdaya dikumpulkan dan didistribusikan melalui pengambilan keputusan secara terpusat dan dikontrol oleh
birokrasi; (b) pertukaran pasar, di mana aktivitas-aktivitas produksi, distribusi, dan pertukaran sumberdaya
dilakukan oleh perorangan atau perusahaan. Transaksi pada level makro dilakukan berdasarkan sistem
keuangan, pilihan rasional, kompetisi bebas, sedangkan pada level mikro dilakukan atas dasar relasi kontraktual;
(c) resiprositas, di mana alokasi sumberdaya didasarkan atas resiprositas/imbal-balik berbasis altruisme.
Mekanisme ini disebut juga dengan ethical coordination (Kornai, 1990) yang menekankan pada kebiasaan atau
tradisi sebagai norma yang melandasi perilaku partisipan. Sekalipun terjadi pertukaran sumberdaya, tapi
dasarnya bukan nilai uang tapi nilai-nilai tradisi, kekerabatan, atau relasi-relasi informal. Kategorisasi
mekanisme yang hampir sama juga diungkapkan oleh Pierre dan Peter (2000) serta Rhodes (dalam Stoker,
1999) yang mengaitkan mekanisme pengelolaan sumberdaya dengan konteks governance dan memasukan
mekanisme jaringan (network) sebagai salahsatu mekanisme dalam produksi, alokasi, dan distribusi
sumberdaya. Mekanisme jaringan bekerja atas dasar prinsip resiprositas dan kepercayaan (trust), sehingga
esensinya tidak jauh berbeda dengan model yang ditawarkan Polanyi dan Kornai.

5

Berbeda dengan praktik pembangunan pada periode 1950-an dan 1980-an, di mana
salahsatu mekanisme mendominasi praktik pengelolaan sumberdaya, pada masa sekarang,
tidak ada satupun mekanisme yang benar-benar dominan. Ketiganya dipandang sebagai
sistem yang saling melengkapi, di mana negara tetap berperan penting untuk meregulasi
dasar-dasar institusional yang menjamin bekerjanya mekanisme pertukaran dan resiprositas.
Sekalipun pemikiran mainstream sekarang lebih mengarah pada gagasan pro-pasar, tapi
kenyataannya, peran negara masih diperlukan. Dalam konteks transisi demokrasi, di mana
nilai-nilai baru belum benar-benar terlembagakan, seringkali bekerjanya otoritas negara dan
pasar tersebut harus difasilitasi oleh mekanisme budaya lokal. Karena itu, yang diperlukan
adalah upaya untuk mengelola ketiga mekanisme tersebut untuk menghasilkan kebijakan
pembangunan yang dapat mengalokasikan dan mendistribusikan sumber-sumber daya dalam
rangka penciptaan kesejahteraan bagi publik. Upaya inilah yang menjadi esensi dari konsep
demokrasi yang mensejahterakan, sebagai proses untuk mengelola ketiga mekanisme tersebut
agar dapat berfungsi optimal sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan.
Dalam studi pembangunan, upaya mewujudkan demokrasi yang mensejahterakan
tidak dapat dilepaskan dari tinjauan mengenai peran negara dan interaksinya dengan pasar
dan masyarakat dalam mengelola sumber-sumber daya. Bates (2006) menegaskan peran
penting negara dalam pembangunan adalah untuk menjamin terwujudnya keseimbangan
antara upaya-upaya pemeliharaan keamanan dan pencapaian kesejahteraan. Distorsi
pembangunan (pengangguran, kesenjangan, dan kemiskinan) merupakan bukti dari
ketidakhadiran negara dalam menjalankan perannya tersebut, sehingga sekalipun pasar dan
masyarakat dapat bekerja untuk menyediakan barang dan jasa publik, tapi tidak terjadi
pemerataan dalam penyebaran barang dan jasa publik tersebut. Peran negara, baik secara
radikal, klasik, maupun moderat, diperlukan untuk mendesain kebijakan yang dapat
mengelola urusan-urusan publik (Sandbrook, Edelman, Heller, dan Teichman, 2007) 5.
Berperannya negara itu tercermin dari kebijakan pembangunan yang dibuat oleh negara, yang
pada dasarnya dapat bersifat regulatif6, kebijakan distributif7, dan kebijakan redistributif8
(Lowi dalam Birkland, 2005).
5
Secara radikal, pola relasi kekuasaan diubah secara struktural melalui redistribusi aset untuk mengurangi
kesenjangan dalam struktur sosial. Pendekatan klasik mengelola relasi kekuasaan dengan berbasis pada keadilan
dan pertumbuhan, melalui perombakan dalam sistem pengupahan, pembatasan subsidi, dan sejenisnya.
Pendekatan moderat menekankan pada pertumbuhan dengan memanfaatkan kekuatan pasar untuk
memberdayakan masyarakat, jaring pengaman sosial, dan pengentasan kemiskinan.
6
Kebijakan yang bersifat regulatif ditandai dengan adanya pembatasan terhadap pilihan-pilihan individual yang
ditentukan oleh negara dalam rangka meminimalkan dampak-dampak yang tidak diinginkan. Kebijakan
semacam ini mencakup penegakan hukum, pengaturan-pengaturan bisnis (seperti pengaturan tentang harga,

6

Ketiga tipe kebijakan tersebut memiliki implikasi berbeda dalam karakter kebijakan
pembangunan. Pada kebijakan regulatif, pengambilan keputusan dicapai melalui negosiasi
dan kompromi karena tidak ada institusi yang dipandang mampu untuk mendominasi proses
kebijakan. Interaksi antara negara, pasar, dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
akan sangat ditentukan oleh kemampuan pihak-pihak tersebut untuk bernegosiasi dan
berkompromi, sehingga karakter kebijakan yang dihasilkan tidak selalu menguntungkan
pihak-pihak yang sesungguhnya memerlukan kebijakan tersebut. Pada kebijakan distributif,
penentuan kriteria kelompok penerima manfaat rentan dengan penyimpangan bila dilakukan
dalam proses yang tertutup. Pada kebijakan redistributif, proses kebijakan juga dapat
mengarah pada munculnya ketidakadilan karena kebijakan yang diambil bisa mentransfer
sumber-sumber daya dari pihak yang kurang berdaya pada mereka yang berdaya. Misalnya,
kebijakan pemotongan pajak sebenarnya lebih menguntungkan pihak yang secara ekonomi
mampu ketimbang pihak yang tidak mampu. Mekanisme pengelolaan sumberdaya secara
redistributif akan ditentukan oleh kapasitas negara untuk menentukan keberpihakan dalam
mengalokasikan sumber-sumber daya ekonomi, kepemilikan, hak-hak personal, atau nilainilai lain di antara berbagai lapisan masyarakat.
Pergeseran paradigma pembangunan yang cenderung lebih berpihak pada kepentingan
pasar umumnya direspon melalui kebijakan-kebijakan industrialisasi, tapi mengabaikan
kebijakan-kebijakan yang terkait dengan penataan wilayah sebagai ruang berlangsungnya
aktivitas industrialisasi tersebut. Akibatnya, aktivitas akumulasi kapital cenderung terpusat di
wilayah-wilayah tertentu dan penyebarannya sangat terbatas hanya untuk menyerap tenaga
kerja murah atau eksploitasi sumber daya alam dari wilayah lain yang berperan sebagai
peripheri.
Konsep demokrasi yang mensejahterakan diarahkan untuk mendorong perubahan
karakter kebijakan pembangunan agar tidak semata berorientasi pada kepentingan

persaingan usaha, dll), pembatasan akses terhadap barang-barang publik, serta jaminan keamanan dan
kesehatan. Ada dua tipe kebijakan regulatif, yakni yang bersifat kompetitif dan yang bersifat protektif.
Kebijakan regulatif yang bersifat kompetitif dimaksudkan untuk membatasi penyediaan barang dan jasa pada
beberapa penyedia pelayanan yang dianggap kompeten untuk meningkatkan kondisi kompetitif dalam
penyediaan pelayanan. Kebijakan regulatif yang bersifat protektif dimaksudkan untuk melindungi masyarakat
dari dampak-dampak negatif akibat aktivitas-aktivitas yang dilakukan secara privat.
7
Kebijakan distributif adalah upaya pemerintah untuk menyebarkan manfaat pembangunan bagi bagian tertentu
populasi dan mengalokasikan biaya bagi penyediaan manfaat tersebut melalui pendapatan dari sektor pajak.
Jenis-jensi kebijakan distributif ini antara lain subsidi, bantuan bagi kegiatan riset, pengumpulan dan diseminasi
informasi, pemerataan penyebaran barang-barang publik, dan penyediaan asuransi oleh pemerintah.
8
Kebijakan redistributif merupakan kebijakan pembangunan yang ditandai dengan upaya pemerintah untuk
memberikan manfaat bagi pihak tertentu dengan membebankan sejumlah biaya pada pihak lainnya.

7

industrialisasi tapi juga mulai mengarah pada pengelolaan ruang sebagai sumber daya 9.
Melalui kebijakan tersebut, dapat dibentuk pusat-pusat kegiatan ekonomi baru di tingkat lokal
untuk memperluas akses pergerakan sumber-sumber daya lintas daerah melalui pengelolaan
aglomerasi industri, investasi infrastruktur, dan pergerakan demografis, sehingga kesenjangan
pembangunan antarwilayah dapat diminimalkan (Lefebvre, 1978l Prescott, 1987 dalam
Brenner, Jessop, Jones, dan MacLeod, 2003). Perubahan ini selanjutnya akan mengubah
mode produksi dan akumulasi kapital menjadi lebih tersebar.
Karena itu, diperlukan rekonseptualisasi peran pemerintah dalam mengelola sumbersumberdaya publik dengan lebih sinergis. Isu kuncinya adalah bagaimana merancang institusi
negara yang demokratis sekaligus memiliki kapasitas untuk mengelola pembangunan secara
efektif (White, 1998). Wacana ini tidak dapat dilepaskan dari kuatnya pengaruh internasional
dalam menyebarluaskan gagasan dan praktik demokrasi, tapi juga karena pergeseran misi dari
pembangunan itu sendiri, yang sekarang lebih diarahkan pada pengentasan kemiskinan dalam
arti luas, mencakup perluasan akses dan peluang individu untuk meningkatkan taraf hidupnya
serta pengaturan institusional yang dapat menjamin redistribusi dalam penciptaan
kesejahteraan (Leftwich, 2008). Dalam konteks ini, maka pilihan rezim yang bercorak
demokratis menjadi kompatibel dengan misi perluasan akses, kapabilitas, dan redistribusi
sumber daya tersebut.

Pendekatan Institusionalisme untuk Memperkuat Kapasitas Negara
Esensi dari rekonseptualisasi pembangunan adalah penataan ulang peran negara agar
mampu mensinergikan mekanisme hirarkhi, pertukaran, dan solidaritas sosial dalam
mengelola sumberdaya. Karena ketiga mekanisme tersebut memiliki norma dan aturan
tersendiri, maka peran negara yang diperlukan adalah kapasitas untuk mengelola institusi
yang melandasi bekerjanya ketiga mekanisme tersebut. Selama dua dekade terakhir,
9

Pemahaman tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan makna ruang ( space), dari semula hanya sebagai
batas teritorial/administratif pemerintahan, kemudian bergeser sehingga memiliki makna integral. Ruang dalam
makna integral merujuk pada teritori, tempat, dan lokasi berlangsungnya mobilisasi sumber-sumber daya secara
strategis untuk mengatur dan mereorganisasi relasi-relasi sosial dan ekonomi, termasuk dalam menentukan
bentuk intervensi negara secara geografis untuk mengubah proses-proses sosial dan ekonomi yang berlangsung
dalam wilayah tersebut. Sejalan dengan konsepsi tersebut, Poulantzas (dalam Brenner, Jessop, Jones, dan
MacLeod, 2003) menegaskan bahwa dimensi teritorial atau ruang akan menentukan “matriks kekuasaan spasial”
(spatial power matrix), di mana relasi kelas-kelas yang berlawanan: (1) disebarkan di berbagai wilayah yang
berbeda; dan (2) dipadukan dalam wilayah yang sama untuk kepentingan pencapaian tujuan. Menurutnya,
matriks kekuasaan spasial ini akan berdampak pada 2 (dua) hal: pertama , mengintegrasikan kondisi-kondisi
pembangunan ekonomi dan sosial; pertarungan dan penciptaan aliansi kelas; dan bentuk-bentuk mobilisasi
sosial lainnya, sehingga proses dan praktik-praktik tersebut dapat menghasilkan dampak lebih luas. Kedua ,
matriks kekuasaan spasial tersebut menetapkan basis bagi penciptaan kepentingan publik yang dapat
dimobilisasi sebagai agenda kebijakan.

8

pemahaman tentang konsep institusi telah berkembang pesat seiring dengan kemunculan
pendekatan new institutionalism (Rhodes, 2006) yang mengalihkan fokus kajian dari institusi
politik formal (dalam bentuk lembaga-lembaga kenegaraan menjadi institusi informal, yang
mencakup aturan-aturan yang melandasi bekerjanya relasi kekuasaan, termasuk pula konteks
historis, tradisi, ide/gagasan, dan kepentingan yang menentukan perilaku seseorang (Hall,
1996; Leftwich, 2007).
Terdapat 3 (tiga) model penerapan pendekatan institusionalisme dalam memperkuat
kapasitas negara dalam pembangunan, yakni pertama , yang menekankan pada peningkatan
kapasitas negara dalam mengelola pasar dan masyarakat (Wade, 1990; White, 1994, 1998;
dan Leftwich, 2008). Kedua , yang menekankan pada pengelolaan sumber daya bersama
(common-pool resources) oleh civil society melalui mekanisme collective action (Ostrom,
1990, 1994). Ketiga , yang menekankan pada regulasi yang responsif sebagai mekanisme
untuk mengembangkan jejaring (network) di antara negara, pasar, dan civil society (Ayres
dan Braithwaite, 1992; dan Peters dan Pierre, 1998).
Perspektif yang pertama berupaya merumuskan ulang peran yang seharusnya
dilakukan oleh negara dalam rangka memperkuat institusi kapitalisme melalui model
governing the market (Wade, 1990). Hasil studi Wade (1990) menemukan bahwa

keberhasilan praktik kapitalisme di negara-negara Asia Timur, seperti Cina, Korea Selatan,
dan Taiwan justru didukung oleh peran negara yang menetapkan pengaturan berbeda dalam
rangka menumbuhkan kapitalisme melalui penguatan pada daya saing pada sektor-sektor
industri tertentu. Kebijakan-kebijakan negara yang bersifat proteksionis diarahkan untuk
mengembangkan produktivitas industri domestik tersebut, setelah industri tersebut mampu
bersaing maka kebijakan proteksionis tersebut dilepas. Pendekatan ini berbeda dengan
strategi kapitalisme liberal yang menekankan pada kemampuan individu untuk bersaing satu
sama lain secara bebas tanpa campur tangan negara, yang justru berakibat pada kemiskinan
ketika individu-individu yang tidak punya kapabilitas terjebak dalam eksklusi sosial.
Wacana tentang peran negara dan penciptaan lingkungan yang kondusif untuk
mengelola pasar juga diungkapkan oleh Gordon White (1998) melalui konsep democratic
developmental state yang menekankan pentingnya mencari model demokrasi yang dapat

mengelola produksi, distribusi, dan alokasi sumber-sumber daya yang lebih adil. Penekanan
terhadap upaya mencari model demokrasi yang mensejahterakan tidak dapat dilepaskan dari
kritik terhadap demokrasi liberal yang dilekatkan bersama dengan pendekatan pengelolaan
sumber daya yang berporos pasar. Keduanya lahir dan berkembang dalam karakter budaya
9

masyarakat industrialis maju, dengan tingkat pendidikan formal yang tinggi, mampu berpikir
rasional, dan bertindak otonom. Tapi, karakter sosiologis tersebut tidak dimiliki oleh
masyarakat dari negara-negara sedang berkembang yang struktur sosialnya dibentuk dan
bekerja atas dasar patrimonialisme yang menjadi ciri utama dari masyarakat agraris atau
masyarakat transisi di fase awal industrialisasi. Akibatnya, ketika demokrasi liberal
diterapkan di negara-negara berkembang, keajegan prosedur tersebut tidak terwujud karena
bekerjanya institusi-institusi politik dan pemerintahan ditentukan oleh kedekatan personal
dan hubungan balas-budi ketimbang pertimbangan-pertimbangan rasional.
Di sisi lain, penerapan demokrasi liberal yang cenderung prosedural, tidak selalu
berkorelasi dengan kesejahteraan. Bahkan, dalam praktik pengelolaan sumber daya,
demokrasi prosedural tidak mampu mengubah struktur relasi kekuasaan sehingga tetap
didominasi elit yang berakibat pada korupsi, kesenjangan kapasitas ekonomi, ekslusi sosial,
dan pelemahan kapasitas politik di level grass root. Kegagalan demokrasi liberal-prosedural
dalam mewujudkan kesejahteraan terutama disebabkan oleh kesenjangan antara kapasitas
pemerintah (yang terpilih melalui mekanisme demokrasi liberal) dengan tingginya ekspektasi
publik terhadap perubahan kesejahteraan. Publik berharap agar pemimpin politik yang
terpilih secara demokratis mampu dengan segera meningkatkan taraf hidup masyarakat,
padahal, tidak semua pemimpin politik memiliki kapasitas yang memadai untuk mewujudkan
janji kesejahteraan tersebut. Selain itu, model demokrasi liberal juga memiliki kelemahan
yang inheren, yakni ketidakmampuannya dalam memberikan kepastian dan stabilitas sistem
politik karena besarnya potensi konflik akibat dinamika kompetisi politik di antara para aktor.
Akibatnya, pemerintahan yang terpilih melalui mekanisme demorasi liberal tidak selalu
mampu berkonsentrasi pada pembangunan, dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang
meregulasi maupun meredistribusi pengelolaan sumber daya, karena keharusan untuk
menjaga keseimbangan relasi kekuasaan dalam rangka memperkuat posisi kekuasaannya.
Berbeda dengan pemikiran sebelumnya yang berfokus pada penguatan institusi negara
dalam mengelola dinamika pasar dan masyarakat, perspektif kedua lebih menekankan pada
pentingnya mengembangkan kapasitas jejaring dalam mengelola sumber daya. Konsepsi ini
dilandasi oleh perubahan konteks relasi kekuasaan yang semula bercorak hirarkhis menjadi
horisontal. Dalam konteks ini, kekuatan negara untuk melakukan kontrol dalam pola relasi
yang hirarkhis semakin memudar. Dengan berubahnya konteks relasi kekuasaan menjadi
lebih horisontal, diperlukan pengaturan baru dalam pola pengelolaan sumber-sumber daya,

10

terutama bagi sumber daya yang memiliki karakter khusus 10. Sumberdaya yang termasuk
barang publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tidak boleh dimiliki dan
dimanfaatkan secara privat, sehingga harus dikelola oleh mekanisme hirarkhis oleh negara
melalui sejumlah regulasi. Sebaliknya, bagi sumber daya yang merupakan barang privat,
yang tersedia dengan jumlah relatif banyak, mudah dimiliki dan dimanfaatkan secara
perorangan, akan lebih efektif dikelola melalui mekanisme pasar berbasis pertukaran. Tapi,
ada pula sumber-sumber daya yang memiliki karakter khusus, yakni sumber-sumber daya
yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tapi keberadaannya terbatas sehingga tidak
boleh dimiliki atau dimanfaatkan secara individual. Dalam hal pengelolaan sumber daya
berkarakter common-pool resources ini, mekanisme yang lebih efektif digunakan adalah
mekanisme jejaring berbasis tindakan kolektif (Ostrom 1990; 1994).
Konsep yang ditawarkan Ostrom memberikan alternatif pengelolaan sumber daya di
luar mekanisme hirarkhi dan pertukaran, dengan memperkenalkan mekanisme tindakan
kolektif (collective action) yang dicirikan oleh negosiasi, kepercayaan, konsensus, dan
sinergi. Melalui mekanisme ini, pelibatan civil society menjadi lebih besar dalam pengelolaan
sumber daya, khususnya ketika negara maupun pasar tidak mampu menjangkau sumber daya
tersebut. Meskipun demikian, konsepsi tersebut memiliki kelemahan dalam hal kepastian
stabilitas dan keberlanjutan mekanisme yang digunakan. Konflik di antara para aktor dapat
muncul ketika proses negosiasi gagal mencapai kesepakatan tentang tujuan atau instrumen
yang digunakan dalam pengelolaan sumber daya. Penyelesaian konflik menjadi tidak mudah
karena relasi yang dibangun di antara para aktor bersifat horisontal, sehingga penciptaan
kepatuhan berbasis otoritas menjadi tidak efektif. Karena itu, perubahan dalam struktur relasi
kekuasaan juga menjadi penting untuk dilakukan untuk mengkerangkai dinamika perilaku
para aktor dalam pengelolaan sumber daya.
Perspektif yang ketiga menawarkan alternatif solusi untuk mengatasi kendala
struktural tersebut melalui pembaharuan regulasi yang responsif dalam pengelolaan sumber

10

Ostrom (1994) membagi kategori sumber daya berdasarkan dua karakteristik utama, yaitu tingkat exclusion
dan tingkat substractability. Tingkat exclusion digunakan untuk mengukur seberapa mudah suatu bentuk barang
itu bisa dimiliki dan tidak diganggu kemanfaatannya oleh pihak lain. Dengan kata lain, apakah barang itu bisa
dimiliki secara ekonomi dan dijamin kepemilikannya itu dengan hukum atau tidak. Sedangkan tingkat
substractability digunakan untuk mengukur apakah barang itu dapat dikonsumsi atau dipakai oleh individu atau
kelompok lain atau tidak. Dengan kata lain, apakah barang itu memiliki kemanfaatan yang luas dan diminati
oleh para aktor atau tidak. Dengan dua tingkat pembedaan itu, Ostrom kemudian mengklasifikasi jenis‐jenis
barang itu menjadi barang publik; barang privat; common pool resources; dan toll goods. Dalam Elinor Ostrom,
Gradner, dan Walker. 1994. Rules, Games, and Common‐Pool Resource, Michigan: University of Michigan
Press.

11

daya publik. Dalam konteks politik kontemporer, di mana kekuasaan makin tersebar dan
berkembang kutub-kutub kekuasaan baru, relasi kekuasaan menjadi makin fleksibel. Karena
itu, perdebatannya bukan lagi pada dikotomi pilihan mekanisme apa yang paling tepat untuk
mengelola sumber daya publik, tapi bagaimana ragam mekanisme yang ada tersebut dapat
disinergikan untuk menghasilkan manfaat optimal bagi publik. Pengelolaan ragam
mekanisme tersebut tetap menjadi ranah kewenangan negara (Dryzek dan Dunleavy, 2009),
tapi mekanisme yang digunakan bergeser dari konsep kontrol hirarkhis menjadi regulasi
responsif (Ayres dan Braithwaite, 1992).
Berbeda dengan perspektif democratic developmental state yang menempatkan
negara sebagai aktor utama yang menentukan regulasi, sehingga intervensi negara akan
cenderung meningkat, perspektif responsive regulation berupaya mengelola intervensi
tersebut secara proporsional melalui mekanisme delegasi kewenangan pada pihak lain di luar
negara untuk mengelola sumber daya. Kepatuhan terhadap regulasi tersebut ditumbuhkan
melalui pendelegasian kewenangan untuk melakukan pengawasan pada beragam pihak yang
terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari regulasi tersebut.
Responsivitas regulasi juga ditentukan oleh kesesuaian desain institusi (sistem dan
mekanisme) dengan tujuan yang ingin dicapai. Karena itu, desain institusi bisa berbeda-beda
sesuai dengan tujuannya (Ayres dan Braithwaite, 1992). Untuk meminimalkan korupsi dan
mencegah kooptasi yang negatif, institusi tripartism dapat diterapkan dengan melibatkan
organisasi-organisasi masyarakat ke dalam mekanisme pengelolaan sumber daya sehingga
lebih akuntabel. Model lainnya, yakni self-regulated berupaya memadukan antara strategi
kemandirian pengaturan dan kontrol hirarkhi. Pada model ini, pihak swasta dapat membuat
sendiri peraturan yang berlaku bagi dirinya tapi harus mempublikasikannya agar publik dapat
memantau pelaksanaan dari peraturan tersebut. Selain kedua model tersebut, juga ada model
partial-industry regulation yang hanya mengatur perusahaan tertentu dalam rangka

mendorong iklim kompetitif dan meningkatkan kinerja industri secara keseluruhan.
Ketiga model institusi responsive regulation tersebut pada dasarnya berupaya
memadukan mekanisme hirarkhi, pertukaran, dan solidaritas sosial dalam pengelolaan
sumberdaya karena menyadari bahwa ketiga mekanisme yang ada memiliki keterbatasanketerbatasan, terutama dalam konteks di mana kutub-kutub kekuasaan telah makin tersebar,
sehingga tidak mungkin dikelola dengan cara klasik. Demikian pula, domain bekerjanya
ketiga mekanisme tersebut tidak dapat lagi dipisahkan dengan tegas, bahkan saling terkoneksi
satu sama lain. Bekerjanya pasar, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan trust yang
12

merupakan nilai yang ada di masyarakat. Negara pun dapat mendorong tumbuhnya pasar
yang efektif melalui regulasi yang menjamin berlangsungnya pertukaran secara adil dan
terbuka. Kewenangan regulasi yang dimiliki negara akan melemah manakala pasar
mendorong terjadinya deregulasi, tapi di sisi lain, berbagai asosiasi komunitas juga dapat
memaksa negara mengeluarkan regulasi untuk mengatur pasar untuk menjamin ketertiban
sosial atau pemeliharaan lingkungan hidup.
Rekonseptualisasi pembangunan dalam kerangka demokrasi yang mensejahterakan
tidak hanya diarahkan untuk menghasilkan negara yang dapat mengelola pasar untuk
kepentingan pertumbuhan ekonomi, tapi juga mampu melaksanakan fungsi redistribusi
sumber daya melalui kebijakan-kebijakan sosial. Asumsi ini berbeda dengan konsep
mainstream yang sekarang mendominasi wacana pembangunan, bahwa negara yang efektif

adalah negara yang menerapkan capitalist democracy. Perubahan peran negara dalam
kerangka kebijakan redistributif yang menjadi esensi democratic developmental states justru
didasari oleh nilai-nilai sosial demokrasi, di mana pemerataan hasil pembangunan secara
berkelanjutan dicapai melalui reinterpretasi terhadap pola pengelolaan sumber daya yang
selama ini berlangsung, sehingga penggunaan mekanisme di luar negara dan pasar menjadi
akuntabel dan legitimate.

Penutup
Perkembangan praktik pembangunan sejak periode kolonial hingga sekarang
menunjukkan adanya pergeseran dalam model pengelolaan sumber daya, semula berorientasi
pada penciptaan kesejahteraan ( wealth creation) dalam pengertian ekonomi, sekarang lebih
berorientasi pada pengentasan kemiskinan dalam arti luas. Selain pergeseran pada orientasi
pembangunan, mekanisme yang digunakan dalam mengelola sumber daya pun mengalami
perubahan yang signifikan, baik secara paradigmatik maupun praksis.
Perubahan dalam mekanisme pengelolaan sumberdaya dan konteks globalisasi yang
menyebabkan hubungan antarnegara makin terintegrasi dalam sistem global memunculkan
wacana baru dalam pembangunan, yang terutama berfokus pada redefinisi kapasitas negara
dalam relasinya dengan pasar dan masyarakat. Dalam hal ini, pendekatan institusionalisme
dapat diterapkan untuk memperkuat kapasitas negara dalam memanfaatkan berbagai
mekanisme pengelolaan sumberdaya.
Dari tiga model penguatan kapasitas negara berbasis institusionalisme, model
responsive regulation menjadi pilihan yang lebih relevan dengan konteks Indonesia saat ini

13

yang tengah berada pada fase demokratisasi dan desentralisasi. Negara tetap memainkan
peran redistribusi meskipun praktiknya lebih halus mengingat makin terbatasnya peluang
intervensi negara. Interkoneksi di antara negara, pasar, dan masyarakat tetap ada, tetapi
prioritas penguatan kapasitas negara lebih terfokus pada perluasan kapabilitas kelompokkelompok yang tidak berdaya (powerless groups) agar punya akses terhadap sumberdaya
publik, termasuk untuk berpartisipasi dalam pengelolaannya. Peran inilah yang seharusnya
dilakukan oleh negara agar pemerataan kesejahteraan dapat tercapai.

14

Daftar Pustaka

Ayres, Ian dan John Braithwaite. 1992. Responsive Regulation: Transcending the
Deregulation Debate. New York: Oxford University Press.
Bates, Robert H. 2006. “The Role of the State in Development”. Dalam Barry R. Weingast
dan Donald A. Wittman. The Oxford Handbook of Political Economy. New York:
Oxford University Press Inc.
Dryzek, John S. dan Patrick Dunleavy. 2009. Theories of the Democratic States. Basingstoke:
Palgrave MacMillan.
Leftwich, Adrian. 1993. “Governance, Democracy, and Development in the Third World”.
Dalam Third World Quarterly 14 (3), hal. 605-624.
_____. 2000. States of Development: On the Primacy of Politics in Development. Cambridge:
Polity Press.
_____. 2008. “Developmental States, Effective States, and Poverty Reduction: The Primacy
of Politics”. Policy Paper for United Nations Research Institute for Social
Development (UNRISD) Project on Poverty Reduction and Policy Regimes. Diunduh
dari
http://www.unrisd.org/unrisd/website/projects.nsf/89d2a44e5722c4f480256b560052d
8ad/68c40b61b9f737f6c125743900508c69/$FILE/Leftwichweb.pdf pada 23 April
2010.
_____. 2007. “The Political Approach to Institutional Formation, Maintenance, and Change:
A Literature Review Essay”. Discussion Paper Series Number Fourteen. UK:
University
of
Manchester.
Diunduh
dari
http://www.ippg.org.uk/papers/April%202010.pdf pada 23 Juni 2010.
March, James G. dan Johan P. Olsen. 1989. Rediscovering Institutions: The Organizational
Basis of Politics. New York: The Free Press.
_____. 2005. Governing Complex Societies: Trajectories and Scenarios. NY: Palgrave
MacMillan.
Ostrom, Elinor. 1990. Governing the Common: The Evolution of Institutions for Collective
Action, Cambridge: Cambridge University Press.
Ostrom, Elinor, Gradner, dan Walker. 1994. Rules, Games, and Common‐Pool Resource.
Michigan: University of Michigan Press.
Peet, Richard dan Elaine Hartwick. 2009. Theories of Development: Contentions, Arguments,
Alternatives. USA: Guilford Publications, Inc.
Peters, Guy dan John Pierre. 1998. “Governance Without Government? Rethinking Public
Administration”. Journal of Public Administration Research and Theory, Vol. 8: 2.
Pratikno. 2008. “Manajemen Jaringan dalam Perspektif Strukturasi”. Jurnal Administrasi
Kebijakan Publik. Vol. 1, No. 1 (Mei 2008), hal. 1-19. Yogyakarta: MAP UGM.
Shaoguang, Wang dan Hu Angang. 1999. The Political Economy of Uneven Development:
The Case of China . New York: M.E. Sharpe, Inc.
Wade, Robert. 1990. Governing the Market: Economic Theory and the Role of Government
in East Asian Industrialization. New Jersey: Princeton University Press.
White, Gordon dan Mark Robinson (eds). 1998. The Democratic Developmental State:
Politics and Institusional Design. New York: Oxford University Press.
White, Gordon. 1994. “Democratization and Development (I): Clearing the Analytical
Ground”. Democratization, Vol. 1, No. 3, Autumn, hal. 375-390.
_____. 1998. “Building a Democratic Developmental State: Social Democracy in the
Developing World”. Dalam Democratization Vol. 5 No. 3, hal. 1 – 32.
15