BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan Saluran Drainase Antara Dinas Bina Marga Kota Medan Dengan Cv.Teratai 26

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Berbagai kepustakaan Indonesia menggunakan istilah “overeenkomst” dan “verbintenis” sebagai tejemahan istilah “perjanjian” maupun “persetujuan”. Verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Jadi

  

verbintenis menunjuk kepada adanya ikatan atau hubungan. Sedangkan

overeenkomst berasal dari kata kerja overeenkomen yang artinya setuju atau

  

  sepakat. Wiryono Projodikoro mengartikan perjanjian dari kata verbintenis,

  

  sedangkan kata overeenkomst diartikan dengan kata persetujuan. KUH Perdata terjemahan Subekti dan Tjitrosudibio dalam Pasal 1313 menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst. Utrecht memakai istilah perutangan untuk verbintenis dan perjanjian untuk

  

overeenkomst . Sementara Achmad Ichsan menerjemahkan verbintenis dengan

   perjanjian dan overeenkomst dengan persetujuan.

  R.Subekti memberikan pengertian perikatan sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban 2 R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta Bandung, Bandung, 1987, hal.

  1.

  3 4 Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetjuan Tertentu, Sumur R.Setiawan Op.cit,.

  11 untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling

   berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

  Menurut M.Yahya Harahap yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk

  

  melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Harta kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih tersebut memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain

  

  untuk melakukan prestasi. Sedangkan menurut R. M. Sudikno Mertokusumo pengertian perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

   berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.

  Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat disimpulkan di dalam suatu perjanjian minimal harus ada dua pihak, dimana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. Pengertian perjanjian itu sendiri dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih.

  5 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, hal. 1.

  6 Abdul Kadir Muhammad (I), Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 78.

  7 8 M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni : Jakarta, 1986, hal. 6.

  Yogyakarta 1988 , hal. 97.

  Mengenai istilah perjanjian ini para sarjana pada umumnya menganggap bahwa defenisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata memiliki kelemahan.

  Kelemahan-kelemahan Pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut :

   1.

  Hanya menyangkut sepihak saja.

  Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari dua pihak. Seharusnya dirumuskan “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

  2. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa konsensus Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus.

  Seharusnya dipakai kata persetujuan.

  3. Pengertian perjanjian terlalu luas Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan kawin, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.

  4. Tanpa menyebut tujuan Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

  Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian menimbulkan hubungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian yaitu berupa kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih kepada orang lain yang berhak atas prestasi tersebut, dalam lapangan harta 9 Abdul Kadir Muhammad (I), op.cit., hal 78. kekayaan. Namun tidak setiap perbuatan yang menimbulkan perikatan merupakan perjanjian, perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, sumber lain dari perikatan adalah undang-undang. Jadi ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang. Sumber-sumber perikatan yang tercakup dalam undang-undang diperinci lagi, yang dibedakan antara undang- undang saja dengan undan-undang yang berhubungan dengan perbuatan orang.

  Sumber perikatan yang berkaitan dengan perbuatan manusia diperinci lagi, yakni dibedakan antara perbuatan yang halal dan perbuatan melanggar hukum.

B. Unsur-Unsur Perjanjian

  Berdasarkan perumusan pasal 1313 KUH Perdata, Abdul Kadir Mehammad menyatakan bahwa perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai

  

  berikut: 1.

  Pihak-pihak Dalam suatu perjanjian paling sedikit ada dua pihak yang bertindak sebagai subjek perjanjian. Para pihak dapat terdiri dari orang pribadi atau badan hukum . Dalam mengadakan suatu perikatan, para pihak harus bebas menyatakan kehendaknya sendiri, tanpa ada paksaan dari pihak manapun, tidak ada penipuan dari salah satu pihak dan tidak ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan. Selain itu juga harus telah dewasa dan cakap untuk

   melakukan hubungan hukum.

  10 11 Ibid., hal. 80.

2. Persetujuan antara para pihak

  2011, hal. 233.

  Sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat perjanjian para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar menawar di antara mereka. Apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya. Yang ditawarkan itu umumnya mengenai syarat-syarat dan objek perjanjian. Dengan disetujuinya syarat-syarat dan objek perjanjian tersebut maka timbullah persetujuan. Persetujuan inilah yang menjadi salah satu syarat timbullnya perjanjian.

  3. Adanya tujuan yang akan dicapai Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak dalam perjanjian, dalam hal ini kebutuhan tersebut dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Dalam mencapai tujuannya tersebut, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

  4. Adanya prestasi yang harus dilaksanakan.

  5. Dengan adanya persetujuan maka para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya secara timbal balik. Pemenuhan kewajiban oleh para pihak sesuai dengan syarat- syarat dalam perjanjian tersebut dinamakan prestasi. Menurut pasal 1234 KUH Perdata prestasi tersebut dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan untuk memberikan sesuatu prestasinya berupa menyerahkan sesuatu barang atau memberikan kenikmatan atas suatu barang. Berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu yang bukan berupa memberikan sesuatu misalnya melukis, dan tidak berbuat sesuatu adalah jika dalam perjanjian para pihak berjanji untuk tidak melaksanakan perbuatan tertentu, misalnya tidak akan menutup jalan setapak.

  5. Ada bentuk tertentu Perjanjian dapat dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis, perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis dapat berupa akta otentik maupun akta dibawah tangan sesuai dengan ketentuan yang ada. Perjanjian dalam bentuk lisan, artinya perjanjian dibuat dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya sehingga dapat dipahami para pihak. Bentuk perjanjian perlu ditentukan mengingat kekuatan mengikat dan kekuatan pembuktian yang dimiliki oleh bentuk-bentuk perjanjian tersebut.

  6. Adanya syarat-syarat tertentu Dalam isi suatu perjanjian terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para pihak. Dari syarat-syarat para pihak dapat mengetahui hal-hal yang menjadi hak maupun kewajibannya., misalnya mengenai barangnya, haraganya dan juga syarat pelengkap atau tambahan, misalnya mengenai cara pembayarannya, cara penyerahannya dan lain-lain.

  Jika unsur-unsur suatu perjanjian yang telah dijelaskan sebelumnya diamati dan uraikan, maka unsur-unsur tersebut dapat diklasifikasikan sebagai

  

  berikut : 1.

   Unsur Esensialia

  Adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tak mungkin

12 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti : Bandung, 2001, hal. 67.

  ada. Tanpa keberadaan unsur tersebut maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan para pihak akan menjadi beda sehingga unsur esensialia seharus menjadi pembeda antara suatu perjanjian dengan

  

  perjanjian lainnya. Misalnya dalam perjanjian yang riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formil.

  2. Unsur Naturalia Adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual

   dari cacat sembunyi-sembunyi.

  3. Unsur Accidentalia

  Adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, atau dengan kata lain merupakan ketentuan-ketentuan yang dibuat para pihak untuk mempermudah pelaksanaan kontrak walaupun bukan merupakan syaarat utama. Misalnya dalam perjanjian jual beli unsur utama atau essensialianya adalah pembayaran, namun para pihak dapat menambahkan penentuan tempat dan waktu pembayaran dalam perjanjian jual beli untuk mempermudah pelaksanaan perjanjian itu sendiri.

  13 14 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Ibid., hal.8.

C. Syarat Sahnya Perjanjian

  Suatu perjanjian agar dapat berlaku sebagai suatu perjanjian yang mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, harus dibuat berdasarkan syarat yang sah. Menurut ketentuan pasal 1320 KUH Perdata agar suatu perjanjian dapat belaku sebagai perjanjian yang sah, terdapat syarat sebagai berikut : 1.

  Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu pokok persoalan tertentu; 4. Suatu sebab yang halal

  Penjelasan mengenai syarat-syarat yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1)

  Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang terpenting adalah adanya unsur penawaran (offer) oleh salah satu pihak, diikuti

  

  dengan penerimaan penawaran (acceptance) dari pihak lainnya. Jadi, yang dimaksud dengan sepakat adalah penyataan persesuaian kehendak antara satu orang atau lebih maupun badan hukum dengan pihak lainnya. Yang dimaksud dengan “sesuai” adalah pernyataannya, karena kehendak tidak dapat dilihat atau

  

  diketahui oleh orang lain. Pernyataan kehendak dari para pihak dapat dilakukan secara tegas dan secara diam-diam. Pernyataan kehendak secara tegas dapat 15 16 Ahmadi Miru,Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Salim H.S , Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 33.

  berbentuk pernyataan tertulis baik dengan akta otentik maupun dengan akta

   dibawah tangan, secara lisan, atau dengan tanda.

  Sehubungan dengan adanya persesuaian antara kehendak dengan pernyataan seperti yang telah dijelaskan diatas, adakalanya pernyataan yang timbul tidak sesuai dengan kehendak yang ada dalam batin. Mengenai hal ini

  

  terdapat teori yang dijadikan pemecahannya, yaitu : a.

  Teori Kehendak (wilstheorie), bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan, kalau tidak maka perjanjian tidak jadi.

  b.

  Teori Pernyataan (verklaringstheorie), kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadinya perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.

  c.

  Teori Kepercayaan (vertouwenstheorie), tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian

  Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kesepakatan merupakan persesuaian kehendak antara pihak-pihak dalam suatu perjanjian. Tentang kapan terjadi atau timbulnya kesepakatan dalam suatu perjanjian terdapat empat teori,

  

  yaitu :

  17 19 18 J. Satrio, op.cit., hal. 183. ibid

  a) Teori Pernyataan (uitingsheorie), kesepakatan (toesteming) terjdi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menulis surat jawaban yang menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.

  b) Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram, surat, atau telex.

  Menurut teori ini tanggal cap pos pada saat pengiriman jawaban penerimaan dipakai sebagai pegangan kapan saat lahirnya perjanjian.

  c) Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), menurut teori ini kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).

  d) Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

  Dengan diperlukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut.

   Pasal 1321 KUH Perdata lebih lanjut mengatur bahwa “ tiada sepakat

  yang sah apabila sepakat diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Mengenai kekhilafan atau kekeliruan diatur dalam pasal 1322 KUH Perdata, kekhilafan terjadi apabila seseorang dalam membuat perjanjian dipengaruhi oleh sesuatu yang palsu sehingga mempunyai gambaran yang keliru mengenai orangnya dan mengenai barangnya. Pembatalan karena 20 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2000, hlm.

  73. kekeliruan hanya mungkin terjadi dalam dua hal, yaitu apabila kekeliruan terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian yaitu sifat atau ciri dari objek yang bagi para pihak merupakan alasan diadakannya perjanjian yang menyangkut objek tersebut dan apabila kekeliruan mengenai diri pihak lawan dalam perjanjian yang dibuat terutama mengingat diri orang tersebut.

  Tentang paksaan diatur dalam pasal 1323 dan 1324 KUH Perdata. Paksaan meliputi segala macam ancaman baik diancam dengan paksaan fisik maupun dengan cara-cara tekanan mental, darimanapun datangnya ancman tersebut. Ancaman harus berupa sesuatu yang dilarang namun suatu ancaman yang dengan upaya-upaya hukum diperbolehkan. Paksaan dalam hal ini tidak berarti paksaan dalam arti absolut, sebab dalam hal yang demikian perjanjian sama sekali tidak terjadi. Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman yang tidak diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan bagi seseorang sehingga orang tersebut melakukan perjanjian

  Demikian juga hal nya dengan perjanjian yang dilakukan dengan penipuan, perjnjian tersebut dapat dibatalkan. Yang membedakan penipuan dengan paksaan ialah bahwa dalam paksaan dia sadar bahwa kehendaknya itu tidak dikehendaki tetapi harus mau, sedangkan dalam penipuan kehendaknya itu keliru. Dalam hal ini perbuatan itu dengan sengaja dilakukan dengan memberikan keterangan palsu atau tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui objek yang ditawarkan. Penipuan tidak di persangkakan tetapi harus dibuktikan. Dalam hal ini , pasal 1328 KUH Perdata mensyaratkan adanya tipu muslihat dengan kata-kata atau diam saja yang menimbulkan kekeliruan dalam kehendaknya , tidak cukup hanya dengan kebohongan saja.

  2) Kecakapan untuk Membuat Suatu Perjanjian

  Menurut hukum yang dimaksud dengan cakap adalah seseorang yang mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau melakukan perbuatan hukum baik untuk kepentingan diri sendiri maupun pihak lain yang diwakili,

   misalnya mewakili badan hukum.

  Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan jika oleh undang-undang tidak dikatakan tidak cakap. Mengenai orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu: a.

  Orang-orang yang belum dewasa, mengenai orang-orang yang belum dewasa ditentukan dalam pasal 330 KUH Perdata yaitu mereka yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Penentuan mengenai batas umur dewasa ini memiliki pengecualian dalam membuat perjanjian kerja, menurut pasal 1 butir 26 UUK seseorang dianggap dewasa apabila berumur 18 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian batasan dewasa untuk dapat melakukan perjanjian kerja dapat menyimpang dari pengaturan yang terdapat dalam KUH Perdata.

  b.

  Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, dalam pasal 433 KUH 21 Perdata ditentukan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam Sri Soesilowati, Hukum Perdata Suatu Pengantar, Gitama Jaya, Jakarta, 2005, hal. 142. keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros diletakkan dibawah pengampuan apabila seseorang yang berada dibawah pengampuan mengadakan perjanjian yang mewakilinya adalah pengampunya.Orang- orang perempuan, pada awalnya seorang perempuan yang bersuami memerlukan ijin tertulis dari suaminya untuk mengadakan perjanjian. Namun ketentuan ini dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kemajuan jaman.

  3) Suatu pokok Persoalan Tertentu

  Ketentuan pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan bahwa “ Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tak perlu pasti asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

  Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu, sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian, adalah sesuatu yang di dalam perjanjian tersebut telah ditentukan dan disepakati. Karena sesuatu yang yang menjadi objek suatu perjanjian harus ditentukan atau dinikmati.

  

  Misalnya dalam melakukan perjanjian pemborongan, merupakan suatu persetujuan bahwa pemborong atau penyedia barang/jasa mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan untuk pihak lain yaitu pihak yang memborongkan atau pengguna barang/jasa dengan harga yang ditentukan.

22 Bhakti Persada, Jakarta, 2005, hal.17.

  Dapat dimiliki dan dinikmati orang maksudnya memberi manfaat atau mendatangkan keuntungan secara halal bagi orang yang memilikinya, misalnya kendaraan, rumah, perhiasan, hak kekayaan intelektual, piutang, dan sebagainya. Benda objek perikatan harus benda perdagangan sesuai dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan masyarakat, dan bermanfaat. Dalam konsep hukum modern, pengertian benda sebagai objek perikatan meliputi juga modal, piutang, keuntungan, dan jasa.

  Syarat-syarat suatu benda yang dapat dijadikan sebagai objek dalam perikatan adalah :

   a.

  Benda dalam perdagangan; b.

  Benda tertentu atau dapat ditentukan; c. Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud; d.

  Benda yang tidak dilarang oleh undang-undang atau benda yang halal; e. Benda yang ada pemiliknya dan dalam penguasaan pemiliknya; f. Benda itu dapat diserahkan oleh pemiliknya; g.

  Benga yang berada dalam penguasaan pihak lain berdasarkan alas hak yang sah.

  4) Suatu Sebab yang Halal

  Sebab atau yang dalam Bahasa Belanda diterjemahkan sebagai oorzaak adalah isi dari perjanjian itu sendiri, bukan sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian.

  

  23 24 Subekti (I), Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, hal. 19

  Alasan yang mendorong seseorang membuat sesuatu hal dalam hal ini membuat perjanjian disebut dengan motif. Bagi hukum, motif tidak

  diperdulikan, hukum tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seseorang atau apa yang dicita-citakan seseorang. Yang diperhatikan hanyalah

   tindakan orang dalam pergaulan masyarakat.

  Sedangkan mengenai istilah sebab yang halal yang dimaksud dalam syarat ini bukanlah halal dalam pengertian halal-haram secara agama, yang dimaksud dengan halal adalah bahwa isi dari perjanjian yang di buat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang. Dengan demikian undang-undang tidak mempedulikan apa yang terjadi, sebab orang yang mengadakan suatu perjanjian tersebut yang menggambarkan tujuan yang akan di

  

  capai. Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, yaitu suatau perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu hal yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum.

  Syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suatu perjanjian sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian yang disebut syarat obyektif. Tidak dipenuhinya syarat obyektif ini berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum, karenanya tujuan para pihak untuk membuat suatu perjanjian menjadi batal. Sedangkan tidak dipenuhinya syarat subyektif maka perjanjian dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, sehingga perjanjian yang telah dibuat tetap mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan 26 25 Ibid

  Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah dipenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian telah memiliki kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang.

  Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

D. Asas-Asas Hukum Perjanjian

  Hukum perjanjian mengenal beberapa asas hukum yang berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian, isi perjanjian, pelaksanaan dan akibat perjanjian, yang merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan dari perjanjian. Fungsi asas hukum adalah Pikiran dasar yang umum sifatnya, atau merupakan latar belakang dari peraturan konkret yang terdapat didalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat pula asas hukum diketemukan

   dengan mencari sifat-sifat umum yang terdapat pada peraturan konkret.

  Indonesia sendiri, melalui Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17–19 Desember 1985 merumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut adalah :

1. Asas Kepercayaan 2.

  Asas Persamaan Hukum 3. Asas Keseimbangan 27 1988, hal. 97.

4. Asas Kepastian Hukum 5.

  Asas Moralitas 6. Asas Kepatutan 7. Asas Kebiasaan 8. Asas Perlindungan

  Namun, dari kedelapan asas terserbut terdapat lima asas utama yang harus diindahkan oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu :

1. Asas Kebebasan Berkontrak (Beginsel der Contracts Vrijheid)

  Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari pasal ini kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Orang tidak saja leluasa untuk membuat perjanjian apa saja,mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu, bahkan pada umumnya juga diperbolehkan mengeyampingkan peraturan peraturan yang termuat dalam KUH Perdata. Jika para pihak tidak mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang dibuat, maka berarti para pihak tunduk kepada undang-undang. Sistem tersebut lazim disebut dengan sistem terbuka (openbaar system).Jadi, menurut asas ini setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja yaitu meliputi semua perjanjian bernama, yaitu semua jenis perjanjian yang datur dalam KUH Perdata, maupun tidak bernama yaitu semua perjanjian yang tidak dikenal dalam KUH Perdata. Asas ini menganut sistem terbuka yang memberikan kebebasan seluas-luasnya pada

  

  masyarakat untuk :

  a) Membuat atau tidak membuat perjanjian

  b) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun

  c) Menentukan, pelaksanaan, dan persyarannya dan

d) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

  Walaupun berlaku asas ini, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum seperti yang diatur dalam pasal 1337 KUH Perdata.

2. Asas Konsensualisme

  Arti asas konsensualisme ialah, pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas, meskipun perjanjian tersebut dilakukan secara lisan. Namun mengenai asas ini terdapat kekecualian bagi perjanjian-perjanjian tertentu misalnya perjanjian hibah yang diatur dalam pasal 1683 KUH Perdata yaitu penghibahan yang dilakukan mengenai benda tidak bergerak harus 28 dilakukan dengan akta otentik. Demikian pengalihan hak milik atas Salim H.S, op.cit., hal. 9. kebendaan dalam perjanjian formil, dimana menurut ketentuan pasal 613 dan 616 pengalihan harus dilakukan secara tertulis dengan akta otentik.

  Perjanjian-perjanjian tersebut mendapat kekecualian dalam asas konsensualisme, dimana untuk perjanjian-perjanjian tersebut diadakan suatu formalitas tertentu baik dari sifat kebendaan yang dialihkan dalam perjanjian tersebut maupun sifat dari isi perjanjian itu sendiri, sehingga dinamakan perjanjian formil.

3. Asas pacta sunt servanda

  Menurut ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat”. Maksudnya bahwa setiap perjanjian yang dibuat para pihak adalah mengikat dan berlaku sebagaimana undang-undang bagi para pihak tersebut. Ketentuan tersebut berarti bahwa perjanjian yang dibuat dengan cara yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, yang berarti mengikat para pihak dalam perjanjian, seperti undang-undang juga mengikat orang terhadap siapa undang- undang itu berlaku.

  Lebih lanjut, Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian-perjanjian itu tidak dapat di tarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, Dari ketentuan tersebut terkandung maksud bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain adanya kata sepakat dari kedua belah pihak.

  4. Asas Itikad Baik Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.

  Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan perilaku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaaan (penilaian tidak memihak) menurut

   norma-norma yang objektif.

  5. Asas kepribadian Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya, jadi tidak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga dan pihak ketigapun tidak bisa mendapatkan keuntungan karena adanya perjanjian tersebut, kecuali telah diatur dalam undang-undang maupun perjanjian tersebut.

  Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 1315 KUH Perdata yaitu “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau 29 perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Pasal 1340 juga menyatakan bahwa “perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya” inti dari ketentuan pasal ini yaitu bahwa seseorang hanya boleh mengadakan perjanjian untuk kepentingan dirinya sendiri dan perjanjian yang dibuat hanya mengikat bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan pasal-pasal tersebut ada pengecualiannya sebagaimana diatur dalam pasal 1370 KUH Perdata yaitu “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga , bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain mengandung kepentingan semacam itu “. Yang berarti bahwa dapat diadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan.

  Di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang- orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya.

E. Wanprestasi

  Menurut Kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera

  

  janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. Dengan demikian, wanprestasi merupakan suatu keadaan dimana pihak debitur tidak melaksanakan prestasinya, sebagai mana telah ditetapkan sebelumnya dalam perjanjian. 30 Subekti dan Tjitrosoedibyo (II), Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hal. 10.

  Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat berupa :

   1.

  Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan 3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

  Sedangkan menurut R.Setiawan terdapat tiga bentuk wanprestasi yaitu :

  

  1) Debitur sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu menyatakan peringatan atau teguran karena hal ini percuma sebab debitur memang tidak mampu berprestasi.

  2) Debitur salah berprestasi, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik untuk melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya.

  3) Debitur terlambat berprestasi, dalam hal ini banyak kasus yang dapat menyamakan bahwa terlambat berprestasi dengan tidak berprestasi sama sekali.

  Wanprestasi akan menimbulkan akibat hukum dalam perjanjian. Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah sanksi sebagai berikut :

   1.

  Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata). Penggantian kerugian tidak timbul dengan sendirinya dengan saat timbulnya kelalaian. Ganti rugi baru efektif menjadi keharusan pihak yang lalai setelah ada pernyataan lalai dari pihak yang dirugikan atas terjadinya wanprestasi tersebut. Dengan kata lain, wanprestasi 31 Subekti (I), op.cit., hal. 45. 32 33 Abdul Kadir Muhammad ( I) , Op.Cit. , hal 24.

  terjadi apabila sebelumnya sudah pihak yang melakukan kelalaian tersebut diperingatkan atau ditegur atas kelalaiannya tersebut.

  2. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) wanprestasi dari suatu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUH Perdata).

  3. Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 (2) KUH Perdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.

  4. Membayar biaya perkara apabila perkara diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 (1) HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.

  5. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUH Perdata). Ini berlaku untuk semua perikatan.

  Berkaitan dengan adanya pernyataan lalai yang harus dilakukan sebelumnya terhadap pihak yang melakukan wanprestasi, dalam pasal 1238 ditentukan mengenai bentuk pernyataan lalai yang dapat diberikan kepada pihak yang lalai melakukan pelaksanaan perjanjian yaitu: a)

  Berbentuk surat perintah (bevel) atau akta lain yang sejenis

  b) Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri, apabila dalam surat perjanjian telah ditetapkan ketentuan bahwa pihak dalam perjanjian dinyatakan wanprestasi jika melakukan suatu perbuatan tertentu atau dalam jangka waktu tertentu. Dengan adanya penegasan ini dalam perjanjian tanpa peneguran kelalaian dengan sendirinya dapat dikatakan lalai apabila tidak melakukan apa yang diatur dalam perjanjian secara tepat.

  c) Jika teguran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan atau aanmaning dan biasa juga disebut somasi. Somasi berarti peringatan agar pihak yang lalai melakukan kewajibannya sesuai dengan teguran atau pernyataan lalai yang disampaikan kreditur kepadanya. Dalam somasi inilah pihak yang merasa dirugikan atas terjadinya wanprestasi menyatakan kehendaknya bahwa perjanjian harus dilaksanakan dalam batas waktu tertentu.

  Dari beberapa akibat wanprestasi tersebut, kreditur dapat memilih diantara beberapa kemungkinan sebagai berikut :

1. Meminta pelaksanaan perjanjian walaupun pelaksanaannya sudah terlambat.

  2. Meminta penggantian kerugian. Menurut Pasal 1243 KUH Perdata, ganti rugi ini dapat berupa biaya (konsten), rugi (schaden), atau bunga (interessen).

  3. Meminta kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan, bila perlu disertai dengan penggantian kerugian (Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata).

  Sehubungan dengan kemungkinan pembatalan lewat hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1267 KUH Perdata tersebut, maka timbul persoalan apakah perjanjian tersebut sudah batal karena kelalaian pihak debitur atau apakah harus dibatalkan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim tersebut bersifat

  declaratoir ataukah bersifat constitutive. Subekti mengemukakan bahwa “menurut

  pendapat yang paling banyak dianut, bakannya kelalaian debitur, tetapi putusan hakimlah yang membatalkan perjanjian, sehingga putusan hakim itu bersifat

   constitutive dan bukannya declaratoir.

  Pada prakteknya suatu wanprestasi baru terjadi jika salah satu pihak dinyatakan telah lalai untuk memenuhi prestasinya dan akibat dari kelalaiannya tersebut menimbulkan kerugian pada pihak lainnya atau dengan kata lain, wanprestasi ada kalau pihak yang tidak melaksanakan prestsi tersebut itu tidak dapat membuktikan, bahwa ia telah melakukan wanprestasi di luar kesalahannya sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.Tidak terpenuhinya prestasi itu kadangkala disebabkan karena adanya suatu peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya oleh para pihak, sehingga hal tersebut mengakibatkan salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasinya. Dalam hal demikian, maka timbul persoalan yang dinamakan force majeur.

  Force majeur bisa saja terjadi dalam suatu keadaan memaksa atau suatu

  keadaan/ kejadian yang tidak dapat diduga-duga terjadinya, sehingga menghalangi pihak yang lalai tersebut untuk melakukan prestasi sebelum ia lalai/ alpa, dan keadaan tersebut diluar kekuasaan dan kehendaknya. Force majeur merupakan dasar hukum yang mengenyampingkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 1239 bahwa setiap wanprestasi yang menyebabkan kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar ganti rugi.

  Force Majeur diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, yang

  menyebutkan bahwa Force Majeur adalah debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tidak terduga lebih dulu dan tidak dapat 34 Subekti (I), op.cit., hal. 148. dipertanggungkan kepadanya, maka debitur dibebaskan untuk mengganti biaya rugi dan bunga.

  Pasal 1444 dan pasal 1445 KUH Perdata lebih lanjut menentukan dalam bagian yang mengatur mengenai musnahnya barang yang terutang. Menurut ketentuan pasal 1444 KUH Perdata jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangjab dia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan terhapus jika barangnya akan musnah secara yang sama ditanggannya si berpiutang, seandainya sudah diserahkan kepadanya. Si berutang wajib membuktikan kejadian yang tak terduga, yang dimajukan itu. Dengan cara bagaimanapun suatu barang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang itu untuk mengganti harganya. Pasal 1445 KUH Perdata menyatakan jika barang yang yang terutang diluar salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut diajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya.

  Berdasarkan ketentuan-ketentuan pasal 1244, 1245, serta 1444 dan pasal 1445 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kriteria force majeur melliputi :

  1) Peristiwa yang tidak terduga

  2) Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang mengalami force majeur 3)

   Tidak ada itikad buruk dari pihak yang mengalami force majeur 4)

Keadaan yang tidak disengaja oleh pihak yang mengalami force majeur

5) Keadaan itu menghalangi pihak yang mengalami force majeur untuk

  melakukan prestasi

  6) Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan, misalnya

  memperjanjikan suatu objek yang semula tidak terlarang namun sebalum perjanjian berakhir, objek tersebut menjadi terlarang oleh peraturan perundang-undangan

  7) Keadaan diluar kesalahan pihak yang mengalami force majeur 8) Debitur tidak melakukan kelalaian untuk berprestasi 9) Kejadian tersebut tidak dapat dihindarkan oleh siapapun 10) Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian

  Menurut teori Force majeur dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ajaran force majeur yang objektif atau yang bersifat mutlak (absolute) dan ajaran

  force majeur subjektif yang bersifat relatif.

  

  Pada force majeur yang bersifat

  

absolut , pemenuhan prestasi sama sekali tidak lagi diharapkan, sedangkan pada

force majeur yang relatif, pemenuhan prestasi masih masih dimungkinkan tetapi

  dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar, baik pengorbanan yang bersifat materiil maupun bersifat moril. Selain itu ancaman peraturan perundang-

35 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Jakarta, 1994, hal. 18.

  undangan juga dapat menjadi suatu keadaan yang menghalangi terlaksananya perjanjian dan menjadi dasar terjadinya force majeur, misalnya perjanjian jual beli atas sesuatu barang yang kemudian sebelum perjanjian berakhir barang tersebut oleh peraturan perundang-undangan dikategorikan sebagai barang yang dilarang untuk diperjual belikan. Dalam hal ini larangan atau peraturan perundang- undangan yang dimaksud harus sedemikian rupa benar-benar tidak dapat diperhitungkan pada saat membuat perjanjian.

  Selain itu dikenal pula force majeur bersifat tetap dan force majeur bersifat sementara. Force majeur bersifat tetap bila prestasi tidak dapat dipenuhi atau kalaupun masih mungkin dapat dipenuhi tetapi pemenuhannya tidak mempunyai arti lagi bagi pihak yang lain. Dikatakan bersifat force majeur bersifat sementara bila force majeur tersebut hanya mengakibatkan tertundanya pemenuhan prestasi untuk sementara waktu dan pemenuhannya dikemudian hari kelak masih mempunyai arti. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tesebut dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang harus diteliti dan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa peristiwa atau kejadian tersebut berada diluar kesalahan dan kelalaian pihak yang mengalami force majeur.

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pengadaan Jenis Ikan Nilai Ekonomi Tinggi Antara Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi Dengan CV. Avansa

0 51 113

Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan Saluran Drainase Antara Dinas Bina Marga Kota Medan Dengan Cv.Teratai 26

8 122 120

Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Antara Dinas Bina Marga Dan Pengairan Kota Pematangsiantar Dengan Cv. Sibange-Bange Siantar Simarimbun (Studi: Dinas Bina Marga Dan Pengairan Kota Pematangsiantar)

0 42 133

BAB II Tinjauan Umum Tentang Perjanjian A. Pengertian dan Hakekat Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Pabrik Kelapa Sawit Antara PT. Bima Dwi Pertiwi Nusantara Dengan PT. Mutiara Sawit Lestari

0 0 34

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA PENERBIT DAN PEDAGANG A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Electronic Data Capture Antara Bank Dengan Pedagang (Merchant) M

0 1 36

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Pelayanan Kesehatan Pasien Kurang Mampu Antara Pihak Rumah Sakit Umum Dengan Pasien

0 0 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan 1. Pengertian Perjanjian - Analisis Hukum Terhadap Pembayaran Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan(Studi Pada Panti Sosial Pamardi Putra In

0 0 37

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN BORONGAN I. Pengertian Dan Pengaturan Tentang Perjanjian Pemborongan 1. Pengertian Perjanjian - Analisa Putusan Pailit Nomor 08/Pailit/2013/PN.NIAGA.Mdn

0 0 24

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN - Tinjauan Hukum Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan/Konstruksi Antara Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Sumber Daya Air Dengan Perusahaan Rekanan ( Studi Di Balai Sumber Daya Air Sumatera II Pr

0 0 26

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN LEASING A. Pengertian Perjanjian - Chapter II (497.7Kb)

0 0 24