HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KEPERCAY

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA
REMAJA
Asep Sulaiman Adiputra
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
asep.sulaimana@gmail.com
Kepercayaan diri merupakan aspek kepribadian manusia yang penting sebagai sarana untuk
mengaktualisasikan potensi yang dimiliki dengan kepercayaan diri yang dimiliki, kesuksesan
dan keberhasilan hidup seseorang akan dapat diprediksikan. Individu yang percaya diri
biasanya selalu bersikap optimis dan yakin akan kemampuannya dalam melakukan sesuatu.
Sebalikya, individu yang rasa percaya dirinya rendah akan mengalami hambatan-hambatan
dalam hidupnya, baik dalam berinteraksi dengan individu lain maupun dalam masyarakat
sekitar.
Remaja yang memiliki masalah kepercayaan diri mudah merasa tidak puas dengan keadaan
diri mereka, sadar diri berlebihan dan terlalu peka dengan komentar orang lain. sedangkan
remaja yang memiliki rasa kepercayaan diri yang tinggi selalu merasa lebih optimis, dan
mempunyai cara pandang yang positive terhadap diri sendiri,orang lain dan situasi diluar
dirinya. Seperti krisis percaya diri pada remaja merupakan sebuah perasaan dimana remaja
merasakan ada sesuatu yang kurang sehingga membuat remaja itu merasa bahwa tidak pantas
ada dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat disini mencakup kalangan anak anak, remaja,
dan dewasa,karena krisis percaya diri bisa menimpa siapa saja.
Menurut Santrock (2003) kepercayaan diri bagi remaja adalah masalah yang paling sering

mengganggu pada masa remaja karena pada masa remaja merupakan masa dimana individu
mulai mengalami perubahan biologis maupun psikologis. Perubahan ini saling berkaitan satu
sama lain. Lebih jauh dijelaskan untuk sebagian besar individu rendahnya atau hilangnya rasa
percaya diri hanya menyebabkan rasa tidak nyaman secara emosional yang bersifat
sementara.
Terkait dengan kepercayaan diri ini, Koentjaraningrat (dalam Afiatin dan Martaniah, 1998)
menyatakan bahwa salah satu kelemahan generasi muda Indonesia adalah kurangnya
kepercayaan diri. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Afiatin, dkk (dalam
Afiatin dan Martaniah, 1998) terhadap remaja siswa SMTA di Kodya Yogyakarta
menunjukkan bahwa permasalahan yang banyak dirasakan dan dialami oleh remaja pada
dasarnya disebabkan oleh kurangnya kepercayaan diri. Melihat fenomena yang ada sekarang
ini, tampak beberapa karakteristik yang mengindikasikan betapa remaja saat ini banyak yang
mengalami kurang percaya diri. Beberapa karakteristik tersebut antara lain: memiliki motivasi
yang rendah untuk berkompetisi, rendahnya motivasi siswa untuk mengembangkan diri dan
motivasi untuk belajar, kepribadian yang cenderung labil, senang meniru dan tidak mentaati
tata tertib sekolah.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat Lentera Anak
Indonesia bahwa anak perokok jumlahnya terus meningkat, 45 persen remaja berusia 13-19
adalah perokok, sementara data Global Youth Tobacco Survey menyebutkan Indonesia
merupakan negara dengan jumlah remaja perokok terbesar di Asia. "70 persen remaja

memiliki kesan positif terhadap iklan rokok dan 50 persen remaja yang kurang pecaya diri

merasa lebih percaya diri saat merokok. 37 persen perokok merasa keren seperti citra yang
dibangun dalam iklan. Berdasarkan hal tersebut mengindikasikan bahwa remaja kurang
percaya diri sehingga untuk menutupi hal tersebut salah satu yang dilakukan remaja dengan
cara merokok (Liputan6, 2014).
Salah satu kelemahan generasi muda Indonesia adalah kurangnya kepercayaan diri.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Afiatin dan Martinah (1998) terhadap
remaja siswa SMTA di Kodya Yogyakarta menunjukkan bahwa permasalahan yang banyak
dirasakan dan dialami oleh remaja pada dasarnya disebabkan oleh kurangnya kepercayaan
diri, Afiatin dan Martinah (1998). Menurut Ancok (2000), harga diri adalah penilaian yang
dilakukan terhadap diri sendiri.; Kondisi fisik, perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada
kepercayaan diri. Menurut Ancok (2000), mengatakan penampilan fisik merupakan penyebab
utama rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang dan pengalaman hidup. Lauster
(1990), mengatakan kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman yang mengecewakan adalah
paling sering menjadi sumber timbulnya rasa rendah diri.
Berdasarkan uraian diatas rendahnya kepercayaan diri bagi remaja menjadi sebuah masalah
dalam kehidupannya karena individu merasa pesimis. Menurut Kaplan Sallis dan Patterson
(1993) bahwa tingkatan yang merupakan kebutuhan dasar individu merupakan cinta kasih,
penghargaan, rasa memiliki, rasa aman yang dipuaskan melalui interaksi dengan orang lain.

Berdasarkan hal tersebut artinya dukungan sosial dapat meningkatkan kepercayaan diri pada
remaja. Dukungan sosial sebagai bantuan yang diterima individu dari orang lain atau
kelompok sekitarnya, yang membuat penerima merasa nyaman, dicintai, dan dihargai dengan
haltersebut remaja/individu akan lebih merasa percaya diri (Sarafino, 1990).
Menurut Sears (1992), kepercayaan diri terbentuk tidak secara tiba-tiba, akan tetapi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya
kepercayaan diri seseorang, seperti pola asuh, pendidikan, teman sebaya, masyarakat dan
pengalaman. Berdasarkan hal tersebut maka dukungan sosial di indikasikan berpengaruh
terhadap kepercayaan diri individu. Menurut Rook (1987) dukungan sosial merupakan salah
satu fungsi pertalian sosial yang menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan
interpersonal yang akan melindungi individu/remaja dari konsekuensi tekanan.
Keberadaan, kepedulian, kesediaan dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan
menyayangi merupakan bentuk dari dukungan sosial (Khusnia, 2010). Remaja yang diakui
keberadaannya, dipedulikan lingkungannya, dihargai dan disayangi oleh orang-orang
disekitarnya maka akan meningkatkan kepercayaan diri bagi individu/remaja. Berdasarka hal
tersebut maka individu/remaja yang menerima dukungan sosial yang kuat dapat
meningkatkan kepercayaan diri bagi remaja itu sendiri, karena dukungan ini ada ketika
seseorang memberikan penghargaan positif dan dukungan kepada individu/remaja yang
sedang tertekan, dorongan atau persetujuan terhadap ide ataupun perasaan individu, ataupun
melakukan perbandingan positif antara individu dengan orang lain (Sarafino, 1998).

Berdasarkan uraina fenomena tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah,
apakah ada hubungan dukungan sosial dan kepercayaan diri pada remaja? Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dan kepercayaan diri
pada remaja. Manfaat dari penelitian diharapkan mampu memberikan kontribusi untuk
melengkapi penelitian-penelitian terkait kepercayaan diri pada fase remaja yang akhir-akhir
ini banyak diteliti oleh peneliti yang bergerak dalam Ilmu Psikologi perkembangan dan klinis
remaja. Selain itu manfaat penelitian yang dilaksanakan dapat memberikan informasi
mengenai intervensi yang tepat untuk remaja yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang

rendah dan harapan yang terakhir yaitu adanya dukungan masyarakat, pemerintah terhadap
remaja yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah.
Kepercayaan Diri
Lauster (1990) mendefinisikan kepercayaan diri sebagai suatu sikap atau perasaan yakin akan
kemampuan diri sendiri, sehingga seseorang tidak terpengaruh oleh orang lain. Menurut
James O Lugo (dalam Yusuf, 2004) , kepercayaan diri merupakan ciri orang yang kreatif dan
biasanya orang tersebut mendapatkan self assurance “keyakinan pada kemampuan sendiri”.
Rasa percaya diri adalah dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri. Bandura (dalam Yusuf,
2004) memberikan batasan pengertian kepercayaan diri sebagai suatu keyakinan seseorang
bahwa dirinya akan dengan sukses mampu berperilaku seperti yang dibutuhkan agar sesuai
dengan hasil yang diharapkan.

Rasa percaya diri merupakan keyakinan pada kemampuan-kemampuan yang dimiliki,
keyakinan pada suatu maksud atau tujuan dalam kehidupan dan percaya bahwa dengan akal
budi mampu untuk melaksanakan apa yang diinginkan, direncanakan dan diharapkan (Davies,
2004). Lebih lanjut Brennecke & Amich (dalam Yusni, 2002) menyatakan bahwa kepercayaan
diri (self confidence) adalah suatu perasaan atau sikap tidak perlu membandingkan diri dengan
orang lain, karena telah merasa cukup aman dan tahu apa yang dibutuhkan di dalam hidup ini.
Iswidharmanjaya (2004) kepercayaan diri merupakan kepercayaan akan kemampuan yang
dimiliki serta dapat memanfaatkannya secara tepat.
Rini (2002) bahwa kepercayaan diri adalah sikap positif individu yang memampukan dirinya
untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap
lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Dalam hal ini rasa percaya diri yang tinggi
sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut
dimana ia merasa memiliki kompetensi yakni mampu dan percaya bahwa dia bisa karena
didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi, serta harapan yang realistik terhadap diri
sendiri. Liendenfiel (1997) kepercayaan diri lebih menekankan pada kepuasan yang dirasakan
individu mengenai dirinya sendiri. Menurut konsep ini individu yang percaya diri adalah
individu yang merasa puas pada dirinya sendiri.
Iswidharmanjaya (2004) menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan kepercayaan diri
seseorang antara lain: proses belajar menjadi percaya diri, konsep diri, efek interaksi. Rini
(2002) menyebutkan beberapa faktor yang turut mempengaruhi perkembangan percaya diri

seseorang, antara lain: pola asuh orang tua, pola pikir negatif. Ancok (2000) semangkin bisa
memenuhi norma dan di terima oleh masyarakat maka semangkin lancar kepercayaan diri
berkembang.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah suatu perasaan
positif yang ada dalam diri seseorang yang berupa keyakinan dan kepercayaan terhadap
kemampuan dan potensi yang dimilikinya, serta dengan kemampuan dan potensinya tersebut
dia merasa mampu untuk mengerjakan segala tugasnya dengan baik dan untuk meraih tujuan
hidupnya.
Menurut Guildford (1959) kepercayaan diri adalah aspek kepribadian yang harus dicapai
dalam diri individu yang berfungsi penting untuk mengaktualisasisan potensi yang dimiliki
yang ditunjukkan dengan adanya sikap yakin terhadap tindakan yang dilakukan, merasa
diterima oleh lingkungannya dan memiliki ketenangan sikap.

Guilford (1959) mengemukakan bahwa ciri-ciri kepercayaan diri dapat dinilai melalui tiga
aspek, yaitu: Merasa yakin terhadap tindakan yang dilakukan, individu mempunyai sikap
yang optimis yaitu yakin dengan kemampuan yang dimiliki, tidak selalu membutuhkan
dukungan orang lain dalam bertindak, dan bertindak aktif dalam lingkungannya; Merasa
diterima oleh lingkungan, individu merasa kelompok atau orang lain menyukainya, tidak
berlebihan dalam bersikap, tidak mementingkan diri sendiri dan merasa puas atas
kebersamaan dengan kelompoknya; Memiliki ketenangan sikap, individu tidak gugup dalam

melakukan atau mengatakan sesuatu mampu bekerja secara efektif, dan cukup toleran
terhadap situasi.
Lauster (1990) mengemukakan aspek-aspek yang terkandung dalam kepercayaan diri antara
lain: Ambisi, Ambisi merupakan dorongan untuk mencapai hasil yang diperlihatkan kepada
orang lain. Orang yang percaya diri cenderung memiliki ambisi yang tinggi. Mereka selalu
berpikiran positif dan berkeyakinan bahwa mereka mampu untuk melakukan sesuatu;
Mandiri. Individu yang mandiri adalah individu yang tidak tergantung pada individu lain
karena mereka merasa mampu untuk menyelesaikan segala tugasnya, tahan terhadap tekanan.;
Optimis. Individu yang optimis akan selalu berpikiran positif, selalu beranggapan bahwa akan
berhasil, yakin dan dapat menggunakan kemampuan dan kekuatannya secara efektif, serta
terbuka.; Tidak mementingkan diri sendiri. Sikap percaya diri tidak hanya mementingkan
kebutuhan pribadi akan tetapi selalu peduli pada orang lain.; Toleransi. Sikap toleransi selalu
mau menerima pendapat dan perilaku orang lain yang berbeda dengan dirinya.
Menurut Fatimah (2006) remaja/ individu yang memiliki kepercaya diri yang tinggi seperti
percaya akan kompetensi diri, sehingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan,
ataupun rasa hormat orang lain; tidak terdorong untuk menunjukan sikap menyesuaikan diri
demi diterima oleh orang lain atau kelompok; Berani menerima dan menghadapi penolakan
orang lain serta berani menjadi diri sendiri; Punya Pengendalian diri yang baik; Memandang
keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari ussha diri sendiri dan tidak mudah menyerah
pada nasib atau keadaan serta tidak mengharapkan bentuan orang lain; Mempunyai cara

pandang yang positive terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi diluar dirinya; Memiliki
harapan yang realistis terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia
tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.
Sedangkan remaja/ individu yang kurang percaya diri menurut Fatimah (2006) antara lain:
berusaha menunjukan sikap konformis, semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan
penerimaan kelompok; menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap penolakan; sulit
menerima realita diri; pesimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negative; takut gagal,
sehingga menghindari segala risiko dan tidak berani memasang target untuk berhasil;
cenderung melolak pujian yang ditujukan secara tulus; Selalu menempatkan/memposisikan
diri sebagai yang terakhir, karena menilaindirinya tidak mampu; mudah menyerah pada nasib,
sangat tergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan serta bentuan orang lain.
Dukungan Sosial
Kehadiran orang lain didalam kehidupan pribadi seseorang begitu diperlukan, sebab itu
individu membutuhkan dukungan dari orang terdekat, dukungan yang dimaksud adalah
dukungan sosial. Sarafino (1994) menggambarkan dukungan sosial sebagai suatu
kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain
maupun kelompok. Dalam pengertian lain disebutkan bahwa dukungan sosial adalah

kehadiran orang lain yang dapat membuat individu percaya bahwa dirinya dicintai,
diperhatikan dan merupakan bagian dari kelompok sosial, yaitu keluarga, rekan kerja dan

teman dekat, Sheridan & Radmacher (1992).
Taylor (1999) mengemukakan, dukungan sosial sebagai informasi dari orang lain yang
menunjukan bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai serta
merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama. Hal senada dikemukakan
oleh Thoits dalam Rutter (1993) yang menyatakan bahwa, dukungan sosial adalah derajat
dimana kebutuhan dasar individu akan afeksi, persetujuan, kepemilikan dan eamanan didapat
melalui interaksi dengan orang lain.
Dari beberapa pendapat tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan
ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat
melalui interaksi individu dengan orang lain sehingga individu tersebut merasa dicintai,
diperhatikan, dihargai dan merupakan bagian dari kelompok sosial.
Sarafino (1998) mengemukakan bahwa aspek-aspek dukungan sosial antara lain adalah:
Dukungan Emosional, meliputi empati dan perhatian terhadap individu. Dukungan emosional
tersebut memberikan perasaan nyaman, aman dan dicintai terutama pada saat-saat penuh
tekanan; Dukungan Penghargaan, diwujudkan melalui penghargaan terhadap individu,
dorongan atau persetujuan terhadap gagasan atau perasaan individu serta perbandingan positif
dengan individu lain. Dukungan penghargaan ini terutama membantu meningkatkan harga diri
individu; Dukungan Instrumental, meliputi bantuan langsung, seperti ketika seseorang
memberikan bantuan uang untuk pengobatan bagi ekonomi lemah bantuan ini sangat berarti;
Dukungan Informasi, mencakup pemberian nasehat, saran atau umpan balik tentang keadaan

atau apa yang dikerjakan individu; Dukungan persahabatan, suatu bentuk dukungan sosial
yang dapat memberikan dukungan bagi seseorang dalam usaha untuk mengurangi tekanan
yang dirasakan; Dukungan Motivasional, Pemberian dorongan dan semangat pada individu
yang membutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Goetlieb (1983) menyatakan ada dua macam hubungan dukungan sosial, yaitu hubungan
professional yakni bersumber dari orangorang yang ahli di bidangnya, seperti konselor,
psikiater, psikolog, dokter maupun pengacara, serta hubungan non professional, yakni
bersumber dari orang-orang terdekat seperti teman, keluarga maupun relasi.
Faktor-faktor yang terbentuknya dukungan sosial Myers (dalam Hobfoll, 1986)
mengemukakan bahwa sedikitnya ada tiga faktor penting yang mendorong seseorang untuk
memberikan dukungan yang positif, diantaranya: Empati, yaitu turut merasakan kesusahan
orang lain dengan tujuan mengantisipasi emosi dan memotivasi tingkah laku untuk
mengurangi kesusahan dan meningkatkan kesejahteraan orang lain; Norma dan nilai sosial,
yang berguna untuk membimbing individu untuk menjalankan kewajiban dalam kehidupan;
Pertukaran sosial, yaitu hubungan timbal balik perilaku sosial antara cinta, pelayanan,
informasi. Keseimbangan dalam pertukaran akan menghasilkan hubungan interpersonal yang
memuaskan. Pengalaman akan pertukaran secara timbal balik ini membuat individu lebih
percaya bahwa orang lain akan menyediakan bantuan.
Remaja
Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa

kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2003). Masa remaja disebut pula sebagai masa
penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada

periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsifungsi rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi seksual (Kartono, 1995).
Terdapat 8 jenis tahap-tahap perkembangan psikososial Erickson (1963):
Psikososial Tahap 1 Trust vs Mistrust (kepercayaan vs kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, pada umur 0-1 tahun atau 1,5 tahun (infancy).
Bayi pada usia 0-1 tahun sepenuhnya bergantung pada orang lain, perkembangan rasa percaya
yang dibentuk oleh bayi tersebut berdasarkan kesungguhan & kualitas penjaga (yang
merawat) bayi tersebut. Apabila bayi telah berhasil membangun rasa percaya terhadap si
penjaga, dia akan merasa nyaman & terlindungi di dalam kehidupannya. Akan tetapi, jika
penjagaannya tidak stabil & emosi terganggu dapat menyebabkan bayi tersebut merasa tidak
nyaman dan tidak percaya pada lingkungan sekitar.
Kegagalan mengembangkan rasa percaya menyababkan bayi akan merasa takut dan yakin
bahwa lingkungan tidak akan memberikan kenyamanan bagi bayi tersebut, sehingga bayi
tersebut akan selalu curiga pada orang lain.
Psikososial Tahap 2 Otonomi vs Perasaan malu dan ragu-ragu.
Tahap ini merupakan tahap anus-otot (anal/mascular stages), masa ini disebut masa balita
yang berlangsung mulai usia 1-3 tahun (early childhood).
Pada masa ini anak cenderung aktif dalam segala hal, sehingga orang tua dianjurkan untuk
tidak terlalu membatasi ruang gerak serta kemandirian anak. Namun tidak pula terlalu
memberikan kebebasan melakukan apapun yang dia mau.
Pembatasan ruang gerak pada anak dapat menyebabkan anak akan mudah menyerah dan tidak
dapat melakukan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Begitu pun sebalikny, jika anak
terlalu diberi kebebasan mereka akan cenderung bertindak sesuai yang dia inginkan tanpa
memperhatikan baik buruk tindakan tersebut. Sehingga orang tua dalam mendidik anak pada
usia ini harus seimbang antara pemberian kebebasan dan pembatasan ruang gerak anak.
Karena dengan cara itulah anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri.
Psikososial Tahap 3 Inisiatif vs kesalahan
Tahap ini dialami pada anak saat usia 4-5 tahun (preschool age)
Anak-anak pada usia ini mulai berinteraksi dengan lingkungak sekitarnya sehingga
menimbulkan rasa ingin tahu terhadap segala hal yang dilihatnya.
Mereka mencoba mengambil banyak inisiatif dari rasa ingin tahu yang mereka alami. Akan
tetapi bila anak-anak pada masa ini mendapatkan pola asuh yang salah, mereka cenderung
merasa bersalah dan akhirnya hanya berdiam diri. Sikap berdiam diri yang mereka lakukan
bertujuan untuk menghindari suatu kesalahan-kesalahan dalam sikap maupun perbuatan.
Psikososial Tahap 4 Kerajinan vs inferioritas
Tahap ini merupakan tahp laten usia 6-12 tahun (school age) ditingkat ini anak mulai keluar
dari lingkungan keluarga ke lingkungan sekolah sehingga semua aspek memiliki peran misal
orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima

kehadirannya. Pada usia ini anak dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil
melalui tuntutan tersebut. Anak dapat mengembangkan sikap rajin, jika anak tidak dapat
meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (infieoritas), anak dapat mengembangkan
sikap rendah diri. Sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangat penting untuk
memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia ini usaha yang sangat baik pada
tahap ini adalah dengan mengembangkan kedua karakteristik yang ada. Dengan begitu ada
nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Psikososial Tahap 5 Identitas vs kekacauan identitas
Tahap ini merupakan tahap adolense (remaja), dimulai pada saat masa puber dan berakhir
pada usia 12-18 tahun/anak. Di dalam tahap ini lingkup lingkungan semakin luas, tidak hanya
di lingkungan keluarga atau sekolah, namun juga di masyarakat. Pencarian jati diri mulai
berlangsung dalam tahap ini. Apabila seorang remaja dalam mencari jati dirinya bergaul
dengan lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula. Namun sebaliknya,
jika remaja bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka akan timbul kekacauan
identitas pada diri remaja tersebut.
Psikososial Tahap 6 Keintiman vs isolasi
Tahap ini terjadi pada masa dewasa awal (young adult), usia sekitar 18/20-30 tahun. Dalam
tahap ini keintiman dan isolasi harus seimbang untuk memunculkan nilai positif yaitu cinta.
Cinta yang dimaksud tidak hanya dengan kekasih melainkan cinta secara luas dan universal
(misal pada keluarga, teman, sodara, binatang, dll).
Psikososial Tahap 7 Generatifitas vs stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) ditempati oleh orang-orang yang berusia yang berusia sekitar
20 tahunan sampai 55 tahun (middle adult). Dalam tahap ini juga terdapat salah satu tugas
yang harus dicapai yaitu dapat mengabdikan diri guna mencapai keseimbangan antara sifat
melahirkan sesuatu (generatifitas) dengan tidak melakukan apa-apa (stagnasi). Harapan yang
ingin dicapai dalam masa ini adalah terjadinya keseimbangan antara generatifitas dan stagnasi
guna mendapatkan nilai positif yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi
generational dan otoritisme. Generational merupakan interaksi yang terjalin baik antara orangorang dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme merupakan interaksi yang
terjalin kurang baik antara orang dewasa dengan para penerusnya karena adanya aturan-aturan
atau batasan-batasan yang diterapkan dengan paksaan.
Psikososial Tahap 8 Integritas vs keputus asaan
Tahap ini merupakan tahap usia senja (usia lanjut). Ini merupakan tahap yang sulit dilewati
karena orang pada masa ini cenderung melakukan introspeksi diri. Mereka akan memikirkan
kembali hal-hal yang telah terjadi pada masa sebelumnya, baik itu keberhasilan maupun
kegagalan. Jika dalam masa sebelumnya orang tersebut memiliki integritas yang tinggi dalam
segala hal dan banyak mencapai keberhasilan maka akan menimbulkan kepuasan di masa
senja nya. Namun sebaliknya, jika orang tersebut banyak mengalami kegagalan maka akan
timbul keputus asaan.
Dukungan Sosial dengan Kepercayaan diri pada Remaja
Remaja menganggap kepercayaan diri sebagai masalah yang paling sering mengganggu pada
masa remaja karena pada masa remaja merupakan masa dimana individu mulai mengalami

perubahan biologis maupun psikologis. Hilangnya rasa percaya diri hanya menyebabkan rasa
tidak nyaman secara emosional yang bersifat sementara (Santrock, 2003). Remaja yang
mendapatkan pengalaman mengecewakan di dalam hidupnya menjadi sumber rasa rendahnya
percaya diri bagi individu (Lauster, 1990).
Kepercayaan diri terbentuk tidak secara tiba-tiba, akan tetapi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya kepercayaan diri seseorang,
seperti pola asuh, pendidikan, teman sebaya, masyarakat dan pengalaman (Sears, 1992).
Kepercayaan diri yang dicapai individu berfungsi penting untuk mengaktualisasian potensi
yang dimiliki yang ditunjukkan dengan adanya sikap yakin terhadap tindakan yang dilakukan,
merasa diterima oleh lingkungan dan memliki ketenangan sikap (Guildford, 1959).
Rendahnya percaya diri pada remaja perlu ditingkatkan dengan cara memberikan kebutuhan
dasar pada remaja seperti cinta kasih, penghargaan, rasa memiliki, rasa aman yang dipuaskan
melalui interaksi dengan orang lain (Menurut Kaplan Sallis dan Patterson, 1993). Remaja
yang mendapat hal tersebut dari lingkungan sekitarnya akan memiliki kepercaya diri yang
tinggi seperti percaya akan kompetensi diri, sehingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan,
penerimaan, ataupun rasa hormat orang lain; tidak terdorong untuk menunjukan sikap
menyesuaikan diri demi diterima oleh orang lain atau kelompok; Berani menerima dan
menghadapi penolakan orang lain serta berani menjadi diri sendiri; Punya Pengendalian diri
yang baik; Memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari ussha diri sendiri dan
tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak mengharapkan bentuan orang lain;
Mempunyai cara pandang yang positive terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi diluar
dirinya; Memiliki harapan yang realistis terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu
tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi (Fatimah,
2006).
Remaja yang diakui kebedaannya, dipedulikan lingkungannya, dihargai dan disayangi oleh
orang-orang disekitarnya maka akan meningkatkan kepercayaan diri bagi remaja. Karena hal
tersebut terjadi karena remaja/individu mendapatkan penghargaan positif, dorongan atau
persetujuan terhadap ide ataupun perasaannya dan melakukan perbandingan positif antara
individu dengan orang lain Sarafino (1998). Dengan hal tersebut individu lebih bersikap
positif yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri
sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya (Rini, 2002).

Dukungan Sosial

Tingginya empati dari
orang lain.

Rendahnya empati dari
orang lain.

Motivasi,
dorongan
lain.

adanya
orang

Motivasi, tidak adanya
dorongan dari orang
lain.

Penghargaan
yang
didapatkan individu dari
lingkungan

Kurangnya Penghargaan
yang
didapatkan
individu dari lingkungan

Kepercayaan Diri
Tinggi

Kepercayaan Diri
Rendah

dari

Hipotesis
Ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan kepercayaan diri. Dimana apabila
dukungan sosialnya baik/tinggi maka kepercayaan diri akan baik/tinggi. Sedangkan jika
dukungan sosial buruk/rendah maka kepercayaan diri juga akan ikut rendah.

METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif di mana menurut
(Sugiyono 2012), metode penelitian kuantitatif itu sendiri dapat diartikan sebagai metode
penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada
populasi atau sampel tertentu. Teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara
random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat
kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono,
2012). Pendekatan analisis kuantitatif terdiri atas perumusan masalah, penyusunan model,
mendapatkan data, mencari solusi, menuji solusi, menganalisis hasil dan menginterprestasikan
hasil.
Subjek Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian, karena dalam melaksanakan penelitian tentu
ada subjek penelitian yang dijadikan sumber untuk menggali data. Adapun responden
penelitian ini adalah remaja yang berusia 17-22 tahun. Penentuan subjek yang peneliti
lakukan dengan jumlah populasi remaja di Kota Malang yaitu dengan populasi tak terhingga,

dengan taraf kesalahan 5% dengan populasi takterhingga maka jumlah sampel penelitian 350
subjek (Sugiyono, 2012).
Variabel dan Instrumen Penelitian
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri. Kepercayaan diri yaitu salah
satu dari sifat kepribadian yang sangat menentukan individu, dalam penelitian ini adalah
remaja, karena jika individu tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup, maka interaksi
dengan orang lain atau kelompok akan berkurang/menurun.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dukungan sosial. Dukungan sosial yaitu bantuan
atau dukungan yang diberikan oleh keluarga, sahabat, teman serta masyarakat yang ada di
lingkungan individu. Dukungan tersebut mengacu pada jenis-jenis dukungan sosial seperti
dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan
informasi.
Prosedur Penelitian dan Analisis Data Penelitian
Tahap pertama pematangan konseptual (Merumuskan dan membatasi masalah, meninjau
kepustakaan yang relevan, mendefinisikan kerangka teoritis, merumuskan hipotesis).Tahap ini
termasuk merenungkan, berpikir, membaca, membuat konsep, revisi konsep, teoritisasi,
bertukar pendapat, konsul dengan pembimbing, dan penelusuran pustaka.
Tahap kedua adalah membuat instrumen penelitian dari dua variabel penelitian yaitu skala
dukungan sosial dan skala kepercayaan diri. Kemudian peneliti melakukan tryout instrumen
penelitian pada sampel yang sesuai kriteria penelitian hal ini digunakan untuk uji validaitas
item dan reliability instrument.
Tahap ketiga pelaksanaan penelitian dilakukan dengan cara memberikan instrumen penelitian
terkait skala dukungan sosial dan skala kepercayaan diri kepada sejumlah sampel yang telah
ditentukan untuk pengambilan data. Instrument diserahkan kepada sampel. Setelah semua
data terkumpul maka peneliti menganalisis data dengan menggunakan statistik yaitu metode
yang digunakan untuk pengumpulan, pengolahan, penafsiran dan penarikkan hasil kesimpulan
pada data penelitian Winarsunu, (2009).
Penelitian ini dianalisis dengan bantuan statistical packages for social science (SPSS) versi
22.00. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu korelasi person produc
moment dimana teknik statistik untuk mengetahui hubungan antara dua variabel (Winarsunu,
2009).

Daftar pustaka
Afiatin, T., & Martaniah, S. M., 1998. Peningkatan Kepercayaan Diri Remaja Melalui
Konseling Kelompok. Jurnal Psikologika, No. 6 / 67-79.
Amitya Kumara, Studi Pendahuluan Tentang Vadilitas dan Realibilitas The Test Of Self
Confidence. (Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 1988)
Anchok, J. (2000). Outbound Manajemen Training. Yogyakarta : UII Perss.

Davies, P. 2004. Meningkatkan Rasa Percaya Diri. Alih Bahasa Saut Pasaribu.Yogyakarta:
Torent Books.
Ellyana. Studi Hubungan Konsep Diri Dengan kebutuhan Berafiliasi dan Kepercayaan Diri.
Skripsi
Erikson.
1963.
Childhood
and
Society.
Online
Maret
2016
https://kharinblog.wordpress.com/2012/11/24/tahap-tahap-perkembangan-psikososialerik-erikson/
Fatimah, E. 2006. Psikologi Perkembangan: Perkembangan Peserta didik. Bandung: Balai
Setia.
Goetlieb, B. H. (1983). Social support and strategies. California : Sage Publication, inc.
Hakim, T. 2002. Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta: Puspa Swara
Hobfoll, S, E. (1986). Stress, social support and women : the series in clinical and community
psychology. New York :” Herper & Row.
Hakim, Thursan. 2005. Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta: Puspa Swara
http://health.liputan6.com/read/2142904/45-persen-remaja-indonesia-usia-13-19-perokok.
diakses pada tanggal 13 Desember 2015
Iswidharmanjaya, D. & Agung, A. (2004). Satu hari menjadi lebih percaya diri : Panduan
bagi remaja yang masih mencari jati diri. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Kaplan, R. M., Sallis, J. F., Patterson, T.L. (1993). Health and human behavior. New York :
McGraw-Hill, Inc.
Khusnia, S & Rahayu, S A. (2010). Hubungan antara Dukungan Sosial dan Kepercayaan Diri
Remaja Tuna Netra. Jurnal Penelitian Psikologi. Vol. 01, No. 01, 40-47.
Lauster, P. 1990. Personality Test. Alih Bahasa D.H. Gulo. Jakarta: Bumi Aksara.
Liendenfiel, G. (1997). Mendidik anak agar percaya diri. Alih bahasa : Kamil, E Jakarta :
Arcan
Loekmono, Lobby. 1983. Rasa Percaya Diri Sendiri. Salatiga: Pusat Bimbingan UKSW.
Mario, S. (2011). Positif Thinking vs Positif Attitude. Yogyakarta : Locus
Rini, J.F. (2002). Memupuk rasa percaya diri. http://www.e-psikologi.com/dewasa. Diakses
tanggal 17 Agustus 2015
Rook, K. (1987). Social support versus companionship: Effects on life stress, loneliness, and
evaluations by others. Journal of Personality and Social Psychology.
Rutter, dkk. (1993). Understanding human a adjustmen normal adaptation through the last
cycle. Canada : Power Associate, inc.
Santrock (2003). Adolescene Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga

Sarafino, E. P. (1990). Health psychology biopsychological interaction. USA : John Wiley &
Sons.
Sarafino, E. P. (1998). Health psychology biopsychological interaction (3 rd ed). USA : John
Wiley & Sons.
Sears, D. O., Peplau, L. A., Taylor, S. E. (1991). Social psychology 7 th ed. USA : PrenticeHall International, Inc.
Sheridan, C. L & Radmacher, S. A. (1992). Health pychology challenging the biomedical
model. New York : John Wiley & Sons, Inc.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Winarsunu, T. (2009). Statistika dalam penelitian psikologi dan pendidikan. Malang. UMM
Press.
Witridiani, L. (1996). Hubungan antara dukungan sosial dan penyesuaian diri pada para
janda di kota besar. Skripsi. Depok : Univesitas Indonesia.
Yulianto, F. & Nashori, F. 2006. Kepercayaan Diri Dan Prestasi Atlet Tae Kwon Do Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jurnal Psikologi Universitas Diponegara Vol. 3 No.1 / 55-62.
Yusni. M. 2002. Hubungan Kepercayaan Diri Dengan Prestasi Kerja Pada Perawat. Skripsi.
Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia.
Yusuf S. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. (Bandung : Cetakan Keempat, PT.
Remaja Rosdakarya,)