PERUBAHAN DAN KEBERLANJUTAN PELAYANAN KE

PERUBAHAN DAN KEBERLANJUTAN:
PELAYANAN KESEHATAN SWASTA DI JAWA PADA MASA KOLONIAL
HINGGA PASCA KEMERDEKAAN

A.

Pendahuluan
Situasi penyedia pelayanan kesehatan swasta saat ini di Indonesia sangat dipengaruhi

oleh sejarah pelayanan kesehatan dan organisasinya. Boomgard mengungkapkan bahwa sejarah
pelayanan kesehatan dan rumah sakit di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
ilmu kedokteran Barat di Asia yang berlangsung sejak 1649. Periode ini merupakan awal mula
perubahan pada sistem kesehatan tradisional di Asia yang dipengaruhi oleh sistem Cina dan
berubah menjadi sistem Barat. Perubahan ini bergerak lambat karena pelayanan kesehatan
Barat itu lebih dinikmati oleh kaum Eropa dan kelas bangsawan pribumi. Purwanto
mengungkapkan bahwa selama masa kolonial rumah sakit di Indonesia memang secara khusus
ditujukan hanya untuk kepentingan orang-orang Eropa.1
Analisis historis yang sampai sekarang diyakini kebenarannya adalah bahwa sebelum
masa kolonial, pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia sangat tergantung pada praktekpraktek individual. Penyedia pelayanan kesehatan individual ini bersifat magic, herbal, terapi
yang dipengaruhi oleh India, dan pengobatan Cina. Setiap suku di Indonesia mempunyai sistem
pengobatan tradisional ini yang masing-masing mempunyai istilahnya sendiri-sendiri seperti

dukun, saman dan sebagainya.
Tulisan singkat ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika perkembangan lembaga atau
organisasi penyedia pelayanan kesehatan swasta di Indonesia sejak masa kolonial hingga pasca
kemerdekaan. Secara khusus tulisan ini ingin mengungkap mengenai terjadinya beberapa
perubahan dan juga keberlanjutan terhadap lembaga-lembaga itu disebabkan perubahan
kondisi sosial, ekonomi, dan politik baik dalam konteks global maupun Indonesia.
Peter Boomgaard, “The Development of Colonial Health Care in Java: An Exploitatory
Introduction” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land, en Volkenkunde, 1993. hlm. 79.
1

B.

Dari Militer ke Keagamaan: Pelayanan Kesehatan Swasta Masa Kolonial
Praktek pelayanan kesehatan yang modern terjadi ketika VOC mendirikan sebuah rumah

sakit di Batavia pada tanggal 1 Juli 1626. 2 Pembangunan rumah sakit pertama di Nusantara ini
memungkinkan dilakukannya pengobatan medis offshore terhadap penderita. Namun sejauh itu
hanya golongan militer yang dapat menikmati atau menggunakan jasa rumah sakit ini. Selain itu
fungsinya lebih menekankan pada pencegahan, agar orang-orang VOC tidak tertular penyakit
khas daerah tropis.

Rumah sakit pertama yang didirikan di Batavia ini dibangun dengan menggunakan
dinding bambu dan atapnya terbuat dari dedaunan yang kering. Perbaikan konstruksi dilakukan
setelah penyerangan dan pengepungan kedua Batavia oleh pasukan Mataram yang dipimpin
oleh Sultan Agung pada tahun 1629. Konflik antara VOC dengan Mataram dan juga Banten, serta
perkembangan Kota Batavia yang cepat menjadi sebuah pusat perdagangan, telah memaksa
VOC untuk membangun beberapa rumah sakit baru untuk kepentingan militernya. Pada tahun
1640 telah terdapat beberapa buah rumah sakit di Batavia baik yang terdapat di dalam atau di
luar benteng.3
Meningkatnya aktivitas VOC di kepulauan Nusantara secara tidak langsung memaksanya
membangun beberapa perkampungan bagi para pegawainya dan di samping itu juga sarana
pelayanan kesehatannya. Oleh karena itu VOC kemudian mendirikan dua rumah sakit lagi di
kawasan Batavia yaitu rumah sakit militer di Bogor pada 1779 dan di Weltevreden pada 1800.
Sementara itu di kota-kota dagang Jawa seperti di Surabaya, Semarang, Cirebon, dan Banten,
VOC mendirikan semacam institusi yang dapat melakukan perawatan bagi orang sakit.
Di luar Jawa (buitenbezittingen) pelayanan kesehatan lebih terbatas dengan kapasitas
kurang dari 50 tempat tidur. Di Sumatera, khususnya Padang dan Palembang, terdapat semacam

2Lihat D. Schoute, Occidental Therapeutics in the Netherlands East Indies During three
Centuries of Netherlands Settlement (1600-1900) (The Hague: Netherlands Indian Public Health
Service, 1937), hlm 28.


3Peter Boomgaard, loc.cit.

pos-pos bagi pelayanan medis. Fenomena yang sama juga tampak di Makassar pada sekitar
tahun 1715. Sementara di Maluku, tepatnya di Ambon pada tahun 1648 dan kemudian juga di
Ternate pada 1711 didirikan sebuah rumah sakit. 4 Walaupun tidak terdapat keterangan yang
jelas, kemungkinan besar bangsal-bangsal perawatan militer juga terdapat pada dua garnisun
VOC yang terletak di Manado dan Gorontalo.
Sementara rumah sakit sipil pertama yang didirikan adalah rumah sakit Cina di Batavia
pada tahun 1640. Pendirian rumah sakit Cina ini, tidak terlepas dari kebijakan VOC dan juga
pemerintah Hindia Belanda yang berusaha menggiring etnis Cina untuk mendirikan rumah
sakitnya sendiri. Namun akibat dari kebijakan ini ilmu kedokteran dan pengobatan tradisional
Cina di Indonesia (bahkan sampai saat ini) tidak terpengaruh oleh terapetik dan farmakologis
Barat.5
Pada pertengahan abad ke-18 fungsi rumah sakit sebagai sarana pencegahan
penyebaran penyakit belum berubah. Pada tahun 1751 VOC kembali membangun sebuah
rumah sakit di Batavia yang dinamakan Rumah Sakit Moorish. 6 Tujuan pembangunan rumah
sakit ini adalah untuk melakukan kontrol yang lebih baik terhadap para pelaut (pedagang)
pribumi yang dilaporkan sakit ketika mereka tiba di Batavia. Sebelum membaur di masyarakat,
mereka diharuskan untuk memeriksakan dirinya ke rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan

terinfeksi penyakit yang diakibatkan interaksi dengan orang lain.
Pada periode inilah untuk pertama kalinya dilakukan pengobatan terhadap penyakit
dalam yang dipercayakan kepada surgeon pribumi. Mereka ini direkrut dari masyarakat umum
yang “dididik” di rumah sakit yang terletak didalam benteng VOC. Sebenarnya di rumah sakit
4Ibid,. hlm. 85-90.

5Laksono Trisnantoro, Memahami Penggunaan Ilmu

Ekonomi dalam Manajemen Rumah
Sakit (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press: 2004), hlm. 5.

6D.

Schoute, Occidental Therapeutics in the Netherlands East Indies During three
Centuries of Netherlands Settlement (1600-1900) (The Hague: Netherlands Indian Public Health
Service, 1937), hlm. 69.

itu, mereka dipekerjakan sebagai pembantu surgeon Eropa. Jadi sebenarnya tidak ada
pendidikan khusus surgeon bagi para surgeon pribumi yang ditugasi untuk melakukan
pemeriksaan kesehatan terhadap para pelaut tersebut.

Kebijakan VOC untuk mendirikan sejumlah rumah sakit khususnya di Batavia tidak dapat
dilepaskan dari fenomena tingginya angka mortalitas orang Eropa di kota itu. 7 Oleh karena
itulah Gubernur Jenderal Mossel pada paruh kedua abad ke-18 melakukan beberapa tindakan
untuk memperbaiki lingkungan kesehatan di kota itu. Namun minimnya pengalaman mereka
dalam menangani permasalahan kesehatan pada iklim tropis menyebabkan tindakan-tindakan
mereka itu banyak yang berakhir dengan kegagalan.
Pada abad ke-19, pengaruh kebijakan Daendels yang berorientasi terhadap pelayanan
kesehatan militer, juga berpengaruh terhadap perkembangan rumah sakit. Wilayah pulau Jawa
ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan
Batavia, Semarang, dan Surabaya sebagai ibu kotanya. Di setiap ibu kota tersebut terdapat satu
rumah sakit besar dengan seorang chief surgeon sebagai pemimpinnya.8 Konsep rumah sakit di
bawah kekuasaan Daendels ini merupakan gabungan dua konsep rumah sakit yaitu rumah sakit
yang dipahami oleh VOC dan konsep rumah sakit yang lebih modern seperti dirumuskan oleh

7Oud Batavia, pusat pemerintahan VOC atau benteng Batavia terletak di tepi timur

sungai Ciliwung, yang dibangun di atas tanah bekas rawa-rawa yang menebarkan angin busuk
serta menimbulkan banyak penyakit terutama penyakit malaria dan kolera. Akibat dari
lingkungan yang buruk serta belum ditemukannya obat yang mampu mengobati penyakit itu
telah menyebabkan tingginya angka kematian di daerah itu, khususnya di kalangan masyarakat

Belanda dan Eropa. Bahkan wilayah ini mendapat julukan sebagai kuburan bagi orang-orang
Eropa.

8 D. Schoute, op.cit., hlm. 100

Brugmans.9 Kombinasi antara keduanya kemudian menghasilkan sebuah konsepsi rumah sakit
yang diidealkan pada waktu itu.
Brugmans yang mempunyai perhatian khusus mengenai sanitasi dan hygiene kemudian
membuat kebijakan terutama yang berhubungan dengan konstruksi rumah sakit. Konstruksi
sebuah rumah sakit disyaratkan harus memenuhi beberapa ketentuan standar kesehatan
seperti harus banyak mendapatkan cahaya matahari, ventilasi udara yang bagus, terdapat jarak
atau ruang yang cukup diantara tempat tidur (terutama single beds). Sementara dari konsep
VOC bahwa rumah sakit harus menyediakan tempat khusus untuk mengisolasi pasien yang
menderita penyakit menular. Hal lain yang disyaratkan adalah bahwa setiap kasus, dokter militer
diharuskan mendokumentasikannya dalam daftar yang detil dan harus selalu dilakukan
pemutakhiran dari waktu ke waktu.10
Pengambilalihan kendali kekuasaan dari VOC kepada pemerintah Belanda pada tahun
1800 telah mewariskan kondisi keuangan yang kritis. Demikian juga halnya yang terjadi pada
pelayanan kesehatan, oleh karena itulah secara institusional rumah sakit tetap dipertahankan
keberadaannya namun dengan kondisi manajemen yang sangat lemah. Selain disebabkan oleh

minimnya dana juga diakibatkan oleh suplai obat-obatan, peralatan dan para medis yang
kurang. Fenomena yang banyak terjadi di beberapa rumah sakit, untuk menanggulangi
kekurangan tenaga medis ini, para pasien yang telah sembuh dari penyakitnya dipekerjakan
sebagai juru rawat di rumah sakit setempat.11

9Seorang

profesor dari Leiden yang telah berkecimpung dalam organisasi pelayanan
kesehatan militer pada tahun 1795. Perhatiannya pertama kali ditujukan terhadap para ahli
bedah (surgeons) yang direkrut dari tukang cukur, tukang patri, dan tukang pengebiri babi. Dia
kemudian berusaha untuk memperbaiki pelayanan kesehatan di Hindia Belanda dengan
memasukkan bidang keahlian itu pada ujian perekrutan dan meningkatkan gaji serta statusnya.
Dengan tindakan-tindakannya itu dia kemudian membentuk sebuah institusi khusus yang
menangani pelatihan ahli bedah ini.
10A.H.M. Kerkhoff, 1989, “The Organization of the Military and Civil Medical Service in
the Nineteenth Century”, dalam A.M. Luyendijk-Elshout, Dutch Medicine in the Malaya
Archipelago 1816-1942 (Amsterdam: Rodopi), hlm. 9.

Orientasi kebijakan Daendels dibidang kesehatan yang lebih mementingkan militer itu
kemudian mengakibatkan dia membuat peraturan yang membagi rumah sakit dalam dua kelas.

Kelas pertama (the first class) adalah rumah sakit militer yang hanya merawat para tentara dan
pelaut. Orang sipil hanya diterima di rumah sakit ini jika dia mampu membayar akomodasi yang
ditentukan. Sementara kelas kedua (the second class) menerima pasien orang Eropa dan
pribumi pada rumah sakit yang sama hanya tempatnya dipisahkan dengan kelas pertama.
Mengenai tiga rumah sakit besar di Jawa, dengan alasan bahwa tempat yang dijadikan
sebagai bangunan rumah sakit di Batavia tidak sehat, maka pada tanggal 4 April 1808, Daendels
memindahkan rumah sakit tersebut keluar benteng. Untuk rumah sakit di Semarang hanya
diperluas dan diperbaiki bangunannya. Sementara rumah sakit di Surabaya yang letaknya di
dalam kota dianggap Deandels terlalu kecil oleh karena itu kemudian dibangun sebuah rumah
sakit baru yang terletak di wilayah Simpang. Di samping ketiga rumah sakit besar tersebut,
Daendels kemudian juga tetap memelihara atau membangun sebuah rumah sakit di setiap
garnisun militernya. Beberapa garnisun militer kota yang memiliki rumah sakit kecil antara lain
Gresik, Yogyakarta, Surakarta, Cirebon dan Bogor.12 Lebih dari itu disetiap detasemen dibangun
sebuah bangsal perawatan untuk para tentara.
Sementara itu perhatian Daendels terhadap rumah sakit Cina di Batavia cukup baik
karena menurutnya orang-orang Cina itu tidak pernah menimbulkan banyak masalah meskipun
dilain pihak dia juga tidak memberi bantuan keuangan terhadap institusi tersebut. Seluruh biaya
yang diperlukan oleh rumah sakit Cina di Batavia sejak dari pendirian, pemeliharaan dan
pelayanan kesehatannya diperoleh dari kalangan masyarakat Cina melalui pajak festival,
pemakaman, permainan, dan denda. Ketika terjadi pergantian kekuasaan dari Daendels ke

Raffles maka kebijakan mengenai pelayanan kesehatan juga berubah. Jika Daendels mempunyai
Brugmans dan Happener yang bertugas sebagai konseptor dalam pelayanan kesehatan di Hindia
Belanda, maka Raffles mempunyai William Hunter dan Robertson.
11D. Schoute, De Geneeskundige in Nederlandsch-Indie gedurende de negentiende eeuw
(Weltevreden, DVG, 1936), hlm. 140.

12D. Schoute (1937), op. cit., hlm 101.

Untuk mengetahui kondisi dan fasilitas kesehatan di Pulau Jawa dan Madura, Hunter
kemudian melakukan perjalanan keliling di kedua wilayah itu. Mengenai rumah sakit besar yang
ada di Batavia dia menyatakan bahwa sebagai rumah sakit milik negara kondisi lembaga
tersebut sangat terabaikan. Hal itu disebabkan tidak adanya perhatian yang memadai di tengahtengah waktu yang penuh dengan ketegangan dan perang. Dalam inspeksinya itu, di beberapa
rumah sakit yang terletak diluar benteng, dia menemukan sebanyak 600 tempat tidur yang
menurutnya cukup memadai dalam kondisi normal. Namun untuk menerima orang sakit dan
tentara yang terluka tembak akibat pertempuran yang terjadi pada tanggal 12, 13, dan 26
Agustus 1812, kapasitas tempat tidur itu tidak mencukupi karena jumlah pasien Eropa saja di
atas 800 orang.13
Berbeda dengan Daendels yang tidak memberi bantuan kepada rumah sakit Cina di
Batavia, melihat kondisi fisik rumah sakit yang atapnya bocor, sejumlah jendela kacanya pecah,
saluran airnya tersumbat, lantainya yang basah dan kotor, maka Raffles berencana untuk

melakukan renovasi total rumah sakit itu. Namun karena terhambat masalah dana dia
kemudian hanya melakukan beberapa perbaikan pada kondisi-kondisi yang sudah parah
sehingga pelayanan rumah sakit ini dapat tetap berlangsung bahkan lebih baik.
Seiring dengan pembentukan BGD (Burgelijke Geneeskundige Dienst) yang dipelopori
oleh Reinwardt, pelayanan rumah sakit terhadap masyarakat umum menunjukkan beberapa
peningkatan. Pada waktu itu di Batavia banyak ditemukan orang sipil yang sakit akibat luka
tembak dan tidak mendapatkan perawatan apapun. Dengan dasar fakta itu maka Residen
Batavia P.H. van Lawick van Pabst menganggarkan dana sebesar f 1000 untuk mendirikan
sebuah bangsal perawatan yang bisa memuat 15 orang sakit akibat luka tembak dari kalangan
sipil.14
Bangsal ini kemudian ditempatkan di bawah administrasi dokter kotapraja dengan
beberapa staf pribumi. Bangsal perawatan inilah yang pada periode selanjutnya berkembang

13Ibid., hlm.104

14Ibid., hlm 116.

menjadi apa yang disebut sebagai stadsverbandhuis atau tempat perawatan luka tembak kota
praja. Bangsal ini sempat berubah nama menjadi stadsverband pada tahun 1819. Sementara
stadsverband di Semarang baru didirikan antara tahun 1840 dan 1850 dan di Surabaya antara

tahun 1820 dan 1823. Bangsal-bangsal perawatan inilah yang pada abad ke-20 kemudian
menjadi cikal bakal dari apa yang disebut sebagai Centrale Burgelijke Zikeninrichting atau CBZ
atau rumah sakit umum pusat.15
Sebenarnya apa yang disebut sebagai rumah sakit sipil (stadsverbandhuis) pada dekade
ini tidak lebih dari sebuah rumah yang diperuntukkan sebagai tempat membalut orang-orang
sipil yang terluka tembak. Sebelum didirikan stadsverband ini orang-orang sipil yang terluka ini
banyak ditemukan disepanjang jalan di kota-kota itu. Selain untuk merawat orang sipil yang
terluka akibat perang, sesungguhnya stadsverband juga diperuntukkan bagi penampungan para
pelacur yang terinfeksi penyakit kelamin.
Dalam konteks ini apa yang dikemukakan oleh Foucault bahwa rumah sakit merupakan
penjara bagi orang-orang gila adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Bagi pemerintah
Hindia Belanda, semua orang pribumi yang diperkirakan atau diyakini mengidap penyakit
menular yang dapat membahayakan diri mereka dan komunitasnya maka tidak ada kebijakan
lain kecuali “memenjarakan” mereka dalam stadsverband.

1.

Rumah Sakit Keagamaan
Fenomena baru dari perkembangan rumah sakit ini mulai terlihat sejak pertengahan

abad ke-19 dan berkembang pesat pada awal abad ke-20 adalah ketika golongan zending
mendirikan rumah sakit swasta sebagai media penyebaran agamanya. Selain itu para pengusaha
perkebunan dan pertambangan juga mendirikan beberapa rumah sakit dalam areal
perusahaannya untuk memelihara kesehatan para pekerjanya. Pelayanan rumah sakit swasta
(perkebunan dan pertambangan) pada periode ini secara tidak langsung lebih didasari oleh
kepentingan ekonomi di samping juga termotivasi oleh ideologi kemanusiaan. Dalam artian

15Ketiga rumah sakit ini sekarang masng-masing menjadi RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta, RS Dr. Karyadi Semarang, dan RS Dr. Soetomo Surabaya.

bahwa dengan memberikan pengobatan yang efektif diharapkan bahwa penderita penyakit
akan dapat kembali melaksanakan tugas-tugasnya secepat mungkin.
Fenomena ini jelas sangat terlihat dari maksud pendirian rumah sakit di perkebunan.
Para pengusaha perkebunan berharap para buruh perkebunan dapat bekerja lebih keras dan
meningkatkan produktivitas dengan jalan mendirikan rumah sakit sebagai sarana untuk
menjaga dan memelihara kesehatan para buruhnya. Jadi pendirian rumah sakit merupakan
investasi yang diharapkan kembali dengan peningkatan produktivitas para buruh. Walaupun di
samping itu pasien juga masih diharuskan untuk membayar ongkos pengobatan dengan jalan
pemotongan gaji mereka.16
Tidak semua pekerja atau buruh perkebunan yang sakit bisa mendapatkan pelayanan
kesehatan dari rumah sakit ini, melainkan dia harus mendapatkan rekomendasi landswege
terlebih dahulu. Pada awal abad ke-20, ongkos perawatan per hari yang harus dibayar oleh
seorang buruh untuk mendapatkan pengobatan dengan injeksi adalah f 1,50, dan f 1,00 tanpa
injeksi. Pertimbangan untung-rugi selalu dijadikan dasar pemikiran bagi pemilik perusahaan
dalam mengambil kebijakan mengenai kesehatan para pekerjanya ini.
Selain pemotongan ongkos pengobatan atas gaji mereka, makanan yang didapat buruh
yang sedang dirawat di rumah sakit juga dianggap sebagai hutang yang harus dibayar pada saat
mereka menerima gaji. Pada tindakan yang ekstrim, pemilik perusahaan tidak segan-segan
memulangkan para buruh atau kuli yang sudah dikontrak jika diindikasikan mereka mengidap
penyakit yang menyebabkan produktifitasnya rendah. Menurut pandangan para pengusaha,
para buruh tersebut hanya akan membuat pengeluaran besar untuk biaya perawatan mereka di
rumah sakit. 17
Sementara munculnya rumah sakit keagamaan, terutama zending, tidak dapat
dilepaskan dari jaringan zending yang ada di negeri Belanda. Rumah sakit zending ini membawa
perbedaan dalam pelayanan kesehatan terhadap masyarakat sipil. Menurut Groot, dengan
16D. Schoute, op.cit, hlm. 35.

17Lihat

Isti Yunaida, “Penyakit-penyakit yang menyerang Kuli-kuli perkebunan di
Sumatera Timur (1931-1938), skripsi S-1, tidak diterbitkan, Fakultas Sastra UGM, 1999.

dasar tujuan di atas, rumah sakit zending merupakan rumah sakit yang terbuka dan tidak
mengenal perbedaan-perbedaan yang sebelumnya justru menjadi dasar klasifikasi yang
dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Maka rumah sakit ini menerima pasien dari semua
golongan dalam masyarakat Islam atau Kristen, Animis atau Budhis, orang Timur atau Barat dan
Jawa ataupun Cina. 18
Selain zending Protestan, missionaris Katholik kemudian juga membangun rumah sakit
dengan tujuan yang sama. Bahkan pada perkembangan selanjutnya organisasi sosial-keagamaan
Muhammadiyah juga mendirikan rumah sakit dalam bentuk Pembina Kesejahteraan Umat (PKU)
di Yogyakarta dan memberikan pelayanan rumah sakit untuk penduduk pribumi. 19 Sementara itu
rumah sakit khusus yang menangani satu macam penyakit saja juga merupakan fenomena baru
dari perkembangan institusi ini pada awal abad ke-20.
Pelayanan kesehatan oleh zending ini tidak hanya dimaksudkan untuk sarana
pengobatan semata melainkan secara khusus didesain bagi terciptanya kondisi yang mendukung
suksesnya misi keagamaan mereka. Para utusan zending yang datang ke Indonesia merupakan
tenaga yang sebelumnya telah dipersiapkan untuk melaksanakan misi keagamaan. Selain dididik
mengenai pengetahuan keagamaan mereka juga diberi pelatihan mengenai pengetahuan dasar
dibidang medis.
Hal itu dengan jelas tertuang dalam ART zending pasal 40 dan diperjelas dalam tata
zending pasal 9 yang menyebutkan bahwa: pertama para utusan dalam menjalankan misi
keagamaan harus didampingi oleh orang-orang yang berwenang bekerja dalam bidang
18K.P.

Groot, “De Medische Zending in Nederlandsch-Indie” dalam Feestbundel GTNI
1936, hlm. 237.

19Laksono

Trisnantoro, loc.cit. Ketika pertama kali didirikan pada tahun 1923, rumah
sakit Muhammadiyah ini bernama Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), kemudian pada
tahun 1962 dalam rangka memperluas misinya kemudian berganti nama menjadi Pembina
Kesejahteraan Umat (PKU). Lebih lanjut lihat Nang Hamiyon binti Nik Salim, “Sejarah Rumah
Sakit Umum Pembina Kesejahteraan Umat (RSU PKU) Muhammadiyah Yogyakarta: Berdiri,
Perkembangan dan Sumbangannya terhadap Masyarakat Pedesaan di Daerah Istimewa
Yogyakarta (1923-1990)” Skripsi S-1, Fakultas Sastra, UGM, 1992.

pelayanan kesehatan baik sebagai dokter maupun juru rawat. Kedua pelayanan kesehatan harus
ditujukan pada hal yang mendirikan serta mengelola suatu rumah sakit.20
Hampir disemua wilayah Jawa terdapat rumah sakit yang didirikan oleh zending ini.
Misalnya di Yogyakarta mereka mendirikan rumah sakit Petronella, di Bandung rumah sakit
Immanuel, rumah sakit Soekon di Malang, di Mojowarno, Salatiga, dan sebagainya. Pada
umumnya mereka pertama kali membangun semacam sebuah rumah sakit pusat di tempat
yang strategis lalu kemudian mereka mengembangkannya dengan mendirikan beberapa rumah
sakit yang berada disekitar wilayah tersebut. Perkembangan ini tentu saja berhubungan dengan
organisasi zending yang menjadi induk mereka di negeri Belanda. Misalnya saja rumah sakit
Petronella yang didirikan pada tahun 1899 merupakan pilot project bagi perkembangan rumah
sakit zending di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Demikian juga halnya yang terjadi dengan rumah
sakit Immanuel di Bandung, Jawa Barat dan Mojowarno di Jawa Timur. 21 Masing-masing rumah
sakit zending tersebut kemudian mendirikan beberapa rumah sakit zending didaerah sekitarnya
sebagai upaya perluasan pelayanan kesehatan dan pencapaian misi keagamaannya.
Sebagai contoh, berdirinya rumah sakit Petronella di Yogyakarta, yang berada di bawah
pengelolaan dan kendali Gereformeed Zending yang ada di negeri Belanda, kemudian disusul
dengan berdirinya beberapa rumah sakit zending lainnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah. 22
20Mahati

Zebua, “Sejarah Manajemen Rumah Sakit Bethesda di Yogyakarta” Laporan
Penelitian, tahun 2000

21Organisasi

zending yang beroperasi di Mojowarno adalah Nederlandsche Zending
Genootchap (NZG) yang mendirikan rumah sakit Mojowarno pada tahun 1894, di Bandung
Nederlandsche Zending Vereeniging (NZV) mendirikan rumah sakit Immanuel pada tahun 1910
dan di Jawa Tengah terdapat 2 yang besar yaitu Gereformeed Zending dan Zending Salatiga.
Gereformeed Zending mendirikan rumah sakit Petronella di Yogyakarta pada tahun 1899. Lebih
lanjut lihat J.D. Wolterbeek, Wolterbeek. Babad Zending di Pulau Jawa. (Yogyakarta: Pustaka
Kristen, 1995), hlm. 25.

22J.A.C. Rullmann, Zending Gereformeerd di Jawa Tengah (Salatiga: Gereja Kristen Djawa,

1970), hlm. 58-59.

Rumah sakit zending di Jebres, Surakarta didirikan pada tahun 1912, lalu rumah sakit zending di
Trenggiling, Purbalingga pada tahun 1914. Pada tahun 1915 terdapat 2 rumah sakit zending
yang didirikan yaitu di Kebumen dan di Purworejo. Kemudian rumah sakit zending di Klaten
didirikan pada tahun 1923 dan rumah sakit zending di Wonosobo tahun 1929. Pada tahun 1931
juga terdapat dua rumah sakit zending yang didirikan yaitu di Magelang dan di Blora. Rumah
sakit zending terakhir dari kelompok Gereformeed Zending ini didirikan pada tahun 1932 yaitu
di Purwokerto.23
Selain itu rumah sakit Petronella juga mengelola rumah sakit pembantu yang tersebar
hampir diseluruh wilayah di Yogyakarta dan sekitarnya. Rumah sakit-rumah sakit pembantu
tersebut masing-masing terletak di daerah Tungkak, Wates, Randugunting, Wonosari, Medari,
Patalan, Sewugalur, Tanjungtirto, Sanden, Doangan, Sorogedud-Wanujoyo, dan Cebongan.
Sementara poliklinik-poliklinik yang dikelolanya antara lain tersebar di Temon, Butuh, Sentolo,
dan Semin.24
Demikian juga halnya yang dilakukan oleh Nederlandsche Zending Vereeniging (NZV) di
tanah Pasundan. Setelah mereka berhasil mendirikan rumah sakit Immanuel maka pada tahun
1920-an, beberapa rumah sakit zending kemudian didirikan di wilayah Jawa Barat seperti di
Purwakarta, Cideres dan lain-lain. Sementara itu antara tahun 1922-1928 di wilayah Bandung
dan sekitarnya didirikan beberapa poliklinik antara lain di Banjaran, Soreang, Ciwidey, Cililin,
Padalarang, Cikalong Wetan, Cipeundeuy, Ranca Ekek, Cicalengka, Majalaya, Ciparay dan
Sumedang.25
Sementara itu Nederlandsche Zending Genootchap (NZG) setelah berhasil mendirikan
rumah sakit zending di Mojowarno, kemudian dengan segera juga mendirikan beberapa rumah
23Anonemous, Het Zendingziekenhuis Petronella”, op.cit, hlm. 9.

24Ibid., hlm 55-67.

25J.E.

Siregar, “Riwayat Hidup Rumah Sakit Immanuel” dalam Satrio, et al., Sejarah
Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 3 (Jakarta: Depkes, 1980), hlm. 175-193.

sakit zending disekitar wilayah tersebut. Beberapa rumah sakit pembantu yang didirikan pada
periode tahun 1920-an antara lain berlokasi di Parerejo, Ngoro, Pare, Krikilan, dan Jatiroto
sedangkan untuk poliklinik didirikan di Bareng (Jombang), Bongsorejo dan Selorejo (Krian),
Balongbendo dan Peterongan (Jombang), Sitiarjo (Malang), Jengkol dan Purworejo (Kediri),
Gunungsari (Jember) dan Wonorejo (Pasuruan). 26
Pendirian beberapa rumah sakit zending disekitar rumah sakit zending utama tersebut
yang kemudian membentuk sebuah jaringan tidak terlepas dari konsep pelayanan kesehatan
mereka. Konsep pelayanan kesehatan Zending adalah bahwa disetiap daerah terdapat sebuah
rumah sakit utama (pusat) sebagai induk (top referal) yang dilengkapi dan dikelola sebaik
mungkin. Sementara sebagai ujung tombak pelayanan adalah rumah-rumah sakit pembantu
dan poliklinik yang mempunyai saluran komunikasi langsung dengan rumah sakit induk.
Sebagian besar pembiayaan rumah sakit zending ini didanai oleh subsidi pemerintah.
Selain itu rumah sakit zending juga sangat tergantung pada organisasi-organisasi bantuan
zending terutama bantuan dari dokter, perawat dan obat-obatan langsung dikirim dari Belanda.
Terlepas dari kedua sumber dana pengelolaan rumah sakit zending juga diperoleh dari
pemerintah daerah dan sumbangan dari beberapa perusahaan swasta yang beroperasi di
daerah sekitar rumah sakit. Sebelum Perang Dunia II, pada umumnya, sumber pembiayaan di
rumah sakit zending berasal dari subsidi pemerintah sebesar 44%, gereja-gereja di Belanda 20%,
10% dari pembayaran pasien, 8% kontribusi pemerintah daerah, perusahaan swasta
menyumbang 6 %, dan sisanya berasal dari sumbangan dari sumber lain.
Selain zending, misionaris juga membangun rumah sakit untuk tujuan yang sama.
Sebagai contoh di Batavia Kongregasi Suster Carolus Boromeus mendirikan rumah sakit St
Carolus (1918) dan St. Santo Boromeus di Bandung (1921). Rumah sakit itu kemudian
mendirikan cabang di Yogyakarta, yaitu rumah sakit Panti Rapih, rumah sakit ini pada awalnya
didirikan oleh perusahaan gula pada tahun 1928 dengan nama rumah sakit Onder de Bogen.
Kongregasi Suster St. Fransiskus pada tahun 1927 mendirikan Rumah Sakit St. Elizabeth di
Semarang. Dalam perkembangannya rumah sakit ini juga membuka beberapa rumah sakit lain
Ziekenhuisbode, 1928, hlm.8. lihat juga W.J.L. Dake, Het Medische Werk van de
Zending in Nederlandsche-Indie deel 1 (J.H. Kok B.V. Kampen, 1972).
26Onze

yaitu rumah sakit Mardi Swasta, rumah bersalin Panti Siwi dan poliklinik Fathimah yang
membuka layanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Jemaat ini pada tahun 1930 di Boro,
Kulon Progo mendirikan rumah sakit St Yusuf.
Pada perkembangan berikutnya organisasi keagamaan Muhammadiyah juga mendirikan
rumah sakit Pembina Kesejahteraan Umat (PKU) di Yogyakarta dan memberikan layanan
kesehatan untuk penduduk pribumi. Ketika pertama kali didirikan pada tahun 1923, rumah sakit
Muhammadiyah itu bernama Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), kemudian pada tahun
1962 dalam rangka untuk memperluas misi dan mengubah namanya menjadi Pembina
Kesejahteraan Umat (PKU). Setelah berdirinya rumah sakit Muhammadiyah di Yogyakarta, di
beberapa kota lain juga didirikan pusat-pusat kesehatan yang menyediakan layanan kesehatan
kepada masyarakat. Di antara pusat-pusat kesehatan ini dan kemudian ada yang dikembangkan
menjadi rumah sakit Muhammadiyah di Solo seperti yang terjadi pada tahun 1928 dan
Sepanjang (Sidoarjo). Beberapa yang lain, pusat kesehatan telah berkembang menjadi klinik
bersalin.

2.

Rumah Sakit Perusahaan Swasta
Selain organisasi keagamaan, pada periode ini banyak perusahaan perkebunan di Jawa

yang mendirikan rumah sakit dan ditujukan untuk perawatan para kuli dan buruh yang bekerja
di perkebunan tesebut. Dalam rangka memperluas pelayanan kesehatan untuk masyarakat
khususnya di Jawa, pemerintah Hindia Belanda kemudian bekerja sama dengan perusahaan
perkebunan tersebut dalam hal pembiayaan rumah sakit. Oleh karena itulah kemudian pada
tahun 1919 dilakukan perjanjian mengenai pembagian pembiayaan rumah sakit swasta yang
dikelola oleh perusahaan perkebunan ini.27
Terdapat tiga poin dalam kerjasama antara pemerintah Hindia Belanda, dalam hal ini
Dinas Kesehatan Sipil, dan perusahaan perkebunan di Jawa mengenai pengelolaan rumah sakit,
yaitu:
1. Jika tempat perusahaan perkebunan tersebut satu wilayah dengan sebuah rumah sakit

milik pemerintah maka perusahaan tersebut harus ikut bertanggung jawab terhadap
sejumlah perawatan yang dihitung per tempat tidur. Hal ini berhubungan dengan prinsip
yang dikembangkan pemerintah Hindia Belanda yang sudah mulai mengurangi sedikit
mungkin keterlibatannya dalam bidang ini. Sehingga pembiayaan perawatan orang sakit,
manajemen dan penggunaan rumah sakit dan inventaris yang ada didalamnya harus
diserahkan kepada perusahaan perkebunan tersebut sebagai ganti pembayaran suatu
pajak tertentu. Pemerintah disatu sisi, melakukan pembayaran bagian-bagian
pembiayaan yang oleh rumah sakit dirasakan sebagai kendala dalam mengelolanya.
Bagian pembiayaan yang ditanggung oleh pemerintah dalam hal ini adalah pembiayaan
mengenai pemeliharaan dan penerangan rumah sakit, persediaan air bersih, gaji
karyawan dan staf, makanan, obat-obatan dan sebagainya yang harusnya dibebankan
kepada pasien yang menggunakan jasa rumah sakit tersebut.
2. Sebaliknya dari poin di atas, bahwa sejumlah tempat tidur yang harusnya menjadi

tanggung jawab perusahaan perkebunan namun mereka belum mampu dalam
pembagian pembiayaan dengan pemerintah maka pembayaran yang harus ditanggung

27 Verslag voor Burgelijke Geneeskundige Dienst, 1920., hlm. 388.

oleh perusahaan perkebunan pada bagian yang tersebut dalam poin pertama atau
pembiayaan lainnya yang menjadi beban rumah sakit.
3. Pemerintah dan perusahaan perkebunan membangun sebuah rumah sakit yang

ditanggung bersama, masing-masing mempunyai kontribusi yang proposional dalam
pengembangan ke depan rumah sakit tersebut dan pembiayaannya. 28

Hasil dari kerjasama antara pemerintah dengan perusahaan perkebunan yang beroperasi
di Jawa ini adalah banyaknya rumah sakit baru yang dibangun dan perluasan rumah sakit yang
sudah ada. Misalnya saja di Cirebon pada tanggal 3 Maret 1920 telah dibangun sebuah rumah
sakit kotapraja dan di Bandung pada tanggal 5 Juli 1920 telah dibangun sebuah rumah bersalin
dan perawatan anak “Pamitran”. Pada tahun yang sama tanggal 3 Juli telah didirikan sebuah
rumah sakit “Immanuel”.
Sementara itu di wilayah Garut, Tasikmalaya, dan Indramayu telah dimulai
pembangunan rumah sakit daerah, demikian juga yang terjadi di wilayah Sukabumi. Rumah
sakit missionaris di Surakarta telah diperluas sehingga klasifikasinya naik menjadi rumah sakit
swasta kelas 5. Di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur juga terdapat pembangunan rumah
sakit-rumah sakit daerah seperti yang terjadi di Pekalongan, Kudus, dan Madiun. 29
Di Yogyakarta dan sekitarnya, perusahaan swasta menjadi komponen penting dalam
munculnya beberapa rumah sakit pembantu bahkan jauh sebelum perjanjian kerjasama
dilakukan antara pemerintah dengan perusahaan perkebunan. Hampir semua rumah sakit
pembantu diwilayah ini mendapatkan subsidi kesehatan dari pemerintah. Misalnya saja pada
tahun 1910 Koloniale Bank mendirikan sebuah rumah sakit pembantu di dekat pabrik gulanya di
Candi Sewu atau Randu Gunting. Perusahaan yang sama kemudian juga mendirikan sebuah
rumah sakit pembantu di Medari pada tahun 1914. Dua rumah sakit pembantu ini masing-

28Ibid

29Ibid. hlm.389

masing setiap harinya dikunjungi pasien tidak kurang dari 50 orang baik dari para buruh
perusahaan itu sendiri maupun dari masyarakat umum.30
De Vorstenlanden, sebuah pabrik gula di Barongan, bekerja sama dengan perusahaan
perkebunan Klatensche Cultuur Maatschappij, parbik gula di Pundung, dan Int. Crediet en
Handelsvereeniging Rotterdam, pabrik gula di Bantul, mendirikan sebuah rumah sakit
pembantu di Patalan pada tahun 1914. De Vorstenlanden pada tahun 1922 juga mendirikan
sebuah rumah sakit pembantu di dekat pabrik gula Sewu Galur, Kulon Progo. Sementara itu Int.
Crediet en Handelsvereeniging Rotterdam pada tahun 1922 mendirikan sebuah rumah sakit
pembantu di Tanjungtirto.31
Selain perusahaan swasta pemerintah daerah pemerintah Kasultanan Yogyakarta juga
mempunyai andil yang besar dalam memperluas pelayanan kesehatan rumah sakit di wilayah
ini. Pada tahun 1912 pemerintah kasultanan mendirikan rumah sakit pembantu di Wonosari.
Rumah sakit pembantu ini beserta beberapa polikliniknya ramai dikunjungi pasien terutama
penderita penyakit pathek (frambusia). Setiap minggunya sekitar 300-400 penderita penyakit
pathek berobat di rumah sakit pembantu Wonosari ini. Pemerintah Kasultanan pada tahun 1925
juga mendirikan sebuah rumah sakit pembantu yang terletak di Doangan. Separuh biaya
pengelolaan rumah sakit ini ditanggung oleh pemerintah Kasultanan Yogyakarta sedangkan
separuhnya lagi di tanggung oleh pabrik gula Rewulu dan Demak Ijo.32
Kontribusi pihak swasta, pemerintah daerah maupun juga para donatur dalam
masyarakat sangat penting dalam upaya pembiayaan rumah sakit, baik pembiayaan untuk
mendirikan maupun pembiayaan dalam pengelolaannya. Selain hal tersebut sudah terbukti di
wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, dibeberapa wilayah lain juga mencerminkan kondisi itu.
30Anonemous, Het Zendingziekenhuis Petronella”, op.cit., hlm. 15.

31Sugiarti Siswadi, Rumah Sakit Bethesda: dari masa ke masa (Yogyakarta: Andi Offset,
1989), hlm. 78.

32Ibid. hlm. 80.

Misalnya saja berdirinya rumah sakit daerah di Madiun, Kendal, Kudus, RS Mata di Yogyakarta,
dan perluasan RS Kusta di Pelantungan, Semarang pada tahun 1920-an, kontribusi pihak-pihak
yang disebutkan di atas sangat menentukan.33

B. Pelayanan Kesehatan Swasta pada masa Pendudukan Jepang
Sebelum akhir tahun 1930-an, sebagai dampak depresi ekonomi, 34 manajemen rumah
sakit zending menempatkan pelayanan sebagai tujuan utama mereka dibandingkan mencari
keuntungan. Pendanaan operasional rumah sakit sangat tergantung pada gereja induknya di
Belanda. Selain itu dana operasional rumah sakit zending juga diperoleh dari subsidi pemerintah
Hindia Belanda, bantuan dalam bentuk sumbangan, kontribusi dan upaya penggalangan dana
yang dilakukan oleh yayasan. Bantuan dana operasional juga diperoleh dari pabrik gula,
perusahaan rokok dan perusahaan kereta api Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij dan
individu serta pemerintah daerah. Misalnya rumah sakit zending di Yogyakarta untuk menerima
sumbangan dana untuk f 250 setiap tahun dari Kesultanan dan Pakualaman.
Misi sosial rumah sakit zending ini sangat jelas terlihat misalnya untuk kasus rumah sakit
zending di Yogyakarta yang tidak mewajibkan pasiennya untuk membayar biaya pengobatan
atau kalaupun membayar dengan tarif yang rendah. Oleh karena itu masyarakat Yogyakarta
pada masa itu menyebut rumah sakit ini dengan sebutan Rumah Sakit dr. Tulung. Pada masa ini
rumah sakit zending menerapkan menerapkan kebijakan bahwa mutu pelayanan kesehatan
rumah sakit dapat dicapai dengan mengandalkan keseimbangan antara pendapatan dan
pengeluaran dengan menggantungkan sebagian pembiayaan dari bantuan donor. Dengan kata
lain mereka berusaha mempertahankan fungsi sosial kegamaannya dengan tetap menjadi
rumah sakit yang non-profit oriented.
33Lihat “Verslag voor Burgelijke Geneeskundige Dienst, 1921 dan 1924.

op.cit., hlm. 356.

34Depresi ekonomi tahun 1930-an telah mengubah orientasi pengelolaan dan pelayanan
rumah sakit zending. Untuk memperoleh dana tambahan kelas mereka membuka layanan baru
di rumah sakit yang dikhususkan untuk orang kaya. Selain itu, untuk masyarakat umum dapat
disediakan pada pintu utama yang berfungsi sebagai sumbangan ke rumah sakit.

Ketergantungan yang sangat besar terhadap Zending pengutus di Belanda bagi rumah
sakit Zending yang ada di Yogyakarta dan Jawa Tengah bagai pisau bermata dua. Di satu sisi
ketergantungan tersebut menjamin eksistensi pengelolaan rumah sakit dengan selalu
mengalirnya dana segar dan obat-obatan dari Belanda. Namun disisi lain ketergantungan itu
menjadi kendala utama ketika hubungan antara negeri induk dengan Indonesia terganggu.
Kondisi itu kemudian benar-benar terjadi ketika Jepang melakukan pendudukan atas Indonesia
dan mengakibatkan hubungan antara gereja-geraja induk di Belanda dengan para zendeling di
Indonesia terputus sama sekali.
Pecahnya Perang Dunia II dan didudukinya Belanda oleh Jerman tidak hanya berdampak
pada sektor ekonomi dan politik di Indonesia namun bidang pelayanan kesehatan juga
mengalami dampak yang tidak kalah besarnya. Setelah harus melakukan kebijakan-kebijakan
radikal sebagai upaya untuk tetap survive dalam menghadapi depresi ekonomi, rumah-rumah
sakit Zending harus menerima kenyataan bahwa Perang Dunia II telah memutuskan hubungan
mereka dengan gereja-gereja dan yayasan pendukungnya di Belanda.
Dua peristiwa tersebut telah menyebabkan manajemen rumah sakit zending ini
memutar otak untuk menyiasati semakin berkurangnya dana-dana yang diterimanya.
Perusahaan perkebunan yang semula secara rutin memberi sumbangan, setelah depresi
ekonomi sama sekali terhenti. Sementara setelah terjadinya Perang Dunia II, dua sumber dana
sekaligus hilang yaitu subsidi kesehatan dari pemerintah Hindia Belanda dan sumbangan gereja
dan yayasan di Belanda. Tambahan lagi, pada saat itu banyak pasien yang tidak dapat
membayar biaya pengobatan rumah sakit akibat terpisah dari keluarga (akibat peperangan)
maupun kehabisan uang.
Ketika terjadi Perang Pasifik, eksistensi dan peran rumah sakit Zending di Yogyakarta dan
Jawa bagian lain mulai menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok. Umumnya, rumah sakit
zending yang ada di Yogyakarta mulai memegang dan diserahi tugas-tugas yang tidak hanya
sekedar kepentingan pihak swasta (zending) semata melainkan kepentingan pemerintah baik
pemerintah Hindia Belanda maupun Indonesia setelah tahun 1945. Sementara rumah sakit
zending yang ada di Jawa lainnya tetap menjalankan misi dan aktivitasnya seperti semula tanpa
banyak mengalami perubahan.

C. Tetap (menjadi) Swasta atau (menjadi) Pemerintah: Pasca 1945

Secara umum, baik rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta, pada periode pasca
kemerdekaan (1945 - 1950) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Peran rumah sakit zending Yogyakarta semakin penting pada Agresi
Militer Belanda I pada 1947. Semua lembaga pemerintah Indonesia, termasuk beberapa bagian
dari Departemen Kesehatan yang ada di Magelang pindah ke Yogyakarta. Sekretaris Jenderal
Kementrian Kesehatan, dr. Soerono kemudian bertemu kepala RSUP (Rumah Sakit Petronella)
untuk melakukan konsultasi mengenai kemungkinan evakuasi bagian dari Departemen
Kesehatan ke RSUP. Tawaran ini kemudian diterima oleh dr. Samallo (kepala RSUP waktu itu).
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949 maka
berangsur-angsur beberapa bagian Kementerian Kesehatan yang ada di RSUP Yogyakarta
dipindahkan ke Jakarta, Namun walaupun sudah tidak menggunakan gedung rumah sakit
pemerintah Indonesia tetap memberi subsidi kepada rumah sakit tersebut terutama untuk
operasional perawatan sedangkan gaji karyawan tetap ditanggung oleh manajemen rumah
sakit. Oleh karena itulah jika dibandingkan dengan karyawan yang bekerja pada Kementerian
Kesehatan sebagai pegawai negeri, karyawan RSUP gajinya jauh lebih kecil.
Sebelum kepindahannya kembali ke Jakarta, Inspektur Kementerian Kesehatan dr.
Soemakno beberapa kali menawarkan kepada RSUP agar semua pegawainya mau masuk
menjadi pegawai negeri agar gajinya dapat disesuaikan dengan peraturan gaji pegawai dan
status RSUP menjadi milik Negara Republik Indonesia. Namun semua karyawan RSUP Yogyakarta
menolak usulan Kementerian Kesehatan tersebut dan tetap ingin menjadi rumah sakit Kristen
yang dikelola pihak swasta. Eksistensi RSUP Yogyakarta pada saat itu tidak dapat dilepaskan dari
Kesultanan Yogyakarta karena Sultan Hamengku Buwono IX akhirnya memberi bantuan sebesar
f 8000 pada awal tahun 1949. Selain itu juga mendapat bantuan dari Dinas Kesehatan Belanda
sebesar f 10.000 pada pertengahan tahun 1949.
Dipihak lain tawaran yang sama juga dilakukan Kementerian Kesehatan terhadap
pimpinan dan pegawai rumah-rumah sakit zending yang ada di Jawa Tengah. Berbeda dengan
rumah sakit zending di Yogyakarta, pimpinan dan pegawai rumah sakit zending di Jawa Tengah
ini mau menerima tawaran dari Kementerian Kesehatan untuk menjadi pegawai negeri. Alasan

Kementerian Kesehatan dalam melakukan nasionalisasi terhadap rumah sakit zending pada
waktu itu selain faktor ekonomi, yaitu minimnya dana yang dipunyai oleh pengelola rumah sakit
juga faktor sosial yaitu pentingnya keberadaan sebuah rumah sakit dalam suatu daerah. Setelah
dikelola oleh pemerintah ke-9 rumah sakit Zending Gereformeerd di Jawa Tengah ini kemudian
dijadikan sebagai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) setempat. Ke-9 Rumah Sakit Umum
Daerah tersebut masing-masing di Blora, Klaten, Surakarta, Wonosobo, Purwokerto, Magelang,
Purbalingga, Purworejo, dan Kebumen. 35
Masa transisi kepemilikan lembaga kesehatan Kristen menjadi milik pemerintah adalah
disebabkan oleh subsidi dari lembaga asing yang terputus pasca Perang Dunia II. Sementara itu,
subsidi dalam negeri sangat rendah dan tidak berkesinambungan. Setelah kemerdekaan tahun
1945, praktis tidak ada pengembangan sistem kesehatan yang menyangkut pelayanan
kesehatan sebagai jasa publik. Hanya jumlah kecil orang Indonesia yang bisa menikmati layanan
kesehatan gratis. Peraturan diterapkan selama pemerintah Hindia Belanda kemudian diteruskan
pada masa pemerintahan Republik Indonesia, di mana anggaran pelayanan kesehatan
dimasukkan ke dalam anggaran Menteri Kesehatan. Sistem yang diterapkan adalah
menggunakan sistem restitusi. Dasar hukumnya yang digunakan adalah Restitusi Regeling 1948.
Orang-orang yang berpartisipasi adalah para perwira yang digaji