Universitas Negeri Yogyakarta Program Pa

Universitas Negeri Yogyakarta

Program Pascasarjana
Program Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan

JALAN PANJANG MENUJU ACTIVE CITIZEN : KONTRUKSI DAN PARADIGMA
PENDIDIKAN POLITIK 1
RINI SETIYOWATI
15730251025

PENDAHULUAN

Peradaban bangsa di era globalisai abad ke-21 dimulai dari perkembangan serta
peran dari warga negara. Warga negara merupakan orang-orang yang secara resmi ikut
menjadi bagian dari penduduk dimana mereka menjadi salah satu unsur negara. Secara
idealisme warga negara seharusnya menjadi ujung tombang terjadinya perubahan banga.
Perubahan ini hanya akan terjadi apabila masing-masing warga negara memiliki
kesadaran untuk ikut serta dalam penyelenggaran negara menjadi good citizen and
active citizen.
Sebagaimana yang tertulis dalam Handbook of active citizenship and community

learning:
Active citizens have therefore become a central element of government
attempts to build community cohesion, devolve power to a community level,
engage people in democratic processes, and help identify and meet local needs.
Individuals may be active in a number of ways, as you would have identified
through the above task. On an individual level this may be involvement in
political processes through voting and by helping as a volunteer. Individuals can
also participate through existing, formed structures, such as serving as school
governors or on management committees of voluntary organizations. They may
also participate in natural groups, such as campaigning groups at a local,
national and global level, ‘actively challenging unequal relations of power,
1 Diajukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Pendidikan Politik Dosen Pengampu Dr. Suharno,
M.Si dan Dr. Nasiwan, M.Si

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 1

promoting social solidarity and social justice, both locally and beyond, taking
account of the global context’ (Take Part, 2006, p.13). ( Carol Packham, 2008:5)

Dalam Handbook of active citizenship and community learning , Carol packham
menyatakan bahwa warga negara yang aktif merupakan elemen dari upaya pemerintah
untuk membangun kohesi masyarakat, mengalihkan kekuasaan dari pusat hingga tingkat
masyarakat, melibatkan warga negara dalam proses demokrasi, serta warga negara yang
aktif akan membantu mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan individu. Dengan
demikian akan ada kesinambungan antara pemerintah dengan warga negaranya.
Keterlibatan warga negara dalam sistem demokrasi dapat berupa berpartisipasi aktif
dalam proses pemilihan umum, menjadi sukarelawan, serta individu dapat mengambil
bagian dalam sistem pemerintahan seperti menjadi gubernur, walikota, kepala desa
bahkan tidak menutup kemungkinan dalam sistem demokrasi warga negara dapat
menjadi Presiden
Warga negara sebagai ujung tombak komunikasi antara pemerintah yang berkuasa
dengan segala sesuatu yang diperlukan oleh rakyat, hendaknya harus diwujudkan warga
negara yang ‘melek politik’ di negara demokrasi. Untuk mewujudkan ini harus ada
sebuah education yang baik pada warga negar. “Good education to citizen will be a
good citizen and becoming active citizen” ungkapan tersebut dirasa bisa mewakili
bagaima cara untuk mewujudkan active citizen. Salah satu caranya melalui dunia
pendidikan. Pendidikan formal disekolah dewasa ini tidak hanya mengajarkan tentang
materi-materi pokok tentang mata pelajaran induk sepeti : Matematika, Ipa, Bahasa.
Namun, pendidian dewasa ini harus berkembang menjadi pendidikan yang bersifat

dinamis dan bisa menjadi solusi bagi permasalahan real yang ada di tengah masyrakat.
Pendidikan yang dapat dijadikan rujukan untuk membentuk active citizen bisa
berasal dati pendidikan politik. Pendidikan dan politik adalah dua elemen yang sangat

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 2

penting dalam sistem sosial politik di setiap negara untuk mewujudkan active citizen
sehingga bisa terjalin koherensi antara warga negara dengan pemerintahan yang
berkuasa. Pendidikan dan politik sering dilihat sebagai bagian yang terpisah dan tidak
memiliki hubungan apa-apa, tetapi keduanya saling menunjang dan saling mengisi.
Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membenbentuk
perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembagalembaga dan proses politik disuatu negara membawa dampak besar pada karakteristik
pendidikan disuatu negara (Eka Wahyuningsih, 2013).
Indonesia sebagai negara demokrasi memberikan kesempatan bagi genegarasi
muda untuk berkarya dan memberikan perananya dalam hal pendidikan politik. Hal ini
terlihat dari impres No.12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda.
Dalam Impres tersebut disebutkan tujuan pendidikan politik merupakan pedoman
kepada generasi muda Indonesia guna meningkatkan kesadaran kehidupan berbangsa

dan bernegara. Sednagkan tujuan pendidika politik lainya adalah menciptakan generasi
muda Indoensia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan
Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai salah satu usaha untuk membangun
manusia Indonesia.
Adapun yang menjadi target pendidikan politik adalah menyamakan visi dan
persepsi berbangsa dan bernegara, kesadaran sebagai warga negara yang baik, persatuan
dan kesatuan sesama generasi muda. Untuk mencapai target tersebut, materi yang
dikembangkan dalam proses pendidikan politik meliputi wawasan nusantara, UUD NRI
Tahun 1945, UU keormasan dan keorolan, sistem pemilu dan lain-lain. Melalui materi
ini, diharapkan dapat mengembangkan nilai-nilai budaya politik dan berdemokrasi,
persatuan dan kesatuan bangsa, patriotisme, dan kejuangan (Sumantri, 2003).

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 3

Pendidikan poltik dapat dan sering dipergunakan sebagai alat untuk melegitimasi
atau unmelanggengkan sitem dan struktur sosial politik yang ada. Namun sebaliknya
pendidikan politik juga dapat memainkan peran yang penting untuk suatu perubahan
atau transformasi sosial politik menuju ke sistem yang lebih demokratis dan adil.

Dengan demikian posisi peran pendiidkan politik tergantung pada paradigma atau pun
ideologi pendidikan yang dianut dan mendasari suatu kegiatan pendidikan politik.
Berangkat dari dilema adanya pendidikan politik inilah, harus dilakukan pembahasanpembahasan untuk dapat mengkonstruksi pendidikan olitik yang tepat bagi warga
negara pada negara demokrasi khususnya Indonesia. Pendidikan politik akan menjadi
pisau dengan dua mata pisaunya, dalam satu sisi pendidikan politik akan mengantarkan
warga negara yang ‘melek politik’ atau active citizen

sehingga akan membantu

membantu dalam meningkatkan kesejahteraan bangsanya. Namun, disisi lain
pendidikan politik yang tidak memiliki konstruksi yang jelas akan membuat warga
negara buta serta dijadikan alat bagi oknum-oknum penguasa untuk melakukan Korupsi
Kolusi dan Nepotisme demi kesejahteraan golongan tertentu.

PEMBAHASAN
Untuk mengantarkan pembahasan Jalan Panjang Menuju Active Citizen

:

Kontruksi Dan Paradigman Pendidikan Politik akan terlebih dahulu diuaraikan pada

letak strategis pendidikan politik untuk membangun active citizen di negara demokrasi.
Sistem pemerintahan yang di anut oleh negara akan memberikan pengaruh pada
paradigma pendidikan politik yang dibangun. Sehingga hal ini akan berpengaruh pula
terhadap implikasi pendidikan politik secara praktis untuk membentuk active citizen.

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 4

A. Posisi Strategis Demokrasi Dalam Pendidikan Politik.
Demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas
dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik (Henry B. Mayo, 1960:
70). Dengan kata lain demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dibentuk melalui
pemilihan umum untuk mengatur kehidupan bersama berdasar aturan hukum yang
berpihak pada rakyat banyak. Harris G. Warrant dalam Our Democracy at Work (1963:
2), memberikan rumusan pengertian demokrasi sebagai, “a government of the people,
by the people, for the people”. Bryan A. Garner dalam Black’s Law Dictionary (1999:
444), memberikan arti demokrasi sebagai “government by the people, either directly or

through representatives”.
Dari pemahaman mengenai demokrasi di atas, maka pilihan terhadap negara
demokrasi akan mempunyai konsekuensi demokrasi yang harus diperhatikan, yakni
memberikan kesempatan kepada rakyat selaku warga negara untuk menjalankan hak
dan kewajiban politiknya dalam bernegara. Dikemukakan oleh Robert A. Dahl dalam
On Democracy (1998: 38), bahwa “democracy provides opportunities for effective
participation; equality in voting; gaining enlightened understanding; exercising final
control over the agenda; inclusion of adults”. Artinya, bahwa dengan demokrasi akan
memberikan kesempatan kepada rakyat untuk partisipasi yang efektif; persamaan dalam
memberikan suara, mendapatkan pemahaman yang jernih; melaksanakan pengawasan
akhir terhadap agenda; dan pencakupan warga dewasa. Konsekuensi demokrasi tersebut
akan memberikan standar ukuran umum dalam melihat suatu negara sebagai negara
demokrasi. Dengan kata lain, ketika kesempatan-kesempatan yang merupakan

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 5

konsekuensi dari standar ukuran umum negara demokrasi tersebut tidak dijalankan,
maka negara tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai negara demokratis.

Konsekuensi logis lain dari sistem demokrasi yang di anut adalah memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap warga negara untuk ikut serta dalam ranah politik.
Sebagaimana dalam Handbook Civic and Political Education : School, Curriculum and
Civic Education dipaparkan tentang posisi strategis demokrasi dalam mempengaruhi
partisipasi warga negara:
Democracy can be seen as a powerful tool to make political decisions. In
this understanding, democracy is not generally inclusive and is (unfortunately)
not necessarily based on democratic values like solidarity, fairness or equity.
Such an understanding of democracy would clearly be too modest for Education
Democracy Citizenz – and especially the German history provides a cautionary
lesson of what can happen if democratic processes are weakened and lead to the
handover of power to a party that despises democratic values. (Murray Print,
2012:77).
Murray Print dalam Handbook Civic and Political Edcation:Schools, Curriculum
and Civic Eucation for Buildig Democratic Citizens, menyatakan bahwa demokrasi bisa
menjadi alat yang sangat ampuh untuk membuat serta melegalkan keputusan publik.
Sehingga dengan menggunakan alasan sistem demokrasi para pembuat kebijakan bisa
berlaku sesuai dengan keinginan kelompoknya sebagai ‘tameng’ atas peranya sebagai
warga negara yang aktif dalam pemerintahan sehingga menjadi warga negara yang baik.
Namun dalam hal ini, dapat menyebabkan terjadinya diskriminasi serta menjadi embrio

lahirnya konflik yang mengatas namakan hak asasi manusia. Diskriminasi ini
dikarenakan ada perbedaan dalam hal akses, untuk menyalurkan aspirasi sebagai warga
negara. Mereka yang tinggal di pusat perkotaan akan lebih mudah menyalurkan
aspirasinya, sedangkan yang tinggal di daerah kurang mendapatkan akses untuk itu.
Sehingga ada perbedaan pengaplikasian tentang good citizen dan active citizen.

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 6

Pendidikan politik ditengah negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi akan
memberikan implikasi, terbukanya jalan untuk mengenalkan pendidikan politik
ditengahnya.
B. Paradigma-paradigma Pendidikan Politik.
Paradigma dalam pendidikan politik akan memberikan arahan yang jelas apa yang
dicapai dari adanya pendidikan politik. Dalam belajar politik dengan merode pendidikan
politik bersifat dialogis, terbuka, rasional atau penyadaran. Baik dalam kehidupan
praktis maupun dipersekolahan akan menumbuhkan giid citizenship. Kegiatan yang
dilakukan terutama terletak pada berpartisipasi memperoleh informasi-informasi politik
misalnya membaca buku-buku teks, mengikuti perkembangan melalui media massa

elektronik dan non-elektronik, dll.
Pendidikan politik jelas berbeda dengan indoktrinasi politik yang merupakan
belajar politik yang bersifat monolog bukan dialog, lebih mengutamakan pembangkitan
emosi, dan lebih merupakan pengarahan politik untuk dukungan kekuatan (mobilitas
politik) dari pa meningkatkan partisiasi politik indoktrinasi politik ini pada umumnya
dilakukan oleh rezim otoriter atau totaliter untuk mempertahankan status quo, partai
politik juga pada umumnya lebih banyak menggunakan indoktrinasi politik dari pada
endidikan politik (Cholisin, 2000:6).
Pendidikan politik pada hakekatnya merupakan bagian dari pendidikan orang
dewasa sebagai upayya edukatif yang intensional, disengaja dan sistematis untuk
membentuk individu sadar politik dan mampu menjadi pelaku pendidikan politik yang
etis dan bertanggung jawab secara moril dalam menjaai tujuan-tujuan politik (Kartini K,
2009:4). Untuk mencapai tujuan mulia dari pendidikan politik maka harus jelas

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 7

bagaimana konstruksi dari paradigma yang digunakan dalam pendidikan politik. Berikut
paradigma-paradigma dalam pendidikan politik:

a. Paradigma Pendidikan Politik Konservatif
Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum
keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah meruakan ketentuan
sejarah atau bahkan takdir Tuhan. Peubahan sosial bagi mereka bukanlah sesuatu yang
harus diperjuangkan, karen aperubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara
saja. Dalam bentuknya yang klasik atau awal aradigma konservatif dibangun
berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan
perubahan atau mempengaruhi peubahan sosial, hanya Tuhan lah yang merencanakan
atau memperngaruhi dab hanya di yang tahu makna dibalik itu smeua. Dengan
pandangan seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki
kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, paradigma konservatif cenderung lebih
menyalahkan subjeknya. Bagi kaum konservatif , mereka yang cenderung menderita
yakni orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi
demikian karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang ternyta bisa
saja bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang ke sekolah dan belajar
untuk berprilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar
dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak
semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagian. Kaum konservatif sangat
melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat.
b. Paradigma Pendidikan Liberal

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 8

Golongan kedua yakni kaum Liberal, berangkat dari keyakinan bahwa memang
ada masalah di masyarakat tetapi bagi merek apendidikan tidak ada kaitanya dengan
persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu tugas
endidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Kaum
liberal selalu menyesuaikan pendidikan dnegan keadaan ekonomi dan politik di luar
dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai maslah yang ada dalam
pendidikan dengan reformasi “kosmetik”. Umunya yang dilakukan adalah seperti:
perlunya membangun kelas dan fasilitas baru, memoderenkan peralatan sekolah dengan
pengadaan komputer yang canggih dan laboratorium, serta berbagai usaha untuk
menyehatkan rasio murid-guru. Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan
metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih efisien dan partisipatif, seperti
dinamika kelompok (group dynamics), “learning by doing” , “experimental learning
ataupun bahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dan sebagainya. Usaha peningkatan
tersebut terisolasi dengan sistem dan struktur ketidakadilan kelas dan gender, dominasi
budaya dan represi politik yang ada dalam masyarakat.
Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi
melalui proses persaingan antar murid. Pembuatan ranking untuk menentukan murid
terbaik, adalah implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga
dapat dilihat dari berbagai peendekatan “andragogy” seperti dalam pelatihan
manajemen kewirausahaan dan amanjemen lainya. Achievement Motivation Training
(AMT) yang diciptakan oleh David McClelland adalah control terbaik pendekatan
liberal. McClelland berpendapat bahwa akar masalah keterbelakangan dunia ketiga
karena mereka tidak memiliki apa yang dinamakan “N Ach”. Oleh karena syarat
pembangunan bagi rakyat Dunia Ketiga adalah perlu virus “N Ach” yang membuat

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 9

individu agrsif dan rasional (McClelland,1961). Berbagai pelatihan pengembangan
masyarakat (community develoment) seperti usaha bersama, intensifikasi pertanian dan
lain sebagainya umumnya berpijak pada paradigma pendidikan liberal ini.
3. Paradigma Pendidikan Kritis
Pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi kaum
konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum
liberal untuk perubahan moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan
stuktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan
berada. Bagi mereka kelas dan sikriminasi gender dalam masyarakat tercermin pula
dalam dunia pendidikan. Paham ini bertentangan dengan pandangan kaum liberal di
mana pendidikan dianggap terlepas dari persoalan kelas dan gender yang ada dalam
masyarakat.
Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis,
terhadap “teh dominant ideology” ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan
menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta
melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan
tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap objektif maupun berjarak dengan
masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan
kritik terhadap sistem dominan sebagai pernikahan terhadap rakyat kecil dan yang
tertindas pendidikan harus mampu mencitakan ruang untuk mengidentiikasi dan
menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tujuan
tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami
dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 10

Dalam kaitanya dengan pendidikan politik, dengan analisis kritis terhadap posisi
pendidikan dan pelatihan dalam struktur sosial kapitalisme saat ini, pendidikan telah
menjadi bagian yang mereproduksi sistem dan sruktur yang ada, sehingga pendidikan
dan pelatihan lebih menjadi masalah ketimbang pemecahan. Posisi pendidikan dan
pelatihan lebih pada menyiapakan “sumber daya manusia” untuk mereproduksi sistem
tersebut. Dnegan posisi seperti itu pada dasarnya setiap usaha pendidikan dan pelatihan
ikut melanggengkan ketidakadilan dari sistem tersebut, serta tidak mampu memainkan
peran dalam demokratisasi dan keadilan serta penegakan HAM. Dengan kata lain
pendidikan dan pelatihan telah gagal memerankan visi utamanya yakni “ memanusiaka
manusia” untuk menjadi subjek transformasi sosial. Transformasi yang dimaksudkan
adalah suatu proses penciptaan hubungan yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Atas dasar itu diperlukan pertanyaan mendasar tentang fungsi dan peran setiap
usaha pendidikan politik sebelum dilaksanakan. Dalam kaitanya dengan kritis bagi
penghormatan atas hak asasi manusia termasuk hak perempuan, hak anak-anak, hak
kultural dan politik kaum minoritas, hak-hak penyandang cacat dan hak manusia lainya.
Memang terdapat koreksi dan saling ketergantungan antara sikap penghormatan atas
HAM dan sistem politik yang demokratis. Pendidikan kritis mendorong lingkungan
sistem politik yang demokratis akan melahirkan masyarakat yang menghargai HAM.
Namun masyakarat dmeokratis sulit diwujudkan oleh model pendidikan yang otoriter
totaliter yang merendahkan HAM. Oleh karena itu membangun sistem sosial politik
demokratis hanya bisa diwujudkan oleh distem endidikan politik kritis. Dengan kata
lain untuk menciptakan sistem politik yang demokratis dierlukan pendidikan politik
yang kritis (Mansyur Fakih, dkk :1999).

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 11

C. Implikasi Praktis pendidikan politik untuk membentuk Active citizen
Pendidikan politik dianggap penting oleh hampur semua masyarakat dan
dianggap sebagai penentu perilaku politik seseorang. Penelitian ini didasarkan pada
maksud pendidikan politik sebagai alat untuk mempertahankan sikap norma politik dan
meneruskanya dari satu generasi ke generasi berikutnya, baik melalui alkuturasi
informal maupun mellaui pendiidkan politik yang direncakan untuk menunjang
stabilitas sitem politi. Brownhill dan Smart (1989), menarik sebuah proposisi bahwa
pendidikan politik adalah proses pendidikan untuk membina siswa agar mampu
memahami, menilai, dan mengambil keputusan tentang berbagai permasalahan dnegan
cara-cara yang tepat dan rasional, termasuk dalam menghadapi maslaah yang bias
maupun isu yang controversial.
Keberhasilan pendidikan politik tentunya akan melahirkan masyarakat yang
melek politik (political literacy ) dan masyarakat yang melek olitik akan mampu
berpartisipasi secara berkualitas. Untuk berhasilnya politik dalam hal endidikan maka
pemerintah seyogyanya melakukan pendidikan politik. Pendidikan persekolahan sebagai
ujung tombak keberhasilan sistem pendididkan sevara nasional bisa dijadikan alat untuk
mencapai tujuan mulia pendidikan politik. Pendididkan politik dapat dilakukan melalui
pembelajaran di sekolah atau sosialisasi politik. Sosialisasi politik dapat dilakukan lebih
luas dengan melibatkan banyak orang dan dilaksanakan secara dialogis-interaktif bukan
indoktrinatif.
Pendidikan politik melalui pengajaran merupakan sesuatu yang menyangkut
pemberian informasi dan keahlian (keterampilan). Para pendidik politik harus
menentukan berbagai pengeetahuan yang sesuai bagi pendidikan politik dan berbagai
macam keahlian yang diperlukan untuk diberikan sebagai pegangan jika seseorang

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 12

erserta didik diberi kesempatan untuk berpartisipasi secara sukses dalam olitik bukan
hanya menyangkut tentang kekuatan saja, tetapi juga menyangkut tentang nilai-nilai,
bukan hanya dalam meraih beberapa tujuan nilai tertentu tapi juga dalam meraihnya
dengan cara menghormati martabat manusia.
Bagi para pendidik politik, salah satu cara dalam mengambil keputusan yaitu
dengan menganggap bahwa pengetahuan yang mendidik seseorang secara politik
dibutuhkan untuk meraih kesempatan dalam melaksanakanya dengan penuh
keberhasilan dalam debuah konteks politik. Pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan
seseorang dalam suatu organisasi agar dapat meraih suatu kesematan sukses. Seseorang
yang juga perlu dilibatkan dalam politik-politik (politik konsensu) dari politik konflik
dan terkadanng ahli dalam menggerakkan orang dalam direksi-direksi tertentu, dalam
hal ini disebut sebagai individu yang melek politik (Briwnhill, 1989).
Hal ini berarti melalui kegiatan pendidikan politik diharapkan terbentuk warag
negara yang berkepribadian untuh, berketerampilan, sekaligus juga berkesadaran yang
tinggi sebagai warga negara yang baik, sadar akan hak dan kewajiban serta memiliki
rasa tanggung jawab yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan
berbangsa dan berngara. Proses pencapaian tujuan pendidikan politik berhubungan
dengan aspek sikap dan perilaku seseorang. Untuk mewujudkan pendidikan politik yang
dapat membentuk active citizen maka harus dilakukan pengajaran yang memberikan
contoh setrta mendidik.
Untuk menjadi active citizen haruslah menjadi good citizen terlebih dahulu,
Good citizen tidak hanya ditandai dari aspek politik saja namun harus secara holistik,
dan aspek pendidikan tidak boleh dilupakan sebagaimana pernyataan Alexander
Cummins (1924):

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 13

A good citizen should possess a knowledge of the minimum essentials of a
common-schooel ducationa s representedb y the curriculum of the first six
grades. If he is to take a leading part in the affairs of the community state, or
nation, he should possess at least the equivalent of a six-year secondary
education-i. e., the junior and senior high school. Having achieved this much of
formal education, other things being acceptable, a person should be entitled to
the franchise of the ballot, on the ground that he is, by virtue of this training, as
well qualified to exercise this right as he would be at the age of twenty-one, if
then without the experiences represented by the high-school course. It should,
however, be required, on the ground of maturity, that the high-school graduate
be at least eighteen years of age in order to be entitled to the right of the ballot
Alexander Cummins (1924).
Dari pendapat Alexander dapat diuraikan bahwa, Good citizen merupakan
warga negara yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya pendidikan untuk masa
depanya. Pendidikan formal disekolah dengan sistem kurikulumnya akan mengantarkan
warga negara pada kemampuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki agar ia
dapat melakukan perananya sebagai warga negara. Pendidikan minimal yang harus
dimiliki oleh warga negara adalah setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
Sekolah Menengah Atas (SMA), namun agar lebih relevan warga negara harus berada
di level minimal pendidikan setara dengan SMA/ SMK/ Sederajat. Hal ini untuk
memudahkan ketika seorang warga negara akan mengambil bagian dalam urusan
bernegara. Setelah menempuh pendidikan formal akan banyak hak yang didapatkan
oleh warga negara, antara lain: warga negara berhak untuk mengikuti pemungutan
suara, dengan alasan ketika dia sudah lulus SMA maka usia minimalnya adalah 18
tahun. Disamping itu dengan bekal pendidikan formal seseorang diberbolehkan untuk
ikut serta dalam pengambilan posisi di birokrasi sesuai dengan kemampuanya.
Disamping tentang pentingnya pendidikan formal, sebagai good citizen untuk
mewujudkan active citizen juga harus mengetahui kondisi terkini, seperti hubungan
kenegaraan, kondisi lingkungan yang harus diperbaiki, hal ini menjadi sangat penting

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 14

agar warga negara mengetahui apa yang harus dilakukakan. Hal ini senada dengan
pernyataan Alexander Cummins (1924):
A good citizen should be reasonably well informed on matters of current
events, particularly such matters as national relations, important public
improvements, and all propositions coming before the people for decision at
the polls.
Pengetahuan ini penting agar warga negara mengetahui dengan pasti
identitasnya, sehingga tidak terombang – ambing oleh pesatnya arus globalisasi yang
bisa mengancam integritas negara. Sebagaimana uraian Alexander Cummins (1924)
dalam jurnal Civic education : A good citizen should have special knowledge of at least
one vocation and at least two avocations. Pengetahuan yang diperoleh baik dari
lingkungan sosial maupun bangku pendidikan formal harus digunakan agar dapat
memecahkan masalah yang ada di lingkunganya. Good citizen tidak hanya harus
memiliki kecakapan namun harus bisa memberikan manfaat bagi negaranya. Hal ini
juga senada dengan pendapat Alexander Cummins (1924) yaitu : A good citizen should
be fairly well informed as to social usages, such as ordinary courtesies in traveling and
at home, as to certain justifiable social distinctions, and as to a few of the more
common rules of etiquette. Warga negara yang baik harus memberikan manfaat bagi
negaranya.
Masih menurut Alexander Cummins (1924): Last, but not least, a good citizen
should know how to control himself under various circumstances that he is likely to
meet, and to discriminate carefully between the duties and obligations which he owes to
home, church, state, and.natio, yang dapat diuraikan bahwa pada akhirnya good
citizenship bukan hanya sekedar tentang pendidikan formal, agar dapat melaksanakan
dan mendapatkan hak nya sebagai warga negara. Bukan hanya tentang pengetahuan

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 15

tentang kondisi kenegaraan yang harus dipahami warga negara, namun bagaimana
mengaplikasikan semua pengetahuanya.

PENUTUP DAN KESIMPULAN
Sistem demokrasi yang dianut Indonesia sebagai negara yang multikultur
haruslah dijalankan dengan baik dan benar. Keberagaman yang tinggi, jumlah penduduk
yang sangat besar memberikan implikasi permasalahn-ermaslaahn yang kompleks bagi
negara. Permasalah yang kompleks ini dapat diberikan solusi jika warga negara aktif
dalam berpartisipasi pelaksanaan urusan negara.
Keaktifan ini akan menjadi hubungan yang balance anatara penguasa dan warga
negara. Untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya partisipasi dalam urusan
kenegaraan, hadirlah pendidika politik yang muali dikenalkan, dilaksanakan dan
dikembangkan. Pendidikan politik ini akan menjadi sarana bagai generasi enerus bangsa
untuk dapat mempersiapkan diri agara dapat berpartisipasi dengan baik.
Dunia pendidikan sebagai ujung tombak dalam menyetak generasi penerus yang
siap bersaing dapat dijaladikan alternatif untuk melakukan pendidikan politik.
Pendidikan politik tidak harus dijadikan saru mata pelajaran tersendiri karena kana
menambah beban dari peserta didik. Pendidikan politik dalam dunia persekolahan dapat
melalui habituasi lingkungan sekolah serta integrasi dengan mata pelajaran. Mata
pelajaran yang dapat diintegrasikan dnegan pendidikan politik salah satunya adalah
Pendidikan Kewarganegaraan.
PKn sebagai pendidikan politik merupakan bagian dari sosialisasi olitik.
Sosialisasi politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan sistem politik
pada seseorang, dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 16

reaksinya terhadap gejala-gejala politik yng ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi
dan kebudayaan dimana individu berada. Dengan demikian pendidikan politik yang
baik untuk mewujudkan active citizen dimulai dengan mengintegrasikanya di sekolah.
Hal ini berfungsi sebagai ivestasi dalam menanamkan nilai-nilai artisipasi politik sejak
dini. Sehingga akan membentuk warga negara yang melek politik.
DAFTAR PUSTAKA
Eka Wahyuningsih. 2013. Konstruksi Pendidikan Politik Pada Sekolah Menengah Atas
Di Kota Pangkalpinang. Tesis : Universitas Pendidikan Indonesia. tidak
dipublikasikan
Garner, Bryan A., (eds.), 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, St. Paul,
Minn.: West Group
Mansyur Fakih, dkk. (1999). Panduan Pendidikan Politik Untuk Rakyat. Yogyakara :
Insist
Mayo, Henry B,. 1960. An Introduction to Democratic Theory. New York: Oxford
University Press
Packham, Charol. 2008. Active Citizenship and Community Learning. Southernhay
East: Learning Matters Ltd.
Print, Murray, and Drink Lange. Civic And Political Education: Schools, Curriculum
And Civic Education For Building Democratic Citizens. Australia:
University of Sydney

RINI SETYOWATI/15730251025

Page 17