KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN NILAI-NILAI BUDAYA DI SUMATERA SELATAN

  Abdul Kadir Riyadi

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DALAM HUBUNGANNYA DENGAN NILAI-NILAI BUDAYA

  

Rr. Rina Antasari

Staf Pengajar IAIN Raden Fatah Palembang

Abstract:

  

Domestic Violence is a universal phenomenon. The problem can be considered as a special issue since the

perpetrators and the victims are relatives or are related in other forms of legal relation. Indonesia actually has

had a anti Domestic Violence law that is the Law Number 23 Year 2004 on the Elimination of Domestic

Violence. Ideally, this law is expected to solve the problems of domestic violence in Indonesia including South

Sumatra. Unfortunately, the law’s implementation is still not effective and this is due to a variety of factors

but mainly is the narrowed cultural values of the society. Meanwhile, the ideal concept of the cultural values

that grow in the community is that they can function as the supporting instrument towards the enforcement

of the state law. In this case, deep and thorough observation on South Sumatran society shows that,

consisting of many tribes where each has each culture, the culture serves as a regulator of the people’s life

including household problems. Unfortunately, the are potentials of the cultural values contributing to the

occurrence of domestic violence. On the other hand, the very same culture also provides the solutions. As a

consequence, the law number 23 of 2004 regarding the elimination on domestic violence has not been

optimally enofrced and implemented.

  K ey word :

Sumatera Selatan, Nilai-nilai Budaya, UU Nomor 23 Tahun 2004.

  Pendahuluan.

  Salah satu ranah yang dapat menjadi tempat dapat terjadinya kekerasan yakni di dalam rumah tangga. Isu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan isu universal . Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat menimpa siapa saja di dalam rumah tangga, t baik suami, istri, anak, pembantu rumah tangga atau siapapun yang tinggal dan menetap dalam satu rumah., Pelaku maupun korbannya akan mudah dilihat ataupun dikenali. Kekerasan dalam rumah tangga pada tulisan ini fokus pada KDRT suami dan isteri, karena KDRT antara suami dan isteri adalah permasalahan memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dari pada kekerasan lainnya, karena antara pelaku dan korban berada pada ikatan perkawinan. Sementara perkawinan dipandang oleh masyarakat sebagai ikatan yang sakral antara dua pribadi yang diikat dan dipenuhi dengan berbagai norma meliputi norma hukum, sosial, budaya dan norma agama.

  Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menetapkan : “Dasar perkawinan adalah adanya ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Selain itu dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dijelaskan pula, “Antara suami isteri mempunyai kewajiban untuk saling Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Hubungannya dengan Nilai-nilai Budaya di Sumatera Selatan

  cinta mencintai, hormat menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain”. Bahkan suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup di dalam masyarakat serta berhak untuk melakukan perbuatan hukum ( Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974). Untuk itu dalam suatu perkawinan seharusnya tidak boleh ada kekerasan. Namun dalam kenyataannya terkadang tidak dapat terhindar adanya perselisihan bahkan sampai menjurus kepada tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

  Dari fenomena yang ada, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih mendalam terhadap isu KDRT, terutama tentang andil pola budaya suatu masyarakat (Sumatera Selatan) dalam memberi peluang untuk terjadinya KDRT. Kemudian permasalahan dikemas menjadi 2(dua) yakni: pertama, bagaimanakah gambaran karakteristik nilai budaya dari tiap rumpun suku masyarakat Sumatera Selatan yang berpeluang besar / rentang terjadinya KDRT? Dan permasalahan kedua, bagaimanakah Hukum yang hidup di tengah masyarakat dari beberapa rumpun suku masyarakat dominan di Sumatera Selatan dalam memandang permasalahan KDRT serta kaitnya dengan keberlakuan UU nomor 23 Tahun 2004?

  Signifikansi kajian dari penelitian ini merupakan kajian yang sangat penting untuk 1 mengetahui gambaran karakteristik budaya khususnya dari enam rumpun suku masyarakat Sumatera Selatan yang dapat memberikan peluang besar atau rentang timbulnya kekerasan Dalam Rumah Tangga. Selanjutnya ingin menemukan hubungan antara hukum yang hidup di tengah rumpun suku masyarakat tersebut yang berhubungan dengan permasalahan KDRT serta hubunganya dengan keberlakuan UU Nomor 23 Tahun 2004 di Sumatera Selatan. Di sisi lain penelitian ini penting sebagai sumbangan pemikiran dalam memperkaya khasanah keilmuan bidang sosial, hukum dan kajian gender. Selanjutnya diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Sumatera Selatan khususnya dan Indonesia umumnya dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan terhadap isu-isu kekerasan dalam rumah tangga.

  Kajian Teoritis.

  Sebagai pisau analisis pembahasan dalam peneliti mengangkat kembali Teori Legal System, Teori keberlakuan hukum dan bekerjanya hukum dalam masyarakat, Teori – teori Gender yakni: Teori peran gender dan Teori lingkaran kekerasan dalam rumah tangga.

  Keberadaan lapisan – lapisan hukum tidak lain sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan di masyarakat. Namun perlu disadari , bahwa hukum sebagai norma dalam masyarakat tidak hanya satu macam karena masyarakat penuh dengan norma-norma sehingga sebagai akibatnya terdapat berbagai tatanan yang berupa sub-sub tatanan. Sub-sub tatanan itu ialah: kesusilaan, kebiasaan dan hukum. ( Satjipo Raharjo, 1986) Menurut

  

Radbruch (Satjipo Raharjo, 2004) , tatanan kesusilaan adalah tatanan yang bukan berpegang

  teguh pada kenyataan tingkah laku orang-orang melainan berpegang kepada ideal yang masih

  Abdul Kadir Riyadi Rr. Rina Antasari

  harus diwujudkan dalam masyarakat. Tatanan Hukum merupakan norma dari pergeseran tatanan yang berpegang pada kenyataan sehari-hari kepada tatanan yang mulai menjauh yang dikendaki manusia. Kehendak manusia ini merupa ciri dari tatanan hukum. Dalam hal ini akan terlihat kemandirian hukum. Tatanan kebiasaan atau kaidah kebiasaan adalah tatanan yang terdiri dari norma-norma yang diangkat dari kenyataan yakni (Ratno Lukito, 2008) hukum adat, hukum Islam dan Hukum tradisional. Tatanan ini akan berlaku pada setiap aspek kehidupan termasuk dalam mengatur kehidupan rumah tangga.

  Dalam kehidupan rumah tangga dikenal penetapan pembagian peran bagi anggota keluarga laki-laki dan perempuan. Peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga., pertama menurut Teori Nature memandang peran laki-laki dan perempuan merupakan peran yang telah digariskan oleh alam, yang terkonsep sebagai pertentangan kosmik yang kembar. Ada dua entitas yang selalu berlawanan yang berada pada titik eksistensial yang a simetris dan tidak berimbang. Menurut teori ini kelompok pertama dikonotasikan secara positif dan dikaitkan dengan laki- laki sementara kelompok ke dua berkonotasi negatif yang selalu dikaitkan dengan perempuan (Hidle Hein, 1989) Kedua adalah menurut Teori nurture dalam hal ini pendefinisian laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat patriarki sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari tiga konsep metafisika yakni identitas , dikotomi dan kodrat. Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang identik.

  Disamping itu pemikiran terhadap persoalan KDRT ini menurut teori lingkaran kekerasan dalam rumah tangga (Rifka Annisa, 1998) terdiri dari tiga tahap yakni tahap munculnya ketegangan, tahap pemukulan akut dan tahap bulan madu. Pada tahap munculnya ketegangan mungkin disebabkan oleh adanya kesalahpahaman, cemburu ringan dan ini mengakibatkan adanya cekcok dan tidak menutup kemungkinan timbul “kekerasan kecil” ,korbannya benda dan bisa juga lawan. Namun pada tahap ini tingkat toleransi masih besar dan bahkan dapat menjadi bumbu perkawinan. Kemudian pada tahap kedua kekerasan mulai muncul dengan berbagai modus, misalnya meninju, menendang,menampar mencekik, tidak memberi nafkah dan tegur sapa dalam waktu lama, atau sampai memakai senjata. Tahap bulan madu, pelaku sering menyesali tindakannya . penyelesaian biasanya berupa rayuan dan berjanji tidak akan melakukan lagi. Bahkan tidak jarang terjadi kemesraan luar biasa.dalam kondisi ini korban viasanya menjadi luluh dan memaafkannya, dengan harapan hal itu tidak terjadi lagi. Kemudian tidak menutup kemungkinan rotasi tahap terjadi lagi dan kembali ke tahap pertama.

  Dari semua penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa tingkah laku masyarakat tidak hanya ditentukan oleh hukum semata melainkan juga oleh kekuatan-kekuatan lain / aspek- aspek lain yang ada pada masyarakat diantaranya nilai-nilai budaya. Bagaimana sebenarnya cara bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari bagan yang dikemukakan oleh Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama Chambliss dan Seidman di bawah ini:

  Dari bagan di atas tampak peranan kekuatan sosial akan berpengaruh terhadap rakyat sebagai sasaran yang diatur oleh hukum dan juga terhadap lembaga-lembaga hukum. Dalam melihat keberlakuan hukum sebagaimana dijelaskan oleh Urich Kulg. Ia membuat suatu pembagian yang renci dalam 9 (sembilan) jenis keberlakuan hukum yaitu (Joni Emirzon, 2007):

  

1. Juridische gelding. Heironder vestaat klug ongeveer wat wij hierboven als de positiviteit van een rechtsnorm

hebben aangeduid , ( Keberlakuan yuridis tentang ini Klug memaksudkan apa yang di atas kita

  sebut “positivitas”suatu kaedah hukum).

  

2. Ethische gelding.Hervan is sparake wanner een rechsnorm een verpiichtend karakter. Deze gelding zullen

wij dadelijk vorm van evaluative gelding noemen. ( Keberlakuan Etis.Hal ini akan ada jika sebuah

  kaedah hukum mempunyai sifat mewajibkan. Keberlakuan ini adalah apa yang akan kita sebut suatu bentuk keberlakuan evaluatif).

  Ideal. Suatu kadah memiliki keberlakuan ini jika ia bertumpuh pada kaedah moral yang lebih tinggi.

  

4. Reel gelding.Hierven is sprake als de normadressaten zich naar de rechsnorm gedragen. Wij zullen deze

gelding als een vorm van empirische gelding typeren . ( keberlakuan riil. Keberlakuan ini ada jika

  para teralamat kaedah berprilaku dengan mengacu pada kaedah hukum itu.Kita akan menyebut (mentipilasi) keberlakuan ini sebagai suatu bentuk keberlakuan empiris).

  

5. Ontologogische. Een norm mist deze gelding als zij isgepositiveerd door een wetgever die zich niet aan de

fondamentele elsen van regegeving houdt. Van deze gelding is slecht in bepaalde theorieen sparake . (

  Suatu kaedah akan tidak memiliki keberlakuan ini jika ia dipositifkan oleh bentuk undang- undang yang tidak berpegangan pada tuntutan-tuntutan fondamental alam pembentukan aturan. Tentang keberlakuan ini hany ditemukan dalam beberapa teori tertentu).

  

6. Socio-relatisve. Een rechtsnorm die geen juridische, ethische en reele gelding heepf,maar toch iets voor de

normadressaten voorstelt, heeft volgens klug slechts deze gelding . ( Keberlakuan sosio-relatif. Suatu Semua kekuatan sosial dan pribadi

  Semua kekuatan sosial dan pribadi Lembaga-lembaga penerapan sanksi

  Lembaga-lembaga pembuat hukum

Kegiatan

Penerapan sanksi

  Semua kekuatan Rakyat Norma Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Hubungannya dengan Nilai-nilai Budaya di Sumatera Selatan

  Abdul Kadir Riyadi Rr. Rina Antasari

  kaidah hukum yang tidak memiliki keberlakuan yuridis, etis dan riil, namun masih menawarkan sesuatu kepada para teralamat kaidah, menurut Klug hanya memiliki keberlakuan ini).

  

7. Decorative gelding. Deze gelding bezit een rechtsnorm die enkel een symboolfuntie helft . ( Keberlakuan

dekoratif.Keberlakuan ini dimiliki kaidah hukum yang hanya memiliki fungsi lambing).

  

8. Esthetische gelding. Hiervan is sprake al seen rechsnorm een zekere elegantie bezit. (Keberlakuan

estetika.Hal ini ada jika suatu kaidah hukum memiliki elegansi tertentu).

  

9. Logische gelding. Een rechtsnorm die niet iirlijk tegenstrijdig id,bezit deze vorm van gelding .

  (Keberlakuanlogika.Suatu kaidah hukum yang secara internal tidak bertentangan,memiliki bentuk keberlakuan ini).

  Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka dalam bukunya Sendi- Sendi Ilmu

  Hukum dan Tata Hukum, menjelaskan pula tentang keberlakuan hukum agar efektif harus memenuhi tiga syarat yakni (Soejono Soekanto, 1989) : yuridis, filosofi dan sosiologis. Syarat yuridis dilihat dari undang-undang itu sendiri apakah penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatnya, apakah terbentuknya menurut cara yang telah ditetapkan dan selalu menunjukan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibat. Syarat filosofi adalah melihat apakah undang-undang tersebut nafasnya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai-nilai kehidupan yang tumbuh di tengah masyarakatnya yang positif tertinggi. Sedang syarat sosiologis melihat apakah hukum atau undang-undang tersebut diterima dan didukung dan dikuasai oleh masyarakatnya.

  L.W. Friedman dalam bukunya “The Legal System” mengatakan hukum merupakan suatu

  suatu sistem. Sistem hukum tersebut mempunyai 3 unsur yakni (Lawrence M. Friedman, 1975):

  

structure; subtance dan legal culture. Stucture berarti suatu kerangka bagian yang tahan lama dari

  sistem hukum. Diartikan juga bagaimana lembaga legislatif sebagai pembentuk undang-undang diorganisir. Subtance berarti peraturan perundang-undangan yang konkrit, nora-norma dan pengaturan tentang pola tingkah laku masyarakat dalam suatu sistem hukum, sedangkan legal

  

culture adalah nilai-nilai,sikap,keyakinan,ide dan harapan-harapan masyarakat terhadap sistem

  hukum. Atau dengan kata lain merupakan budaya masyarakat yang memperhatikan (concern) terhadap hukum (Satjipto Raharjo, 1980). Lebih lanjut Friedman menjelaskan, jika sistem hukum diumpamakan sebagai suatu pabrik,maka Subtance sebagai produk yang dihasilkan ,

  

Stucture adalah mesin yang menghasilkan , sedangkan legal culture adalah orang-orang yang

  mengoperasikan mesin, yang mengetahui kapan mesin perlu dihidupkan atau dimatikan dan memproduksi apa. legal culture ini memegang peranan penting untuk dapat mengarahkan berkembangnya sistem hukum karena berkenanaan dengan persepsi ,nilai-nilai, ide dan pengharapan masyarakat terhadap hukum.

  Atas perjuangan pergerakan pembelaan dunia terhadap perempuan yang menjadi catatan penting bagi bangsa Indonesia adalah hasil Konvensi tentang penghapusan semua bentuk Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Hubungannya dengan Nilai-nilai Budaya di Sumatera Selatan

  diskriminasi terhadap perempuan(Committee on the Elimination of Discrimination against Women / CEDAW) yang disetujui dan terbuka untuk penandatanganan ,ratifikasi dan aksesi dengan resolusi Majels Umum PBB Nomor 34/180, 18 Desember 1979, dan itu semua telah diartifikasi Indonesia melalui UU No 7 tahun 1989. Ada 3 (tiga) prinsip yang mendasari konvensi Cedaw ini yakni:

  1. Prinsip Diskriminasi.

  2. Prinsip Persamaan (keadilan substantive).

  3. Prinsip Kewajiban Negara.

  Dalam tinjauan pustaka ini dipaparkan pula mengenai pengertian dari kekerasan itu sendiri. Kejahatan kekerasan ini menurut Mulyana W. Kusumah yang diikutinya dari pendapat

  

Rosa Det Olmo dalam bukunya : Limitation of the prevention of violence, terbagi ke dalam empat

  macam pengelompokan kekerasan yang harus diperhatikan, yaitu (Satjipto Raharjo, 1980) :

  1. Kekerasan Individual Merupakan kekerasan perseorangan seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan.

  2. Kekerasan Struktural Terwujud sebagai pola-pola hubungan dalam masyarakat yang mencer minkan ketidakmerataan dan ketidakadilan dalam penguasaan dan pengendalian sumber daya alam.

  3. Kekerasan Institusional Kekerasan yang dilakukan oleh alat-alat pengendali sosial yang menguasai dan mengendalikan

  legitimized violence dengan kata lain kekerasan institusional ini adalah kekerasan-kekerasan

  yang dilembagakan atau yang dilaksanakan dalam rangka bekerjasama lembaga-lembaga resmi.

  4. Kekerasan Revolusioner Kekerasan yang dilembagakan atau dilaksanakan dalam rangka bekerjanya lembaga-lembaga resmi yang berpengaruh terhadap terciptanya bentuk-bentuk kekerasan lain dalam masyarakat dalam waktu cepat.

  Sedang kejahatan Kekerasan Dalam Rumah tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau pe-rampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 bukan hanya suami, isteri dan anak tetapi termasuk juga orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perkawinan yang menetap dalam rumah tangga yang bersangkutan. Termasuk juga orang yang membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tersebut (Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2004). Kekerasan dapat terjadi di dalam lingkup anggota rumah tangga secara keseluruhan, bukan hanya kekerasan

  Abdul Kadir Riyadi Rr. Rina Antasari

  suami terhadap isteri ,namun mayoritas isu dalam rumah tangga adalah kekerasan suami terhadap isteri.

  Kristi E Purwandari mengemukakan beberapa bentuk kekerasan sebagai berikut: (Kristi

  E. Purwandari, 2002)

  1. Kekerasan fisik , seperti : memukul, menampar, mencekik dan sebagainya.

  2. Kekerasan psikologis, seperti : berteriak, menyumpah, mengancam, melecehkan dan sebagainya.

  3. Kekerasan seksual, seperti : melakukan tindakan yang mengarah keajakan/desakan seksual seperti menyentuh, mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dan lain sebagainya.

  4. Kekerasan finansial, seperti : mengambil barang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial dan sebagainya.

  5. Kekerasan spiritual, seperti : merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban mempraktikan ritual dan keyakinan tertentu Mengenai bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang diatur di dalam UU Nomor

  23 Tahun 2004 berupa : Kekerasan fisik; Kekerasan psikis; Kekerasan seksual; dan Penelantaran rumah tangga (Pasal 5 UUPKDRT). Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi tanpa membedakan latar belakang ekonomi, pendidikan, pekerjaan, etnis, usia, lama perkawinan, atau bentuk fisik korban. Kekerasan adalah sebuah fenomena lintas sektoral dan tidak berdiri sendiri atau terjadi begitu saja. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan menurut Fathul Djannah (Ni Nyoman Sukerti, 2005) adalah :

  1. Kemandirian ekonomi istri. Secara umum ketergantungan istri terhadap suami dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian karena kemandirian istri juga dapat menyebabkan istri menerima kekerasan oleh suami.

  2. Karena pekerjaan istri. Istri bekerja di luar rumah dapat menyebabkan istri menjadi korban kekerasan.

  3. Perselingkuhan suami. Perselingkuhan suami dengan perempuan lain atau suami kawin lagi dapat melakukan kekerasan terhadap istri.

  4. Campur tangan pihak ketiga. Campur tangan anggota keluarga dari pihak suami, terutama ibu mertua dapat menyebabkan suami melakukan kekerasan terhadap istri.

  5. Pemahaman yang salah terhadap ajaran agama. Pemahaman ajaran agama yang salah dapat menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.

  6. Karena kebiasaan suami, di mana suami melakukan kekerasan terhadap istri secara berulang- ulang sehingga menjadi kebiasaan.

  Hubungan antara hukum dan masyarakat lebih sering dianggap berada dalam hubungan yang saling membentuk antara hukum negara dan tatanan normatif lainnya. Karena itu dari Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Hubungannya dengan Nilai-nilai Budaya di Sumatera Selatan

  sudut pandang hukum bukan hanya sebuah faktor pembentuk dalam masyarakat, tapi juga sebagai faktor yang dibentuk , sehingga berbagai kajian baru tentang hukum dan masyarakat tidak boleh hanya mencurahkan perhatian pada bagaimana para pembuat hukum berpikir tentang hukum itu tapi juga bagaimana orang lain di dalam masyarakat mengalaminya.( Ni Nyoman Sukerti, 2005)

  Dalam persoalan KDRT, kondisi masyarakat yang plural dapat mempengaruhi kebijakan negara dalam mengakomodasi berbagai ajaran hukum non-negara. Menarik untuk mengarah kepada persesuai itu tidak hanya terjadi dalam hubungan dua arah tapi juga harus melibatkan sebentuk saling persesuaian dimana hukum non-negara juga harus menggunakan nilai-nilai dan norma-norma hukum negara dan sebaliknya, hingga konflik dari pluralime bisa memuaskan kedua belah pihak.

  Berbicara mengenai hukum tradisi atau hukum yang hidup di tengah masyarakat, Satjipto Rahardjo mempunyai harapan/ mendambakan bahwa, mulai suatu waktu kelak, di Indonesia berhukum dengan hukum yang hidup. Hukum yang ditafsirkan secara kaku dan harfiah, dipatok dengan pasal dan ayat kitab undang-undang yang dilaksanakan secara yuridis formal dan positivistik-legalistik, adalah “hukum yang mati”. Hukum yang hidup ialah hukum yang selaras dengan detak jantung dan denyut nadi kehidupan masyarakat tempat hukum tersebut berlaku. Dengan kata lain, dienforce secara kontekstual, dengan mempertimbangkan latar sosio-kultural masyarakat, dan mengedepankan rasa keadilan publik. Lebih lanjut Satjipto Raharjo mengatakan, berangkat dari paradigma Kuhn ialah kerangka keyakinan penata (ordering belief framework). Rumusan ini tidak memuaskan. Paradigma memang dapat dipahami, tetapi sulit dirumuskan secara ringkas dan apik. Paradigma bersifat metateoretis dan tak-terartikulasikan namun paradigma itu kalau dicoba digenggam akan keluar melalui sela-sela jari-jemari.

  Metode Penelitian.

  Mengingat telah ada hukum yang mengatur permasalahan KDRT secara khusus di Indonesia, dan itu tidak lain berisikan ide-ide dan konsep-konsep abstrak, untuk memperoleh gambaran bagaimana ide-ide tersebut dapat terwujud di tengah-tengah masyarakat, maka penelitian ini secara proporsional melibatkan penelitian sosio-legal. Penelitian ini menempatkan Hukum (UU Nomor 23 tahun 2004) sebagai gejala sosial.Menitik beratkan pada perilaku individu /masyarakat dalam kaitannya dengan hukum yakni keberlakuan UU Nomor 23 Tahun 2004 terhadap masalah KDRT di tengah masyarakat. Dengan kata lain dapat memberikan penjelasan bermakna gejala hukum yang diinterpretasikan secara faktual, begitu juga sebaliknya fakta sosial itu akan dijelaskan dengan bantuan.( Sunaryati Hartono, 1991)

  Pendekatan Penelitian adalah : Fenomenologi serta pendekatan Perundang-undangan (statute approach).Lokasi penelitian adalah Sumatera Selatan, pada 15 daerah Kabupaten/Kota yakni: Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ilir, Muara Enim, Lahat, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Banyuasin, OKU Selatan,OKU Timur,Ogan Ilir, Empat Lawang, Palembang,

  Abdul Kadir Riyadi Rr. Rina Antasari

  Prabumulih, Pagar Alam, Lubuk Linggau. Dari 15 kabupaten kota akan ditunjuk daerah-daerah perwakilan yang dipilih berdasarkan rumpun suku dominan yakni rumpun suku masyarakat Palembang di kota Palembang, rumpun suku masyarakat Ogan di Baturaja Ds Lubuk Batang Baru dan Rumpun suku Masyarakat Komering di kota Martapura dan Kayu Agung, rumpun suku Besemah di kota Pagaralam dan Lahat, rumpun suku Ranau di desa Ranau, dan rumpun suku Semendo di desa Muara Tenang dan Palak tanah.

  Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, diperoleh dari pendapat- pendapat tokoh agama dan tokoh masyarakat / adat dan penduduk dari tiap-tiap wilayah objek penelitian dengan menggunakan metode purporsive sampling. Cara pengumpulan datanya dengan menggunakan angket. Angket yang dipakai adalah angket tidak terstruktur dengan pendekatan

  

depth interview . Disamping itu pengumpulan data dilakukan melalui Forum Group Discution (FGD)

  yang diikuti oleh masyarakat setempat, berjumlah 20 orang. Sedang pengumpulan data sekunder berasal dari peraturan perundang-undangan dan bahan keputakaan.

  Adapun data yang terkumpul dalam penelitian studi lapangan maupun studi kepustakaan akan penulis uraikan, hubungkan sedemikian rupa secara sistematis, lengkap dan rinci dalam bentuk kalimat, sehingga memudahkan melakukan interpretasi bahan hukum dan mengambil kesimpulan secara induktif (dari yang konkrit ke yang umum). Untuk mempermudah melakukan analisis kualitatif dibantu dengan metode containt analysis, kemudian hasilnya akan dipresentasikan secara kualitatif pada bagian kesimpulan penelitian ini

  Hasil Penelitian Dan Pembahasan.

  A.Kabupaten Ogan Komering Ulu Induk.

  1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian.

  L uas daerah 361.760 Ha., dengan geografisnya terletak antara 103° 40’ Bujur Timur

  sampai dengan 104° 33’ Bujur Timur dan antara 3° 45’ sampai dengan 4° 55’ Lintang Selatan dengan batas-batas wilayah yang jelas. Kekayaan Alamnya memiliki minyak dan batubara dan juga perkebunan. Untuk tanaman bahan makanan dan tanaman semusim lainnya tampaknya kurang berpotensi di kabupaten ini. Berpenduduk berjumlah 333.562 jiwa menyebar di 12 Kecamatan.

  2. Karakteristik Budaya Rumpun Suku Masyarakat Ogan . Karakteristik Responden. Karakteristik responden rumpun suku masyarakat Ogan dilihat dari usia, lama pendidikan dalam tahun, ,jenis kelamin, dan pengahasilan perbulan dapat dibaca pada tabel di bawah ini:

  Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Hubungannya dengan Nilai-nilai Budaya di Sumatera Selatan Tabel 1. Rataan Karakteristik Responden. No Karakteristik Satuan

  1 Rataan usia (th)

  45

  2 Rataan lama pendidikan

  9

  3 Rataan Jenis kelamin (%) Laki-laki : (termasuk 2 org Tokoh Adat dan 10 2 org Tokoh Agama)

  Perempuan :

  15

  4 Rataan Pengahasilan /bulan (rp) 1.500.000,- Sumber : Olah Data.

  Dari table di atas dapat diketahui:

  1. Rata-rata umur responden adalah 45 tahun berstatus menikah. Kondisi tersebut berarti responden masih termasuk dalam kategori umur produktif dan memiliki retensi yang cukup dalam memahami makna kehidupan berumah tangga.

  2. Rata-rata tingkat pendidikan responden adalah 9 ttahun, yang berarti mereka hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama. (Wajar 9 tahun). Lamanya masa pendidikan ini akan berpengaruh terhadap pemahamannya dalam menerima aturan- aturan atau nilai-nilai budayanya secara murni (apa adanya).

  3. Respenden laki-laki 40% dan perempuan 60% dapat dikatakan seimbang. Keseimbangan responden berdasarkan jenis kelamin dapat menghasilkan jawaban yang representasi berdasarkan jenis kelamin.

  4. Rata-rata pendapatkan responden sebesar Rp.1.500.000,- per bulan yang sebagian besar mereka berkebun. Hasil ini menunjukan secara personal sasaran penelitian termasuk dalam kelas Ekonomi ke bawah. Karakteristik Budaya Perkawinan.

  Perkawinan didahului dengan adat berasan (madik). Adat berasan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pihak keluarga laki-laki dengan pihak keluarga perempuan. Madik dilakukan setelah ke dua muda –muda bersepakat sendiri atau memang sepenuhnya di padik dari kemauan orang tua. Pada umumnya yang menentukan jodoh adalah yang bersangkutan. Adat berasan dimulai dengan kesepakatan untuk kawin, dilanjutkan dengan menentukan : saat pelaksanaan perkawinan / perayaannya, jujur, bantuan pihak laki-laki kepada pihak perempuan, mas kawin dan pelangkahan. Dalam adat berasan berlaku “terang”, oleh karena itu harus diketahui / disaksikan oleh dan atau diberitahukan kepada Kepala Desa / Kepala Kelurahan dan Pemangku Adat setempat. Oleh karena itu pembatalan pertunangan dari salah satu pihak akan menemui konsekuensi, dimana jika yang membatalkan pertunangan itu pihak perempuan, maka segala pemberian yang telah diterima dari pihak laki-laki harus dikembalikan sesuai dengan adat yang

  Abdul Kadir Riyadi Rr. Rina Antasari

berlaku setempat. Jika yang membatalkan pertunangan itu pihak laki-laki, maka segala

pemberian yang telah diberikan kepada pihak perempuan tidak dapat dituntut kembali.

Upacara perkawinan baru dapat dilaksanakan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku antara lain pendaftaran dan ketentuan lainnya. Upacara perkawinan

berlaku menurut adat setempat dengan memperhatikan ketentuan agama dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku serta hasil kesepakatan kedua belah pihak. Dalam upacara

perkawinan dilakukan juga pemberian gelar adat yang disebut dengan Adok. Adok diberikan

kepada kedua mempelai dan dilaksanakan sesuai dengan adat setempat. Pemberian gelar

tersebut dapat juga diberikan kepada orang luar / orang bukan sesuku berdasarkan musyawarah

tua-tua adat / tokoh-tokoh adat, yaitu :karena mengambil istri dari sukur tersebut atau sebagai

tanda penghormatan. Diharapkan dengan pemberian gelar, orang luar tersebut betul-betul

menyatu dengan masyarakat setempat.

Bentuk perkawinan berupa : perkawinan jujur, perkawinan kambik anak (semendo / Semenda

/ Sumanda) dan perkawinan bebas. Pada perkawinan jujur semua kegiatan termasuk

peminangan dengan segala tata caranya dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki yang berakibat

isteri mengikuti suami / bertempat tinggal bersama suami dan anak-anak yang dilahirkan dari

perkawinan tersebut adalah sebagai penerus keturunan suami (pihak suami).

Pada perkawinan Kambik Anak semua kegiatan termasuk peminangan dengan segala tata

caranya dilakukan oleh pihak keluarga perempuan, yang berakibat suami bertempat tinggal

bersama isteri (keluarga isteri) dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah

sebagai penerus keturunan isteri (pihak isteri).

Pada perkawinan bebas, semua kegiatan dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat antara

kedua belah pihak (pihak calon suami dan calon isteri). Setelah perkawinan suami isteri dalam

menentukan tempat tinggal didasarkan atas kesepakatan bersama. Anak-anak yang dilahirkan

dari perkawinan mereka adalah sebagai penerus keturunan kedua belah pihak.

Hasil dari FDG bersama responden diketahui pada umumnya perkawinan suku Ogan berbentuk

kawin jujur. Hanya keluarga mampu dan tidak mempunyai anak laki-laki yang melaksanakan

bentuk perkawinan semende. Pada bentuk perkawinan jujur setelah menikah pasangan suami

ini menetap di rumah suami. Sepenuhnya menjadi tanggung jawab suami dan keluarga suami.

Perempuan yang sudah menikah tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tuanya. Sedangan

bentuk perkawinan semende laki-laki akan terlepas dari kelompok keluarga dan masuk ke

dalam anggota keluarga isteri.

  Karakteristik Budaya Dilihat Dari Peran Suami Isteri Dalam Rumah Tangga. Dalam kehidupan berumah tangga suami adalah kepala rumah tangga. Berperan sebagai :Pencari nafkah keluarga,Memberi nafkah lahir dan bathi,Membimbing anggota keluarga, Mendidik anggota keluarga,Melindungi anggota keluarga,Memberi bimbingan kerohanian,Mendidik isteri,Menyediakan tempat ting gal keluarga,Memenuhi kebutuhan isteri dan anak,Mempertanggung jawabkan apa yang dialami oleh isteri dan dengan kedua orang tua

  Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Hubungannya dengan Nilai-nilai Budaya di Sumatera Selatan

  isteri. Sementara kewajiban seorang perempuan yang berstatus sebagai isteri adalah:Wajib dan taat serta setia dengan apa yang diperintahkan oleh suami, karena setelah menikah sorga perempuan itu ada pada suami, masuk sorgapun tidak bias kalau tidak izin suami,Mengurus kebutuhan suami, makan, membersihkan pakaian ,mengurus orang tua suami, Membantu suami dalam segala hal,Mengurus dan mengatur rumah tangga,Menjaga milik suami,Membantu suami dalam mencari nafkah, Mendidik dan mengasuh anak.

  

Dalam menjalankan bahtera rumah tangga perselisihan antara suami isteri menurut mayoritas

responden sebagai persoalan biasa. Permasakhan diselesaikan secara adapt yakni musyawarah

Pertama-tama diselesaikan oleh keluarga terdekat dari suami isteri tersebut yakni orang tua

kedua belah pihak. Kalau tidak ditemukan jalan damai maka memanggil ketua adat dan P3N

setempat. Menurut pendapat Ketua Adat H.B ,Tokoh agama ZK dan Kepala Desa Lubuk

  Batang baru Ogan , perselisihan antara suami isteri adalah persoalan biasa. Ada tiga hal penyebab

  

terjadinya perselihan yang dominann biasanya terjadi yakni:1)Masalah ekonomi,2)Turut campur

orang tua /mertua atau keluarga terdekat lain dalam urusan rumah tangga suami isteri tersebut

dan 3).Tidak mempunyai anak/keturunan laki-laki karena anak laki-laki benar-benar generasi

penerus orang tuanya dan dapat menjadi tulang punggung pencari nafkah dalam kehidupan.

Sedang anak perempuan tidak menjadi penerus keturunan dan hanya menyelesaikan pekerjaan

di rumah saja. Dilihat dari sumber kesalahan sebagai pemicuh adanya perselisihan, maka

  bilamana kesalahan terjadi dari pihak suami ,isteri tidak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi kalau isteri yang bersalah suami boleh marah dengan batas-batas tertentu dan tidak diperkenankan dengan melukai fisik.